Pendekar Pedang Pelangi 11
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 11
"Maaf, Nona... aku tetap tak bisa menolongmu. Sudah lama aku tidak melibatkan diri di dalam urusan rimba persilatan seperti ini. Aku sudah bosan. Aku sudah cukup banyak menderita karena urusan perkelahian, permusuhan dan dendam kesumat di dunia yang keras itu..."
"Buuuuk!"
"Auuuugh...!" Sekonyong-konyong terdengar suara pukulan dan keluhan tertahan dari arena pertempuran. Liu Wan, pemuda sakti itu ternyata telah terkena tendangan kaki Mo Goat. Tio Ciu In terkejut. Ia menyaksikan Liu Wan terhuyung-huyung sambil tetap berusaha menghindari serangan Mo Goat kembar yang terus saja memburunya. Pemuda itu kelihatan seperti lampu yang kehabisan minyak. Tenaganya yang besar tadi tampak sudah habis, sehingga pukulannya yang meledak-ledak seperti petir itu sudah tidak kelihatan lagi.
"Tuan...?" Tio Ciu In yang mencemaskan keselamatan Liu Wan itu tiba-tiba menjerit kecil tanpa terasa. Sungguh mengherankan! Jeritan lemah dan amat singkat dari Tio Ciu In itu ternyata mampu mengejutkan lelaki buta tersebut! Entah bagaimana caranya bergerak. Namun orang tua yang telah-berada di depan pintu keluar itu mendadak saja telah berada di dekat Tio Ciu In kembali! Sama sekali tak kelihatan bayangan tubuhnya yang berkelebat! Di mata Ku Jing San, Song Li Cu dan Tio Ciu In sendiri, tubuh lelaki buta itu seperti menghilang dan berpindah tempat begitu saja!
"Nona memanggil aku? Ada apa...?" orang tua itu bertanya tegang. Tio Ciu In yang baru saja menjerit kecil itu justru menjadi gugup menyaksikan kesaktian lelaki buta tersebut. Beberapa saat lamanya ia tak bisa menjawab atau membuka mulutnya.
"Nona! kau kenapa...? Apakah kau diserang dan dilukai musuhmu?" lelaki buta itu mendesak semakin tegang.
"Ti-tidak...! Kawanku... Kawanku terdesak! Dia... dia dalam bahaya!" akhirnya Tio Ciu In dapat bersuara dengan patah-patah.
"Ooooh!" orang tua itu berdesah lega, kemudian perlahan-lahan membalikkan badannya kembali.
"Tuan, tunggu...!" Tio Ciu In mengejar dan berseru. Lelaki buta itu berhenti.
"Ada apa lagi...?" Tio Ciu In berdiri tegak di depan orang tua itu. Matanya yang bulat indah itu mencoba mengawasi wajah yang dingin tertutup rambut tersebut.
"Tuan...? Mengapa Tuan tidak mau menolong teman-temanku itu?" Mendadak tubuh lelaki buta itu seperti bergetar menahan perasaan sedih. Tulang pipinya yang menonjol itu tampak pucat, sementara matanya yang bening seperti mata orang sehat itu kelihatan berair. Kemudian sambil menghela napas berat orang tua itu menundukkan wajahnya.
"Namamu siapa, Nona? Apakah kau tinggal di sekitar Laut Kuning? Apakah kau bermarga Han?" mendadak lelaki buta itu bertanya tanpa mempedulikan pertanyaan Tio Ciu In.
"Bukan... bukan! Aku tidak bermarga Han! Namaku Tio Ciu In dan aku juga tidak tinggal di sekitar Laut Kuning! Aku tinggal di kota Yun-kia..."
"Oooh...!" orang tua itu berdesah panjang seperti mengandung rasa kecewa yang amat dalam. Sebaliknya Tio Ciu In menjadi sangat heran melihat peri laku orang tua itu.
"Mengapa... Mengapa Tuan tidak segera menolong teman-temanku? Mengapa Tuan secara tiba-tiba malah menanyakan nama dan tempat tinggalku?" Sekali lagi orang tua itu menarik napas panjang sekali.
"Sudahlah, Nona Tio. Jangan kau hiraukan pertanyaanku tadi. Hmmmm, sekarang jawab saja pertanyaanku. Mengapa kau meminta pertolongan kepadaku?"
"Karena... Karena aku percaya Tuan akan meluluskan permintaanku!" Orang tua itu tampak tercengang sebentar, kemudian mengangguk-angguk.
"Kau benar, Nona Tio. Khusus untuk dirimu, aku bersedia mengubah pendirianku. Aku akan menolong teman-temanmu, tapi... dengan syarat!"
"Syarat? Syarat apa...? Lekas katakan!" Tio Ciu In yang melihat keadaan Liu Wan dan Tek Hun semakin mengkhawatirkan itu menjadi tidak sabar.
"Tolong nyanyikan sebuah lagu untukku! Terserah lagu apa saja boleh...!"
"Menyanyikan lagu...?" Tio Ciu In tercengang mendengar syarat yang amat aneh itu.
"Aku... aku tak dapat bernyanyi! Aku...?!"
"Terserah kepadamu, Nona Tio Hanya itu syaratku. Kalau kau tak mau, juga tidak apa-apa..." orang tua itu berkata perlahan sambil membalikkan badannya kembali. Tio Ciu In menjadi tegang bukan main. Apalagi ketika sekali lagi ia menyaksikan Liu Wan terpelanting menabrak dinding. Darah segar tampak mengalir dari mulut dan hidung pemuda itu.
"Tunggu...!" gadis ayu itu berteriak. Namun sekali ini orang tua buta itu tak menghiraukan panggilan Tio Ciu In. Kakinya tetap melangkah perlahan ke arah pintu. Dalam keadaan panik akhirnya Tio Ciu In juga tidak menghiraukan lagi kejanggalan-kejanggalan yang dihadapinya. Gadis ayu itu lalu menyanyikan sebuah lagu lama. Lagu yang sering dinyanyikan oleh gurunya. Entah lagu apa, ia tidak tahu. Yang penting ia menyanyi, meskipun suaranya yang merdu itu menjadi sumbang karena kecemasan dan ketegangan hatinya.
Apabila di malam yang gelap gulita,
Tiba-tiba muncul bulan purnama,
Alampun tersentak dari tidurnya,
Untuk menyambut kehangatan Sang Pelita Malam.
Kekasihku...!
Harapkan kehadiranmu!
Dalam keadaan yang sangat menegangkan seperti itu, suara nyanyian Tio Ciu In memang benar-benar aneh dan terasa janggal kedengarannya. Bahkan Mo Goat dan pembantunya yang disebut panglima itu sampai merasa kaget dan agak mengendor desakannya. Sabetan kipas yang mematikan dari Mo Goat terhadap leher Liu Wan seolah-olah tertahan sejenak mendengar alunan suara Tio Ciu In tersebut. Demikian pula dengan hantaman siku si Panglima yang tertuju ke arah tengkuk Kwe Tek Hun seakan-akan juga terhenti beberapa saat pula ketika mendengar suara nyanyian Tio Ciu In. Namun pada waktu yang cuma sesaat itu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan, yang hampir-hampir tak bisa ditangkap oleh pandangan mata siapapun juga.
Begitu cepatnya, sehingga Kwe Tek Hun yang memiliki Pek-in Ginkang yang amat tersohor di dunia persilatan itu tak kuasa apa-apa ketika mendadak leher bajunya secara mendadak telah dicengkeram bayangan tersebut dan dilemparkannya keluar arena. Demikian pula dengan Liu Wan. Bahkan Mo Goat dan pembantunya yang memiliki ilmu meringankan tubuh jauh lebih tinggi lagi daripada Kwe Tek Hun itu juga tak berkutik pula ketika bayangan tersebut menyambar ke arah mereka serta mendorong mereka keluar arena. Bukan alang kepalang kagetnya Mo Goat dan pembantunya menyaksikan kesaktian yang luar biasa itu. Sejenak mereka berdua memandang dengan sinar mata jeri ke arah lelaki buta yang kini telah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan.
