Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 13


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 13




   "Bluug!" Tubuh Chin Tong Sia membentur tanah!

   "Auugh!" Liu Wan menjerit seraya menghajar lengan yang mencengkeram kakinya itu dengan Thian-lui kong-ciangnya.

   "Duuuaaar!" Tanah di depan Liu Wan meledak berhamburan terkena hantaman Thian-lui kong-ciang, karena dengan gesit Chin Tong Sia telah melejit pergi dengan lincahnya.

   "Puteri Istana menghisap hun-cwe (pipa panjang),
Hun-cwe terisi butiran candu.
Bibir pucat matanya sayu.
Bagai bidadari sedang bercumbu."

   Dengan wajah cerah penuh senyuman Chin Tong Sia telah berdiri siap kembali. Matanya yang kocak itu memandang Liu Wan yang terpincang-pincang karena salah satu urat darahnya tertutup akibat cengkeramannya. Sambil tersenyum ia berpantun.

   "Hei, Sute! Puterimu itu gila barangkali! Masakan seorang puteri keraton menghisap pipa...!" Put-pai-siu Hong-jin berteriak penasaran dari tempat persembunyiannya. Chin Tong Sia melirik kesana-kemari mencari arah suara suhengnya. Senyumnya menghilang.

   "Suheng, kenapa engkau hari ini usil banget? Apakah tidak boleh seorang puteri Istana menghisap pipa?" pemuda itu berseru kesal.

   "Boleh... sih... boleh! Tapi, ya... aneh sekali!"

   "Ah, peduli amat! Pokoknya puteri itu suka menghisap pipa! Titik!"

   "Uh, ya... terserah kalau begitu maumu. Tapi itu tidak wajar, masakan seorang puteri... Menghisap pipa panjang, hehehehe. Tidak lucu. Hmmm, apakah kau mau kalau isterimu besok suka menghisap pipa?"

   "Suheng gila, keluar kau!" Chin Tong Sia berteriak dengan wajah merah padam. Tak ada jawaban. Tampaknya Put-pai-siu Hong-jin sudah merasa cukup menggoda adik seperguruannya. Mungkin orang tua itu kini terkekeh-kekeh gembira di tempat persembunyiannya. sementara itu Liu Wan memanfaatkan waktu tersebut untuk melancarkan kembali urat darahnya yang tertutup. Tapi usahanya sia-sia. Aliran darahnya masih tetap tersumbat, sehingga kakinya tak bisa bergerak dengan leluasa. Tio Ciu In menghampiri dengan wajah khawatir.

   "Bagaimana, Twako? Ada sesuatu yang salah?" tanyanya cemas.

   "Gila! Anak itu memang lihai sekali, aku tak bisa membuka totokannya."

   "Lalu... apa yang harus kita perbuat?" Tio Ciu In berbisik tegang.

   "Apa boleh buat. Mungkin aku tidak bisa menang, tapi yang jelas aku akan mengadu jiwa dengannya!"

   "Liu Twako..."

   "Sudahlah, Ciu-moi... Minggirlah, aku belum kalah." Di lain pihak Chin Tong Sia masih menoleh kesana-kemari mencari suhengnya. Pemuda itu masih kelihatan penasaran terhadap Put-pai-siu Hong-jin, sehingga dia tak peduli lagi kepada Liu Wan. Bahkan dia juga tidak ambil pusing pula ketika Tio Ciu In menghampiri Liu Wan. Tio Ciu In melangkah menjauhi arena lagi. Ia tak dapat menghalangi niat Liu Wan, karena pemuda itu tentu tak ingin kehilangan harga dirinya. Langkahnya terhenti di dekat tumpukan jala si Nelayan Tua itu. Sekonyong-konyong tumpukan jala itu terangkat dan terlempar jauh, sementara dari bawahnya muncul Put-pai-siu Hong-jin sambil menjerit-jerit!

   "Kurang ajar! Kepiting keparat! Kepiting bangsat! Menjepit pantat orang seenaknya! Huh, mati kau...!" Ternyata tak seorangpun yang mengira kalau Put-pai-siu Hong-jin bersembunyi di bawah tumpukan jala tersebut. Dan tampaknya si Nelayan tadi tidak menyadari pula kalau gulungan jalanya menindih Put-pai-siu Hong-jin yang tipis kerempeng itu. Mungkin sewaktu meletakkan jalanya tadi si Nelayan tak memperhatikan bahwa di bawah gubug reyot itu ada seseorang yang lagi tidur melingkar keenakan. Dan sebaliknya Put-pai-siu Hong-jin sendiri kelihatannya justru merasa kesenangan mendapatkan selimut tebal.

   "Bagus! Ternyata suheng bersembunyi di situ! Nah, rasakan pukulanku...!" Begitu melihat suhengnya, Chin Tong Sia segera menerjang dengan pukulan tangannya.

   "Hei... Hei, nanti dulu! Aku belum mengikat tali celanaku! Kepiting celaka itu... Kepiting celaka itu... Hei, awas... celanaku nanti melorot turun! Wah!" Put-pai-siu Hong-jin yang sedang ribut dengan kepiting di dalam celananya itu menjadi kaget dan bingung melihat serangan sutenya. Sambil berusaha mengikatkan kembali tali celananya orang tua itu mengelak kesana-kemari. Celakanya Chin Tong Sia tak memberinya kesempatan sama sekali. Pemuda itu terus saja mengejar suhengnya, sehingga akhirnya tali celana itu bukannya terikat lagi dengan baik, tapi malah menjadi ruwet tidak karuan.

   "Wah, ini... Ini bagaimana? Tali celanaku...?" orang tua itu berteriak ketakutan, kemudian lari lintang pukang meninggalkan tempat itu. Kedua tangannya sibuk mencengkeram celananya yang melorot turun memperlihatkan pantatnya yang tepos. Tio Ciu In menjerit lirih dan cepat cepat memalingkan mukanya.

   "Kurang ajar! jangan lari...!" Chin Tong Sia berseru sambil terus mengejar suhengnya. Liu Wan menarik napas panjang, seolah-olah beban yang menghimpit perasaannya telah lepas namun demikian matanya masih tampak lesu memandang ke depan, ke arah mana Chin Tong Sia dan suhengnya tadi pergi.

   "Bagaimana Liu-twako? Kita kembali saja ke kota? Siau In mungkin sudah tidak berada di pantai ini, karena pemuda itu juga sudah sejak kemarin mencarinya." Tio Ciu In mendekati dan berkata perlahan.

   "Baiklah..." Liu Wan mengangguk lesu.

   "Ciu-moi, ternyata sungguh banyak sekali orang lihai. di dunia ini. Aku yang selama ini sangat bangga dengan julukan Bun-bu Siucai, ternyata harus menghadapi kenyataan dalam sehari ini. Dalam waktu hanya sehari ini saja aku bertemu dengan banyak orang yang kepandaiannya lebih tinggi daripada aku. Kwe Tek Hun, Ma Goat dan pembantunya, orang tua buta itu, orang-orang dari Pondok Pelangi dan sekarang Chin Tong Sia bersama suhengnya dari Aliran Beng-kauw. Aaaah... aku memang harus banyak belajar lagi." Sambil berjalan kembali ke kota Hang-ciu Tio Ciu In berusaha menghibur kekecewaan Liu Wan.

   "Twako, dunia ini memang luas. Kita tak usah merasa kecewa terhadap diri sendiri, karena kitapun sebenarnya juga sudah lebih dari pada yang lain. Contohnya, Twako sendiri masih jauh lebih baik dan lebih beruntung daripada aku, Adikku, suhengku, Ku Jing San, Sogudai dan pendeta-pendeta Pek-hok-bio itu. Namun demikian aku sendiri juga masih lebih mendingan daripada anak buah Kuil Pek-hok-bio dan lain-lainnya. Nah, mau apa lagi?" Liu Wan memandang tak percaya kepada Tio Ciu In. Ia tak percaya kata-kata yang bermakna amat dalam itu keluar dari bibir tipis itu.

