Pendekar Budiman 2
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Adapun nyonya Liang Ti sendiri lalu kembali ke kampung orang-tuanya di mana ia hidup menjanda sambil menanti kembalinya puterinya dengan penuh harapan. Setelah kakek Tan Seng menyerahkan Bi Lan yang baru berusia dua tahun lebih itu kepada suheng suhengnya di kuil Thian seng si di puncak Gunung Hoa san, ia lalu turun gunung untuk menggabungkan diri dengan para patriot. Akan tetapi, perbuatan Kaisar terhadap Jenderal Tsung Ce membuat harinya menjadi tawar dan dingin. Maka kembalilah dia ke Hoa san dan membantu suheng suhengnya untuk mendidik Bi Lan, puteri dari mendiang Liang Ti. Sampai belasan tahun, rakyat masih mengadakan perlawanan gigih terhadap penyerbuan tentara Kin. Akan tetapi, karena Kaisar tidak menyetujui kenekatan rakyat yang mempertahankan daerah masing-masing, maka perlawanan rakyat itu kurang sempurna dan balatentara Kin yang banyak dibantu oleh orang-orang pandai berjiwa pengkhianat, terus mau menyerbu ke selatan.
Dalam masa inilah munculnya pahlawan pahlawan termasuk pahlawan besar Gak Hui yang tercatat dengan tinta emas dalam buku sejarah Tiongkok. Agaknya kurang sempurnalah kalau dalam cerita ini kita tidak mengenang pahlawan bangsa yang besar ini dan mengikuti riwayatnya secara singkat sebelum melanjutkan inti cerita. Gak Hui adalah seorang keturunan petani yang sederhana dari kota Tang yin di Propinsi Honan. Semenjak bala tentara Kin menyerbu ke selatan, ia telah aktip dalam perlawanan sehingga kemudian ia diakui sebagai seorang pemimpin yang cakap. Ia adalah seorang patriot sejati yang amat mencinta tanah airnya dan yang karenanya mempunyai kebencian hebat terhadap musuh. Semua perajuritnya terdiri dari pada petani petani utara yang patuh terhadap disiplin dan peraturan yang diadakan dengan keras oleh Gak Hui.
"Lebih baik mati kelaparan atau kedinginan dari pada mengambil milik rakyat jelata!" demikian bunyi sumpah mereka. Oleh karena ini barisan yang dipimpin oleh Gak Hui amat dihormat dan dicinta oleh rakyat.
Di mana-mana mereka berada, mereka membantu penduduk kampung dan karenanya disambut dengan hangat oleh rakyat, dan mendapat dukungan rakyat kecil. Pasukan manakah yang takkan menjadi kuat setelah mendapat simpati dan dukungan rakyat, sumber kekuatan masa itu? Akhirnya Gak Hui dapat bergerak maju memukul pasukan musuh, dan tiba di lembah Kuning di mana ia lalu menggabungkan diri lengan patriot patriot dari Pegunungan Tai hang. Juga hubungan dengan patriot patriot lain, diantaranya di Hopei, diadakan sehingga kedudukan mereka makin kuat. Dengan kerja sama yang amat baik, mereka dapat melakukan pukulan lebih cepat terhadap musuh. Alangkah baiknya persatuan antara tentara akyat dan tentara pemerintah Sung Selatan yang mempunyai tujuan satu, yakni mengusir musuh dari tanah air.
Demikianlah, dalam tahun 1140 fihak Kin mengalami pukulan besar dan hebat seperti yang belum pernah mereka rasakan. Pukulan ini dirasakan oleh seorang komandan tentara Kin yang amat terkenal dan yang bernama Bucu (Wuchu). Ia memimpin bala tentaranya ke selatan dan mula mula menerima pukulan dari pasukan Jenderal Liu Ti di Shuncang Propinsi Anhwi. Dalam pada itu, lain panglima Kerajaan Sung Selatan yakni Wu Lin, mehkukan gempuran hebat pula pada pasukan Kin di Kufeng di Propingi Shensi. Pada saat itulah Gak Hui bergerak dan menyerbu dari Siang yang di Propingi Hupeh. Dengan serangan berantai ini, bala tentara Bucu dapat dipukul hancur dan di cerai beraikan. Barisan yang dipimpin oleh Gak Hui terus mengejar musuh dan setelah terjadi pertempuran hebat sekali di Yen ceng (Propingi Honan) maka rusak binasalah bala tentara yang dipimpin oleh Bucu.
Kemenangan besar ini membangkitkan semangat para patriot. Mereka hendak mengejar terus untuk mengusir penjajah dari tanah air, akan tetapi pada saat kemenangan total berada di ambang pintu, Kaisar Kao Tsung memerintahkan penarikan mundur semua pasukan! Gak Hui, seperti lain lain patriot, adalah orang gagah yang setia, maka tentu saja tidak berani membantah perintah dan komando tertinggi ini. Ditarik mundurlah semua tentara sehingga Bucu dapat menarik napas lega karena terlepas dari pada kehancuran total. Pada waktu itu yang memiliki kekuasaan besar di istana Kaisar adalah Perdana Menteri Jin Kui. Perdana Menteri durna ini bersama Kaisar merasa amat gelisah, karena mereka ini diam-diam telah mengadakan kontak dengan Bucu, pemimpin bala tentara Kin itu.
Pengaruh Gak Hui yang besar terhadap rakyat dan kemenangan kemenangannya membuat Kaisar dan perdana menterinya ketakutan kalau Gak Hui akan menjadi makin kuat dan bersekutu dengan patriot patriot utara sehingga membahayakan kedudukan mereka sendiri. Maka mereka lalu memerintahkan penarikan mundur semua pasukan, bahkan memanggil Gak Hui dan lain lain jenderal dan panglima patriotik, menggantikan kedudukan mereka dengan orang-orang sendiri! Sementer" itu, Bucu mengirim surat rahasia kepada Jin Kui, menyatakan bahwa kalau Gak Hui tidak dibunuh, tak mungkin akan ada "perdamaian" sebagaimana yang dicita-citakan oleh Kaisar bersama Kerajaan Kin. Kaisar mempergunakan kekuasaannya dan Gak Hui ditangkap! Ketika semua orang sedang terkejut dan hendak memprotes, tahu-tahu Gak Hui telah dibunuh mati di dalam penjara atas perintah perdana menteri!
Demikianlah, secara pengecut sekali dan demi menjaga kesenangan sendiri, orang-orang yang menganggap diri sebagai "pemimpin-pemimpin" ini telah bersekutu dengan Kin dan negara dibagi dua. Mulai dari lembah utara Sungai Huai dan Terusan Tasan kuan di Propingi Shensi menjadi daerah kekuasaan Kin. Di samping itu, Kerajaan Sung masih, diwajibkan membayar upeti tahunan sebanyak dua ratus lima puluh ribu tail perak dan dua ratus lima puluh ribu kayu kain sutera kepada Kin!
***
Tujuh belas tahun telah lewat semenjak pahlawan Go Sik An tewas digantung oleh tentara Kin. Pada suatu pagi di Pegunungan Tapie san yang terletak di sebelah selatan Sungai Huai, hawa udara pagi hari itu amat dinginnya dan bagi orang-orang kaya, tentu pada hari sepagi dan sedingin itu masih amat malas meninggalkan pembaringan. Akan tetapi tidak demikian dengan kaum miskin, terutama kaum tani yang rajin. Sebelum matahari terbit, kaum tani telah meninggalkan rumah, membawa alat cocok tanam dan bagaikan tentara maju ke medan pertempuran, mereka juga berangkat ke medan juang yang bagi mereka tempatnya di tengah-tengah sawah ladang meluas. Akan tetapi, dari sebuah dusun pertanian yang berada di lereng Gunung Tapie san sebelah selatan, serombongan petani terdiri dari belasan orang laki-laki berjalan berkelompok mengikuti seorang pemuda yang berjalan di depan mereka,
Memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan batu batu karang yang kokoh kuat. Dari dalam hutan itu terdengar suara suara keras menyeramkan, suara binatang binatang hutan yang buas. Tidak mengherankan apabila belasan orang petani itu saling pandang dengan mata terbelalak ketakutan dan biarpun hawa udara pagi itu amat dingin, mereka semua ajaknya selalu merasa gerah! Mereka berjalan di belakang pemuda itu dengan kaki selalu bersiap sedia untuk sewaktu waktu melarikan diri dan memutar tubuh meninggalkan tempat berbahaya itu. Hanya kedua kaki mereka saja yang dipaksa maju padahal semangat mereka sudah mundur ketika mendengar suara geraman srigala dan harimau hutan.