"Kau... Kau siapa?" Mo Goat yang kejam dan tak pernah mengenal rasa takut itu mendadak menjadi gemetaran suaranya. Bagaimana Mo Goat maupun pembantunya itu tidak jeri?
Orang asing berpenampilan buruk dan mengerikan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu sihir mereka Pat-sian-i-hoat. Bahkan ilmu meringankan tubuh orang asing itu juga jauh lebih hebat daripada ginkang perguruan mereka, yang menurut guru mereka tiada bandingannya di dunia ini. Begitu pula dengan tenaga dalam yang dikeluarkan oleh orang asing tersebut untuk mendorong mereka, rasa-rasanya berlipat jauh dengan tenaga dalam yang mereka miliki. Demikianlah, kalau Mo Goat dan para pembantunya merasa heran dan ketakutan, sebaliknya Tio Ciu In dan Song Li Cu menjadi gembira bukan main melihat Liu Wan serta Kwe Tek Hun selamat dari keganasan lawan. Tio Ciu In segera membantu Liu Wan mengobati luka-lukanya, sementara Song Li Cu dengan telaten dan penuh perhatian mengusap peluh yang mengalir di wajah dan leher Kwe Tek Hun.
"Siapa orang itu, Ciu-moi?" dengan napas yang masih memburu Liu Wan bertanya tentang orang buta itu kepada Tio Ciu In.
"Siapa... dia, Sumoi?" Kwe Tek Hun juga bertanya keheranan kepada Song Li Cu dan Ku Jing San yang merubungnya. Tapi baik Tio Ciu In maupun Song Li Cu tidak bisa memberi jawaban. Keduanya memang tidak mengenal orang buta yang maha sakti itu. Mereka cuma bisa bercerita bahwa orang tua itu menolong Liu Wan dan Kwe Tek Hun karena suara nyanyian Tio Ciu In.
"Nyanyian...?" Baik Liu Wan maupun Kwe Tek Hun tercengang keheranan. Kalau semua orang menatap heran atau jeri kepada orang tua buta itu, sebaliknya orang yang bersangkutan justru sedang berdiri terlongong-longong mengenangkan isi syair nyanyian Tio Ciu In tadi. Beberapa kali terlihat dadanya turun naik seakan-akan sedang menyangga beban yang teramat berat.
"Nona Tio...! Dari mana kau belajar lagu lama itu? Siapakah yang mengajarimu lagu "Merindukan Kekasih" itu?" tiba-tiba orang tua itu menoleh dan bertanya kepada Tio Ciu In. Gadis ayu yang sedang sibuk menolong Liu Wan itu tersentak kaget.
"Aku... aku tidak belajar dari siapa-siapa. Aku hanya sering mendengarnya dari Suhuku..." Tio Ciu In menyahut dengan suara gugup.
"Oh, ya? Apakah Gurumu itu seorang tokoh Aliran Im-yang-kauw?" Tio Ciu In tercengang, lalu mengangguk.
"Benar. Beliau adalah Giam Pit Seng, Ketua Cabang Im-yang-kauw di kota An-king." Sekarang ganti orang tua buta itu yang mengangguk-angguk.
"Sudah kuduga..." orang tua itu kemudian bergumam.
"Ketahuilah, Nona Tio... Lagu itu adalah ciptaan seorang tokoh tua aliran Im-yang-kauw dua puluhan tahun yang lalu. Lagu itu sangat populer dan disukai orang, terutama oleh para anggota aliran itu sendiri. Maka tak mengherankan bila Gurumu juga suka menyanyikannya. Aaah, memang sungguh indah lagu itu..."
"Tuan sangat, menyukai lagu itu?" Tio Ciu In bertanya hati-hati, takut menyinggung perasaan orang tua aneh itu.
"Ya, aku dulu sering menyanyikannya. Aku hafal seluruh syair-syairnya..." Ternyata orang tua buta itu justru bersemangat menjawab pertanyaan Tio Ciu In.
"Kalau begitu... Kalau begitu, emmm... apakah Tuan ini juga anggauta Aliran Im-yang-kauw pula?" dengan sangat hati-lati Tio Ciu In mencoba untuk mengorek asal-usul orang tua tersebut.
"Oh, bukan...! Isteriku yang...?!" Tiba-tiba orang tua itu menghentikan kata-katanya. Dia seperti menyesal telah mengeluarkan ucapannya tadi. Dan untuk menutupi kecanggungannya, tiba-tiba pula ia melangkah meninggalkan tempat tersebut.
"Aku... pergi dulu!" katanya singkat, lalu tubuhnya yang jangkung tinggi itu berkelebat meninggalkan ruangan tersebut.
"Tuan, tunggu...! Bolehkah aku mengenal nama besarmu?" Tio Ciu In berseru. Kakinya melompat, mencoba mengejar sampai ke pintu. Tak ada jawaban. Orang tua itu telah melesat jauh meninggalkan rumah penginapan tersebut. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara lapat-lapat dari kejauhan yang dikirim dengan ilmu Coan-im-ib-it (Ilmu Mengirim Suara Dengan Gelombang Angin).
"Nona Tio, panggil saja aku si Buta! Kalau kau ingin bertemu dan ingin meminta pertolonganku lagi, nyanyikan saja lagu "Merindukan Kekasih" itu! Aku tentu datang...!"
"Ihhh...!" Tio Ciu In yang menjadi salah terima dengan ucapan orang tua buta itu mencibirkan bibirnya. Wajahnya berubah sedikit memerah.
"Masakan aku harus menyanyikan lagu "Merindukan Kekasih" untuk bertemu dengan dia?" Mendadak gadis ayu itu tersentak kaget karena teringat kepada Mo Goat kembali. Bergegas gadis itu membalikkan badannya. Matanya nanar mencari gadis muda yang kejam itu di antara para pelayan penginapan yang telah mulai berdatangan. Tapi gadis itu sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Mungkin secara diam-diam gadis cantik itu telah pergi bersama para pembantunya, pada saat dia sedang terlibat pembicaraan dengan orang tua buta tadi. Tapi bagaimanapun juga kepergian Mo Goat itu justru sangat melegakan hati Tio Ciu In. Apa jadinya kalau Mo Goat dan para pembantunya itu belum pergi, sedangkan orang tua buta itu sudah tiada lagi?
"Bagaimana, Ciu-moi? Siapakah orang tua itu?" Liu Wan menyambut kedatangan Tio Ciu In dengan sebuah pertanyaan.
"Entahlah! Dia hanya memperkenalkan diri dengan nama si Buta!"
"Si Buta? Jadi... orang itu buta? Ah! Bukan main!" Kwe Tek Hun berseru sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apanya yang bukan main, suheng?" Song Li Cu menukas keheranan. Kwe Tek Hun tersenyum kecut.
"Yah, kau lihat sendiri! Caranya bergerak yang gesit dan lincah itu sama sekali tak mencerminkan bahwa dia buta! Kita semua yang waras ini benar-benar harus malu terhadapnya." Sementara itu orang-orang yang datang menonton mulai berani memasuki ruangan tersebut. Pemilik rumah penginapan itu beserta para pelayannya datang menghampiri mereka. Dengan wajah sedih pemilik rumah penginapan itu meratapi barang-barangnya yang rusak dan berantakan.
"Sudahlah, kau tak perlu meratapi harta bendamu yang sudah rusak!" Liu Wan yang sudah mengenal pemilik rumah penginapan itu menghiburnya.
"Meskipun bukan aku yang membuat gara-gara di dalam peristiwa ini, tapi aku akan menggantikannya. Tolong kau hitung jumlah seluruh kerugianmu ini, lalu masukkan ke dalam rekening kamarku!"
"Tapi... tapi...?" Pemilik rumah penginapan itu pura-pura menolak, padahal hatinya menjadi senang bukan main.
"Jangan membantah! Lakukan saja perintahku!" Liu Wan berkata dengan tegas.
"Saudara Liu...!?" Kwe Tek Hun terkejut mendengar kesanggupan Liu Wan. Liu Wan tersenyum.
