Memburu Iblis 29
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 29
"Hmm... aku memang mendengar pula suara ribut tentang kuntilanak itu. Tapi aku tetap tinggal di dalam kamar. Jadi... anak itu keluar dan belum kembali lagi? Mengapa kau sampai pulas begitu?" kakek buta itu akhirnya berkata dengan suara agak menyesal. Sekali lagi wajah Tiauw Li Ing menjadi merah. Ia tak bisa menjawab pertanyaan orang tua itu. Hanya air matanya saja yang mulai turun membasahi pipinya.
"Kalau begitu... bersiaplah! Kita cari pemuda itu!"
"Ba-baik, suhu..." Demikianlah, sambil mendengarkan cerita orang tentang keributan yang terjadi tadi malam, mereka mencari Liu Yang Kun. Mereka membaurkan diri diantara orang-orang yang bergerombol di jalan, di warung-warung, yang semuanya rata-rata selalu membicarakan keributan yang dibuat oleh 'hantu kuntilanak' itu. Dan semakin banyak mereka mendengar serta mengetahui kejadian itu, mereka justru semakin menyesal malah.
Mereka sungguh tak mengira kalau keributan itu ternyata sedemikian hebatnya. Keduanya benar-benar menyesal tak ikut keluar melihatnya.
"Begitu dahsyat pertempuran yang terjadi di pinggir hutan itu, sehingga pohon-pohon besar bertumbangan. Dan hantu kuntilanak itu sedemikian saktinya, sehingga belasan pasukan keamanan itu terbang berhamburan terkena angin pukulannya. Bahkan Un Taijin yang berkepandaian tinggi itupun ikut terluka parah pula diterjang hantu wanita itu," seorang pemilik warung bercerita kepada para pembelinya. Tiauw Li Ing dan gurunya sedikit mendongkol juga mendengar kisah yang berlebih-lebihan itu. Diam-diam mereka pergi meninggalkan warung kecil itu. Namun sebelum pergi mereka masih sempat mendengar pula pembicaraan di dalam warung itu.
"A Jui...! Apakah tadi malam kau juga berada di pinggir hutan itu?"
"Anu... anu... tidak! Tidak! Aku hanya... hanya diberi tahu oleh keponakanku. Bukankah keponakanku menjadi pengawal Un-Taijin?"
"Ah, A Jui... yang benar saja. Pengawal atau pelayan? Hehehe...!" Dan warung Itu kemudian dipenuhi oleh gelak tertawa para pengunjungnya.
"Ada-ada saja orang itu. Tapi untuk membuktikan ucapan mereka, marilah kita pergi ke hutan itu," sambil berjalan Lo-sin-ong bergumam.
"Marilah, suhu..." Walaupun keadaannya tidak seperti yang diceritakan oleh pemilik warung itu, namun bekas-bekasnya memang tampak bahwa tempat itu baru saja dipergunakan sebagai ajang pertempuran yang dahsyat. Dan Tiauw Li Ing lalu meneliti tempat itu dengan seksama seakan-akan ia ingin menemukan jejak Liu Yang Kun di sana. Tapi sampai pegal ia berdiri dan berjongkok, tetap saja ia tak bisa menemukan tanda-tanda bahwa Liu Yang Kun pernah ada di tempat itu.
"Li Ing...? Mengapa kau cuma mondar-mandir saja tanpa bicara? Apa saja yang kau lihat di tempat ini? Apakah kau dapat menemukan jejak-jejak 'suamimu"?" Lo-sin-ong bertanya tak sabar.
"Tidak, suhu. Aku tidak bisa menemukan jejaknya di sini. Tempat ini memang rusak dan berantakan. namun aku tak bisa menemukan senjata, sobekan kain ataupun bekas-bekas mayat di tempat ini..."
"Kalau begitu marilah kita kembali ke kota lagi...! Tapi... tunggu dulu!"
"Ada apa, suhu?" Tiauw Li Ing berseru kaget melihat gurunya itu tiba tiba berdiri tegang. Kepalanya yang berambut putih itu miring ke kanan, seakan-akan sedang mendengarkan sesuatu.
"Aku mendengar suara barisan itu lagi!" orang tua itu menjawab singkat.
"Oh...? Barisan perajurit kerajaan itu? Mengapa mereka lewat di tempat seperti ini? Bagaimana dengan pedati-pedati mereka?"
'"Diamlah! Biarlah... ah, ternyata mereka lewat di sana!" Lo-sin-ong tiba tiba menuding ke arah kota.
"He... benar! Sekarang aku mendengarnya pula. Oh, kalau begitu pasukan itu lewat di jalan yang mengelilingi tembok kota itu. Apa yang hendak kita lakukan, suhu?"
"Marilah kita melihatnya! Siapa tahu 'suamimu" ada di sana?" Tiba-tiba wajah Tiauw Li Ing menjadi pucat.
"Maksud suhu... dia telah dibawa oleh panglima kerajaan itu?" serunya khawatir. Lo-sin-ong tidak menjawab. Tapi dengan cepat tangannya menarik lengan Tiauw Li Ing dan mengajaknya melihat barisan itu.
"Li Ing, meskipun aku tidak belajar ilmu meramal seperti halnya Toat-beng jin tapi perasaanku mengatakan bahwa keberangkatan pasukan kerajaan itu ada hubungannya dengan 'suamimu'," sambil berlari ia berkata kepada gadis itu.
"Suhu... Mungkin benar juga dugaanmu. Aku tak melihat Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee diantara pasukan itu. Tentu ada apa-apa dengan jagoan dari istana itu. Mungkin dia memang berada bersama-sama dengan Liu Yang Kun. Keduanya sengaja berjalan lebih dulu agar tidak terlalu menyolok mata..." sehabis memperhatikan barisan itu dari tempat yang tersembunyi, Tiauw Li Ing mengutarakan pendapatnya.
"Bagus! Akupun berpikir demikian pula. Nah, Li Ing... kalau begitu marilah kita mengejarnya! Jalan manakah menurut pendapatmu yang telah dipilih oleh Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee?"
"Jalan ini menuju ke jalan utama yang menghubungkan kota Cia-souw dengan kota Cin-an. Agaknya Hong-Lui-Kun dan Liu Yang Kun menuju ke kota itu pula..."
"Bagus. Marilah kita berangkat!" Demikianlah, dengan hanya mengandalkan dugaan mereka saja, Lo-sin-ong bersama Tiauw Li Ing lalu menuju ke kota Cin-an. Mereka tidak tahu persis, apakah Liu Yang Kun benar-benar pergi ke kota Cin-an atau tidak? Bahkan mereka juga tidak tahu dengan pasti pula, apakah Liu Yang Kun pergi bersama Hong-Lui-Kun atau tidak.
Lo sin ong hanya mengandalkan pada ketajaman perasaannya saja. Ketajaman perasaan seorang bekas ketua Im-Yang-kauw yang terkenal dengan ilmu Lin-cui-shui-hoat itu. Sementara itu Souw Lian Cu bersama Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee telah berada di sebuah kota kecil Lai-ying. Sebuah kota persinggahan yang cukup ramai karena terletak di persimpangan jalan antara Cia-souw ke Cin-an dan Tung san ke Thian-sin. Banyak para pedagang dan orang-orang bepergian yang lewat dan kemudian singgah di kota itu. Selain di kota itu tersedia berbagai macam sarana bagi pengembara yang ingin singgah dan beristirahat sebentar di tempat itu, di kota itupun tersedia pula segala macam hiburan murah yang dapat mereka nikmati selama mereka berada di sana. Bahkan warung-warung arak dan tempat-tempat judi kecilpun ada pula di kota itu.
"Kita beristirahat dulu di kota ini. Ada sebuah urusan yang hendak kuselesaikan di sini. Silahkan Yap ciang kun mencari tempat beristirahat bersama Pangeran. Aku akan menggabungkan diri lagi nanti malam," begitu memasuki kota itu Souw Lian Cu berkata kepada Yap Kiong Lee. Tentu saja pendekar dari istana itu terkejut. Bahkan Liu Yang Kun yang selama perjalanan itu tak berani mengganggu atau mengajak berbicara dengan gadis itupun tampak pucat wajahnya.
