Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 6


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6




   Demiklanlah, di hadapan Lai Tek, anak ini bicara lain dan ia pun berhasil membakar hati Lai Tek sehingga twa- suhengnya ini betul-betul mencurahkan tenaga untuk membimbingnya mempelajari ilmu pedangnya agar tidak kalah oleh Kwa Slang! Dengan siasat yang amat licin, Kong Ji dapat membuat dua orang tokoh itu seakan-akan bersaingan dan berlumba menurunkan kepandaian masing-masing kepadanya dan hal itu sudah tentu dia yang untung dan menjadi tukang tadah!

   Kedatangan Giok Seng Cu dari Luliang-san disambut dengan gembira oleh anak buahnya. Akan tetapi tosu rambut panjang ini datang dalam keadaan kelihatan amat lelah dan wajahnya memperlihatkan tanda bahwa ia amat gelisah dan khawatir. Ia segera mengumpulkan murid-muridnya yang paling tua, yakni Siang mo-kiam Lai Tek, Thian-te Siang-tung Kwa-siang, dan dua orang murid lain yang kepandaiannya sudah tinggi. Juga Kong Ji tidak ketinggalan karena biarpun ia murid termuda, namun ia amat disayang dan Giok Seng Cu tahu bahwa kelak yang boleh diharapkan hanyalah Kong Ji ini. Semua orang duduk menghadap guru besar itu yang berkata dengan suara lambat.

   "Mulal saat ini, kalian jangan lengah. Semenjak dari Luliang-san, aku telah dihejar-kejar oleh banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Mungkin sekali di antara mereka ada yang terus mengejar ke sini, biarpun aku masih bersangsi apakah mereka begitu tidak tahu malu untuk mengacau Im-yang-bu pai di sarang sendiri. Betapapun juga, kalian harus menjaga dan mengerahkan kawan-kawan untuk menyelidik. Rumah perkumpulan ini pun harus dijaga siang malam secara bergilir. Pendeknya, sekarang kita menghadapi bahaya dan sekali-kali jangan lengah."

   "Suhu, mengapa mereka itu memusuhi Suhu? Mengapa mereka mengcjar-ngejar terus secara tak tahu malu"" tanya Kwe Siang. Lai Tek juga memandang dengan mata mengandung pertanyaan. Akan tetapi sebelum Giok Seng Cu menjawab, Kong Ji mendahuluinya.

   "Tentu untuk merampas Pak-kek Sin-kiam, apa lagi?"

   Semua orang terkejut, termasuk Giok Seng Cu yang menoleh kepada murid cilik yang berdiri di sebelah kirinya ini. Tangannya terulur dan tahu-tahu pergelangan tangan Kong Ji sudah dipegang erat-erat.

   "Bagaimana kau bisa menduga begitu?" tanyanya keras dengan mata memandang tajam.

   Kong Ji tidak takut, bahkan tersenyum.

   "Suhu, apa sih sukarnya menebak teka-teki ini? Teecu sudah mendengar bahwa Suhu pergi ke Luliang-san untuk mencari pedang dan kitab dan teecu sudah tahu pula bahwa pedang itu adalah Pak-kek Sin-kiam sedangkan kitab itu adalah kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu. Kemudian Suhu pulang dengan pakaian kusut dan tubuh lelah serta membayangkan kegelisahan, tanda bahwa Suhu menghadapi sesuatu yang memusingkan. Akan tetapi suara Suhu itu tenang dan sinar mata Suhu membayangkan kegembiraan. Mudah bagi teecu untuk menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil mendapatkan dua benda itu. Hanya teecu masih belum mengerti mengapa Suhu kelihatan gelisah. Kemudian Suhu menyatakan bahwa orang-orang kang-ouw mengejar-ngejar Suhu, maka apa lagi kehendak mereka itu kalau bukan mengejar Suhu untuk merampas sesuatu yang bcrharga? Karena inilah tee-cu menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil dan mereka itu mengejar untuk merampas pedang Pak-kek Sin-kiam!" Giok Seng Cu menjadi kagum luar biasa. Ia melirik ke pakaiannya, akan tetapi dari luar pedang pusaka yang disembunyikan di balik baju itu tidak kelihatan.

   "Di antara kedua benda berharga mengapa kau menyangka bahwa pedang pusaka yang kau dapatkan?" tanyanya curiga.

   "Teecu menduga sembarangan Suhu. Karena bagi teecu, apa sih artinya kitab ilmu silat bagi Suhu yang sudah berkepandaian tinggi? Tentu bagi Suhu pedang itu yang lebih penting, maka teecu menduga bahwa Suhu tentu telah mengambil pedangnya."

   Giok Seng Cu melepaskan cekalannya tertawa girang dan memandang kepada murid-muridnya.

   "Di antara kita, tak seorang pun yang mampu menandingi kecerdikan Kong Ji! Kau benar sekali Kong Ji, dan aku girang melihat kecerdikanmu. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu silatmu? Apakah selama aku pergi, kedua Suhengmu telah melatihmu baik-baik?"

   Kwa Siang ingin memamerkan hasil latihannya kepada sute yang disayang itu, maka ia berkata.

   "Sute, mengapa kau tidak niemperlihatkan ilmu tongkat yang telah kaupelajari kepada Suhu?"

   "Haruskah teecu memperlihatkan sedikit kepandaian yang teecu terima dari Jiwi-suheng?" tanya Kong J i kepada gurunya. Anak ini sengaja berkata "sedikit kepandaian" agar suhunya tidak puas dan menurunkan ilmu silatnya yang lihai, terutama Tin san-kang!
(Lanjut ke Jilid 06)

   Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
Giok Seng Cu mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya riap-riapan itu.

   "Coba kau perlihatkan kepandalanmu."

   Kwa Siang melemparkan sepasang tongkat hitam putih ke arah Kong Ji yang menerimanya dengan gaya indah. Kemudian anak ini bersilat di ruangan itu, bersilat dengan cepat dan baik sekali sesuai dengan petunjuk dan ajaran Kwa Siang. Thian-te Siang-tung ini melirik-lirik ke arah Lai Tek sambil tersenyum-senyum bangga. Sebagai penerima ilmu silatnya ternyata sute yang kecil itu tidak mengecewakannya. Biarlah Lai Tek melihat bahwa ilmu tongkat yang ia turunkan kepada Kong Ji tak boleh dipandang rendah.

   Giok Seng Cu mengangguk-angguk.

   "Hmm, Kwa Siang baik sekali sehingga mau menurunkan kepandaian tunggalnya kepadamu, Kong Ji. Akan tetapi, apa yang kaupelajari dan Lai Tek?" tanyanya setelah anak itu berhenti bersilat dan mengembalikan sepasang tongkat itu kepada Kwa Siang.

   "Teecu juga mempelajan sedikit ilmu pedang dari Twa suheng."

   "Kau mainkan Sute, agar Suhu dapat memeriksa dan menilainya." Lai Tek mendesak sambil meloloskan pedangnya untuk dipergunakan oleh sutenya. Akan tetapi Kong Ji pura-pura tidak melihat twa-suheng ini menyodorkan pedang. Ia bahkan menghampiri Giok Seng Cu dan berkata.

   "Bolehkah teecu memperlihatkan ilmu pedang dan Twa-suheng dengan mempergunakan Pak-kek Sin-kiam, Suhu?"

   Tiba-tiba Giok Seng Cu meloncat dan menangkap leher baju Kong Ji dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Hampir saja ia membanting bocah ini dan semua sudah menjadi pucat. Kwa Siang dan Lai Tek cukup mengenaI watak suhu mereka, yakni kalau sudah marah, belum puas kalau belum membunuh orang. Akan tetapi aneh, anak itu diturunkan lagi dan Giok Seng Cu duduk sambil menarik napas panjang.

   "Kong Ji jangan sekali-kali kau menyebut-nyebut Pak-kek Sin-kiam lagi. Mengerti?" Kong Ji yang sudah pucat itu mengangguk-angguk dan berlutut di depan suhunya. Kemudian ia menerima pedang dari Lai Tek dan bersilat pedang, ditonton oleh Giok Seng Cu.

