Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 19


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 19




   "Ah, saudara Toan rupanya... Mengapa saudara Toan ada di sini? Apakah ada tugas mengawal barang?" la balas menyapa orang itu.

   "Benar. Tapi kami sudah menyelesaikannya siang tadi. Kini aku dan anak buahku tinggal bersenang-senang menikmati malam di Kota An-lei ini, sebelum kami pulang besok pagi."

   "Lalu... bagaimana khabarnya Kim-liong Lojin? Apakah beliau masih memimpin perusahaan Kim-liong Piauw-kiok?"

   Tiba-tiba wajah Toan Hoa menjadi sedih.

   "Ah, beliau sudah menutup mata tiga tahun yang lalu. Sekarang aku sendiri yang memimpin perusahaan itu, karena semua murid beliau telah tiada pula."

   "Eh, Jadi...?"

   "Sudahlah, Tuan Chin. Tak enak berbicara sambil berdiri begini. Marilah kita omong-omong sambil meminum arak hangat untuk memeriahkan pertemuan yang tak terduga ini! Bagaimana...?" Toan Hoa mengundang dengan bibir tersenyum.

   "Wah, ini... ini...?" Liu Yang Kun menjawab kikuk karena merasa tak membawa uang sama sekali. Tapi Toan Hoa tampaknya memaklumi keadaannya.Dengan setengah memaksa orang itu menarik lengan Liu Yang Kun.

   "Marilah, Tuan Chin! Kau jangan menolak undanganku. Aku benar-benar ingin memeriahkan pertemuan ini dengan makan minum ala kadarnya." Liu Yang Kun tak bisa menolaknya lagi. Ia menurut saja ketika dibawa ke sebuah rumah makan yang besar. Dan ia terpaksa merapihkan pakaiannya karena rumah makan itu ternyata penuh dengan tamu.

   "Tuan Chin menginap di mana?" Toan Hoa bertanya setelah mereka mengambil tempat di sebuah meja kosong.

   "Ah, aku baru saja datang di kota ini. Aku belum sempat kemana-mana..."

   "Kalau begitu, Tuan Chin menginap saja di tempat ini. Selain mengusahakan rumah makan, tempat ini memang sebuah penginapan pula."

   "Tapi..." Liu Yang Kun mencoba mencegah.

   "Maaf, kuharap Tuan Chin jangan menolak maksud baikku ini. Aku benar benar ingin menjamu Tuan Chin malam ini..." Toan Hoa memohon dengan sangat. Lalu serunya kepada pelayan yang kebetulan lewat di samping mereka.

   "Pelayan...! Apakah kamar yang berada di samping kamarku itu masih tetap kosong?"

   "Oh, masih tuan..." pelayan itu menjawab dengan amat hormat.

   "Kalau begitu siapkanlah kamar itu untuk tamuku ini! Kemudian tolong kau katakan pula kepada pengurus restoran untuk menghidangkan masakannya yang paling istimewa dan arak Hang-ciu di meja ini!"

   "Baik, tuan..."

   "Ah, saudara Toan... kau menjadi repot benar!" Liu Yang Kun berdesah. Demikianlah, keduanya lalu makan dan minum sepuas-puasnya. Masakan dari restoran itu memang enak sekali. Apalagi minumannya adalah arak dari Hong-ciu yang telah disimpan selama bertahun-tahun di dalam gudang di bawah tanah. Rasanya benar-benar keras, segar dan harum luar-biasa. Tak heran kalau akhirnya Toan Hoa mulai terpengaruh oleh "panasnya" arak istimewa itu.

   "Tuan Chin, dimana... dimanakah kau selama empat atau lima tahun ini? Aku tak pernah mendengar namamu selama ini.Apakah... apakah engkau telah menyepi dan mengasingkan diri di tempat yang sunyi?" Liu Yang Kun yang melihat kawannya telah terpengaruh oleh minuman keras mengiyakan saja pertanyaan itu.

   "Saudara Toan, kau jangan minum lagi! Lihat, mukamu sudah mulai kemerah-merahan...!" tambahnya seraya mencegah Toan Hoa menuangkan lagi arak ke cawannya. Tapi Toan Hoa tak peduli. Sambil tersenyum lebar ia tetap saja menuangkan araknya. Matanya yang sudah mulai kocak dan berair itu menatap Liu Yang Kun dengan senangnya.

   "Ah, kalau begitu... kalau begitu Tuan Chin tak tahu sama sekali peristiwa-peristiwa menggemparkan yang telah terjadi di dunia kang-ouw kita selama ini? Uh!" Sekali lagi Liu Yang Kun yang tak ingin kawannya itu menjadi mabuk hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebaliknya ia berkeras mencegah agar kawannya itu tidak menambah lagi minumannya. Dan Toan Hoan memang menurut. Namun karena orang itu memang telah terlanjur minum terlalu banyak, maka bicaranya pun juga sudah mulai melantur.

   "Wah, rugi...! Tuan Chin benar benar rugi kalau begitu! Coba kalau tuan Chin tidak menyepi dan ikut memeriahkannya, waah... dunia persilatan benar-benar akan lebih gempar lagi, he hehe!" Toan Hoa mulai mengoceh.

   "Saudara Toan...?" Liu Yang Kun mencoba mencegah kawannya, agar tidak berbicara yang lebih melantur lagi, karena ia takut kawannya itu akan membuka kedoknya sebagai putera Kaisar Han. Tapi mulut Toan Hoa sudah tidak bisa dihentikan lagi. Mulut yang sudah terpengaruh oleh arak itu mengoceh terus. Hanya saja suaranya tidak keras lagi. Ia hanya berbisik-bisik saja seperti sedang membicarakan rahasia orang. Dan Liu Yang Kun terpaksa tak tega untuk melarangnya lebih keras lagi.

   "Tuan Chin...! Mula-mula dunia persilatan digemparkan oleh munculnya sebuah buku, yang disebut orang Buku Rahasia. Selain berisi ramalan-ramalan dan petunjuk-petunjuk yang sulit dimengerti, buku itu juga memuat daftar urutan TOKOH-TOKOH PERSILATAN TERKEMUKA dewasa ini. Dan daftar itu ternyata telah mengundang kerusuhan dan kegemparan di mana-mana. Tokoh-tokoh persilatan yang semula tidak pernah menampakkan dirinya di dunia Kang-ouw, tiba-tiba ikut pula keluar dari tempat pertapaannya. Mereka menjadi penasaran pada daftar urut-urutan yang mereka anggap kurang benar itu." Toan Hoa berhenti mengoceh sebentar. Tangannya berusaha meraih guci arak yang ada di depan Liu Yang Kun, tapi pemuda itu cepat menyingkirkannya.

   "Sudah kukatakan, saudara Toan tak boleh minum lagi." Liu Yang Kun memperingatkan. Toan Hoa tersenyum kemalu-maluan, namun ia tak tersinggung karenanya. Sebaliknya mulutnya yang berbau arak itu malah melanjutkan lagi ocehannya.

   "Kudengar nama Tuan Chin ikut tertulis pula di dalam Buku Rahasia itu, yaitu pada urutan yang ke-tujuh. Sungguh hebat sekali! Sayang tuan tak pernah menampakkan diri selama ini. Padahal yang lain-lain sudah saling bermunculan untuk mengukur kesaktian mereka masing-masing. Rata-rata mereka merasa penasaran pada urutan-urutan nama yang tertulis di dalam buku itu."

   "Jadi semua tokoh yang tertulis di dalam daftar itu telah muncul dan menampakkan diri mereka di dunia persilatan?" Liu Yang Kun memotong.

   "Sebagian besar... sudah! Hanya satu atau dua orang saja yang belum. Tampaknya orang-orang itu masih menunggu saat yang tepat untuk memunculkan diri. Termasuk Tuan Chin sendiri misalnya..."

   "Ah, aku toh hanya orang biasa, yang tak seharusnya ditulis di dalam daftar itu. Mungkin bukan aku yang dimaksudkan oleh penulisnya, karena aku belum pernah merasa dicoba atau dinilai ketinggian ilmuku." Liu Yang Kun cepat merendahkan diri.

   "Wah, Tuan Chin suka benar merendahkan diri. Siapakah yang tak tahu kehebatan ilmumu selama ini? Malahan aku sendiri pernah menyaksikannya, yaitu ketika Tuan Chin mampu menahan ilmu Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai dulu." Toan Hoa mengingatkan kembali peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu ketika Toan Hoa dan rombongan para piauwsunya dicegat perampok di dekat Kota Poh-yang,

   "Hmm... itu karena Hong-Gi-Hiap yang mau mengalah kepadaku." Liu Yang Kun tetap merendah.