"Nona Souw...?" Yap Kiong Lee berdesah bingung.
"Ini...ini...oh, lalu bagaimana dengan...?" Liu Yang Kun berseru gugup. Dengan nada tengadah Souw Lian Cu memandang Yap Kiong Lee dan Liu Yang Kun. Wajah yang amat cantik itu tampak keras dan dingin.
"Jangan khawatir, Pangeran. Aku takkan melarikan diri. Percayalah! Aku takkan menjilat ludahku sendiri. Silahkan saja memberi tanda dimana Pangeran menginap, aku tentu datang. Tolong pesankan sekalian sebuah kamar untuk aku nanti."
"Oh! Lalu... kapan kita melanjutkan perjalanan kita lagi?" dengan agak tersipu-sipu Liu Yang Kun bertanya.
"Besok pagi! Nah, maafkan...aku permisi dulu!" Souw Lian Cu menjawab singkat, lalu menyelinap pergi diantara lalu lintas di jalan itu.
"Oooooh..." liu Yang Kun menghela napas panjang. Tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. Rasa-rasanya ada sesuatu yang hilang di dalam dadanya. Beberapa saat lamanya pemuda itu seperti orang bingung di tempatnya. Matanya menatap kosong ke depan arah mana Souw Lian Cu tadi menghilang. Dan tentu saja semuanya itu tak lepas dari perhatian Yap Kiong Lee.
"Pangeran," sapanya hati-hati.
"Biarlah. Marilah kita mencari penginapan dahulu! Kita turuti saja kemauan nona Souw itu." Liu Yang Kun tersentak kaget.
"Oh,...! Tapi... tapi dia...?" Sambil menggandeng lengan Liu Yang Kun dan mencari penginapan, Yap Kiong Lee mencoba menyelami lagi keadaan pemuda itu.
"Pangeran, benarkah Pangeran tidak ingat lagi akan hubungan Pangeran dengan gadis itu?" Sekali lagi Liu Yang Kun tersentak kaget, sehingga ia menghentikan langkahnya. Namun dengan cepat Yap Kiong Lee menarik lengannya dan mengajaknya berjalan lagi.
"Maaf, Pangeran. Tapi kurasa sikap gadis itu adalah akibat dari semua itu. Itulah sebabnya saya bertanya kepada Pangeran..." Yap Kiong Lee menerangkan. Liu Yang Kun menghela napas panjang. Kemudian sambil menatap wajah dan memegang lengan jagoan istana itu erat-erat pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku benar-benar tidak berbohong, Ciangkun. Aku sama sekali tidak mengenalnya lagi. Ohhh...! Tolonglah. Ciangkun! Apakah sebenarnya yang pernah terjadi antara aku dan dia?" Yap Kiong Lee balas menatap mata Liu Yang Kun. Melihat sinar kejujuran dan kesungguhan di dalam pandangan pemuda itu ia mengangguk.
"Baiklah, Pangeran. Aku akan bercerita. Tetapi tentu saja sejauh yang aku ketahui selama ini..." katanya kemudian dengan suara rendah.
Lalu berceritalah Yap Kiong Lee tentang hubungan Pangeran Liu Yang Kun dengan puteri pendekar besar Souw Thian Hai itu. Diceritakannya juga tentang hubungan mereka yang kurang begitu lancar, akibat kesalah-pahaman demi kesalah-pahaman, serta akibat kekerasan hati mereka masing-masing, sehingga percintaan mereka menjadi kacau dan tersendat-sendat. Padahal masing-masing sangat mencintai satu sama lain. Kemudian Yap Kiong Lee bercerita pula tentang latar belakang dan keadaan keluarga Souw sewaktu gadis itu masih kecil. Bagaimana keadaan Souw Lian Cu setelah ibu dan kedua kakeknya dibunuh orang. Dan bagaimana pula keadaan Souw Lian Cu setelah ayahnya menjadi gila dan hilang ingatan karena ulah si pembunuh itu.
"Jadi sejak kecil gadis itu selalu menderita. Bahkan setelah menjelang dewasapun lengannya putus dibabat orang. Maka ketika bertemu dengan Pangeran, gadis itu langsung merasa cocok, karena Pangeran pun mempunyai riwayat hidup yang hampir sama dengan dia."
"Hampir sama dengan dia..?" Liu Yang Kun mengerutkan dahinya.
"Bukankah Ciangkun mengatakan bahwa aku adalah putera Hongsiang? Mengapa sekarang Ciangkun mengatakan bahwa riwayat hidupku hampir sama dengan dia?" Yap Kiong Lee menundukkan kepalanya. Hatinya sedikit menyesal karena terlanjur mengatakan rahasia kerajaan itu. Tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur, ia sudah terlanjur mengatakannya. Dan ia sudah tak bisa mengelak lagi. Oleh karena itu ia terpaksa menceritakannya bagaimana Pangeran itu dipelihara oleh ayah angkatnya, seorang bangsawan Chin, yang menjadi musuh ayahnya sendiri. Ketika seluruh keluarga bangsawan Chin itu dibunuh orang, maka Liu Yang Kun juga hidup terlunta-lunta pula seperti halnya Souw Lian Cu.
"Oh, kiranya begitu." Liu Yang Kun berdesah.
"Kalau demikian sungguh patut dikasihani gadis itu. Aku benar-benar tak menyangka kalau aku dan dia pernah menjalin persahabatan yang amat dalam. Itulah agaknya yang menyebabkan hatiku selalu bergetar bila menatapnya. Hmm... ternyata aku tidak kehilangan hati dan perasaanku seperti halnya aku kehilangan semua ingatanku."
Demikianlah, kedua orang itu lalu berbelok ketika melihat sebuah rumah penginapan di pinggir jalan. Memang cuma itulah rumah penginapan yang ada di jalan itu. Kota Lai-yin hanya memiliki dua buah rumah penginapan. Rumah penginapan yang lain ada di dekat pasar, agak jauh dari tempat itu. Mereka memesan dua buah kamar. Satu kamar untuk mereka, dan satu kamar lagi untuk Souw Lian Cu nanti. Sebelum masuk mereka memberi pesan kepada pengurus penginapan, bahwa mereka sedang menunggu seorang gadis yang buntung lengan kirinya. Mereka meminta agar gadis itu segera dibawa masuk bila datang.
"Mungkin temanku itu datang agak malam..." Liu Yang Kun menerangkan.
"Baik, Siauwya (tuan muda)...?" pengurus penginapan itu menyahut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Hari masih siang. Matahari baru saja lewat di atas kepala. Oleh karena itu Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee keluar lagi untuk mencari makan.
"Baru malam nanti dia kembali. Sungguh lama benar. Kemanakah dia sebenarnya? Dan apa... apa saja yang diurusnya itu?" sambil melangkah Liu Yang Kun bergumam perlahan seperti kepada dirinya sendiri.
"Siapakah yang Pangeran maksudkan?" Yap Kiong Lee menegaskan.
"Nona Souw..." Liu Yang Kun menjawab tersipu-sipu.
"Ooooo...?" Yap Kiong Lee mengangguk-angguk.
"Entahlah..." Mereka masuk ke sebuah warung arak. Sebuah warung sederhana yang menyediakan belasan meja kursi untuk minum arak. Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee masuk ke tempat itu karena mereka melihat warung itu juga melayani tamunya dengan berbagai macam masakan pula.
"Wah, tampaknya kita tidak mendapatkan tempat duduk lagi, Ciangkun. Semua meja telah penuh tamu..."
"Ssssst!'" Yap Kiong Lee berdesis sambil memberi tanda kepada Liu Yang Kun.
"Jangan memanggil dengan sebutan Ciangkun di tempat umum! Lebih baik Pangeran memanggilku Yap Twako saja.." Liu Yang Kun berpaling, lalu tersenyum.
"Baiklah, Yap Twako. Tapi kuharap kau juga jangan memanggil aku dengan sebutan Pangeran. Cukup Liu Sute atau..."
"Baiklah, Pangeran. Aku juga akan memanggilmu Sute saja." Yap Kiong Lee berbisik perlahan. Sementara itu pelayan warung arak itu tampak mendatangi mereka.