   "Hm, kau sudah mendapat kemajuan lumayan. Kau harus lebih banyak berlatih lweekang agar siap sedia menerima latihan-latihan langsung dari aku sendiri." Kong Ji menjadi girang sekali dan buru-buru berlutut menghaturkan terima kasth kepada gurunya.

   Semenjak hari itu, benar saja rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai yang amat besar itu dijaga rapi dan kuat oleh para anggauta Im-yang-bu-pai. Sedangkan Giok Seng Cu selalu mengeram diri di dalam kamarnya dan pedang Pak-kek Sin kiam tak pernah terpisah dari tubuhnya. Yang dipercaya hanya Kong Ji seorang. Hanya murid termuda inilah yang mengawaninya tidur di kamarnya.

   "Kong Ji, aku sewaktu-waktu perlu beristirahat dan tidur. Kalau aku tidur pulas, kau berjaga dan cepat membangunkan aku kalau-kalau ada musuh datang," katanya. Oleh karena itu, semenjak hari itu Kong Ji tidur di dalam kamar itu bersama Giok Seng Cu. Bahkan guru besar ini sudah demikian percaya sehingga ia pernah memperlihatkan Pak kek Sin-kiam yang membuat anak itu bergidik ketika melihat cahaya terang keluar dari mata pedang itu.

   Biarpun Kong Ji berwatak jahat dan curang, namun ia tak dapat melupakan pembunutian kepada ayah bundanya dilakukan oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Dengan amat cerdik, ketika bercakap-cakap dengan Lai Tek dan Kwa Siang. Ia memancing percakapan tentang perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan menyinggung-nyinggung perkumpulan Kwan-im-pai. Akhirnya ia berhasil memancing dan mendapat keterangan bahwa yang membinasakan ayah bundanya adalah seorang tokoh Im-yang-bu-pat ang berjuluk Sin chio (Tombak Sakti), Thio Seng juga murid dart Giok Seng Cu dan dalam urutan murid-murid Giok Seng Cu, ia terhitung murid ke lima dan kepandaiannya tidak kalah jauh oleh Kwa Siang atau Lai Tek.

   Semenjak mendapat keterangan bahwa suheng yang inilah pembunuh ayah bundanya, diam-diam Kong Ji mencari ketika untuk membalas dendam. Akan tetapi tentu saja amat sukar baginya, karena selain ia kalah jauh dalam hal kepandaian silat, juga tak mungkin ia membunuh suheng sendiri di Im-yang-bu-pai. Kini setelah suhunya pulang dan ia mendapat kepercayaan tidur di dalam kamar suhunya, diam-diam otaknya yang penuh akal itu bekerja. Pada siang hari diam-diam ia menemui Sin-chin Thio Seng dan mengajaknya bercakap-cakap.

   "Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Lima), setiap malam aku merasa ngeri tidur di kamar Suhu," katanya perlahan setelah mereka bercakap-cakap agak lama dan suasana sudah hangat dan ramah-tamah.

   Thio Seng memandangnya heran.

   "Eh mengapa, Sute? Apakah Suhu suka mengigau? Ataukah dengkurnya terlalu keras?"

   Kong Ji tersenyum, menggelengkan kepala.

   "Bukan demikian, yang membikin aku merasa ngeri adalah... Pak-kek Sin-kiam itulah...." Anak ini sengaja memperlihatkan sikap ketakutan. Sin-chio Thio Seng tertarik sekali. Kalau tidak dimulai oleh Kong Ji bicara tentang pedang pusaka itu saja ia tidak akan berani, mengingat akan larangan suhunya.

   "Kenapa sih?" Ia mendesak.

   "Kalau diceritakan kepadamu kau tentu tidak percaya, Suheng. Pedang itu di waktu tengah malam buta, bisa keluar dari sarungnya dan beterbangan seperti naga bernyala-nyala di dalam kamar...." Kembali Kong Ji bergidik dan mukanya menjadi pucat. Inilah kelihaian anak itu, setelah mempelajari lweekang ia dapat menahan jalan darah yang mengalir naik ke mukanya sehingga wajahnya menjadi pucat. Tentu saja kepandaian ini dimiliki pula oleh Thio Seng yang sudah lihai namun pada saat itu ia mengira bahwa sutenya benar-benar merasa ngeri dan pucat.

   "Aah, mana ada kejadian seperti itu? Kau terpengaruh oleh dongeng, Sute."

   "Aku berani bersumpah, Ngo-suheng. benar-benar hal itu terjadi, kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikan sendiri." Thio Seng makin tertarik akan tetapi tentu saja ia tidak berani membuktikan, karena tidak ada jalan untuk dia membuktikan peristiwa itu.

   "Tak mungkin, Suhu tentu akan marah besar kalau tengah malam buta aku datang ke kamarnya," katanya menyesal. Sebenarnya ia pun merasa iri hati melihat suhunya demikian sayang dan percaya kepada Kong Ji.

   "Mengapa harus masuk ke kamar? Aku mau menolongmu, Ngo-suheng. kalau kau benar-benar hendak mcmbuktikan omonganku tadi. Malam ini Suhu tentu akan tidur nyenyak, karena malam tadi dia tidak tidur sama sekali. Nah, lewat tengah malam kau boleh datang dan berdiri di luar jendela kamar. Aku akan membuka daun jendela kalau pedang itu sudah beterbangaan di dalam kamar nanti kau dapat melihat sendiri."

   "Bagaimana kalau Suhu mengetahui aku berada di sana?"

   "Tak mungkin. Suhu setelah percaya bahwa aku berada dan menjaga di sampingnya, kalau tidur pulas sekali. Dan pula, apa salahnya kalau kau hanya menyaksikan keanehan itu? Mungkin Suhu sendiri kalau bangun dan melihat pedang itu beterbangan, takkan memperhatikan hal yang lain lagi."

   Karena amat tertarik, Thio Seng menyanggupi dan berjariji akan datang dan berdiri di luar jendela menjelang tengah malam hari itu. Kong Ji girang bukan main di dalam hatinya dan diam-diam mencaci maki suhengnya ini.

   "Jahanam keparat, sekarang tibalah saatnya ku membalas dendam atas kematian Ayah Bundaku!" Malam hari itu, ketika suhunya hendak tidur ia berbisik,

   "Suhu, malam ini harap Suhu jangan tidur." Giok Seng Cu terkejut sekali.

   "Eh, mengapa? Apa yang terjadi?"

   Kong Ji menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya.

   "Mohon ampun kalau tee-cu kali ini salah menduga, Suhu. Akan tetapi teecu mempunyai dugaan bahwa seorang murid Suhu sedang merencanakan untuk mencuri Pak-kek Sin-kiam Selain ini...."

   "Gila! Siapa dia? Hayo lekas ceritakan!"

   "Harap Suhu bersabar. Teecu hanya menduga saja dan kalau tidak ada buktinya tidak enaklah kalau Suhu terburu nafsu memanggilnya. Ada seorang murid yang selalu bertanya tentang Pak-kek Sin-kiam, bahkan menanyakan apakah malam hari ini Suhu akan tidur dan pada saat apa Suhu biasanya tidur pulas. Ia bertanya pula di mana Suhu menyimpan pedang itu, pendeknya sikapnya amat mencurigakan. Oleh karena itu, harap Suhu jangan tidur dan kita lihat bersama siapa orangnya yang akan muncul."

   Giok Seng Cu marah sekali.

   "Baik aku akan pura-pura tidur mendengkur dan dia yang berani datang akan kupenggal lehernya dengan pedang ini!" Kakek itu naik ke pembaringan dan pedang Pak-kek, Sin-kiam telah dilolos dari sarungnya dipegang olehnya.

   Kong Ji menunggu dengan hati berdebar. Bagaimana kalau Thio Seng tidak berani datang? Menjelang tengah malan Giok Seng Cu memperkeras dengkurnya dan tiba-tiba Kong ji mendengar tindakan kaki yang amat ringan di luar jendela kamar itu. Ia berdebar girang, diam-diam mendekati suhunya dan menowel lengannya. Suhunya masih mendengkur, akan tetapi membuka mata dan berkedip kepadanya. Kong Ji berjalan ke jendela dan membuka daun jendela itu. Di luar berdiri seorang laki-laki dan bukan lain orang itu adalah Thio Seng.

