Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 8


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




   Berbulan-bulan mereka mencari dan selama itu Kong Ji mulai menerima latihan-latihan ilmu silat dari See-thian Tok-ong. Raja Racun ini tertarik sekali melihat kecerdikan Kong Ji dan setelah melatih beberapa bulan, ia mendapat kenyataan bahwa bakat dalam diri anak ini bahkan lebih besar daripada puteranya sendiri. Setiap gerakan dan latihan lwee-kang dapat ditangkap dengan mudah oleh Kong Ji. Akan tetapi tentu saja See-thian Tok ong belum berani menurunkan kepandaiannya yang sejati dan hanya memberi pelajaran ilmu-ilmu silat yang tidak begitu hebat. Namun Kong Ji tetap sabar. Anak ini pandai sekali menyembunyikan lepandaian-kepandaian yang pernah dipelajarinya, bahkan suhunya sendiri tidak tahu bahwa ia kini telah mulai dapat menjalankan Ilmu Pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu! Dalam pandangan See-thian Tok-ong, Kong Ji masih dangkal Ilmu pengetahuannya dalam ilmu silat, padahal anak ini diam-diam telah memiliki ilmu-ilmu silat, dari Kwan-im-pai dari Hoa-san-pai, dan juga dari Giok Seng Cu.

   Pelajaran lweekang yang agak dalam telah mulai diturunkan oleh See-thian Tok-ong kepada Kong Ji setelah hampir setahun mereka tinggal di puncak Jeng in-thia (Ruang Awan Hijau). Lweekang ini berbeda cara melatihnya dengan lweekang di Tiong-on karena untuk siulian (bersamadhi), Kong Ji harus berdiri dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Mula-mula hal ini amat sukar. Baru sebentar saja kepalanya terasa pening dan darah turun ke bawah membuat mukanya merah sekali. Juga ia tak dapat tahan lama membiarlan kakinya lurus ke atas, sehingga ia harus mencari bantuan batu karang untuk menyangga kedua kakinya. Namun berkat latihan yang amat tekun, beberapa bulan kemudian ia telah dapat berdiri berjam-jam dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kemudian ia diberi pelajaran melakukan gerakan kaki tangan dengan keadaan tubuh berjungkir balik, yakni kepala di bawah dan kaki di atas. Ini adalah gerakan-gerakan untuk melatih tenaga dalam tubuh dan untuk memperkuat lweekangnya.

   Semenjak menerima pelajaran itu, setiap pagi, tanpa mengenaI lelah, Kong Ji terlihat berlatih seorang diri di dekat jurang di Jeng-in-thia, dengan kepala di bawah, kedua kali di atas, kedua lengan dibentangkan kemudian ia bergerak-gerak dan berputar-putar cepat sekali! Hatinya penuh cita-cita yakni untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan. Ia tidak tahu bahwa tempat di mana ia berlatih, kadang-kadang seorang diri dan kadang-kadang berdua dengan Kok Sun, dahulu adalah tempat berlatih Wan Sin Hong di bawah pimpinan Luliang Sam lojin. Juga, ia tidak pernah mengimpi bahwa pada saat ia berlatih di tempat itu, tak jauh dari situ, yakni di dalam jurang, kurang lebih seratus tombak dalamnya dari tepi jurang, seorang anak laki-laki lain tengah berlatih ilmu yang dilatihnya, dan anak itu bukan lain adalah Wan Sin Hong yang sedang berlatih ilmu silat menurut petunjuk kitab peninggalan Pak Kek Siansu!

   Tiga tahun telah berlalu amat cepatnya. Selama itu, See-thian Tok-ong dan anak isterinya tinggal di puncak Luliang san dan mereka tiada henti dan bosannya mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu yang tanpa hasil. Mereka mulai putus asa dan sikap See-thian Tok-ong terhadap Kong Ji mulai berubah, kini seringkali ia mengeluarkan kata-kata kasar.

   Namun kakek ini menepati janjinya. Ia melatih Kong Ji dengan sungguh-sungguh sehingga anak ini mewarisi ilmu silat yang amat tinggi. Kong Ji tidak menyia-nyiakan waktunya, siang malam tiada bosannya ia melatih diri sehingga biar lambat akan tetapi tentu ia mulai mengejar kepandaian Kwan Kok Sun si Bocah Gundul yang kini telah menjadi orang pemuda, namun tetap saja kepalanya selalu digunduli. Kong Ji sendiri pun sudah menjadi seorang pemuda tanggung yang tampan dan bertubuh jangkung. Memang kalau dilihat begitu saja agaknya Kong Ji masih kalah oleh Kok Sun, akan tetapi andaikata mereka bertempur, sudah dapat dipastikan bahwa Kok Sun akan kalah. Hal ini adalah karena di samping pelajaran ilmu silat yang ia dapat dari See-thian Tok-ong, juga Kong Ji diam-diam telah menyempurnakan ilmu-ilmunya yang lain yang didapat dari ajaran mendiang Liang Gi Tojin dan Giok Seng Cu, terutama sekali ilmu pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu. Akan tetapi dengan amat cerdiknya, ilmu ini ia simpan rapat-rapat dan keluarga itu tidak mengetahuinya.

   Pada suatu malam Kong Ji mendengar percakapan antara See-thian Tok-ong dan isterinya, percakapan yang amat mengejutkan hatinya.

   "Kita membuang waktu percuma saja, dasar kau yang mudah ditipu oleh anak setan itu!" kata Kwan Ji Nio kepada suaminya.

   "Ahh, kau tahu apa?" jawab See-thian Tok-ong sambil tertawa.

   "Kalau ada dia, bagaimana kita bisa mendapatkan pedang pusaka dari Pak Kek Siansu."

   "Untuk apa pedang pusaka itu? Yang penting adalah kitab itu, ternyata tidak ada di sini." Kemudian Kwan JI Nio menyambung dengan suara perlahan.

   "bocah setan itu kulihat amat maju. Kelak kalau hatinya membalik, kitalah yang akan bertambah seorang musuh yang membahayakan."

   "Ha, ha, isteriku, kau terlalu kecil hati. Apa sih bahayanya bocah itu? Tidak bisa didapatkannya kitab sungguh-sungguh bukan salahnya. Dan aku sudah berjanji menerimanya sebagai murid selama lima
(Lanjut ke Jilid 08)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
tahun. Masih setahun lebih aku harus melatihnya, kemudian, andaikata kau hendak membunuhnya, apa sih sukarnya. Biar dia belajar dua atau tiga tahun lagi, menghadapi Kok Sun saja belum tentu menang. Apa yang perlu kita takuti?"

   Percakapan itu terhenti dan Kong Ji menjauhkan diri. Ia duduk termenung di pinggir jurang tempat ia berlatih silat. Celaka, pikirnya. Apa artinya aku belajar setahun dua tahun lagi kalau akhirnya aku akan mereka bunuh juga? "Ah, kalau saja aku bisa mempelajan ilmu dari kitab peninggalan Pak Kek Siasu, aku tidak akan takut menghadapi mereka!" Sudah lama bocah yang cerdik ini sering kali memandang ke dalam jurang dan timbul pikirannya bahwa besar sekali kemungkinan kitab rahasia itu disembunyikan di dasar jurang. Bukankah pedang itu pun menurut Kok Sun, didapatkan oleh kim-tiauw di dasar jurang?

   Ia sengaja tidak menyatakan dugaannya ini kepada See-thian Tok-ong, karena memang ia tidak ingin keluarga iblis itu mendapatkan kitab yang ia sendiri ingin memilikinya. Akan tetapi setelah mendengar percakapan antara suami isteri itu, ia mendapatkan akal. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri untuk menarik simpati dan kasih sayang mereka, adalah membantu mereka mendapatkan kitab, sehingga dengan jalan ini ia dapat membuktikan kesetiaan dan kebaktiannya.

   "Suhu," katanya pada keesokan harinya kepada See-thian Tok-ong.