"Wah, maaf... maaf... Warung kami memang selalu penuh setiap waktu makan siang tiba. Tapi kami masih bisa menyediakan kursi apabila Jiwi mau duduk di ruang dalam," pelayan itu berkata ramah. Liu Yang Kun memandang Yap Kiong Lee.
"Bagaimana, Twako? Kita duduk di dalam?"
"Terserah Sute...di luar dan di dalam sama saja bagiku."
"Baiklah. Biarlah kami duduk di dalam," akhirnya Liu Yang Kun berkata kepada pelayan itu.
"Silahkan, tuan... silahkan!" pelayan itu mempersilakan mereka dengan suka cita. Mereka berjalan melewati tamu-tamu yang duduk memenuhi meja makan itu. Beberapa orang tamu tampak mengawasi mereka.
"Lewat pintu ini, tuan..." pelayan itu mendahului mereka dan masuk melalui pintu samping. Mereka sampai di bangunan samping yang menghadap ke arah kebun. Di sana terdapat beberapa buah meja pula. Malah satu diantaranya telah ada yang memakainya, yaitu seorang kakek tua berpakaian sederhana. Jubahnya yang terbuat dari kain kasar berwarna kuning itu sudah kelihatan lusuh. Dan kakek tua itu asyik bermain catur sendirian. Di depannya tersedia sebuah guci arak beserta cawannya, sementara di samping kursinya terletak sebatang tongkat kecil untuk membantu dia waktu berjalan.Liu Yang Kun mengangguk hormat ketika melewati orang tua itu. Begitu pula halnya dengan Yap Kiong Lee.
"Siapakah dia...? Tamu atau... penghuni rumah itu sendiri?" Yap Kiong Lee berbisik kepada pelayan yang mengantar mereka itu. Pelayan itu melirik sebentar, kemudian tersenyum.
"Tamu juga, tuan. Sejak tiga hari yang lalu dia berada di warung kami. Dia menyewa kamar kami di belakang. Tampaknya dia sedang menunggu keluarganya."
"Ooooh...?" Yap Kiong Lee dan Liu Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ehm... apakah jiwi ingin memesan makanan juga?" pelayan itu akhirnya bertanya.
"Ya. Selain kami minta arak yang enak kami pun minta kau sediakan pula masakan yang paling nikmat di warung ini. Bisa...?" dengan cepat Yap Kiong Lee menyahut. Bibirnya tersenyum dan matanya melirik ke arah Liu Yang Kun.
"Tentu... tentu! Masakan kami sudah terkenal di kota ini, tuan. Apakah tuan ingin masakan udang, kepiting atau... ular laut?"
"Ular laut?" Liu Yang Kun berseru hampir berbareng dengan Yap Kiong Lee.
"Ya, ular laut...! Ular laut dari jenis pemakan penyu putih yang banyak terdapat di Laut Kuning. Tepatnya di Teluk Lai-couw. Ular itu enak sekali dimasak dengan arak wangi dari Hang-couw. Selain rasanya agak manis serta nikmat luar biasa, khasiatnya juga hebat tiada terkira...!" pelayan itu memuji masakannya setinggi langit. Yap Kiong Lee dan Liu Yang Kun tak bisa menahan senyum mereka. Dengan saling mengangguk dan mengedipkan mata mereka, mereka sepakat untuk mencoba daging ular yang dipuji setengah mati itu.
"Kau sungguh pandai menawarkan masakanmu. Cobalah kau berikan kepada kami masakanmu itu. Kami ingin mencicipinya," Yap Kiong Lee berkata.
"Benar, tuan. Tuan takkan menyesal nanti. Percayalah...!" Bergegas pelayan itu kembali ke depan untuk melayani pesanan itu. Sedangkan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee lalu menarik kursi dan duduk menghadap ke arah kebun. Sekilas mereka melirik ke meja yang dipakai oleh orang tua tadi. Namun betapa terkejutnya mereka ketika meja itu telah kosong. Orang tua berjubah kuning sederhana itu telah tiada lagi di tempat itu. Bahkan papan caturnya tadi juga sudah tiada pula di sana. Liu Yang Kun memandang Yap Kiong Lee.
"Kemanakah dia tadi? Masakan dia bisa menghilang begitu saja tanpa kita ketahui gerakannya?" pemuda itu berdesah keheranan.
"Entahlah... saya juga tidak tahu. Padahal dia begitu dekatnya dengan kita." Yap Kiong Lee berbisik pula dengan suara tak percaya. Diam-diam berdesir juga hatinya.
"Hah...???" Tiba-tiba mereka terperanjat. Seperti tahu saja kalau dirinya sedang dipercakapkan, orang tua itu tiba-tiba keluar dari kamarnya yang tadi ditunjuk oleh pelayan. Dengan langkah tertatih-tatih orang tua itu berdiri di depan pintu dengan bantuan tongkatnya.
"Heran. Mengapa sampai sekarang bocah itu belum juga datang!" terdengar desahnya yang berat dan agak serak. Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee terpaku diam seperti patung di tempat masing-masing. Dan mereka berdua segera membuang muka ketika orang tua itu tiba-tiba menatap ke arah mereka. Mereka berdua benar-benar seperti tukang intip yang takut ketahuan oleh orang yang mereka intip. Sungguh sangat menggelikan.
"Gila! Kenapa kita menjadi salah tingkah begini?" akhirnya Liu Yang Kun berdesis perlahan tatkala orang tua itu sudah masuk ke kamarnya kembali. Yap Kiong Lee menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan main...!" serunya perlahan pula.
"Hah? Apanya yang 'bukan main'?"
"Wibawa orang tua itu! Wibawa orang tua itu benar-benar besar sekali, sehingga orang seperti kitapun masih bisa tercengkam olehnya! Bukan main! Saya berani bertaruh, orang tua itu tentu memiliki kesaktian yang maha hebat!" Yap Kiong Lee berdecak kagum. Liu Yang Kun tertegun. Tiba-tiba kesadarannya seperti terbangun pula mendengar ucapan Yap Kiong Lee itu.
"Benar," pikirnya.
"Aku memiliki Bu eng Hwe-teng yang boleh dikatakan sudah mencapai ke tingkat yang paling tinggi. Namun demikian ternyata aku tetap tidak bisa menangkap gerakannya. Hemmm... kalau begitu gin kangnya rasa rasanya masih lebih tinggi dari pada ginkangku. Bukan main...!" Demikianlah, karena mereka selalu memikirkan kejadian itu, maka lidah mereka tidak bisa menikmati kelezatan masakan 'ular laut' itu. Bahkan kemudian mereka seperti menjadi tergesa-gesa untuk meninggalkan tempat tersebut.
"Bagaimana, tuan? Lezat sekali, bukan?" sambil tetap memuji masakan warungnya itu pelayan tadi mengantar mereka sampai ke pintu. Dengan senyum kecut Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee terpaksa menganggukkan kepalanya. Mereka lalu bergegas menuju ke jalan raya.
(Lanjut ke Jilid 29)
Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 29
"Bagaimana pendapat Ciangkun tentang orang tua itu tadi?" sambil melangkah Liu Yang Kun meminta pendapat Yap Kiong Lee. Jagoan dari istana itu menghela napas panjang. Dengan tiada bersungguh-sungguh ia menjawab,
"Saya agak bercuriga kepada orang itu Pangeran. Saya yakin dia tentu bukan orang sembarangan bahkan perasaan saya mengatakan bahwa orang tua itu tentu memiliki kedudukan tinggi di dunia persilatan. Bayangkan saja! Pangeran yang telah memiliki ilmu silat sempurna dan telah tertulis di Buku Rahasia itu saja tak mampu menangkap gerakannya..." Kening Liu Yang Kun berkerut tatkala Yap Kiong Lee menyebutkan Buku Rahasia.
"Buku Rahasia...? Buku apakah itu? Mengapa namaku juga tertulis di dalamnya?" tanyanya bingung.
"Aaah...!" Yap Kiong Lee berdesah sadar bahwa Liu Yang Kun telah kehilangan semua masa lalunya. Oleh karena itu dengan cepat pula ia bercerita serba sedikit tentang buku yang sangat menghebohkan tersebut.