   Begitu jendela dibuka dan melihat bahwa yang datang adalah muridnya ke lima, yakni Sin-chio Thio Seng, Giok Seng Cu tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Sambil berseru keras ia melompat dan tubuhnya melayang melalui jendela. Memang benar pada saat itu Thio Seng melihat pedang terbang Pedang Pak-kek Sin kiam yang sudah terhunus dari sarungnya, mengeluarkan cahaya terang dan kini pedang yang berada di tangan Giok Seng Cu itu seakan-akan terbang keluar jendela, dan dalam sekelap mata saja menggelindinglah kepala Thio Seng yang sudah terbabat putus lehernya oleh Pak-kek Sin-kiam"

   Ada saat itu tiba-tiba terdengar seruan.

   "Giok Seng Cu, serahkan pedang Pak-kek Sin kiam itu kepada kami!" seruan ini disusul oleh melayangnya lima bayangan orang yang gesit sekali dari atas genteng.

   Giok Seng Cu menggerakkan pedangnya. Sinar emas berkelebat di antara cahaya penerangan yang keluar dari jendela kamar. Terdengar suara "Trang! Trang! Trang!" dan tiga batang golok yang dipegang oleh para penyerang itu telah terbabat menjadi dua potong! Tiga orang ini terkejut sekali dan cepat melompat ke atas genteng, akan tetapi yang dua orang lagi tak sempat melarikan diri karena kembali Pak-kek Sin kiam telah digerakkan dan kini yang terbabat bukan senjata mereka, melainkan tubuh mereka! Seorang terbabat putus pinggangnya dan yang ke dua terbelah dadanya. Demikian hebatnva Pak-kek Sin-kiam pedang pusaka itu.

   Pada saat itu, di atas genteng terdengar sayap burung menggelepar dan bayangan burung yang amat besar meluncur lewat. Melihat ini tiba-tiba Giok Seng Cu memegang tangan Kong Ji.

   "Lekas siapkan diri, kita pergi malam ini juga!"

   Dengan cepat Giok Seng Cu mengumpulkan anak buahnya yang sudah datang ke tempat itu.

   "Thio Seng hendak berkhianat dan dua mayat ini adalah mayat musuh yang hendak merampas pedang. Aku akan pergi bersama Kong Ji. Kalau ada orang-orang kang-ouw datang, jangan mencari permusuhan dengan mereka. Bilang saja aku pergi membawa pedang Pak-kek Sin-kiam, kalau tidak percaya mereka boleh menggeledah. Akan tetapi sekali lagi, jangan menyerang mereka, apalagi kalau ada bocah gundul membawa ular dan burung rajawali, jangan sekali-kali mencari permusuhan dengan mereka. Nah, urus mayat-mayat ini dan jaga perkumpulan baik-baik. Untuk sentara, Lai Tek boleh memimpin saudara-saudaramu."

   Setelah berkata demikian, Giok Seng Cu lalu menyambar tubuh Kong Ji yang sudah membawa buntalan pakaian, dan lenyap di dalam gelap malam. Lai Tek, Kwa Siang dan yang lain-lain tahu bahwa tentu telah terjadi penyerangan dari luar, akan tetapi biarpun mereka akui akan kelihaian para penyerang yang dapat menerobos masuk tanpa diketahui oleh penjaga, sudah terbukti suhunya menang. Mengapa sekarang suhunya melarikan diri seperti orang ketakutan? Mereka tak menemukan jawaban, maka setelah pagi tiba, mereka diam-diam mengurus jenazah Thio Seng dan dua orang yang ternyata adalah orang-orang muda dengan tubuh gagah.

   "Suhu dengan mudah merobohkan lima orang lawan. mengapa takut menghadapi seekor burung?" tanya Kong Ji pada keesokan harinya ketika suhunya mambawanya berlari jauh sekali meninggalkan kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san. Setelah setengah malam Giok Seng Cu berlari cepat sambil menggendong Kong Ji.

   "Anak bodoh, aku tidak takut menghadapi tokoh kang-ouw dari manapun juga, akan tetapi kau tak tahu. Burung kim-tiauw yang terbang di atas rumah kita malam tadi adalah milik dari Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, bocah gundul yang seperti iblis!"

   "Ban-beng Sin tong? Bocah sakti macam apakah dia, Suhu?"

   "Dia benar-benar lihai, memelihara ular-ular berbisa dan burung kim-tiauw. Akan tetapi aku tidak takut menghadapinya, yang harus ditakuti adalah ayah bundanya, kabarnya kepandaian mereka luar biasa tingginya."

   "Suhu, kepandaian Suhu sudah menjulang setinggi langit. Dengan Tin-san-kang dan pedang pusaka itu di tangan, siapakah kiranya yang dapat menandingi Suhu ?"

   Giok Seng Cu tertawa sambil melepaskan lelah, duduk di bawah pohon besar.

   "Kong Ji, jangan kau bermimpi di tengah hari! Kepandaian manusia tidak ada batasnya dan biarpun Gunung Thai-san amat tinggi, masih saja ada awan dan langit di atasnya, belum bicara tentang bulan, matahari dan bintang-bintang! Memang belum tentu aku kalah oleh iblis tua See-thian Tok-ong ayah dari Ban-beng Sin-tong, akan tetapi aku ngeri mendengar namanya. Dugaanmu dahulu bahwa aku lebih mementingkan pedang Pak-kek Sin-kiam tidak betul. Kalau saja aku bisa mendapatkan kitab yang berisi ilmu silat dari Pak Kek Siansu dan sudah mempelajari isinya aku tak usah berlari pergi dari ancaman siapapun juga" Kakek ini lalu menceritakan tentang kitab peninggalan Pak Kek Siansu seperti yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, yakni Pak Hong Siansu.

   "Kepandaian Pak Kek Siansu yang masih terhitung Supekku (Uwa Guruku) sendiri itu dahulu itu terhitung di tingkat paling atas. Oleh karena itu, siapa yang dapat menemukan kitabnya dan mewarisi ilmu silatnya, tentu akan menjagoi dunia. Melihat betapa putera See-thian Tok-ong jauh-jauh dari Tibet datang mencari kitab itu, dapat dibayangkan betapa hebatnya kitab itu dan ajarannya. Tentu lebih tinggi dan kepandaian See-thian Tok-ong sendiri. Sayang aku tidak dapat menemukan kitab itu."

   Kong Ji kagum bukan main. Tadinya ia mengira bahwa suhunya adalah orang yang paling lihai, tidak tahunya masih ada See-thian Tok-ong dan anak isterinya, bahkan kini masih ada yang lebih hebat lagi, yakni kitab pusaka peninggalan Pak Kek Siansu. Mendengar adanya sekian banyak orang-orang lihai di dunia Kong Ji menjadi mengilar dan nafsunya untuk menjadi murid Giok Seng Cu agak mendingin. Ia inginl menjadi orang yang menjagoi seluruh dunia kang-ouw, akan tetapi cita-citanya takkan tercapai kalau ia hanya terima menjadi murid kakek ini, pikirnya.

   "Suhu apakah Pak Kek Siansu tidak meninggalkan murid-muridnya?" tanyanya hati-hati agar suara hatinya tidak ddengar oleh suhunya.

   "Ada, Luliang Sam-lojin adalah muridnya, akan tetapi tiga orang tua dari Luliang-san itu biarpun lihai belum mewarisi Ilmu Silat Pak-kek Sin ciang seluruhnya."

   "Kalau begitu, di dunia tidak ada yang dapat mainkan Pak-kek Sin-ciang?"

   "Ada, yakni murid termuda dan Pak Kek Siansu bernama Go Ciang Le dan disebut Hwa I Enghiong. Dia pun baru mempelajari setengahnya lebih namun ia sudah bisa menjagoi dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun."

   "Apakah dia lebih lihai dan See-thian Tok-ong?"