   "Tapi... eh, siapa sajakah tokoh-tokoh yang telah muncul itu?" Toan Hoa tersenyum gembira melihat perhatian Liu Yang Kun.

   "Banyak sekali. Beberapa orang di antaranya adalah... Bu-tek Sin-tong, Giok-bin Tok-ong, dan Lo-sin-ong!" jawabnya sambil menghitung jarinya.

   "Bu-tek Sin-tong... Giok-bin Tok-Ong... Lo-sin-ong...?" Liu Yang Kun mengulang dengan kening berkerut, seolah-olah ia pernah mendengar pula nama-nama itu.

   "Ya! Tuan Chin pernah mengenal mereka?" Toan Hoa mendesak. Namun Liu Yang Kun segera menggelengkan kepalanya.

   "Entahlah...! Aku sudah lupa lagi. Mungkin aku memang pernah mendengarnya, tapi...hmm, entahlah!" jawabnya kurang yakin. Tiba-tiba Toan Hoa mengacungkan ibu jarinya.

   "Tokoh-tokoh itu benar-benar memiliki kesaktian yang hebat luar biasa! Terutama yang disebut Bu-tek Sin-tong itu! Meskipun tubuhnya kerdil seperti anak lelaki berusia sepuluh tahun tapi kesaktiannya benar-benar seperti dewa!" pujinya setinggi langit. Liu Yang Kun tersentak kaget, sehingga cawan arak yang dipegangnya hampir lepas dari tangannya.

   "Kerdil? Oh... apakah dia mempunyai jenggot dan rambut yang putih panjang...serta dibiarkan terurai sampai di telapak kakinya?" Bisiknya sedikit keras.

   "Betul!" Toan Hoa bersorak seraya menepuk meja, sehingga tamu-tamu yang lain menjadi kaget dibuatnya.

   "Ah...!" Liu Yang Kun menjadi kaget dan tegang pula. Apalagi ketika semua mata tertuju ke arah mejanya. Untuk menjaga segala kemungkinan terpaksa Liu Yang Kun menarik tangan kawannya, dan membawanya pergi ke kamar yang telah mereka pesan tadi. Kepada pelayan restoran, Liu Yang Kun meminta agar semua rekening dibebankan kepada temannya yang sedang mabuk itu. Pelayan itu mengiyakan dengan hormat, lalu mengantarkan mereka ke kamar.

   "Hoa! Siapa bilang aku mabuk! Wah... kita belum selesai minum, nih?" Toan Hoa masih mencoba menyangkal. Tapi Liu Yang Kun cepat mencengkeram lengannya dan setengah menyeret kawannya itu ke kamarnya. Apalagi ketika sekilas matanya melihat dua orang lelaki yang duduk di pojok ruangan menatap tajam ke arahnya.

   "Siapakah mereka...?? dua orang lelaki itu bertanya kepada pelayan, setelah pelayan itu kembali dari mengantarkan Liu Yang Kun.

   "Oh, mereka adalah para piauw-su dari Kim-liong Piauw-kok. Yang mabuk tadi adalah Toan Hoa, pengurus Kim-liong Piauw-kok yang sekarang. Tuan berdua telah mengenal mereka?" Kedua orang itu saling memandang satu sama lain, kemudian menggeleng-gelengkan kepala mereka.

   "Belum..." mereka menjawab hampir berbareng. Namun setelah pelayan itu pergi, kedua orang itu saling berbisik.

   "Bhong suheng, aku seperti telah mengenal pemuda yang bertubuh jangkung itu."

   "Benar, Leng Sute. Aku pun seperti pernah melihatnya pula. Tapi aku lupa, entah di mana..."

   "Hmm... aku agak curiga kepadanya. Kulihat matanya bersinar cemerlang serta berkilat-kilat ketika mengawasi kita tadi. Aku berani memastikan bahwa lweekangnya tentu tinggi sekali. Ah... Jangan-jangan dia bukan orang Kim-liong Piauw-kok, tapi...?"

   "...Orangnya Tung-hai-tiauw maksudmu?" orang yang disebut suheng itu melanjutkan. Dan orang yang dipanggil Sute itu mengangguk. Tapi mulutnya tak menjawab.
(Lanjut ke Jilid 19)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 19
"Huh, peduli amat! Bukankah kita telah mendapat mandat dari Mo-cu untuk menyelesaikan masalah ini? Jangankan Cuma dia, biarpun Tung-hai-tiauw sendiri yang datang, kita tak perlu cemas." su hengnya menambahkan. Sementara itu Liu Yang Kun dan Toan Hoa yang telah berada di kamarnya, segera mengambil tempat duduk dan meneruskan pembicaraan mereka. Karena kamar mereka hanya berbataskan dinding dengan ruang restoran itu, maka pembicaraan kedua orang tamu itu, lapat-lapat masih bisa didengar oleh telinga Liu Yang Kun yang tajam.

   "Ah... ingat aku sekarang! Ya... mereka Bhong Kim Cu dan Leng Siauw! Tokoh-tokoh puncak dari Aliran Mo-kauw yang terkenal itu!" pemuda itu berdesah di dalam hatinya.

   "Kalau begitu... permusuhan mereka dengan Tung-hai-tiauw memang sudah mencapai puncaknya."

   "'Hei, Tuan Chin! Mengapa kau termenung saja? Apakah kau sedang memikirkan Bu-tek Sin-tong itu?" tiba-tiba Toan Hoa berseru sehingga mengagetkan Liu Yang Kun.

   "Eh-oh... bu-bukan! Aku sedang memikirkan tokoh yang satunya lagi. Apakah Giok-bin Tok-ong itu seorang kakek berwajah tampan dan memiliki senjata peledak yang sangat mengerikan?" dengan gugup Liu Yang Kun mencoba menjawab. Tak terduga Toan Hoa kembali bersorak dan menggebrak meja.

   "Betul! Betul! Oh... apakah Tuan Chin sudah pernah berkenalan dengan dia?" Liu Yang Kun menghela napas panjang.

   "Aku belum sempat berkenalan dengannya, sebab begitu berjumpa kami lalu saling mengukur kepandaian."

   "Apa...? Tuan Chin sudah pernah berkelahi dengan tokoh sakti itu? Bagaimana kesudahannya?" Toan Hoa mendesak penuh perhatian.

   "Sudahlah, hampir saja aku mati berkeping-keping oleh senjata peledaknya itu." Liu Yang Kun menjawab pendek.

   "Oooooh!"

   "Tapi untung aku masih bisa menghindarinya. Tapi...eh, apakah hanya mereka itu saja yang sudah muncul?" mendadak Liu Yang Kun mengalihkan pembicaraan mereka.

   "Ya...ya... memang baru mereka itu yang muncul. Tapi sebenarnya masih ada satu lagi yang kemunculannya sempat menggemparkan dunia persilatan. Namun karena namanya tidak tercantum di dalam daftar urutan itu, maka aku tidak menyebutkannya. Padahal begitu muncul, dunia persilatan menjadi gempar. Namanya dikenal dimana-mana. Kepandaiannya pun sangat luar biasa pula. Hanya sayang, perbuatannya buruk dan tidak terpuji, sehingga orang menjadi takut dan benci terhadapnya." Liu Yang Kun menjadi berdebar-debar mendengar cerita itu.

   "Siapakah tokoh yang kau maksudkan itu?" tanyanya dengan suara gemetar.

   "Si Penyebar Maut!" Toan Hoa menjawab mantap. Lalu,

   "Sayang kemunculannya tidak lama. Mungkin cuma setahun ia meraja-lela mengumbar kekejaman dan keganasannya.Setelah itu ia menghilang dan tidak terdengar lagi kabar beritanya.Namun sebelum menghilang ia sempat menggegerkan dunia persilatan, yaitu membunuh ribuan pendekar di luar Kota Soh-ciu!"

   "Bohong!" tiba-tiba Liu Yang Kun berseru. Wajahnya merah. Matanya melotot. Tapi sesaat kemudian pemuda itu menjadi sadar pula, bahwa tak seharusnya ia marah atau tersinggung mendengar cerita tersebut.