Akan tetapi, pemuda yang berjalan di depan rombongan orang-orang ini, nampak tersenyum-senyum tenang dan tindakan kakinya yang ringan dan tetap itu membuat tubuhnya nampak seperti seekor singa berjalan. Langkahnya tetap, tubuhnya lurus dengan dada yang bidang. Tubuhnya tinggi tegap dan kelihatan kuat sekali dan wajahnya membayangkan kegagahan. Benar-benar seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah. Ia memakai topi berwarna biru dan sepatunya yang hitam terbuat dari pada kulit. Yang aneh adalah pakaiannya. Celananya biru dan biasa saja, akan tetapi bajunya yang aneh. Baju itu terbuat dari pada sutera halus, berwarna kuning dengan kembang kembang besar warna merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang bersarungkan kain bersulam dan gagang pedang itu nampak bersih mengkilap dengan kain ronce warna merah.
Usia pemuda ini paling banyak dua puluh tahun, akan tetapi sepasang matanya memiliki daya yang amat berpengaruh yang membuat orang tidak berani memandang rendah kepadanya. Siapakah pemuda yang tampan dan gagah Ini? Pembaca tentu dapat menerkanya, melihat dari pakaiannya yang berkembang itu. Memang benar, dia adalah Go Ciang Le putera dari mendiang Go Sik An, sasterawan ahli silat itu! Seperti telah diceritakan di bagian depan tujuh belas tahun yang lalu, ketika Ciang Le oleh ibunya ditinggalkan seorang diri di dalam kuil tua dan ketika kakek anak ini, yaitu Tan Seng, datang hendak mengambilnya, anak ini telah lenyap tak meninggalkan bekas. Siapakah yang menculik anak itu dan siapa pula yang mencuri jenazah Go Sik An dan isterinya secara demikian anehnya?
Yang melakukannya adalah sepasang iblis manusia yang disebut di kalangan kang ouw Thian te Siang mo (Sepasang Iblis Bumi Langit), dua orang-tua yang luar biasa dan aneh sekali. Mereka ini diwaktu mudanya merupakan dua orang penjahat yang ganas sekali, sepasang saudara kembar yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya. Boleh dibilang hampir seluruh cabang persilatan telah didatangi oleh sepasang saudara kembar ini dan di setiap perguruan silat mereka mengacau, menantang ketuanya untuk mengadakan pibu dan merobohkan mereka! Tak seorangpun tahu dari mana asalnya sepasang manusia seperti iblis ini dan juga tidak ada yang tahu siapakah yang mengajar ilmu silat selihai itu kepada mereka. Sebetulnya kalau orang melihat keadaan mereka, yang jarang sekali terjadi karena gerakan mereka memang cepat laksana bayangan iblis, mereka itu tidak kelihatan seperti iblis.
Kedua kakek ini berpakaian serupa, pakaian pendeta Tao yang panjang berwarna kuning keemasan dengan jenggot panjang dan rambut kepala di gelung ke atas seperti umumnya para tosu memelihara rambut mereka. Juga wajah mereka tidak buruk atau nampak jahat, hanya sepasang mata mereka saja yang bersinar kocak dan seperti mata kanak kanak yang nakal. Yang menarik adalah persamaan kedua orang itu. Sukarlah bagi orang lain untuk dapat membedakan. Yang tertua diantara sepasang iblis kembar ini disebut Thian Lo-mo (Iblis Tua Langit) dan yang muda disebut Te Lo-mo (Iblis Tua Bumi). Yang tua atau Thian Lo-Mo terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya yang jarang dapat menemukan tandingannya, ditambah pula dengan kehebatannya mainkan senjata rahasia dari segala macam senjata gelap (am-gi).
Adapun Te Lo-mo terkenal dengan ilmu pedangnya, dengan pedang pusakanya yang mengeluarkan cahaya keemasan. Sebetulnya Thian Lo-mo juga memiliki ilmu pedang yang seperti dimiliki oleh adiknya, akan tetapi Iblis Langit ini tidak suka mempergunakan pedang, lebih suka mengandalkan sepasang kaki tangannya. Ilmu pedang mereka disebut Kim-kong Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Sinar Emas). Thian-te Siang-mo belum lama menjadi tosu (pendeta Agama Tao). Tadinya mereka adalah orang-orang yang sejahat-jahatnya, yang menganggap perbuatan jahat sebagai semacam hobby (kebiasaan yang disuka). Setelah mempelajari Agama Tao dan mulai hidup sebagai pertapa, insyaflah mereka bahwa apa yang mereka lakukan dalam hidup selama itu bukanlah jalan yang benar.
Oleh karena itu menyesallah mereka, dan kedua saudara kembar ini lalu berjanji hendak memupuk perbuatan baik sebagai penebus dosa-dosa mereka yang lalu. Demikianlah, ketika di dalam perantauan mereka, kedua orang kakek ini tiba di Kaifeng dan melihat betapa pahlawan Go Sik An yang terkenal itu dihukum gantung dan keluarganya menghadapi ancaman hebat, mereka berdua lalu turun-tangan. Te Lo-mo mengamuk dengan pedangnya yang merupakan sinar kuning emas, lalu berhasil mencuri jenazah Go Sik An dan istrinya dan mengusir orang-orang yang mengeroyok kakek Tang Seng. Kemudian Te Lo-mo ini lalu bertemu dengan kakaknya yang telah pergi mengambil Ciang Le di kuil tua. Kedua orang kakek kembar yang luar biasa ini memang telah lama melakukan suatu pekerjaan yang mengerikan yang mereka anggap sebagai perbuatan baik.
Mereka mencuri jenazah-jenazah orang-orang gagah yang tewas dalam perang melawan bala tentara Kin, lalu mengumpulkan jenazah-jenazah itu di dalam sebuah gua besar di puncak gunung! Mereka memberi nama gua ini Gua Pahlawan. Demikian pula dengan jenazah Go Sik An dan Tan Ceng, oleh kedua orang manusia iblis ini di bawa ke Gua Pahlawan. Gua ini mulutnya hanya selebar dua kaki dan setinggi satu setengah orang, akan tetapi apabila orang masuk ke dalam makin lama makin besar dan tinggi sekali. Kedua orang kakek ini membawa jenazah-jenazah itu ke dalam gua, adapun Ciang Le yang dipondong Thian Lo-mo telah menghentikan tangisnya karena tahu bahwa tangis itu tiada gunanya, tidak dapat mendatangkan ayah bundanya atau kakeknya.
Setelah masuk kedalam gua, keadaan di situ gelap sekali dan tercium bau yang tidak enak sekali dari dalam gua. Akan tetapi Thian-te Siang-mo agaknya tidak terganggu oleh bau ini dan mata mereka seperti sudah biasa di dalam gelap. Dengan hati-hati Te Lo-mo lalu menurunkan kedua jenazah yang dikempitnya menyandarkan sepasang suami istri yang sudah menjadi mayat itu pada dinding gua. Kemudian keduanya terus maju ke sebelah kanan dimana merupakan dinding batu karang yang amat keras. Te Lo-mo menekan sepotong batu yang menonjol dan terbukalah sebuah pintu pada dinding sebelah kanan itu. Pintu inipun sempit saja, hanya dapat dimasuki oleh seorang. Akan tetapi begitu pintu terbuka, Nampak cahaya masuk dari pintu itu.