   "Mungkin, dahulupun ilmu silatnya sudah hebat sekali. Hayo kita lanjutkan perjalanan." kata Giok Seng Cu dan kini tidak menggendong Kong Ji lagi karena merasa bahwa ia sudah jauh meninggalkan orang-orang yang mengejarnya.

   Kong Ji makin kagum. Tak disangkanya bahwa di atas See-thian Tok-ong masih ada Go Ciang Le yang dipuji-puji gurunya, padahal Go Ciang Le mempelajari setengahnya dari Ilmu Pak-kek Sin-ciang! Alangkah beruntungnya kalau dia bisa mempelajari ilmu silat itu.

   Sepekan kemudian mereka tiba di sebuah kota kecil dan Giok Seng Cu mengajak Kong Ji bermalam dalam sebuah hotel. Mereka lelah sekali karena melakukan perjalanan jauh siang malam jarang beristirahat. Dalam perjalanan ini, Giok Seng Cu selalu berlaku hati-hati juga ketika bermalam di hotel. Ia tidur bergantian dengan muridnya.

   Menjelang tengah malam, telinga Kong Ji yang sudah tajam pendengarannya, tiba-tiba menangkap suara tindakan kaki di atas genteng. Ia cepat menggoyang-goyang tubuh suhunya, akan tetapi ternyata Giok Seng Cu juga sudah bangun dan menaruh jari tangan di depan mulut.

   "Shh, sejak tadi aku sudah mendengar," bisik kakek ini. Kong Ji menjadi merah mukanya. Dia baru saja mendengar akan tetapi suhunya sudah sejak tadi tahu bahwa ada orang datang di atas genteng hotel.

   Mereka diam tak bergerak, menahan napas dan memasang telinga. Di atas genteng terdengar gerakan kaki tiga orang dan gerakan itu amat lincah dan ringan tanda bahwa orang-orang itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Yang terdengar hanya gerakan antara sepatu dan genteng kalau orang-orang itu tidak bersepatu, tentu takkan mengeluarkan suara sedikit pun juga. Terdengar bisik-bisik di atas genteng. Kong Ji tak dapat mendengar jelas, akan tapi Giok Seng Cu segera tertawa bergelak,

   "Tua bangka-tua bangka dari Bu-tong, Go-bi dan Teng-san, kalian benar-benar tak tahu malu. Malam-malam seperti maling datang di sini mau apakah?" bentaknya sambil melompat bangun dengan Pak-kek Sin-kiam di tangan.

   Tadinya Giok Seng Cu bersangsi dan amat gelisah karena mengira bahwa yang datang adalah See-thian Tok-ong, akan tetapi setelah mendengar bisik-bisik mereka dan tahu bahwa yang datang adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Kian Hok Taisu ketua Go-bi dan Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai, ia memandang rendah dan berani menegur mereka.

   Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Giok Seng Cu melompat keluar dari kamarnya dan terus berlari keluar hotel. Kong ji mengikutinya dari belakang.

   Di luar hotel, di bawah penerangan lampu di depan pintu pekarangan hotel berdiri tiga orang kakek. Seorang tojin tinggi kurus berjenggot panjang, yakni Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, seorang hwesio tinggi besar ketua Go-bi-pai yang bernama Kian Hok Taisu dan orang ke tiga adalah Pang Soan Tojin, tosu jenggot pendek bertubuh gemuk, ketua Teng-san-pai. Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai menjura kepada Giok Seng Cu.

   "Toyu (sahabat), kami datang hanya untuk bertanya secara terang-terang kepadamu tentang kitab Pak-kek Sin ciang-pit-kip."

   Giok Seng Cu mengeluarkan senyuman menyeringai.

   "Siapa yang tahu tentang kitab itu? Kalau kalian datang hendak merampas pedang, boleh kalian coba. Ini dia pedangnva sudah kupegang!"

   Mendengar tantangan ini, tiga ciangbunjin (ketua partai besar) menjadi merah mukanya.

   "Giok Seng Cu, kau sombong," kata Pang Soan Tojin.

   "Kami tidak begitu tertarik oleh pedang, di tempat kami sendiri sudah banyak. Yang membuat kami datang ini adalah untuk bertanya apakah benar-benar kau tidak mendapatkan kitab itu ketika naik ke puncak Luliang-san?"

   "Aku tidak mendapatkan kitab itu. Nah, kau percaya atau tidak bukan urusanku, akan tetapi aku tidak sudi kalian minta aku bersumpah. Habis kalian mau apa?" Giok Seng Cu tetap bersikap menantang.

   "Nanti dulu, Toyu," kata Kian Hok Taisu yang lebih sabar.

   "Kami sama sekali tidak bermaksud bermusuhan denganmu. Kalau betul kau tidak mendapatkan kitab itu, marilah kita berempat membawa pedangmu itu kembali ke Luliang-san. Hanya dengan pedang itu kiranya kita akan dapat menemukan kitab peninggalan Pak Kek Siansu Locianpwe."

   Giok Seng Cu mengerutkan kening.

   "Omongan apa ini? Mengapa harus membawa pedang ini untuk mendapatkan kitab itu?"

   Kian Hok Taisu menarik napas panjang.

   "Kabar tentang pedang dan kitab amat bersimpang siur. Boleh jadi sekarang apa yang kami dengar berbeda dengan apa yang kaudengar, Giok Seng Cu. Akan tetapi kami mendengar bahwa pedang dan kitab itu tak pernah berpisah. Sekarang pedang sudah di tanganmu, untuk mencari kitab, sebaiknya kau bersama kami membawa pedang itu naik kembali ke puncak Luliang-san."

   Giok Seng Cu berpikir sejenak, kemudian berkata.

   "Pedang sudah di tanganku, yang berhak mencari dan mendapatkan kitab hanya aku seorang. Andaikata kita berempat naik ke sana kemudian kitab itu kita dapatkan, siapakah yang akan berhak memiliki kitab itu?"

   Tiga orang kakek itu saling pandang dengan tersenyum, lalu dengan suara tegas Kian Hok Taisu berkata.

   "Tentu saja akan kita bakar musnah sesuai dengan rencana tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua-ketua partai persilatan besar."

   "Gila...!" Giok Seng Cu membentak marah.

   "Apakah kalian sudah gila? Semua orang mencari dan memperebutkan kitab itu dan kalian hendak membakarnya kalau dapat menemukannya?"

   Kian Hok Taisu mengangguk.

   "Pak Kek Siansu adalah seorang tokoh besar yang budiman dan seorang guru besar yang patut dihormati dan patut dijadikan locianpwe yang nomor satu di dunia. Ilmunya yang terdapat dalam kitab itu amat tinggi dan memang tepat kalau dimiliki oleh seorang gagah seperti Pak Kek Siansu. Akan tetapi siapa berani tanggung kalau ilmu itu terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak cocok? Bagaimana kalau kepandaian itu terjatuh ke dalam tangan yang berwatak jahat? Bukankah itu hanya akan menimbulkan kekacauan dan akhirnya akan memusingkan kami semua?"

   "Gila...! Aku tidak setuju. Kitab kelak pasti akan terjatuh ke dalam tanganku, seperti halnya pedang ini," kata Giok Seng Cu.

   Diantara tiga orang kakek itu, paling berangasan wataknya adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai. Mendengar ini lalu mengeluarkan suara di hidung berkata.

   "Lebih celaka lagi kalau jatuh ke dalam tanganmu." Biarpun kata-kata ini sangat singkat saja, namun mendengar ucapan yang tadi dikatakan oleh Kian Hok Taisu, sama halnya dengan memaki Giok Seng Cu sebagai seorang jahat yang berbahaya!

   Naik darah Giok Seng Cu mendengar itu.

   "Ini pedangku, dan akulah yang berhak membawanya ke mana saja. Aku tidak mau ikut kalian ke Luliang-san habis kau mau apa?"

   Kian Hok Taisu melangkah maju "Kalau begitu, berlakulah baik kepada kami, memandang persahabatan lama. Toyu, Berilah kami pinjam Pak-kek Sin-kiam itu untuk sementara waktu, kami bersumpah bahwa pedang ini pasti akan kami kembalikan apabila kami sudah berhasil membasmi kitab peninggalan Pak Kek Siansu."