   "Bukan main...!" pemuda itu berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya menatap redup dan sama sekali tak menyembunyikan rasa kagumnya.

   "Apanya yang bukan main...?" Tio Ciu In bertanya sambil menundukkan mukanya, takut melihat pandangan mata Liu Wan.

   "Pandangan hidupmu itu tadi, Ciu-moi. Apakah semua yang kau katakan itu sungguh-sungguh keluar dari lubuk hatimu?" Tio Ciu In mengangkat wajahnya.

   "Tentu saja, Twako. kau kira aku cuma asal bicara saja?" katanya kurang senang.

   "Eh, bukan begitu maksudku..." Liu Wan cepat-cepat menyela.

   "Aku cuma mempunyai perkiraan, bahwa kau bisa mengatakan seperti itu karena selama ini kau selalu mendapatkan yang baik dan tak pernah mendapatkan kekecewaan di dalam kehidupanmu."

   "Maksudmu...?"

   "Yaaaah, misalnya saja tentang... rupa. Kau tidak ditakdirkan berwajah jelek, tetapi kau dikaruniai wajah ayu. Sangat ayu malah. Nah, tentu saja kau tidak pernah merasa kecewa dengan keadaanmu. Akan tetapi lain halnya kalau Thian memberimu wajah yang jelek, kau tentu takkan bisa berkata seperti tadi. kau tentu akan merasa kecewa terhadap dirimu sendiri..." Tak terduga wajah yang cantik dan halus itu tersenyum.

   "Kau salah menduga, Twako. Selama ini aku tak pernah memikirkan, apakah wajahku cantik atau jelek, sehingga aku tak pernah mempersoalkan pula, apakah aku merasa gembira atau kecewa terhadap diriku. Bagiku cantik atau tidak cantik itu sama saja. Semuanya tak perlu dikecewakan."

   "Apakah kau tidak merasa kecewa kalau wajahmu jelek?" Liu Wan penasaran. Tio Ciu In menggelengkan kepalanya.

   "Tidak ada yang perlu dikecewakan. Misalkan aku berwajah jelekpun masih tetap seorang manusia, Masih lebih baik dan lebih cantik daripada seekor monyet betina."

   "Hah...? Sungguh gila!" Liu Wan terbelalak.

   "Lalu, misalkan kau benar-benar menjadi... eem, monyet betina? Apakah kau juga tidak pernah kecewa terhadap dirimu?" Lagi-lagi wajah yang cantik itu tersenyum, sehingga Liu Wan semakin menjadi gemas melihatnya.

   "Aku tetap tidak akan menjadi kecewa karenanya. Menjadi monyet masih lebih beruntung daripada menjadi patung batu. Thian maha adil. Kalau pun aku ditakdirkan menjadi monyet, aku percaya Thian akan mengirimkan kepadaku seekor monyet jantan yang kuat dan tampan."

   "Ooooooooooh!" Liu Wan berdesah panjang seraya menundukkan mukanya. Ucapan-ucapan Tio Ciu In yang amat sederhana itu ternyata telah mampu menerangi hatinya, menyadarkannya, betapa serakahnya dia selama ini.

   "Ciu-moi, kau benar-benar hebat. Aku sungguh merasa suka dan kagum sekali kepadamu. Rasa-rasanya aku menjadi ingin sekali menjadi monyet jantan itu, tapi..."

   "Ah, kau...!" Tio Cu In cemberut dan mukanya menjadi merah.

   "Semua itu hanya perumpamaan saja, bukan kenyataan. Siapa bilang aku seekor monyet betina?" Liu Wan menjadi malu.

   "Maaf, Ciu-moi... Memang tiada seorangpun yang mengatakan kau seekor monyet betina. kau... seorang dewi, seorang bidadari yang hebat tiada tandingannya. Akulah yang benar-benar pantas menjadi monyet dan bukan monyet jantan seperti keinginanmu itu, tapi monyet kerdil yang tiada artinya sama sekali."

   "Nah, Twako... Kau mulai merajuk lagi. kau mulai kecewa terhadap dirimu kembali. Semangatmu mudah kembali patah..."

   "Aaaaaaah!" Liu Wan menjadi sadar pula kembali.

   "Maafkan aku, Ciu-moi." Demikianlah, sambil berbicara macam-macam mereka berjalan terus sehingga tak terasa. mereka telah tiba di kota Hang-ciu lagi. Mereka berhenti dulu untuk mengisi perut, baru kemudian memulai pencarian mereka. Seluruh kota mereka jelajahi dan mereka aduk-aduk, bahkan mereka juga menemui Jeng-bin Lokai pula, namun Siau In tetap tak mereka jumpai. Akhirnya. setelah sore mereka terpaksa mencari penginapan lagi.

   "Bagaimana kalau adikmu tetap tak diketemukan juga? Apakah kau akan tetap mencari di sini?" Liu Wan bertanya. Tio Ciu In menundukkan wajahnya, menyembunyikan dua tetes air mata yang terlepas dari pelupuk matanya.

   "Aku akan menantinya di sini. Aku percaya dia takkan jauh dari kota ini. Ia belum pernah bepergian kemana-mana."

   "Tapi...?"

   "Twako, kau jangan terlalu memikirkan aku. Aku tahu engkau mempunyai banyak urusan yang lain. Silakan kalau Twako hendak meneruskan perjalanan. Biarlah aku menunggunya di sini, sekalian menanti kedatangan Guruku..."

   "Oh, ya...? Jadi Suhumu juga hendak datang ke sini?" Liu Wan menegaskan, suaranya sedikit berubah.

   "Rencananya memang demikian. Empat hari yang lalu kami berangkat bersama-sama dari Gedung Cabang Aliran Im-yang-kauw di kota An-king. Suhu menyuruh suheng, aku dan Adikku, langsung pergi ke kota ini, sementara Suhu sendiri berangkat menyusuri Sungai Yang-tse, melalui kota Wu-hu, Nan-king, Wuh-si dan Soh-ciu. Karena harus melalui jalan memutar yang sangat jauh, kemungkinan dua atau tiga hari lagi Suhu baru sampai di sini."

   "Baiklah, Ciu-moi... aku akan menemanimu sehari lagi. Besok lusa baru aku akan berangkat ke barat menemui Guruku. Aku harus melaporkan kegiatan orang orang Hun itu kepada beliau." Liu Wan berdesah panjang seakan-akan amat berat meninggalkan Tio Ciu In sendiri.

   "Yaaaaah, sekalian memohon maaf kepada guruku, karena aku telah meninggalkan beliau selama hampir lima tahun tanpa pamit." Tio Ciu In memandang Liu Wan degan kening berkerut.

   "Kau tinggalkan Gurumu selama lima tahun tanpa pamit? Mengapa...?" tanya gadis itu heran. Liu Wan tersenyum kecut. Dipandangnya gadis ayu itu sekejap, kemudian menggeleng lemah.

   "Ah, cuma karena urusan keluarga yang kurang menyenangkan saja."

   "Yang Twako maksud... Keluarga Gurumu atau keluargamu sendiri?" Sekali lagi Liu Wan menghela napas panjang, wajahnya kelihatan buram.

   "Keluargaku sendiri... aku... ah, sudahlah... aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi." Tio Ciu In menjadi semakin heran. Baru kemarin pemuda itu memperlihatkan gambar-gambar keluarganya dengan hati riang. Mengapa sekarang tiba-tiba saja pemuda itu kelihatan sedih membicarakan keluarganya? Siapakah sebenarnya pemuda itu?

   "Baiklah, Twako... aku juga tak ingin mencampuri urusan keluargamu. kau tentu mempunyai alasan yang kuat, mengapa sampai pergi meninggalkan keluargamu sekian lamanya." Demikianlah mereka terpaksa tinggal di kota itu menantikan munculnya Tio Siau In. Sama sekali mereka tidak membayangkan bahwa gadis itu telah berada jauh di laut utara.

