Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 9


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




   See-thian Tok-ong membanting kakinya dan sebuah batu yang berada di bawah kakinya menjadi hancur. Ia menyeringai pahit dan sambtl memandang tajam ia menjawab.

   "Bukan karena kami takut kepadamu, Hwa I Enghiong, hanya karena kami tidak mau disebut pendatang yang mengacaukan tempat tinggal orang lain maka kali ini aku mengalah. Biarlah lain kali kita bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik dan di sana kita akan menentukan siapa yang lebih unggul antara kita."

   "Hm, soal nanti tak usah dibicarakan sekarang," Bi Lan menyahut.

   "kami akan selalu melayani tantanganmu, di manapun juga kami berada, See-thian Tok-ong.

   Terdengar Kwan Ji Nio tertawa bergelak, suara tertawa yang mengandung kemaralian besar, kemudian menarik tangan putranya dan berlari turun gunung, Suaminya lalu menggapai ke arah ular-ular dan kim-tiauw, lalu dia pun menyusul istri dan anaknya. Ular-ular merayap cepat turun gunung dan di atas, kimtiauw terbang meluncur dengan gagah.

   Ciang Le menarik napas panjang.

   "Mereka itu benar-benar merupakan lawan-lawan yang tangguh. Baiknya tidak terjadi pertempuran yang lebih hebat. Aku khawatir sekali, karena kalau sampai terjadi demikian tidak ringan menghadapi racun-racun."

   Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tiba-tiba terdengar suara gaduh di puncak gunung. Ciang Le, Bi Lan dan Hui Lian cepat berlari naik dan mereka melihat Kong Ji seperti orang gila mencabut beberapa batang pohon muda.

   "Eh, apa yang kau lakukan?" Hui Lian bertanya heran. Kong Ji menoleh dan melihat Ciang Le dan anak isterinya, Kong Ji serta merta menjatuhkan diri berlutut sambil menangis!

   "Locianpwe, kalau tidak Iocianpwe bertiga yang datang menolong, pasti tee-cu sudah mampus sekarang. Terima kasih banyak atas budi pertolongan Locianpwe. Sungguh tidak salah kalau dulu Ayah Bunda teecu, juga Ayah angkat teecu serta Guru teecu sendiri menyatakan bahwa Go-locianpwe adalah seorang pendekar yang paling mulia dan gagah di waktu ini." Mendengar kata-kata ini, Ciang Le mengerutkan kening. Anak ini mempunyai sifat penjilat, pikirnya.

   "Kau cabuti pohon-pohon itu ada apakah?" tanyanya.

   "Locianpwe, See thian Tok ong yang jahat itu telah menyebar racun pada pohon-pohon ini. Lihat saja, pohon-pohon ini telah layu dan kering, kalau sampai pohon-pohon ini membusuk di sini, maka racunnya akan menjalar dan akhirnya seluruh tetumbuhan di puncak Luliang- san ini akan musnah!"

   Ciang Le melihat dan ia terkejut sekali. Sebagai seorang kang-ouw yang telah berpengalaman luas ia pernah mendengar akan adanya racun yang dapat membasmi tetumbuhan dengan jalan menyebarkan semacam penyakit pohon yang menular. Memang betul bahwa pohon-pohon kecil yang dicabuti oleh Kong Ji telah pada kering dan layu. Yang berbahaya sekali, kalau tetumbuhan di situ sudah dijalari penyakit ini, siapa saja yang makan daun pohon-pohon yang sakit, baik manusia maupun binatang akan tewas terkena racun yang amat berbahaya!

   "Hayo kita kumpulkan pohon-pohon, sekitar tempat ini dan bakar habis!" kata Ciang Le cepat-cepat. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu bekerja dan berkat kepandaian Ciang Le dan Bi Lan yang tinggi, sebentar saja pohon-pohon di sekitar tempat yang disebari racun itu telah bersih tercabut, ditumpuk disitu. Ciang Le lalu membakar semua pohon yang sebentar saja sudah menjadi kering itu dan tak lama kemudian asap hitam mengepul di puncak Luliang-san. Keadaan di puncak menjadi gundul dan buruk, akan tetapi bersih daripada bahaya racun yang sengaja disebar oleh See-thian Tok-ong sebelum ia meninggalkan puncak itu. Kong Ji yang amat cerdik sudah dapat mempelajari sedikit banyak tentang racun yang menjadi keistimewaan suhunya, maka melihat keadaan beberapa batang pohon di tempat itu, ia dapat menduga bahwa See-thian Tok-ong telah menyebar racun. Apalagi kalau ia teringat bahwa memang See-thian Tok-ong tadi berdiri di dekat pohon-pohon itu. Maka untuk mencari muka baik, ia segera turun tangan mencabuti pohon-pohon itu sebelum Ciang Le naik ke Luliang-san.

   Setelah pekerjaan membasmi racun pada pohon-pohon itu beres. Kong Ji kembali berlutut di depan Ciang Le.

   "Oleh karena See thian Tok-ong tentu akan selalu berurusan untuk membunuh teecu, maka teecu mohon dengan sangat sudilah kiranya Locianpwe menaruh belas kasihan kepada teecu dan sudi menerima teecu menjadi murid."
(Lanjut ke Jilid 09)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09
Sudah berada di ujung lidah Cia Le untuk segera menolak permintaan ini karena selain ia memang timbul rasa tidak suka kepada pemuda cilik ini, juga memang tidak berhasrat menerima murid baru. Akan tetapi ia merasa kasihan juga melihat keadaan bocah ini, apalagi kalau ia teringat betapa anak ini tadi menyatakan bahwa ayah bunda dan gurunya pernah mengenalnya.