   "Ha-ha-ha, enak saja kau bicara, Kian Hok Taisu. Mulut manusia bisa didengar, akan tetapi siapakah yang bisa mendengar suara hati manusia? Sedangkan biasanya, suara mulut dan hati selalu bertentangan! Tidak, pedang ini adalah milikku, siapapun juga tidak boleh pinjam." Sambil berkata demikian Giok Seng Cu menyarungkan pedang itu kembali di balik bajunya yang lebar.

   "Giok Seng Cu, kau sendiri merampas pedang itu dari tangan Ban-beng Sin-tong secara curang" teriak Pang Soan Tojin.

   Sinar mata Giok Seng Cu penuh ancaman dan sindiran.

   "Habis kau mau apa" Kalau kau mampu merampas dari tanganku, baik dengan jalan curang atau tidak, kau boleh coba-coba"

   "Kau menantang?" Sambil berkata demikian, Pang Soan Tojin lalu bergerak memukul, ke arah dada Giok Seng Cu. Giok Seng Cu tidak inengelak, sebaliknya lalu menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Dua lengan yang kuat bertemu dan Pang Soan Tojin terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang.

   "Ha, ha, tidak berapa berat tenagamu!" Giok Seng Cu mengejek dan cepat seperti kilat ia mengirim pukulan dengan tubuh hampir berjongkok. Inilah ilmu pukulan dengan tenaga Tin-san-kang yang hebat! Sebagai ahli-ahli silat tinggi, Bu Kek Siansu dan Kian Hok Taisu maklum akan hebatnya serangan ini, maka keduanya sambil berseru keras maju menangkis untuk menolong Pang Soan Tojin.

   "Duk...!" Sepasang lengan Giok Seng Cu yang dipukulkan tertangkis oleh ketua Bu-tong dan ketua Go-bi dan akibatnya Bu Kek Siansu dan Kian Hok Taisu terjengkang hampir roboh. Baiknya mereka telah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, kalau tidak mereka tentu akan mendenta luka atau tulang lengan mereka akan sakit dan dingin sekali, maka cepat-cepat mereka menggunakan tangan kiri untuk mengurut pangkal lengan ini membereskan jalan darah masing-masing.

   "Lihai sekali..." kata Pang Soan Tojin pucat. Baru sekarang tiga orang tokoh ini mengenal Tin-san-kang dan tahu bahwa kepandaian Giok Seng Cu masih lebih tiggi daripada mereka. Maka ketiganya cepat mengeluarkan senjata masing-masing. Pang Soan Tojin mengeluarkan sebuah pian baja, Bu Kek Siansu mengeluarkan sebatang pedang yang dipegang tangan kiri sedangkan Kian Hok Taisu mengeluarkan sepasang senjata kaitan.

   
Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha. ha, ha! Hendak mengadu senjata? Bagus. majulah!" Giok Seng Cu menantang tanpa mengeluarkan senjata.

   Tiga orang ketua partai besar itu maju menubruk dan menggerakkan senjata mereka yang lihai. Tiba-tiba berkelebat sinar keemasan dan terdengar suara keras. Tahu-tahu sebuah pian baja dan sebuah senjata kaitan terbabat putus sedangkan Bu Kek Siansu sendiri kalau tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya, tentu akan terbabat putus pula pedangnya oleh pedang Pak-kek Sin-kiam yang dengan cepat sekali telah dikeluarkan oleh Giok Seng Cu dan digerakkan sekaligus membabat senjata- senjata lawan!

   Bukan main kagetnya tiga orang kakek itu. Dalam ilmu silat, mungkin mereka tidak kalah jauh oleh Giok Seng Cu dan dengan melakukan pengeroyokan mereka tentu akan menang. Akan tetapi tanpa senjata, amat berbahaya menghadapi ketua Im-yang-bu-pai yang memiliki tenaga Tin-san-kang yang ganas itu, sedangkan dengan senjata juga payah menghadapi pedang Pak-kek Sin kiam yang ampuh sekali. Mereka berseru dan sekali berkelebat tiga orang kakek itu melarikan diri, lenyap ditelan gelap malam.

   Giok Seng Cu tertawa berkakakan lalu membetot dengan tangan Kong Ji dan pada saat itu juga ia kabur pergi meninggalkan hotel itu. Ia tidak takut akan datangnya lawan-lawannya, hanya ia merasa khawatir kalau-kalau tersusul oleh Ban-beng Sin-tong dan ular-ularnya apalagi kalau ayah bunda anak iblis itu datang!

   Suhu, Tin-san-kang dan Pak-kek Sin-kiam hebat sekali...." Kong Ji mecmuji suhunya setelah mereka pergi jauh. Giok Seng Cu menarik tangan Kong Ji dan berkata.

   "Muridku, kau sekarang menghadapi tugas berat. Kau tidak boleh ikut dengan aku, karena ada pekerjaan yang harus kau lakukan. Kau dengar tadi bahwa para tokoh kang-ouw dengan mati-matian mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Kalau mereka merampas dan memilikinya saja masih tidak apa, aku dapat mencoba merampasnya kembali. Akan tetapi celakalah kalau sampai mereka membakarnya. Karena itu, kau harus kembali ke Lam-si. Kau membawa suratku dan mulai saat ini kaulah yang mewakili aku memimpin kawan-kawan lm-yang-bu-pai."

   "Akan tetapi, Suhu, kepandaianku masih amat rendah .....

   "

   "Tidak apa-apa, bukankah ada aku di belakangmu? Selama aku masih hidup, siapa yang berani membantahmu?"

   "Biarpun demikian, sedikitnya Suhu harus menurunkan Tin-san-kang ke teecu agar teecu tidak malu untuk mewakili Suhu."

   Giok Seng Cu tersenyum.

   "Bocah tolol. Kau kira gampang saja memiliki Tin-san-kang? Kau harus melatih diri sampai bertahun-tahun. itu pun kalau kuat."

   "Tidak apa, Suhu. Biarlah teecu mempelajari kauw-koat (teori) saja dulu, perlahan-lahan teecu akan melatih diri."

   "Baiklah, baiklah. Sebentar kau akan kuajar kauw-koatnya. Sekarang dengarlah pesanku dan perhatikan baik-baik. Orang-orang kangouw berusaha mendapatkan kitab itu. Aku tidak dapat keluar karena See-thian Tok-ong tentu mencariku untuk merampas pedang ini. Maka aku akan bertapa di Lembah Maut.

   "Lembah Maut? Di manakah itu, Suhu?"

   "Lembah Maut yang kumaksudkan berada di lembah Sungai Wei-ho di barat kota Sian, di kaki Gunung Cin-leng-san. Adapun kau kembali ke Lam-si, kumpulkan kawan-kawan dan suruh mereka menyelidiki ke Luliang-san. Suruh kedua Suhengmu, Thian-te Siang tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek untuk memimpin kawan-kawan ke Luliang-san. Syukur kalau kalian dapat mencari sendiri kitab peninggalan Pak-kek Siansu, kalau sampai terdapat oleh tokoh kang-ouw, rampas saja. Kemudian setelah berhasil, bawa kitab itu kepadaku di kaki Gunung Cin-leng-san di Lembah Maut. Mengerti?"

   "Baik, Suhu. Teecu mengerti." Kong Ji lalu mengulang pesan suhunya ini dengan cermat sehingga Giok Seng Cu menjadi puas.

   "Awas, di antara semua murid lm-yang bu-pai kalau sampai berani mengkhianatiku dan tidak menjalankan perintah, aku akan datang menghancurkan kepalanya. termasuk kau, Kong Ji"

   Kong Ji berlutut.

   "Mana berani tee-cu mengkhianati Suhu? Teecu bahkan akan membela dengan selembar nyawa teecu agar cita-cita Suhu ini tercapai."