"Oh... begitu!" Liu Yang Kun tersenyum seraya mengangguk-angguk kepalanya. Lalu tambahnya pula,
"Jadi... siapakah orang tua itu menurut pendapat Ciangkun? Mungkinkah dia itu termasuk orang-orang yang tertera didalam Buku Rahasia itu?" Yap Kiong Lee tersenyum. Sambil mengangkat pundaknya Jagoan dari istana itu mengelak.
"Saya tak berani mengatakannya, Pangeran. Demikian banyaknya manusia sakti di dunia ini dan demikian luasnya pula negeri kita ini, sehingga orang tak mungkin bisa menduga apa yang terkandung di dalamnya. Dahulu kala orang menyebut-nyebut bahwa Empat Datuk Persilatan seperti Bu-eng Sin-yok-ong dan kawan-kawannya itu adalah tokoh-tokoh yang tiada tandingannya di dunia ini. Tapi bagaimanakah sekarang? Nyatanya nama-nama mereka masih kalah tersohor dengan tokoh-tokoh yang sekarang tertulis di dalam Buku Rahasia itu. Nah, siapa tahu pula di luar nama-nama yang tertera di dalam buku itu, masih ada lagi tokoh-tokoh terpendam yang kesaktiannya justru lebih dahsyat dan lebih tinggi dari pada mereka? Siapa tahu?"
Liu Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memaklumi ucapan dan pemikiran Yap Kiong Lee tersebut. Dunia memang sangat luas, dan manusiapun juga tak terhitung pula jumlahnya. Maka bukan tidak mungkin kalau di dunia ini masih banyak tokoh-tokoh terpendam yang sengaja menyembunyikan diri di tempat-tempat sepi serta terpencil, dan tak mau muncul atau melibatkan dirinya dengan segala keramaian dunia. Ataupun kalau mereka itu berada di tempat umum, mereka sengaja menyembunyikan kepandaiannya, sehingga tak seorangpun tahu bahwa sebenarnya mereka itu memiliki ilmu yang maha dahsyat.
"Benar, Orang-orang yang tersohor di dunia persilatan sekarang ini adalah orang-orang yang sengaja melibatkan dirinya di dunia persilatan, sehingga nama dan kepandaian mereka menjadi terkenal serta ditakuti oleh orang banyak. Tapi selain mereka itu tentu masih banyak pula yang sama sekali tak mau melibatkan dirinya atau memperlihatkan kesaktiannya di muka umum. Mereka ini lebih suka mengasingkan diri bertapa di tempat sunyi, demi untuk kedamaian dan kesempurnaan hidup mereka di dunia akherat nanti." Liu Yang Kun menyetujui pendapat Yap Kiong Lee. Mereka berdua lalu berjalan ke pusat kota untuk melihat-lihat keramaian. Tapi baru saja mereka berbelok ke jalan besar, Yap Kiong Lee telah menggamit lengan Liu Yang Kun. Sambil berbisik perlahan jagoan dari istana itu menunjukkan jarinya ke seberang jalan.
"Pangeran, lihat...! itu dia si Giok-bin Tok-ong!"
"Ciangkun maksudkan... kakek tua berambut hitam yang berjalan bersama dua orang temannya itu?"
"Benar. Tapi kurasa dua orang itu bukan temannya. Bukankah Lo-sin-ong dan... dan muridnya pernah mengatakan bahwa Giok-bin Tok-ong telah mengeroyok Pangeran bersama murid-muridnya? Kedua orang itu tentulah muridnya."
"Oh...!" Liu Yang Kun menggeram dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang.
Namun dengan cepat Yap Kiong Lee menyentuh lengan pemuda itu kembali. Dengan nada rendah ia berusaha mendinginkan hati pemuda tersebut.
"Maaf, Pangeran... Kita masih mempunyai banyak urusan. Kita jangan mencari perselisihan dahulu dengan mereka. Biarlah mereka bebas untuk sementara..."
"Baiklah, Ciangkun... Aku... hei??? Lihat! Bukankah gadis itu... nona Souw Lian Cu?"
Liu Yang Kun yang akhirnya bisa mengendalikan dirinya itu tiba-tiba berseru tertahan. Jari telunjuknya teracung ke arah belakang Giok-bin Tok-ong. Yap Kiong Lee terperanjat pula. Beberapa puluh langkah di belakang Iblis dari Lembah Tak Berwarna itu tampak Souw Lian Cu berjalan dengan mengendap-endap dan berhati-hati. Gadis ayu itu seperti sedang mengikuti langkah Giok-bin Tok ong.
"Ah, benar. Dia memang nona Souw..."
"Hmm, Ciangkun... aku menjadi penasaran. Aku akan mengikuti mereka..." tiba-tiba Liu Yang Kun berkata dengan tegas. Tapi ketika hendak menyeberang jalan mendadak dari arah timur berderap belasan ekor kuda dengan kecepatan tinggi. Kuda yang paling depan hampir saja menabrak Liu Yang Kun. Untunglah pemuda itu cepat-cepat melompat mundur kembali. Sekilas pemuda itu melihat penunggangnya melotot marah kepadanya.
"Kurang ajar! Kalau dia tahu siapa yang hendak ditabraknya, niscaya hatinya menjadi takut dan menyesal bukan main," tiba-tiba Yap Kiong Lee menggeram marah. Liu Yang Kun menyeringai kaku. Kulit mukanya menjadi merah juga. Namun demikian suaranya tetap tenang ketika menyahut perkataan "pengawalnya" itu.
"Ciangkun tahu siapa para penunggang kuda tadi? Kulihat mereka mengenakan seragam prajurit kerajaan."
"Mereka memang sebagian dari perajurit kerajaan yang ditempatkan di daerah ini. Perwira yang hendak menabrak Pangeran tadi adalah Thio Cian-bu (Kapten Thio) namanya Thio Tek Kong. Sebenarnya dia adalah seorang prajurit yang baik. Banyak jasanya di dalam pertempuran. Itulah sebabnya dia dipercaya adikku untuk mengawasi kota-kota yang berada di daerah ini. Tapi... hmmh, mengapa sikapnya menjadi kurang ajar begitu?" Yap Kiong Lee menerangkan dengan suara sesal. Sekali lagi Liu Yang Kun mencoba untuk tersenyum. Sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang kotor terkena debu, ia berkata,
"Sudahlah, Ciangkun. Mungkin mereka sedang tergesa-gesa. Siapa tahu mereka sedang mengurus sebuah keperluan yang sangat penting?"
"Tapi...?"
"Ah, sudahlah! Marilah kita... oh? Dimana dia tadi?" tiba-tiba Liu Yang Kun tersentak kaget. Matanya terbuka lebar ke arah dimana Souw Lian Cu tadi berada.
"Dia...? Siapa!" Yap Kiong Lee tertegun.
"Nona Souw dan Giok-bin Tok-ong tadi..." Liu Yang Kun berdesis.
"Ooooh..., mereka sudah menghilang!"
"Kurang ajar!!!" Liu Yang Kun mengumpat kesal. Kini ia benar-benar marah. Marah dan menyesal karena telah kehilangan buruannya. Kemungkinan ia akan benar-benar menghajar para prajurit berkuda itu kalau mereka sekarang berada di depannya.
Liu Yang Kun lalu bergegas menyeberang jalan, dan Yap Kiong Lee pun dengan cepat mengikutinya. Mereka mencoba mengejar buruan mereka tadi. Namun demikian ternyata mereka tetap tak bisa menemukan orang-orang itu. Bahkan saking kesal serta penasarannya, Liu Yang Kun mengajak Yap Kiong Lee untuk mencari buruan mereka itu keseluruh pelosok kota. Tetapi usaha mereka itupun tetap sia-sia pula. Buruan mereka itu seperti lenyap ditelan oleh kesibukan dan keramaian kota. Mereka berdua justru bertemu lagi dengan rombongan prajurit berkuda itu di dekat pasar. Para prajurit berkuda itu tampak menyebar dan mengepung pasar tersebut. Dan Thio Cian-bun yang berseragam lengkap itu kelihatan memberi perintah kepada anak-buahnya. Mereka menggeledah seluruh penghuni pasar tersebut.