   "Kau siapakah dan putera siapa? Mengapa bisa menjadi murid See-thian Tok ong?" tanyanya. Sambil kadang-kadang mengusap kedua matanya dengan ujung lengan baju Kong Ji menjawab,

   "Teecu bernama Liok Kong Ji. Mendiang ibu teecu pernah mengenaI Locianpwe dan Ibu teecu bernama Liok Hui, ketua dan Kwan-im-pai." Kemudian Kong Ji menuturkan betapa ibu dan ayahnya itu terbunuh oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan betapa ia dibawa lari oleh pamannya, yakni Liok San dan dibawa mengungsi ke Hoa-san di mana ia belajar ilmu silat kepada Lie Bu Tek dan Liang Gi Tojin.

   Baru bercerita sampai di sini, Ciang Le sudah memegang pundaknya dan bertanya dengan suara bergetar.

   "Apa yang terjadi di Hoa-san dan ke mana perginya Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek Twako?" Juga Bi Lan ingin sekali mendengar tentang bekas gurunya dan suhengnya itu. Sebelum naik ke Luliang-san, memang mereka telah mengunjungi Hoa san, akan tetapi mereka tidak menemukan seorang pun di puncak Hoa-san dan keadaan di situ yang sudah rusak tak terpelihara membuat mereka merasa bingung dan juga sedih sekali.

   Mendengar pertanyaan ini, Kong Ji mengucurkan air matanya dengan deras.

   "Ah, Locianpwe, memang orang-orang jahat merajalela di dunia ini dan karenanya teecu bersumpah untuk belajar ilmu silat setinggi-tingginya agar kelak dapat membasmi musuh-musuh besar itu!"

   Bi Lan tidak sabar lagi.

   "Hayo ceritakan apa yang terjadi di puncak Hoa-san!"

   "Suhu Liang Gi Tojin yang sudah menerima teecu sebagai murid telah... telah tewas oleh dua orang anggauta Im-yang-bu-pai, juga Twa-suheng Lie Bu Tek; terluka hebat, barangkali sudah tewas pula."

   Bi Lan tak dapat menahan air matanya, sedangkan Ciang Le menjadi pucat.

   "Keparat betul Im-yang-bu-pai. Awas, akan kubasmi kalian!" teriak Hui Lan.

   "Teruskan ceritamu, Kong Ji. Apa, yang terjadi selanjutnya?"

   Kong Ji lalu bercerita betapa ia dipaksa oleh orang-orang Im-yang-bu-pai untuk menjadi pelayan. Kemudian ia bercerita pula tentang usaha Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai untuk mencari pedang dan kitab peninggalan Pak Kek -Siansu di puncak Luliang-san.

   "Jadi Giok Seng Cu yang menjadi ketua Im-yang-bu-pai? Pantas saja kalau begitu...!" kata Bi Lan sambil mengerling ke arah suaminya. Diam-diam Ciang Le merasa tidak enak sekali karena biarpun telah mengambil jalan masing-masing yang bertentangan. Giok Seng Cu adalah murid Pak Hong Siansu.

   "Teruskan!" katanya singkat kepada Kong ji.

   Kong Ji melanjutkan ceritanya. Ia menuturkan betapa Giok Seng Cu berhasil merampas pedang, kemudian menyembunyikan diri. Betapa See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang marah kepada Giok Seng Cu lalu membasmi orang-orang lm-yang bu-pai, akan tetapi memaksanya ikut untuk menunjukkan tempat sembunyi Giok Seng Cu.

   "Teecu terpaksa membawa mereka ke tempat sembunyi Giok Seng Cu, oleh karena biarpun ketua lm-yang-bupai itu telah berlaku baik dan tidak membunuh teecu, namun anak buahnya yang membanasakan Ayah Bunda teecu, maka ia pun merupakan musuh besar teecu pula. Selain ini, teecu juga dipaksa oleh See thian Tok-ong bahkan diberi janji bahwa teecu akan diberi pelajaran ilmu silat selama lima tahun."

   Kemudian ia menuturkan betapa Giok Seng Cu terpaksa menyerahkan pedang Pak-kek Sin-kiam kepada See-thian Tok ong dan betapa See-thian Tok-ong dan anak isterinya mencari-cari kitab peninggalan Pak Kek Siansu dengan sia-sia belaka sehingga akhirnya marah kepadanya dan hendak membunuhnya, akan tetapi baiknya keburu datang Hui Lian yang menolongnya.

   "Kalau begitu, kau juga tahu pula apa yang terjadi dengan Luliang Sam-lojin. Siapa yang telah membunuh mereka?" tanya Ciang Le.

   Kembali sepasang mata Kong Ji bercucuran air mata ketika ia mendengar pertanyaan ini, sehingga sukar baginya untuk bicara. Akhirnya dengan suara terputus-putus ia berkata,

   "Locianpwe, kalau diingat sungguh. membikin sakit sekali hati teecu. Sakit hati teecu bertumpuk-tumpuk setinggi langit dan teecu bersumpah kelak akan menuntut balas. Hanya seorang bodoh macam teecu bagaimanakah dapat memenuhi harapan itu? Kecuali kalau Locianpwe menaruh hati kasihan kepada teecu dan sudi menurunkan sedikit ilmu kepada teecu yang bodoh...."

   "Soal itu kita bacarakan nanti, sekarang ceritakan dulu apa yang telah terjadi dengan Luliang Sam lojin" tanya Ciang Le kurang sabar.

   Dengan pandai sekali Kong Ji mengarang cerita, agar ia dapat terlibat ke dalam penstiwa pembunuhan itu dan agar ia menarik perhatian Ciang Le. Memang dia sudah mendengar dari Giok Seng Cu sendiri bagaimana Luliang Sam-lojin terbinasa oleh Kwan Kok Sun atas bantuannya dan bantuan Ba Mau Hoatsu ketika mereka semua memperebutkan pedang Pak-kek Sin-kiam.

   "Ketika itu, teecu diajak oleh Giok Seng Cu naik Luliang-san," Kong Ji mulai menutur dengan gaya sedemikian rupa sehingga ia nampak bersungguh-sungguh dan berduka sekali.