   * * *

   Ketika menyaksikan A Liong benar-benar tidak muncul lagi ke permukaan air, Siau In menjadi sedih dan menyesal bukan main. Gadis itu merasa telah membunuh orang tak berdosa, sehingga seharian ia tak bosan-bosannya berputar-putar di pinggiran pantai itu, sambil berharap-harap kalau-kalau pemuda itu muncul kembali. Setelah matahari terbenam barulah Tio Siau In mengayuh sampannya ke pinggir. Tubuhnya lemas karena seharian tidak makan dan minum. Dan malam itu terpaksa harus tidur dan berpuasa pula di atas pasir yang dingin. Demikianlah, karena perasaannya selalu dicengkam rasa gelisah, maka dalam tidurnya Siau In juga mendapat mimpi yang menyeramkan pula. Di dalam mimpinya gadis itu seperti melihat A Liong timbul tenggelam dipermainkan ombak di tengah lautan. Pemuda itu seperti menjerit-jerit memanggil namanya.

   Siau In berusaha menolong pemuda itu. Mati-matian ia mengayuh sampannya, menerjang ombak yang setiap kali selalu melemparkan sampannya kembali ke tepian. Namun suara jeritan A Liong membuat Siau In seperti kesetanan. Ia tetap mengayuh terus, sehingga akhirnya bisa juga sampannya mendekati A Liong. Siau In mengulurkan tangannya untuk menarik tubuh A Liong. Tetapi belum juga tangan itu sempat menyentuh tubuh A Liong, sekonyong-konyong dari dalam air muncul kepala seekor naga raksasa yang sangat menyeramkan! Ketika naga itu membuka mulutnya yang lebar, maka air laut yang ada di sekitarnyapun segera membanjir masuk, termasuk pula di antaranya adalah tubuh A Liong serta Siau In bersama sampannya! ia terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membanjir membasahi seluruh badannya, padahal malam itu bertiup angin laut yang cukup kencang, dinginnya menggigit tulang.

   "Ooooooh... aku bermimpi." Tio Siau In berdesah dengan napas terengah-engah. Siau In mencoba meringkukkan tubuhnya, berlindung di dalam sampannya yang sempit, namun tetap saja ia menggigil kedinginan. Saat itulah Siau In baru ingat bahwa buntalan pakaiannya tertinggal ketika berselisih dengan pemuda kurang ajar yang mengintipnya itu. Teringat akan kekurangajaran Chin Tong Sia, Siau In menjadi merah kembali mukanya. Ingin rasanya ia membunuh pemuda tak tahu adat itu, yang enak saja mengintip orang sedang berganti pakaian.

   "Aaaah!" Siau In cepat-cepat membuang kenangan yang amat memalukan itu. Angin laut semakin kencang bertiup membuat Siau In semakin tak bisa memicingkan matanya kembali. Akhirnya gadis itu bangkit dari tidurnya. Dipandangnya air laut yang kini tampak tenang di dalam cerahnya sinar bulan. Dan otomatis matanya mencari-cari kalau-kalau terlihat A Liong di antara riak gelombangnya yang berkejaran ke arah pantai. Tiba-tiba hidung Siau In mencium bau dupa wangi, tapi ketika gadis itu mencoba mencari dari mana arah bau itu datang, mendadak bau itu hilang kembali. Tak terasa berdiri juga bulu roma Siau In. Matanya menatap kesana-kemari, kalau-kalau ada orang yang sedang membakar dupa sekitar tempat itu.

   "Jangan-jangan A Liong yang membakar dupa tapi..." Siau In berpikir keras. Timbul kembali harapan Siau In untuk menemukan A Liong. Bergegas ia bangkit dari duduknya, kemudian berjalan meninggalkan sampannya, menyusuri pantai itu menyongsong angin ke arah utara. Dan semakin jauh ia berjalan, bau dupa wangi itu semakin sering pula tercium oleh hidungnya. Ketika kemudian tepian berpasir itu terhalang oleh tebing tinggi yang menjorok ke laut, bau dupa itu semakin keras menyentuh hidung Siau In. Gadis itu lalu melangkah ke kiri, menyusuri tebing tersebut untuk mencari tempat yang landai agar dia bisa naik ke atasnya. Tapi semakin jauh ke darat tebing itu justru semakin curam dan tinggi, sehingga akhirnya Siau In memutuskan untuk merayapi tebing tersebut dengan ilmu meringankan tubuhnya.

   Untunglah dinding tebing itu tidak licin rata seperti tembok rumah. Selain banyak tumbuh-tumbuhan kecil yang bisa untuk berpegangan, dinding tebing itu sendiri banyak memiliki ceruk-ceruk ataupun tonjolan-tonjolan batu karang yang bisa untuk berpijak. Namun demikian tanpa memiliki ginkang yang tinggi rasanya sulit orang bisa merayap sampai di atas. Ternyata dataran di atas tebing yang menjorok ke tengah laut itu cukup luas juga. Bahkan di atasnya banyak tumbuh pepohonan rindang sampai hampir di ujungnya. Diam-diam merinding juga hati Siau In. Hembusan angin laut yang kuat itu membuat pohon-pohon itu bergoyang-goyang, sehingga dalam kerem angan sinar rembulan pohon-pohon itu bagaikan makhluk-makhluk hitam yang bernyawa. Sekarang bau dupa itu benar-benar terasa menyentak hidung Siau In. Malahan lapat-Iapat gadis itu seperti mendengar suara manusia pula.

   "Ada orang di ujung tebing itu. Coba kulihat ke sana..." Dengan mengendap-endap Siau In berjalan mendekati ujung tebing itu. Bau dupa wangi semakin menyengat hidungnya, membuat gadis itu menjadi makin berhati-hati. Ia tak pernah keluar dari bayangan semak maupun pepohonan yang gelap.

   Siau In terpaksa berhenti sebentar di bawah semak-semak yang paling akhir. Ujung tebing itu ternyata merupakan tanah bebatuan yang tak ada tumbuh-tumbuhannya sama sekali. Yang ada cuma batu-batu karang tajam berserakan di sana-sini. Dan persis di ujung tebing itu, di tempat yang kosong dari bebatuan, tampak belasan orang lelaki duduk berjajar, berderet-deret menjadi beberapa lapis, menghadap ke arah laut. Di depan mereka terlihat berbagai macam sesaji yang ditempatkan di atas nampan-nampan bambu. Masing-masing orang itu tampak memegang dupa yang terbakar, sehingga asapnya yang tebal bertebaran ditiup angin. Dengan mengendap-endap di antara batu-batu karang Siau In mendekati, orang-orang itu. Dalam jarak yang cukup dekat gadis itu berhenti. Dipandangnya punggung orang-orang itu dengan seksama.

   "Kelihatannya mereka bukanlah orang-orang persilatan. Mereka seperti orang-orang dusun biasa yang sedang mengadakan upacara sesaji kepada laut. Mungkin mereka terdiri dari keluarga-keluarga nelayan yang sedang meminta berkah kepada Dewa Laut, agar mereka selalu mendapatkan keselamatan serta memperoleh hasil ikan yang banyak setiap kali pergi ke laut" Siau ln menduga-duga di dalam hatinya. Siau In beringsut lebih dekat lagi agar ia bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

   "Oh, Dewi Bulan Yang Agung! Tolonglah kami sekali lagi untuk mengenyahkan setan dan hantu yang saat ini sedang meraja-lela mengganggu dusun kami, seperti ketika kau menolong kami membasmi para perompak yang menduduki dusun kami beberapa bulan yang lalu. Dan seperti juga ketika kau menolong kami mendamaikan pertengkaran serta pertempuran antar-dusun di daerah kami dua bulan yang lalu." Siau In melihat salah seorang di antara orang-orang itu berdiri meneriakkan doa-doanya, lalu berjalan ke ujung tebing diikuti oleh yang lain sambil membawa sesajian yang tadi ditaruh di depan mereka. Mereka melemparkan sesajian tersebut ke laut yang berdebur di bawah tebing itu. Setelah itu mereka mengelilingi tumpukan kayu kering yang telah dipersiapkan pula di tempat tersebut.