   "bagaimana dengan hasilnya mencari kitab rahasia itu?" Kening kakek itu berkerut dan sepasang matanya kelihatan marah,

   "Perlu apa kau bertanya-tanya? Membantu pun tidak becus!" tegurnya marah.

   "Maaf, Suhu. Sudahkah dicari di dasar jurang itu?"

   "Kau ngelindur! Jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu, bagaimana bisa periksa?"

   "Teecu sanggup menuruni jurang itu!" See-thian Tok-ong tertegun, demikian juga Kwan Ji Nio dan Kok Sun.

   "Jangan kau main-main, kupatahkan batang lehermu nanti!" bentak Kwan Ji Nio.

   "Subo, mana teecu berani main-main Dulu yang mendapatkan Pak-kek Sin kiam adalah kim-tiauw, kalau sekarang teecu naik di punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang turun ke jurang apakah sukarnya? Siapa tahu kalau-kalau di dalam jurang itulah tempat disimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu."

   "Bagus, bagus! Kau betul sekali, muridku yang baik!" kata See-thian Tok-ong dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepada isterinya seakan-akan berkata bangga.

   "Apa kataku? Muridku ini bukannya seorang yang tidak ada gunanya!" Kim-tiauw dipanggil dengan siutan keras. Burung yang sedang beterbangan di atas itu meluncur turun dan hinggap di atas tanah, di depan See-thian Tok-ong.

   "Kim tiauw, kaubawa Kong Ji ke dasar jurang, ke tempat di mana dahulu kau mendapatkan pedang ini!" kata See-thian Tok-ong sambil memperlihatkan Pak-kek Sin-kiam kepada burung itu.

   Adapun Kong Ji sudah meloncat ke atas punggung kim-tiauw dan berkata.

   "Kim-tiauw yang baik, hati-hatilah kau terbang ke dalam jurang." Anak ini kelihatannya gembira sekali, memang sebenarnya dia gembira karena ia memang ingin sekali mendapatkan kitab yang dicari-cari oleh semua orang kang-ouw itu.

   Burung rajawali emas itu mengeluarkan pekik nyaring, lalu membuka sayap dan terbang tinggi. Setelah berputar beberapa kali di atas jurang, ia lalu menukik turun dengan cepatnya. Kong Ji hampir tak berani membuka matanya saking ngeri melihat betapa burung itu membawanya meluncur turun ke dalam jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu.

   Akan tetapi, ia segera berseru girang dan heran ketika burung itu tiba di atas sebuah lereng Bukit Luliang-san yang indah sekali pemandangannya. Burung itu turun dan Kong Ji juga meloncat turun dari punggungnya sambil memandang ke kanan kiri, mengagumi keindahan tamasya alam di sekitar itu.

   "Kim-tiauw, di manakah kau dahulu mendapatkan pedang?" tanyanya berulang ulang. Burung itu tentu saja tidak dapat menjawab, akan tetapi agaknya ia mengerti akan maksud pertanyaan Kong Ji.

   Ia meloncat-loncat dan tiba di depan gunung karang di mana terdapat sebuah batu besar sekali tersandar pada lamping batu karang yang menjadi gunung itu. Ia berbunyi berkali-kali dan kelihatan bingung. Memang, dahulu ia merampas pedang dari tangan anak kecil yang keluar dari gua, akan tetapi sekarang di situ tidak kelihatan ada gua lagi.

   Kong Ji amat cerdik. Agaknya burung ini memberi tanda bahwa pedang didapatkan di batu ini, pikirnya. Ia lalu mendorong batu besar itu akan tetapi berat batu itu ada seribu kati kiranya maka biarpun ia mendorong kuat-kuat, batu itu tidak bergeming. Kim-tiauw itu mengangguk-angguk dan berbunyi terus, maka makin curigalah Kong Ji.

   "Mundurlah, Kim-tiauw!" bentaknya. Burung itu sudah pandai mendengar perintah dan suara Kong Ji sudah dikenal olehnya, maka ia cepat meloncat dan terbang menjauhi tempat itu,

   Kong Ji berjumpalitan, berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, berlatih sebentar mengumpulkan lweekangnya. Sekarang, setelah jauh dari See-thian Tok-ong dan anak isterinya barulah ia mendapatkan kesempatan untuk mencoba kepandaian, yakni Tin sa kang yang ia pelajari dari Giok Seng Cu.

   Setelah tulang-tulang berbunyi berkerotokan. Kong Ji meloncat berdiri seperti biasa, merendahkan tubuh, mengerahkan seluruh tenaga lweekang yang ada di tubuhnya, lalu mendorong batu yang bersandar pada gunung karang itu sambil mengeluarkan Ilmu Tin-san-kang.

   Dan dia berhasil! Batu itu bergoyang- goyang, namun tidak dapat menggelinding pergi. Kong Ji merasa yakin bahwa di balik itu atau bawahnya terdapat rahasia yang akan membawariya ke tempat penyimpanan kitab peninggaian Pak Kek Siansu. Ia berhenti untuk bernapas dan beristirahat.

   "Masa aku kalah oleh batu ini?" pikirnya. Dengan sekuat tenaga, kembali ia mendorong batu itu, melakukan gerakan mendorong Ilmu Tin-san-kang jurus terakhir yang paling besar tenaganya yakni dengan kedua kaki menjejak tanah dan kedua tangannya mendorong ke depan, kepala tunduk dan tubuh hampir jongkok. Kini ia berhasil! Batu itu bergeser sedikit dan alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa di belakang batu itu terdapat sebuah gua yang gelap! Biarpun batu penutup gua itu hanya tergeser sedikit, akan tetapi cukup lebar untuk dia menyelinap masuk.

   Tanpa ragu-ragu dan tidak kenal takut, Kong Ji masuk ke dalam gua. Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, dan alangkah girangnya ketika ia melihat di dalam ruangan itu ada batu-batu licin seperti tempat duduk, dan sudut ruangan terdapat sebuah peti! Berdebarlah hatinya. Tak salah lagi, inilah tempat rahasia itu, pikirnya. Ia memandang sekeliling dengan siap sedia, kalau-kalau ada orang di dalam gua itu, akan tetapi keadaannya sunyi sekali. Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi sehingga kalau di dekat situ terdapat orang tentu ia akan dapat mendengar jalan pernapasan orang itu.

   Dengan hati kebat-kebit ia menghampiri peti dan membuka tutupnya. Tutup peti itu berat sekali, akan tetapi dengan lweekangnya yang sudah tinggi, ia berhasil membukanya tanpa banyak sukar. Hampir saja ia berteriak girang ketika ia melihat sebuah kitab tebal di dalam peti" itu. Kegirangannya meluap-luap karena ia dapat membaca huruf-huruf sampul buku yang ditulis besar-besar dengan jelas dan berbunyi : PAK KEK SIN CLANG HOAT PIT KIP (Kitab Pelajaran Ilmu Silat Pak-kek-sin-ciang).

   Akan tetapi ia merasa menyesal sekali ketika membuka kitab itu, karena ia tidak dapat membacanya. Hanya beberapa buah huruf saja dapat dibacanya karena sesungguhnya Kong Ji sudah banyak lupa akan huruf-huruf yang belum lama dipelajari dan tidak pernah ia pergunakan.

   Ia termenung sebentar, kemudian mengembalikan kitab di dalam peti, menutupnya kembali, kemudian ia memeriksa keadaan di dalam gua. Setelah merasa yakin bahwa ia tidak mendapatkan apa-apa lagi, ia lalu keluar dari dalam gua. Dari luar gua ia mempergunakan kepandaian dan tenaganya untuk menggeser kembali batu itu menutupi gua dan sama kali tidak kelihatan dari luar. Dipandang dari luar batu itu tidak menimbulkan kecurigaan, seperti batu besar biasa yang terletak di dekat batu karang seperti gunung itu.

   Dengan kakinya Kong Ji meratakan tanah di mana jejak kakinya nampak, kemudian ia memanggil kim-tiauw dan melompat ke atas punggungnya.