   "Akhirnya dengan bantuan Kim-tiauw, rombongan See-thian Tok-ong berhasil mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam dalam perebutan pedang dan usaha mencari kitab itu. Melihat ini, Giok Seng Cu merampas pedang itu dan tangan putera See-thian Tok-ong sehingga akhirnya menimbulkan sakit hati dan pihak See thian Tok-ong. Dalam keributan itu diam diam teecu memberi tahu hal perebutan pedang kepada Luliang Sam-lojin yang berada di puncak bukit, karena teecu merasa tidak patut sekali pedang pusaka Luliang-san diperebutkan oleh orang luar. Juga teecu yang menganggap Giok Seng Cu sebagai musuh besar, tidak rela melihat dia mendapatkan pedang itu. Akan tetapi, sayang sekali Giok Seng Cu mengetahui perbuatan teecu itu dan teecu pasti akan dibunuh mati kalau saja tidak Luliang Samlojin yang menolong teecu. Kemudian terjadi pertempuan antara Luliang Samlojin melawan orang-orang jahat yang hendak merampas pedang itu. Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, Kwan Kok Sun dibantu oleh ular-ular clan burungnya mengeroyok sehingga akhirnya Luliang Sam-lojin tewas. Pedang dibawa pergi oleh Giok Seng Cu, dan teecu juga dipaksa olehnya dibawa pulang. Hanya nasib baik saja yang mencegah teecu terbunuh mati oleh Giok Seng Cu. Selanjutnya, seperti sudah teecu ceritakan tadi, pedang itu terampas olah See-thaan Tok-ong, dan teecu juga dtbawa ke tempat ini."

   Setelah menuturkan semua ini, kembali Kong Ji menangis. Kong Ji tahu bahwa dalam semua penuturan itu, banyak membohong. Akan tetapi ia berani melakukan itu karena ia merasa aman. Wan Sin Hong bocah satu-satunya yang mengetahui rahasianya, telah mampus dilemparkan ke dalam jurang. Hanya Lie Bu Tek orang ke dua yang kiranya tahu akan perbuatannya di puncak Hoa-san. Akan tetapi tak mungkin, ketika mempergunakan pedang membabat putus pangkal lengan Lie Bu Tek, jago Hoa-san itu sedang pingsan dan tidak akan tahu siapa yang membabat putus lengannya.

   Andaikata Lie Bu Tek tahu akan hal ini dan akhirnya Ciang Le atau orang-orang lain mendengar pula, Kong Ji juga tidak amat, khawatir karena ia telah mempunyai alasan dan jawaban yang tepat untuk membela. Memang anak ini luar biasa sekali cerdik dan licinnya, akan tetapi biarpun Ciang Le sendiri yang biasanya bermata tajam dan berperasaan halus, dapat ditipu oleh Kong Ji yang wajahnya tampan dan halus sehingga kalau tadinya dalam hati Ciang Le timbul sedikit rasa curiga dan tidak suka, perasaan itu lenyap oleh cerita dan penuturan Kong Ji yang menarik hati.

   Hui Lian mewarisi hati budiman seperti ayahnya, maka mendengar semua penuturan Kong Ji yang tentu saja menonjolkan penderitaannya, menjadi kasihan sekali sampai mengucurkan air mata. Kalau ayah bundanya berlinang air mata karena menyedihi kematian Liang Gi Tojin, Lie Bu Tek yang tak ada beritanya lagi, kematian Luliang Sam-lojin dan kehancuran Hoa-san-pai dan Luliang-pai, Hui Lian menyedihi nasib buruk Kong Ji. Memang anak ini belum pernah bertemu lengan orang-orang tua yang sudah tewas itu, maka bagaimana mana bisa merasa sedih?

   "Ayah, nasib Kong Ji ini amat menyedihkan, mengingatkan aku akan nasib Enci Soan Li," katanya dan dalam suaranya mengandung permohonan agar ayahnya suka menolong bocah ini.

   Ciang Le menarik napas panjang.

   " "Terlalu banyak orang bersengsara karena perbuatan jahat orang-orang yang rendah budi. Kalau aku menerimanya sebagai murid, bukan karena ia bernasib buruk, melainkan mengingat bahwa ia adalah putera dari ketua Kwan-im-pai, apalagi ia telah berguru kepada Liang Gi Tojin sehingga anak ini boleh dibilang masih terhitung sute (adik seperguruan) dari Ibu mu."

   Hum l_ian melompat kegirangan dan menghampiri Kong Ji.

   "Kau diterima menjadi murid Ayah. Kau kini menjadi Suhengku!"

   Kong Ji berlutut dan mengangguk- anggukkan kepala delapan kali di depan Ciang Le sambil menyebut "Suhu"! Kemudian ia pun berlutut di depan Bi Lan yang disebut sebagai "Subo" olehnya.

   "Orang-orang jahat terlalu banyak. Sudah bertahun-tahun aku mengasingkan diri dari dunia kangouw karena merasa jemu mendengar kejahatan-kejahatan yang tiada habisnya itu. Akan tetapi orang-orang seperti Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, See-thian Tok-ong dan kaki tangan mereka memang patut dibasmi. Belajarlah baik-baik, siapa tahu kaulah orangnya yang akan mampu membasmi, mereka."

   Bukan main girangnya hati Kong Ji.

   "Teecu akan perhatikan baik-baik ajaran Suhu, bahkan kalau Suhu sudi, teecu juga ingin sekali belajar ilmu surat agar kelak tidak tersesat menjadi orang jahat." Biarpun mulutnya bicara demikian, namun hati Kong Ji berpendapat lain. Ia ingin belajar ilmu surat hanya dengan maksud agar kelak ia dapat membaca dan mempelajari ilmu di dalam kitab peninggalan Pak Kek Siansu yang ia dapatkan di dalam gua di dasar jurang di puncak Luliang-san itu!

   Semenjak saat itu Kong Ji ikut dengan Ciang Le, dibawa ke selatan untuk belajar ilmu silat dari pendekar besar ini, bersama-sama dengan Go Hui Lian. Kong Ja sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Ciang Le bersama isterinya merencanakan untuk menjodohkan dia dengan Gak Soan Li, murid dan suami isteri pendekar ini.