   "Eh-uh...Tuan Chin? Ke-kenapa...? Apa... apa salahku?" Toan Hoa yang masih dalam keadaan mabuk itu menjadi ketakutan. Liu Yang Kun cepat merangkul pundak Toan Hoa.

   "Tidak apa-apa. Aku cuma bergurau kepadamu. Aku hanya ingin mengetahui, apakah kau masih mabuk atau tidak?" katanya sambil tertawa.

   "Ah, Tuan Chin sungguh membuat hatiku berdebar-debar saja. Siapa bilang aku mabuk, huh?"

   "Nah, kalau begitu... lanjutkan ceritamu tadi!"

   "Sudah selesai. Apa yang mesti kuceritakan lagi?" Toan Hoa mengangkat pundaknya sambil tersenyum.

   "Hei! Masakan cuma sekian saja ceritanya? Apakah tidak ada cerita tentang tokoh yang lain? Tentang Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai atau Lo-sin-ong misalnya?" Liu Yang Kun mencoba mengorek lagi cerita dari mulut Toan Hoa. Siapa tahu ada cerita tentang orang lihai yang ditakutinya sejak ia pergi meninggalkan dusun Kee-cung itu? Toan Hoa mengerutkan dahinya seperti seorang yang sedang berpikir keras. Namun perlahan-lahan kepalanya menggeleng.

   "Tidak ada lagi. Kalau pun ada, itu hanya merupakan peristiwa-peristiwa kecil yang tak patut dijadikan cerita. Misalnya tentang permusuhan yang tiba-tiba terjadi antara Aliran Mo-kauw dengan Tung-hai-tiauw dari Lautan Timur. Atau... peristiwa yang agak menghebohkan di Danau Tai-Ouw sebulan yang lalu. Y aitu kerusuhan kecil yang terjadi di atas danau itu, akibat memperebutkan mustika dan darah naga Ceng-liong-ong." Sekali lagi hati Liu Yang Kun menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba ia teringat pada ular raksasa yang dibunuhnya dulu, yang menurut Tui Lan bernama Ceng-liong-ong itu.

   "Memperebutkan... mustika dan darah Ceng-liong-ong?" pemuda itu mencoba menegaskan.

   "Ya. Mustika dan darah Ceng-liong-ong, yang khabarnya bisa membuat orang menjadi sakti luar biasa." Liu Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya dan pura-pura merasa heran mendengar cerita tersebut.

   "Begitukah? Hmm... lalu ada cerita tentang apa lagi?" tanyanya pula setelah Toan Hoa mengakhiri ceritanya.

   "Wah, Tuan Chin ini mendesak terus...?" pengurus Kim-liong Piauw-kok itu menggerutu. Tapi sekejap kemudian ia berdesah.

   "Eh, ya... nanti dulu! Masih ada khabar baru..."

   "Apakah itu? Coba ceritakan!" Liu Yang Kun berbisik pula dengan gairah.

   "Anu... Si Iblis Penyebar Maut telah muncul kembali di dunia kang-ouw!"

   "Apaaa...?" Liu Yang Kun tersentak kaget. Matanya menatap Toan Hoa dengan curiga. Namun seperti juga tadi, pemuda itu segera sadar pula akan dirinya.

   "Aaaah..." desahnya panjang. Untuk sesaat Toan Hoa juga menjadi ragu-ragu melihat perubahan wajah Liu Yang Kun. Tapi begitu melihat senyum telah mengembang kembali di bibir pemuda itu, maka ia menjadi tenang pula.

   "B-benar, Tuan Chin... Aku memang mendengar berita tentang munculnya iblis itu lagi. Sudah lebih dari sebulan ini Si Iblis Penyebar Maut dikhabarkan orang berkeliaran mencari mangsa di daerah pantai timur sana. Kata orang sudah banyak korban yang jatuh di tangannya..." Toan Hoa meneruskan ceritanya.

   "Begitukah?" Liu Yang Kun menggeram tanpa terasa. Bagaimana pun juga berita tentang munculnya Si Iblis Penyebar Maut itu benar-benar membuatnya penasaran.

   "Groubyaaaag!" Tiba-tiba terdengar suara gaduh di ruang restoran! Liu Yang Kun cepat bangkit berdiri, kemudian bergegas melangkah keluar dari kamar itu.

   "Saudara Toan! Kau tunggulah sebentar! Aku akan melihat ke depan." pesannya kepada Toan Hoa.

   "Alaaa...! Paling-paling cuma orang mabuk, hehehe..." Toan Hoa meringis, lalu merebahkan dirinya di atas meja. Liu Yang Kun meloncat ke jendela yang menembus ke ruang restoran. Pelan pelan disingkapnya kain menutup jendela itu. Dan matanya segera menyaksikan seorang lelaki kurus kerempeng dan seorang pemuda halus tampan, sedang berdiri berhadapan dengan kedua tokoh Aliran Mo-kauw itu. Dan meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi Liu Yang Kun masih tetap ingat kepada lelaki kerempeng itu, karena orang itu tidak lain adalah Tung-hai Nung-jin, pembantu Tung-hai-tiauw.

   "Dan pemuda yang datang bersamanya itu tentulah Tiauw Kiat Su, kakak dari Tiauw Li Ing. Aaah..." tiba-tiba Liu Yang Kun teringat akan gadis binal yang pernah mengejar-ngejar dirinya dulu. Liu Yang Kun lalu mengedarkan pandangannya. Dilihatnya ruangan yang luas itu telah kosong. Semua tamu telah pergi. Yang ada tinggal beberapa orang pelayan yang berdiri gemetar di pojok ruangan.

   "Oh, kami berdua benar-benar tak menyangka bisa berjumpa dengan Tung-hai Nung-jin di tempat ini. Hmm, apa khabar Nung-jin?" Bhong Kim Cu menyapa ramah. Tapi Tung-hai Nung-jin membalasnya dengan tertawa dingin. Begitu pula dengan Tiauw Kiat Su. Pemuda tampan itu malah mendengus dengan acuh tak acuh.

   "Hmm, aku pun juga tak mengira akan bertemu dengan Bhong Lo-heng dan Leng Lo-heng di sini. Tadi siang aku hanya memperoleh laporan dari anak buahku, bahwa dua orang tokoh Aliran Mo-kauw sedang berada di kota ini. Uh, ternyata orang itu adalah Lo-heng berdua."

   "Wah... kalau demikian pertemuan ini benar-benar sangat kebetulan sekali, bukan?" Leng Siauw menyela dengan wajah berseri-seri." Dan kemungkinan besar kita semua bisa menyingkat waktu di sini, sehingga aku dan suhengku tak perlu jauh-jauh datang ke istana Tung-hai-tiauw nanti." Tung-hai Nung-jin mengerutkan alisnya.

   "Hmm... jadi Jiwi Lo-heng ini bermaksud mengunjungi kami di Hai-ong-hu (Istana Raja Laut)? Bolehkah aku mengetahui maksud kunjungan Jiwi Lo-heng itu?" orang tua itu bertanya. Bhong Kim Cu saling pandang dengan Sutenya, kemudian mereka tertawa lepas.

   "Ah... kita toh bukan anak-anak lagi, Nung-jin. Apa perlunya kita orang tua ini saling berpura-pura lagi? Kita toh sudah sama-sama maklum, apa yang terjadi di antara kita akhir-akhir ini. Mengapa kau masih bertanya pula...?"

   "Bagus! Kalau begitu... apa mau mu, heh?" tiba-tiba Tung-hai Nung-jin membentak. Bhong Kim Cu dan Leng Siauw terperangah. Namun sebagai tokoh aliran terkemuka, mereka segera bisa menguasai diri. Sambil tersenyum kecut Leng Siauw melangkah ke depan mewakili suhengnya.

   "Sabar, Nung-jin. K ita tak perlu bersitegang leher dalam hal ini. Kalau toh harus marah, sebenarnya bukan kau yang harus marah kepada kami. Sebaliknya kami berdualah yang seharusnya marah kepadamu!"

   "Heh-he-heh-he! Jangan memutar-balikkan kenyataan! Mengapa kaukatakan bahwa aku tidak boleh marah kepadamu Dan sebaliknya justru kalian lah yang seharusnya menjadi marah kepadaku?" Leng Siauw menarik napas panjang.

