Pedang Penakluk Iblis 28
Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 28
"Pedang ini adalah Pak-kek Sin-kiam peninggalan dari Sucouw Pak Kek Siansu dan siapa yang memiliki pedang berarti akan menjagoi dunia kang-ou. Pedang ini memang secara kebetulan jatuh di tanganku, setelah terjadi perebutan yang ramai yang tak perlu diceritakan di sini. Pokoknya siauwte yang berjodoh memiliki Pedang Pak-kek sin-kiam dari Pak Kek Siansu."
Baru saja kalimatnya habis diucapkan, berkelebat bayangan yang amat cepat dan tahu-tahu seorang nyonya cantik sudah berdiri di hadapannya. Nyonya ini adalah Liang Bi Lan atau Nyonya Ciang Le yang dijuluki orang Sian-I Eng-cu (Bayangan Bidadari). Kepandaiannya yang tinggi sekali dan ginkangnya telah mencapai tingkat yang jarang ada yang dapat menandinginya, maka gerakannya tadi pun hanya sekelebatan saja dan hanya mata orang-orang pandai saja dapat mengikuti gerakannya dengan seksama.
"Orang she Liok" katanya dengan suara halus menekan kemarahan dan kebenciannya.
"semua omonganmu itu tak perlu bagiku karena aku sudah cukup kenal akan watak palsumu. Sekarang hayo lekas katakan di mana adanya Hui Lian anakku!"
Ciang Le agak menyesal mengapa isterinya tidak dapat bersabar menanti, akan tetapi ia pun maklum akan apa yang terasa di hati isterinya. Hui Lian sudah pergi dari rumah bersama Liok Kong Ji dan sudah kurang lebih satu tahun setengah puteri mereka pergi tanpa ada beritanya. Dia sendiri amat khawatir, apalagi setelah kini melihat Kong Ji muncul tanpa disertai oleh Hui Lian kalau dia saja sudah amat khawatir, apa lagi isterinya.
Liok Kong Ji yang ditanya oleh subonya dan yang tahu bahwa subonya amat marah kepadanya, hanya tersenyum. Sikapnya senang-tenang saja dan tidak mau memberi hormat. Ta adalah seorang bengcu yang akan dipilih tak perlu merendahkan diri. Ta hanya membungkukkan pinggangnya ke arah Bi Lan sambil menjawab.
"Toanio, tentang Nona Go Hui Lian siauwte tidak tahu di mana adanya. Akan tetapi seorang di antara sahabat- sahabat siauwte yang amat banyak jumlahnya mengetahui. Oleh karena itu, apabila persoalan memilih bengcu ini sudah beres, siauwte sebagai bengcu baru menanggung sepenuhnya bahwa Toanio pasti akan dapat bertemu dengan Nona Hui Lian."
Bukan main mendongkolnya hati Bi Lan mendengar jawaban ini. Benar-benar kurang ajar sekali bocah ini pikirnya. Tidak saja menyebutnya "toanio" seakan-akan tidak mengakui sebagai subo (iste guru) lagi, akan tetapi juga sengaja menolak secara halus untuk memberi tahu di mana adanya Hui Lian dan menuntut melakukannya pemilihan bengcu lebih dulu. Sebagai seorang yang sudah banyak melakukan perantauan di waktu mudanya dan tahu betul akan tipu muslihat para penjahat besar di dunia kang- ouw. Bi Lan sudah mengerti bahwa keterangan tentang dimana adanya Hui Lian, akan dijadikan taruhan oleh Kong Ji, akan dijadikan bahan untuk memeras dan memaksanya memilih pemuda ini sebagai bengcu! Kalau menurutkan nafsu hatinya, ingin ia menyerang dan memaksa Kong Ji mengaku sekarang juga di mana adanya Hui Lian. Akan tetapi sebelum ia lakukan sesuatu, ia mendengar suara suaminya.
"Mundurlah, isteriku. Biar lihat apa yang ia lakukan selanjutnya. Mudah menurunkan tangan apabila ternyata dia mengganggu anak kita."
Kata Ciang Le ini terdengar seperti bisikan di dekat telinga Bi Lan, akan tetapi tidak terdengar oleh siapapun juga, karena Ciang Le telah mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh yang amat tinggi tingkatnya sehingga suara yang ia kirim itu hanya dapat "diterima" oleh telinga orang yang harus menerimanya, Bi Lan mendengar ini bahwa kelakukannya kurang patut. Saat itu adalah saat pertemuan orang-orang gagah sedunia dan saat dilakukan pemilihan bengcu, sebuah hal yang amat pelik dan penting. Memperlihatkan perhatian sepenuhnya hanya untuk urusan pribadi, benar-benar bukan pada tempatnya dan tidak pada saatnya yang tepat. Maka sambil menahan amarah ia menggerakkan kaki dan berkelebatlah bayangannya dengan cepat sehingga di lain saat ia telah berdiri di sebelah suaminya lagi.
Banyak orang menahan napas menyaksikan kelihaian nyonya ini, akan tetapi yang paling kaget adalah Kong Ji. Bukan kaget melihat ginkang luar biasa dari subonya, karena ia memang sudah tahu akan kehebatan ilmu meringankan tubuh dari Liang Bi Lan. Yang membuat ia kaget adalah pengiriman suara dari Ciang Le. Karena ia berdiri di depan Bi Lan dan ia pun sudah memiliki pendengaran yang lebih tajam daripada ahli-ahli silat lain, ia dapat mendengar bisikan halus itu dan hatinya terguncang. Dahulu belum pernah gurunya ini memperlihatkan ilmu lweekang yang demikian tinggi, dan sekarang ia harus akui bahwa Hwa I Enghiong Go Ciang Le benar-benar seorang yang kosen dan akan merupakan lawan yang sukar dikalahkan!
Pada saat itu, tiba tiba-tiba terdengar pekik yang tinggi dan nyaring. Pekik ini amat nyaring dan menyakitkan anak telinga hingga banyak orang yang lweekangnya kurang tinggi, segera mengangkat dua tangan menutupi telinganya. Didengar sepintas lalu oleh mereka yang tidak kuat mendengar terus, terdengar seperti suara semacam burung yang aneh yang menyambar dari atas ke bawah, kadang- kadang terdengar di sebelah selatan, tiba-tiba berpindah- pindah ke jurusan lain. Akan tetapi bagi para tokoh yang bertenaga lweekang cukup kuat untuk menerima serangan getaran suara tinggi ini, dapat mereka dengar jelas bahwa inilah pekik seorang wanita yang mempunyai Iweekang dan khikang tinggi sekali! Tai Wi Siansu, ciangbunjin dari Kun-lun-pai yang sudah amat tua itu nampak terkejut dan terheran-heran sampai bangun berdiri dan berkata,
"Thian Yang Maha Kuasa! Apakah Pat-jiu Nio-nio sudah bangkit kembali dari kuburnya?"
Tokoh yang sudah tua dan yang hadir di saat itu semua sudah mengenal atau pernah mendengar nama Pat-jiu Nio- nio seorang wanita aneh yang mempunyai semacam istana yang indah dan luas di sebuah puncak Pegunungan Go-bi-san. Di sana Pat-jiu Nio-nio mempunyai semacam perkumpulan yang terdiri dari wanita semua, dan yang diberi nama Perkumpulan Hui-eng-pai (Perkumpulan Elang Terbang). Memang pekik mengerikan di adalah tanda dari Pat-jiu Nio-nio. Akan tetapi nenek tua ini sudah meninggal dunia dan kabarnya perkumpulannya pun otomatis bubar. Bagaimana sekarang tiba-tiba saja muncul pekik yang menyeramkan ini? Siapa lagi kalau bukan Pat-jiu Nio-nio yang dapat mengeluarkan pekik seperti itu? Tidak ada seorang pun yang berada di situ, juga Liang Bi Lan tidak ada yang mampu mengeluarkan pekik seperti tadi. Pekik ini khusus dipelajari dan tanpa latihan, tak mungkin orang dapat mengeluarkan pekik yang bunyinya seperti teriakan garuda betina, akan tetapi jauh lebih nyaring dan tinggi ini.