   "Kim-tiauw, mari kita naik lagi ke tempat Suhu," katanya. Kim-tiauw terbang ke atas dan di -sepanjang penerbangan naik Kong Ji memperhatikan pinggiran jurang, karena sudah mengambil keputusan untuk kelak kembali seorang diri di dalam jurang ini dan mempelajari isi kitab itu setelah ia pandai membaca. Setelah tiba di depan See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang menanti sampai kehilangan sabar, Kong Ji berkata.

   "Tidak ada apa-apa, Suhu. Hanya lereng bukit kosong, penuh batu karang besar-besar. Kim-tiauw juga kelihatan bingung, agaknya pedang Pak-kek Sin-kiam itu ia pungut begitu saja dari dasar jurang yang ternyata merupakan lereng juga itu. Kitabnya kalau memang ada tentu tidak disimpan di tempat seperti itu."

   See-thian Tok-ong nampak kecewa sekali. Kwan Ji Nio menyumpah-nyumpah lalu berkata kepada suaminya,

   "Kalau kitab itu memang tidak ada mengapa susah-susah dipikirkan? Dengan kepandaian yang ada pada kita, siapakah yang mampu mengalahkan kita?"

   Tiba-tiba Kok Sun berkata.

   "Ayah siapa tahu kalau Kong Ji kurang teliti mencarinya. Biar aku sendiri yang melihat keadaan di bawah sana bersama kim-tiauw."

   Kong Ji terkejut sekali akan tetapi dengan cerdiknya ia dapat menekan perasaan hatinya sehingga mukanya tidak menunjukkan sesuatu, bahkan ia berkata dengan lagak mendongkol.

   "Kalau Kok Sun Twako tidak percaya kepadaku, baiklah kaulihat sendiri!"

   Kok Sun hanya tertawa dan cepat melompat ke punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang masuk kedalam jurang. Hati Kong Ji berdebar. Celaka, pikirnya, kalau sampai setan gundul ini mendapatkan kitab, tidak saja kitab itu akan terjatuh ke tangan See-thian Tok-ong, bahkan dia sendiri tentu akan dibunuh oleh Raja Racun.

   "Kau bilang tidak menemukan apa-apa di bawah sana? Betulkah itu? Hm, kau akan melihat sendiri akibatnya kalau kau membohongi kami." Kwan Ji Nio berkata sambil tersenyum dan memandang kepada Kong Ji. Nyonya ini merasa benci kepada Kong Ji, benci yang ditimbulkan oleh iri hati, karena bocah ini lebih tampan daripada puteranya sendiri.

   "Subo, memang teecu tidak mendapatkan sesuatu. Kalau teecu mendapat sesuatu di bawah sana, tentu sudah teecu bawa naik. Andaikata Kok Sun Twako mendapat kitab itu di bawah sana, itulah karena Twako memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada teecu," jawab Kong Ji merendah. Ia pikir bahwa jawaban ini mungkin akan menolongnya terbebas daripada kecurigaan andaikata benar-benar Kok Sun mendapatkan kitab rahasia itu.

   Di dalam hati Kong Ji timbul ketegangan luar biasa selama menanti munculnya kim-tiauw dan Kok Sun. Ia gelisah sekali, akan tetapi diam-diam ia berpikir, takkan mungkin Kok Sun kuat mendorong batu besar itu. Ia tahu bahwa tenaga lweekang dari Si Gundul itu sudah kuat sekali, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan tenaganya sendiri. Tadi pun kalau tidak mengerahkan Tin-san-kang takkan mungkin ia dapat menggeser batu. Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lega. Tak lama kemudian terdengar suara kim tiauw dan muncullah burung besar itu. Kok Sun duduk di atas pungungnya dan dari muka Si Gundul ini dapat diduga bahwa ia pun gagal dalam usahanya mencari kitab.

   "Benar, Kong Ji, di sana tidak apa-apa melainkan batu-batu besar dan batu karang," kata Kok Sun setelah melompat turun.

   Kong Ji tanpa disadarinya tersenyum mengejek dan merasa girang sekali, hanya dia masih khawatir kalau-kalau See-thian Tok-ong sendirilah yang mencoba karena Raja Racun itu pasti dapat meggeser batu yang menutupi gua di mana tersimpan kitab itu. Tiba-tiba Kwan Ji Nio menyambar memegang pundaknya dengan kuat sekali. Kong Ji terkejut dan memandang.

   "Bocah setan, mengapa kau tersenyum sindir melihat kegagalan anakku? Kau senyembunyikan rahasia apakah? Hayo mengaku!"

   Kong Ji terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nenek ini demikian cerdik dan demikian tajam pandangan matanya. Kalau ia tidak dapat memberikan alasan, tentu mereka akan menjadi curiga dan akan memaksanya mengaku akan rahasia hatinya.

   "Maaf...," ia sengaja berkata gagap.

   "teecu... teecu tadi merasa penasaran karena Kok Sun Twako tidak percaya kepada teecu dan pergi memeriksa sendiri. Sekarang melihat Twako tidak mendapatkan apa-apa, tanpa disengaja teecu tersenyum, mohon Subo sudi memaafkan."

   "Kau anak setan, kau sekarang saja sudah berani menghina anakku, apalagi kelak kalau sudah pandai. Kok Sun, hayo beri hajaran kepadanya yang sudah berani mentertawakanmu!" kata nyonya tua itu dengan marah.

   See-thian Tok-ong diam saja, bahkan membuang muka ketika Kong Ji memandang kepadanya untuk minta bantuan. Hati Kong Ji mulai gelisah. Setan tua ini karena sekarang melihat aku tak dapat membantunya mendapatkan kitab, tak mau perduli lagi kepadaku. Ia memandang kepada Kok Sun. Si Gundul ini hanya tersenyum saja dan memandang juga kepadanya dengan mata menyelidik.

   "Kong Ji kau memang kurang ajar kepadaku. Akan tetapi aku sebenarnya takkan melakukan sesuatu. Hanya karena Ibu yang minta maka terpaksa aku harus mentaatinya. Bangunlah, dan mari kita berlatih sebentar!"

   Kong Ji tidak mengerti akan maksud Kok Sun. Biasanya Si Gundul ini amat baik terhadapnya dan ia pun sudah merasa yakin bahwa ia telah berhasil menarik hati Kok Sun dan mendapatkan kasih sayangnya sebagai saudara. Tiba-tiba mata Kok Sun berkejap. Kong Ji memang cerdik, maka tahulah ia akan maksud Kok Sun. Si Gundul ini mengajak ia mengadu kepandaian untuk menghilangkan kemarahan hati ibunya dan kalau Kong Ji sudah terkalahkan olehnya, agaknya kemarahan ibunya akan berkurang terhadap Kong Ji. Memang hal ini perlu sekali karena kalau kemarahan ibunya tidak dipadamkan, ada kemungkinan Kong Ji akan dibunuh pada saat itu juga.

   "Baiklah, Twako, kalau kau hendak memberi hukuman padaku, silakan," kata Kong Ji sambil melompat berdiri.

   "Kong Ji kaulawan dia. Tidak boleh puteraku memukul lawan tanpa lawannya itu membalas," tiba-tiba See-thian Tok-ong berkata. Kakek ini biarpun tentu saja membela putera sendiri, namun ia merasa tersinggung kehormatannya kalau melihat Kong Ji dipukul tanpa memperlihatkan perlawanan. Setidaknya anak ini pernah belajar kepadanya dan sekaranglah waktunya untuk menguji sampai di mana hasil pelajaran itu. Memang aneh watak orang seperti See-thian Tok-ong. Ia tidak akan peduli andaikata isterinya membunuh Kong Ji, ia tidak ingat sama sekali tentang nasib anak ini. Akan tetapi ia ingin melihat hasil daripada ajarannya dan dapat bangga karena hasil yang baik.

   "Nah, Kong Ji, Ayah sudah mengijinkan kita mengadu kepandaian, hitung-hitung latihan!" kata Kok Sun gembira, memang Si Gundul ini tidak mempunyai maksud buruk terhadap Kong Ji, hanya ingin mengalahkan dalam pertempuran agar ibunya puas.