   "Kelihatannya mereka hendak membuat api unggun..." Siau In yang melihat tumpukan kayu itu membatin. Benar juga apa yang diduga Siau In. Orang yang meneriakkan doa-doanya tadi tampak memimpin lagi teman-temannya untuk membakar tumpukan kayu tersebut. Dan sebentar saja tumpukan kayu yang menggunung itu berkobar dimakan api. Tempat itu serentak menjadi terang-benderang karena lidah api menjilat sampai tinggi di udara. Untuk beberapa waktu orang-orang itu masih tetap berdiri di sekeliling api unggun, namun setelah api itu benar-benar berkobar dengan baik mereka lalu bersama-sama meninggalkan ujung tebing tersebut. Mereka berjalan satu-persatu seperti orang berbaris, dengan orang yang meneriakkan doa-doa sebagai pemimpinnya. Siau In segera bersembunyi ketika orang-orang itu lewat di dekat tempat persembunyiannya.

   "Mudah-mudahan sesaji kita yang ke tiga kalinya ini dapat dilihat dan diterima oleh Dewi Bulan, sehingga dia cepat-cepat datang menolong kita, Cung-cu (Kepala Kampung)..." salah seorang diantara mereka berkata penuh harap.

   "Mudah-mudahan saja begitu." orang yang memimpin doa tadi menjawab.

   "Ketika datang yang terakhir kalinya itu Dewi Bulan berpesan, kita disuruh membuat api unggun yang besar di tempat ini apabila menghendaki kedatangannya."

   "Tapi kita sudah tiga malam berturut-turut membuat api unggun di sini, ternyata dia belum juga datang menolong kita." yang lain berkata pula dengan nada kecewa.

   "Ah, kau jangan berkata begitu, Ji Tek." orang yang pertama membuka suara tadi memperingatkan temannya tersebut.

   "Bukankah Dewi Bulan itu juga mengatakan bahwa dia tidak mesti bisa datang oleh panggilan api unggun itu, karena mungkin dia berada di tempat yang jauh dari sini sehingga dia tidak bisa melihat kobaran api unggun kita."

   "Kau benar, Kok Siang. Mungkin saat ini Dewi Bulan memang tidak berada di sekitar pantai Laut Timur ini." orang yang disebut Cung-cu tadi membenarkan ucapan orang itu. Akhirnya rombongan itu menghilang di balik rimbunnya, pepohonan yang tumbuh di atas tebing tersebut. Tinggallah kini Siau In sendirian di tempat persembunyiannya, sibuk memikirkan kejadian yang baru saja dilihatnya itu.

   "Apa sebenarnya yang sedang dihadapi oleh orang-orang dusun itu? Mengapa mereka sampai mengadakan sesaji untuk memanggil Dewi Bulan? Dan... siapa sebenarnya yang mereka anggap sebagai Dewi Bulan itu? Masakan di atas bulan yang bersinar itu benar-benar ada seorang dewi yang mau turun ke bumi untuk menolong orang-orang itu?" Kejadian tersebut sungguh menarik perhatian Siau In, sehingga gadis itu untuk sementara menjadi lupa akan urusan A Liong.

   "Baiklah... akan kuikuti saja mereka! Akan kulihat, apa sebenarnya yang menjadi masalah mereka. Siapa tahu aku bisa melihat Dewi Bulan yang mereka harap-harapkan itu."

   Bergegas Siau In meninggalkan tempat persembunyiannya. Meskipun rombongan itu telah berada jauh. di depan, Siau In tetap melangkah dengan hati-hati, karena siapa tahu ada satu dua orang di antara mereka yang tertinggal. Demikianlah, dengan cara menyusup kesana-kemari di antara semak dan pepohonan, Siau In mengejar rombongan orang dusun itu. Ternyata di balik tebing yang tinggi itu terhampar lembah yang cukup subur. Malahan tampak pula di sana sebuah sungai kecil yang berkelok-kelok di antara tanah pertania. Beberapa "erombol perkampungan penduduk tampak berkelompok di kanan kiri sungai kecil tersebut. Sejenak Siau In terpesona menyaksikan pemandangan yang amat indah itu. Di bawah tebaran sinar rembulan yang terang-benderang lembah itu benar-benar seperti sebuah taman alam yang menakjubkan.

   "Nah... Itu mereka!" gadis itu berseru perlahan ketika melihat iring-iringan manusia ke luar dari semak-semak belukar di bawahnya. Dari atas tebing iring-iringan itu memang sangat jelas sekali. Mereka keluar dari semak belukar dan mulai berjalan berurutan di pinggir sungai. Siau In segera hendak beranjak dari tempatnya ketika tiba-tiba ia melihat bayangan orang di belakang rombongan orang dusun itu. Bayangan itu juga mengendap-endap pula seperti dirinya. Kadang-kadang berkelebat di antara bebatuan yang banyak terdapat di pinggiran sungai tersebut. Di bawah sinar bulan bayangan itu seperti seorang perempuan bongkok yang mengenakan jubah panjang sampai ke lutut.

   "Eh, siapa dia? Mengapa dia" mengikuti rombongan itu secara sembunyi-sembunyi pula? Apakah dia bermaksud buruk?"

   Sekarang Siau In benar-benar bergegas turun, mengejar orang-orang dusun itu. Hatinya sungguh-sungguh tergelitik untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka. Semakin dekat dengan mereka Siau In semakin meningkatkan kewaspadaannya, apalagi pinggiran sungai itu tidak banyak semak-semak yang bisa dipakai untuk bersembunyi. Ia hanya dapat mengandalkan ginkangnya untuk bergerak menyusup di antara bebatuan besar saja. Bayangan perempuan bongkok itu masih berkelebatan di depan Siau In. Perempuan itu tampaknya tak menduga kalau dirinya yang sedang diikuti orang, buktinya ia sama sekali tak pernah menoleh atau mengawasi keadaan sekitarnya. Perhatiannya cuma ke depan, ke arah rombongan orang-orang dusun itu saja. Namun demikian setiap bergerak atau berpindah tempat, gerakannya cepat bukan main.
(Lanjut ke Jilid 13)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 13
"Mati aku!" diam-diam Siau In berdesah di dalam hati.

   "Orang itu mempunyai ginkang yang sangat tinggi. Sekali saja aku salah langkah, orang itu tentu tahu kalau kuikuti." Menyadari kalau ginkangnya masih kalah dibandingkan dengan perempuan bongkok itu, maka Siau Inn semakin tidak berani terlalu dekat. Untunglah awan tebal lewat menutupi bulan sehingga suasana menjadi sedikit gelap. Ketika akhirnya di kejauhan mulai tampak sinar-sinar lampu minyak yang berkedip-kedip di kegelapan malam, Siau In menghela napas lega.

   "Itu tentu dusun yang mereka tuju..." gadis itu membatin.

   "Tampaknya dusun itu... eh, kemana perempuan bongkok tadi?" Siau In cepat-cepat meringkuk di balik sebuah batu besar, sementara matanya nanar melihat ke depan, mencari bayangan perempuan bongkok tadi, namun perempuan itu benar-benar tidak kelihatan lagi, bagaikan hantu tubuh bongkok itu seperti hilang begitu saja. Tak terasa meremang juga bulu tengkuk Siau In, sehingga untuk beberapa waktu lamanya ia tak berani menggerakkan tubuhnya, takut kalau-kalau perempuan bongkok itu berada di sekitarnya.