Semua orang menoleh ke arah bawah puncak dan tak lama kemudian terjawablah semua pertanyaan di dalam hati. Muncullah wanita yang mengeluarkan pekik tadi dan semua orang menahan napas. Yang datang adalah serombongan orang wanita-wanita muda atau gadis-gadis cantik jelita yang pakaiannya semua sama. Baju putih disulam burung elang di bagian dada, sedangkan pakaian sebelah bawah berwarna hijau daun. Rombongan ini terdiri dan empat puluh empat orang, dipimpin oleh seorang gadis berusia paling banyak dua puluh tahun yang wajahnya cantik seperti bidadari.
Kalau semua orang memandang dengan kagum dan tertarik, adalah Kong Ji yang tiba-tiba menjadi pucat. Akan tetapi ia dapat menekan perasaannya dan dengan tenaga lweekangnya ia menormalkan kembali jalan darahnya sehingga mukanya kembali kemerahan, kemudian mengambil sikap seakan-akan ia tidak perduli.
Akan tetapi, tiba-tiba gadis yang paling depan dan yang rambutnya terdapat hiasan mutiara dironce berbentuk buru elang, tanda satu-satunya yang tidak pada rambut lain wanita yang berada dalam rombongan itu, memandang kepadanya dan berserulah gadis itu nyaring.
"Jahanam Wan Sin Hong, mampuslah kau sekarang!" Baru saja ucapan ini dikeluarkan, tubuh gadis itu sudah melesat di udara dan turun kembali menyambar ke arah Kong Ji. Sinar hijau berkelebat dan cepat Kong Ji mengelak ketika sebatang pedang yang bersinar kehijauan menyambar lehernya. Hebat sekali serangan gadis ini, benar-benar seperti seekor burung elang betina yang marah menyambar korbannya.
"Eh, nanti dulu, Nona! Aku bukan Wan Sin Hong!" teriak Kong Ji sambil melompat jauh ke belakang. Akan tetapi gadis itu tidak mau mendengar omonganya, dan kembali menyerang dengan gerakan laksana burung terbang menyambar. Terpaksa Kong Ji mencabut Pak Kek Sin-kiam yang tadi sudah disimpannya untuk menangkis. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu. Bukan main kagumnya Ciang Le dan Bi Lan ketika melihat bahwa pedang hijau itu tidak apa-apa! Jarang sekali di dunia ini ada pedang yang dapat menangkis Pak-kek Sin-kiam tanpa rusak.
"Nona, kau salah lihat! Aku bukan Wan Sin Hong dan sikapmu ini berarti bahwa kau tidak menaruh hormat kepada semua orang gagah di dunia yang pada saat ini berkumpul di sini!" kata pula Kong Ji dengan bentakan suara keras. Ta sama sekali tidak takut kepada gadis ini, akan tetapi pada saat itu ia sedang mencari kawan bukan memandang lawan. Ta mencari kawan untuk merebut kedudukan bengcu.
Gadis itu nampak ragu-ragu agaknya baru ia memperhatikan bahwa di situ terdapat banyak sekali orang. menyapu ke kanan kini dengan matanya yang tajam dan indah, kemudian menatap wajah Kong Ji lagi.
"Betulkah kau bukan Wan Sin Hong?" bentaknya mengancam.
"Di sini berkumpul banyak Locianpwe dan semua partai. Kalau kau masih belum percaya, kau boleh tanya kepada mereka." jawab Kong Ji menentang.
Gadis itu menoleh ke belakang, arah kawan-kawannya yang berjumlah empat puluh orang gadis cantik itu, lalu memanggil.
"Cun Eng, ke sini kau!"
Seorang gadis cantik melompat luar dari dalam barisan itu, gerakannya juga cekatan dan Tincah sekali tanda bahwa ia pun memiliki kepandaian lumayan! Sayangnya biarpun wajahnya cantik namun nampak muram dan pucat seperti orang kurang tidur atau orang yang sedih. Setelah tiba di depan nona nemanggilnya, ia menjatuhkan berlutut di depan pemimpinnya itu.
"Cun Eng, kaulihat baik-baik. Inikah Si Jahat Wan Sin Hong itu?"
"Bagaimana saya dapat memastikan, Niocu? Ia mengaku bernama Wan Sin Hong .." jawab gadis yang berlutut itu dengan suara lemah, nampaknya takut-takut.
"Akan tetapi, ini atau bukan orangnya? Jawablah yang tegas, jawabmu mati hidupnya orang ini!" kata pula gadis itu.
Gadis yang berlutut mengangkat muka memandang wajah Kong Ji dengan tajam melalui air matanya yang hendak menitik turun, dan nampak ragu-ragu melihat Kong Ji berdiri dengan sikap agung seperti seorang pemimpin besar. Kemudian ia menundukkan mukanya, menggeleng- geleng kepala, kemudian mengangkat muka memandang lagi sampai lama. Akhirnya is berkata,
"Niocu, sungguh mata saya tidak dapat memastikan dengan yakin. Malam itu gelap, saya tak dapat melihat wajahnya. Hanya saja, kalau melihat bentuk wajahnya yang nampak di dalam gelap, melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, mirip benar dengan dia ini. Akan tetapi kalau namanya bukan Wan Sin Hong... ah, bagaimana saya dapat memastikan, Niocu? Saya tidak mau menjatuhkan dosa kepada orang lain." Kemudian gadis itu menangis.
Pemimpinnya nampak marah.
"Mundur kau!" kakinya diangkat sedikit dan tubuh gadis yang berlutut itu terlempar ke dalam barisannya dan jatuhnya berdiri tempatnya tadi. Kini ia berdiri tegak dengan sikap menghormat, biarpun air matanya masih berlinang dan mengalir turun di sepanjang pipinya yang pucat, namun tak sedikit pun suara tangisan keluar dari mulutnya.
Gadis yang berpedang hijau itu lalu memandang ke kanan kiri, akhirnya menjatuhkan pandang matanya kepada Gak Soan Li yang berdiri tegak di dekat Liang Bi Lan dan semenjak kedatangannya lebih banyak menundukkan muka daripada ikut bicara atau memandang ke mana-mana. Sekali menggerak kaki, gadis itu telah berhadapan dengan Soan Li.
"Eh, sahabat yang cantik dan gagah, tolong kau yang beri tahu kepadaku, siapakah orang yang pedangnya bagus itu? Apakah dia bukan Wan Sin Hong?"" tanyanya dan kini air muka yang tadinya nampak keren dan galak itu sekaligus berubah menjadi ramah tamah dan manis bukan main. Mendengar ada orang bicara dengan dia, Gak Soan Li mengangkat mukanya dan memandang tajam. Gadis berpedang hijau itu sampai kaget melihat sinar mata Soan Li yang tajam menyambar begaikan kilat!
"Aku bertanya dan bermaksud baik, jangan kau marah," katanya. Begitu ditanya oleh gadis berpedang hijau itu apakah pemuda yang memegang hudtim (kebutan pendeta) itu bukan Wan Sin Hong, Soan Li menjawab.
"Dia bukan Wan Sin Hong."
Akan tetapi, biarpun mulutnya berkata demikian, matanya memandang ke arah Liok Kong Ji dengan terbelalak lebar dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, hidungnya kembang-kempis bibirnya bergerak-gerak tanpa meluarkan suara apa apa.
Sementara itu, semenjak tadi Liok Kong Ji memandang kepada gadis berpedang hijau itu dengan sinar mata tertarik kagum sekali. Tadi ia berdiri dengan wajah tak berubah ketika gadis itu bertanya kepada Soan Li, hal yang sama sekali tak pernah diduganya atau diduga oleh orang lain. Apa yang menyebabkan gadis itu bertatiya kepada Soan Li, benar-benar merupakan hal yang mengejutkan dan tidak ada yang mengerti. Lebih-lebih Kong Ji, biarpun wajahnya tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, namun isi hatinya hanya dia sendiri yang tahu!
Setelah mendengar jawaban yang memastikan dari Soan Li bahwa dia bukan Wan Sin Hong yang dicari-cari oleh gadis berpedang hijau yang agaknya amat benci dan hendak membunuh Sin Hong, Kong ji tersenyum. Seperti biasa senyumnya membayangkan ketinggian hatinya dan mengandung ejekan. Sekali menggerakkan kedua kakinya, ia telah melompat ke dekat gadis berpedang hijau yang lihai itu, lalu menjuralah Kong Ji dengan sikap manis dan menghormat.