"Tidak apa-apa, saudara Kwe! Biarlah, aku masih mempunyai bekal yang cukup." Demikianlah, setelah membayar sewa kamar beserta kerugian yang diderita oleh pemilik rumah penginapan itu, mereka pergi meninggalkan tempat tersebut. Seperti rencana mereka semula, mereka langsung menuju ke markas Tiat-tung Kai-pang di kota itu. Ku Jing San yang sekarang buntung sebelah kakinya itu terpaksa mempergunaan tongkat seadanya untuk menopang tubuhnya. Meskipun sangat sedih, tetapi pemuda itu tetap tegar menghadapi penderitaannya. Markas Tiat-tung Kai-pang di kota itu menempati bekas bangunan kuil tua yang sudah rusak dan tak terpakai lagi. Halamannya yang amat luas itu penuh ditumbuhi rumput dan alang-alang tinggi, sementara bangunan gedung dan tembok pagarnya sudah banyak yang pecah dan runtuh.
Hanya bagian pendapa dan ruang dalam yang masih agak utuh, meskipun gentengnya juga sudah banyak yang bocor di sana-sini. Bangunan kuil itu berada jauh di pinggiran kota, dan terpisah dengan perkampungan penduduk, sehingga kedatangan Kwe Tek Hun beserta kawan-kawannya itu sama sekali tidak menarik perhatian orang. Justru orang-orang Tiat-tung Kai-pang sendiri yang merasa kaget akan kedatangan mereka. Beberapa pengemis yang berkumpul di pintu gerbang kuil itu segera memberi tanda dengan suitan mulut kepada teman-temannya di dalam gedung. Kwe Tek Hun terpaksa berkali-kali mengangguk setiap melewati gerombolan pengemis yang sedang duduk-duduk atau beristirahat di halaman kuil yang luas itu. Banyak di antara mereka sedang mengobati lukanya akibat pertempuran di kuil Pek-hok-bio semalam.
"Ah, Kwe Siau-hiap rupanya..." beberapa orang di antaranya menyapa begitu mengenal Kwe Tek Hun dan Ku Jing San. Namun banyak juga di antara mereka yang kaget melihat kaki Ku Jing San yang buntung itu. Kwe Tek Hun membawa rombongannya ke atas pendapa dan seorang pengemis tua yang tampaknya paling berpengaruh di antara para pengemis yang bertebaran di dalam ruangan yang luas itu segera menyambut kedatangannya.
"Oh, Kwe Siau-hiap sudah kembali. Apakah Kwe Siau-hiap akan langsung menemui Hu-pang-cu?" pengemis tua itu bertanya. Kwe Tek Hun memberi hormat kepada pengemis tua itu.
"Terima kasih, Pek-bi-kai (Pengemis Beralis Putih). Aku memang bermaksud menemui kau dan Jeng-bin Lokai sekalian kalau boleh..." katanya merendah.
"Ah, jangan sungkan-sungkan! Marilah ke dalam! Hu-pangcu berada di belakang. Hei...? Apa yang terjadi dengan Ku Siau-hiap?" Pengemis tua yang disebut Pek-bi-kai itu mendadak kaget menyaksikan kaki Ku Jing San.
"Biarlah nanti kami ceritakan di depan Jeng-bin Lokai sekalian." Kwe Tek Hun menjawab cepat. Jeng-bin Lokai berusia di atas enam puluh tahun, namun badannya masih segar dan sehat. Rambutnya yang putih seperti perak itu digelung ke atas dan diikat dengan tali kain berwarna putih pula. Pakaiannya terbuat dari kain tenun kasar dengan dua buah tambalan di kedua pikirnya. Orang tua itu sedang menikmati minuman teh hangat dari potongan bambu yang dibentuk seperti cangkir, ketika Pek-bi-kai datang melapor sambil membawa rombongan Kwe Tek Hun.
"Hu-pangcu, Kwe Siau-hiap. ingin berjumpa dengan engkau!" Pek-bi-kai melapor tanpa basa-basi, kemudian juga ikut menenggak teh dari potongan bambu tadi tanpa permisi. Tio Ciu In mengernyitkan dahinya menyaksikan tata cara atau kelakuan yang amat bebas di antara kaum pengemis itu. Diam-diam gadis ayu itu menjadi khawatir juga, jangan-jangan mereka disuruh minum pula dari potongan bambu itu.
"Oh, Kwe Siau-hiap rupanya. Mari silakan duduk...!" Jeng-bin Lokai menyambut kedatangan mereka. Demikianlah setelah memperkenalkan Liu Wan dan Tio Ciu In, Kwe Tek Hun lalu bercerita tentang musibah yang baru saja terjadi di rumah penginapan tadi. Selain itu Kwe Tek Hun juga bercerita pula tentang keinginan Tio Ciu In untuk menemukan adiknya yang hilang. Ternyata Jeng-bin Lokai amat kaget mendengar kedatangan Mo Goat di kota itu, bahkan berkelahi dengan rombongan Kwe Tek Hun.
"Baru saja aku menerima laporan tentang sepak terjang mereka di Ciu-siang, Wu-an dan An-king, sekarang justru sudah berada di sini. Hmmh, di manakah mereka itu sekarang?"
"Entahlah, Hu-pangcu. Mungkin mereka juga belum meninggalkan kota ini. Siapakah mereka itu sebenarnya? Apa yang telah mereka lakukan di kota Ciu-siang, Wu-an dan An-king?" Jeng-bin Lokai berdiri dari tempat duduknya.
"Pek-bi-kai! Tolong kau kirim beberapa orang anak buahmu ke kota untuk mencari khabar tentang orang-orang Hun itu!" perintahnya kepada Pek-bi-kai. Sekali lagi Pek-bi-kai meraih potongan bambu tempat air teh itu dan menenggaknya habis, kemudian tanpa berbicara apa-apa ia beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.
"Orang-orang Hun? Apakah yang kau maksudkan suku Hun." Kwe Tek Hun berseru kaget.
"Ketahuilah, Kwe Siau-hiap, gadis kejam itu adalah puteri Mo Tan, raja dari suku Hun di luar Tembok Besar. Gadis itu datang ke Tionggoan bersama, beberapa orang pasukan pilihan Ayahnya, dengan tujuan yang belum diketahui. Tapi yang terang mereka telah membunuhi para pemenang perlombaan "Mengangkat Arca" di kota-kota yang kusebutkan tadi. Langsung di atas panggung-panggung perlombaan tersebut diadakan!"
"Benar-benar keji! Apa sebenarnya yang mereka kehendaki dengan membunuhi orang-orang yang tak berdosa seperti itu? Apakah karena mereka sangat membenci orang-orang Han dan ingin membasmi pemuda-pemudanya yang terbaik?" Liu Wan berseru penasaran.
"Entahlah, Liu Siau-hiap. Tapi khabarnya para pembesar kota itu telah mengirimkan utusan untuk melapor ke Kotaraja. Kita nantikan saja perkembangannya." Mereka lalu berbicara tentang suku bangsa Hun dan rajanya yang bernama Mo Tan, yang sejak Kaisar Liu Pang dulu selalu membuat rusuh dan kekacauan di daerah Tionggoan. Mo Tan yang sekarang sudah semakin tua itu tampaknya sudah enggan untuk melompati tembok Besar sendiri, sehingga kini mengirim putrinya untuk mewakilinya. Sejak dulu suku bangsa Hun memang bermusuhan dengan orang-orang Han. Beberapa saat kemudian Pek-bi-kai telah datang kembali ke ruangan itu. Wajahnya tampak kesal dan cemas.
"Hmmh, bagaimana Pek-bi-kai? Apakah ada laporan yang masuk lagi?" Jeng-bin Lokai cepat menanyainya.
"Wah, gawat... Hu-pangcu! Pemuda-pemuda Hang-ciu yang memenangkan perlombaan "Mengangkat arca" kemarin ditemukan tewas semua di pantai dekat perkampungan Ui-thian-cung!" Pek-bi-kai melapor. Lalu katanya lagi sambil melirik kepada Liu Wan dan Tio Ciu In.
"Dan... salah seorang anggota kita ada yang melihat seorang gadis cantik berbaju merah berkelahi dengan orang-orang Hek-to-pai di perkampungan mereka kemarin sore."