   "Nung-jin! Sudah kukatakan bahwa kita tak perlu berpura-pura lagi. Oleh karena itu kau tak perlu menutup-nutupi pula semua sepak-terjang kalian selama ini. Nah, sekarang katakan kepada kami! Apa maksud kalian memusuhi dan menangkapi orang-orang Mo-kauw kami akhir-akhir ini? Bukankah kami tak pernah memusuhi atau bermusuhan dengan pihakmu?" Tak terduga Tung-hai Nung-jin tertawa tergelak-gelak mendengar ucapan Leng Siauw itu. Sambil menoleh ke arah Tiauw Kiat Su, bajak laut tua itu mengejek.

   "Kau dengar ucapannya itu, Kiat Su? Dia bilang tak pernah memusuhi kita selama ini, heh-he-heh-he! Sungguh tidak tahu malu..." Tiauw Kiat Su tertawa dingin.

   "Mengapa Paman mesti heran? Bukankah sudah biasa kalau orang itu tidak bisa melihat kesalahannya sendiri? Justru keburukan atau kesalahan orang lain-lah yang akan nampak jelas di matanya." pemuda itu menyahut pendek, namun sangat pedas serta menyakitkan. Bhong Kim Cu menggeram, tapi ia tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya. Sedangkan Leng Siauw yang tak kurang tersinggungnya mendengar ucapan Tiauw Kiat Su itu hanya melirik saja kepada pemuda tampan itu. Diam-diam tokoh dari Aliran Mo-kauw itu menilai pemuda yang sombong dan bermulut tajam tersebut.

   "Tampaknya pemuda ini lebih berbahaya dan lebih buruk perangainya dari pada Tung-hai Nung-jin. Aku harus berhati-hati kepada pemuda ini." dengusnya di dalam hati.

   "Tung-hai Nung-jin! Tampaknya kau tidak mau mengakui kesalahanmu, dan justru melemparkan kesalahan itu kepada kami. Hmmmh...! Cobalah kau jelaskan kepada kami sikapmu itu! Jangan berteka-teki lagi!" Bhong K im Cu akhirnya berseru penasaran.

   "Benar. Pihak kalian-lah yang secara mendadak mengobarkan permusuhan kepada kami. Tanpa sebab dan alasan, kalian telah menangkapi orang-orang Mo kauw kami." Leng Siauw menambahkan. Tiba-tiba air-muka Tung-hai Nung-jin menjadi gelap. Dahinya berkerut, sehingga kedua alis-matanya hampir bertemu satu sama lain.

   "Hmmh! Benarkah kalian tidak tahu kesalahan yang telah kalian lakukan terhadap kami?" hardiknya keras.

   "Kurang ajar! Apakah kami berdua harus bersumpah di hadapanmu?" Bhong Kim Cu berteriak marah pula. Tung-hai Nung-jin menatap tajam.

   "Baiklah. Kalau begitu... ikutilah aku! Akan kubawa kalian ke hadapan Hai ong (Raja Laut) untuk memperoleh penjelasan." katanya kaku. Bhong Kim Cu dan Leng Siauw terperanjat.

   "Kau maksudkan... kami akan kau bawa ke depan Tung-hai-tiauw di Lautan Timur sana?" mereka berdesah hampir berbareng. Sekali lagi Tung-hai Nung-jin tertawa dingin.

   "Tidak perlu ke Hai-ong hu. Hai-ong kami sedang berada di kota ini pula sekarang." kata bajak laut tua itu tidak kalah kerasnya.

   "Begitukah...? Hmmh bagus! Kami memang ingin sekali bertemu muka dengan Tung-hai-tiauw." Bhong Kim Cu berseru gembira.

   "Aaah... mengapa Paman harus repot-repot membawa mereka ke hadapan ayah? Mengapa mereka tidak kita bereskan saja di tempat ini?" tiba-tiba Tiauw Kiat Su mencela Tung-hai Nung-jin.

   "Jangan bertindak sembrono! Mereka adalah tokoh-tokoh utama di dalam Aliran Mo-kauw. Kita tidak boleh gegabah menghadapi mereka, agar tujuan atau harapan kita tidak menjadi berantakan karenanya. Biarlah ayahmu yang mengurusnya." Tung-hai Nung-jin menjelaskan.

   "Hmmh...!" Tiauw Kiat Su mendengus kurang senang, kemudian mendahului melangkah keluar dari restoran. Tung-hai Nung-jin mengawasi punggung Tiauw Kiat Su dengan perasaan kurang senang pula. Semenjak menjadi murid Giok-bin Tok-ong, sikap pemuda itu terasa semakin sombong dan kurang ajar. Tapi apa boleh buat, kepandaian pemuda itu memang lebih tinggi dari padanya sekarang.

   "Nah, marilah kalian ikuti aku!" akhirnya bajak laut tua itu berseru pula dengan suara kaku kepada Bhong Kim Cu dan Leng Siauw. Kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu tak menjawab. Dengan tenang mereka melangkah keluar mengikuti Tung-hai Nung-jin. Mereka adalah tokoh-tokoh tingkat dua setelah Mo-cu atau Ketua mereka, Pek-i Liong-ong, maka tidak mengherankan bila nyali mereka amat besar dan sangat percaya kepada kemampuan mereka sendiri. Liu Yang Kun pun cepat keluar dari persembunyiannya. Pemuda itu bergegas pula mengikuti mereka. Ia ingin tahu apa yang akan terjadi dengan para tokoh Aliran Mo-kauw itu nanti.

   "Tolong katakan kepada Tuan Toan Hoa bahwa aku sedang keluar sebentar!" katanya kepada para pelayan yang merasa lega kembali sete lah empat orang itu meninggalkan restoran mereka.

   "Tu-tuan hendak pergi kemana...?" salah seorang pelayan itu bertanya dengan kening berkerut. Liu Yang Kun tidak menjawab. Ia cepat menyelinap keluar dan menghilang di dalam kegelapan. Dengan Bu-eng Hwe-tengnya ia melejit dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, mengikuti ke mana saja rombongan Tung-hai Nung-jin itu pergi. Di tempat-tempat yang ramai pemuda itu berjalan biasa, membaurkan diri dengan para pejalan kaki yang lain. Tapi bila berada di tempat sepi, pemuda itu terpaksa berloncatan di atas genting-genting rumah atau pepohonan yang rimbun, agar supaya jejaknya tidak ketahuan oleh mereka.

   Untunglah, di tempat-tempat yang sepi biasanya juga gelap atau kurang penerangannya, sehingga langkah pemuda itu tidak gampang terlihat oleh siapapun juga. Apa lagi ginkang pemuda itu memang telah mencapai kesempurnaannya. Gerakannya yang cepat dan gesit itu benar-benar sulit diikuti oleh pandangan mata. Tung-hai Nung-jin membawa tamunya ke pinggir kota sebelah timur. Di sebuah jalan yang gelap dan sepi, mereka berbelok ke halaman yang amat luas dan banyak pepohonannya. Mereka masuk ke dalam rumah besar yang terang benderang penerangannya. Beberapa orang penjaga tampak keluar dari dalam kegelapan dan menyambut mereka. Liu Yang Kun cepat berlindung di tempat yang gelap.

   "Hmm... inilah tampaknya gedung dimana Tung-hai-tiauw tinggal di kota ini. Sungguh angker dan lepas dari perhatian sekelilingnya. Tapi aku harus berhati-hati memasukinya. Kulihat banyak sekali penjaga yang berkeliaran di dalam kegelapan." pemuda itu membatin. Liu Yang Kun lalu mengawasi pepohonan tinggi dan rimbun yang banyak terdapat di halaman itu.

   "Kukira ada juga penjaga yang bertengger di atas dahan-dahan sana. Namun didalam rimbunnya dedaunan itu tampaknya aku juga akan lebih aman dari pada harus berjalan di atas tanah." pemuda itu berpikir pula. Demikianlah setelah memutuskan diri untuk mendekati gedung tersebut dengan cara berloncatan di atas pohon, maka Liu Yang Kun lalu mempersiapkan seluruh kemampuannya. Dikerahkannya seluruh tenaga sakti Liong-cu i-kangnya, agar supaya sewaktu-waktu bisa ia pergunakan dengan sesuka hatinya. Pemuda itu lalu melesat ke atas pohon yang terdekat. Beberapa orang penjaga yang ada di dalam halaman itu hanya melihat berkelebatnya sebuah bayangan, yang mereka sangka adalah seekor kelelawar atau burung malam saja.