"Nona yang gagah perkasa, sudah kukatakan tadi bahwa aku bukan Wan Sin Hong. Banyak sekali orang mencari Wan Sin Hong, bahkan aku sendiri kalau bertemu dengan dia, masih ada beberapa hutangnya yang harus dibayar sehingga sebuah kepalanya masih belum lunas untuk membayar hutangnya. Jangan kau khawatir, Nona, kalau aku bertemu dengan bangsat itu, pasti sebelum memenggal kepalanya dia lebih dulu akan kuseret dan kuhadapkan kepadamu, asal saja kau sudi memberi tahu ke mana aku dapat mencarimu. Perkenalkan, Nona, aku adalah Liok Kong Ji, bengcu baru dari timur dan selatan, dan calon bengcu dalam pemilihan sekarang ini. Sebaliknya siapakah kau ini, Nona, dan dari partai apa?"
Gak Soan Li yang berdiri tidak jauh dari situ, mendengar nama Liok Kong Ji, mukanya menjadi makin pucat dan menatap wajah pemuda itu bagaikan orang melihat setan. Ia menahan jerit dan tangan kanannya menekan dan kemudian ia kelihatan terhuyung-huyung dan pasti roboh kalau saja Liang Bi Lan tidak cepat-cepat memeluknya. Ketika Bi Lan melihat bahwa muridnya itu ternyata telah pingsan ia lalu cepat mengangkatnya ke pinggir dan merebahkannya di atas lantai di bawah pohon.
Cam-kauw Sin-kai cepat menghampiri, berlutut dan memegang urat nadi Soan Li. Selama ini memang Soan Li dirawat oleh Cam-kauw Sin-kai yang ingin sekali memulihkan ingatan gadis itu dan ingin sekali membongkar rahasia yang membuat gadis yang bernasib malang ini kehilangan ingatannya. Cam-kauw Sin-kai maklum bahwa gadis ini terkena racun yang hebat sekali dan yang sebegitu lama belum dapat ia obati. Sampai sebegitu jauh, Soan Li baru dapat ingat bahwa ia adalah murid Hwa I Enghiong Go Ciang-Le dan bahwa ia telah dihina oleh seseorang yang bernama Wan Sin Hong dan ditolong oleh seorang yang ia panggil Gong Lam-ko dan yang ia cinta sepenuh hati.
Akan tetapi ia tidak dapat menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya, tidak dapat mengatakan pula siapakah itu Wan Sin Hong dan yang mana pula yang ia panggil Gong Lam-ko. Sekarang yang ia kenal hanyalah Cian Le sebagai suhunya, Bi Lan sebagai subonya, Cam-kauw Sin-kai yang ia panggil locianpwe dan Lie Bu Tek yang ia sebut lo- enghiong. Yang lain-lain ia telah lupa semua. Sekarang ketika melihat betapa Soan Li roboh pingsan, Cam-kauw Sin-kai cepat-cepat menolongnya dan setelah gadis itu siuman kembali, Cam-kauw Sin-kai cepat-cepat berbisik.
"Soan Li, siapakah laki-laki itu? Ingatkah kau akan dia dan apa yang telah ia perbuat terhadap dirimu maka kau sampai pingsan melihat dia?" Memang semenjak merawat Soan Li pengemis sakti ini menganggap Soan Li sebagai murid atau orang sendiri sehingga ia menyebut nama gadis itu demikian saja. Kakek ini memang sudah dapat menyelami bahwa dalam keadaan Soan Li ini terselip rahasia yang besar dan hebat, maka setiap gerakan gadis ini tentu amat ia perhatikan.
Akan tetapi Soan Li yang ditanya hanya menggeleng-geleng kepalanya dan kini ia telah duduk di atas rumpus, tangan kirinya mengurut-urut kening seperti orang pusing dan sepasang matanya yang suram itu ditujukan ke arah Kong ji berdiri.
"Kau kenal dia? Pernah kau melihat dia?" Cam-kauw Sin-kai terus berbisik dalam usahanya mengembalikan ingatan gadis itu. Tentu saja Cam-kauw Sin-kai sudah mendengar dari Ciang Le tentang sepak terjang Liok Kong Ji yang melarikan diri sambil membawa pedang Pak-kek Sin-kiam, juga membawa Iari bersama puteri Hwa I Enghiong, kemudian mengalahkan Soan Li yang mencoba mengejarnya. Soan Li mengerutkan kening dan sepasang alisnya bertemu.
"Aku pernah melihatnya..." katanya dalam bisikan pula, matanya tak pernah berkedip memandang ke arah Kong Ji.
"Kau tadi sudah mendengar namanya Liok Kong Ji. Kenalkah kau padanya?"
"Aku... aku pernah mendengar nama itu... lupa lagi entah di mana...."
"Coba kaulihat balk-balk, apakah wajahnya menimbulkan kesan baik atau buruk padamu?"
"Buruk... dia menimbulkan muak dan aku... entah mengapa aku benci dan tidak suka kepadanya."
"Dan nama itu, Liok Kong Ji, bagaimana terdengar olehmu? Apakah juga mendatangkan perasaan tak enak?"
"Nama itu pun memuakkan, menimbulkan benci...!" kata Soan Li dan nampaknya gadis ini bingung sendiri mengapa ia bisa membenci wajah dan nama orang itu. Cam-kauw Sin- kai tidak mau mendesak terus karena sebagai seorang tabib ia maklum bahwa pengembalian ingatan gadis ini harus secara sewajarnya dan dengan perlahan, kecuali kalau memang ada obat yang tepat untuk menghantam racun yang sudah mengotori kepala gadis itu.
Sementara itu, gadis berpedang hijau ketika mendengar omongan Liok Kong Ji sama sekali sikapnya tidak mengacuhkan dan tidak sudi melayani. Ia hanya menyapu wajah pemuda itu dengan kerling matanya, kemudian berkata.
"Hemm... di sini orang mau mengadakan pemilihan bengcu? Menarik sekali! Hendak kulihat, orang macam apa yang nanti terpillh menjadi bengcu!" Setelah berkata demikian, ia menyapu wajah semua orang yang hadir di situ dengan wajah penuh perhatian. Pandang matanya tajam kini dapat melihat bahwa sesungguhnya tempat itu penuh oleh orang-orang yang kelihatannya pandai, maka wajahnya menjadi berseri, agaknya tertarik sekali.
Tai Wi Siansu, ketua Kun-lun-pai, adalah seorang yang dahulunya menjadi sahabat baik dari Pat-jiu Nio-nio, maka kini melihat bahwa di situ terdapat serombongan orang- orang Hui-eng-pai yang disangkanya sudah bubar semenjak nenek sakti itu meninggal, menjadi gembira dan tertarik. Dengan lambaian lengannya, iato melompat menghadapi nona pedang hijau itu dan berkata ramah.
"Nona, kau siapakah? Pinto lihat memimpin pasukan Hui-eng pai. Apa hubunganmu dengan mendiang Pat-jiu Nio- nio?"
Nona itu menengok dan matanya yang lihai itu mengerling tajam, bulu matanya yang panjang melengkung itu mencoba untuk menyembunyikan matanya yang bagus itu. Sikapnya dingin sekali, seakan-akan ia memandang rendah kepada semua tokoh yang berada di situ. Sikap ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang nona berilmu tinggi yang tak pernah terjun ke dunia kang-ouw sehingga tidak mengenal dan dikenal orang, dan bagaikan seekor anak lembu yang baru pertama kali memasuki rimba raya, tidak takut bertemu dengan singa, serigala, maupun harimau! Gadis itu memperhatikan Tai Wi Siansu dan melihat seorang kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus, sudah putih rambutnya dan sikapnya amat lemah lembut dan ramah, ia lalu tersenyum manis. Bukan main manisnya senyum ini sehingga Tai Wi Siansu sendiri menjadi kagum. Setelah tersenyum, benar-benar gadis di depannya ini amat cantik jelita. Tadi tidak begitu kentara kecantikannya oleh karena sikapnya yang dingin dan mukanya yang keras. Setelah tersenyum dan nampak sifat kewanitaannya. Dia benar-benar seorang yang manis.