   Sudah terlalu lama kita meninggalkan Wan Sin Hong yang berada di dasar jurang di puncak Luliang-san. Baiklah kita tinggalkan dulu Kong Ji yang demikian baik nasibnya sehingga setelah menjadi murid dan Liang Gi Tojin, Giok Seng Cu, dan See thian Tok-ong, kini kembali dengan kecerdikannya diterima menjadi murid dari Ciang Le! Mari kita ikuti perjalanan Wan Sin Hong, bocah yang benar-benar telah mengalami penderitaan hebat itu.

   Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, Sin Hong yang dilempar jatuh ke dalam jurang oleh Giok Seng Cu telah tertolong oleh kim-tiauw, kemudian secara kebetulan sekali anak ini mendapatkan gua di mana ia melihat pedang Pak-kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak Kek Sian-su. Sudah dituturkan di bagian depan betapa pedang itu dibawa keluar gua oleh Sin Hong dan kemudian dirampas oleh kim-tiauw yang membawanya terbang pergi.

   Tubuh Sin Hong terluka hebat. Tulang lengannya telah patah oleh pukulan Giok Seng Cu, bahkan tubuhnya dibagian dalam telah menderita luka hebat akibat pukulan tenaga lweekang sehingga anak ini merasa seringkali terserang demam yang membuat tulang-tulangnya dingin sekali.

   Berkat latihan-latihan ilmu silat dan cara bersamadhi dan pengaturan napas yang ia pelajari dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, ia memperoleh kemajuan yang amat luar biasa tanpa disadarinya sendiri. Luka di dalam tubuhnya telah terusir dan ia telah memperoleh hawa sinkang di dalam tubuhnya, bahkan tulang lengannya yang patah dapat tersambung kembali dalam keadaan baik dan wajar.

   Bertahun-tahun ia berlatih dengan rajin dan tekunnya. Seluruh isi kitab telah dihafalkannya diluar kepala dalam waktu dua tahun, setelah hafal ia lalu membakar habis kitab itu, karena di halaman terakhir dari kitab itu terdapat tulisan Pak Kek Siansu yang berbunyi,

   "Setelah isi kitab habis dipelajari, bakarlah kitab ini agar jangan terjatuh ke dalam tangan orang jahat."

   Sin Hong adalah seorang anak cerdik. Ia tahu bahwa kitab ini dicari oleh orang-orang kang-ouw, maka setelah hafal betul-betul ia membakar kitab itu sambil berlutut menghaturkan terima kasih kepada Pak Kek Siansu. Kemudian ia menaruh kitab tebal sebagai penggantinya di dalam peti dan disampul kitab yang sebetulnya hanya sebuah kitab sejarah ia tulis huruf-huruf besar, PAK KEK SIN CIANG HOAT PIT KIP". Memang di dalam gua itu terdapat beberapa jilid kitab tebal dan kuno peninggalan Pak Kek Siansu.

   Pada suatu hari, baru saja ia selesai berlatih di lereng bukit yang tersembunyi itu, terdengar suara keras dan dari puncak gunung kelihatan debu mengepul dan terdengar suara hiruk-pikuk. Tiba-tiba Sin Hong melihat sebuah batu yang besar sekali menggelinding turun dengan kecepatan luar biasa, menghancurkan batu-batu kecil yang tertimpa di bawahnya. Ketika tiba di dasar jurang yang sebetulnva merupakan lereng itu, batu besar itu masih terus menggelundung ke arah dia sendiri! Sin Hong terkejut sekali. Tempat di mana ia berdiri sempit sekali, di kanan kirinya terdapat jurang, maka tidak mungkin baginya untuk menghindarkan diri dari serbuan batu besar yang memenuhi tempat itu. Terpaksa ia lalu memasang kuda-kuda dan sesuai dengan petunjuk di dalam kitab, ia melakukan dorongan ke depan. Inilah gerakan yang disebut Sin-ciang-tut-san (Tangan Sakti Mendorong Bukit). Melihat bahwa pada waktu itu Sin Hong baru berusia kurang lebih sebelas tahun, tubuhnya kecil dan batu itu amat besarnya yang menggelundung dengan kekuatan ribuan kati, gerakan Sin Hong ini menggelikan hati.

   Akan tetapi, dengan latihan yang tekun berkat petunjuk dan kitab yang mengandung ilmu luar biasa sekali, di dalam tubuh Sin Hong telah mengalir hawa sinkang yang hebat dan gerakannya adalah gerakan dan ilmu mendorong yang amat tinggi, maka ketika batu besar itu telah dekat dan bertemu dengan kedua telapak tangannya, batu itu tertahan dan diam tak bergerak!

   Sin Hong girang sekali dan dia lalu mendorong dan bermain dengan batu besar itu. Akhirnya dia mendapat pikiran yang baik sekali. Gua itu terbuka saja, mudah dilihat dan dimasuki orang. Maka ia lalu mendorong batu besar itu dan pergunakan sebagai penutup gua.

   Semenjak pengalaman ini, terbukalah mata Sin Hong bahwa latihan-latihannya di tempat itu telah menghasilkan tenaga yang luar biasa. Cepat ia mengingat ingat bagian latihan sinkang dan mulai hari itu, ia tekun mempelajari dan memperdalam latihan dengan jalan bersamadhi, mengatur pernapasan dan berlatih sinkang. Ia rajin sekali dan tidak jarang ia kelihatan duduk menghadapi batu karang, bersamadhi dan menahan napas. sampai akhirnya napas yang keluar dari lubang hidungnya mendatangkan getaran aneh. Sampai sehari penuh ia duduk bersila menghadapi batu karang. Tidak jarang timbul kenakalannya sebagai kanak-kanak ketika ia merasa bahwa tenaga sinkang sudah berkumpul di dalam tubuh berputar-putar cepat merupakan bola api panas yang dapat perintah dengan daya cipta ia menyalurkan hawa ini ke jari-jari tangannya dan menggunakar jari-jari tangan menggurat-gurat batu karang. Hebat sekali akibatnya. Setelah tenaga sinkang itu terkumpul di jari tangannya, baginya batu karang itu merupakan tanah lempung yang lunak sekali!