   "Hantuuuuu! Tolong...!" tiba-tiba terdengan jeritan di kejauhan. Siau In tersentak kaget, suara itu datang dari arah rombongan orang-orang dusun tadi dan benar juga, ketika Siau In memandang ke depan dilihatnya rombongan itu telah lari cerai berai. Masing-masing seperti berlomba untuk lebih dulu sampai ke dusun mereka. Mendadak sebuah bayangan berkelebat lewat tidak jauh dari tempat persembunyian Siau In. Gadis itu terkejut meskipun tidak begitu jelas, namun Siau In segera mengenalnya sebagai perempuan bongkok tadi.

   "Dia membawa sesuatu di punggungnya, seperti tubuh manusia! Eh, jangan-jangan perempuan itu telah menculik seorang dari rombongan itu!"

   Rasa ingin tahu membuat Siau In melupakan rasa takutnya, gadis itu segera meloncat mengejar bayangan perempuan bongkos tadi. Untunglah awan yang menutup bulan tadi telah bergeser, sehingga lembah itu kembali menjadi terang-benderang. Siau In melihat perempuan bongkok itu melesat cepat melintasi lembah itu, kemudian mendekati lereng bukit sebelah barat. Walaupun larinya jauh ketinggalan dari lawannya, tapi dengan pertolongan sinar rembulan Siau In masih dapat mengikuti terus kemana perempuan itu pergi, apalagi lembah tersebut merupakan tanah lapang dan tidak banyak ditumbuhi pepohonan tinggi. Namun Siau In sempat menjadi bimbang juga ketika sampai di kaki bukit itu, perempuan bongkok tadi sudah tidak kelihatan bayangannya lagi dari bawah dan Siau In khawatir perempuan itu telah menunggunya di atas bukit.

   "Ah, persetan! Aku akan melawannya kalau dia memang berada di sana." akhirnya gadis itu mengambil keputusan.

   Kemudian dengan sangat berhati-hati Siau In mendaki bukit itu. Segala kemampuan yang ia miliki ia persiapkan, kalau-kalau secara mendadak mendapat serangan dari perempuan itu. Tapi sampai di puncak bukit itu ternyata tidak terjadi apa-apa. Perempuan bongkok itu tidak menghadangnya, bahkan bayangannyapun sudah tidak kelihatan lagi. Sebaliknya justru ada hal lain yang lebih mengejutkan Siau In! Tanah lereng di balik bukit itu ternyata merupakan sebuah kuburan kuno yang luas sekali. Batu-batu nisannya, bangunan-bangunannya, benar-benar menunjukkan betapa sudah ratusan tahun umurnya. Banyak yang sudah roboh atau rusak, meskipun dahulunya bangunan itu kelihatan sangat kokoh dan kuat. Malahan ada beberapa di antara bangunan itu yang kini telah ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tinggi.

   "Melihat luas dan keadaan bangunannya, tampaknya kuburan ini adalah bekas kuburan orang-orang kaya dan orang-orang berpangkat di zaman dulu. Mungkin dahulu ada sebuah kerajaan di sekitar tempat ini." Bulan sudah jauh bergeser turun ke arah barat dan lapat-lapat juga sudah terdengar suara lonceng ditabuh tiga kali dari arah perkampungan penduduk. Hari telah menunjukkan pukul tiga pagi.

   Suara binatang malam juga sudah mulai berkurang, sementara embun pagi sebaliknya malah menjadi semakin tebal turun ke bumi. Kabut dingin tampak mulai mengepul menyelimuti tanah kuburan itu, namun demikian semua itu tidak menghalangi niat Siau In untuk mencari perempuan bongkok tadi. Selangkah demi selangkah gadis itu turun memasuki tanah kuburan tersebut. Langkahnya tetap berhati-hati, bahkan sebentar-sebentar selalu berhenti untuk mengamati keadaan lebih dahulu. Ternyata apa yang dilakukan oleh Siau In tersebut membuahkan hasil pula. Ketika untuk yang kesekian kalinya dia berhenti mengamati keadaan, tiba-tiba matanya menangkap sebuah gerakan di tengah-tengah kuburan itu. Sebuah bayangan tampak melintas di antara dua bangunan yang masih berdiri megah. Bayangan itu kemudian masuk ke salah satu dari bangunan megah tersebut.

   "Itulah dia perempuan bongkok tadi. Tak salah lagi. Tapi... apakah dia tinggal di tempat itu? Aaaaaaah!" Sekejap merinding juga bulu roma Siau In, dani otomatis bermacam-macam bayangan menakutkan melintas di dalam pikirannya.

   "Sebenarnya... sebenarnya dia itu manusia atau hantu? Kalau manusia biasa... Kenapa berada di tempat yang menyeramkan begini? Tapi kalau hantu, mengapa bisa menggendong orang dan berlari seperti manusia biasa? Ah, kepalang tanggung... sudah sampai di sini, masakan aku harus kembali lagi? Biar kulihat saja sekalian, hantu atau bukan!"

   Dengan bekal nekad Siau In beringsut sedikit demi sedikit mendekati bangunan tua itu. Semakin dekat perasaan Siau In juga semakin tegang, sehingga jantungnya hampir copot ketika dua ekor tikus tiba-tiba berlari melintas di depannya. Bangunan itu sudah retak-retak dindingnya, bahkan gentingnyapun juga sudah banyak yang pecah dan berlubang-lubang pula sehingga sorot sinar bulan dengan leluasa menerobos masuk menyibak rumput dan alang-alang, juga tampak meraja-lela di antara rekahan-rekahan dinding dan lantainya yang berlumut.

   "Benar-benar sebuah bangunan yang menyeramkan..." Siau In berdesah dengan bulu meremang. Dalam jarak lima tombak Siau In berhenti dan tidak berani maju lagi, khawatir bila secara mendadak perempuan bongkok itu keluar memergokinya. Kebetulan pula tempat di mana ia berhenti terdapat sebuah pohon tua yang besar dan rimbun daunnva, dari salah satu cabangnya menjulur panjang mendekati bangunan itu.

   "Sebaiknya aku naik ke atas pohon ini dan mengawasi bagian dalam bangunan itu dari atas genting." Tanpa menimbulkan suara Siau ln merayap mendekati pohoh tua itu, lalu memanjatnya perlahan-lahan. Gadis itu tidak berani melompat langsung ke dahan dengan ilmu meringankan tubuhnya, karena takut gerakannya justru bisa ditangkap oleh orang lain. Tapi dengan merayap seperti cecak sambil berlindung di antara sulur-sulur pohon tua yang memiliki batang sebesar perut gajah itu, tubuh Siau In justru terlindung serta tidak menarik perhatian. Sambil terus mengamati keadaan di sekelilingnya Siau In memanjat setapak demi setapak ke atas. Beberapa kali gadis itu terpaksa berhenti karena beberapa ekor kelelawar beterbangan di sekelilingnya. Tampaknya kelelawar-kelelawar itu merasa heran atas kehadiran seorang manusia di daerahnya.

   "Teeeeng! Teeeeng! Teeeeng! Teeeeng!" Terdengar lagi sayup-sayup suara lonceng dikejauhan memberikan tanda bahwa hari telah menunjukkan pukul empat pagi. Sambil menengadahkan kepalanya Siau In buru-buru mengulurkan tangan guna meraih cabang pohon di atasnya.

   "Aku harus cepat-cepat berlindung di balik dedaunan, siapa tahu... oooooh!" Dengan memekik kecil dan wajah pucat pasi Siau In cepat-cepat melepaskan pegangannya! Matanya nanar ketakutan, menatap seorang wanita muda bak bidadari yang duduk tersenyum bergantung kaki, persis di atas kepalanya! Benda yang dikira cabang pohon tadi ternyata sebuah kaki manusia, yang tak lain adalah kaki perempuan cantik yang kini duduk di atas cabang pohon itu!

   "K-k-kkau... siapa?" dengan suara gugup serta hampir tak terdengar Siau In bertanya.