   "Bagus sekali, muridku. Memang, terus terang saja kunyatakan kepadamu bahwa apabila kitab itu sudah terdapat olehku, kelak kaulah orang yang akan mewarisi pedang dan isi kitab. Aku sudah tua dan hanya kau muridku yang akan menjadi ahli warisku dan menjagoi di dunia kang-ouw. Nah, sekarang perhatikan baik-baik Ilmu Silat Tin-san kang yang hendak kuajarkan kauw-koatnya padamu."

   Di dalam hutan itu Kong Ji mendengarkan ajaran suhunya. Otaknya memang cerdik luar biasa sehingga seluruh teori Tin-san-kang dapat dihafalkan baik baik diluar kepala dalam waktu dua hari! Kemudian gurunya bersilat memperguna Tin-san-kang, juga gerakan-gerakan untuk memudahkan latihannya, dapat dihafalkan dalam waktu sehari. Tentu saja kalau ia yang bersilat tenaga Tin-san-kang belum timbul, hal ini membutuhkan latihan lweekang yang lama.

   Gtok Seng Cu puas sekali, lalu membuat surat yang menyatakan bahwa selama ia tidak ada, maka mengangkat Ko Ji menjadi wakilnya di Im-yang-bu-pai sehingga boleh dibilang Kong Ji yang masih kecil itu diangkat menjadi ketua sementara! Setelah menerima pesanan- pesanan suhunya, Kong ji dengan hati girang lalu meninggalkan suhunya, pulang ke Lam-si.

   Thian-te Siang tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lam Tek dan yang lain-lain menyambut kedatangan Kong ji dengan gembira karena mendengar bahwa suhu mereka selamat, akan tetapi diam-diam kedua tokoh ini mendongkol juga melihat bahwa suhu mereka lebih percaya kepada Kong Ji daripada kepada mereka sehingga mengangkat anak itu menjadi wakil ketua. Akan tetapi, mereka tentu saja tidak berani membantah kehendak suhu mereka dan beramai-ramai mereka menjura tanda menghormat kepada Kong Ji. Tentu saja anak itu menjadi girang bukan main.

   "Sebelum aku menyampaikan pesan dari Suhu, lebih dulu aku ingin tahu apakah yang telah terjadi semenjak Suhu pergi," tanya Kong Ji kepada Lai Tek, dengan lagak seorang atasan bertanya kepada bawahannya.

   Lai Tek terpaksa menceritakan bahwa ada beberapa tokoh kang-ouw yang datang, akan tetapi sesuai dengan nasehat Giok Seng Cu, mereka tidak mencari permusuhan dengan orang-orang kang-ouw itu bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan penggeledahan, kemudian orang-orang kang-ouw itu pergi lagi tanpa terjadi sesuatu keributan.

   "Bagus, dengan demikian untuk sementara waktu kita aman," kata Kong Ji.

   "Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Mereka itu semua berdaya mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, dan menurut pesan Suhu, kita pun harus mencari kitab itu mendahului mereka." Anak ini lalu menceritakan semua pesanan suhunya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh para anggauta Im-yang bu pai. Kong Ji berulang-ulang menekankan ancaman Giok Seng Cu kepada mereka yang berkhianat dan tidak menurut kepadanya sehingga semua anak murid, termasuk Lai Tek, menjadi gentar dan biarpun mendongkol terhadap Kong Ji, mereka tidak berani menyatakannya berhadapan.

   "Kalau begitu biarlah aku dan Kwan Jiwi memimpin saudara-saudara kita pergi ke Luliang-san untuk mencari kitab itu," kata Lai Tek menyatakan usulnya.

   Akan tetapi Kong Ji menggeleng-geleng kepalanya.

   "Tidak Twa-suheng. Tidak demikian caranya mendapatkan kitab rahasia itu." Lai Tek dan semua orang memandang kepada anak itu dengan heran dan juga tak mengerti. Anak sakecil ini menjadikan pemimpin partai demikian besar. Ah, celaka, salah-salah samua bisa kacau-balau, pikir mereka.

   "Sute, bagaimana pendapatmu?" tanya Lai Tek. Di antara mereka semua hanya Lai Tek dan Kwa Siang saja yang berani menyebut sute kepada Kong Ji. Yang lain-lain, biarpun Kong Ji terhitung saudara muda seperguruan, menyiebutnya Siauw-pangcu (ketua kecil).

   "Begini, kita harus menyebar beberapa orang kawan dan mereka ini harus mendesas-desuskan di luaran bahwa Suhu tidak saja mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam, akan tetapi diam-diam juga telah mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu." Tiba-tiba Kwa Siang bangkit berdiri dan mengeluarkan sepasang tongkatnya:

   "Sute, kau hendak mengkhianati Suhu?" bentaknya.

   Kong Ji tersenyum dan memandang rendah.

   "Ji suheng, apakah kau hendak membantah pesan Suhu bahwa kau harus tunduk kepada perintahku? Kau ingat akan ancaman Suhu?" Kwa Siang menjadi pucat. Ia kalah gertak dan duduk kembali.

   "Akan tetapi kau.... usulmu ini...?

   "Tenang dan dengarkan baik-baik. Aku sama sekali tidak mengkhianati Suhu. Pertama, karena sesungguhnya Suhu tidak mendapatkan kitab itu, ke dua, karena selain aku, tidak ada orang lain yang mengetahui dimana tempat Suhu bersembunyi. Aku sengaja hendak menyebarkan berita ini sehingga tokoh-tokoh kangouw tidak ribut mencari kitab di atas puncak Luliang-san, akan tetapi perhatiannya terpecah dan kini mereka mencari Suhu yang tidak mereka ketahui tempatnya! Dengan akal ini, bukanlah kita akan lebih mudah mencari kitab itu di Luliang-san, tanpa ada saingannya?"

   Semua orang melongo. Benar-benar seperti siluman anak ini, pikir Lai Tek. Bagaimana seorang bocah belasan tahun mempunyai siasat yang demikian lihai? Memang tepat sekali siasat ini. Kalau semua tokoh kang-ouw, apalagi See-tin Tok-ong, ikut mencari ke Luliangan tentu pihak lm-yang-bu-pai akan menghadapi saingan hebat dan sukarlah mendapatkan kitab itu. Andaikata terdapat oleh tokoh lain lalu mereka merampas, juga hal ini bukan pekerjaan mudah, karena tokoh yang berhasil mendapatkan kitab tentulah seorang yang berkepandaian amat tinggi.

   "Kau memang benar, Sute. Baiklah dan Sute Kwa Siang menjalankan tugas menyebar berita palsu ini," katanya. Kembali Kong Ji menggelengkan kepala menyatakan tidak setuju.

   "Keliru, Twa-suheng. Kau keliru. Kalau kau dan Ji-suheng yang keluar mengabarkan berita ini, para tokoh kang-ouw pasti takkan percaya. Bahkan kau dan Ji-suheng yang menjadi tokoh-tokoh utama di Im-yang-bu-pai, akan menimbulkan kecurigaan mereka dan tentu mereka akan mengira bahwa ini hanya siasat belaka. Hal ini amat berbahaya. Lebih baik menyuruh kawan-kawan tingkat rendah sehingga para tokoh kang-ou mengira bahwa mereka itu bocor mulut.

   Kembali semua orang kagum sekali. Pantas saja Giok Seng Cu memberi kekuasaan kepada anak ini untuk memimpin Im-yang-bu-pai karena memang otaknya cerdik luar biasa. Namun, seorang di antara para murid Im-yang-bu-pai yang bernama Sio Cin, menjadi penasaran dan marah sekali. Ia tidak percaya bahwa bocah kecil ini mampu menjalankan kemudi perkumpulan mereka yang demikian besar dan berpengaruh. Tiba-tiba ia melompat berdiri dan berkata,

   "Aku Siong Cin hanya menduduki tingkat ke delapan, akan tetapi kiranya kepandaianku tidak akan kalah oleh Lui Kong Ji Sute yang masih bocah. Apakah - kita semua kaum tua bangka yang sudah kenyang makan asam garam dunia harus menuruti segala ocehan seorang bocah yang masih hijau? Hm, bagaimana kalau orang-orang kang-ouw mendengar tentang ini? Kita mesti menjadi buah tertawaan belaka"

   "Siong-suheng apakah kata-katamu ini berarti bahwa kau hendak mengingkari perintah Suhu?" tanya Kong Ji dan sepasang matanya bercahaya.