   "Gila! Tung-hai-tiauw benar-benar menjaga rumah ini seperti menjaga sangkar emas saja. Dimana-mana ada penjaga." sambil beringsut dan berlompatan dari dahan ke dahan, Liu Yang Kun menghitung jumlah penjaga yang dilewatinya. Tiba-tiba pemuda itu me lihat sesosok bayangan melesat di atas pohon di depannya. Bayangan hitam itu hanya tampak sekilas saja, karena untuk selanjutnya lalu hilang ditelan kegelapan malam atau rimbunnya daun yang menutupi pohon tersebut. Liu Yang Kun menjadi tegang dan berdebar-debar. Apalagi ketika lapat-lapat terdengar suara keluhan di dalam rimbunnya daun itu.

   "Siapa itu? Kaukah, Houw Ti?" seorang penjaga yang berada di bawah pohon itu menyapa dan menengadahkan kepalanya.

   "Benar! Ssst... jangan berisik!" terdengar suara jawaban dari atas pohon.

   "Bangsat! Kaulah yang berisik! Kalau kau tidak berisik lebih dulu, masakan aku mengerti tempatmu, huh?" penjaga yang ada di bawah itu mengumpat. Orang yang ada di atas pohon itu tidak melayani umpatan itu. Liu Yang Kun melihat orang itu telah melesat pergi meninggalkan pohon tersebut. Gerakannya demikian ringannya sehingga ranting-ranting pohon itu tidak tergoncang ataupun bergoyang karenanya.

   "Agaknya memang betul apa yang dikatakan oleh Toan Hoa tadi. Banyak jago-jago silat sakti, yang semula tak pernah terdengar namanya, kini tampak terjun berkeliaran di dunia kang-ouw, hanya karena munculnya Buku Rahasia. Baru sehari aku keluar dari gua di bawah tanah itu, ternyata sudah ada tiga orang berkepandaian tinggi yang kutemui. Kam Lojin, orang yang kuikuti siang tadi, dan... orang ini! Dan ketiga-tiganya memiliki ginkang yang hebat sekali! Hmm! Coba aku tidak memiliki Bu-eng Hwe-teng, niscaya aku tak bisa berkutik di depan mereka." Perlahan-lahan Liu Yang Kun mengintip penjaga yang berdiri di bawah pohon itu. Ketika penjaga itu lengah, Liu Yang Kun segera melesat ke pohon tersebut. Dan pohon itu juga tidak bergoyang sedikitpun, seolah-olah loncatan pemuda itu cuma loncatan seekor belalang kecil yang tak berbobot sama sekali.

   "Ah...!" tiba-tiba Liu Yang Kun berdesah perlahan ketika ia mendapatkan sesosok tubuh manusia terikat di sebuah dahan. Orang itu tidak mati, tapi lumpuh karena ditotok urat darahnya. Dan Liu Yang Kun semakin menjadi kaget begitu menyaksikan pakaian seragam orang itu. Karena pakaian itu sama warna dan potongannya dengan pakaian yang dikenakan di bawah pohon itu.

   "Oh, kalau demikian...orang inilah yang dipanggil dengan nama Houw Ti tadi. Jadi bayangan yang kulihat itu bukanlah teman atau anak buah Tung-hai-tiauw. Tampaknya orang itu juga orang luar yang sedang menyelidiki tempat ini, seperti aku pula." pemuda itu membatin. Begitulah, semakin mendekati gedung itu, Liu Yang Kun semakin sering mendapatkan penjaga yang telah dilumpuhkan atau ditotok urat darahnya. Mereka disembunyikan di tempat-tempat yang terlindung agar tidak diketahui oleh penjaga yang lain. Meskipun demikian ketika telah mencapai tembok gudang itu, ternyata Liu Yang Kun telah kehilangan jejak orang yang sangat lihai tersebut.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kemanakah larinya orang itu? Apakah dia telah masuk ke dalam gedung itu?" Dengan sangat berhati-hati Liu Yang Kun lalu merayap ke atas genting. Perlahan-lahan ia menuju ke atas pendapa, dimana ia perkirakan Tung-hai-tiauw sedang menjumpai kedua tokoh Aliran Mo-kauw itu. Dibukanya sebuah genting untuk mengintip ke dalam.

   "Hai Ong dataaaaang...!" tiba-tiba terdengar teriakan seorang penjaga. Liu Yang Kun cepat melongok ke bawah. Matanya melihat seorang lelaki tinggi besar, berjenggot lebat, sedang memasuki pendapa itu dari pintu tengah. Beberapa orang pengawal tampak berbaris di kanan-kirinya. Gayanya dan caranya berjalan kelihatan angkuh dan berwibawa seperti seorang raja.

   "Ah... itulah agaknya yang bernama Tung-hai-tiauw, Raja Bajak Laut yang tersohor itu. Tampaknya ia juga baru saja keluar menemui tamunya itu. Bukan main...!" Liu Yang Kun berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Ia benar-benar seperti seorang raja.Pakaiannya gemerlapan. Pengawalnya banyak serta garang-garang. Dan pasukan atau anak-buahnya pun tak terhitung pula jumlahnya. Hmmm..." Tung-hai-tiauw lantas duduk di kursinya. Sama sekali ia tak menyapa atau menengok ke arah tamunya, padahal kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu juga ikut berdiri pula di samping Tung hai Nung-jin untuk menghormati kedatangannya. Meskipun demikian kedua tokoh Aliran Mo-kauw itu tak menjadi tersinggung karenanya. Wajah kedua orang itu tetap tenang.

   "Hai-ong...! Inilah tokoh Mo-kauw yang kulaporkan itu. Mereka adalah tangan kanan Pek-i Liong-ong. Nama mereka adalah Bhong Kim Cu dan Leng Siauw. Keduanya menduduki jabatan sebagai Siang-kauw Tai-shih (Sepasang Duta Agung) di dalam Aliran Mo-kauw. Mereka berdua kubawa menghadap kemari agar Hai-ong dapat menjelaskan persoalannya. Sebab mereka ini merasa tidak bersalah. Bahkan mereka merasa penasaran karena kita telah menangkapi kawan kawannya selama ini." Tung-hai Nung-jin membuka laporannya.

   "Benar, Hai-ong..." tiba-tiba Bhong Kim Cu berdiri dan memberi hormat. Matanya memandang tajam dan sedikitpun tidak kehilangan ketenangannya. Sikapnya benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak terpengaruh oleh kegarangan ataupun keangkeran lawannya.

   "Apanya yang benar, heh?" raja bajak laut yang kasar itu tiba-tiba membentak dengan suara menggeledek. Sesuai dengan jabatannya sebagai pemimpin para perompak, ternyata Tung-hai-tiauw itu juga berwatak kasar dan kurang mengindahkan sopan-santun. Meskipun Bhong Kim Cu dan Leng Siauw telah bersikap hormat kepadanya, namun ternyata Tung-hai-tiauw tidak mengacuhkannya. Padahal kedua tokoh Aliran Mo-kauw tersebut mempunyai kedudukan tinggi dan amat dihormati di dunia persilatan. Untunglah sebagai seorang tokoh agama, apalagi umur mereka juga sudah tidak muda pula, mereka berdua bisa menguasai diri. Mereka tidak merasa tersinggung, karena mereka juga menyadari dengan siapa mereka berhadapan.

   "Seperti yang telah dikatakan oleh Tung-hai Nung-jin tadi, kami orang orang Mo-kauw benar-benar merasa penasaran. Orang-orang kami yang selama ini merasa tidak pernah bermusuhan atau berselisih dengan Hai-ong, tiba-tiba diserang dan ditangkapi. Beberapa orang utusan kami, yang bermaksud meminta keterangan kepada Hai-ong, juga tidak pernah kembali. Sehingga dengan berat hati kami berdua terpaksa meminta kepada Mo-cu, untuk berangkat sendiri ke hadapan Hai-ong. Dan sungguh beruntung sekali kami dapat menghadap Hai ong di sini, sehingga kami berdua tak perlu jauh-jauh pergi ke Hai-ong-hu. Nah, sekarang kami mohon penjelasan kepada Hai-ong. Apa sebabnya Hai-ong memusuhi kami dan menangkapi anggota kami? Dan dimanakah kawan-kawan kami itu sekarang?" dengan tenang dan jelas Bhong Kim Cu berkata kepada Tung-hai-tiauw.

   "Braaaak!" Tung-hai-tiauw menggebrak meja.