   Terpaksa Kong Ji bersiap sedia menanti serangan Kok Sun. Serangan tiba ketika Kok Sun berseru keras dan memukul dengan tangannya yang kecil tetapi kuat. Kong Ji cepat mengelak dan membalas serangan lawan. Bertempurlah dua orang pemuda tanggung ini dengan seru dan hebatnya. Masing-masing mengeluarkan tipu-tipu dan gerak silat yang mereka pelajari dari See-thian Tok-ong. Kakek ini berdiri tegak menonton dan mulutnya tersenyum, kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk. Dan sambaran angin pukulan-pukulan kedua orang pemuda itu, tahulah ia bahwa kepandaian mereka sudah amat maju dan mengagumkan. Setiap gerakan tidak ada yang salah. Akan tetapi diam-diam ia terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa Kong Ji yang secara terpaksa menjadi muridnya itu, benar-benar hebat sekali. Gerakannya tenang, tetap, dan penuh tenaga. Tipu-tipunya amat licin dan cerdik sehingga kalau saja Kok Sun tidak mewarisi kepandaian ginkang (ilmu meringankan tubuh) dari ibunya, tentu sudah terkena tipu dalam pertempuran itu.

   Memang Kong Ji dalam pertempuran ini tidak mau mengalah. Inilah penyakitnya. Kalau saja ia mengalah dan mandah dipukul dan dikalahkan dalam pertempuran ini, agaknya kemarahan Kwan Ji Nio akan padam dan ia akan selamat. Akan tetapi, selain cerdik sekali, Kong Ji mempunyai kelemahan, yakni tak mau menyerah kalah terhadap siapapun juga. Biasanya, di dalam menyerah ia menyembunyikan siasat yang membuat ia menarik keuntungan besar, yakni yang disebut siasat mengalah untuk menang. Akan tetapi menghadapi Kok Sun ia lupa akan siasat ini. Darah mudanya membuat ia tidak mau kalah begitu saja terhadap Kok Sun. Nafsunya untuk menjadi jagoan dan menangkan semua orang, menguasai seluruh tubuhnya. Ia bertempur dengan hati-hati dan penuh semangat. Hanya kecerdikan otaknya saja yang menahannya sehingga ia tidak mempergunakan Tin-san-kang terhadap Kok Sun melainkan mainkan ilmu silat yang ia pelajari dari See-thian Tok-ong.

   Kwan Kok Sun merasa penasaran sekali. Kong Ji baru paling lama, empat tahun belajar silat dari ayahnya, sedangkan ia digembleng sejak kecil. Bagaimana sampai lima puluh jurus belum juga ia dapat mengalahkan Kong Ji? Tentu saja ia tidak tahu bahwa sebelum belajar kepada See-thian Tok-ong, Kong Ji sudah menerima latihan sejak kecil dari ayah bundanva, kemudian menerima latihan Liang Gi Tojin dan yang terakhir dari Giok Seng Cu.

   Kok Sun mulai marah. Beberapa kali ia mengejapkan mata kepada Kong Ji akan tetapi Kong Ji agaknya tidak mengerti dan selalu menghadapi serangannya dengan sungguh-sungguh. Padahal Kok Sun hanya main-main saja dan ingin mengalahkan Kong Ji dengan menolongnya. Melihat bahwa sudah terang Kong Ji tidak mau mengalah, timbul kemarahan di dalam hati pemuda gundul ini.

   Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerang dengan sungguh-sungguh. Kagetlah Kong Ji karena kini sambaran angin pukulan Kok Sun amat berbahaya ditujukan kepada anggauta tubuhnya yang lemah dalam pukulan-pukulan maut. Tadinya, biarpun ia juga bersungguh-sungguh tentu saja tidak bermaksud bertempur sampai dapat membinasakan lawan, cukup kalau ada yang kalah saja. Akan tapi sekarang Kok Sun bertempur untuk membunuhnya. Perubahan gerakan Kok Sun int tentu saja membuat ia terdesak.

   Kok Sun mendesak terus dan pada suatu saat, pemuda gundul ini melakukan pukulan dengan kedua tangan, setelah tendangan berantai yang ia lakukan dapat ditangkis oleh Kong Ji. Pukulan kedua tangan ini amat cepat, kuat dan ganas sehingga tidak mungkin dapat ditangkis lagi oleh Kong Ji. Pukulan ini mengarah dada dan kalau ia sampai terkena pukulan ini, ia tentu akan tewas atau sedikitnya akan menderita luka di dalam tubuh yang amat berbahaya.

   Dalam keadaan yang amat terdesak itu, Kong Ji tidak mempunyai daya lain kecuali mempergunakan Tin-san-kang dan menangkis pukulan tadi. Dua pasang telapak tangan bertemu amat kerasnya dan tubuh Kok Sun terjengkang ke belakang. Begitu ia melompat bangun, darah segar keluar dari mulut Kwan Kok Sun!

   "Jahanam, kau telah melukai anakku!" bentak Kwan Ji Nio dan cepat ia menyerang dengan sebuah totokan ke arah kepala Kong Ji. Kali ini Kong Ji tidak dapat berpura-pura lagi, untuk melinclungi tubuhnya, kembali ia mempergunakan Tin-san-kang memukul ke arah nyonya tua itu. Baiknya kepandaian Kwan Ji Nio sudah amat tinggi sehingga cepat sekali ia dapat menghindarkan diri, akan tetapi diam-diam ia terkejut sekali karena pukulan Kong Ji tadi benar-benar berbahaya sehingga ia masih dapat merasai sambaran angin yang luar biasa ketika mengelak.

   "Dari mana kau mempelajari pukulan itu?" See-thian Tok-ong berseru dan sekali ia bergerak, ia telah berhasil menotok pundak Kong Ji sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia roboh duduk tanpa berdaya lagi.

   "Teecu mendapatkan pelajaran dari Suhu Giok Seng Cu," katanya perlahan.

   "Celaka dia memperdayai!" kata Kwat Ji Nio.

   "Dengan kepandaian yang ia dapat dan sana-sini, ia kelak merupakan orang yang berbahaya bagi kita. Baik bikin mampus saja bocah ini!"

   See-thian Tok-ong merasa setuju dengan maksud isterinya. ia pun tadi terkejut sekali. Ternyata bahwa kepandaian Kong Ji sudah demikian tangguhnya sehingga bocah ini dapat menghadapi isterinya dengan Tin-san-kang sehingga hampir saja istennya roboh pula. Ia tidak berkata apa-apa hanya menghampin puteranya dan menotok dada puteranya di bagian tai-kong-hiat untuk menyembuhkan luka bekas akibat benturan tangan Kong Ji yang mengandung tenaga Tin-san-kang.

   "Tahan dulu, Ibu!" Kok Sun tiba-tiba berseru ketika melihat ibunya mengangkat tangan hendak membinasakan Kong Ji.

   "Aku yang ia hina, aku pula yang berhak membunuhnya. Biar ia dijadikan makanan untuk ang--coa (ular merah)." Sambil berkata demikian, Kok Sun merogoh saku baju mengeluarkan sepasang ular merah yang membelit-belit di antara jari tangannya.

   Kong Ji maklum bahwa nyawanya takkan tertolong lagi, akan tetapi ia memandang dengan berani kepada Kok Sun. Hampir saja ia membuka mulut dan membuka rahasia tentang kitab yang berada di dalam gua di dasar jurang, Akan tetapi ia menahan mulutnya. Apa gunanya? Ia telah yakin bahwa biarpun ia memberi kitab itu kepada See-thian Tok-ong, harapannya sedikit sekali baginya untuk dapat membebaskan diri dari mereka itu. Akhirnya ia pun akan dibunuh juga dan kalau sampai terjadi demikian dia yang rugi besar.

   "Kwan Kok Sun, kau sudah kalah olehku, sekarang hendak membunuh secara curang. Baik, lepaskan ang-coa itu, aku tidak takut mati. Aku mati sebagai seorang gagah, akan tetapi kau, kecuranganmu ini akan membikin busuk namamu selama kau hidup!"