Mereka lalu membawa Ciang Le masuk ke dalam gua sebelah kanan dan menutup pintunya. Didalam ternyata amat bersih dan mempunyai pintu dan jendela yang menembus ke lereng gunung. Amat indah pemandangan dari jendela gua itu dan ruangan gua ini amat luas. Disinilah tempat tinggal dan tempat bertapa sepasang kakek luar biasa ini. Demikianlah, semenjak saat itu, Go Ciang Le menjadi murid terkasih dari Thian-te Siang-mo (Sepasang Iblis Langit Bumi). Karena diri sendiri sudah tua dan sudah bosan berursan denganperkara-perkara dunia, kedua orang kakek ini hendak menebus dosa dengan menurunkan seluruh kepandaian mereka kepada murid tunggal ini, agar kelak murid mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik sehingga mereka ikut berjasa dan dapat mengurangi dosa-dosa yang terdahulu.
Sedikit demi sedikit, Ciang Le diceritakan tentang segala macam dosa yang diperbuat kedua orang gurunya dan mendengar betapa kedua orang gurunya itu merasa menyesal sekali. Bekali-kali kedua orang iblis itu minta Ciang Le bersumpah bahwa kelak murid ini akan menebus dosa guru-gurunya dan akan menjadi seorang budiman selama hidupnya! Memenuhi pesan terakhir dari Tan Ceng tentang pakaian, kedua orang kakek ini lalu mencarikan baju berkembang untuk murid mereka sehingga semenjak kecil Ciang Le sudah memakai baju berkembang. Kedua gurunya berpesan bahwa murid ini selamanya harus memakai baju berkembang seperti itu, dengan dasar kuning dan berbunga merah seperti baju yang dipakai pada saat terakhir oleh Go Sik An!
Juga Ciang Le mendengar penuturan guru-gurunya tentang kedua orang-tuanya, maka sering kali anak ini mengunjungi dua tengkorak di depan untuk duduk di dekat rangka rangka ayah bundanya. Bagi Ciang Le, ruangan yang gelap dan penuh rangka manusia itu merupakan tempat yang menyenangkan! Sering kali ia bicara seorang diri ditujukan kepada kerangka kerangka ayah bundanya, sehingga kalau orang lain melihatnya berhal demikian, tentu ia akan dianggap seorang yang miring otaknya. Betapapun gagah perkasanya Thian te Siang mo dan betapapun banyaknya ilmu yang mereka miliki, akhirnya setelah melatih dan menggembleng Ciang Le selama enam belas tahun lebih, habislah semua kepandaian mereka diturunkan kepada Ciang Le!
"Muridku, kata Thian Lo-mo ketika menyatakan kepada muridnya bahwa pemuda itu telah tamat belajar.
"semua ilmu silat yang kami miliki, telah kami ajarkan semua kepadamu Bahkan sedikit ilmu surat juga telah kau pelajari. Usiamu sudah sembilan belas tahun lebih, maka sudah sepantasnya kalau sekarang kau turun gunung untuk mewakili kami menebus dosa! Hanya ada satu macam ilmu pukulan yang belum kau pelajari, ialah ilmu pukulan yang sedang kami ciptakan berdua, yang disebut Thian te Siang mo Ciang hwat. Ilmu pukulan ini sedang kami sempurnakan, sedikitnya makan waktu setahun lagi baru sempurna. Ilmu pukulan ini amat berbahaya, muridku dan agaknya akan melebihi semua ilmu silat yang telah kau miliki. Akan tetapi, biarlah kelak saja kami ajarkan kepadamu."
(Lanjut ke Jilid 02)
Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 02
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Jilid 02
"Dan pedang ini boleh kau bawa, Ciang Le" kata Te Lo-mo sambil menyerahkan pedangnya yang disebut Kim kong kiam (Pedang Sinar Emas).
"Kau telah beberapa kali bersumpah hendak mempergunakan ilmu kepandaian yang kau pelajari untuk berbuat kebaikan. kau harus menjadi seorang pendekar budiman dan jangan lupa selamanya kau harus memakai baju kembang, sesuai dengan pesan terakhir ibumu!" Ciang Le menerima pedang dan buntalan pakaian serta beberapa potong emas dari kedua suhunya, la merasa amat terharu dan berterima kasih. Baginya, kedua orang yang disebut Sepasang Iblis di dunia kang ouw ini, bukan iblis melainkan dua orang yang paling mulia di dunia ini. Mereka itu adalah gurunya, juga pengganti orang-tuanya dan penolongnya.
"Teecu (murid) akan memperhatikan segala nasihat jiwi suhu (guru berdua) dengan taat. Dimanapun teecu berada teecu takkan melupakan suhu berdua. Akan tetapi, mohon penjelasan dari jiwi suhu, bilakah teecu diperbolehkan kembali ke sini?"
"Tak usah kembali, tak usah kembali..." kata Thian Lo-mo sambil menggoyang-goyang tangannya. Ciang Le memandang dengan terkejut.
"Twa-suhumu (guru besarmu) hanya main-main, Ciang Le," kata Te Lo-mo sambil tertawa.
"Memang tak usah kembali, akan tetapi kita pasti akan bertemu kembali. Ingatlah bahwa kedua gurumu selalu memperlihatkan gerak-gerikmu dan kalau sampai kau menyeleweng dan menyia-nyiakan harapan kedua gurumu dan kedua orang-tuamu, kau harus tahu bahwa dengan ilmu pukulan Thian te Siang mo Ciang hwat, kami dengan mudah akan dapat membinasakanmu!" Ucapan terakhir ini dikeluarkan oleh Te Lo-mo dengan sikap sungguh-sungguh dan muka keras. Ciang Le menjadi girang dan menghaturkan terima kasih. Memang, pemuda ini masih bingung ke mana harus pergi dan merasa amat tidak enak harus berpisah dari kedua suhunya yang disayangnya. Maka mendengar bahwa kelak kedua suhunya pasti akan menjumpainya, terhiburlah hatinya.
"Nah, kau berangkatlah dan jaga dirimu baik-baik!" kata Thian Lo-mo. Ciang Le berlutut dan memberri hormat serta ucapan selamat tinggal kepada kedua suhu nya, kemudian ia keluar dari pintu gua yang kecil, masuk ke dalam ruang rangka dan berlutut di depan kerangka ayah bundanya.
"Ayah ibu aku pergi turun gunung. Mohon doa restu dan anak akan mencoba mencari orang-orang yang telah membunuh kalian. Kemudian ia berdiri dan keluar dari gua yang besar dan gelap itu. Gua Pahlawan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal Thian te Siang mo itu terletak di atas Pegunungan Tapie san sebelah timur, di puncak yang masih liar dan belum pernah didatangi manusia saking sulitnya perjalanan menuju ke situ.
Ciang Le yang kini telah merupakan seorang yang gagah dan tampan, kali ini ketika turun gunung, mengenakan baju kembang milik ayahnya yang dulu diambil oleh Thian Lo-mo, sengaja disimpan untuk diberikan kepadanya! Baju itu ternyata persis sekali pada tubuhnya, mendatangkan rasa hangat yang luar biasa. Ia merasa bangga bahwa besar tubuhnya sama benar dengan ayahnya. Akan tetapi tentu saja tidak tahu bahwa wajahnya tidak sama dengan wajah ayahnya, melainkan lebih mirip wajah ibunya. Demikianlah, seperti yang telah dituturkan di bagian depan, Ciang Le tiba di lereng bukit sebelah selatan. Hari telah mulai menjadi gelap ketika ia tiba di dalam dusun di selatan puncak itu. Heranlah ia ketika melihat betapa semua pintu rumah di dalam dusun itu telah ditutup rapat rapat dan tak seorangpun manusia kelihatan berada di luar rumah.