   "Sudah bertahun-tahun aku ikut Suhu dan selalu setia. Aku sudah membuktikan bahwa aku seorang Im-yang-bu-pai tulen, setia lahir batin dan siap sedia mengorbankan nyawa demi kebaikan perkumpulan kita. Akan tetapi kau ini siapakah? Baru juga setahun lebih berada disini. Kepandaian apa yang kauandalkan sehingga kau berani menerima menjadi wakil ketua Im-yang-be-pai? Bagaimana kalau ada musuh datang? Kiraku kau akan bersembunyi terlebih dulu. Ha, ha, ha!" Merah wajah Kong Ji. Ia melompat turun dari bangkunya, memandang tajam kepada Siong Cin.

   "Begitu anggapmu, ya? Siong-suheng, tahukah kau kepandaian apa yang paling hebat dari Suhu?"

   "Tentu saja aku tahu. Baru saja Sughu mendapatkan Ilmu Pukulan Tin-san-kang. Kiraku melihat saja kau pun belum pernah...!"

   "Hm, tua bangka bodoh. Kaulihat baik-baik, kenalkah kau ini...??" Setelah berkata demikian, Kong Ji menggerakkan tubuhnya yang berputar-putar sebentar di atas tumitnya. kemudian tubuhnya itu hampir berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah Siong Cin sambil mengeluarkan seru "haaaiii...!"

   Siong Cin adalah murid Giok Seng dan kepandaiannya sudah tinggi, biarpun tidak selihai Lai Tek atau Kwa Siang, namun jarang ada orang dapat menang darinya. Kini dengan mata terbelalak melihat gerakan sutenya yang kecil dan tahu-tahu ia merasa dadanya terdorong hebat sekali. Ia mengerahkan tenaga dan mencoba menerima tenaga ini, namun ia tidak kuat dan roboh terjengkang! Inilah pukulan Tin san-kang, gerakan ke tujuh. Kong Ji memang cerdik sekali!. Setelah halal akan kauw-koat (teori) Ilmu Silat Tin-san-kang, disepanjang jalan ia melatih diri terus menerus pada bagiaan ke tujuh ini, bagian yang dianggap paling mudah. Oleh karena itu, ia mendapatkan hasil dan apabila mainkan jurus ke tujuh ini, ia telah dapat mengeluarkan tenaga Tin-san-kang, walaupun tentu saja belum hebat. Namun cukup kuat untuk merobohkan seorang seperti Siong Cin.

   Bukan main kagetnya semua orang, terutama sekali Lai Tek dan Kwa Siang. Mereka sendiri belum pernah diberi pelajaran Tin-san-kang, namun mereka sudah tahu bahwa gerakan tadi benar-benar ilmu Tin-san-kang dari suhu mereka. Biarpun tenaga pukulan Kong Ji belum hebat, masih kalah jauh lweekangnya dengan mereka, namun mereka harus akui bahwa mereka tidak dapat melakukan gerakan tadi dan tidak dapat memiliki atau membangunkan tenaga Tin-san-kang.

   "Itulah Tin-sang-kang...!" Lai Tek berkata kagum.

   Siong Cm merangkak bangun. Baiknya tenaga dari Kong Ji masih belum hebat, sehingga ia hanya terdorong dan roboh terjengkang saja, tidak sampai mengalami luka di dalam dadanya. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali keringat dingin mengalir dari dahinya.

   "Maaf, Siauw-pangcu. Mataku seperti buta. Biarpun masih kecil, ternyata kau patut sekali menjadi ketua mewakili Suhu," katanya sambil duduk kembali, tidak berani berkutik lagi.

   Kong Ji tersenyum lalu duduk kembali "Masih baik aku mengetahui bahwa bukan maksudmu mengkhianati Suhu, kalau tidak, aku tadi dapat mempergunakan seluruh tenagaku dan kiranya kau tak kan hidup lagi." Kata-kata ini tentu saja bohong belaka, karena tadi ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi tak seorang pun mengetahui dan semua orang memandangnya makin kagum. Benar-benar lucu sekali, para anggauta pengurus yang rata-rata sudah berusia empat puluh tahun ke atas itu sekarang tunduk terhadap bocah berusia tiga belas tahun!

   "Nah, sekarang harap lekas-lekas bersiap-siap. Aku tugaskan Siong Cin Suheng dan empat orang kawan lain untuk menyiarkan berita bohong itu, kemudian kita menanti sampai sebulan barulah kita mencari kitab di Luliang-san. Untuk tugas ini, aku sendiri bersama Twa-suheng dan Ji-suheng akan berangkat ke Luliang-san." Kim tak ada yang berani membantah dan Siong Cin segera berangkat mengajak empat orang saudaranya.

   Sambil menanti hasil daripada siasatnya Kong Ji tidak membuang waktu secara sia-sia. Ia melatih diri dengan Ilmu Pukulan Tin-san-kang, dan tentu saja bocah yang cerdik ini melatih diri di tempat yang tersembunyi agar jangan ada lain orang dapat melihatnya. Berkat keuletan, dan ketekunannya, dalam beberapa hari saja ia telah memperoleh kemajuan yang pesat. Ia melatih ilmu pukulan ini sejurus demi sejurus, tidak meningkat kepada yang lain jurus sebelum yang sejurus itu baik betul gerakannya. Juga ia dengan rajin melatih lweekangnya agar dapat segera memiliki sinkang sehingga dapat melakukan pukulan Tin-san-kang sebaiknya.

   Kong Ji maklum akan kehebatan ilmu pukulan ini, buktinya baru saja mempelajari sejurus, dan jarak setombak lebih ia telah berhasil merobohkan Siong Cin. Padahal kalau ia bertanding silat dengan suhengnya itu, belum tentu ia dapat bertahan dua puluh jurus! Maka ia berlatih dengan amat rajin tak kenal lelah.

   Berita bohong sebagai siasat yang di sebarkan oleh Siong Cin dan kawan-kawannya, ternyata berhasil baik sekali sebagaimana diperhitungkan oleh Kong Ji. Para tokoh kang-ouw yang tadinya masih ubek-ubekan mencari di sekitar Luliangsan, kini menujukan perhatiannya kepada Giok Seng Cu. Mereka tahu bahwa ketua Im-yang-bu-pai ini tidak berada di sarangnya, maka mereka mulai mencari tempat persembunyian kakek ini. Akan tetapi siapakah yang mengira bahwa Seng Cu bersembunyi di Lembah Maut, sebuah tempat yang kabarnya menjadi tempat tinggal siluman dan iblis belaka. Jarang ada orang berani masuk ke lembah karena andaikata berhasil masuk, belum tentu dapat keluar kembali dengan tubuh masih bernyawa.

   Tempat itu menjadi sarang dari binatang buas dan ular-ular serta binatang berbisa yang lain, belum terhitung rawa-rawa beracun dan jurang-jurang dalam yang berbahaya sekali. Kurang lebih sebulan setelah berita itu tersiar luas, Kong Ji dengan gembira dan bangga mendapat berita dari penyelidiknya bahwa kini Luliang-san telah kosong ditinggalkan oleh para tokoh yang hendak mencari kitab rahasia. Ia telah bersiap-siap dengan Lai Tek dan Kwa Siang untuk segera berangkat ke bukit itu.

   Akan tetapi, pagi-pagi hari sebelum ia berangkat, terjadilah peristiwa hebat sekali. Pada pagi hari itu, seperti biasa para anggauta Im-yang-bu-pai siap sedia menjalankan tugas masing-masing. Mereka ini memang masing-masing mempunyai pekerjaan, ada yang menjadi piaw-su (pengawal barang antaran), ada yang menjadi pegawai, ada pula yang mengurus kelenteng dan sebagainya. Nama Im-yang-bu-pai sudah amat terkenal, maka untuk menjaga keselamatan harta benda dan nyawa, banyak kaum hartawan mempekerjakan anggauta Im-yang-bu-pai, biarpun dengan bayaran tinggi.