   Kok Sun menjadi merah mukanya. Dengan gemas ia lalu melepaskan ular-ularnya ke arah Kong Ji yang memandang datangnya dua ekor ular merah terbang itu dengan mata terbuka lebar. Nasib Kong Ji sudah tak dapat diulur lagi agaknya"

   Akan tetapi, pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu seorang anak perempuan kecil dengan sebatang ranting bambu di tangan telah berdiri di dekat Kong Ji. Dengan dua kali menggerakkan ranting bambu, ia dapat memukul sepasang ular merah itu. Dua ekor ular itu terpelanting dan tak bergerak lag" karena kepala mereka telah remuk Hanya ekor mereka yang bergerak-gerak lemah dan menggeliat-geliat sebelum nyawa mereka meninggalkan tubuh.

   Semua orang, termasuk Kong Ji terbelalak memandang ke arah anak perempuan itu. Dia adalah seorang anak perempuan berusia paling banyak sepuluh tahun, rambutnya diikat dengan pita dan dibagi dua sehingga rambut yang panjang itu tergantung di atas pundak, yang satu di belakang yang satu di depan. Mukanya mungil dan lucu, mulutnya selalu tersenyum akan tetapi sepasang matanya amat tajam. Bajunya berwarna merah dan pakaiannya longgar sekali dengan baju lebar, akan tetapi tidak mengganggu gerakannya yang amat lincah. Gadis cilik itu memandang kepada dua bangkai ular, lalu dengan muka memperlihatkan kejijikan, ia membuang ranting itu jauh-jauh.

   "Siauw Suhu, kau benar-benar curang dan betul kata Saudara ini bahwa namamu akan membusuk sepanjang masa kalau tadi kau jadi membunuhnya!" katanya kepada Kok Sun. Dan sebutannya terhadap Kok Sun, ia mengira bahwa Kok Sun yang berkepala gundul adalah seorang hwesio cilik.

   "Kau siluman cilik dari manakah berani mencampuri urusanku?" bentak Kok Sun dengan marah sekali melihat sepasang ular yang disayanginya telah mampus. Sikapnya seperti hendak menerjang gadis cilik itu.

   "Hm, kau kok galak amat? Tentu kau hwesio jahat!" kata anak perempuan itu sambil tersenyum mengejek.

   "Kalah menang dalam pertempuran bukan hal aneh akan tetapi membunuh lawan dengan cara keji seperti yang akan kaulakukan tadi siapakah yang tidak penasaran hatinya? Ular-ular itu busuk dan jahat akan tetapi yang melepasnya lebih busuk dan jahat lagi."

   "Siluman bermulut kotor, kau minta dihancurkan kepalamu!" Kok Sun membentak sambil memukul.

   Akan tetapi, sekali kedua kakinya digerakkan, anak perempuan itu telah lompat ke belakang jauh sekali, gerakannya gesit seperti seekor burung walet saja sehingga Kok Sun menjadi melongo, bahkan Kwan Ji Nio yang memiliki gin-kang tinggi tak terasa mengeluarkan suara pujian.

   "Kaukira aku takut padamu" Aku hanya merasa jijik beradu tangan dengan kau manusia busuk dan jahat!" gadis cilik itu melakukan gerakan seperti orang menari, akan tetapi dalam pandangan mata See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio, gadis itu bukannya menari, melainkan melakukan ilmu silat yang luar biasa sekali dan telah siap menghadapi lawannya.

   "Kok Sun tahan dulu...!" kata See thian Tok-ong kepada puteranya. Puteranya itu telah terluka oleh Tin-san-kang dari Kong Ji, dan anak perempuan agaknya bukan bocah sembarangan, maka ia khawatir kalau Kok Sun akan kalah. Juga ia tertarik sekalI kepada bocah ini.

   "Anak, siapakah kau? Dan dengan siapa kau datang?" tanyanya. Sebelum anak itu menjawab, dari jauh terdengar suara keras.

   "Hui Lian, kautunggu kami...!`

   Baru saja suara itu lenyap gemanya tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan di situ telah berdiri sepasang suami isteri setengah tua yang amat gagah. Yang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan wajahnya tampan sikapnya gagah sekali, biarpun nampak kehalusan budi dari gerak-geriknya yang halus. Pakaiannya sederhana, ditutup oleh baju luar yang lebar, yang aneh sekali sedikit baju dalamnya yang kelihatan di dekat leher, berwarna dan berkembang-kembang seperti baju wanita! Adapun yang wanita juga amat gagah sikapnya, wajahnya cantik manis dan lemah lembut, akan tetapi bibirnya yang bentuknya indah itu membayangkan kekerasan hati. Di punggungnya kelihatan gagang pedang dengan ronce-ronce berwarna merah.

   Sepasang suami isteri ini, begitu tiba di tempat itu, lalu mcnyapu keadaan di situ dengan pandang mata mereka. Laki-laki gagah berbaju kembang itu memandang tajam kepada See-thian Tok-ong. Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun, kemudian matanya bercahaya seperti berapi. Ia melangkah malu menghampiri See-thian Tok-ong dan berkata, suaranya lemah lembut akan tetapi matanya berkilat.

   "See-thian Tok-ong, kiranya kau dan anak isterimu berada di puncak Luliang san. Tentu kau dapat menceritakan kepadaku siapa orangnya yang telah menewaskan ketiga Luliang Sam-lojin?"

   See-thian Tok-ong terkejut. Bagaimana orang ini dapat mengenalnya begitu bertemu muka? Ia selamanya belum pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi melihat sikap mereka, ia hampir dapat menduga. Untuk melenyapkan keraguannya ia balas bertanya,

   "Kau telah tahu bahwa aku adala See-thian Tok-ong, sebaliknya kau ini siapakah? Ada hubungan apa kau dengan Luliang Sam-lojin?"

   Laki-laki itu menjawab.

   "Aku bernama Go Ciang Le, dia ini isteriku dan Hui Lian itu adalah puteri kami, Lulian Sam-lojin adalah suheng-suhengku...."

   "Ah, jadi kau yang disebut Hwa Enghlong (Pendekar Baju Kembang) dan isterimu ini Sianli Engcu (Bayangan Bidadari)?" Tanya See-thian Tok-ong dengan terheran-heran dan sikap mengejek. Ia sudah mendengar nama besar Hwa I Enghiong atau Go Ciang Le sebagai seorang pendekar besar dan jarang tandingannya pada masa itu, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa pendekar besar ini ternyata hanyalah seorang yang masih muda dan kelihatannya tidak mengesankan sama sekali.

   "See-thian Tok-ong, kau tentu sudah mendengar bahwa aku adalah murid Pak Kek Siansu dan sute dari Luliang Sam-lojin, oleh karena itu aku berhak untuk bertanya mengapa kau berada di sini dan apakah kau yang telah menewaskan ketiga orang suhengku?" kata pula Ciang Le.

   Sebelum See-thian Tok-ong menjawab, Kwan Ji Nio mendahuluinya. Nenek ini melangkah maju, menudingkan telunjuk tangan kirinya ke muka Ciang Le sambil nemaki.

   "Macam inikah yang disebut Hwa I Enghiong? Kiraku orangnya hebat seperti namanya, tidak tahunya hanya seorang yang sombong dan tak tahu aturan. Kalau kami tanggal di sini kau mau apa? Andaikata benar Luliang Sam-lojin kami yang menewaskannya, kau mau apa?""

   Baru saja nyonya tua ini habis mengucapkan kata-kata itu, terdengar bentakan nyaring dan Liang Bi Lan, isteri dari Go Ciang Le, melompat maju dan menampar dengan tangannya ke arah muka Kwan Ji Nio! Kwan Ji Nio merasa ada sambar angin ke arah mukanya, cepat ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.

   "Plak!" Dua tangan beradu, disusul suara "plak" yang lain dan tubuh Kwan Ji Nio terhuyung ke belakang. Ternyata bahwa biarpun tamparan tangan kanan dapat ditangkis, tangan kiri Liang Bi Lan dapat menyusul cepat dan tanpa dapat dicegah lagi, pipi kanan Kwan Ji Nio telah kena ditampar"

   "Kau ini siluman wanita tua sungguh tak tahu malu!" Bi Lan memaki sambil tersenyum sindir.