Ciang Le tidak takut untuk tidur di mana saja, biar di atas dahan pohon sekalipun, akan tetapi kali ini ia ingin bercakap-cakap dengan orang lain dan bertemu dengari penduduk dusun. Maka, diketoknya pintu rumah pertama. Tak ada yang menyahut, dan telinganya yang tajam mendengar suara yang orang berbisik-bisik ketakutan dan kemudian diam, tanda bahwa tuan rumah sengaja tidak mau menjawab dan bersembunyi ketakutan. Ciang Le tidak putus asa dan mengetuk pintu rumah berikutnya. Sama saja. Makin heranlah dia. Begini tak sopankah penduduk di dusun ini? Ia telah mendengar tentang peradaban dan kesopanan dari kedua suhunya, dan sama sekali tidak pernah mengira bahwa ada orang-orang yang tidak mau menjawab!
Ia tahu bahwa di dalam setiap dusun tentu ada kepala dusunnya, maka ia lalu berjalan jalan di dalam dusun itu, mencari rumah yang terbaik dan terbesar. Rumah kepala dusun pasti yang besar dan terbaik, pikirnya dan pada saat seperti itu, semua penuturan suhunya terbayang dalam ingatannya. Akhirnya sampai juga di depan sebuah rumah yang besar dan paling mewah diantara semua rumah di situ. Ia lalu melangkah maju sampai di depan pintu dan mengetuk daun pintu beberapa kali. Kembali tidak ada jawaban, akan tetapi Ciang Le yang berpendengaran tajam dapat mendengar bahwa ada sedikitnya sepuluh orang datang mendekati pintu dan mengintip dari dalam! Akan tetapi ia berpura pura tidak tahu dan mengetuk pintu lagi sambil berkata keras.
"Sungguh mengherankan, mengapa seluruh dusun menutup pintu pada hari sesore ini? Apakah tidak ada yang sudi menolong seorang perantau yang Kemalaman di jalan?" Tiba-tiba pintu besar terbuka dan dua belas orang laki-laki yang berpakaian sebagai penjaga kampung melompat keluar dengan senjata tajam di tangan! Ketika mereka keluar, dari penerangan lampu yang bersinar di halaman rumah, Ciang Le melihat wajah mereka ketakutan, akan tatapi kini mereka agaknya lega setelah melihat siapa orangnya yang mengetuk pintu. Namun, masih saja dua belas orang penjaga itu memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan. Setelah mengamat amati keadaan Ciang Le dan melihat ke arah gagang pedangnya di pundak, orang tertua yang brewokan lalu melangkah maju dan mengangkat tangan memberi hormat sambil bertanya.
"Siangkong siapa dan dari manakah?" Ciang Le tersenyum girang mendengar suara ini. Alangkah merdunya suara orang lain yang sudah bertahun-tahun dirindukannya! Ia cepat menjura dengan hormat kepada semua orang itu dan berkata dengan halus,
"Mohon maaf sebesarnya apabila siauwte mengganggu cuwi sekalian di waktu malam. Sesungguhnya siauwte adalah seorang perantau yang kemalaman dan ingin sekali siauwte mencari rumah penginapan di dusun yang indah ini. Akan tetapi sayangnya, setiap rumah tertutup dan ketika siauwte mencoba untuk mengetuk pintu guna minta keterangan, tak seorangpun mau menjawab." Tiba-tiba sikap orang brewokan itu menjadi ramah dan cepat ia berkata,
"Siangkong, silakan masuk dan bermalam di rumah kepala kampung saja. Tak baik kita bicara di luar dalam saat seperti ini."
"Mana siauwte berani mengganggu rumah Chung-cu (kepala kampung)?"
"Masuk sajalah, siangkon. Aku sendirilah kepala kampung di dusun ini. Di sini tidak ada rumah penginapan dan kurasa takkan ada orang yan berani membuka pintu di waktu malam hari." Ciang Le menjadi tertarik hatinya. Kalau tidak ada orang berani membuka pintu di waktu malam, tentu terjadi sesuatu yang hebat. Tentu ada bahaya mengancam penduduk dan inilah yang dicarinya!
Ia harus mencari kesempatan untuk mengulurkan tangan menolong sesama manusia. Tanpa banyak cakap dan see ji (sungkan) lagi ia lain mengikuti mereka memasuki pintu besar yang cepat ditutup lagi dari sebelah dalam. Kepala kampung itu ternyata adalah seorang yang amat peramah. Belum juga mengenal siapa nama dan di mana tempat tinggal tamunya, ia telah memberi perintah kepada pelayan untuk mengeluarkan hidangan dan menemani tamunya di ruang dalam. Ciang Le merasa berterima kasih sekali. Itu adalah makanan pertama yang dirasakannya semenjak meninggalkan gua. Di dalam gua, ia hanya makan buah buah dan daging dipanggang biasa saja, maka tidak mengherankan apabila hidangan kepala kampung yang sebenarnya amat sederhana itu terasa lezat dan baginya merupakan hidangan raja!
Ketika disuguhi arak dan minum arak keras, hampir saja ia tersedak karena selama hidupnya Ciang Le belum pernah minum arak. Akan tetapi baiknya ia memilki lweekang dan khi kang yang tinggi. Cepat ia menutup jalan pernapasannya mendorong hawa arak keluar dari dalam perutnya untuk dikeluarkan kembali melalui mulutnya sehingga hawa arak yang memabokkan itu tidak mengganggunya. Dengan jalan ini biarpun ia harus menghabiskan seguci arak ia takkan terpengaruh. Setelah sisa makanan diambil oleh pelayan, kepala kampung mengajak Ciang Le bercakap-cakap di ruang depan di mana berkumpul pula se belas orang penjaga. Dari percakapan mereka, tahulah Ciang Le bahwa mereka itu adalah orang-orang yang dianggap paling kuat didusun itu yang sengaja berkumpul di rumah kepala dusun untuk menjaga sesuatu yang mengancam.
"Chung-cu, sesungguhnya rahasia apakah yang meliputi dusun ini? Siauwte merasa seakan-akan ada sesuatu yang membuat semua penduduk merasa gelisah." Kepala kampung yang brewokan itu memandang wajah Ciang Le seperti orang menyelidik, lalu mengerling sebentar ke arah gagang pedang pemuda itu, kemudian menarik napas panjang seperti orang putus asa.
"Apa gunanya diceritakan? Siangkong, menceritakan hal ini tidak ada baiknya, bahkan menambah besar bahaya yang mengancam." Ciang Le menjadi tak sabar, ia tahu bahwa kepala dusun ini memandang rendah kepadanya dan menganggap bahwa dia takkan dapat menolong, maka percuma saja diceritakan juga.
"Chungcu, percayalah, kalau benar-benar ada yang mengganggu dusunmu ini dan menyusahkan kau dan pendudukmu, aku akan membasminya!" Kepala kampung itu memandang tajam dan di sana-sini terdengar suara orang tertawa kecil. Ciang Le maklum bahwa kepala kampung dan orang-orang yang berada di situ tidak percaya kepadanya.
"Siangkong, kau baik sekali! Akan tetapi, kenapa kau hendak menolong kami? Tahukah kau bahwa menolong kami berarti mengorbankan nyawamu yang masih muda?"
"Biarpun harus mengorbankan nyawa, aku bersedia, chungcu!"
"Kenapa? Kenapa kau begitu mati-matian hendak menolong kami?"