"Orang tua namaku Siok Li Hwa. Kau ini orang tua yang mengenal nama Nio-nio, siapakah kau?"
Tai Wi Siansu tertawa sambil mengelus-elus jenggotnya. Diam-diam ia kagum dan juga heran sekali karena gadis ini, terbayanglah di depan matanya Pat-jiu Nio-nio ketika masih muda. Biarpun tidak secantik gadis ini, akan tetapi sikap mereka ini benar-benar sama. Dahulu, Pat jiu Nio-nio juga begini sikapnya, dingin, sederhana, jujur, tegas, tidak mengenal takut di samping kepandaiannya yang amat lihai.
"Nona, sayang Pat-jiu Nio-nio sudah tidak ada lagi. Kalau dia masih ada tentu dia dapat bercerita banyak tentang pinto kepadamu." Sejenak kakek berhenti dan matanya memandang ke atas seolah-olah ia hendak membayangkan kembali masa dahulu.
"Pinto adalah Tai Wi Siansu."
Siok Li Hwa nampak kaget dan cepat gadis ini menoleh ke arah rombongannya dan kedua tangannya diangkat ke atas dan jari-jari tangan itu menari-nari. Seorang gadis yang berada di depan rombongan juga mengangkat tangan ke atas dengan jari-jari yang mungil dan runcing itu menari-nari seperti ular-ular kecil! Hanya sebentar pertunjukan aneh itu karena Siok Li Hwa sudah membalikkan tubuh lagi menghadapi Tai Wi Sian sambil berkata,
"Ah, kiranya Tai WI Siansu dari Kun- lun-pai? Nio-nio dahulu pernah bilang bahwa Tai Wi Siansu dari Kun-lun pai adalah seorang gagah. Aku senang sekali bertemu dengan Siansu di sini. Melihat Siansu berada di sini, tentu kakek- kakek yang lain di sana itu pun bukan orang-orang sembarangan!"
Tai Wi Siansu tertawa.
"Mereka itu bukan orang-orang asing bagi Pat-jiu Nio-nio.
"Lihat, mereka itu adalah Ketua Thian-san-pai yang bernama Leng Hoat Taisu," katanya sambil menunjuk kepada seorang kakek kecil bongkok bermuka merah dengan kepala botak dan tidak berkumis. Orang itu mengangkat tongkatnya yang hitam ke arah Siok Li Hwa sambil berkata gembira.
"Nona Garuda, Pat-jiu Nio-nio pernah dua kali bertemu dengan pinto!" Siok LI Hwa tertawa dan merasa suka melihat kakek yang lucu itu.
"Yang itu adalah Bu Kek Siansu, Ketua Bu-tong-pai. Yang di sana itu, dia adalah Cam-kauw Sin-kai, yang terkenal di dunia kang-ouw. Adapun yang gagah perkasa itu, dialah Pendekar Budiman yang terkenal dengan sebutan Hwa l Enghiong bernama Go Ciang Le bersama isterinya Sian-Li Engcu Liang Bi Lan. Dan itu," ia menuding ke arah rombongan See-thian Tok-ong.
"dia adalah See-thian Tok-ong bersama isterinya dan puteranya. Mereka ini pun merupakan orang-orang terkemuka dalam dunia silatan. Hanya mereka itulah yang patut kau kenal di antara semua yang hadir."
"Hanya itu"" tanya Siok Li Hwa, sinar matanya menyapu orang-orang lain yang banyak hadir di situ.
"Mengapa begitu banyak orang""
"Yang lain-lain adalah pengikut- pengikut dan orang- orang biasa," kata Ketua Kun-lun-pai.
"Kami semua berkumpul di sini untuk mengadakan pemilihan seorang bengcu baru. Orang-orang gagah di dunia kang-ouw perlu sekali dengan seorang bengcu baru yang bijaksana, yang akan memimpin semua partai sehingga tidak timbul perpecahan."
"Bagus sekali, alangkah ramainya nanti. Biar aku menonton dan ingin orang macam apa yang akan terpilih, kata gadis ini dengan sikap seakan-akan orang menghadapi sebuah permainan anak-anak.
"Nona, kau dari Go-bi-san datang bersama pasukan hui- eng-pai. Sudah sepatutnya kalau kau pun mengajukan usul ikut pula memilih."
Siok Li Hwa menggeleng kepalanya.
"Tidak perlu dengan segala bengcu! Aku datang bukan untuk urusan pemilihan bengcu, melainkan untuk mencari seorang penjahat bernama Wan Sin Hong." Seteiah berkata demikian, gadis ini melompat ke dalam rombongannya sendiri yang mengambil tempat di bagian terpisah. Di situ ia dan rombongannya berdiri sebagai penonton, akan tetapi mereka semua memasang mata tajam untuk mencari-cari orang yang mereka kejar-kejar sejak beberapa bulan yang lalu.
Mengapa rombongan Hui-eng-pai ini mengejar-ngejar Wan Sin Hong? Seperti telah dituturkan tadi, Siok Li Hwa menyerang Kong Ji karena mengira pemuda ini Wan Sin Hong, atau setidaknya seorang di antara anggauta rombongannya yang mengira demikian. Siok Li Hwa sendiri belum pernah bertemu dengan penjahat yang bernama Wan Sin Hong itu. Kurang lebih dua bulan yang lalu, seorang di antara anak buahnya yang bernama Cun Eng dan yang tadi telah ditanyainya tentang Kong Ji, pada suatu malam telah disergap dan diganggu oleh seorang pemuda yang kemudian mengaku bernama Wan Sin Hong.
Pemuda ini lalu menghilang di dalam gelap malam, Cun Eng sambil menangis melaporkan hal ini kepada Hui eng Niocu (Nona Garuda Terbang), yakni nama julukan dan Siok Li Hwa. Siok Li Hwa marah bukan main dan sambil membawa empat puluh orang kawan, ia memimpin pasukan ini melakukan pengejaran.
Penjahat itu hanya merupakan bayangan yang bergerak cepat sekali dan di dalam gelap, Cun Eng tidak dapat mengenal betul wajah orang yang menyerang dan mengganggunya, maka amatlah sukar penjahat itu ditangkap. Yang menjadi pegangan para pengejarnya hanyalah nama penjahat itu. Dan anehnya, setiap kali tiba di suatu dusun atau kota, mereka mendengar nama ini yang seakan-akan sengaja ditinggalkan oleh penjahat itu untuk memberi tahu mereka akan jejaknya. Demikianlah akhirnya Siok Hwa mengejar sampai di Ngo-heng-san dan di situ kehilangan jejak penjahat yang dikejar-kejarnya.
Siapakah sebenarnya Siok Li Hwa? Sepuluh tahun yang lalu, ketika Pat-Jiu Nio-nio meninggal dunia karena usia tua, perkumpulannya, yakni Hui-eng pai yang mempunyai seratus orang lebih anggauta terdiri wanita semua, terpaksa bubar. Tak seorang pun yang sanggup menggantikan kedudukan Pat-Jiu Nio-nio karena semua mengerti bahwa untuk memimpin perkumpulan ini, orang itu harus memiliki kepandaian yang amat tinggi. Sedangkan Pat-Jiu Nio nio tidak mempunyai murid langsung. Semua anggautanya memang diberi pelajaran ilmu silat, akan tetapi mereka ini tidak mewarisi semua ilmunya dan biarpun untuk anggapan umum semua anggauta Hui-eng pai rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kalau dibandingkan dengan kepandaian Pat-Jiu Nio-nio, masih amat jauh, belum ada persepuluhnya. Inilah yang membuat semua anggauta ragu-ragu dan akhirnya perkumpulan itu dibubarkan. Gedung indah tempat tinggal Pat jiu Nio-nio di puncak tersembunyi di
Gunung Go-bi-san menjadi sunyi dan dijadikan sebagai kuil di mana tinggal lima orang bekas anggauta Hui-eng pai yang mengambil keputusan untuk menjadi pertapa atau pendeta wanita di tempat itu! Yang lain-lain lalu bubaran mengambil jalan hidup masing-masing setelah menerima bagian dari harta peninggalan ketua mereka.