"Hem... ada apa sebenarnya? Mengapa prajurit-prajurit itu tampak sibuk sekali? Kelihatannya ada sesuatu yang dicari oleh mereka." Liu Yang Kun bergumam perlahan. Mereka berdua lalu melangkah mendekati tempat itu. Kepada beberapa orang penduduk yang menonton kesibukan itu mereka bertanya,
"Maaf, ada apa sebenarnya? Mengapa pasar ini digeledah perajurit-perajurit kerajaan itu?" Orang-orang itu mengawasi Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee. Hampir serempak mereka menjawab.
"Mereka mencari hantu kuntilanak!"
"Mencari hantu kuntilanak...?" Liu Yang Kun berseru kaget.
"Ya. Hantu itu telah sampai kemari pula. Bahkan tadi malam telah berani memasuki gedung Thio Cian-bu dan hendak menculik bayinya. Untunglah Thio Cian-bu berada di rumah, sehingga niat buruk Hantu Kuntilanak itu dapat digagalkan. Meskipun demikian Thio Cian-bu tetap menjadi marah dan penasaran. Seluruh kota ini lalu digeledahnya." salah seorang dari penduduk itu memberi penjelasan.
"Hemmm..., lagi-lagi Hantu Kuntilanak! Seperti apakah sebenarnya hantu itu? Mengapa dalam sepekan ini hantu itu menghebohkan beberapa kota di daerah Propinsi Santung?" Yap Kiong Lee berkata dengan suara geram pula. Liu Yang Kun mendekati Yap Kiong Lee.
"Bagaimana Twako...?" tanyanya pelan sambil melirik kepada orang-orang itu.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mari kita kembali ke penginapan. Kita tak perlu ikut campur urusan negara. Ayoh!" seperti orang dusun yang baru saja datang ke kota, Yap Kiong Lee mengajak Liu Yang Kun pergi. Sekilas tampak matanya berkedip untuk memberi isyarat kepada pemuda itu. Liu Yang Kun cepat menangkap isyarat itu pula. Namun sebelum melangkah ia sempat berkata, yang nadanya seperti ditujukan kepada orang-orang disekitarnya.
"Eh, masakan persoalan mencari hantu saja menjadi persoalan negara? Dan... mana ada hantu di siang hari begini? Memangnya hantu itu mau berbelanja juga?"
"Hush" Yap Kiong Lee pura-pura membentak, lalu menyeret lengan Liu Yang Kun pergi. Orang-orang tertawa mendengar ucapan Liu Yang Kun. Tapi suara mereka itu segera terhenti manakala mereka menyadari bahwa ucapan tersebut memang ada benarnya juga.
Mereka berdesah seraya mengerutkan kening mereka, kemudian satu persatu juga meninggalkan tempat itu pula. Sementara itu setelah berada agak jauh dari pasar, Yap Kiong Lee bergegas menarik lengan Liu Yang Kun dan mengajaknya berlari-lari kecil ke arah barat. Jagoan dari istana itu sengaja menyusup-nyusup diantara lalu lintas para pejalan kaki yang hilir mudik di jalan besar itu. Bahkan kadang-kadang ia membawa Liu Yang Kun ke tengah jalan, untuk berlindung di belakang kereta atau pedati yang lewat.Tentu saja Liu Yang Kun menjadi heran dan bingung. Pemuda itu sama sekali tak mengerti maksud dan tujuan Yap Kiong Lee. Oleh karena itu setelah mereka melangkah di tempat yang agak sepi, Liu Yang Kun lalu menanyakan maksud dan tujuan mereka.
"Maaf, Pangeran. Tampaknya memang ada sesuatu yang akan terjadi di kota ini. saya baru saja melihat seorang tokoh persilatan lagi di dekat pasar tadi." Yap Kiong Lee menerangkan sambil tetap berjalan cepat.
"Tokoh persilatan lagi? Siapakah dia?"
"Bu-tek Sin-tong! Dia lewat menumpang kereta. Tampaknya dia menumpang dengan cara paksa, karena saya lihat pengendara kereta itu kelihatan ketakutan."
"Bu-tek Sin-tong? Tokoh yang pernah Ciangkun ceritakan kepadaku itu?"
"Benar, Dia memang tokoh ketiga di dalam Buku Rahasia itu. Tadi hanya secara kebetulan saja saya melihatnya. Mula-mula saya merasa kaget ketika mendengar suara tangis bayi dari dalam kereta itu. Ketika saya menoleh, sekilas saya melihat wajah Bu-tek Sin tong di dalamnya."
"Oooh... lalu apa yang hendak Ciangkun kerjakan sekarang? Mengejarnya? Tapi... bukankah Ciangkun tak ingin kita terlibat dalam keributan di sini?" Tiba-tiba Yap Kiong Lee menghentikan langkahnya. Begitu pula halnya dengan Liu Yang Kun. Mereka berdiri berhadapan di dekat pintu gerbang kota Lai-ying sebelah barat.
"Pangeran... Semula saya memang menginginkan agar perjalanan kita ini tidak terhambat oleh segala macam persoalan yang mungkin timbul di dalam kota ini. Tapi pendapat itu tiba-tiba berubah setelah saya melihat beberapa tokoh persilatan terkemuka berkeliaran di tempat ini. Bagaimanapun juga perjalanan kita ini sangat tergantung kepada nona Souw. Dan perasaan saya mengatakan bahwa urusan yang hendak diselesa ikan oleh nona Souw itu tentu berkaitan dengan kedatangan tokoh-tokoh persilatan terkemuka ini. Oleh sebab itu tidak boleh tidak kita harus ikut campur pula. Hemm... bagaimana pendapat Pangeran?" Tiba-tiba wajah Liu Yang Kun menjadi berseri-seri. Dengan suara mantap ia menjawab.
"Saya setuju! Marilah kita selidiki urusan yang hendak diselesaikan oleh nona Souw itu! Kalau perlu kita tolong dia, sehingga urusannya menjadi cepat selesai, dan kita dapat cepat-cepat meninggalkan kota ini!"
"Nah! Kalau begitu marilah kita kejar kereta Bu-tek Sin-tong itu! Kereta itu tentu telah keluar melalui pintu-gerbang ini. Marilah, Pangeran...!" Mereka lalu keluar dari tembok kota. Mereka lalu berlari menyusuri jalan berdebu yang menghubungkan kota itu dengan kota lainnya. Namun sampai belasan lie mereka berlari, kereta itu tetap tak mereka ketemukan juga. Tentu saja mereka berdua menjadi heran.
"Heran. Kemana kereta itu sebenarnya? Tak mungkin ia melaju sedemikian cepatnya." Yap Kiong Lee berhenti berlari dan bersungut-sungut.
"Jangan-jangan kereta itu masih berada di dalam kota. Siapa tahu kereta itu berbelok ke sebuah gang atau jalan kecil?" Liu Yang Kun berkata.
"Tapi rasanya... eh, apakah itu?" tiba-tiba Yap Kiong Lee tersentak kaget. Tiba-tiba terdengar suara bunyi-buny ian yang riuh ditabuh orang. Bahkan diantara hiruk-pikuknya suara tersebut masih terdengar pula suara tangisan yang melengking bersaut sautan. Dan suara itu berasal dari desa di depan mereka.
"Ah! Tampaknya ada iring-iringan jenazah yang hendak lewat di jalan ini." Liu Yang Kun bersungut-sungut. Yap Kiong Lee mengangguk. Dan tak lama kemudian benar juga dugaan pemuda itu. Sebuah iring-iringan para pengantar jenazah tampak muncul dari lorong desa tersebut. Iring-iringan itu melangkah ke jalan raya dan lewat di depan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee.
"Dua sosok jenazah..." Liu Yang Kun berbisik perlahan.
"...Jenazah seorang yang telah dewasa dan jenazah anak-anak." Yap Kiong Lee mengangguk lagi. Mulutnya tetap diam. Dia baru membuka suara ketika iring-iringan itu sudah lewat. Dia bertanya kepada seorang lelaki tua yang ketinggalan langkah di belakang.