   "Dengarlah jawabanku. Kalau memaksa hendak merampas tempat tinggal orang, kami akan mengusir kalian dari Puncak Luliang-san. Adapun andaikata benar-benar kalian telah membunuh Luliang Sam-lojin, kami akan menghancurkan kepala kalian sebagai pembalasan dendam!" Berbeda dengan suaminya yang tenang dan sabar sekali, Bi Lan memang berwatak keras, mudah gembira dan mudah marah.

   Kwan Ji Nio marah dan juga terkejut sekali. Ia merasa heran bagaimana lawannya itu berhasil menamparnya, gerakan tangan lawannya benar-benar amat aneh dan tidak terduga. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah murid Hoa-san-pai yang paling lihai, selain itu ia pun menjadi murid dan Coa-ong Sin-kai dan telah mempelajari pula ilmu silat dan ilmu pedang dari Thian-te Siang-mo. Kepandaiannya amat tinggi dan gerakannya tadi adalah jurus dari ilmu Silat Ouw-wan ciang yang lihai.

   "Bangsat, kau hendak bertempur? Baik, bersiaplah untuk mampus" Kwan Ji Nio sudah mengeluarkan tongkatnya yang kecil dan berbahaya, akan tetapi pada saat itu, See-thian Tok-ong memegang lengannya, mencegahnya memulai perketahian. See-thian Tok-ong adalah seorang yang cerdik. Ia dapat melihat kelihaian Bi Lan dan melihat sikap yang tenang dari Ciang Le, ia pun agak keder juga. Dengan tersenyum ia menjura kepada Ciang Le dan berkata,

   "Hwa I Enghiong, memang pihakku yang tak tahu diri. Tempat ini adalah bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu kau sebagai murid Luliang-san tentu saja berhak menyuruh kami pergi. Kami pun hendak pergi karena di tempat ini kami tidak ada urusan apa-apa. Adapun tentang tewasnya Luliang Sam-lojin, See-thian Tok-ong tidak tahu menahu bukan aku yang membunuh mereka."

   Ciang Le melangkah maju.

   "See-thin Tok-ong. Kita berdua adalah laki-laki sejati dan bukan anak-anak yang suka membohong. Benar-benarkah kau tidak membunuh ketiga suhengku""

   "Kau tidak percaya kepadaku? Aku bersumpah bahwa bukan aku yang membunuh mereka. Selamat tinggal!" See thian Tok-ong mengajak isteri dan puteranya untuk pergi meninggalkan tempat itu.

   Ciang Le tak dapat berbuat sesuatu dan hanya memandang dengan kecewa. Telah bertahun-tahun pendekar ini tak pernah naik ke Luliang-san. Sekarang selagi ada kesempatan, sambil membawa isterinya ia naik ke Luliang-san untuk mengunjungi ketiga orang suhengnya, akan tetapi alangkah marah, menyesal dan dukanya ketika ia menemukan ketiga suhengnya telah menjadi rangka yang berserakan di lereng gunung. Adapun puterinya Hui Lian yang merasa amat gembira melihat pemandangan alam yang amat indah di puncak, mendahului ayah bundanya dan berlari-lari naik bagaikan seekor burung cepatnya. Kebetulan sekali Hui Lian melihat Kong Ji yang hendak dibunuh oleh Kok Sun, maka ia lalu menolongnya.

   Ketika mehhat See-thian Tok-ong dan anak isterinya pergi, Ciang Le hanya berdiri memandang. See-thian Tok-ong telah bersumpah bahwa ia tidak membunuh Luliang Sam-lojin, maka Ciang Le merasa bahwa tak pantas sekali kalau mendesak dan mencari permusuhan dengan tokoh yang amat terkenal itu. Akan tetapi, tiba-tiba Kong Ji berseru keras,

   "Go-locianpwe, jangan percaya kepada Raja Racun itu. Dia telah membawa pergi pedang Pak-kek Sin-kiam dari puncak ini!"

   Mendengar seruan ini, Ciang Le tidak membuang waktu lagi, cepat melompat dan lari mengejar See-thian Tok-ong. Liang Bi Lan dan puterinya juga berlari cepat mengejar.

   "See-thian Tak-ong, tunggu dulu!" seru Ciang Le ketika ia sudah hampir dapat menyusul rombongan See-thian Tok-ong.

   Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   See-thian Tok-ong terkejut dan berhenti. Ia tidak takut karena ia yakin bahwa pendekar besar itu tentu percaya kepada sumpahnya. Lagi pula, biarpun yang mcmbunuh Luliang Sam-lojin adalah puteranya, namun ia tidak membohong kalau ia bersumpah bahwa ia tidak membunuh mereka.

   "Hwa I Enghiong, ada urusan apa maka kau menyusulku?" tanyanya.

   "See-thian Tok-ong, kau telah mengambil dan membawa pergi pusaka Luliang- pai, harap kau suka mengembalikannya kepadaku," kata Ciang Le dengan suara tenang.

   See-thian Tok-ong cukup cerdik. Ia dapat menduga bahwa tentulah Kong Ji telah membuka rahasia dan memberi tahu kepada Ciang Le tentang Pak-kek Sin kiam, maka ia pun tidak mau berpura-pura lagi dan bertanya,

   "Apakah kau maksudkan Pak-kek Sin-kiam?"

   "Betul! Pedang itu adalah pusaka peninggalan Suhu Pak Kek Siansu, maka tidak boleh kau membawanya pergi dari sini."

   "Hwa I Enghiong, kau benar-benar keterlaluan. Apakah kau pura-pura tidak mendengar bahwa Pak Kek Siansu diam-diam meninggalkan sebatang pedang dan sebuah kitab? Apakah kau tidak mendengar bahwa semua orang di dunia kang-ouw berebutan untuk mendapatkan dua benda itu? Siapa yang mendapatkannya, berarti sudah berjodoh. Aku memang mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam, akan tetapi bukan mencuri darimu. Itu menandakan bahwa akulah yang berjodoh memiliki Pak-kek Sin-kiam."

   "Hm, See-thian Tok-ong, enak saja kau bicara, seolah-olah kau tidak mengerti akan peraturan dan kesopanan kang-ouw. Pedang itu adalah milik Suhu dan sebuah pedang pusaka partai persilatan takkan jatuh ke dalam tangan orang lain, melainkan kepada murid atau cucu muridnya. Apakah kau sengaja hendak melanggar peraturan ini`"

   "Ha-ha-ha, Hwa I Enghiong, kau bukan bicara dengan seorang bocah! Kalau memang Pak Kek Siansu meninggalkan pedang dan kitab untuk murid-muridnya mengapa disembunyikan sehingga Luliang Sam-lojin sendiri tidak tahu di mana tempat penyimpanannya? Kalau andaikata Pak Kek Siansu meninggalkan untukmu, mengapa dua macam benda itu tidak berada di tanganmu?"

   "Sungguhpun begitu, See-thian Tok- ong, akan tetapi tak seorang pun boleh membawa pergi pusaka Luliang-pai begitu saja. Kau telah melanggar wilayah Luliang-pai, bahkan telah mencuri pedang kalau sekarang kau tidak mau mengembalikan sama halnya dengan kau mencari permusuhan dengan Luliang-pai."

   "Perduli apa?" Kwan Ji Nio membentak marah.

   "Kalau kau becus, kau boleh merampas pedang itu kembali dan kami"

   "Hm, kalau begitu maafkan aku yang muda terpaksa menggunakan kekerasan!" kata Ciang Le dan sebelum See-thian Tok-ong dapat menjawab, tangan kanan Ciang Le telah menyerangnya dengan sebuah dorongan kuat sekali dan tangan kirinya meluncur ke arah pinggang di mana tergantung pedang Pak-kek Sin-kiam.