Di antara para anggauta ini, terdapat seorang gadis cilik berusia kurang lebih sembilan tahun, Gadis ini adalah Siok Li Hwa, seorang gadis yatim piatu yang ditolong dari bahaya kelaparan di daerah selatan yang kering oleh Pat jiu Nio-nio empat tahun yang lalu.
Gadis cilik ini amat cantik manis menimbulkan rasa suka pada Pat jiu Nio-nio, maka gadis ini dijadikan pelayan pribadinya. Makin lama Pat-itu Nio-nio makin suka kepada gadis cilik ini, sehigga di waktu malam Ketua Hui-eng pang yang tidak mempunyai keluarga ini lalu memberi pelajaran ilmu membaca dan menulis kepada Siok Li Hwa. Bahkan ia pun mulai memberi pelajaran ilmu silat dasar seperti yang ia ajarkan pada semua anggauta Hui eng-pang.
Tentu saja ia tidak langsung mengajari sendiri, hanya menyuruh seorang anggautanya yang sudah pandai. Akan tetapi tentang pelajaran ilmu surat dia sendiri yang mengajar.
Siok Li Hwa merasa senang sekali tinggal di situ dan gadis ini ternyata berotak tajam. Tidak saja huruf-huruf yang sukar itu dilalapnya dengan mudah juga semua pelajaran ilmu silat dapat dipahami dalam waktu singkat. Melihat kecerdikannya, Pat-jiu Nio-nio semakin sayang kepadanya. Mulailah memberi pelajaran ilmu silat sendiri pada gadis cilik ini, yaitu pelajaran teori ilmu silat yang mengandung sari pelajaran ilmu silat tinggi. Juga ia menceritakan tentang tata usaha dan peraturan dari perkumpulan Hui-eng-pai yang istimewa. karena terdiri dari wanita semua.
"Kaum wanita terlalu dihina dan direndahkan oleh kaum pria, Li Hwa." Pernah Pat-pu Nio-nio berkata.
""lihat betapa banyaknya wanita dianggap sebagai hewan peliharaan dan dianggap rendah serta tiada berguna. Orang-orang itu bangga kalau mempunyai anak laki-laki, sebaliknya kecewa kalau mempunyai anak perempuan. Banyak sekali suami yang mengambil isteri berikut bini muda pula sampai beberapa orang jumlahnya. Semua itu karena kaum wanita lemah. Oleh karena itu, perkumpulan Hui-eng-pai harus menjadi pelopor, membangkitkan semangat para wanita agar kelak jangan sampai diinjak-injak dan dijajah oleh kaum pria." Seringkali Li Hwa mendengar kalimat-kalimat seperti ini yang membanjir keluar dari mulut Pat jiu Nio-nio.
Akan tetapi sayang, ketika Li Hwa berusia empat belas tahun, Pat-jiu Nio-nio meninggal dunia karena usia tua. Orang yang paling berduka di antara para anggauta perkumpulan itu adalah Siok Li Hwa yang merasa seperti ditinggal ayah-bundanya sendiri. Beberapa jam setelah Pat- jiu Nio-nio dianggap meninggal, Li Hwa menjaga jenazah Pat-jiu Nio-nio seorang diri di dalarn kamar jenazah.
Ia memeluki jenazah itu sambil menangis, dan menolak keras ketika para saudara tuanya mengajak ia keluar. Menjelang tengah malam, kurang lebih enam jam setelah Pat-jiu Nio-nio disangka mati, tiba-tiba ia mendengar suara nenek itu perlahan.
"Siok Li Hwa...."
Li Hwa mengangkat mukanya dan pucatlah ia ketika melihat betapa nenek itu bergerak-gerak dan membuka mata. Akan tetapi hanya sebentar saja ia kaget. Di lain saat ia sudah girang bukan main dan cepat-cepat ia berlutut. Pat jiu Nio-nio tidak bangkit, hanya rebah saja sambil menggerak-gerakan jari tangannya membuat tulisan di udara. Sian Li Hwa adalah seorang anak yang cerdik sekali. Ia memperhatikan gerak jari tangan itu dan tahulah ia bahwa nenek itu menuliskan huruf-huruf yang berbunyi:
"Ambil peti merah di sudut kamar dan bawa ke sini!"
Li Hwa cepat berdiri dan melakukan perintah itu. Ia tahu bahwa peti merah itu berisi beberapa jilid kitab kuning karena sudah seringkali ia melihat nenek itu tekun membaca kitab-kitab itu sampai jauh malam, bahkan kadang-kadang sampai hampir pagi. Karena melihat nenek itu sudah lemah sekali, maka Li Hwa menaruh peti itu di pinggir pembaringan. Ia cemas juga melihat nenek itu kini sudah rebah telentang dengan kedua mata dipejamkan tak bergerak seperti tadi ketika belum bergerak dan sudah dianggap mati.
"Nio-mo... ini petinya..." katanya di dekat telinga nenek itu.
Pat-jiu, Nio-nio membuka matanya yang sudah tak bersinar lagi. Agaknya suatu yang amat menjadi pikirannya yang membuat nenek ini seakan akan hidup lagi! Atau memang tadinya ia belum mati betul dan pikiran tentang sesuatu yang ditinggalkan itu agaknya memberi daya hidup, sungguhpun ia hanya dapat menggerakkan tangan dan hanya dapat mengeluarkan suara memanggil nama Li Hwa tadi. Kini ia kembali menggerak-gerakkan telunjuknya di udara seperti orang menulis huruf. Siok Li Hwa cepat memandang dan menaruh perhatian sepenuhnya. Sambil memandang, membaca hurut-huruf yang ditulis di udara itu.
"Kau pelajari kitab-kitabku, cari Cheng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) tanya pada Hwesio Go-bi, dan pimpin Hui-eng-pai!" Setelah menuliskan huruf terakhir lengan yang kurus itu hilang tenaganya jatuh di atas dadanya dan kali ini Pat-jiu Nio-nio benar-benar kehilangan nyawanya!
Demikianlah, setelah perkumpulan ini bubar sendirinya dan para anggautanya, kecuali lima orang anggauta tertua mengambil keputusan menjadi pertapa di gedung seperti istana ini, pergi meninggalkan puncak sunyi itu, Li Hwa ikut tinggal di situ. Diam-diam ia mempelajari isi peti dan ternyata di dalamnya terdapat tiga buah kitab kuno. Sebuah kitab ilmu silat dan ilmu pedang, sebuah lagi terisi pelajaran tentang lweekang, latihan napas, samadhi dan ilmu-ilmu tinggi tentang tenaga di dalam tubuh, dan yang ke tiga adalah sebuah kitab tentang pelajaran ilmu pengobatan dan tentang peraturan-peraturan Perkumpulan Hui-eng-pai. Dengan amat keras hati dan tekun, Li Hwa mempelajari semua ini, melatih dengan amat rajinnya sehingga ia akhirnya berhasil mewarisi ilmu silat yang tinggi dari mendiang Pat-jiu Nio-nio.
Lima orang pendeta wanita bekas anggauta Hui-eng-pai juga mengetahui hal ini dan diam-diam mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai orang yang mampu melanjutkan cita-cita guru besar mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, mereka inilah yang membantu memberi petunjuk-petunjuk, karena biarpun dalam hal ilmu silat mereka sudah kalah jauh oleh Li Hwa, namun dalam hal pengalaman mereka menang banyak. Ketika Li Hwa menuturkan tentang Cheng-liong-kiam dan hwesio di Gobi-san seperti yang dipesankan oleh Pat-jiu Nio- nio, lima orang pendeta itu nampak terkejut sekali.
"Aduh, mengapa kau diharuskan mencari pedang itu?" kata seorang di antara mereka.
"Dulu Nio nio sendiri tidak berhasil mendapatkan pedang itu. Terutama hwesio Gobi yang dimaksudkan, tentulah ketua dan Go-bi-pai yang berada di puncak ke tujuh dan deretan puncak- puncak di pegunungan ini. Di sana terdapat sebuah kelenteng besar dan didiami oleh hwesio-hwesio yang tinggi silatnya. Kiranya hanya mereka itulah yang dapat menunjukkan dimana adanya Cheng-liong-kiam, karena kami sendiri pernah mendengar namun tidak tahu di mana adanya pedang pusaka itu."