   "Sssssst! kau duduklah dahulu di dekatku ini!" perempuan cantik bak bidadari itu berbisik merdu seraya menaruh jarinya yang lentik di depan bibirnya. Untuk beberapa saat Siau In berdiam diri, sementara matanya tak lekang dari wajah yang amat cantik itu. Akhirnya hilang juga rasa kaget, takut dan bimbang di dalam hati Siau In. Gadis itu segera menyadari bahwa ia benar-benar sedang berhadapan dengan seorang manusia biasa, bukan dengan hantu atau bidadari.

   "Ba-baiklah...!" Siau In lalu melompat ke cabang yang melintang di depan perempuan cantik itu. Mereka duduk berhadapan dalam jarak yang dekat, tidak lebih dari satu tombak, sehingga Siau In dapat dengan jelas memandang wajah lawannya. Wanita itu memang benar-benar luar biasa cantiknya. Wajahnya bulat telur dengan bentuk mata, hidung dan bibir yang amat sempurna. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit yang putih cemerlang seolah-olah bercahaya di dalam gelap. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul seperti puteri Istana, sementara tubuhnya yang lentur seperti pohon yang-Iiu" itu terbungkus mantel hitam yang panjang sampai di mata kakinya. Siau In menduga perempuan itu berusia di atas dua puluh atau dua puluh satu tahun.

   "Adik manis, kulihat sejak tadi kau berlari-lari, kemudian mengendap-endap seperti ada sesuatu yang kau kejar dan kau cari. Eeeem, bolehkah aku tahu siapa yang kau cari?" perempuan cantik itu memecah kebisuan dengan suara yang lirih namun sangat jelas diterima oleh telinga Siau In. Siau In tidak segera menjawab, ia masih tetap bercuriga terhadap perempuan cantik yang baru saja ditemuinya itu. Bahkan ada terlintas di dalam pikiran Siau In, jangan-jangan perempuan bongkok tadi adalah samaran dari perempuan cantik bak bidadari ini. Tampaknya perempuan cantik itu merasa pula kalau Siau In mencurigainya. Namun demikian ia tak menjadi marah atau berkecil hati karenanya, bahkan ia seperti bisa memakluminya. Pertemuan mereka itu memang sangat mengejutkan, aneh dan terasa kurang wajar!

   "Maaf. Adik manis. Aku bukan orang jahat, kau tidak perlu khawatir. Namaku... giok Hong, Souw Giok Hong!" dengan suara sabar dan lembut perempuan cantik itu mencoba meyakinkan Siau In. Siau In menghela napas panjang. Ucapan yang halus bernada jujur yang keluar dari bibir perempuan itu mulai menyentuh hatinya. Kecurigaannya menurun, walaupun ia masih tetap teringat akan pesan suhunya, agar ia selalu berhati-hati terhadap orang asing.

   "Aku... aku, ah, aku bernama Siau In. Tio Siau In..." akhirnya meluncur juga jawaban dari mulut Siau In.

   "Mmmm..." bibir perempuan cantik bernama Souw Giok Hong itu tersenyum lega.

   "Lalu... apa yang sedang kau cari di tempat seperti ini, In-moi?" Siau In menatap Souw Giok Hong sekejap. Perempuan cantik yang baru saja dikenalnya itu memanggilnya adik, seakan akan mereka telah menjadi sahabat akrab, sehingga Siau In semakin merasa tidak enak untuk bercuriga terus menerus.

   "Aku, aku... sebenarnya tidak mencari siapa-siapa. Aku... aku tersesat. Cuma, ketika aku memasuki makam kuno ini, aku seperti melihat berkelebatnya sebuah bayangan di bangunan itu sehingga aku ingin melihatnya. Emmmm, apakah Cici juga melihatnya?" Souw Giok Hong memandang bangunan yang ditunjuk oleh Siau In. Dahinya berkerut, lalu mengangguk perlahan. Meskipun demikian ia tak segera menjawab. Lebih dulu dia mengawasi Siau ln.

   "Ya, aku memang melihatnya. Bahkan aku sudah bersiap untuk mengejar bayangan itu, tapi... Niat itu segera kuurungkan karena aku melihat kedatanganmu. Eh, In-moi... apakah kau penduduk Lim-kang-cung itu?" Siau In menggeleng.

   "Cici maksudkan... dusun di pinggir sungai itu?" ujarnya menegaskan. Sikap Siau In sudah mulai longgar. Souw Giok Hong mengangguk, kemudian berpaling mengawasi langit yang mulai semburat kemerah-merahan. Fajar mulai menyingsing dan sebentar lagi matahari akan muncul dan peraduannya.

   "Pagi telah tiba. In-moi, aku pergi dulu. Lain kali kita berjumpa lagi..." tiba-tiba Souw Giok Hong berdesah, lalu tubuhnya yang terbungkus mantel hitam itu melayang ke bawah dan sekejap saja telah hilang di balik semak-semak belukar.

   "Cici, tunggu...!" Siau ln berseru kaget. Tapi perempuan cantik bak bidadari itu benar-benar telah pergi. Bayangannya seperti terhisap oleh kabut pagi yang mengepul menvelumuti kuburan kuno itu. Siau In tertegun di tempatnya. Wajahnya sedikit pucat dan diam-diam bulu romanya meremang. Perempuan cantik yang mengaku bernama Souw Giok Hong itu datang dan pergi bagaikan hantu malam. Sama sekali tak terlihat atau terdengar gerakan tubuhnya. Tahu-tahu seperti muncul atau menghilang begitu saja dan yang kini tertinggal hanyalah baunya yang harum semerbak tertiup angin. Siau ln bergegas turun dari pohon itu. Sebentar ia menoleh ke arah bangunan kuno di mana bayangan perempuan bongkok tadi malam menghilang.

   Dadanya berdebar-debar, kembali timbul keinginannya untuk melihat tempat tersebut mumpung hari telah terang tanah. Setelah menarik napas panjang beberapa kali untuk menguatkan hatinya Siau In melangkahkan kakinya ke bangunan kuno itu. Setiap langkah rasanya seperti menginjak lumpur liat yang kental, sehingga langkahnya terasa berat dan agak tertahan-tahan. Apalagi ketika sepatunya telah menginjak lantai pendapa yang berlumut tebal itu, Siau In seperti hendak mengurungkan niatnya saja. Bangunan itu memang benar-benar menyeramkan. Lantai dan temboknya yang telah pecah-pecah atau retak-retak itu banyak ditumbuhi alang-alang, rumput atau tetumbuhan perdu lainnya. Sementara genting dan susunan kayu penyangga atapnya juga sudah banyak yang kropos dan runtuh ke bawah, sehingga atap gedung itu tampak bolong di sana-sini.

   Ruang dalamnya yang terlihat dari luar karena pintunya telah hilang itu kelihatan pengab, kotor dan menyeramkan pula. Rasanya sudah bertahun-tahun, bahkan mungkin sudah berpuluh tahun ruangan dalam itu tak diinjak manusia. Keadaannya benar-benar porak-poranda. Tiba-tiba Tio Siau In terpekik kecil karena dua ekor ular mendadak melintas di dekat kakinya. Kedua ekor binatang menjijikkan itu saling berlumba untuk menangkap anak tikus yang lari ketakutan. Anak tikus itu melesat ke ruang dalam, diikuti oleh dua ekor ular pengejarnya. Mereka segera hilang di balik bongkahan-bongkahan batu bekas patung yang berserakan di dalam ruangan itu. Tio Siau In menghela napas sambil mengusap dadanya yang berdebar-debar.

   "Sialan! Mengagetkan orang saja!" sungutnya perlahan.