"Kenapa??" Ciang Le mengulang kata-kata ini seakan-akan ini adalah pertanyaan yang aneh "Karena kau adalah orang baik dan kau telah menerima siauwte dengan ramah-tamah, telah menghidangkan makanan dan memberi tempat beristirahat." Kepala kampung itu menarik napas panjang.
"Terima kasih, Siangkong. Kalau hanya berdasarkan kebaikan hatimu dan mengandalkan keberanianmu saja takkan ada gunanya, bahkan membuang nyawamu dengan sia sia belaka. Memang dusun kami telah mendapat gangguan hebat selama sepekan ini, akan tetapi pengganggunya bukan sembarang manusia, melainkan siluman-siluman jahat!" Semenjak kecil Ciang Le hidap di dalam gua yang penuh tengkorak manusia, bahkan kedua orang suhunya juga bernama Iblis! Ia tetap tersenyum tenang lalu bertanya,
"Siluman macam apakah yang menggangu, chungcu? Ceritakan yang jelas agar mudah aku mencari dan membasminya." Pada saat itu, terdengar suara gemuruh dan diantara suara seperti angin keras itu terdengar pekik mengerikan,
"Kepala kompung tolol! Lagi-lagi kau berani tidak memenuhi permintaanku? Sekarang cucumu sendiri hendak kuambil!" Menyusul suara ini, terdengar suara keras pada pintu besar di depan rumah itu serasa tergetar, kemudian pintu itu runtuh ke dalam seperti terdorong oleh tenaga raksasa!
Dan di ambang pintu muncul seorang yang bertubuh tinggi kurus dan kedua tangannya sampai ke siku berbulu. Gerakan orang ini cepat sekali sehingga sukar untuk melihat wajahnya dengan nyata. Akan tetapi, bagi Ciang Le yang memiliki kepandian tinggi, ia dapat melihat dan ternyata olehnya bahwa orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, berwajah biasa saja hanya sepasang matanya terputar putar tanda bahwa otaknya kurang beres! Namun harus diakuinya bahwa orang-tua itu memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi. Sementara itu, kepala kampung dan para penjaga telah menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil. Apalagi ketika kepala kampung mendengar betapa siluman ini hendak mengambil cucunya yang disayangnya!
"Jangan... jangan ganggu cucuku..." Katanya dengan suara gemetar, yang disusul oleh suara ketawa menyeramkan dari orang siluman itu. Dengan gerakan seperti kilat menyambar, siluman itu melompat hendak masuk ke dalam rumah. Akan tetapi tiba-tiba melayang sinar putih mengkilap ke arah tubuhnya.
"Aaaahh..." orang itu menjerit kesakitan dan cepat ia memandang benda yang telah mengenai tubuhnya dan yang kini telah menggelinding pecah di atas lantai. Ternyata bahwa benda itu adalah sebuah cawan arak yang tadi dipegang oleh Ciang Le. Pemuda inipun terheran ketika melihat betapa orang gila itu tidak roboh oleh sambitannya. Ia telah menyambit dengan menggunakan ilmu Sambit Pek po coan ang (Menyambit Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki) dan tahu bahwa sambitannya itu biarpun hanya dengan cawan arak, namun tepat mengenai jalan darah Tai hwi hiat yang sudah cukup untuk merobohkan seorang bagaimana gagahpun. Akan tetapi orang iai hanya menjerit kesakitan dan tidak roboh.
Oleh karena itu, cepat Ciang Le lalu melompat dan ia telah berdiri di depan siluman itu. Orang tinggi kurus yang bermata liar ini memandang dengan marah sekali kepada Ciang Le, seakan-akan menyelidik dan hendak mengetahui siapakah pemuda tampan yang dapat menyambitkan cawan arak selihai itu. Akan tetapi ia tidak mengenal Ciang Le, maka sambil menegereng seperti seekor harimau, ia lalu meneabut sebatang ranting pohon bambu berwarna kuning berbintik bintik hijau. Ciang Le sebagai seorang ahli dapat mengetahui bahwa orang yang mainkan senjata kecil dan lemah, bahkan adalah orang yang paling berbahaya dan sukar untuk dilawan. Kalau saja lawannya itu mengeluarkan senjata yang besar dan berat ia masih akan memandang ringan. Akan tetapi kini siluman itu mengeluarkan senjata yang hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tiga kaki, juga amat lemas.
Terpaksa untuk menjaga segala kemungkinan karena tahu lawannya amat lihai, pemuda ini lalu mencabut pedang Kim kong kiam. Anehnya, melihat pedang yang mengeluarkan cahaya emas itu. siluman tadi nampak terkejut sekali dan melompat mundur dua kali. Kemudian, sambil memperdengarkan suara pekik seperti tangis yang menyayat hati ia lalu berkelebat keluar dari pintu dan lenyap di dalam gelap malam. Kepala kampung dan para penjaga menyaksikan semua kejadian ini dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Kemudian setelah iblis itu pergi, kepala kampung lalu menghampiri Ciang Le yang masih berdir dengan pedang di tangan, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda agah itu, diturut oleh semua penjaga.
"Eh, eh, jangan begitu. Chungcu. Harap cu wi sekalian berdiri dan lebih baik ceritakanlah kepada siauwte apa yang telah terjadi dan siapakah orang gila itu tadi!" Akan tetapi kepala Lampung dan se belas orang penjaga tidak mau berdiri dan tetap berlulut.
"Agaknya Thian Yang Maha Kuasa telah mengutus taihiap (tuan pendekar besar) untuk menolong kami. Terima kasih, taihiap dan mohon jangan kepalang menolong kami dan dapat membersihkan semua bahaya yang mengancam." Ketika masih tinggal di dalam guha, guru-gurunya seringkali memberi peringatan kepada Ciang Le agar supaya berhati-hati menghadapi omongan yang manis dan merendah karena di dalam segala gerak-gerik dan omongan orang yang terlalu manis atau terlalu merendah seakan-akan dilebih lebihkan, tersembunyi maksud yang jahat dan curang. Kini melihat sikap kepala kampung, ia teringat akan nasihat guru-gurunya itu sehingga timbul perasaan tidak senang padanya.
"Bangunlah kalian!" serunya sambil membanting kakinya di atas lantai. Bantingan kaki ini ia lakukan dengan pengerahan tenaga dalam sehingga dua belas orang itu merasa lantai tergetar dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ada yang mendorong dari bawah dan mau tidak mau mereka bangun berdiri, memandang kepada Ciang Le dengan terheran-heran dan makin kagum.
"Duduklah, chungcu dan coba ceritakan dengan tenang kejadian apakah yang dialami oleh dusun ini?" tanya Ciang Le dengan suara sabar. Kepala kampung itu yang kini percaya penuh akan kelihaian pemuda yang sudah berhasil mengusir pergi "siluman" tadi, segera menceritakan malapetaka yang telah menimpa dusun itu. Semenjak sepekan yang lalu dusun itu mengalami gangguan siluman tadi yang datang bersama seekor ular senduk yang luar biasa besarnya. Telah tiga orang anak-anak ditangkap oleh siluman itu dan dijadikan mangsa ularnya yang mengerikan! Dua hari sekali siluman itu datang mengambil seorang anak kecil untuk diberikan kepada ularnya dan tiap kali ia selalu minta kepada kepala kampung untuk disediakan seorang anak kecil!
Tentu saja kepala kampung itu tidak mau melayaninya, bahkan mengumpulkan orang-orang untuk berusaha mengusirnya. Akan tetapi ternyata siluman itu amat sakti dan keroyokan orang-orang hanya menghasilkan tewasnya beberapa orang saja terkena pukulan tangannya yang membuat kulit menjadi hitam seperti terbakar! Adapun anak-anak yang dikehendakinya tetap saja diculiknya dan diberikan kepada ularnya! Dan pada malam hari itu karena melihat sikap kepala kampung yang selalu tidak mentaati perintahnya, siluman itu datang hendak menghukum kepala kampung dan menculik cucunya! Akan tetapi ia telah dapat dibikin mundur dan takut oleh pemuda perkasa yang kebetulan menjadi tamu kepala kampung itu.