   Bukan main kagetnya See-thian Tok-ong. Gerakan dari Ciang Le demikian kuat dan cepat, baru anginnya saja sudah terasa olehnya. Cepat ia melompat ke belakang sambil menangkis dan begitu kedua kakinya menginjak bumi ia terus saja mencabut keluar Pak-kek Sin-kiam.

   Ciang Le kagum sekali melihat pedang itu, pedang suhunya yang belum pernah dilihatnya. Akan tetapi ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya kepada pokiam itu karena segera sinar pedang itu telah menyambar-nyambar menyerangnya. Namun dengan amat gesitnya Ciang Le dapat mengelak, bahkan beberapa kali kedua tangannya yang kosong bergerak merampas pedang. Dihadapi dengan tangan kosong, See-thian Tok-ong terkejut dan juga kaget. Tak disangkanya bahwa ilmu kepandaian pendekar Luliang-san ini benar-benar hebat. Siapa orangnya yang dapat menghadapinya dengan tangan kosong apalagi kalau mempergunakan pedang Pak-kek Sin-kiam?

   Sebaliknya, Ciang Le diam-diam harus mengakui pula kelihaian ilmu pedang lawannya. Ia sengaja bertangan kosong dan mainkan Ilmu Silat Thian-hong-ciang-hwat yang ia pelajari dari Pak Kek Siansu karena ia tidak bermaksud membunuh lawannya, hanya akan merampas kembali pedang suhunya.

   Tetapi tiba-tiba terdengar seruan nyaring dari Kwan Ji Nio telah bergerak menyerang dengan sebatang ranting bambu. Serangannya cukup berbahaya, lagian amat cepatnya sehingga Ciang Le benar-benar merasa tak sanggup lagi menghadapi dengan tangan kosong. Terpaksa ia mencabut keluar pedang Kim-kong-kiam. Kilauan sinar keemasan yang hanya kalah sedikit oleh sinar Pak-kek Sin-kiam nampak bergulung-gulung. Kwan Kok Sun yang melihat dua orang tuanya sudah mengeroyok Ciang Le, hanya berdiri menonton. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih terlampau rendah untuk mencampuri pertempuran itu.

   Tak lama kemudian, datanglah Liang Bi Lan dan Go Hui Lian di tempat itu. *Melihat suaminya telah dikeroyok, Bi Lan segera mencabut pedang dan menggempur Kwan Ji Nio. Terpaksa nyonya tua ini menghadapi Bi Lan dan kini pertempuran terbagi menjadi dua.

   "Hwesio cilik, apakah kau juga ingin kepalamu benjut? Majulah, tanganku sudah gatal-gatal!" kata Hui Lian sambil mengejek kepada Kok Sun.

   Kok Sun tidak meladeni bocah perempuan ini, pura-pura tidak melihatnya dan asyik menonton orang tuanya. Akan tetapi. Hui Lian sambil tertawa-tawa mengejek, melompat di depannya, menaruh telunjuk di pucuk hidung dan menjulurkan lidahnya.

   "Aha, hanya galak menghadapi orang yang lemah, akan tetapi pengecut kalau bertemu dengan lawan yang gagah," kata Hui Lian.

   Kok Sun merasa panas perutnya. Ia bersuit keras dan serentak ular-ularnya merayap maju mengepung Hui Lian. Bahkan burung kim-tiauw yang tadinya beterbangan di atas kini turun menyambar ke arah nona cilik itu dengan sepasang kaki siap mencengkeram dan patuknya yang besar terbuka mengerikan.

   Hui Lian tidak takut menghadapi kim-tiauw, akan tetapi ia merasa jijik dan ngeri melihat puluhan ekor ular itu.

   "Kau memang siluman ular!" bentaknya dan tangannya cepat merogoh dan beberapa kali tangannya bergerak. Jarum-jarum halus yang bersinar emas melayang ke arah ular-ular itu. Sebentar saja enam ekor ular menggeliat-geliat dengan kepala tertembus jarum-jarum Kim-kong-touw-kut-ciam (Jarum-jarum Sinar Emas Penembus Tulang), kepandaian tunggal dari ayahnya yang telah diwarisinya semenjak ia masih sangat kecil! Ular-ular yang lain menjadi marah sekali, akan tetapi kembali beberapa ekor ular mampus terkena sambaran jarum-jarum itu. Kim-tiauw pada saat itu menyambar.

   "Lian Ji, awas dari atas..." teriak Bi Lan yang biarpun sedang menghadapi Kwan Ji Nio, namun masih memperhatikan keadaan puterinya. Hui Lian tentu saja sudah tahu akan .datangnya sambaran burung, cepat ia mengelak sambil menangkis dengan tangan kirinya.

   "Jangan...!" Bi Lan berseru namun terlambat, Hui Lian sudah menangkis sambaran burung. Lengannya yang kecil bertemu dengan sayap burung itu dan tubuh Hui Lian terpental jauh bergulingan bagaikan seekor trenggiling.

   Ciang Le mengerti bahwa kini kalau pertempuran dilanjutkan, ia harus terpaksa membunuh tiga orang lawannya ini, maka dengan gerakan yang cepat sekali, pedangnya membuat lingkaran menyerang See-thian Tok-ong yang cepat meloncat mundur. Kcsempatan itu dipergunakan oleh Ciang Le untuk meloncat ke dekat Kok Sun. Sekali tangannya bergerak, bocah gundul itu telah ditotok lemas dikempit tubuhnya. Kemudian Ciang Le meloncat lagi mendekati puterinya yang ternyata telah bangun berdiri, tidak menderita luka hanya kaget saja. Bi Lan sudah meloncat mendekati puterinya.

   "See-thian Tok-ong, aku tidak kalau permusuhan dilanjutkan sampai berlarut-larut karena urusan pedang saja. Kau telah mencuri pedang Luliang pai, sekarang terpaksa aku menangkap puteramu."

   "Hwa I Enghiong, mengapa kau demikian curang? Lepaskan putera kami!" seru Kwan Ji Nio.

   "Kembalikan dulu pedang Pak-kek Sin-kiam," kata Ciang Le.

   "Aku berlaku sabar dan menghendaki kembalinya pedang itu dengan jalan damai."

   See thian Tok-ong tersenyum mengejek, lalu melemparkan pedang itu kearah Ciang Le yang menyambut dengan tangannya. Setelah itu, Ciang Le membebaskan totokannya pada Kok Sun dan melepaskan Si Gundul itu yang cepat-cepat berlari mendekati orang tuanya.

   "Untuk apa pedang macam itu? Tanpa pedang pun kalau aku mau, aku masih mampu mengalahkanmu!" kata See-thian Tok-ong.

   Ciang Le tersenyum.

   "Mungkin juga, See-thian Tok-ong. Kepandaianmu memang tinggi."

   Mendengar jawaban ini, merahlah muka See-thian Tok ong. Sikap Ciang Le benar-benar amat mengherankan hatinya dan bahkan memukul kesombongannya. Dalam jawaban yang sederhana dan memuji ini tersembunyi ejekan yang bahkan lebih menikam hati daripada kalau Ciang Le menjawab dengan sombong.

   "Hayo kita pergi!" katanya dengan hati mengkal kepada anak isterinya.

   "Kok sun, kauseret dan bawa bajingan kecil itu!" Kok Sun tidak menjawab, melainkan berlari cepat naik ke puncak untuk mengambil Kong Ji yang masih duduk dalam keadaan tidak berdaya karena telah tertotok jalan darahnya.

   "Jangan ganggu dia...!" tiba-tiba Hui Lian berseru keras dan dengan tiga kali loncatan jauh ia telah mendahului Kok Sun dan menghadang di tengah jalan sambil bertolak pinggang.

   "Kalau kau terus naik dan hendak mengganggu korbanmu itu, lebih dulu kepalamu yang gundul akan kuhajar!" Merah sekali muka Kok Sun, akan tetapi ia tidak berani berlaku lancang menyerang bocah perempuan yang galak ini. Ia hanya menoleh kepada ayahnya untuk minta pertimbangan.

   "Lian-ji, anak di atas itu tiada sangkut pautnya dengan kita, biarkan mereka membawanya pergi!" kata Hwa I Enghiong Go Ciang Le kepada putennya.