   Matahari belum kelihatan, namun sinarnya telah mengusir embun pagi. Keadaan di luar Im-yang-bu-pai masih sunyi. Bahkan jalan-jalan di kota Lam-si masih sepi. Rumah dan toko-toko masih belum membuka pintu. Dari jauh terdengar suara anjing menggonggong riuh-rendah, akan tetapi tiba-tiba suara anjing itu berhenti dan lenyap, seakan-akan leher anjing-anjing itu dicekik. Dan kalau kiranya ada orang yang datang di tempat anjing-anjing itu menggonggong, yakni pintu gapura kota, orang itu tentu akan ketakutan setengah mati melihat beberapa ekor anjing menggeletak di jalan dengan tubuh hitam seluruhnya dan sudah mati.

   Pagi hari itu memang terjadi hal yang paling aneh dan mengerikan sekali. Seorang penduduk kota yang bangun terlalu pagi, keluar dari rumah hendak mengeluarkan kuda yang kandangnya berada di belakang rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara menggeleparnya sayap burung yang keras sekali. Ketika ia menengok ke atas, ia menjadi pucat melihat seekor burung rajawali besar sekali melayang di atasnya. Yang membikin ia ketakutan hebat adalah ketika ia melihat bahwa di atas punggung burung itu ada seorang nenek tua yang duduk!

   "Ada siluman...!" la berteriak keras. Tiba-tiba burung itu menyambar turun dan sekali mengulur kuku, leher orang itu sudah kena dicengkeram oleh burung rajawali, tubuhnya dibawa terbang agak tinggi, lalu dilemparkan ke bawah. Orang itu jatuh di atas tanah dengan leher hampir putus dan kepala pecah!

   Seorang lain yang pagi-pagi menunggang kudanya hendak keluar kota setibanya di dekat pintu gapura, terkejut sekali melihat anjing-anjing kota menggeletak tak bernyawa di tengah jalan. Ia menarik kendali kudanya hendak melompati bangkai-bangkai anjing itu akan tetapi tiba-tiba kudanya berjingkrak sambil mengeluarkan ringkik ketakutan mengangkat kedua kaki depan. Tiba-tiba beberapa ekor ular meluncur cepat menggigit kuda itu yang meringkik-ringkik lalu roboh, berkelojotan lalu mati. Penunggang kuda itu terlempar dan mukanya pucat sekali. Ia melihat belasan ekor ular mengeroyok kuda itu, seakan- akan berpesta hendak menikmati daging kuda.

   Orang itu melompat bangun dan hendak lari. Pada saat itu ia melihat seorang bocah gundul memandang kepadanya dengan menyeringai. Bocah ini biar pun sikapnya aneh, tidak begitu menakutkan boleh dibilang bersih dan tampan akan tetapi seorang kakek yang berdiri belakang bocah gundul itu benar-benar membuatnya terbelalak dan tak dapat bergerak seperti patung, hanya berdiri memandang,. Kakek ini kepalanya juga gundul seperti botak, hidungnya panjang sekali, matanya lebar dan mulutnya besar, kulitnya kehitaman dan yang paling menakutkan adalah sinar matanya yang berwarna kebiruan!

   Bocah gundul itu tertawa.

   "Ayah, ada santapan pagi yang baik untuk siang-coa-ong (sepasang raja ular)." Kakek itu hanya menyeringai sehingga wajahnya menjadi makin menakutkan.

   Bocah gundul itu lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, dan ternyata bahwa yang dikeluarkan adalah dua ekor ular merah yang amat kecil. Ia menggerakkan tangan, dua ekor ular itu terbang meluncur dan tahu-tahu sudah menempel di dada penunggang kuda tadi. Orang ini menjerit merasa dadanya sakit. Ia masih sempat melihat dua ekor ular itu masuk ke dalam dadanya, melalui lubang yang entah kapan terdapat di dadanya. Orang itu merasa sakit luar biasa. Ia memegang dan membetot buntut ular akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit yang membuat semua uratnya pecah kepalanya pening, lalu jatuh dan nyawanya melayang pada saat dua ekor ular itu memperebutkan jantungnya yang masih hidup"

   Keadaan sunyi kembali. Bocah gundul itu dan kakek yang menyeramkan tadi berjalan dengan tenang menuju ke rumah besar perkumpulan Im-yang-bu-pai. Ketika mereka tiba di depan rumah itu, dari atas melayang turun seekor burung rajawali merah yang ditunggangi oleh nenek tadi. Sebelum burung tiba di tanah, nenek itu sudah meloncat ke bawah dan gerakannya bahkan lebih gesit dan ringan dan pada burung itu sendiri. Nenek ini ternyata tidak menyeramkan. Bahkan masih jelas kelihatan bahwa dahulunya tentu cantik molek. Hanya sekarang di dahi dan pipinya terdapat lekuk-lekuk dan keriput-keriput yang membuat wajah yang cantik itu menjadi aneh dan galak. Sepasang matanya seperti kunang-kunang, kecil dan bergerak selalu.

   Mereka inilah See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Negara Barat), seorang manusia iblis yang luar biasa kejamnya. Bersama isterinya yang bernama Kwan ji Nio dan puteranya yang bernama Kwan Kok Sun yang dalam hal keganasan tidak kalah oleh See than Tok-ong sendiri.

   See-thian Tok ong adalah tokoh besar dari dunia barat yang melawat ke timur dan ketika ia tiba di Tibet, dengan cepat ia menjagoi di daerah itu. Bahkan Ba Mau Hoatsu sendiri ketika menyaksikan kelihaiannya, tidak berani turun tangan dan secara pengecut sekali menyembah dan mengangkatnya menjadi tokoh pertama di Tibet! Karena Ba Mau Hoatsu memang cerdik dan pandai mengambil hati, maka begitu lama ia masih selamat, bahkan dianggap sebagai pembantu yang baik hati oleh See-thian Tok-ong. Dari Ba Mau Hoatsu inilah ia mengetahui keadaan Tionggoan (pedalaman Tiongkok) serta semua hal tentang dunia kang-ouw di Tionggoan.

   Adapun isterinya yang bernama Kwan ti Nio sebenarnya adalah seorang wanita Han. Ayah dari Kwan Ji Nio adalah seorang penjahat besar yang dimusuhi oleh pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw sehingga penjahat she Kwan ini melarikan diri bersama isterinya ke dunia barat. Di sana isterinya melahirkan anak perempuan, yakni Kwan Ji Nio yang akhirnya menjadi isteri dari See thian Tok-ong. Kwan Ji Nio memiliki ilmu silat yang amat tinggi pula biarpun tidak dapat menang dari suaminya namun dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh), suaminya masih kalah olehnya! Wanita ini sudah memiliki ilmu Tee in-ciang (Lompatan Tangga Awan) sehingga di udara dapat menggerakkan tubuh untuk mumbul lagi atau berganti arah lompatan. Ilmu ini hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli silat yang sudah tinggi sekali ginkangnya.

   Pada saat ayah bunda dan anak ini tiba di pintu pekarangan rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai, beberapa ekor ayam telah keluar dan berkokok sambil berkejar-kejaran di halaman itu. Tiba-tiba terdengar bunyi.

   "Keok! Keok! Keok" dan ayam-ayam itu diam tak bergerak lagi, menjadi makanan dua puluh ekor lebih ular-ular beracun yang berjalan mendahului majikan mereka.

   Mendengar suara ayam yang aneh ini, lima orang anggauta Im yang bu-pai memburu keluar. Mereka menjadi pucat sekali melihat ayam-ayam itu mati dikeroyok ular. Ketika mereka mengangkat kepala mereka melihat tiga orang aneh memasuki pintu pekarangan. Sebagai ahli-ahli silat tentu saja mereka tidak takut dan cepat berlari keluar untuk menegur siapa gerangan orang-orang aneh yang membawa ular-ular jahat itu.

   

Pendekar Budiman Eps 13 Pendekar Pedang Pelangi Eps 19 Pendekar Budiman Eps 3

Cari Blog Ini