   Pakaiannya sudah sobek sana-sini. Kadang-kadang ia memotong bagian bawah untuk menambal bagian yang sobek sehingga pakaiannya itu tidak karuan macamnya. Namun semua kesederhanaan pakaian ini tidak mengurangi ketampanan wajahnya yang berkulit putih dengan sepasang mata yang bersinar sinar bagaikan bintang.

   Tiga tahun lewat dengan cepatnya dan selama itu, Sin Hong hidup di tempat rahasia ini seorang diri, tak pernah bertemu dengan seorang pun manusia. Akan tetapi anak ini biarpun hidup dalam keadaan kesepian dan sengsara, namun tidak kecil hati. Semangat dan cita-citanya besar sekali. Kalau ia teringat akan nasibnya, teringat akan kematian orang tuanya, kemudian tentang Hoa-san-pai yang rusak oleh orang-orang lm-yang-bu-pai, teringat betapa ayah angkatnya yang tercinta, yang menjadi pengganti orang tuanya itu telah dihina dan disiksa oleh orang Im-yang-bu-pai, kematian Liang Gi Tojin, kemudian teringat pula akan kekejian Kong Ji, semua ini membangkitkan semangatnya. Bangkitnya rasa penasaran dan menguatkan cita-citanya untuk membalas semua kejahatan yang dilakukan orang kepadanya dan kepada orang-orang yang dikasihinya.

   Setelah tinggal empat tahun lebih di dalam gua itu, pada suatu hari selagi Sin Hong bersamadhi di sebelah dalam dari gua yang ditutupnya dengan batu besar, ia mendengar suara di luar gua. Cepat ia masuk ke dalam terowongan dan bersembunyi, menanti dengan hati berdebar. Apakah yang akan terjadi." Manusia manakah yang dapat datang di tempat itu? Tak lama kemudian, ia melihat batu penutup gua bergeser sedikit, seperti didorong orang dari luar. Kemudian ia melihat tubuh seorang pemuda tanggung memasuki gua. Sebagaimana pembaca dapat menduga, yang masuk itu adalah Kong ji yang turun ke dalam jurang naik kim-tiauw.

   Keadaan di situ suram, maka Sin Hong tidak dapat mengenal siapa orang yang masuk ke dalam gua. ia mengintai saja dan dengan hati geli ia melihat orang itu membuka peti dan melihat kitab sejarah yang ia letakkan di dalam peti untuk menipu orang. Ia melihat anak tanggung itu mengembalikan buku, berjalan keluar dan menutupkan kembali batu penutup gua. Diam-diam Sin Hong memuji, karena tidak sembarang orang, apalagi masih pemuda tanggung, dapat mendorong batu itu. Setelah terjadi peristiwa ini, legalah hatinya. Biarkan semua orang kang-ouw datang ke sini dan mendapatkan kitab itu. Kitab aselinya toh sudah ia bakar, sudah ia "pindahkan" isinya ke dalam otaknya. ia berlatih makin giat karena maklum bahwa kalau ia sudah keluar dari tempat sembunyi ini kelak, ia akan mejumpai orang-orang yang pandai dan jahat.

   Setelah tinggal bertahun-tahun di tempat itu, Sin Hong sering kali melakukan pemeriksaan di daerah yang terasing ini. Benar-benar daerah itu tak mungkin dapat didatangi orang lain. Untuk keluar dari jurang itu, biar orang memiliki kepandaian tinggi, kalau dia tidak bersayap, tak mungkin dilakukannya. Jalan keluar dari lereng itu sama sekali tidak ada karena lereng itu dikelilingi oleh jurang yang amat curam. Pendeknya tempat ini merupakan tempat terkurung yang memisahkan orang dari luar. Tidak ada jalan keluar lagi bagi mereka yang jatuh ke dalamnya.

   Akan tetapi Sin Hong tidak merasa khawatir. Ia maklum bahwa pasti ada jalan keluar, karena kalau tidak, bagaimana Pak Kek Siansu dapat menyimpan pedang dan kitab di dalam gua itu? Setelah hapal akan semua isi kitab ia mulai mencari rahasia jalan keluar itu. Ia berjalan terus ke dalam gua yang di sebelah dalamnya merupakan terowongan itu. Memang tidak mudah berjalan melalui terowongan yang demikian gelapnya. Namun berkat kemauannya, Sin Hong sekarang dapat bergerak dengan ringan dan panca inderanya luar biasa tajamnya. Dari suara angin ia dapat menangkap lubang manakah yang membawa dia ke arah pembebasan. Di dalam terowongan itu terdapat lubang-lubang yang menjurus ke lain tempat dan orang lain pasti akan tersesat jalan dan sukar untuk keluar kembali.

   Akhirnya Sin Hong tiba di jalan buntu setelah melalui jalan terowongan yang menaik. Ketika ia meraba dengan tangannya, hatinya berdebar. Ternyata bahwa akir jalan terowongan ini adalah sebuah daun pintu! Ia mendorong terus dengan pengerahan tenaga. Daun pintu terbuka dan ia berada di balik sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar! Akan tetapi, ketika ia mencoba untuk mendorong pembaringan itu, ia gagal. Pembaringan itu terbuat daripada baja dan agaknya dipasangi alat rahasia sehingga tak mungkin dapat dipindahkan dari depan pintu rahasia ini. Ia mencoba lagi namun tetap saja sia-sia.

   Sebagai seorang anak yang cerdik, Sin Hong tidak mau mengerahkan semua tenaga untuk merusak pembaringan itu, melainkan ia masuk kembali ke dalam terowongan.