"Di mana dia bersembunyi?" tanya Ciang Le setelah mendengar penuturan itu.
"Kami pernah mengumpulkan orang-orang dan menyerangnya di siang hari, dan kami mendapatkan dia berada di dalam hutan. Di sudah mengerikan, akan tetapi ular senduknya lebih lebih menyeramkan lagi. Belum pernah selama hidup aku melihat ular senduk sedemikian besarnya,"
"Baiklah, biar kita beristirahat dulu malam ini. Kutanggung besok pagi-pagi siluman itu bersama ularnya akan dapat kubasmi!" kata C"ang Le dengan tenang. Kembali kepala kampung itu menghaturkan terima kasihnya dan cepat memerintah para pelayan menyediakan tempat tidur yang paling baik.
"Tak usah, chungcu, aku tidak biasa tidur di atas pembaringan yang enak. Biar aku duduk di atas lantai di ruangan yang sunyi," kata Ciang Le segera pergi ke sudut dan duduk bersila untuk melakukan siulian (samadhi). Demikianlah pada keesokan harinya, berita tentang kedatangan seorang pemuda yang telah mengusir siluman, tersiar luas dan sebentar saja semua penduduk menyerbu rumah kepala kampung untuk menyaksikan sendiri pemuda gagah perkasa itu.
Dan ketika Ciang Le menyatakan hendak berangkat mencari siluman itu bersama ularnya, berduyun-duyun orang dusun hendak mengikutinya. Akan tetapi kepala kampung melarangnya, dan hanya memperkenankan serombongan orang-orang lelaki untuk membawa senjata mengantarkan pendekar muda itu. Dia sendiripun tidak ketinggalan ikut pula mengantar pemuda yang menjadi pusat harapan mereka itu. Rombongan itu terdiri dari tujuh belas orang, berjalan di belakang Ciang Le yang tetap nampak tersenyum tenang. Setelah rombongan itu masuk ke dalam hutan liar yang penuh dengan pohon-pohon raksasa dan batu batu karang menghitam, kepala kampung dan kawan-kawannya makin memperlambat jalan kaki mereka.
"Taihiap, di batu batu karang itulah tempatnya," kepala kampung berbisik perlahan. Ciang Le memandang tajam dun melihat betapa pohon-pohon di situ amat tinggi dengan batangnya yang bengkak bengkok dan berlubang lubang. Di bawah pohon-pohon itu terdapat batu karang yang tajam dan runcing, menghitam dan nampak kokoh kuat dan keras sekali. Mata pemuda yang amat tajam ini dapat melihat dua ekor kelinci berlari masuk ke dalam semak semak dan selain itu tidak terdapat gerakan sesuatu. Kalau saja ada musuh tersembunyi di balik pohon atau di dalam semak semak, tentu akan terlihat oleh mata pemuda yang sakti ini.
Ciang Le melangkah maju terus setelah memberi isyarat kepada rombongan orang dusun itu untuk menunggu di tempat itu. Dengan langkah tetap pemuda ini menghampiri batu karang yang hitam. Tiba-tiba terdengar desis yang kuat, yang berbunyi gemerisik bagai angin meniup daun bambu, akan tetapi lebih kuat lagi. Desis ini disusul oleh desis lain yang lebih kuat dan terdengarlah orang-orang petani yang menonton di tempat aman itu mengeluarkan seruan ngeri dan kaget. Dari balik batu batu karang itu tiba-tiba keluar kepala seekor ular senduk yang besar sekali. Besar kepala itu hampir sama dengan besar kepala seekor anjing, matanya dan lidahnya merah menakutkan. Bagian leher ular itu melar sampai lebar dan tipis menyekung seperti senduk dan sambil menyemburkan uap kehitaman ia lalu menegakkan kepalanya, memandang kepada Ciang Le dengan leher berkembang kempis.
"Taihiap, hati-hati"" kepala kampung masih dapat mengeluarkan suara memperingatkan. Adapun kawan-kawannya berdiri bagaikan patung dengan muka pucat dan jelas nampak mereka itu menggigil ketakutan. Siapa yang tidak merasa ngeri melihat ular siluman yang pernah mereka keroyok, akan tetapi yang dibacok golok tidak terluka itu? Ketika beberapa hari yang lalu mereka mengeroyok, golok pedang dan anak panah melesat saja ketika mengenai kulit ular itu. Akan tetapi, Ciang Le tidak merasa gentar sedikitpun juga. Bahkan pemuda itu tetap berjalan maju mendekati ular itu.
Ular cobra yang luar biasa besar dan yang panjangnya kurang lebih empat meter itu memandang tak bergerak seakan-akan merasa terheran-heran melihat keberanian dan ketenangan manusia muda di depannya ini. Ia sedang lapar dan marah, karena semalam tidak mendapat mangsa. Dengan ekornya melilit batu karang, ia bersiap sedia untuk menerkam pemuda itu, sungguhpun pemuda itu tidak membangkitkan seleranya karena terlalu besar dan terlalu keras dagingnya, tidak seperti daging anak kecil. Tiba-tiba ular itu menyerang Bagaikan anak panah cepatnya, kepala yang besar itu dengan mulut terbuka lebar dan lidah terjulur meluneur ke arah leher Ciang Le! Serangannya ini didahului oleh semburan uap hitam yang berbau keras dan amis sekali. Ciang Le berlaku sebat dan sambil miringkan tubuhnya ia mengelak dan sekaligus mengirim tamparan dengan tangan kirinya ke arah kepala ular itu.
"Plakk!!" ular itu bagaikan disambar petir dan kepalanya membalik berikut tubuhnya terlempar membentur batu karang! Akan tetapi Ciang Le segera menjadi heran karena kepala ular itu tidak pecah sebagaimana dikiranya. Benar-benar ular yang luar biasa kuatnya, pikir pemuda ini. Pukulan tangan kirinya tadi bukanlah pukulan biasa saja dan batu karang agaknya akan remuk menerima tamparannya tadi. Akan tetapi ular itu agaknya tidak apa-apa, bahkan setelah kepalanya terbentur batu karang, masih tidak kelihatan ular itu terluka!
Pemuda itu tidak mau menyerang, karena memang ia telah bersumpah kepada Thian te Siang mo kedua gurunya, bahwa ia tidak akan menyerang lebih dulu kepada siapapun juga sebelum lawan yang dihadapkannya itu menyerangnya atau melakukan sesuatu gerakan yang membahayakan orang lain. Kini ia telah berhasil memukul ular yang menyerangnya dan berdiam saja, menanti serangan selanjutnya dari binatang berbahaya itu. Akan tetapi, pengalaman yang tidak enak tadi agaknya membuat ular itu menjadi ragu-ragu untuk menyerang lagi. Untuk beberapa kali binatang ini menggerak gerakkan kepalanya dan Ciang Le melihat betapa pada leher ular itu, tepat di bawah mulutnya terdapat bagian yang mengkilap dan berminyak. Kembali ular itu mendesis desis, selain untuk mengeluarkan racun juga untuk menakut nakuti lawannya, kemudian tanpa peringatan lebih dulu, ia menyerang lagi.