"Maaf, Lopek...siapakah yang meninggal dunia itu? Kenapa sekaligus ada dua buah jenazah?" Lelaki tua itu berhenti dan tertegun untuk beberapa saat lamanya. Matanya memandang dengan curiga. Namun demikian ia tetap menjawab juga, meskipun singkat.
"...Yang meninggal adalah isteri dan anak kepala desa kami. Mereka mati dibunuh... hantu kuntilanak!" Dan begitu selesai berbicara ia segera berlari menyusul rombongan. Sama sekali ia tak peduli lagi pada Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee yang terbelalak kaget mendengar keterangannya.
"Hantu kuntilanak...?" desah Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee gemetar. Dan untuk beberapa waktu lamanya mereka berdua tak bisa berkata apa-apa. Mereka baru tersadar dan tersentak kembali dari kebekuan mereka itu tatkala sebuah suara yang lain tiba-tiba berkumandang di belakang punggung mereka.
"Ah, bohong! Ada-ada saja. Mana ada hantu kuntilanak di dunia ini?" suara itu terdengar terang dan jelas. Seperti berlomba Liu Yang Kun, Yap Kiong Lee membalikkan tubuh mereka. Dan betapa terkejutnya mereka ketika tiba-tiba saja di depan mereka telah berdiri si Kakek Tua yang tadi mereka lihat di warung arak itu. Dengan tersenyum sabar orang tua itu memandang mereka berdua.
"Selamat bertemu kembali jiwi siauw-heng..." orang tua itu menyapa.
"Se-selamat... bertemu..." Liu Yang Kun menjawab sedikit gugup.
"Ah... tampaknya kedatanganku kali ini sangat mengagetkan jiwi Siauw-heng. Maafkanlah aku...," orang tua itu berkata lagi dengan nada menyesal.
"Ah, tidak apa... tidak apa. Kami berdua memang kaget, karena sedikitpun kami tidak mendengar langkah kaki Lo-Cianpwe tadi. Eem... bolehkah kami berdua mengetahui nama dan gelar Lo-Cianpwe?" Yap Kiong Lee cepat-cepat menyahut. Tapi wajah itu tiba-tiba berubah. Wajah yang tenang dan berseri tadi mendadak berubah menjadi kecut dan hampa. Bahkan sambil menengadahkan kepalanya orang tua itu tampak menarik napas panjang berulang-ulang.
"Nama...? Apa perlunya 'nama' dan 'gelar' di dunia ini? Nama dan gelar hanya akan membatasi kebebasan hati. Lebih baik tak bergelar dan tak bernama dari pada untuk itu kita harus terbelenggu di dalam ikatan dan kurungannya." orang tua itu bergumam perlahan. Beberapa saat lamanya Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee tertegun mendengar ucapan orang tua itu. Mereka dapat menangkap makna ucapan tersebut. Namun demikian mereka tak dapat segera menjawabnya. Mereka sadar bahwa yang mereka hadapi adalah seorang yang telah menjauhi urusan keduniaan.
"Tapi 'nama' bagi kita, orang-orang yang masih belum bisa melepaskan diri dari pergaulan umum ini. Sebab nama itu sangat memudahkan bagi orang lain untuk membedakan seseorang dengan seseorang lainnya. Lain halnya dengan 'gelar'. Gelar memang sering membuat kita menjadi terpenjara. Banyak contoh yang dapat kita simak di sekeliling kita. Dan saya sendiri juga sependapat dengan Lo-Cianpwe itu. Saya sendiri juga banyak gelar yang seram-seram, sehingga aku justru menjadi sulit bergerak di tempat umum karena gelarku itu..." tiba-tiba Liu Yang Kun membuka mulutnya. Orang tua itu tersentak kaget. Dengan wajah tak percaya ia menatap Liu Yang Kun.
"Siauw-heng memiliki gelar yang seram-seram? Bolehkah aku yang tua ini mengetahuinya?" desaknya kemudian. Sekarang ganti Liu Yang Kun yang terdiam. Sambil menyembunyikan senyumnya pemuda itu meniru gaya lawannya ketika berbicara tadi.
"Ah...apa perlunya sebuah nama? Nama hanya akan membatasi kebebasan hati. Aku sudah melupakannya..." Orang tua itu terperangah. Wajahnya menjadi merah. Namun demikian sekejap kemudian wajah itu telah berubah menjadi terang kembali. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya orang tua itu memuji kecerdikan Liu Yang Kun.
"Siauw-heng, kau benar-benar sangat menyenangkan hatiku. Hatimu sangat mudah tersinggung. Tapi kau sangat cerdas dan cerdik. Hmm...kau benar-benar seperti muridku. Sama-sama muda, cerdik dan elok. Dan tentang namaku... emm... sayang... aku benar-benar telah melupakannya. Baiklah kalian panggil dengan sebutan 'Lojin" saja. Bagaimana?" Liu Yang Kun menghela napas.
"Kalau Lo-Cianpwe memang menghendaki demikian apa boleh buat?" Tiba-tiba Yap Kiong Lee tertawa.
"Wah... sedari tadi kita cuma omong saja tentang 'nama'. Kita sampai lupa bahwa kita berada di jalan raya. Lo-Cianpwe...! Apakah Lo-Cianpwe juga ikut mengantar jenazah itu tadi? Silahkan kalau...!"
"Ah, tidak... tidak! Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan rombongan pengantar jenazah itu. Kedatanganku kemari adalah untuk mencari muridku."
"Mencari murid Lo-Cianpwe?" Yap Kiong Lee dan Liu Yang Kun menyahut hampir berbareng. Tiba-tiba orang tua itu tersadar bahwa dia telah terlanjur mengatakan kepentingannya kepada seseorang yang baru dikenalnya. Tapi karena sudah terlanjur, apa boleh buat, ia terpaksa mengatakannya juga semuanya.
"Benar. Aku sudah menunggunya selama dua hari di kota ini. Tapi dia tak muncul-muncul juga. Tapi secara kebetulan aku keluar di jalan raya. Dan sekilas mataku seperti melihatnya di depan pasar. Namun ketika aku mengejarnya, ia telah menghilang lagi diantara kerumunan orang banyak. Selanjutnya aku lalu mendapatkan kesulitan untuk menemukannya kembali. Itulah sebabnya aku sampai ke sini..."
"Oooooh...? bagaimanakah ciri-ciri murid Lo-Cianpwe itu? Maaf...siapa tahu kami bisa membantu Lo-Cianpwe?" Yap Kiong Lee menyela. Namun dengan cepat orang tua itu menggoyangkan telapak tangannya. Bahkan seperti orang yang taku ketahuan rahasianya orang tua itu cepat-cepat meminta diri.
"Ah, tak usah... tak usah. Terima kasih. Muridku itu paling tidak suka dikenal orang. Aku tak ingin mengecewakannya. Permisi..." Dan sekejap saja orang tua itu telah hilang di kelokan jalan.
"Aneh! Orang tua itu benar-benar aneh sekali...!" Yap Kiong Lee bergumam perlahan.
"Memang benar. Semakin tinggi ilmunya, biasanya orang menjadi semakin aneh pula tingkah lakunya..." Liu Yang Kun menambahkan. Keduanya lalu kembali ke kota Lai-yin lagi. Tetapi di luar pintu gerbang kota lagi-lagi mereka berjumpa dengan pasukan Thio Ciang-bu atau Thio Tek kong itu. Cuma yang amat mengagetkan mereka ialah keadaan pasukan itu sekarang. Pasukan yang semula tampak sangat garang dengan seragam dan kuda-kudanya yang bagus itu, kini tiba-tiba telah berubah menjadi tidak keruan dan berantakan. Mereka seperti sebuah pasukan yang baru saja kalah perang. Bahkan beberapa orang diantara mereka telah menjadi mayat dan ditumpuk di atas pedati mereka. Yap Kiong Lee tidak melihat Thio Tek Kong diantara pasukan itu. Otomatis hatinya menjadi tegang dan gelisah.