"Berkelahi dengan orang-orang Hek-to-pai?" Liu Wan bergumam seraya mengawasi Tio Ciu In.
"Oh!" gadis ayu itu berdesah pucat.
"Di manakah perkampungan Hek-to-pai itu? Jangan-jangan...?" Bagaimanapun juga Tio Ciu In menyadari bahwa kepandaian adiknya tidak terpaut banyak dengan dirinya. Dan sekarang setelah mengetahui betapa banyaknya orang-orang berilmu tinggi di dunia ini, otomatis hatinya menjadi khawatir terhadap keselamatan adiknya yang suka bertindak sembrono itu.
"Perkumpulan Hek-to-pai tidak terlalu jauh dari kota ini, Nona Tio. Di tepi jalan yang menuju ke perkampungan Ui-thian-cung, kira-kira dua lie sebelum pantai." Kwe Tek Hun memberi keterangan. Tiba-tiba Tio Ciu In berdiri. Air mukanya tampak semakin gelisah dan cemas.
"Terima kasih atas keterangan Lo-Cianpwe. Aku akan pergi ke sana." Gadis ayu itu menjura kepada Jeng-bin Lokai dan Pek-bin-kai, kemudian berlari ke luar meninggalkan tempat itu. Tentu saja Liu Wan menjadi kaget dan khawatir. Khawatir akan keselamatan gadis ayu itu. Apalagi tempat yang hendak ditujunya itu dekat sekali atau satu jalan dengan tempat pembantaian para pemenang perlombaan itu. Siapa tahu pelaku pembantaian tersebut memang benar rombongan Mo Goat dan sekarang masih berkeliaran di daerah itu?
"Maaf, Lokai...!" Pemuda itu dengan tergesa-gesa meminta diri kepada Jeng-bin Lokai dan Pek-bi-kai lalu berlari mengejar Tio Ciu In.
"Saudara Liu, tunggu...!" Kwe Tek Hun berseru memanggil. Pemuda sakti dari Pulau Meng-to itu juga memohon diri kepada Jeng-bin Lokai.
"Suheng, aku ikut!" Song Li Cu tak mau ketinggalan.
"Jangan...! kau tunggu saja di sini bersama Ku Jing San! Aku tidak akan lama!" Kwe Tek Hun melarang.
"Tapi...?" Song Li Cu cemberut.
"Sudahlah! Kalian tetap di sini saja!" Kwe Tek Hun menggeram, kemudian dengan Pek-in Ginkangnya yang tinggi badannya melesat bagaikan peluru melintasi pendapa tersebut. Jeng-bin Lokai dan Pek-bi-kai tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Bukan main...! Benar-benar tidak berbeda dengan ayahnya!" Matahari telah berada tepat di atas kepala, namun karena awan tebal menutupi hampir seluruh udara di atas kota itu, maka panasnya tidak sampai membakar bumi. Akan tetapi dengan demikian justru hawanya menjadi gerah bukan main. Tio Ciu In sengaja berputar menyusup di pinggiran kota, agar langkahnya yang cepat dan kadang kala juga berlari itu tidak menarik perhatian orang.
"Ciu-moi tunggu...!" Gadis ayu itu menoleh dan hatinya menjadi lega begitu melihat kedatangan Liu Wan. Namun gadis itu terpaksa mengerutkan alisnya ketika menyaksikan Kwe Tek Hun juga ikut berlari di belakang pemuda itu.
"Ciu-moi...! Tenangkanlah dulu perasaanmu! kau jangan bertindak gegabah dan sembrono memasuki perkampungan Hek-to-pai itu! Tempat itu sangat berbahaya! Ketuanya memiliki ilmu golok beracun yang cukup disegani di daerah pantai timur ini!"
"Apa yang dikatakan oleh saudara Liu itu memang benar, Nona Tio. Tapi kalau kau memang berkeras untuk memasuki perkampungan itu, biarlah aku dan saudara Liu menemanimu. Kita Lihat saja, apakah adikmu di sana." Tio Ciu In berhenti melangkah dan memandangi dua pemuda yang sama-sama gagah dan tampan itu. Sejenak hatinya seperti memperbandingkannya. Liu Wan berperangai halus, pandai bicara dan serba bisa. Sedangkan Kwe Tek Hun tampaknya berwatak lebih keras, jujur dan tidak suka banyak bicara. Namun yang jelas keduanya sama-sama menariknya. Jauh lebih menarik daripada Tan Sin Lun, suhengnya.
"Aaah..." Tio Ciu In berdesah lirih begitu teringat akan suhengnya.
"Eh, kenapa kau kelihatannya seperti ragu-ragu?" Liu Wan bertanya heran. Tio Ciu In tersentak sadar.
"Anu... emm, aku khawatir hanya akan merepotkan kalian saja." jawab gadis ayu itu berbohong.
"Wah, mengapa masih sungkan-sungkan pula? Bukankah kita sudah saling bersahabat? Ayohlah, kita berangkat!" Kwe Tek Hun menyela. Tio Ciu In tak bisa mengelak lagi. Mereka bertiga lalu berlari menerobos sawah ladang ke arah timur. Kedua pemuda berilmu tinggi itu, terutama Kwe Tek Hun terpaksa harus memperlambat langkah kakinya untuk mengimbangi ginkang Tio Ciu In. Sampai di jalan besar yang dilalui Tio Siau In kemarin terpaksa mereka mengendorkan langkah. Jalan tersebut adalah jalan utama menuju ke pantai, sehingga banyak sekali orang lalu lalang di jalan itu. Ketiganya tak ingin menarik perhatian orang.
(Lanjut ke Jilid 11)
Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 11
Akan tetapi setiap orang yang berpapasan dengan mereka tetap saja memandang dengan kagum, terutama kepada Tio Ciu In yang ayu itu. Untunglah mereka segera sampai di perkampungan Hek-to-pai.
"Hei, ramai benar suasananya! Sedang ada apa di kampung itu?" Liu Wan berseru heran melihat kesibukan di pintu gerbang perkampungan Hek-to-pai itu. Kampung besar yang dipakai sebagai markas perguruan Hek-to-pai itu memang lain daripada biasanya. Sehari-harinya hanya ada dua atau tiga orang penjaga yang berdiri di pintu gerbangnya, namun kali ini ternyata ada delapan atau sepuluh orang di sana. Dan apabila di hari-hari biasa para anggotanya itu cuma berpakaian seadanya, tapi kali ini mereka juga mengenakan pakaian kebesaran mereka, yaitu hitam-hitam dan ikat kepala hitam pula. Bahkan Liu Wan dan Kwe Tek Hun seperti mendengar suara tambur dan gendang ditabuh di tengah-tengah kampung itu.
"Apakah mereka masih merayakan Tahun Baru?" Tio Ciu ln menduga-duga dengan perasaan masih cemas memikirkan adiknya.
"Mungkin benar. Tapi... Hei, lihat" Liu Wan berseru tertahan sambil menunjuk ke arah bendera atau panji perguruan yang terpancang Kwe Tek Hun dan Tio Ciu In memandang pula dengan kening berkerut. Di samping tiang bendera perguruan Hek-to-pai, ternyata terpancang pula bendera lain yang lebih megah serta lebih besar ukurannya. Bendera berwarna hitam legam itu bergambar burung rajawali berbulu emas sedang mencengkeram sebuah golok pusaka yang berwarna kuning emas pula.
"Ah... Itu bendera keluarga Tiau dari Hai-ong-hu di Lautan Timur sana. Ada urusan apa mereka ke sini?" Kwe Tek Hun yang sudah terbiasa bertualang di laut itu berseru heran.
"Wah, sungguh gawat! Kalau sampai bajak laut itu berada di sini, semuanya bisa berbahaya." Liu Wan menambahkan. Tentu saja yang menjadi semakin cemas dan gelisah adalah Tio Ciu In. Dengan wajah pucat gadis ayu itu mengawasi Liu Wan dan Kwe Tek Hun berganti-ganti.