Serangannya yang kedua kalinya ini lebih hebat dan lebih cepat daripada tadi. Ciang Le melihat betapa ketika melakukan serangan, bagian leher yang berminyak itu makin mengkilap dan cepat ia lalu menggunakan dua jari tangan kanannya menyambut serangan ular itu. Dengan menekuk kedua lututnya, Ciang Le mengelak sehingga ular itu melayang lewat dan pada saat itu kedua jari tangan itu menotok ke leher ular, tepat di bagian yan mengkilap tadi. Serangan ini mengenai sasaran tepat sekali sehingga terdengar leher ular itu berbunyi "Kok!" dan secepat kilat tangan kiri Ciang Le menyusul, seperti tadi menampar kepala ular. Terdengar bunyi.
"Prak!" dan kepala ular itu terpukul dan menubruk batu karang. Tubuhnya terkulai dan jatuh di bawah batu karang, menggeliat geliat perlahan. Ternyata bahwa kepalanya pecah berantakan!
Bukan main girangnya hati kepala kampung dan kawan-kawannya melihat ular itu telah ditewaskan oleh penolong mereka dan tak terasa lagi mereka bersorak-sorai dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba sorak-sorai itu terdiam dan kembali mereka gemetar ketakutan ketika mendengar suara pekik mengerikan. Siluman itu telah datang, bisik kepala kampung dan tanpa dikomando lagi, para petani ini lalu melarikan diri ke belakang dan bersembunyi di balik batu batu karang! Mereka hanya berani menonton dari jauh saja sambil mengintai dari balik batu. Ciang Le tetap tenang dan ia tidak bergerak ketika orang-tua yang dianggap siluman oleh para petani itu muncul dari balik batu karang. Mata orang-tua ini terputar putar mengerikan dan berwarna merah ketika ia melihat ke arah bangkai ular. Kemudian terdengar ia melolong dan menangis seperti anak kecil sambil menubruk dan memeluki bangkai ular besar itu.
"Ularku... ularku sayang..." Ciang Le merasa kasihan juga menyaksikan keadaan orang gila itu. Ia memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa orang-tua itu pakaiannya compang camping dan tubuhnya kotor. Akan tetapi selain matanya yang terputar putar, tidak nampak tanda tanda lain yang luar biasa. Lebih kuat dugaannya bahwa orang-tua ini tentulah seorang ahli persilatan yang telah menjadi gila. Tiba-tiba tangis orang-tua itu berhenti dan ia melompat ke atas lalu menghadapi Ciang Le dengan air mata membasahi pipinya.
"Orang kejam, kau berani sekali membunuh kekasih Coa ong Sin kai yang takkan mengampuni nyawamu? Siapakah kau orang muda berani mati yang bertangan lancang?" Kaget juga hati Ciang Le mendengar bahwa orang ini adalah Coa ong Sin kai (Pengemis Sakti Raja Ular). Nama ini ia pernah mendengar dari kedua gurunya sebagai seorang tokoh besar dari selatan yang memang berotak miring. Maka ia berlaku waspada dan hati-hati sekali. Cepat ia menjura dan dengan hormat berkata.
"Ah, kiranya Coa ong Sin kai Lo-Cianpwe yang berada di sini! Siauwte mengharap banyak maaf kalau siauwte kesalahan tangan membunuh ular ini. Hendaknya Lo-Cianpwe ingat bahwa ular ini amat jahat, telah makan anak-anak penduduk dusun dan tadipun bahkan telah dua kali menyerangku. Maka, sudah sepantasnya kalau binatang sejahat ini dilenyapkan agar jangan mengganggu manusia lagi." Coa ong Sin kai berjingkrak saking marahnya.
"Kau bilang ularku ini kejam? kau anak kecil tahu apa tentang kekejaman? Ularku makan anak-anak karena memang ia suka dan perutnya lapar. Manusia lebih kejam lagi, suka membunuh bukan karena lapar, hanya karena nafsunya. Hayo kau ganti jiwa ularku!" Sambil berkata demikian, kakek ini mengeluarkan pekik nyaring yang menggetarkan hutan itu, lalu maju menerjang Ciang Le dengan pukulan tangan terbuka seperti cengkeraman kuku harimau. Ciang Le cepat mengelak dan otomatis ia membalas serangan lawannya.
Memang ilmu silat yang dipelajari oleh pemuda ini adalah ilmu silat yang sifatnya aktif apabila menghadapi serangan lawan. Ilmu silatnya selalu disesuaikan oleh suhunya seperti sifat air. Diam dan tenang, kelihatan lemah apabila didiamkan. Akan tetapi cobalah ganggu air itu, akan nampak kehebatan dan kekuatannya yang tak terkalahkan. Ilmu silat dari Coa ong Sin kai benar-benar cepat, ganas dan bertubi tubi datangnya. Karena melihat gerakan lawannya yang aneh, Ciang Le membatasi serangan sendiri. Ia menjadi amat tertarik dan karena ia pernah mendengar dari suhunya bahwa kepandaian Coa ong Sinkai ini amat tinggi dan ilmu silatnya amat sukar dilawan, ia menjadi makin tertarik. Ingin sekali ia melihat sampai di mana kehebatan ilmu silat orang miring otaknya ini, maka ia lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mempertahankan saja.
Pertama-tama Coa ong Sin kai menyerang dengan pukulan yang disebut Jit seng to hian (Tujuh Bintang Jungkir Balik). Gerak tipu ini susul menyusul sampai tujuh kali, dilakukan bertubi tubi dengan kedua tangan yang menyerang dari atas akan tetapi selalu dari jurusan yang berlawanan sehingga Ciang Le merasa seakan-akan ada tujuh lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi dengan ginkangnya yang sudah tinggi, pemuda itu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan dan berkali kali ia mengelak akan menangkis sampai tujuh gerakan dari jurus Jit seng to hian ini lewat tanpa merugikan. Coa ong Sin kai menjadi penasaran, lalu mengubah serangannya dengan gerak tipu Cong eng kun touw (Garuda Menyambar Kelinci) semacam gerakan ilmu pedang yang olehnya dilakukan dengan tangan.
Kedua tangannya dimiringkan dan disambarkan seperti orang mempergunakan pedang Ciang Le mengerti bahwa biarpun tangan orang gila itu hanya terdiri dari kulit, daging dan tulang namun karena digerakkan dengan tenaga lwekang yang amat tinggi, apabila mengenai tubuhnya dari pedang manapun juga. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi saking cepatnya gerakan Coa ong Sin kai yang mengobat abitkan kedua tangannya sehingga mendatangkan angin, hampir saja pundak pemuda itu terkena sabetan! Ciang Le terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya yang sudah tua itu memiliki kegesitan yang tidak kalah oleh orang muda. Berbahaya juga kalau didiamkan saja tanpa di balas dengan serangan serangannya, la mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Thian Lo-mo yakni Ilmu Silat Thian hong ciang hwat (ilmu Silat Tangan Kosong Angin dari Langit).
Karena ilmu silat tangan kosong ini amat luas penggunaannya sehingga ia harus mempelajari sampai sepuluh tahun lebih maka di dalamnya termasuk ilmu tiam hwat (menotok jalan darah), kin na hwat (ilmu mencengkeram dan menangkap) dan juga terdapat jurus jurus yang mengeluarkan tenaga gwakang (tenaga kasar) dan lwekang (tenaga dalam). Ilmu silat dari ilmu totokan dari Thian Lo-mo memang luar biasa sekali dan dahulu pernah menjagoi di kolong langit, maka setelah Ciang Le mainkan ilmu silat ini, dalam lima jurus saja ia telah berhasil menorok jalan darah yan goat hiat yang berada di bawah pangkal lengan. Totokan itu mengenai dengan tepat sekali, akan tetapi kembali Ciang Le terkejut karena orang gila itu tidak roboh, hanya terhuyung mundur sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, orang muda. Totokanmu benar-benar lihai, akan tetapi kurang tenaga!" Ciang Le menjadi penasaran. Mana bisa kurang tenaga? Ia telah mengerahkan lwekangnya dan bagi orang lain, totokan tadi pasti akan membuat tangan dan lengan lawannya menjadi kaku tak dapat digerakkan!