   "Tidak, Ayah! Tak dapat kita biarkan saja orang disiksa dan dibunuh oleh mereka ini," bantah Hui Lian yang memang manja dan berani membantah orang tua kalau ia menganggap dia sendiri betul.

   "Bagus. bagus!" See-thian Tok-ong mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum mengejek.

   "Hwa I Enghiong berkata tidak mencari permusuhan, akan tetapi sengaja hendak menghina kami! Bocah setan di atas puncak itu adalah muridku, apakah aku sebagai gurunya tidak boleh membawanya pergi?" Ciang Le tak berdaya, pula tadi sekali saja melihat wajah Kong ji yang tampan dengan sepasang mata yang aneh, ia sudah mempunyai perasaan tidak suka yang ias sendiri tidak tahu apa sebabnya.

   "Hm, kalau dia muridmu, ambillah," katanya. Kok Sun hendak melangkah lagi, akan tetapi Hui Lian tetap menghadangnya.

   "Siapa saja yang maju, baik kau setan gundul atau Ayah maupun Ibumu; harus merobohkan aku lebih dulu!" bentak Hui Lian marah sekali.

   "Hwa I Enghiong, bagus sekali sikap putrimu""" Kwan Ji Nio menyindir dan nyonya tua ini sebetulnya sudah marah sekali, hanya ia tidak berani mendahului suaminya bertindak.

   "Hui Lian...!" Ciang Le membentak telinganya merah.

   "Ayah, aku tidak lega melihat mereka membunuh orang yang tidak berdaya." Hui Lian berkata kepada ayahnya dengan suara memohon.

   "Bodoh, bocah di atas itu adalah muridnya. Kita tidak berhak mencampuri urusan mereka. Mau dibunuh atau tidak terserah kepada gurunya, apa hubungannya dengan kita!"

   "Akan tetapi, Ayah...."

   "Hui Lian, jangan kau membantah Ayahmu!" Ciang Le mulai marah.

   "Akan tetapi, anak tidak suka kalau kelak ada yang mengira bahwa kita adalah orang-orang yang bong-im pwe-gi (tidak mengenaI budi)." Ciang Le membuka lebar matanya bahkan Bi Lan caper bertanya,

   "Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau berkata demikian?"

   "Ayah dan Ibu, bukankah tadi orang di puncak itu yang memberi tahu tentang pedang Pak-kek Sin-kiam? Bukankah dia telah melepas budi kepada kita sehingga pedang pusaka Luliang-pai telah dapat dirampas kembali? Masa sekarang melihat dia terancam bahaya maut, kita diam saja. Anak khawatir sekali kelak dunia kang-ouw akan mencela nama kita." Ciang Le tertegun. Benar juga kata-kata puterinya! Apalagi ketika tiba-tiba See-thian Tok-ong mengeluarkan makian keras,

   "Anak setan tak kenal budi! Jadi dia pula yang membuka rahasia tentang pedang? Anak macam itu harus kucekik lehernya!" Ia melompat hendak menuju ke puncak, akan tetapi tiba-tiba bayangan Ciang Le berkelebat dan tahu-tahu pendekar ini telah berdiri di depannya.

   "Sabar See-thian Tok-ong! Daerah ini termasuk daerah Luliang-pai, dan aku tidak memperbolehkan kau naik ke puncak. Sudah terlalu lama kau mengacau dan mengotorkan tempat kami."

   "Jadi kau tetap hendak melindungi -muridku, hendak mencampuri urusan antara guru dan murid?" Sebelum Ciang Le menyahut, kembali terdengar kata-kata Hui Lian yang nyaring.

   "Biarpun dia itu muridnya, kurasa dia jauh lebih baik daripada gurunya. Aku pernah mendengar bahwa siapa yang dimaki-maki dan dicela orang jahat, itu adalah seorang baik-baik, sebaliknya siapa yang dipuji dun disayang oleh orang jahat, dia itu pun seorang yang busuk!"

   "Hui Lian, diam kau!" bentak Ciang Le, kemudian ia berkata kepada See thian Tok-ong.

   "See-thian Tok-ong, jangan katakan bahwa kami yang mencari gara-gara. Kau sendiri yang sudah melakukan pelanggaran di tempat kami. Sekarang aku tidak memperbolehkan kau naik ke puncak. Kalau kau mau panggil anak itu turun ke bawah aku takkan ambil peduli lagi." See-thian Tok-ong maklum bahwa alasan ini hanya dicari-cari saja, akan tetapi kuat juga, dan ia tidak berdaya untuk melanggarnya. Maka ia lalu berseru, ditujukan ke arah puncak,

   "Kong Ji, hayo kau turun dan ikut aku pergi dari sini!"

   Sunyi sesaat lalu terdengar jawaban Kong Ji.

   "Suhu, teecu tidak dapat menggerakkan tubuh""

   "Bergulinglah ke kanan, benturkan jalan darah di pundak kanan ke atas batu runcing setelah tangan kananmu dapat -bergerak pijatlah jalan darah di punggung!"

   Sunyi pula agak lama, dan semua orang tahu bahwa Kong Ji tentu sedang melakukan perintah gurunya membebaskan diri daripada totokan itu. Tak lama kemudian, terdengar Kong Ji berkata dengan nada suara girang.

   "Teecu sudah bebas!!"

   "Lekas kau turun ke sini dan berangkat turun gunung bersamaku!" Kong Ji tertawa dan tetap tidak mau memperlihatkan dari.

   "Suhu, apakah Suhu kira teecu tidak tahu? Begitu teecu berada di depan Suhu, tentu nyawa teecu akan dicabut!"

   "Turunlah dan jangan banyak cakap! Aku, gurumu yang memerintah supaya kau turun!"

   "Tidak mungkin, Suhu. Bagaimanapun juga, teecu masih suka hidup!" Memang Kong Ji amat cerdik. Ia tadinya merasa heran mendengar suara suhunya menyuruh dia membuka totokan dan menyuruhnya dia turun gunung. Kemudian ia dapat menduga bahwa tentu Hwa I Enghiong tidak mengijinkan mereka naik ke puncak, maka ia juga mempergunakan kesempatan ini untuk menolong nyawanya.

   "Kong Ji, kau hendak murtad terhadap Gurumu sendiri? Tidak ingatkah kau betapa kami selalu sayang kepadamu dan telah menurunkan banyak ilmu silat kepadamu?"

   Kembali Kong Ji tertawa lalu berkata.

   "See-thian Tok-ong, sekarang aku bukan muridmu dan kaukira aku tidak tahukah bahwa selama ini kau tidak menganggap aku sebagai murid yang betul? Kau mau mengajarku hanya karena telah berjanji. Orang gagah bilang bahwa It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)" Akan tetapi, apa yang kaulakukan? Baru empat tahun lebih dengan keji kau dan anak isterimu tadi hendak membunuhku. Siapa mau turut mengantarkan nyawa padamu?"

   Mendengar jawaban Kong Ji yang berkukuh tidak mau turun dari puncak Luliang-san dan tak mau menurut kehendaknya untuk pergi bersama dari situ, See-thian Tok-ong menjadi mendongkol sekali. Ia merasa telah ditipu oleh Kong Ji dan kini ia baru merasa menyesal mengapa dulu-dulu ia tidak bunuh mampus saja bocah yang cerdik itu.

   Sementara itu mendengar kata-kata Kong Ji, timbul rasa suka di hati Ciang Le terhadap bocah yang ditanggapnya berani dan tabah itu. Ia melangkah maju menghadapi See-thian Tok-ong dan berkata,

   "See-thian Tok-ong, kau sudah mendengar sendiri bahwa anak itu tidak mau turun dari puncak, dan kau tidak bisa memaksanya. Oleh karena itu, kuharap kau dan anak isterimu segera turun dari sini, jangan sampai terjadi salah paham diantara kita."

   

Memburu Iblis Eps 25 Pendekar Budiman Eps 19 Pendekar Budiman Eps 18

Cari Blog Ini