   "Hah! Kalian benar-benar tidak tahu atau cuma berpura-pura saja?" hardiknya seraya berdiri. Leng Siauw cepat bangkit pula dari kursinya. Sambil berdiri di samping suhengnya tokoh ketiga dari Aliran Mo-kauw itu menggeram:

   "Kami bukan anak kecil lagi. Apa perlunya bagi kami bergurau dalam suasana yang gawat seperti ini?"

   "Bagus! Nah, sekarang jawablah! Kalian sudah pernah melihat dan mendengar tentang baju-mustika Kim-pauw-san atau belum?" Seketika Bhong Kim Cu dan Leng Siauw saling pandang dengan wajah kaget.

   Tentu saja mereka tahu sekali tentang baju mustika yang tak mempan senjata itu, karena secara kebetulan memang mereka berdualah yang dulu mendapatkannya. Hanya saja benda mustika tersebut kini telah menjadi barang pusaka Aliran Mo-kauw, dan yang berhak memakai hanyalah Mo-cu seorang. Dahulu benda mustika itu mereka dapatkan dari seorang tokoh hitam, bernama Song-bun-kwi (Si Mayat Berkabung) Kwa Sun Tek. Penjahat itu mereka bunuh, dan baju mustika yang dikenakan oleh penjahat tersebut mereka ambil. Mereka berdua merasa bahwa tak seorang-pun yang mengetahui perbuatan mereka itu. Tapi, mengapa sekarang secara tiba tiba Tung-hai-tiauw menanyakan tentang hal itu? Apakah raja Bajak Laut itu hendak merebut dan memiliki benda pusaka itu? Beberapa saat lamanya Bhong Kim Cu dan Leng Siauw tak bisa menjawab pertanyaan Tung-hai-tiauw tersebut.

   "Hei! Mengapa kalian tidak menjawab? Kalian pernah melihat atau belum?"

   "Ayoh! Lekaslah Jiwi menjawabnya! Mengapa diam saja?" Tung-hai Nung-jin ikut mendesak pula. Bhong Kim Cu menoleh sekilas. Sebenarnya ia sudah tak bisa membendung kemarahannya. Belum pernah ia selama ini dibentak-bentak orang sedemikian rupa. Tapi karena ia sedang mengemban perintah ketuanya, maka terpaksa ia menahan hati sebisa-bisanya.

   "Hmm... mengapa Hai-ong menanyakan hal itu kepada kami? Apakah Hai ong menginginkan benda itu dan... bermaksud untuk memilikinya?" dengan berani Leng Siauw mendahului suhengnya.

   "Bangsat benda itu milikku! Bukan m ilik siapa-siapa! Karena keteledoran puteriku benda itu hilang dicuri orang! Tahu...?" Tung-hai-tiauw mengumpat kasar. Melihat kemarahan pemimpinnya, otomatis para pengawal dan anggota bajak laut yang berada di ruangan itu segera bersiap-siaga. Mereka berjaga-jaga kalau tamu-tamu itu menjadi marah pula dan menyerang pemimpin mereka. Sebaliknya Bhong Kim Cu dan Leng Siauw juga sudah habis kesabarannya.

   "Jangan asal bicara! Benda pusaka itu adalah milik kami. Kami berdualah yang memperolehnya dari tangan Song-bun-kwi Kwa Sun Tek!" Bhong Kim Cu berteriak pula tanpa terasa.

   "Bagus! Kau tahu dari mana orang itu mendapatkannya? Uh, ia mencuri pusaka itu dari tangan puteriku! Sudah bertahun-tahun aku menyelidikinya. Dan ternyata benda itu kemudian jatuh ketangan kalian. Itulah sebabnya kami memusuhi Aliran Mo-kauw. Kami menangkapi orangmu sebanyak-banyaknya, dengan harapan pada suatu saat kelak bisa kami tukarkan dengan baju Kim-pauw-san itu." Tung-hai-tiauw tertawa lega mendengar pengakuan Bhong Kim Cu itu. Bhong Kim Cu agak menyesal juga te lah kelepasan omong. Namun ia juga tak percaya pula pada omongan raja bajak laut itu.

   "Hmm... siapa percaya, pada ucapanmu? Kau hanya mencari alasan saja untuk memiliki benda pusaka itu!" katanya keras.

   "Apa? Kau katakan bahwa kami cuma mencari-cari alasan saja! Bangsat setan laut keparat...! Dengarlah! Apakah kalian masih ingat pertempuran hebat di atas bukit kecil di dekat kota Poh-yang enam tahun yang lalu? Pertempuran hebat yang terjadi antara pasukan pemberontak dibawah pimpinan Song-bun-kwi itu dengan pasukanku yang kukirim dari lautan Timur? Kau tahu apa sebabnya pertempuran itu berlangsung?" Tung-hai-tiauw menghentikan kata-katanya sebentar. Matanya melotot, seakan-akan ingin melihat reaksi tamu-tamunya. Lalu sambung lagi.

   "Pertempuran tersebut herlangsung karena Song-bun-kwi telah berani menculik puteriku. Tiauw Li Ing. Bangsat itu menculik puteriku agar supaya bisa memiliki baju Kim-pouw-san yang dipakai oleh puteriku. Sayang dalam pertempuran besar itu Song-bun-kwi dapat melarikan diri, sehingga baju itupun ikut lenyap bersamanya. Nah... itulah kisahnya. Dan dalam pelariannya itu mungkin Song-bun kwi lalu bertemu dengan kalian. Dan mungkin juga kalian telah membunuhnya." Tapi Bhong Kim Cu dan Leng Siauw tetap tak mempercayai cerita Tung-hai-tiauw itu.

   "Kau boleh bercerita tentang berbagai macam kisah tentang baju pusaka itu, tapi kami tetap tidak
mempercayainya." kata Leng Siauw dingin.

   "Kurang ajaaaar...!" Tung-hai-tiauw mengumpat dan menggebrak meja dengan keras sekali. Matanya berubah menjadi merah saking marahnya.

   "Jadi... kalian ingin agar permusuhan kita ini diteruskan? Kalian benar-benar tidak memikirkan anggota kalian yang berada di penjara kami? Heh?" Tiba-tiba saja pendapa yang luas itu telah dikepung oleh anak buah Tung-hai-tiauw. Mereka telah siap sedia dengan berbagai macam senjata untuk mengeroyok tokoh-tokoh Aliran Mo-kauw itu.

   "Ah, kenapa ayah sekarang menjadi sabar amat? Mengapa sejak tadi cuma berbicara saja? Kenapa mereka tidak segera dibunuh dan diambil baju Kim pouw sannya?" mendadak terdengar suara Tiauw Kiat Su dari ruang dalam.

   "Benar bunuh saja mereka. Habis perkara." terdengar pula suara Tiauw Li Ing di belakang pemuda itu. Sekejap kemudian seorang pemuda dan seorang gadis telah berada dipendapa itu pula. Keduanya memandang Bhong Kim Cu dan Leng Siauw dengan pandang mata dingin.

   "Li Ing...?" Liu Yang Kun menyebut nama gadis itu dengan bibir gemetar.

   "Ternyata dia semakin cantik dan matang sekarang. Tapi sifat buruknya yang suka membunuh orang itu tampaknya tidak mau hilang juga..." Liu Yang Kun yang mengintip dari atas genting itu lalu terkenang kembali akan semua pengalamannya dengan Tiauw Li Ing beberapa tahun yang lalu. (Baca: Pendekar Penyebar Maut). Sering kali ia bertengkar dan bercekcok dengan gadis itu, hanya karena ulah Tiauw Li Ing yang kejam, sombong dan ganas terhadap sesama manusia. Ternyata keadaan di dalam pendapa semakin bertambah panas dengan kedatangan putera-puteri Tung-hai-tiauw itu. Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang merasa terdesak dan tak mungkin bisa mengelakkan diri dari bentrokan dengan lawannya itu, segera mempersiapkan diri mereka. Namun sebelum pertempuran itu dimulai, Bhong Kim Cu masih sempat berkata kepada Tung-hai-tiauw.

   "Hai-ong! Kau jangan terburu-buru menjadi marah dulu! Biarkanlah kami pergi dari tempat ini untuk melaporkan pembicaraan kita tadi kepada Mo-cu kami. Biarlah Mo-cu kami yang menyelesaikannya nanti."

   "Heh-heh... enak benar. Ikan yang sudah masuk perangkap tak mungkin kami lepaskan lagi. Ayoh...! Katakan terus terang! Siapa di antara kalian berdua yang membawa Kim-pouw san? Mungkin kami akan memberi ampun apabila kalian mau menyerahkannya tanpa perlawanan." Tung-hai-tiauw tertawa dingin.