"Kalau begitu, aku harus pergi mencari hwesio itu dan harus kudapatkan pedang Cheng-liong-kiain sesuai dengan pesan mendiang Nio-nio!" kata Li Hwa dengan suara menyatakan kebulatan tekadnya. Gadis berusia belasan tahun dengan semangat menyala-nyala lalu pergi ke puncak di mana terdapat kelenteng Go-bi-pai yang angker dan besar.
Ia diterima oleh Kian Hok Taisu, ketua dari Go-bi-pai. Hwesio tua ini terheran-heran melihat seorang gadis cantik jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pat-jiu Nio nio dan mengaku hendak menyampaikan pesanan mendiang Put-jiu Nio-nio.
"Nona cilik, bagaimana kau bisa mengaku sebagai ahli waris Pat-jtu Nio-nio?" tanya ketua Go-bi-pai ini dengan suara sabar. Siok Li Hwa selamanya tinggal di atas gunung dan tak pernah bergaul di dunia ramai maka sikapnya kaku, dingin dan polos, tidak pandai bersopan dan bermanis-manis.
"Tai-suhu," katanya tanpa memberi hormat dan berdiri dengan tegak.
"sebelum meninggal dunia. Nio-nio menyerahkan tugas kepadaku, menurunkan kepandaiannya melalui kitab-kitab pelajaran kepadaku dan memesan supaya aku pergi menemui hwesio Go-bi pai dan tanya tentang Pedang Cheng-liong-kiam. Maka harap kau orang tua suka memenuhi keiginan Nio-nio dan katakan kepadaku dimana adanya pedang Cheng-liong-kiam itu agar dapat kuambil." Sepasang mata Kian Hok Taisu yang besar itu terbelalak heran dan di sana-sini terdengar suara ketawa ditahan dan beberapa orang hwesio yang ikut mendengar kata-kata lantang ini.
"Kau...? Kau yang diwajibkan oleh mendiang Pat-jiu Nio-nio untuk mengambil Cheng-liong-kiam? Ah, jangan main-main, Nona. Pat-jiuw Nio-nio sendiri sudah mencoba mengambilnya sampai lima kali akan tetapi selalu ia gagal dan akhirnya ia sampai-sampai tidak mau muncul di dunia kangouw dan menyembunyikan diri. Sekarang kau yang masih begini muda, kau mau mengambil pusaka itu? Nona, mata pedang tak dapat melihat orang dan kalau kita tidak hati- hati mudah sekali kita terluka olehnya. Harap kau batalkan saja niat ini dan pulang dengan selamat. Nasihat pinceng, ini bukan main-main dan demi kebaikanmu sendiri."
"Hwesio tua baru berjumpa satu kali kau sudah memberi nasihat dan mengkhawatirkan keselamatanku. Sungguh kau baik hati. Akan tetapi aku tidak perduli akan semua nasihatmu itu. Baiknya kau lekas beri tahu di mana adanya Cheng-liong-kiam itu agar aku dapat pergi mengambilnya dan habis perkara. Jangan kau putar-putar omongan yang tidak ada gunanya bagiku." gadis ini tidak marah, akan tetapi oleh karena ia tidak dapat mengatur kata-katanya, maka terdengar kasar dan tidak hormat.
Baiknya Kian Hok Taisu adalah seorang pendeta Buddha yang sudah tinggi ilmunya, maka ia tidak menjadi marah, hanya tersenyum lebar dan diam-diam bahkan mengagumi semangat gadis itu. Jarang ia melihat seorang wanita dengan semangat perlawanan yang menyala-nyala dan keberanian yang begini besar.
(Lanjut ke Jilid 28)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 28
"Omitohud!" Ta memuja nama Buddha sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Begitukah kehendakmu, Nona. Baiklah, mari kau ikut pinceng, biar kau mencoba merampas pedang itu." Setelah berkata demikian, hwesio tua itu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke sebelah dalam kelenteng yang luas itu. Beberapa orang hwesio lain juga berjalan masuk. Siok Li Hwa merasa sangat heran. Tak disangkanya tempat itu ternyata dekat saja, bahkan adanya di sebelah... dalam kelenteng ini! Akan tetapi tanpa banyak cakap ia pun lalu ber jalan mengikuti Kian Hok Taisu.
Ternyata bahwa Ketua Go-bi-pai membawanya ke sebuah ruangan amat lebar. Melihat betapa ruangan kosong dan di pojok terdapat rak tempat senjata, mudah diduga bahwa tentulah Lian-bu-thia, tempat belajar silat dari Partai Go-bi- pai. Tempat itu memang luas sekali, kiranya cukup untuk seratus orang berlatih silat dalam saat yang sama.
Kian Hok Taisu berhenti di tengah- tengah ruangan membalikkan tubuh menghadapi Li Hwa yang berdiri bengong tak mengerti. Hwesio-hwesio lain yang kini jumlahnya bertambah, ada dua puluh orang mengundurkan diri dan duduk di atas lantai dalam keadaan berkeliling membuat ruangan yang cukup lebar di tengah-tengah seperti orang hendak nonton demonstrasi silat.
Kemudian seorang hwesio dengan sikap hormat dan langkah tegap mendatangi dari dalam, kedua tangannya menyangga sebuah bungkusan panjang. la melangkah terus sampai di depan Kian Hok Taisu, lalu membungkuk dan menyodorkan bungkusan kain putih yang tadi dibawanya. Hwesto tua itu menyambut bungkusan kain putih dan memberikan kain itu kepada pembawa bungkusan tadi. Dan dalam bungkusan itu dikeluarkannya sebatang pedang yang bagus sekali, yang ketika dihunus dari sarungnya mengeluarkan cahaya hijau.
Pembawa bungkusan itu lalu mengundurkan diri dan duduk bersila di dekat kawan-kawannya yang lain, yang semua sekarang memandang penuh perhatian ke tengah lapangan di mana guru besar mereka dengan pedang hijau di tangan berhadapan dengan Siok Li Hwa.
"Nona, silakanlah," kata hwesio tua itu sambil melintangkan pedang hijau di depan dada, sikap seorang yang menanti datangnya serangan lawan! Tentu saja Siok Li Hwa mengelak dan tidak bergerak, memandang dan terheran-heran, bahkan ia ragu-ragu apakah hwesio tua ini kurang waras otaknya.
"Silakan bagaimanakah? Kau suruh aku berbuat apa, Tai suhu?" tanyanya sambil memandang tajam.
"Tentu saja merampas pedang ini dari tangan pinceng kalau kau dapat, habis apa lagi? Bukankah untuk keperluan kau datang ke sini?"
Biarpun Li Hwa seorang yang cerdik, akan tetapi semua ini melampaui batas kemampuannya berpikir. Ia menjadi bingung dan dengan berkerut ia menegur.
"Hwesio tua, harap kau jangan main gila. Aku tidak ada waktu untuk main- main! Apa sih maksudmu mengajak bertanding?" Kini giliran Kian Hok Taisu yang terbelalak heran. Kemudian hwesio ini mengerti dan tertawalah dia, tertawa geli.
"Aha, jadi kau malah belum mengerti akan maksud pesanan mendiang Pat jiu Nio-nio? Benar-benar lucu. Duduk lah, Nona, biar pinto menceritakanmu sejelasnya." Setelah berkata demikian hwesio itu lalu duduk bersila di atas lantai, di tempat ia tadi berdiri. Biarpun dengan sikap kurang sabar, Li Hwa terpasa duduk juga untuk mendengarkan keterangan hwesio tua itu atas sikapnya tadi yang benar-benar ia tidak mengerti. Dia datang untuk menanyakan tempat Ceng-liong-kiam, mengapa datang-datang ditantang berkelahi? Dan pedang di tangan hwesio tua itu, pedang indah yang bercahaya hijau, apakah hubungannya dengan Cheng-liong kiam? Apakah itu yang disebut Cheng-liong-kiam?