"Siapa keluarga Tiau itu? Mengapa kalian tampaknya sangat mengkhawatirkan keadaan itu" Liu Wan menghela napas panjang, lalu dengan sangat hati-hati agar tidak semakin membuat cemas perasaan Tio Ciu In ia menerangkan.
"Keluarga Tiau adalah penguasa bajak laut terbesar di daerah Lautan Timur. Nama mereka amat tersohor dari dulu, karena selain memiliki kekuatan yang sangat besar mereka juga berkepandaian luar biasa tinggi. Keluarga itu berdiam di sebuah pulau kecil yang mereka sulap menjadi sebuah Istana yang dikelilingi benteng kuat seperti Istana raja. Mereka menyebut tempat itu Hai-ong-hu, mereka menggunakan panji atau bendera seperti yang berkibar di samping pintu gerbang itu.
"Jadi mereka itu bajak laut? Tak terduga Tio Ciu In berseru geram, gadis ayu itu teringat akan nasib keluarganya yang musnah karena serangan para bajak laut.
"Ciu moi...?"
"Marilah! Kalau begitu kita hadapi mereka sekalian! Aku akan mengadu jiwa dengan mereka bila mereka benar-benar telah mencelakai adikku!" Lalu tanpa menanti reaksi teman-temannya lagi Tio Ciu In berlari menuju ke perkampungan hek to pai. Liu Wan hanya bisa saling pandang saja dengan Kwe Tek Hun, keduanya terpaksa berlari mengikuti gadis ayu itu.
"Berhenti...!" Para pengawal pintu gerbang itu menghentikan Tio Ciu In, namun semuanya segera cengar-cengir melihat kecantikan gadis ayu itu. Tetapi mereka cepat pula bersiaga kembali begitu menyaksikan Liu Wan dan Kwe Tek Hun.
"Kau mau kemana, nona?" salah seorang dari penjaga itu bertanya. Tio Ciu In mencoba untuk meredakan perasaannya dahulu sebelum menjawab.
"Aku Cuma mau bertanya, apakah kemarin ada seorang gadis muda berpakaian merah ke sini?"
"Nona maksudkan gadis galak yang membawa sepasang pedang pendek di balik lengan bajunya?"
"Benar! Jadi dia berada di sini?" Tio Ciu In berteriak tinggi penuh harap.
"Lalu... di mana dia sekarang?" Tak terduga para penjaga itu justru menebar dalam posisi mengurung rombongan Tio Ciu In, wajah mereka yang semula cengar cengir, mendadak berubah kaku penuh kewaspadaaan, bahkan pimpinan mereka segera memberi perintah ke pada salah seorang diantara mereka untuk melapor ke dalam.
"Nona siapa...? Apakah hubungan nona dengan gadis itu? Apakah saudara seperguruan atau keluarganya?" pimpinan penjaga itu menggeram dengan suara tak bersahabat. Otomatis Tio Ciu In dan juga Liu Wan serta Kwe Tek Hun menjadi curiga pula. Tentu ada apa-apa di antara Tio Siau In dengan perguruan itu sehingga mereka bersikap seperti itu. Oleh karena itu baik Tio Ciu In maupun Liu Wan dan Kwe Tek Hun segera bersiap siaga pula menghadapi segala kemungkinan.
"Aku adalah Kakak kandung gadis itu" Tanpa diperintah untuk yang kedua kalinya para penjaga itu segera berloncatan sambil mengayunkan golok mereka ke tubuh Tio Ciu In. Mereka tidak merasa sayang atau tertarik lagi melihat kecantikan Tio Ciu In. Pengalaman menghadapi Tio Siau In kemarin, yang mengakibatkan beberapa orang teman mereka terluka, bahkan ketua mereka juga, membuat mereka lebih berhati-hati menghadapi lawan. Perubahan keadaan yang sangat cepat itu tak lepas dari pengamatan Liu Wan melindungi Tio Ciu In. Bukannya ia tak percaya akan kemampuan Tio Ciu In, tapi ia hanya ingin menghindarkan gadis itu dari bentrokan langsung dengan laki-laki kasar tersebut.
"Traaang! Traaaang! Trangg...!" Golok-golok hitam yang datang menyambar ke arah tubuh Tio Ciu In itu tiba-tiba terpental balik dan hampir mengenai pemiliknya sendiri ketika saling berbenturan dengan pedang Kwe Tek Hun. Untunglah para penjaga itu sejak semula sudah berhati-hati, sehingga masing-masing cepat bisa menguasai senjatanya sendiri.
"Nona Tio, kau beristirahatlah! Biarlah aku saja yang mewakilimu menghadapi manusia-manusia kasar ini!" Kwe TeK Hun berkata tegas.
"Terima kasih, Kwe Siau-hiap! Aku akan masuk ke dalam untuk mencari Adikku." Tanpa menanti jawaban lagi Tio Ciu ln lalu melesat ke dalam. Para penjaga itu mencoba merintangi, namun dengan tangkas Kwe Tek Hun menyerang mereka. Terpaksa mereka melepaskan Tio Ciu In untuk menghadapi pendekar muda dari Pulau Meng-to itu.
"Ciu-moi, hati-hati...!" Liu Wan berseru seraya melompat ke depan mengejar gadis itu. Tapi baru saja Tio Ciu In dan Liu Wan melompat ke atas lantai pendapa utama yang ada di tengah-tengah halaman depan itu, mereka telah disongsong oleh It Kwan dan murid-muridnya. Luka di leher ketua Hek-to-pai itu telah dibalut dengan rapi. Begitu pula dengan luka di punggung tangannya. Bekas-bekas luka yang diakibatkan oleh pedang pendek Tio Siau In kemarin tampaknya telah diobati dengan baik.
"Tangkap mereka...!" begitu berhadapan muka orang tua itu berteriak memberi perintah kepada anak buahnya.
"Tahaaaaan! Orang tua, kau siapa?" namun dengan seruan lantang, tidak kalah kerasnya dengan suara It Kwan, Tio Ciu In menghentikan langkah mereka.
"Aku It Kwan, ketua partai persilatan di sini! Nah, mau apa kau mencari adikmu ke sini? Mau menggantikan adikmu untuk menerima hukumanku, heh?"
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus...! Kebetulan sekali kalau begitu, karena aku memang ingin bertemu dengan engkau! Nah, lekas kau katakan, di mana Adikku? Jawab!" Ternyata Tio Ciu In yang biasanya lembut dan halus budi bahasanya itu kini tidak mau berbasa-basi lagi. Kekhawatiran terhadap Siau In membuatnya tegang dan kaku.
"Kurang ajar...! Ternyata sifatmu juga tidak jauh berbeda dengan Adikmu, Kuntilanak Kecil itu! Huh, cepat... tangkap perempuan ini!" It Kwan menjerit marah. Rasa malu dan terhina karena dilukai Siau In kemarin membuat ketua Hek-to-pai ini dendam sekali. Belasan anggota Hek-to-pai yang menyertai ketuanya itu segera berloncatan menyerang Tio Ciu In dan Liu Wan. Golok mereka yang hitam mengkilat itu berkelebatan seperti tangan-tangan hantu yang berebut mangsa. Sebagian menerjang ke tubuh Tio Ciu In, sementara yang sebagian lagi menyambar ke arah Liu Wan. Sedangkan It Kwan cepat-cepat menghunus goloknya pula untuk setiap saat membantu anak buahnya.
"Hmm... siapakah mereka, It Kwan?" tiba-tiba dari ruang dalam muncul seorang lelaki tua berpakaian mewah bertanya kepada It Kwan. Dia keluar dikawal oleh empat orang laki-laki kekar berpakaian hitam-hitam. It Kwan menoleh. Bibirnya berusaha tersenyum.
"Perempuan ini mengaku sebagai kakak kandung dari gadis yang melukai aku kemarin, Cong Su. Aku akan menangkap dia sebagaj ganti adiknya yang terlepas akibat kebodohan Tong Taisu." Lelaki berpakaian mewah itu mencibirkan bibirnya yang ditumbuhi kumis seolah olah amat meremehkan kemampuan Tio Ciu In dan Liu Wan. Sambil melangkah mendekati It Kwan ia menggerutu.