   "Ah, engkau telah salah duga. Tak seorangpun dari kami berdua yang mengenakan baju mustika itu. Baju itu kami simpan di gedung pusaka kami." Leng Siauw menjawab.

   "Begitukah? Bagus! Kalau begitu kami tidak akan membunuh kalian sekarang. Kalian hanya akan kami tangkap untuk melengkapi jumlah tawanan kami. Biarlah ketua kalian itu yang membuat perhitungan dengan kami nanti. Apakah dia merelakan kalian semua, atau dia mau menukarkannya dengan Kim-pouw-san itu?" Bhong Kim Cu dan Leng Siauw menggeretakkan giginya.

   "Kau licik!" Leng Siauw menggeram. Seluruh urat-uratnya telah menegang, siap untuk menerjang. Tapi sebelum kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu mendahului menyerang Tung-hai-tiauw, tiba-tiba seorang penjaga tampak menerobos masuk dengan tergesa gesa. Wajahnya pucat dan nafasnya tersengal-sengal. Dan ia segera menjatuhkan dirinya di depan pemimpinnya itu.

   "Lapor ke-ke-kepada Hai-ong! Pa... para penjaga kita...ba-banyak yang lumpuh dan tak berdaya, karena... karena ditotok 'hantu" pada jalan darahnya! Mereka...mereka...?" laporannya dengan gugup dan takut.

   "Tutup mulutmu! Mana ada hantu di sini? Ha? Goblog! Bicaralah yang benar!" hardik Tung-hai-tiauw.

   "Be-be-benar, Hai-ong. Se-semuanya... tidak...tidak ada yang bisa melihat, siapa... siapa yang telah menotok mereka. Tahu-tahu mereka menjadi lemas dan tak sadarkan diri. A-apalagi kalau bukan han-hantu...?" penjaga itu semakin gemetar ketakutan.

   "Goblog! Tolol! Tidak ada di sini! Tahu? Dia juga seorang manusia biasa! Cuma kepandaiannya yang sangat tinggi! Huh! Hei Nung-jin...Kiat Su! Cari orang yang berani bermain-main dengan kita itu sampai ketemu! Ringkus dia dan bawa kesini!" di dalam kemarahannya itu Tung-hai-tiauw memberi perintah kepada Tung-hai Nung-jin dan puteranya untuk mencari penyelundup yang mengganggu para penjaganya itu.

   "Baik, Hai-ong!"

   "Baik, ayah!"

   Kedua orang itu lalu melesat keluar. Gerakan mereka gesit luar biasa, terutama putera Tung-hai-tiauw yang bernama Tiauw Kiat Su itu! Dan diam-diam Bhong Kim Cu dan Leng Siauw tergetar juga hatinya. Tiba-tiba Tiauw Li Ing maju ke depan pula.

   "Ayah, bolehkah aku ikut keluar mencari penyelundup itu?" katanya kepada Tung-hai-tiauw.

   "Jangan! Kau di sini membantu ayah!" Sementara itu Liu Yang Kun yang bersembunyi di atas genting menjadi kaget dan bingung juga me lihat perubahan suasana yang amat mendadak itu. Sebentar lagi tentu ada penjaga atau anak-buah Tung-hai-tiauw yang datang ke tempat itu. Bahkan seluruh bangunan itu tentu akan diteliti dan diperiksa dengan cermat oleh mereka.

   "Gila! Kemana aku harus menyembunyikan diri?" pemuda itu mengasah otaknya seraya merayap turun dari atas genting. Liu Yang Kun urung menurunkan kakinya di atas tanah ketika sesosok bayangan melesat lewat di bawah genting itu. Malahan bayangan itu kemudian menyusup ke dalam semak-semak pohon bunga yang tumbuh lebat di bawahnya.

   "Kurang ajar...!" Liu Yang Kun memaki di dalam hatinya. Otomatis pemuda itu tidak berani bergerak. Meskipun tubuhnya terlindung di dalam kegelapan, namun bila ia bergerak, orang yang bersembunyi di bawahnya itu akan segera tahu. Sementara itu Berpuluh-puluh obor telah disulut untuk menerangi halaman yang luas tersebut. Dan anak buah Tung-hai-tiauw pun telah bertebaran pula di mana-mana memenuhi halaman itu. Beberapa orang yang memiliki ginkang yang lumayan pun telah naik ke atas genting pula untuk memeriksa atap gedung yang amat besar itu.

   "Wah, tampaknya aku akan memperoleh kesulitan di tempat ini. Orang lain yang berbuat, aku yang ketangkap. Seperti ma ling lagi! Kurang ajar! Beginilah orang kalau suka iseng dan ingin mencampuri urusan orang lain..." Liu Yang Kun menggerutu penasaran, menyalahkan dirinya sendiri. Di dalam pendapa, ternyata pertempuran telah berlangsung dengan hebatnya! Tung-Hai-tiauw telah memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Bhong Kim Cu dan Leng Siauw, sehingga puluhan penjaga yang ada di dalam pendapa tersebut lalu meloncat maju, mengeroyok kedua orang tokoh Aliran Mo-kauw itu. Sedangkan bajak laut itu sendiri masih menonton di pinggir arena didampingi puterinya.

   "Ah! Mengapa ayah membuang-buang waktu dengan membiarkan ikan-ikan teri ini untuk melawan kedua ekor ikan paus itu? Mengapa tidak kita sendiri yang menghadapi mereka? Percuma...!" Tiauw Li Ing bersungut-sungut menyaksikan anak buahnya yang banyak itu tak mampu menahan amukan kedua orang jago Aliran Mo-kauw itu.

   "Biar saja dahulu. Aku ingin melihat ilmu silat mereka."

   "Ooo... ayah ingin melihat ciri ciri ilmu silat mereka? Mengapa ayah tidak membiarkan saja aku melawannya? Untuk mendapatkan ikan yang besar, kita juga harus mempergunakan jala yang kuat dan besar. Untuk memancing agar mereka mau mengeluarkan ilmu mereka yang sejati, kita juga harus mampu memberi umpan yang bisa menarik perhatian mereka." Tung-hai-tiauw menoleh dengan cepat. Dia memandang wajah puterinya lekat-lekat. Air mukanya yang tegang itu tiba-tiba mengendor, lalu tersenyum kagum.

   "Katamu memang benar, anakku. Ayah pun tahu akan hal itu. Tapi...apakah engkau mampu melakukannya? Kudengar kepandaianmu melonjak hebat setelah berguru kepada orang lain. Tapi selama ini aku belum pernah menyaksikannya. Berbeda dengan kakakmu. Aku pernah menyaksikannya, bahkan telah mencobanya malah." Tiauw Li Ing membelalakkan matanya yang lebar dan indah itu.

   "Ayah pernah mencobanya sendiri? Bagaimana kesudahannya?" Tung-hai-tiauw tertawa bangga dan puas.

   "Aku benar-benar puas melihat kepandaiannya. Kini ayah takkan merasa khawatir akan masa depan Hai-ong-hu. Ayah telah memiliki penggantinya kelak."

   "Ah! Ayah belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana kesudahannya?" Tung-hai-tiauw tersenyum. Ia tidak segera menjawab pertanyaan puterinya itu. Sebaliknya ia malah bertanya kembali.

   "Kau sendiri bagaimana? Pernahkah kau mencoba kepandaian kakakmu? Kira-kira bagaimana kepandaianmu sekarang bila dibandingkan dengan dia?"

   "Aaah... ayah!" Tiauw Li Ing cemberut manja.

   "Aku memang belum bisa mengalahkan Kiat koko. Tapi diapun tak mudah menundukkan aku pula. Kepandaiannya cuma berada sedikit di atasku. Asal dia tak menggunakan... senjata pamungkasnya."

   "Senjata pamungkas?" Tung-hai-tiauw tertegun heran.

   "Apakah itu?"

   "Pek-lek-tan (Peluru Petir)! Senjata rahasia sebesar telur penyu yang memiliki daya ledak seperti petir!"

   "Ohh...?" Tung-hai-tiauw bergumam dengan kening berkerut.

   "Dia belum menceritakannya kepadaku."

   "Kata Kiat Su koko, pek-lek-tan itu adalah pemberian suhunya. Dia hanya diberi tiga buah saja, sehingga ia sangat berhati-hati dan tak mau sembarangan mempergunakannya."