Kembali ia menyerang dengan cepat dan kuat, kali ini dengan gerak tipu Thian hong sauw sui (Angin Langit Sapu Air). Gerakannya cepat sekali dan untuk kedua kalinya, ia berhasil menotok jalan darah di pundak kiri lawannya. Hanya terdengar suara "Duk" akan tetapi kembali lawannya hanya tertawa bergelak sambil membalas dengan serangan ganas! Mendengar betapa lawannya selalu tertawa bergelak sehabis terkena totokannya dan totokan itu tidak berhasil memuaskan, teringatlah Ciang Le bahwa lawannya itu tentulah seorang ahli Ilmu I-kong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah). Pantas saja totokannya tidak pernah menghasilkan sesuatu dan suara ketawa lawannya itu hanya untuk memulihkan pengaruh totokan pada kulil dan jaringan darah.
Sementara itu setelah dua kali terkena totokan. Coa ong Sin kai barulah maklum bahwa ia menghadapi seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, ia menggereng seperti seekor harimau terluka lalu mengeluarkan senjatanya, yakni ranting bambu yang lemas itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, ranting bambu ini mengeluarkan suara bersiul dan menyambar ke arah leher Ciang Le. Ketika pemuda ini melompat ke kiri untuk menghindarkan diri, ujung ranting ini masih mengejarnya bagaikan ekor ular dan terdengar suara keras ketika ujung ranting itu menyabet paha Ciang Le. Pemuda ini baiknya telah menyalurkan tenaganya untuk menahan sabetan itu sehingga ujung ranting bambu itu terpental kembali ketika menimpa pahanya. Akan tetapi celananya yang berwarna biru itu lelah robek di bagian paha seperti terobek oleh pisau tajam! Kembali Coa ong Sin kai tertawa bergelak.
"Orang muda, pukulan ke dua akan merobek kulit lehermu!" sindirnya sambil menyerang lagi lebih hebat. Ciang Le menjadi marah. Dicabutnya Kim kong kiam dari sarung pedangnya dan ketika ia menggerakkan pedang itu, berkelebatlah sinar emas yang menyilaukan mata. Tiba-tiba Coa ong Sin kai terbelalak dan berteriak,
"Thian te Siang mo...!" kemudian seperti orang ketakutan ia lalu melarikan diri meninggalkan Ciang Le yang memandang dengan senyum ditahan. Ia dapat menduga bahwa orang gila itu tentu pernah dihajar oleh kedua suhunya, maka sekarang mengenal pedang ini, lalu berlari terbirit birit. Melihat betapa baru setelah ia mencabut pedangnya, kakek itu mengenalnya, sebagai pemuda yang malam tadi menghalanginya, lebih yakinlah dia bahwa kakek itu memang benar-benar tidak beres pikiran dan ingatannya.
Kalau orang waras, masa tidak mengenalnya setelah pertemuan malam tadi? Kepala kampung dan kawan-kawannya setelah melihat siluman itu melarikan diri, lalu bersorak girang dan beramai menghampiri Ciang Le. Ketika mereka mencabut senjata hendak memukul hancur bangkai ular besar itu, Ciang Le mencegah mereka. Kemudian, pemuda ini meminjam sebuah golok dan dengan hati-hati sekali ia membelek leher ular yang mengkilap itu. Benda cair berwarna hitam seperti tinta bak mengalir keluar dari leher itu dan akhirnya keluarlah sebuah benda hitam bulat yang mengkilap. Ciang Le mengeluarkan sehelai saputangan, lalu diambilnya benda itu dan dibungkus dengan saputangan, terus dimasukkan ke dalam kantong bajunya.
"Tidak rugi celanaku robek mendapat benda ini," katanya perlahan sambil tersenyum, seperti kepada diri sendiri.
"Untuk apakah benda itu, taihiap? Dan apakah itu, apa gunanya?" tanya kepala kampung yang tidak sengaja mendengar ucapannya ini. Ciang Le tersenyum.
"Benda itu adalah batu yang mengandung racun ular yang amat jahat." Kepala kampung menjadi terheran-heran, akan tetapi ia tidak berani bertanya lebih panjang lagi bahkan kemudian ia mengajak kawan-kawannya untuk menghaturkan terima kasih kepada Ciang Le sambil berlutut.
"Tak perlu berterima kasih," mencegah pemuda itu.
"Dan tak perlu kalian kini berkuatir. Siluman itu sesungguhnya seorang manusia biasa yang berotak miring. Yang jahat adalah ularnya. Sekarang ularnya telah mati, ia takkan datang kembali. Sepeninggalku, kuburlah bangkai ular ini agar tidak menimbulkan penyakit yang akan lebih jahat lagi mengganggu kampung kalian." Setelah berkata demikian, pemuda sakti itu membalikkan tubuh dan hendak pergi dari situ. Akan tetapi kepala kampung itu berkata.
"Taihiap, tunggu dulu. Mohon tanya she yang mulia dan nama besar taihiap, agar selama hidup kami takkan melupakan penolong kami yang budiman."
Ciang Le menengok dan tersenyum, lalu menggoyang-goyang tangannya dan berkata.
"Tak perlu diingat lagi, tak perlu. Lupakan, saja semua hal yang telah terjadi, karena apa yang Kulakukan bukanlah pertolongan, melainkan kewajibanku untuk menebus dosa!" Setelah berkata demikian, agar jangan terganggu lebih lama lagi, pemuda itu menggunakan kepandaiannya berkelebat pergi dan lenyap dari pandang mata orang-orang itu. Semua orang menjadi bengong dan saling pandang, kemudian atas pimpinan kepala kampung mereka berlutut ke arah menghilangnya pemuda itu. Dan karena mereka tidak tahu nama pemuda itu, hanya ingat bahwa pemuda itu berpakaian kembang kembang yang lucu dan aneh, maka mereka memberi nama Hwa-I-Enghiong (Pendekar Baju Kembang) kepada Ciang Le.
***
"Kong kong (kakek), sesungguhnya mengapakah ayah bundaku lelah meninggal dunia lebih dulu? Mengapa aku tak pernah mengenal mereka?" demikianlah pertanyaan yang diajukan oleh seorang gadis remaja kepada seorang kakek berpakaian petani. Mereka berdua duduk di atas batu besar di sebuah lereng Gunung Hoa san yang terkenal indah pemandangan alamnya. Kakek itu menundukkan kepalanya dan nampak berduka. Akan tetapi ia menjawab juga,
"Bi Lan, mengapa kau selalu menanyakan hal itu? Orang-tuamu tentu saja meninggal dunia karena sudah tua dan sampai saatnya meninggal dunia."
"Kong kong, dahulu ketika aku masih kecil boleh kau membohongi aku seperti itu. Akan tetapi sekarang tak mungkin lagi. Bagaimana boleh jadi kedua orang-tuaku mati karena usia tua, sedangkan kongkong sendiri yang lebih tua masih hidup? Tidak, kong kong orang-tuaku tentu mati ketika mereka masih muda. Hayo ceritakan, kong kong, kalau tidak, aku akan marah!" Gadis itu membuang lagak manja dengan mata setengah terkatup tanda marah dan bibirnya yang manis cemberut. Kakek yang sedang suram wajahnya itu ketika melihat lagak gadis ini menjadi tersenyum. Gadis ini merupakan cahaya matahari, baginya dan setiap kali gadis ini sajalah yang mampu mengusir kemuraman wajahnya dalam sekejap mata. Pembaca tentu sudah dapat menduga siapa adanya kakek ini.
Memburu Iblis Eps 1 Pendekar Pedang Pelangi Eps 14 Memburu Iblis Eps 22