   "Kalau Pak Kek Siansu bisa mondar-mandir di tempat ini, mengapa aku tidak? Tentu ada rahasianya untuk membuka penghalang pikirnya. Sin Hong memang amat tekun dalam menghadapi sesuatu. Ia meraba-raba di dalam gelap di sepanjang dinding terowongan di belakang daun pintu itu. Lama sekali setelah mencari dengan susah payah, akhirnya ia mendapatkan pemecahan rahasianya. Ternyata bahwa tempat tidur ini mempunyai palang-palang baja yang menancap dan menembus ke dalam gua dan dipalang dari dalam sehingga tentu saja takkan dapat dibuka dari luar. Palang itu pun tertutup oleh batu karang dan berada di tempat yang bersembunyi sekali. Dengan merogohkan lengan sampai ke siku, barulah Sin Hong dapat menyentuh palang itu dan menariknya ke atas. Terdengar suara bergerit dan terbukalah jalan keluar karena tempat tidur itu bergeser ke kanan!

   "Bagus, jalan keluar ke dunia ramai, terbuka bagiku!" seru Sin Hong girang sekali. Ia tidak ingin kembali, karena di dalam jurang itu tidak ada apa-apanya lagi yang penting baginya. Seluruh isi kitab telah pindah ke dalam kepalanya, kitab itu sendiri telah dibakarnya habis.

   Di dalam peti bekas tempat kitab rahasia, kini terletak sebuah kitab sejarah kuno yang tiada artinya, sedangkan gua tempat penyimpanan kitab itu pun telah tertutup dengan batu besar yang dulu menggelinding dari atas. Orang biasa saja takkan mungkin dapat menggeser batu itu dan mendapatkan gua. Andaikata ada yang mendapatkan gua itu pun, apa artinya? Paling-paling mendapatkan kitab sejarah!

   Sin Hong melangkah keluar melalui pinggir tempat tidur yang sudah tergeser ke kanan. Dengan tangannya ia lalu mendorong tempat tidur itu kembali ke tempat semula dan terdengar suara hiruk-pikuk di balik gua terowongan itu Sin Hong terkejut dan ia hendak melihat apa yang terjadi. Ditariknya tempat tidur itu, akan tetapi sia-sia! Ternyata bahwa palang yang berada di dalam gua telah turun sendiri mengunci ke bawah sehingga sekarang tempat itu takkan mungkin dapat dibuka orang dari luar.

   "Lebih baik lagi," kata Sin Hong.

   "Tempat ini takkan dapat diganggu orang lain."

   Ia lalu berjalan ke arah pintu kamar itu dan ketika ia membuka daun pintu, kembali ia tertegun. Ternyata bahwa kamar itu berada pula di dalam sebuah gua. Akhirnya ia teringat dan dengan girang ia berjalan keluar gua. Tidak salah dugaannya, ia telah berada di puncak Luliang-san, di Puncak Jeng-in-thia (Ruang Awan Hijau) sebelah timur! Dahulu sering kali melihat-lihat gua dan tempat-tempat lain di sekitar Jeng-in-thia, bahkan pernah ia masuk ke dalam gua ini. Ia teringat akan penuturan Luliang Sam-lojin bahwa gua ini adalah tempat bersamadhi Pak Kek Siansu. Siapa mengira bahwa di dalam gua yang sederhana yang hanya terdapat sebuah tempat tidur kuno yang kotor, terletak rahasia daripada tempat penyimpanan kitab dan pedang? Seorang pun takkan dapat mengira bahwa di belakang dinding batu kurang di mana tempat tidur itu berada, terdapat pintu rahasia yang dapat membawa orang ke dasar jurang yang berada di Jeng-in-thin!

   Sin Hong berlari masuk kembali ke dalam gua, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tempat tidur yang dahulu dipergunakan oleh Pak Kek Siansu untuk bersamadhi.

   "Suhu Pak Kek Siansu, teecu Wan Sin Hong menghaturkan terima kasih atas segala kemurahan hati Suhu."

   Setelah bersamadhi beberapa lama, ia lalu keluar dari gua. Angin puncak yang sejuk menampar mukanya dan ia merasa sehat dan segar. Melihat keadaan di puncak Luliang-san yang dikenalnya amat baik ini, teringatlah ia akan Luliang Sam-lojin. Hatinya berdebar kalau ia teringat akan peristiwa empat tahun lebih yang lalu. Puncak ini diserbu oleh orang-orang jahat seperti Giok Seng Cu dan yang lain-lain, dan kalau sampai Giok Seng Cu dapat tahu di puncak, pasti Luliang Sam lojin niengalami bencana ia maklum akan watak ketiga orang kakek itu yang pasti takkan memperbolehkan siapapun juga naik ke puncak Luliang-san.

   Teringat akan semua ini, Sin Hong lalu berlari cepat turun dan puncak. Baru beberapa langkah saja ia berhenti dan merasa heran sekali. ia telah berlatih lweekang dan ginkang menurut petunjuk dan kitab peninggalan Pak Kek Siansu, akan tetapi tak disangkanya bahwa tubuhnya sekarang demikian gesit dan ringan sehingga baru melompat beberapa kali saja ia sudah berada di tempat jauh dari puncak! Tentu saja Sin Hong menjadi girang sekali dan anak ini sengaja mengambil jalan yang sukar. ia melompati jurang yang dulu dianggapnya tak mungkin ia lompati, bahkan Luliang Sam Lojin sendiri kalau melompati jurang ini mengerahkan tenaga ginkang mereka. Akan tetapi sekarang dengan amat enak dan mudah ia melompat dan di lain saat ia telah berada di seberang jurang!

   Sambil menari kegirangan Sin Hong berlari terus ke arah lereng gunung di mana dahulu menjadi tempat tinggal Luliang Sam-lojin. Di sana sunyi saja, tidak kelihatan bayangan seorang pun manusia.

   "Apakah mereka pergi turun gunung? Ataukah " ada sesuatu yang hebat terjadi?" tanya Sin Hong di dalam hatinya sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja di situ, dan biarpun biasanya Sin Hong berada di dasar jurang yang amat sepi, namun pada saat itu ia benar-benar merasa betapa sunyi tempat itu, sunyi yang mendebarkan hati. Biasanya ia mendengar Luliang Siucai bernyanyi atau membaca sajak,. mendengar Luliang Ciangkun tertawa-tawa sambil minum arak atau mainkan pedang, melihat Luliang Nungjin bekerja rajin di sawahnya. Kini semua itu lenyap dan keadaan di situ seperti mati.