   "Oooh...?" Sekali lagi Tung-hai-tiauw berdesah sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ah, mengapa ayah cuma... ah-oh-ah-oh saja? Mengapa tidak lekas-lekas menjawab pertanyaan tadi? Bagaimana kesudahan dari cobaan ayah terhadap ilmu Kiat Su koko itu?"

   "Ah...?" Tung-hai-tiauw menarik napas panjang, lalu tersenyum.

   "Sama seperti kau pula. Persis. Aku tidak bisa mengalahkan kakakmu. Tapi kakakmu pun juga sulit untuk menundukkan aku. Cuma selama ini aku memang tidak tahu kalau kakakmu memiliki pek-lek-tan itu..."

   "Nah! Kalau begitu ayah bisa menilai sekarang, bagaimana kepandaianku kini. Paling tidak adalah setingkat dengan kepandaian ayah sendiri. Bagaimana...? Apakah ayah masih menyangsikan kemampuanku untuk melawan kedua orang Aliran Mo-kauw itu?" akhirnya Tiauw Li Ing mendesak ayahnya. Masih ada juga keraguan di hati Tung-hai-tiauw. Tapi akhirnya raja bajak laut itu mengangguk.

   "Baiklah! Kau boleh maju menghadapi mereka. Tapi... Berhati-hatilah! Mereka berdua bukan tokoh sembarangan. Coba kau lihat...! Kemampuan mereka benar-benar menggiriskan!" Tung-hai-tiauw menunjuk ke arah arena. Dan memang benar apa yang dikatakannya. puluhan anggota bajak laut yang ada di dalam pendapa itu benar-benar tak berdaya menghadapi tokoh Aliran Mo-kauw tersebut. Korban telah berserakan. Beberapa orang thouw-bak (pemimpin regu atau kelompok) yang juga memiliki kepandaian tinggipun telah banyak menjadi korban pula. Malah sesaat kemudian pengepungan mereka sudah mulai kendor. Para anggota bajak laut yang mengeroyok itu mulai jeri dan ketakutan. Mereka mulai menjauh dan mundur-mundur.

   "Kalian mundurlah!" tiba-tiba Tiauw Li Ing meloncat maju sambil berteriak garang.

   "Biarlah aku sendiri yang melawan mereka!" Tubuh Tiauw Li Ing yang kecil langsing itu melenting tinggi, lalu berjungkir balik di udara, untuk kemudian mendarat di depan Bhong Kim Cu dan Leng Siauw yang sedang berusaha menerobos keluar.

   Gadis itu berdiri tegak di ambang pintu. Matanya yang bulat jeli itu menatap dingin ke arah lawannya. Sementara di masing-masing telapak tangannya telah tergenggam sepasang kipas besi, berukuran besar dan kecil. Dengan hati lega kawanan bajak laut yang mengeroyok Bhong Kim Cu dan Leng Siauw itu mundur. Mereka membiarkan lawan yang sangat lihai itu berhadapan dengan puteri Hai-ong mereka. Beberapa orang di antara mereka malah meletakkan senjata mereka, dan menolong kawan-kawan mereka yang terluka. Dan otomatis Bhong Kim Cu dan Leng Siauw juga menghentikan perlawanan mereka. Keduanya memandang Tiauw Li Ing dan Tung-hai-tiauw berganti-ganti. Mereka menjadi curiga, mengapa raja bajak-laut yang lihai dan kejam itu membiarkan gadis muda itu menghadapi mereka.

   "Tung-hai-tiauw! Sekali lagi kami berdua meminta kepadamu. Lepaskanlah kami, agar kami bisa memberi laporan ketua kami. Dan urusan di antara kita ini bisa diselesaikan dengan baik." Bhong Kim Cu berseru. Tung-hai-tiauw tertawa menghina.

   "Tidak bisa! Kalian berdua tetap akan kami tangkap. Hal ini sudah menjadi keputusanku. Sejak semula aku sudah tidak percaya kalau urusan ini bisa diselesa ikan dengan musyawarah. Apapun yang terjadi, pihak kalian tentu akan mempertahankan baju mustika itu. Sehingga kalau pihak kami menyerbu dan meratakan gedung perkumpulan kalianpun kalian tentu takkan mau menyerahkan pusaka itu. Maka kucari jalan lain untuk mendapatkan benda itu, yaitu menangkap dan menculik anggota perkumpulan kalian sebanyak-banyaknya. Terutama tokoh-tokohnya. Setelah itu baru kami akan berbicara dengan Pek-i Liong-ong, ketua kalian. Biarlah nanti ketua kalian itu memilih, kehilangan seluruh jago-jagonya atau menyerahkan baju mustika itu kepada kami. Hahahahaha...!"

   "Penjahat licik! Kalau begitu lakukanlah niatmu itu kalau bisa! Tangkaplah kami!" Bhong Kim Cu berseru marah.

   "Benar! Majulah! Kami siap me layanimu!" Leng Siauw menggeram pula.

   "Ee-ee... jangan tergesa-gesa menantang ayahku! Hadapilah aku dulu, baru kemudian ayahku!" tiba-tiba Tiauw Li Ing menyela. Bhong Kim Cu mengerutkan dahinya. Dengan nada kesal ia berkata kepada Tung-hai-tiauw.

   "Tung-hai-tiauw! Majulah! Kau jangan menghina kami. Kami toh bukan anak kemarin sore yang baru terjun di dunia persilatan. Kami berdua adalah kakek-kakek yang sedikit banyak telah punya nama juga di kalangan persilatan. Mengapa kau membiarkan anakmu, yang pantas menjadi cucu kami itu, maju menghadapi kami? Apakah engkau memang sengaja hendak mempermalukan kami?"

   "Hua-ha-hahaha...!" Raja Bajak Laut itu tertawa lepas.

   "Aku tidak peduli kau tersinggung atau tidak. Aku hanya ingin membuktikan kepadamu bahwa namamu yang tersohor itu bukan merupakan jaminan di tempatku. Kau boleh membuktikannya sekarang. Melawan puteriku pun kalian belum tentu menang. Apalagi melawan aku, hua-ha-hahaha..." Sambil tertawa panjang, Tung-hai-tiauw melangkah mundur dan duduk di atas kursi. Sedikitpun raja bajak laut itu tidak memandang sebelah mata kepada lawannya. Bukan main marahnya Bhong Kim Cu dan Leng Siauw. Mereka benar-benar merasa terhina.

   "Bhong suheng, biarlah kuhadapi bajak laut sombong itu! Tolong, kau awasi saja gadis cilik itu!" Leng Siauw berbisik.

   Kemudian tanpa menunggu jawaban suhengnya lagi, tokoh ketiga dari Aliran Mo-kauw itu me lompat ke depan. Tubuhnya melesat tinggi di udara, kemudian menukik ke depan bagaikan burung walet menyambar mangsanya. Gerakannya cepat bukan main. Begitu cepatnya sehingga tubuhnya seperti berubah menjadi bayang-bayang hitam yang meluncur dengan cepatnya. Sungguh suatu pertunjukan ginkang yang hebat sekali. Namun bersamaan dengan waktu itu pula, tiba-tiba Tiauw Li Ing mengebutkan dua buah kipasnya. Terdengar suara berdesing ketika dari dalam kipas-kipas tersebut melesat belasan batang paku panjang. Bhong Kim Cu yang berada di depan gadis itu terkejut. Namun terlambat, belasan batang paku itu telah terlanjur melewatinya. Semuanya melesat bagai kilat cepatnya, seakan-akan saling dahulu-mendahului, untuk mengejar tubuh Leng Siauw.

   "Leng Sute, awas...!" Bhong Kim Cu memekik. Siing! Siing! Wuut...! Thingg! Tiiing! Leng Siauw berjumpalitan di udara. Lengan bajunya yang besar dan lebar itu berputar dengan cepat melindungi badannya. Dan belasan paku itu pun lantas berjatuhan ke bawah tersapu oleh lengan bajunya. Tak satu pun bisa mengenai kulit-dagingnya. Tapi ketika tokoh Aliran Mo-kauw itu hendak mendaratkan kakinya di atas lantai, mendadak paku-paku yang jatuh itu melenting kembali begitu menyentuh lantai. Belasan batang paku itu menyerang kaki Leng Siauw, seperti sepasukan ulat yang melejit-lejit, untuk menggapai dan menggigit kakinya.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 14 Pendekar Penyebar Maut Eps 50 Pendekar Penyebar Maut Eps 43

Cari Blog Ini