"Kau ini masih saja suka bermain-main dengan anak-anak." Wajah It Kwan menjadi merah. Matanya memancarkan sinar tak senang. Namun demikian ia tak berbuat apa-apa. Tampaknya ia segan terhadap tamunya itu. Ia cuma menarik napas panjang seraya menatap kembali ke arena perkelahian. Begitu mendengar adiknya sudah pergi dan tidak ada di tempat itu lagi, sebenarnya Tio Ciu In sudah tidak ingin berkelahi lagi. Tapi untuk lebih meyakinkan hatinya bahwa Siau In memang benar-benar sudah tidak ada lagi di tempat itu, Tio Ciu In ingin menangkap salah seorang anggauta Hek-to-pai itu untuk dikorek keterangannya. Dan tampaknya Liu Wan juga mempunyai maksud yang sama.
"Ciu-moi...! Hadapi mereka! Aku akan meringkus ketuanya itu! Berhati-hatilah...!" pemuda itu berbisik ke telinga Tio Ciu In. Tio Ciu In tersenyum.
"Kaulah yang harus berhati-hati. Sebagai seorang ketua partai persilatan tentunya kepandaian silatnya sangat tinggi." Demikianlah, dengan ginkangnya yang tinggi Liu Wan berkelit kesana-kemari untuk meloloskan diri dari kurungan para pengeroyoknya. Sabetan-sabetan golok yang datang bagaikan air hujan itu sama sekali tak mampu menyentuh tubuhnya. Bahkan beberapa kali ia mampu membalas dan menjatuhkan lawannya.
"Wah, pemuda itu tampaknya memiliki ilmu juga. kau harus berhati-hati menghadapinya." laki-laki berpakaian mewah itu berkata kepada It Kwan.
"Tentu saja, Cong Su. kau tak perlu ikuit campur dalam masalah ini." Ketua Hek-to-pai itu mendengus kesal.
"Ah, jangan begitu... Kita sudah lama saling mengenal, meskipun kita tidak bersahabat. Tiada jeleknya kalau sekali waktu aku ikut membantu kesulitanmu."
"Siapa yang berada di dalam kesulitan?" akhirnya It Kwan menjerit gusar. Matanya mendelik, siap berkelahi melawan tamunya. Akan tetapi dengan tertawa perlahan Cong Su mengerak-gerakkan tangannya.
"Sabar...! Sabar, It Kwan... sabaaaar! Aku bermaksud baik. Kenapa kau cepat sekali tersinggung hari ini?"
It Kwan menggeram. Dengan sekuat tenaga Ketua Hek-to-pai itu mengekang kemarahannya.
"Habis kata-katamu juga sangat memandang rendah kepadaku! Jangan dikira aku takut kepadamu! Kalau selama ini aku selalu menghormati kamu, hal itu karena kau adalah orang kepercayaan Hai-ong-hu! Aku tidak ingin berselisih dengan mereka..." Cong Su tertawa keras-keras.
"Haaha-ha, baiklah...! Sekarang kau hadapi saja lawanmu itu! Lihat! Pemuda itu lolos dari kepungan anak buahmu!" It Kwan terperanjat. Ia melihat Liu Wan berlari menghampirinya.
"Cong Su, pergilah! Pulanglah sekalian ke Hai-ong-hu! Bawa tukang masak kami seperti yang diminta oleh rajamu! Tapi cepat kau kembalikan mereka apabila tugas mereka telah selesai!"
"Terima kasih. Tapi aku ingin menyaksikan keramaian ini dahulu. Hei, pengawal! Jemput lebih dahulu tukang masak itu ke sini! Kita segera kembali ke Hai-ong-hu!" Cong Su berseru kepada pengawalnya.
"Kau memang selalu ingin mencampuri urusanku!" It Kwan menggeram dengan mata mendelik. Tapi ketua Hek-to-pai itu tak sempat untuk berdebat lagi. Liu Wan yang sudah lepas dari kepungan itu keburu menyerangnya. Pemuda itu mengayunkan sisi telapak tangannya sambil melompat ke arahnya. Terdengar desis angin tajam bagaikan suara anak panah yang lepas dari busurnya.
"Siiiiiing!" It Kwan terperangah. Ia segera sadar sedang menghadapi seorang lawan yang memiliki lwekang serta ilmu pukulan yang tinggi. Dan ia tidak ingin mendapat malu lagi. Goloknya segera bergetar di depan dadanya, siap untuk menyongsong serangan Liu Wan.
"Whuuuus!" Golok hitam itu terayun keras ke depan, seolah-olah hendak menjemput kedatangan telapak tangan Liu Wan, sementara kedua kaki It Kwan siap untuk bergeser ke kiri apabila lawannya menarik kembali serangannya. Liu Wan kagum juga melihat kesigapan ketua Hek-to-pai.
Tapi ia tak mau menarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terulur ke depan. Apalagi dengan ketajaman penglihatannya yang sudah terlatih baik, ia merasa ada sesuatu yang dipersiapkan oleh lawannya apabila ia menarik tangannya kembali. Oleh karena itu Liu Wan hanya memutar lengannya setengah lingkaran ke kanan untuk menghindari tabasan golok, kemudian mengubah jari-jari tangannya yang merapat itu menjadi sebuah cengkeraman ke arah pergelangan It Kwan yang memegang golok. Gerakan tangannya yang cepat itu diikuti dengan gerakan tubuhnya ke samping. Sekali lagi It Kwan terkejut menyaksikan ilmu silat lawannya. Tentu saja ia tak ingin pergelangan tangannya tertangkap. Mati-matian ia membuang badannya ke kanan untuk menghindari tangkapan itu, sambil kaki kirinya menjejak ke depan untuk memaksa lawan mundur kembali.
"Duuuk!" Tumit sepatu It Kwan membentur ujung jari Liu Wan! Langkah Liu Wan bagaikan tertahan oleh tembok yang sangat kuat, namun sebaliknya kuda-kuda It Kwan yang goyah itu tak mampu lagi menopang berat tubuhnya! Sambil menyeringai kesakitan Ketua Hek-to-pai itu terdorong jatuh ke atas lantai. Tapi dengan cepat pula orang tua itu bangkit kembali. Cong Su bertepuk tangan menyaksikan gebrakan pertama yang amat menegangkan itu. Dari gebrakan tersebut sudah dapat dinilai bahwa tenaga dalam Liu Wan masih jauh lebih baik dibandingkan tenaga dalam It Kwan. Sekarang tinggal ilmu golok It Kwan, apakah bisa mengatasi lawannya.
"Menyerah sajalah kau agar aku tidak perlu menyakitimu!" Liu Wan mengejek agar lawannya menjadi semakin panas dan penasaran.
"Persetan! Akan kukuliti kepalamu dan kucincang tubuhmu, keparat!" It Kwan berteriak berang. Goloknya berputar-putar di tangan kanannya. Ketua Hek-to-pai itu cepat menerjang kembali. Ilmu goloknya yang ganas dan keji itu segera mengurung Liu Wan. Sinarnya yang hitam mengkilat itu berkelebatan bagaikan hendak mencacah-cacah tubuh lawannya. Suaranya mengaung keras seperti suara ribuan lebah yang terbang mengelilingi Liu Wan. Liu Wan menjadi repot juga melayani kurungan golok yang sangat beracun itu. Salah langkah sedikit saja mata golok yang tajam itu akan menyayat kulitnya atau membelah tubuhnya dan hal itu berarti kematian baginya.
"Kalau hanya mengandalkan ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh saja kukira harus membutuhkan waktu yang lama untuk menundukkan goloknya. Tapi kalau harus mempergunakan Thian-lui-khong-ciang, rasanya juga masih terlalu pagi. Ah, lebih baik aku mempergunakan pisau saja..." pemuda itu berpikir sambil tetap melayani serangan It Kwan. Sementara itu melihat kawannya dapat mengurung Liu Wan, Cong Su bertepuk tangan dengan gembira. Berkali-kali orang tua itu memuji ilmu golok It Kwan yang cepat dan ganas luar biasa.