   "Luliang Sam-loheng..."" tak terasa lagi Sin Hong berteriak dengan hati duka. Hanya gema suaranya saja yang menjawabnya dari jurusan hutan batu karang.

   Dengan hati berat Sin Hong berlari naik ke atas dan melompat ke atas sebuah batu karang yang tinggi. Dari tempat tinggi itu ia memandang ke sekelilingnya, dan tiba-tiba ia melihat gundukan tanah sebanyak tiga gunduk! Itula tanda bahwa ada tiga makam di tempat itu!

   "Sam-loheng...." dan ia melompat turun dari batu karang dan terus berlari menghampiri tempat itu.

   Benar saja, di depannya terdapat kuburan berjajar dan biarpun di situ tidak terdapat tanda sesuatu maupun bongpai (batu nisan) namun Sin Hong seakan-akan melihat mayat tiga orang tua yang dikasihinya itu membujur di bawah tanah. Memang sesungguhnya tempat ini adalah tempat di mana Ciang Le mengubur jenazah Luliang Sam Lojin yang telah menjadi tulang-tulang berserakan ketika pendekar besar itu tiba di Luliang-san.

   "Sam-loheng, siauwte bersumpah akan mencari orang-orang yang membunuh Sam-wi Lo-heng dan akan membalas sakit hati ini..." Sin Hong menangts di depan tiga kuburan itu. Betapa ia takkan merasa duka? Di dalam dunia ini, selain Luliang Sam-lojin, tidak ada lagi orang yang menaruh perhatian kepadanya, kecuali Liang Gi Tojin dari Hoa-san-pai yang sudah tewas dan Lie Bu Tek, ayah angkatnya. Tiba-tiba Sin Hong melompat berdiri ketika teringat kepada ayah angkatnya.

   "Gihu telah dianiaya oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan lengannya dibacok putus oleh jahanam keparat Kong Ji Bagaimana sekarang keadaannya? Apakah masih hidup?" Setelah bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri dengan perasaan gemas terhadap Kong Ji, ia lalu melompat dan berlari turun dari bukit Luliang-san bagaikan terbang cepatnya.

   Setelah melakukan perjalanan jauh, makin terbuka mata Sin Hong bahwa sungguhnya ia telah mewarisi ilmu yang amat luar biasa dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang ia pelajari, terdapat pula pelajaran ilmu lari dan ilmu melompat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang hu. Ketika berada di dasar jurang tidak ada tempat yang cukup luas bagi Sin Hong untuk mencoba kepandaian ini akan tetapi sekarang setelah ia keluar dari tempat itu, ia mendapat kesempatan banyak untuk mencobanya. Dan ia sendiri merasa tertegun ketika melihat hasil daripada latihan-latihannya selama. tiga tahun lebih itu. Ilmu melompat jauh ini setelah ia coba, tubuhnya bagaikan dilemparkan oleh tenaga yang kuat sekali sehingga ia setengah melayang-layang di udara!

   "Alangkah senangnya hati Gi-hu kalau ia melihat kemajuanku," katanya perlahan dan kembali air matanya berlinang dengan penuh keharuan kalau ia teringat akan nasib Lie Bu Tek. Maka dipercepatlah larinya untuk segera dapat tiba di Hoa-san karena ia berniat pergi ke Hoa-san untuk mencari ayah angkatnya itu.

   Pada suatu pagi, setelah keluar dari drretan hutan-hutan besar, tibalah ia di sebuah dusun yang rumah-rumahnya amat sederhana. Tak sebuah pun di antara rumah-rumah itu yang beratap genteng, semua beratap daun kering. Alangkah miskinnya penduduk dusun ini, pikir Sin Hong. Akan tetapi, setelah ia memasuki dusun, ia menjadi heran sekali. Ternyata bahwa dusun itu kosong, tidak ada seorang pun kelihatan diluar pintu yang terbuka, dan keadaannya amat sunyi. Akan tetapi, jelas nampak bahwa rumah-rumah ini belum lama ditinggalkan para penghuninva. Pelatarannya masih bersih bekas disapu.

   Sin Hong merasa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin sore ia tidak bertemu dengan dusun dan tidak bisa mendapatkan pohon bcrbuah di dalam hutan yang dilaluinya. Harapannya akan mendapatkan makan di dusun itu lenyap seketika setelah ia melihat bahwa dusun itu benar-benar kosong melompong. Apa akal? Ia tidak bisa membiarkan saja perutnya yang kelaparan. Kalau ia tidak mempergunakan hawa di dalam tubuh melindungi perut dan dadan)a, mungkin sekali ia telah terserang penyakit.

   "Sebetulnya amat memalukan, akan tetapi apa daya, terpaksa kulakukan juga...." Dengan muka merah, Sin Hong mulai mencari cari di dalam rumah-rumah kosong itu, untuk melihat kalau- kalau ada sesuatu yang dapat dimakan.

   "Sial dan memalukan sekali...." gerutunya berkali-kali ketika ia keluar-masuk rumah tanpa mendapat apa-apa.

   "ntuk minta-minta seperti pengemis, ia tak merasa hina dan rendah apabila ia merasa perutnya lapar, akan tetapi untuk mencari-cari makanan di dalam rumah orang seperti seorang maling, benar-benar Sin Hong merasa rendah dan malu sekali.

   Akan tetapi setelah memasuki sepuluh buah rumah lebih. Sin Hong tak menemukan sesuatu kecuali seguci arak yang dibawanya keluar. ia merasa amat lapar dan haus dan juga terheran-heran mengapa sedikit sisa makan yang ia lihat ternyata sudah merupakan abu di depan setiap rumah, agaknya ketika para penghuni rumah pergi, mereka membakari makanan yang ada di situ. Terlihat periuk-periuk hangus dengan isinya yang sudah menjadi abu dan arang di depan pintu.