   Akibatnya Tio Siau ln mengurungkan niatnya memasuki pintu yang terbuka itu. Dia tak mau bertemu dengan ular-ular yang menjijikkan tadi. Langkahnya berbelok ke kanan, keluar dari pintu samping, lalu berjalan mengitari bangunan itu ke arah belakang. Tio Siau In ingin masuk ke dalam gedung itu dari pintu belakang. Sementara itu matahari benar-benar telah muncul di ufuk timur. Sinarnya yang terang keemasan itu segera mengusir sisa-sisa kegelapan yang masih bercokol di kuburan kuno itu. Tio Ciu In menjadi lega. Semangat keberaniannya seperti pulih kembali. Bagian depan dan belakang ternyata sama saja. Sama-sama rusaknya. Bahkan ruangan-ruangan yang ada di belakang hampir dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan berduri yang menjalar kemana-mana. Tio Siau In enggan masuk, takut ada ularnya lagi. Dia hanya menjulurkan kepalanya saja melalui lubang jendela.

   "Iiiih...! Tak ada tempat sedikitpun yang bersih dan lapang untuk lewat. Bagaimana mungkin perempuan bongkok itu dapat masuk ke sini?" gadis itu berdesah. Tio Siau In lalu mengelilingi bangunan itu. Dicarinya tempat yang kira-kira memungkinkan untuk masuk. Namun usahanya sia-sia, semua tempat juga penuh dengan onak dan duri. Malahan dinding gedung yang sebelah kanan hampir runtuh karena terbelah oleh pohon yang tumbuh melekat di dindingnya. Begitu besarnya pohon tersebut sehingga salah sebuah dahannya yang rimbun itu telah mengangkat sebagian dari atap gedung itu.

   Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, sudahlah! Lebih baik aku kembali ke pantai saja, atau...wah, perutku lapar!" mendadak gadis itu berseru perlahan ketika tiba-tiba dari balik alang-alang di depannya muncul tiga ekor kelinci yang gemuk-gemuk. Tanpa membuang waktu lagi Tio Siau In mengejar kelinci-kelinci itu. Tapi tampaknya binatang berbulu tebal itu sudah bercuriga sejak semula, sebab begitu Tio Siau In bergerak maka merekapun segera menghilang ke dalam semak-semak. Akan tetapi Tio Siau In juga tidak ingin kehilangan calon sarapan paginya. Semak itu segera diaduknya, sehingga kelinci itu terpaksa lari ketakutan.

   "Huup!" Salah seekor di antaranya cepat disambar oleh Tio Siau In. Kena. Namun dua ekor lainnya keburu menghindar dan menyusup ke semak-semak yang lain. Tio Siau In tidak berusaha mengejar mereka lagi. Seekor sudah cukup baginya. Demikianlah, tanpa membuang-buang waktu lagi ia menguliti buruannya. Sama sekali dia tak peduli bahwa dirinya masih berada di kuburan. Panas matahari yang semakin terik itu membuatnya tidak takut akan segala macam hantu, termasuk pula hantu perempuan bongkok itu.

   Yang penting baginya adalah mengisi perutnya yang lapar. Sebentar saja bau sedap daging kelinci bakar memenuhi tempat itu. Dan Tio Siau In dengan gayanya yang bebas dan sedikit urakan menyantap daging yang telah matang. Sambil berdiri menopangkan sebelah kakinya di atas batu nisan (bong-pai), gadis itu berkacak pinggang seraya mengunyah makanannya. Sama sekali ia tak berusaha menutupi decak mulutnya yang penuh daging itu. Tanpa kehadiran sang kakak di sampingnya, Tio Siau In memang merasa bebas dan merdeka. Segala tingkah lakunya tiada yang mencela atau memarahinya. Wataknya memang bebas terbuka dan tidak pedulian. Bahkan cenderung untuk bersikap seenaknya sendiri. Sepotong demi sepotong daging kelinci itu amblas ke dalam perutnya. Namun demikian ketika daging itu telah habis, perutnya masih terasa kurang.

   "Memalukan benar! Masakan sudah menghabiskan seekor kelinci perut ini masih belum kenyang juga? Wah, kalau cici ada... tentu sudah marah-marah kepadaku." gumamnya sambil mengendorkan tali celananya. Karena masih merasa lapar Tio Siau In mulai mengincar dua ekor kelinci tadi. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati semak-semak di mana kedua kelinci tadi bersembunyi. Dan gerumbul perdu yang menutupi gundukan tanah sebuah makam itu disingkapnya hati-hati. Lalu dengan merangkak ia menyusup di bawah dedaunan yang rimbun itu untuk mencari buruannya. Diam-diam Tio Siau In tersenyum geli sendiri. Semak itu ternyata hanya rimbun di bagian atas saja, karena di bagian bawah amat longgar, mengingatkan dia pada ayam-ayam piaraannya yang suka bersembunyi dan bertelur di semak-semak seperti itu.

   "Tampaknya aku juga seperti ayam-ayamku itu. Sehabis makan kenyang, lalu mencari tempat tersembunyi untuk... bertelur! Hehehe, rasanya aku juga ingin... buang air besar! Heeei? Apa itu?" Mata Tio Siau In terbelalak. Di depannya tampak sebuah lubang persegi setinggi satu meter, menembus ke dalam tanah. Di dalam bayang-bayang rimbunnya daun, lubang itu menganga bagaikan mulut raksasa yang hendak mencaplok dirinya.

   Tio Siau In segera bisa menduga bahwa lubang itu merupakan pintu masuk ke dalam kuburan di bawahnya. Zaman dahulu, terutama orang-orang kaya, memang sering membuatkan kamar-kamar atau ruangan-ruangan yang lengkap dengan segala perabotnya di dalam makam sanak familinya. Ruangan-ruangan itu bisa dibuatkan di dalam tanah, di bawah gundukan makamnya, atau bisa juga dibangun di atas kuburan itu, berwujud seperti pondok atau rumah biasa. Perlahan-lahan Tio Siau In mundur kembali. Entah mengapa bulu romanya terasa meremang membayangkan apa yang ada di dalam lubang kuburan itu. Namun baru saja dia beringsut beberapa langkah, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah banyak orang mendatangi tempat itu. Terpaksa dia merangkak ke tempat semula, bahkan lebih dekat lagi dengan pintu makam yang menganga itu. Hati-hati ia mengintip dari balik rimbunnya daun.

   "Nah... Inilah dia, Tuan! Dia benar-benar bersembunyi di sini! Baru saja dia membakar daging di tempat ini! Dia tentu melihat kedatangan kita...!" Tio Siau In beringsut semakin dalam dan tanpa ia sadari ia telah bersandar di bibir pintu makam itu. Dari tempatnya itu ia masih bisa melihat orang-orang yang baru saja datang. Mereka terdiri dari tujuh orang lelaki, di mana empat orang di antaranya ternyata telah pernah dilihat olehnya.

   "Ah, mereka orang-orang kampung yang mengadakan upacara di atas tebing itu. Hanya tiga orang aneh berpakaian putih-putih itu saja yang belum pernah kulihat. Siapakah mereka?" Tio Siau In berkata di dalam hatinya.

   Tiga lelaki yang dimaksudkan oleh Tio Siau In itu memang berpenampilan aneh dan agak menyeramkan. Selain pakaian berwarna putih yang mereka kenakan itu dibuat dari kain kasar yang biasa digunakan untuk membungkus mayat, rambut mereka yang panjang itu juga mereka biarkan terurai lepas pula. Usia mereka rata-rata belum mencapai empat puluh tahun, namun karena wajah mereka sangat pucat dan kurus seperti orang yang sedang menderita penyakit berat, maka mereka kelihatan lebih tua. Tapi yang paling membuat seram di hati Tio Siau In adalah pancaran sinar mata mereka. Mata yang cekung dan menjorok ke dalam itu bersinar dingin menyeramkan, seperti mata hantu di kegelapan malam.

   "Kalian cepatlah menyingkir! Aku masih membaui kehadirannya di tempat ini... tiba-tiba salah seorang dari lelaki menyeramkan itu menggeram dengan suaranya yang serak.