"Nona, semua ini dimulai dengan kelakar! Dengan lelucon antara mendiang Pat-jiu Nio-nio dan Paman Guruku yang sudah meninggal dunia. Pedang ini yang disebut Cheng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) dan tadinya adalah pedang Pat-jiu Nio-nio. Ketika itu Pat jiu Nio-nio masih muda, gagah perkasa dan jenaka. Sayang sekali ia terlalu mengagulkan kepandaian sendiri sehingga timbul sombongnya. Di hadapan Paman Guruku. Pat-jiu Nio-nio berani menyatakan bahwa barang siapa dapat menghadapi pedangnya dengan tangan kosong dan merampas pedang maka pedang itu akan diberikan dengan cuma-cuma." Kian Hok Taisu menarik napas panjang, lalu melanjutkan.
Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pada waktu itu, Paman Guruku juga masih muda dan berdarah panas. Mendengar kesombongan Pat-jiu Nio-nio, ia lalu menggulung lengan baju dan menantang. Maka mulailah pertempuran. Pat-jiu Nio-ruo memegang Cheng liong-kiam dan paman guruku bertangan kosong. Karena tingkat kepandaian Paman Guruku lebih tinggi, akhirnya pedang itu terampas!
Paman Guruku hendak mengembalikannya dan menganggap hal itu sebagai lelucon, siapa kira bahwa Pat-jiu Nio-nio merasa terhina dan berkata dengan marah bahwa kelak akan tiba masanya ia datang mengambil kembali pedangnya itu dengan cara yang sama, yakni mengalahkan Paman Guruku yang berpedang dengan tangan kosong! Kemudian wanita yang keras hati itu memperdalam ilmu silatnya. Akan tetapi, berulang-ulang sampai tiga kali ia datang tetap saja ia tidak berhasil merampas pedang. Bahkan yang keempat kalinya ia terluka oleh Paman Guruku."
Sampai di sini Kian Hok Taisu menahan napas panjang.
"Sungguh menyedihkan sekali, perkara lelucon seperti itu mendatangkan dendam yang mendalam. Bahkan Paman Guruku yang marah melihat sikap Pat-jiu Nio-nio juga timbul panas hatinya dan bertekad tidak mau mengembalikan pedang begitu saja sebelum ia dikalahkan!
Oleh karena itulah, ketika bahwa pedang ini harus pinceng simpan baik-baik dan apabila Pat-jiu Nio-nio datang hendak mengambilnya, pinceng harus pula menghadapinya dengan syarat yang sama, yakni apabila Pat-jiu Nio-nio dengan tangan kosong dapat merampasnya, baru pedang itu boleh diberikan, ditambah pernyataan maaf dari mendiang paman guruku.
Dua tahun kemudian, benar saja Pat-jiu Nio-nio datang dan terpaksa pinceng melayaninya. Setelah pertandingan yang sangat melelahkan, barulah pinceng berhasil mengalahkannya dan membuatnya pergi dengan penasaran."
Kian Hok Taisu memandang kepada Siok Li Hwa, lalu berkata.
"Ketika mendengar bahwa Pat-jiu Nio-nio sudah meninggal dunia, yakni lima tahun yang lalu, hati pinceng sudah lega dan melupakan urusan ini. Pedang ini disimpan di kamar pusaka, dijadikan sebuah di antara senjata-senjata pusaka Go-bi-pai. Eh, tidak tahunya hari ini kau datang dan menyatakan sebagai wakil Pat-jiu Nio-nio hendak mengambil Cheng-liong-kiam. Bukankah hal ini benar-benar tak dapat disangka sebelumnya? Nah, demiklanlah, Nona. Setelah mendengar penuturan ini, bagaimana pendapatmu?"
"Aku tetap hendak melakukan pesan mendiang Nio-nio tetap hendak mengambil kembali pedang pusaka itu!" kata Li Hwa dengan suara tetap.
Hwesio tua itu nampak kecewa dan berduka.
"Nona, kau tahu bahwa pinceng tak dapat memberikan pedang ini begitu saja tanpa memenuhi syarat yang sudah pinceng janjikan kepada Paman Guruku. Hanya kalau dapat merampas kembali, pedang ini dapat kembali ke dalam tanganmu. Akan tetapi kau masih begini muda, bagaimana pinceng yang tua bangka ada muka untuk melayanimu bertempur? Nona, lebih baik diatur begini saja. Kau pulanglah saja dan kautunggu kalau pinceng sudah mati, pedang ini pasti akan diantarkan ke tempat tinggalmu. Yang bertanggung jawab terhadap pedang ini dan sudah berjanji kepada mendiang Paman Guruku hanya pinceng seorang. Kalau pinceng mati, berarti janji itu pun telah mati pula dan pinceng akan memesan kepada para anak murid agar kelak sepeninggal pinceng, pedang ini akan diantarkan kembali kepadamu. Bagaimana?" Kakek gundul itu memandang kepada Li Hwa dengan penuh harapan.
Akan tetapi gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berkata, dengan suara nyaring.
"Kian Hok Taisu, kau bicara tentang enaknya jalan pikiranmu sendiri saja. Sudah jelas bahwa pedang itu dahulunya adalah milik Nio-nio. Mengapa sekarang kau begitu susah-susah memutar-mutar omongan? Kalau memang kau tidak menghendaki keributan serahkan saja pedang itu kepadaku, habis perkara bukan? Kalau kau menunggu sampai kau mati, baru mengembalikan, aah, tak usah mencari-cari alasan, bilang saja terus terang bahwa kau suka memiliki pedang itu tidak ingin mengembalikan!"
Kian Hok Taisu menjadi merah mukanya, akan tetapi ia tetap sabar. suaranya agak keras ketika ia berkata.
"Nona, kau masih begini muda tetapi kata-katamu keras. Agaknya seperti kau inilah dahulu Pat-jiu Nio-nio di waktu muda. Soal mengembalikan pedang adalah soal mudah. Akan tetapi adalah menyangkut soal nama dan kehormatan. Pat-jiu Nio-nio sampai lima kali berusaha mengambil pedangnya tanpa hasil. Masa sekarang begitu kau datang tanpa perlawanan pinceng harus mengembalikan pedang itu begitu saja? Akan kemanakah larinya nama dan kehormatan pinceng sebagai Ketua Go-bi-pai?"
"Hem, Hwesio Tua. Kau bicara tentang nama dan kehormatan, apakah aku yang muda juga tidak menjaga nama dan kehormatan? Aku harus menebus penghinaan yang dirasakan oleh Nio-nio di samping merampas kembali pokiam itu. Kau telah berjanji akan memenuhi pesan Paman Gurumu sampai mati apakah kau kira aku pun tidak berani memenuhi pesan Nio nio dengan taruhan nyawaku?"
"Jadi kau benar-benar hendak merampas pedang ini?" Kian Hok Taisu berkata sambil menggerak-gerakkan pedang Cheng-liong-kiam sehingga kelihatan sinar kehijauan.
"Tentu saja." Kembali terdengar suara ketawa dari beberapa orang hwesio yang menonton di situ karena kata-kata itu dianggap amat lucu. Bagaimana seorang gadis cantik jelita dan muda yang nampaknya begitu halus dan lemah akan merampas pedang di tangan Ketua Go-bi-pai?
"Nona, kau masih begini muda. Pinceng tak enak hati menghadapimu dengan pedang di tangan, sedangkan kau sendiri bertangan kosong. Kaullhat, di pojok sana itu terdapat rak senjata. Kaupilih senjata yang paling baik untuk menghadapi pinceng dan apabila pinceng sampai terluka sedikit saja oleh senjatamu, biarlah pinceng mengaku kalah. Akan tetapi, kalau sampai kau yang terkalahkan harap kau jangan bantah-bantahan lagi dan menunggu sampai pinceng menutup mata untuk selamanya baru pedang ini akan diantarkan kepadamu."
Li Hwa tidak menjawab, melainkan segera menghampiri rak senjata dan memilih sebatang pedang yang cukup baik. Kemudian ia melompat menghadapi Kian Hok Taisu sambil memutar pedang berkata,
"Hwesio tua, lihat pedang"" Pedangnya digerakkan cepat dan ia telah menyerang dengan dahsyat.