"Bagus! Bagus! Wah, ternyata Ilmu Golokmu benar-benar hebat sekali! Aku sungguh tidak menyangkanya! Sayang tenagamu terlalu lemah...!" Cong Su berteriak-teriak gembira.
"Diam kau, Cacing Tua!" It Kwan berteriak pula dengan kerasnya. Liu Wan tertawa perlahan.
"Kau benar,... orang Tua! Ilmu Golok orang ini memang hebat sekali. Sayang kurang terdukung oleh tenaga dalamnya, sehingga kehebatannya menjadi hambar dan kurang berbobot! Hei, bagaimana kalau kau membantunya agar pertarungan ini menjadi lebih mengasyikkan lagi?" Tiba-tiba senyum di bibir Cong Su menghilang. Wajah tua yang masih kelimis itu berubah menjadi keruh.
"Bangsat kecil! kau menantang Hai-go Cong Su (Si Buaya Laut)...?" orang tua itu menjerit marah.
"Eh, memangnya kenapa? Bukankah orang ini kawanmu? Apa salahnya kalau kalian saling menolong? Orang ini terang tidak akan menang melawanku. Begitu pula kalau kau nanti maju sendirian. Bukankah akan lebih baik kalau kau maju bersama mengeroyok aku, sehingga kalian saling tolong menolong bila dalam kesulitan?"
"Apa katamu...? kau masih waras atau sudah gila, heh?" Cong Su berteriak tinggi. Liu Wan tertawa panjang. Dia tak menjawab umpatan itu. Dia sedang sibuk melayani golok It Kwan. Pisau yang kini tergenggam di tangannya benar-benar dahsyat. Pisau yang tak seberapa panjang itu ternyata mampu menahan golok lawannya yang besar dan berat.
"Ayolah...! kau tak perlu malu-malu untuk mengeroyokku! Majulah!" tantangnya kembali kepada Hai-go Cong Su.
"Kau...?" Hai-go Cong Su hendak mengumpat lagi, tapi terhenti karena empat orang pengawalnya telah kembali membawa lima orang tukang masak yang tadi dikehendakinya.
"Inilah mereka, Cong Tou-bak..." salah seorang dari pengawal itu melapor.
"Suruh mereka menanti di luar! Sekarang kalian bantu aku dulu membungkam si Mulut Sombong itu!" Cong Su berseru sambil menunjuk ke arah Liu Wan.
"Baik, Tou-bak!"
Tanpa basa-basi lagi keempat pengawal Cong Su itu segera menyerang Liu Wan. Kebetulan keempat-empatnya juga bersenjatakan golok, sehingga berlima dengan It Kwan mereka mengeroyok dengan golok. Sesuai dengan perawakan mereka yang gempal, cara mereka bersilatpun ternyata juga kasar dan keras. Apalagi mereka memang anggota bajak laut yang sudah terbiasa berlaku kasar dan keras. Namun untuk melawan Liu Wan kepandaian mereka masih terlalu jauh. Kepandaian mereka berempat tidak lebih baik daripada anak murid It Kwan sendiri. Maka tidaklah mengherankan bila sebentar saja mereka telah menjadi bulan-bulanan pisau Liu Wan. Pemuda itu tidak bermaksud membunuh mereka. Pemuda itu hanya, menggores saja beberapa kali di tubuh empat orang pengawal itu. Namun semuanya itu telah membuat mereka mundur ketakutan.
"Wah, kalian memang cuma gentong nasi yang tak berguna! Minggir...!" Cong Su marah-marah, kemudian meloncat ke dalam arena menggantikan mereka. Tangannya memegang sebuah ruyung besi yang diberi gerigi tajam di bagian ujungnya.
"Nah, begitu! Akhirnya kau terjun juga ke arena membantu kawanmu ini...!" Liu Wan mengejek.
"Bangsat keparat, diam kau! Lihat ruyungku...!" Tapi kedatangan Cong Su sungguh tidak menyenangkan hati It Kwan. Meskipun dia sendiri merasa kewalahan menghadapi Liu Wan, tapi ia benar-benar tidak menghendaki bantuan orang seperti Cong Su itu.
"Kaulah orangnya yang mestinya diam dan tak ikut campur dengan urusan orang, Cong Su! Cepat kau pergi dari sini! Bukankah tugasmu hanya mengambil tukang masak di sini?" Ketua Hek-to-pai itu membentak.
"Maaf It Kwan. Anak ini telah menghina dan menantangku, aku tidak boleh mendiamkannya saja. Pantang bagi warga Hai-ong-hu untuk menolak tantangan lawan."
"Tapi... dia baru bertempur dengan aku. Apakah kau tidak bisa menunggu sampai pertempuran ini selesai dahulu?"
"Wah, mana sempat aku menunggu lagi? Biarlah aku saja yang lebih dulu berkelahi dengan dia! kau minggirlah!" Liu Wan benar-benar tak bisa menahan tawanya mendengar perdebatan kedua orang itu. Sambil meloncat mundur pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hei... sebenarnya kalian berdua ini bersahabat atau bermusuhan? Kalau kalian memang saling bermusuhan dan ingin berkelahi dahulu, yah... baiklah, aku akan menunggu! Berkelahilah kalian!" akhirnya Liu Wan berkata sambil menyeret sebuah kursi dan duduk bertopang kaki. It Kwan dan Cong Su menjadi salah tingkah sekarang. Mereka saling berhadapan dengan senjata masing-masing, tapi tentu saja tak seorangpun dari mereka yang ingin menyerang yang lain. Mereka hanya saling memandang dengan wajah kikuk.
"Nah, nah, nah... akhirnya kalian menjadi bingung sendiri sekarang, hahahaha! Makanya kalian tak perlu bertengkar lagi! Bersatu sajalah kalian berdua untuk melawanku! Tidak usah malu-malu...! He-hehe-hehe-hehe!" sekali lagi Liu Wan tertawa mengejek.
"Bedebah...!" It Kwan meraung, kemudian meloncat menyerang Liu Wan.
"Bangsat...!" Cong Su juga mengumpat dan menerkam pemuda itu.
"Brraaaaak!!!" Terdengar suara keras ketika kursi yang diduduki Liu Wan tadi hancur berkeping-keping dihantam golok dan ruyung lawannya. Pemuda itu sendiri telah lebih dahulu melesat pergi. Bahkan sebelum kedua lawannya itu menyadari apa yang terjadi, Liu Wan ganti menyerang dengan pisaunya.
"Singggg! Siiing!" Pisau itu sekaligus menyambar pergelangan tangan Cong Su dan It Kwan yang memegang senjata.
"Aaaaah...!" Baik It Kwan maupun Cong Su berusaha mati-matian untuk menyelamatkan tangannya, namun tetap saja pisau itu menggores sedikit di lengan mereka masing-masing. Untunglah mereka masih mampu mempertahankan senjata mereka. Namun dengan demikian kedua orang itu menjadi semakin sadar bahwa pemuda yang mereka hadapi itu benar-benar memiliki kepandaian di atas mereka. Oleh karena itu tidak boleh tidak mereka berdua harus bersatu padu untuk menghadapinya. Demikianlah mereka berdua lalu mengeroyok Liu Wan bersama-sama. Mereka menyerang dan bertahan bergantian, saling mengisi dan melindungi, sehingga membentuk sebuah kerja sama yang cukup kuat untuk melayani ilmu silat Liu Wan yang tinggi.
"Nah, begitu...!" dalam kesibukannya Liu Wan masih bisa memuji kerja sama lawannya. Namun bagi It Kwan dan Cong Su, pujian itu dirasakan sebagai sebuah ejekan yang sangat menyakitkan hati. Terutama bagi It Kwan, yang selama dua hari ini selalu dirundung kesialan. Sudah barongsainya dikalahkan orang, dia sendiri dikalahkan dan dilukai seorang gadis kecil dan kini malah dipermainkan serta dipecundangi pula oleh seorang pemuda yang umurnya belum seberapa.