"Berhenti...!" Jagoan dari istana menghentikan mereka. Pasukan yang kini tinggal delapan atau sembilan orang lagi itu berhenti pula dengan ketakutan. Mereka menyangka telah berjumpa dengan musuh mereka lagi.Tapi ketika menyaksikan siapa yang datang, tiba-tiba wajah mereka menjadi berseri-seri. Mereka segera mengenal wajah Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee! Meskipun Yap Kiong Lee tidak menjadi tentara atau menjabat jabatan apapun di istana, namun setiap orang tahu bahwa pendekar berkepandaian tinggi itu adalah kakak Yap Tai Ciangkun dan orang kepercayaan kaisar mereka.
"Yap Taihiap, celaka...! Thio Cian-bu... Thio Cian-bu... mati dibunuh orang!" salah seorang dari para prajurit yang masih tertinggal itu melapor dengan suara gugup.
"Hah? Apa...? Thio Tek Kong mati? Siapakah yang membunuhnya?" Yap Kiong Lee berseru kaget. Suaranya bergetar menahan marah.
"Kami... kami tak tahu. Ketika kami mengejar bayangan seorang wanita berbaju putih, yang berlari keluar tembok kota, kami menemukan sebuah bangunan kuno di tengah-tengah hutan. Thio Cian-bu... Thio Cian-bu lalu memberi perintah kepada kami untuk mengepung bangunan kuno tersebut, sementara beliau... sementara beliau bersama dua orang pengawal memasukinya. Lalu... lalu... tiba-tiba kami mendengar beliau menjerit keras sekali... dan... dan..."
"Dan ketika kalian masuk, kalian...mendapatkan tubuh Thio Tek Kong telah menjadi mayat! Begitu...?" Yap Kiong Lee cepat-cepat memotong.
"Be-be-benar! Bahkan... bahkan..."
"Hmm, bahkan kalian semuapun lalu mendapat serangan dari sesosok bayangan yang tidak kalian ketahui wajah maupun bentuknya! Begitu bukan? Dan serangan tersebut demikian dahsyatnya sehingga semua tak kuasa untuk menyelamatkan diri. Sehingga beberapa orang dari kalianpun lalu bergelimpangan pula menjadi mayat! Begitu...?" sekali lagi Yap Kiong Lee yang sedang marah itu menukas.
"Be-benar, Taihiap! Mengapa Taihiap mengetahuinya? Apakah... apakah Taihiap berada di tempat itu pula?" dengan heran prajurit itu bertanya.
"Goblog! Aku cuma menduga saja!" Yap Kiong Lee membentak marah. Lalu sambungnya lagi.
"Nah! Sekarang katakan kepadaku, dimanakah bangunan kuno itu berada?" Dengan agak takut-takut prajurit itu lalu menunjuk ke arah utara, dimana beberapa lie jauhnya dari tempat itu terlihat tanah perbukitan yang diselimuti oleh hutan belukar nan lebat.
"Di sana, Taihiap...!"
"Baik! Sekarang kalian pergilah ke kota! Laporkan kejadian ini kepada wakil Thio Cian-bu!"
"Baik, Taihiap..." Pasukan berkuda yang sudah tidak karuan bentuknya itu lalu berjalan lagi memasuki kota. Mereka tampak semakin kepayahan terkena sinar matahari yang bergulir ke arah barat.
"Nah! Bagaimana menurut pendapat Pangeran tentang hal ini?" Yap Kiong Lee kemudian bertanya kepada Liu Yang Kun yang sejak tadi cuma diam saja. Liu Yang Kun memandang ke arah pasukan yang sedang memasuki pintu gerbang kota itu untuk beberapa saat lamanya. Setelah itu sambil menarik napas panjang kepalanya tertunduk.
"Kukira pendapat kita tidak akan jauh berbeda..." Yap Kiong Lee mengerutkan keningnya.
"Jadi Pangeran juga berpendapat bahwa hantu Kuntilanak itu sebenarnya juga seorang manusia biasa? Seorang manusia berwatak aneh dan berkepandaian sangat tinggi?" Liu Yang Kun mengangguk.
"Ya! Dan hantu itu membunuh Thio Cian-bu beserta anak buahnya, karena mereka telah mengganggu tempat tinggalnya."
"Lalu... bagaimana dengan bayi-bayi yang diculiknya?"
"Diculik? Aku belum mendengar khabar bahwa hantu itu telah menculik bayi. Aku hanya mendengar bahwa ia selalu mengelilingi rumah korbannya di malam hari."
"Dan... bayi si pemilik rumahpun akan mati keesokkan harinya!" Yap Kiong Lee meneruskan.
"Ya, begitulah... Jadi selama ini orang yang dijuluki 'Hantu Kuntilanak' itu selalu mendatangi rumah penduduk yang ada bayinya. Tak seorangpun yang tahu, apa yang dikerjakan oleh 'hantu' tersebut. Namun yang terang dia tak pernah mengganggu atau menculik bayi. Dia cuma mondar-mandir saja di sekeliling rumah korbannya, sementara bayi yang ada di dalam rumah itu akan menangis terus tiada henti-hentinya."
"Dan bayi itu akan mati keesokan harinya, karena hantu itu telah mengguna-gunainya...!" sekali lagi Yap Kiong Lee menandaskan. Liu Yang Kun tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Mungkin disinilah perbedaan kita..." pemuda itu berkata perlahan.
"Aku sama sekali tak melihat hubungan antara kematian bayi itu dengan kedatangan 'hantu' tersebut. Tapi terus terang saja akupun tak bisa menjelaskan, mengapa aku mempunyai dugaan atau pendapat demikian. Semuanya itu cuma perasaanku saja..." Yap Kiong Lee tersentak kaget. Dengan kening berkerut jagoan dari istana itu berdesah.
"Aneh! Kenapa Pangeran berpendapat begitu? Apakah tidak terlintas di dalam hati Pangeran bahwa 'hantu' itu sedang mendalami sebuah ilmu hitam yang mempergunakan bayi-bayi sebagai sarananya?" Sekali lagi Liu Yang Kun tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Semula aku memang berprasangka demikian pula. Tapi entah mengapa, perasaanku seperti tidak menyetujuinya. Perasaanku cenderung untuk mengatakan yang lain. Namun seperti yang telah kukatakan tadi,aku tak bisa menjelaskannya..."
"Oooh, lalu...apa yang hendak kita lakukan sekarang?" setelah berdiam diri beberapa saat lamanya, Yap Kiong Lee bertanya kepada Liu Yang Kun. Liu Yang Kun terpekur sebentar. Lalu jawabnya.
"Kalau... kalau Ciangkun setuju, aku ingin menyelidiki bangunan kuno itu pula. Tapi...malam nanti saja. Sekarang kita ke rumah Thio Cian-bu lebih dahulu. Kita mencari keterangan yang benar, apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah perwira itu malam tadi?" Liu Yang Kun agak bingung juga untuk menyebut Yap Kiong Lee. Semula ia menyebut 'Ciangkun' karena menyangka jagoan istana itu sebagai seorang perwira kerajaan pula seperti adiknya, yaitu Yap Tai-Ciangkun itu. Tapi setelah mendengar sebutan para perajurit berkuda itu tadi, ia menjadi sadar bahwa ia telah salah duga. Ternyata Yap Kiong Lee bukanlah seorang perwira. Sebaliknya Yap Kiong Lee sendiri agaknya juga tidak ambil-pusing pada sebutan yang diberikan Liu Yang Kun kepadanya.
"Terserah kepada Pangeran. Apabila Pangeran memang menghendaki demikian, sayapun hanya menurut saja..." Katanya kemudian dengan mantap.
Demikianlah, seperti halnya pasukan yang kalah perang tadi, mereka berduapun lalu melangkah memasuki pintu-gerbang kota itu pula. Mereka berjalan menyusuri jalan besar, menuju ke rumah kediaman Thio Tek Kong di tengah kota. Sekilas mereka masih bisa melihat debu yang ditinggalkan oleh pasukan yang kalah perang itu. Sementara di kanan-kiri jalan tersebut mereka juga masih bisa menyaksikan para penduduk yang saling bergerombol membicarakan kejadian itu. Ketika mereka berdua melewati perempatan jalan yang pertama, mereka tiba-tiba dikejutkan oleh suara jerit tangis yang memilukan dari sebuah rumah besar di pinggir jalan. Otomatis pikiran Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee tertuju pada keluarga para perajurit Thio Cian-bu yang tewas itu.