   "Tapi... tapi kuharap Tuan berhati-hati menghadapinya. Hantu Bongkok itu masih membawa teman kami..." Lelaki menyeramkan itu mendengus dingin, lalu berpaling ke arah teman-temannya.

   "Sute, bersiaplah! Tampaknya kali ini kita benar-benar beruntung bisa menemukan persembunyian budak perempuan dan pengasuhnya itu!" katanya serak penuh harap.

   "Baik, suheng! Kita harus bisa menangkap dia dan mengambil kembali pusaka yang dicurinya!" Sementara itu Tio Siau In menjadi bingung di tempat persembunyiannya. Dia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Dia tak mengenal mereka dan tak tahu siapa mereka pula. Tapi kalau mereka bertiga benar-benar mengobrak-abrik tempat itu untuk menemukan perempuan bongkok, otomatis mereka akan menemukan dirinya juga.

   "Daripada mereka menemukan aku bersembunyi di sini, lebih baik aku mendahului keluar menemui mereka." katanya di dalam hati. Tio Siau In lalu mengerahkan tenaga saktinya untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

   Kemudian diperiksanya kedua pedang pendek yang terikat di dalam lengan bajunya. Akan tetapi ketika dia hendak bangkit dari tempatnya, tiba-tiba sebuah totokan membuatnya lemas tak berdaya. Tio Siau In ingin berteriak, tapi mulutnya tak kuasa mengeluarkan suara. Ia hanya mampu terbelalak mengawasi seorang wanita tua yang menyeretnya ke dalam lubang makam itu. Entah mengapa, mendadak saja hatinya menjadi ketakutan setengah mati. Ia seperti sedang dijemput oleh Giam-lo-ong untuk dibawa ke Akherat. Semuanya gelap gulita dan Tio Siau In merasakan seperti diseret melalui lorong-lorong yang berliku-liku. Kadang-kadang seperti melalui sebuah pintu dan memasuki sebuah ruangan, tapi kadang-kadang juga seperti menaiki atau menuruni sebuah tangga pula. Lama sekali rasanya Tio Siau In diperlakukan seperti itu.

   Dibawa setengah diseret, berputar-putar naik turun tangga, tanpa sedikitpun wanita tua itu berbicara kepadanya. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat seolah-olah dia bisa melihat di tempat gelap. Akh! Tio Siau In baru menyadari keanehan itu! Dia yang masih muda saja sama sekali tak bisa mempergunakan matanya untuk menembus kegelapan itu, tapi mengapa wanita tua itu malah bisa berjalan dengan lancar seperti di tempat terang saja? Keringat dingin membanjir membasahi tubuh Siau In. Bagaimana kalau wanita tua itu mendadak meninggalkannya di tempat itu? Bagaimana ia bisa keluar nanti? Dan bagaimana kalau ia ditinggalkan di antara mayat-mayat atau tulang-belulang yang tentu banyak terdapat di dalam makam itu? Brug! Tiba-tiba Tio Siau In merasa tubuhnya diletakkan dengan kasar di atas lantai yang dingin. Lalu terdengar suara langkah wanita itu meninggalkannya.

   Tio Siau In mau berteriak sekeras-kerasnya, tapi suaranya tetap tak bisa keluar! Otot gagunya masih terkunci oleh totokan wanita itu. Lalu dicobanya untuk membebaskan totokan yang membelenggu kaki dan tangannya. Tak berhasil juga. Rasa takut mulai merayapi hatinya. Apalagi ketika hidungnya menangkap bau busuk di sekitarnya. Bayangan mayat yang menakutkan itu seolah-olah telah menjadi kenyataan. Hampir saja Tio Siau In menangis ketika mendadak ada seberkas cahaya memasuki tempat itu. Dan semakin lama cahaya itu semakin banyak sehingga tempat tersebut menjadi semakin terang pula. Namun berbareng dengan itu terdengar juga suara langkah kaki mendatangi. Wanita tua itu ternyata telah datang kembali ke tempat itu sambil membawa obor besar di tangannya.

   "Oooouuh!" Tio Siau In menjerit kecil ketika wanita itu membebaskan totokannya.

   "Berdirilah!" wanita tua itu memerintah dengan suaranya yang berat mengerikan.

   "Kkkau... siapa?" Tio Siau In berdesah ketakutan. Wajah yang menyerupai mayat hidup itu menyeringai.

   "Diam... Kau!" hardiknya. Wanita itu lalu meletakkan obornya di pojok ruangan. Sekali lagi matanya yang cekung itu berkilat ke arah Tio Siau In.

   "Kau tunggu sebentar di sini dan jangan pergi kemana-mana!" Selesai berbicara wanita itu tiba-tiba menghilang. Tubuhnya yang bongkok itu seperti tertelan oleh kepulan asap obor. Tio Siau ln menggigil ketakutan. Meskipun demikian kakinya bergegas melangkah mengitari ruangan itu untuk mencari pintu keluar. Tapi usahanya sia-sia. Ruangan itu sama sekali tak berpintu. Keempat dindingnya tertutup rapat. Bahkan Tio Siau ln juga tidak melihat sebuah lubang anginpun di sana.

   "Lalu... dari mana wanita itu bisa keluar masuk ruangan ini?" Tio Siau In berdesah ngeri. Obor yang berada di pojok ruangan itu diambilnya, kemudian dicobanya kembali mencari jalan keluar. Di pojok yang lain ia melihat lima buah peti mati yang telah terbuka tutupnya. Dilihatnya mayat yang ada di dalamnya tinggal tulang-tulangnya saja.

   "Ooooh... bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini? Apakah aku harus mati sia-sia di dalam lubang kuburan yang gelap dan mengerikan ini?" Gadis itu lalu menjatuhkan dirinya di atas lantai. Seluruh tubuhnya merasa lemah lunglai. Serasa hilang semua harapan dan kini tinggal menanti maut yang akan menjemputnya. Tak terasa air matanya mengalir. Timbul rasa sesal di hatinya. Ternyata dia terlalu menuruti kemauannya sendiri. Coba kalau kemarin dia tidak ngambek dan pergi meninggalkan kakaknya, dia tentu tidak akan mengalami kejadian seperti ini.

   "Cici...!?" ratapnya sedih.

   * * *

   Ternyata di kota Hang-ciu, Tio Ciu In sendiri juga tidak kalah sedihnya. Sejak Siau In pergi, gadis ayu itu sama sekali tidak bisa memicingkan matanya. Bagaimanapun juga dia merasa bersalah atas kepergian adiknya. Dan dia harus mempertanggung-jawabkan hal itu di depan gurunya. Demikianlah, ketika akhirnya korban kebiadaban orang-orang Hun itu dibawa ke kota, maka suasana di-kotapun lalu berubah menjadi gempar. Korban yang berjumlah lebih dari empat puluh jiwa itu disemayamkan berjajar di pendapa Kabupaten.

   Semua orang menjadi sibuk. Bupati, sebagai penguasa tertinggi di kota itu segera mengumpulkan pembantunya. Mereka segera berembuk dengan para petugas keamanan daerah, serta para utusan dari Kotaraja yang kebetulan belum meninggalkan kota itu! Mereka benar-benar menjadi penasaran atas kejadian itu. Memang semua orang sangat penasaran. Mereka ingin tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi di pantai malam itu? Dan mereka juga ingin tahu pula, siapakah orangnya yang begitu berani membantai para perwira dan prajurit itu? Ternyata Liu Wan juga merasa penasaran pula. Pemuda itu akhirnya juga membatalkan niatnya untuk meninggalkan kota itu. Pemuda yang setiap harinya selalu menyamar sebagai Tabib Ciok itu juga ingin memastikan, apakah pembantaian itu juga dilakukan oleh Mo Goat seperti yang dikatakan Jeng-bin Lokai?

   

Memburu Iblis Eps 13 Memburu Iblis Eps 20 Memburu Iblis Eps 36

Cari Blog Ini