Maka sungguh tidak mengherankan bila ketua Hek-to-pai itu menjadi mata gelap, mengamuk tanpa mempedulikan keselamatannya lagi. Golok beracunnya yang berwarna hitam legam itu tampak berkilat-kilat memantulkan sinar, berkelebatan mengejar tubuh Liu Wan, bagaikan seekor naga hitam yang berkelok-kelok di udara, memburu mustika. Dan kegarangan golok It Kwan itu menjadi semakin berbahaya karena dibantu oleh permainan ruyung Hai-go Cong Su. Meskipun permainan ruyung tou-bak (kepala pasukan bajak) itu masih terasa lugas dan kasar, tapi dasar dari ilmu ruyung itu sendiri ternyata sangat baik dan berbahaya. Tak heran kalau orang tua itu mendapat kepercayaan untuk memimpin satu pasukan bajak laut.
Untunglah Liu Wan memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Walaupun hanya melawan dengan pisau dan tidak mengeluarkan ilmu andalannya, namun pemuda yang telah memperoleh julukan Bun-bu Siucai itu dapat melayani keganasan golok dan ruyung lawannya. Malahan beberapa waktu kemudian, yaitu setelah bisa membaca permainan ilmu silat lawan-lawannya, pemuda itu mulai bisa mendikte dan mendesak mereka. Dengan kelebihan ginkang dan lwekangnya semua itu dapat dia lakukan dengan mudah. Tetapi sebaliknya di arena pertempuran yang lain Tio Ciu In benar-benar harus memeras keringat untuk melayani kerubutan anak murid Hek-to-pai. Beberapa orang dari mereka memang telah dilumpuhkannya, akan tetapi kawan-kawan mereka yang lain segera berdatangan pula ke tempat itu. Belasan anak murid Hek-to-pai sekarang mengepung gadis itu.
"Gila! Jumlah mereka banyak sekali! Jatuh satu datang tiga! Wah, kalau terus-terusan begini aku bisa kehabisan napas nanti! Hmmm... Kemana Kwe Siau-hiap tadi? Mengapa tidak lekas-lekas ke mari?" gadis itu berkata di dalam hati. Tio Ciu In sama sekali tidak tahu bahwa Kwe Tek Hun sendiri ternyata juga sedang mendapat kesulitan di pintu gerbang. Sebenarnya mudah saja bagi pendekar sakti itu untuk melumpuhkan para penjaga yang merintanginya, kalau saja tidak ada pihak ke tiga yang ikut campur.
Namun karena mendadak ada pihak lain yang kemudian ikut turun tangan mengganggu usahanya, maka niat untuk melumpuhkan para penjaga pintu gerbang tersebut menjadi gagal. Bahkan pendekar muda dari Pulau Meng-to itu justru berbalik menjadi repot dan menderita kesulitan malah. Ketika Kwe Tek Hun ingin cepat-cepat menyelesaikan perlawanan para penjaga itu, tiba-tiba di jalan besar lewat dua orang penunggang kuda, lelaki dan perempuan. Kedua penunggang kuda itu segera menghentikan kuda mereka begitu menyaksikan perkelahian tersebut. Bahkan mereka lalu bergegas membelokkan kuda mereka untuk menonton. Akan tetapi begitu melihat ilmu silat Kwe Tek Hun, kedua penunggang kuda itu kelihatan amat tertarik, mereka saling berbisik satu sama lain, kemudian yang lelaki segera memajukan kudanya.
"Berhenti...!" orang itu berseru pendek. Kwe Tek Hun terperanjat, otomatis kakinya meloncat mundur, namun kesempatan yang terakhir kedua tangannya masih sempat membagi pukulan ke arah lawan-lawannya.
"Bluuk Bluuk" empat orang penjaga yang masih tersisa segera bergelimpangan kesakitan.
Kwe Tek Hun berdiri siap menghadapi dua orang pendatang baru yang belum dia ketahui lawan atau kawan itu, tapi diam-diam hatinya sedikit bergetar juga, suara orang itu tidak begitu keras, namun terdengar sangat nyaring dan menyakitkan gendang telinga, suatu tanda bawah pemilik suara itu memiliki tenaga dalam yang hampir sempurna. Kedua orang yang baru datang itu segera turun dari kudanya. Mereka seperti sepasang suami-isteri, yang lelaki berusia kira-kira empat puluhan tahun, sedangkan yang wanita sekitar dua tahun lebih muda, keduanya mengenakan pakaian seragam putih-putih, dengan pedang panjang tergantung di masing-masing pinggang mereka. Selain ciri-ciri tersebut tiada yang aneh atau menonjol pada diri mereka, kecuali satu, yaitu batang pedang mereka melengkung seperti samurai pada bangsa Jepang.
"Anak muda, perkenalkanlah... aku bernama Swat Kim Po dan wanita ini adalah istriku. Kami datang dari pulau-pulau di sebelah utara laut kuning, ketika lewat tadi kami amat terkesan oleh ilmu silatmu, langkah-langkah kakimu rasanya hampir sama atau mirip dengan langkah-langkah ilmu silat perguruan kami. Emmmmm bolehkan kami berdua mengetahui nama perguruanmu? Dan apakah nama ilmu yang kau pergunakan tadi?" Kwe Tek Hun terdiam dan tak segera bisa menjawab. Orang asing itu berbicara dengan nada halus dan sopan, tetapi pertanyaaannya yang menyinggung ilmu silat itu terasa sulit untuk dijawab.
"Tuan... Namaku Kwe Tek Hun, aku juga datang dari sebuah pulau di sebelah timur daratan ini, dari Pulau Meng-to. Tentang ilmu langkahku tadi... ehm..."
"Apakah ilmu langkahmu tadi bernama Ban-seng-po Lian-hoan pula?" tiba-tiba Swat Kim Po menyela begitu melihat keragu-raguan Kwe Tek Hun. Bukan main terkejutnya Kwe Tek Hun! Orang itu menyebut nama ilmu silatnya dengan tepat! Dan orang itu mengatakan bahwa ilmu langkah milik keluarganya itu mirip dengan ilmu mereka!
"Benar...? Jadi ilmu langkahmu tadi juga bernama Ban-seng-po Lian-hoan...?" Orang itu menjadi kaget pula. Ia berpaling kepada isterinya.
"Jadi... jadi Tuan berdua juga bisa mempergunakan Ban-seng-po Lian-hoan...?" Kwe Tek Hun juga balik berseru pula dengan ragu dan curiga. Tentu saja Kwe Tek Hun menjadi curiga, karena selama ini ayahnya tak pernah mengatakan bahwa ada orang lain selain ayahnya, dia sendiri dan kakek gurunya yang sudah meninggal, yang mempelajari Ban-seng-po Lian-hoan. Sedangkan Ku Jing San dan Song Li Cupun belum diperbolehkan mempelajarinya.
"Kau bertanya, apakah kami berdua bisa mempergunakan Ban-seng-po Lian-hoan? Ah-ah-ah, Anak muda... Kau ini suka sekali bergurau tampaknya. Ilmu itu justru merupakan salah satu ciri dari perguruan kami, bagaimana kami tidak mahir mempergunakannya? Justru kamilah yang seharusnya bertanya kepadamu. Darimana engkau atau Gurumu mempelajarinya? Ketahuilah, Ilmu tersebut tidak pernah diturunkan kepada orang lain selain warga Pondok Pelangi. Itupun tidak semua warga Pondok Pelangi bisa mempelajarinya sampai ke tingkat yang tertinggi."
"Pondok Pelangi...?" Kwe Tek Hun mencoba mengingat-ingat kalau-kalau ayahnya pernah menyebut tempat itu.
"Hmmm, tidak... ayah memang belum pernah bercerita tentang pondok itu."
"Anak muda, tampaknya kau belajar ilmu silat dari Ayahmu sendiri. Siapakah nama ayahmu?" Kwe Tek Hun menghela napas panjang. Rasa curiganya tadi kini berubah menjadi rasa penasaran. Apalagi Swat Kim Po seakan-akan telah memojokkan dirinya sebagai orang yang tak berhak memiliki Ban-seng-po Lian-hoan.
Memburu Iblis Eps 32 Memburu Iblis Eps 13 Memburu Iblis Eps 13