"Tampaknya khabar tentang kematian para perajurit itu telah sampai pula kepada keluarganya..." Yap Kiong Lee menghela napas duka.
"Agaknya memang demikian. Tetapi...?" Tiba-tiba Liu Yang Kun menghentikan langkahnya. Wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Matanya memandang ke rumah besar itu tanpa berkedip.
"Pangeran...? Ada apa?" Tentu saja Yap Kiong Lee menjadi terkejut sekali.
"Oh, tidak...!" Liu Yang Kun tersentak sadar.
"Tiba-tiba saja perasaanku menjadi lain. Aku seperti mencium sesuatu yang ganjil di rumah itu. Tangis itu rasanya bukan karena mereka adalah keluarga perajurit yang tewas itu. Rasa-rasanya mereka menangis karena sesuatu hal yang lain. Ciangkun, marilah kita singgah sebentar...!"
Yap Kiong Lee menatap Liu Yang Kun sebentar, kemudian menundukkan mukanya. Walau merasa sedikit aneh, tapi jagoan dari istana itu tidak berani membantah. Perlahan-lahan mereka melangkah memasuki halaman luas itu. Mereka melewati beberapa orang tetangga atau penghuni rumah yang lain, yang juga datang menjenguk ke rumah itu.Beberapa orang pelayan rumah itu cepat menyambut kedatangan Liu Yang Kun. Namun karena mereka merasa belum pernah melihat wajah Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee, maka mereka tidak segera menyapa atau mempersilakan masuk. Bahkan mereka menjadi curiga dan agak takut. Tapi dengan tenang serta tidak memperdulikan kecurigaan mereka, Liu Yang Kun mendekati mereka.
"Maaf, kami berdua adalah petugas dari bagian keamanan kota..." Liu Yang Kun membohong.
"Bolehkah kami mengetahui, apa yang telah terjadi di rumah ini?" Mendengar tamu-tamunya adalah petugas keamanan kota, para pelayan itu menjadi lega.Dengan ramah dan hormat mereka mempersilakan Liu Yang Kun masuk.Tapi Liu Yang Kun tidak segera masuk. Dengan suara perlahan ia bertanya kepada para pelayan itu, apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah tersebut.
"Tuan besar baru saja dianiaya penjahat! Dan... dan calon nyonya besar diculik pula!" pelayan itu paling tua segera menjawab.
"Hah? Ada penjahat yang berani menganiaya dan menculik orang di siang hari begitu? Kurang ajar...!" Yap Kiong Lee menggeram marah.
"Be-benar, tuan...! Mari... mari silahkan tuan berdua menyaksikan sendiri keadaan tuan besar kami! Beliau ada di ruang tengah." Pelayan itu lalu membawa Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee masuk, sementara teman-temannya yang lain segera mendahului dan melapor kepada majikan mereka. Dan seorang lelaki setengah baya segera keluar pula menyambut kedatangan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee.
"Terima kasih... terima kasih! Belum juga kami sekeluarga sempat melapor, ternyata jiwi telah sampai di tempat ini. Terima kasih..." lelaki setengah baya itu menyambut dengan ramah, meskipun sinar kesedihan tetap memenuhi wajahnya.
"Bolehkah kami berdua menengok..?" Yap Kiong Lee cepat melangkah ke depan dan menyahut sambutan dari tuan rumah itu.
"Silahkan...silahkan...!" lelaki setengah baya itu mempersilakan, kemudian mendahului masuk ke ruang tengah. Di ruangan tengah telah berkumpul menyaksikan seluruh keluarga penghuni rumah tersebut. Mereka mengelilingi sebuah pembaringan dengan wajah yang sedih dan diliputi oleh kedukaan yang mendalam. Seorang lelaki berwajah tampan, namun sudah berusia sekitar lima puluhan tahun, tampak tergolek pucat di atas pembaringan itu. Sementara di dekat kepalanya tampak duduk seorang nenek tua-renta menangisinya.
"Hek-pian-hok Ui Bun Ting...?" tiba-tiba Yap Kiong Lee berdesah kaget begitu menyaksikan wajah orang yang sakit itu. Dan kekagetan Yap Kiong Lee ini tentu saja juga amat mengejutkan Liu Yang Kun pula.
"Ciang... eh, Twako mengenalnya...?" Yap Kiong Lee cepat menganggukkan kepalanya. Namun ketika ia hendak menjawab, tiba-tiba Hek-pian-hok Ui Bun Ting atau orang yang terbaring di atas pembaringan itu membuka matanya. Agaknya kedatangan Yap Kiong Lee yang menyebut namanya itu telah menyadarkannya.Mula-mula ia hanya memandang saja kepada Yap Kiong Lee. Bahkan beberapa kali dahinya tampak berkerut menahan sakit. Namun beberapa saat kemudian ketika kesadarannya mulai penuh, ia mulai mengenal pula wajah Yap Kiong Lee.
"Yap Taihiap...?" gumamnya perlahan.
"Ui Ciang-bun (Ketua Partai Persilatan Ui)...? Benarkah ini? Mengapa Ui Ciang-bun berada di tempat ini? Bukankah hari pernikahan itu tinggal sehari lagi?" Yap Kiong Lee bertanya dengan heran seolah-olah tak percaya bahwa orang yang dihadapinya itu benar-benar ketua persilatan Tiam-jong-pai. Tapi Ui Bun Ting cuma menyeringai saja kepada Yap Kiong Lee. Ia tak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya ia malah memperkenalkan keluarganya kepada Yap Kiong Lee.
"Yap Taihiap, perkenalkanlah ini ibuku..." katanya perlahan seraya memandang wanita tua-renta yang duduk di dekat kepalanya.
"Dan... itu adikku." lanjutnya lagi sambil menunjuk ke lelaki setengah baya yang tadi menyambut kedatangan Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee. Kemudian Ui Bun Ting menyebut pula satu-persatu orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bibinya, adik-adiknya yang lain, keponakannya dan lain-lainnya lagi. Dan setiap ketua Tiam-jong-pai itu menyebutkan nama keluarganya, Liu Yang Kun dan Yap Kiong Lee terpaksa membungkuk memberi hormat. Namun ketika ketua Tiam-jong-pai itu hendak berbicara lagi, Yap Kiong Lee cepat mencegahnya.
"Sudahlah Ui Ciang-bun, jangan banyak bicara dahulu! Kau harus beristirahat! Ehm...bolehkah aku memeriksa luka-lukamu?" jagoan dari istana itu memotong. Ui Bun Ting menatap tamunya dengan perasaan terima kasih. Namun dengan amat berat kepalanya menggeleng. Tiba-tiba wajahnya sangat sedih.
"Tidak ada gunanya, Taihiap, Lukaku sungguh sangat parah. Selain itu aku juga terkena racun yang mematikan. Rasanya aku sudah tidak mungkin hidup lagi... Tapi aku tidak akan menyesali kematianku. Aku hanya..., ooh..."
Ui Bun Ting tidak kuasa melanjutkan kata-katanya. Rasa sedih dan rasa sakit mendadak telah menyerang dada dan perutnya. Otomatis semua keluarganya menjerit dan menangis menyaksikan penderitaannya. Yap Kiong Lee cepat menyambar lengan Ui Bun Ting. Diperiksanya denyut nadinya, kemudian detak jantungnya.Lalu yang terakhir Yap Kiong Lee menotok beberapa titik jalan darah di sekitar pusar ketua Tiam-jong-pai itu. Namun ketika Yap Kiong Lee hendak menyalurkan tenaga saktinya untuk mengurangi beban sakit di dada Ui Bun Ting, tiba-tiba ia meloncat mundur. Wajahnya mendadak menjadi pucat. Liu Yang Kun dan lelaki setengah baya itu cepat mendesak maju.
"Twako, ada apa...?" Liu Yang Kun berseru kaget.
"Bagaimana tuan...?" Lelaki setengah baya itu ikut berdesah pula. Yap Kiong Lee menatap Liu Yang Kun dengan wajah ngeri.
Pendekar Penyebar Maut Eps 13 Pendekar Penyebar Maut Eps 34 Darah Pendekar Eps 36