Melihat cara serangan ini, tak terasa lagi Kian Hok Talsu berseru.
"Omitohud, kau benar-benar ahli waris Pat-jiu Nio- nio!" la pun tidak tinggal diam dan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya diangkat untuk menangkis serangan nona itu. Akan tetapi Li Hwa tidak menanti sampai pedangnya tertangkis. Melihat bahwa serangan pertama ini gagal dan itu akan tertangkis apabila dilanjutkan, ia telah menarik kembali pedangnya dan langsung ditusukkan, merupakan serangan kedua yang tak kalah dahsyatnya dan begitu otomatis seperti serangan berantai. Padahal yang dimainkan itu adalah jurus ke dua yang berlainan sama sekali. Inilah sifat ilmu silat yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan Pat-jiu Nio-nio. Mengandalkan kepada kecepatan gerakan sehingga mendesak lawan dan tidak memberi kesempatan untuk lawan balas menyerang.
Akan tetapi Kian Hok Taisu adalah orang ahli silat kelas tinggi. Dahulu ketika Pat-jiu Nio-nio sendiri datang hendak merampas pedang, wanita sakti itu dapat dikalahkannya. Apalagi sekarang yang datang hanya murid Pat-jiu Nio-nio yang kepandaiannya belum matang.
Setelah menggagalkan serangan Li Hwa sampai dua belas jurus akhirnya pedang Cheng-liong-kiam berhasil membabat pedang di tangan gadis itu. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Li Hwa buntung menjadi dua. Akan tetapi gadis itu tidak menjadi gentar, sebaliknya ia melompat ke pojok ruangan dan di lain saat ia telah kembali menghadapi Kian Hok Taisu dan menyerang dengan sebatang golok yang tadi diambilnya dari rak senjata! Serangan-serangannya kalah hebatnya oleh serangan pertama dengan pedang yang telah buntung tadi.
Kian Hok Taisu cepat menyambut serangan ini dan sebentar kemudian dua orang ini sudah lenyap terbungkus gulungan sinar senjata, bertempur dengan hebatnya di ruangan itu, membuat para hwesio yang menonton menahan napas. Tak mereka sangka bahwa gadis muda ini ternyata lihai sekali dan memiliki kecepatan gerakan yang membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar senjata yang di mainkan. Kembali belasan jurus lewat dan ditutup oleh suara nyaring ketika golok di tangan Li Hwa terbabat putus lagi oleh Cheng-liong-kiam!
"Cih! Tak malu mengandalkan kemenangan pada pedang curian!" Li Hwa menyindir dengan hati mendongkol dan di lain saat ia telah melompat berjungkir balik dari tengah ruangan ke rak senjata lalu kembali ke tengah ruangan menghadapi lawannya dengan sebatang tombak! Dengan tombak ini ia menyerang bagaikan gelombang menderu dan terpaksa Kian Hok Taisu melayaninya. Ketua Go-bi-pai ini diam-diam terkejut sekali. Gadis muda ini ternyata tidak saja mewarisi kepandaian Pat-jiu Nio-nio akan tetapi juga mewarisi wataknya yang keras dan berani dan dalam hal ini, kiranya malah lebih keras, lebih berani, dan lebih nekad daripada Pat-jiu Nio-nio sendiri!
Berkali-kali Li Hwa berganti senjata dan senjata-senjata yang buntung oleh cheng-liong-kiam dan berserakan di ruangan itu sudah amat banyak. Pedang, golok, tombak, toya, pian, dan rantai. Kini gadis itu memegang sebilah tombak cagak dan menyerang makin lama makin dahsyat. Diam-diam Ketua Go-bi-pai kagum. Gadis semuda ini sudah miliki gerakan demikian hebat dan bahkan sudah pandai mainkan delapan belas macam senjata. Benar-benar jarang ada keduanya. Apalagi kalau disertai keberanian sebesar itu benar-benar merupakan gadis pilihan yang pasti akan dapat menjunjung tinggi namanya di dunia kang-ouw kelak. Akan tetapi kalau sampai tersesat jalan hidupnya, gadis ini akan menjadi penyeleweng yang tidak kepalang tanggung, dan merupakan ancaman hebat.
Tombak cagak yang dimainkan oleh Li Hwa kali ini adalah sebuah senjata yang ringan, maka gerakan gadis itu juga cepat bukan main. Namun, tetap saja setelah dua puluh jurus lewat, tombak itu patah menjadi dua bertemu dengan Cheng liong-kiam. Kini Kian Hok Taisu mengharapkan gadis itu mau mengalah dan pergi. Akan tetapi ia kecele, karena sebaliknya, gadis itu lalu menarik ikat pinggangnya yang terbuat daripada sutera kuning yang panjang dan mulailah Li Hwa menyerang dengan senjata istimewa.
Kali ini Kian Hok Taisu terkejut sekali. Semenjak tadi, ia tidak pernah mau menyerang Li Hwa, hanya menjaga diri dan tiap kali ada kesempatan, mematahkan senjata lawannya mengandalkan ketajaman pedang Cheng-liong- kiam. Melihat tingkat kepandaian Li Hwa, hal ini tidak mungkin ia lakukan, yakni hanya menjaga diri tanpa membalas, apabila tidak memegang pedang pusaka yang ampuh. Sekarang Li Hwa menyerangnya dengan ikat pinggang sutera dan dalam tangan seorang ahli lweekang, sabuk sutera ini dapat menjadi senjata yang amat berbahaya dan tidak dapat diputus oleh tajamnya pedang.
Di lain pihak, tadi ketika berganti-ganti senjata, diam-diam Li Hwa mengasah otaknya. Di dalam kitab Pat-jiu Nio-nio ia memang mendapat beberapa bagian yang menarik, yang menuturkan betapa Pat-jiu Nio-nio, menggunakan tipu untuk menghadapi lawan tangguh akan tetapi selalu gagal. Kegagalan ini ditulis terang terangan di dalam kitab, bahkan digambarkan keadaan pertempuran, tiap tipu apa yang dipergunakan oleh Pat jiu Nio-nio dan bagaimana ia mengalami gagalan. Coretan-coretan seperti ini ada lima macam dan tadinya Li Hwa tidak mengerti maksudnya, hanya mengira bahwa itu adalah pemberitahuan tentang siasat pertempuran. Akan tetapi sekarang baru ia mengerti bahwa setiap kali menyerang ke Go-bi-pai dan dikalahkan, Pat-jiu Nio-nio lalu menuliskan semua kegagalannya itu di dalam kitab!
Li Hwa semenjak tadi mengerahkan otaknya mengingat-ingat coretan yang lima macam itu. Teringatlah ia bahwa usaha Pat-jiu Nio-nio gagal seperti tersebut dalam coretan-coretan itu adalah karena Pat-jiu Nio-nio selalu mempergunakan kekerasan. Ilmu silat Go-bi-pai adalah ilmu silat yang banyak mengandalkan tenaga "yang" (kekerasan) dan karenanya tokoh-tokohnya tentu saja memiliki tenaga yang kuat. Kalau diserang dengan tenaga kasar pula, maka banyak lawan yang harus tunduk dan kalah terhadap tokoh-tokoh Go-bi-pai. Kemudian Li Hwa teringat bahwa di samping lima coretan tentang kegagalan Pat-jiu Nio-nio, terdapat coretan lain di bagian bawah yang menggambarkan seolah-olah Pat jiu Nio-nio mencari siasat bagaimana cara mengalahkan lawan yang sudah lima kali tidak dapat dikalahkan itu. Sekarang, setelah mendengar riwayat Pat jiu Nio-nio dan mendengar semua keterangan Kian Hok Taisu, barulah Li Hwa menjadi jelas dan semua coretan itu kini "hidup" dalam ingatannya. Ia tadi sengaja menukar-nukar senjata untuk memberi kesempatan padanya mengingat semua coretan itu. Setelah ia paham betul, barulah ia membuang senjata- senjata yang sudah buntung dan sebagai gantinya ia mengeluarkan ikat pinggangnya dari sutera!
Pendekar Budiman Eps 2 Pendekar Pedang Pelangi Eps 11 Pendekar Budiman Eps 13