   "Apa yang terjadi di tempat ini?" pikirnya. Kemudian karena ia tak mungKin dapat memecahkan teka-teki ini, ia lalu mengangkat guci araknya dan menempelkan mulut guci pada bibirnya, siap hendak minum araknya.

   Tiba-tiba ia mendengar desir angin dan dengan tenang Sin Hong menggerakkan tangan yang memegang guci ke samping, menunda minumnya. Sebatang senjata rahasia piauw meluncur lewat di samping guci. Kalau ia tidak menggerakkan guci, pasti guci arak itu akan terpukul pecah oleh piauw tadi. Ia heran sekali. Sudah jelas bahwa pelempar piauw itu seorang ahli yang pandai, akan tetapi kalau mau menycrang secara menggelap kenapa piauw itu ditujukan kepada guci arak?

   la mendengar seruan keheranan dan cepat Sin Hong membalikkan tubuhnya. Yang berseru keheranan adalah seorang tosu berjenggot dan berambut hitam, orang yang agaknya melepaskan piauw tadi dan kini terheran karena melihat piauwnya tidak mengenai sasaran. Adapun di sebelah tosu ini berthri seorang tosu lain, seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua akan tetapi mukanya demikian sehat dan segar sehingga kulit mukanya itu nampak kemerahan. tosu tua ini berseru,

   "Anak yang baik, lekas kaulempar jauh-jauh guci arak itu dan jangan minum isinya!"

   Telinga Sin Hong tajam luar biasa setelah ia berlatih ilmu silat tinggi dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. ia mendengar suara ini amat mengandung perasaan ngeri dan cemas luar biasa. Maka otomatis ia cepat melempar pergi guci arak itu ke tempat jauh. Guci itu pecah dan isinya mengalir keluar.

   "Bagus! Senang hatiku melthat kau baru. saja terlepas daripada bahaya maut yang mengerikan," kata pula kakek berjenggot putih itu dan kini mukanya menunjukkan keramahan yang sekaligus menawan hati Sin Hong. Anak ini cepat menghampin mereka dan menjura.

   "Jiwi Totiang (Bapak Pendeta Berdua) siapakah dan mengapa aku harus membuang guci arak itu pada saat aku merasa amat lapar dan haus?" tanyanya. Sin Hong pernah belajar ilmu surat dari Luliang Siucai dan telah banyak membaca kitab tentang sejarah dan kebatinan, telah pula mendengar banyak nasihat dari Luliang Siucai tentang pribadi dan sopan santun, maka sikapnya tidak mengecewakan sebagai seorang bocah yang tahu akan aturan.

   Kakek berjenggot itu tersenyum mengangguk-angguk dan mengelus-elus jenggotnya sambil berkata.

   "Aneh... aneh... kau bukan bocah dusun! Dari manakah kau? Dan siapa namamu, bocah yang kelaparan akan tetapi baik budi bahasamu?"

   Sin Hong tidak ingin namanya diketahui orang karena ia maklum bahwa banyak sekali musuh yang pasti akan mencari dan menewaskannya kalau mengetahui bahwa ia masih hidup, maka ia lalu menjawab,

   "Aku bernama Tan A Kai, seorang anak perantau yang tak tentu tempat timggalku. Aku kebetulan lewat di sini lalu perutku lapar sekali, maka karena tidak ada seorang pun di dusun ini, aku" aku lancang memasuki rumah untuk mencari makanan." Muka Sin Hong menjadi merah sekali ketika mengucapkan pengakuan ini.

   Kakek itu tertawa terbahak-bahak.

   "Anak baik, kau masih dapat merasa malu untuk perbuatan itu, bagus sekali! Nah, kaumakanlah ini kalau lapar!" Dari saku bajunya, kakek itu mengeluarkan sebutir buah berwarna merah yang diberikannya kepada Sin Hong. Sambil mengucapkan terima kasih Sin Hong menerima buah itu dan segera dimakannya. Alangkah girangnya ketika mendapat kenyataan bahwa buah itu amat manis dan wangi dan yang lebih mengherankan lagi habis satu saja perutnya menjadi kenyang!

   "Bolehkah aku mengetahui nama Ji wi Totiang?" tanya Sin Hong seteLah menghabiskan buah itu.

   "Untuk apa kau tanya-tanya? Pergilah, kanii ada pekerjaan!" Tosu berjenggot hitam membentaknya. Sin Hong melirik. Baru sekarang ia memperhatikan tosu ini, karena tadi seluruh perhatiannya tertarik oleh keadaan tosu yang ramah tamah dan bermuka terang itu. Sekali lihat saja Sin Hong merasa tidak suka kepada tosu ini. Alis tosu ini tebal, matanya tajam dan wajahnya cukup tampan akan tetapi tekukan bibirnya membayangkan sesuatu yang tak disukainya. Dari sikap dan kedudukan kedua kakinya, Sin Hong dapat menduga bahwa tosu nil adalah seorang ahli silat kelas tinggi.

   "Maaf kalau aku berlancang mulut," jawabnya tenang.

   "Aku bertanya karena aku ingin sekali mengetahui keadaan di dusun ini yang amat aneh. Aku adalah seorang bocah perantau, bagaimana akan jawabku kalau kelak ada orang bertanya?, Sebuah dusun kosong, lalu ada dua orang pendeta datang dan melarang aku minum arak dari guci yang kudapatkan di dusun. Benar-benar bisa bikin orang lain menaruh hati curiga. Akan tetapi, kala Ji-wi tidak mengaku, sudahlah, biarkan aku pergi dan sini pun tidak apa!"

   Akan tetapi sebelum Sin Hong berjalan pergi, kakek tua yang berjenggot putih itu menahannya dengan ketawanya yang ramah tamah dan suaranya yang halus.

   "Anak, tidak baik bagi seorang anak kecil untuk marah-marah dan mendongkol. Kau ingin tahu siapa kami? Dengarlah, aku disebut orang Kwa Siucai (Sasterawan she Kwa) tukang mendongeng dan juga tukang mengobati orang sakit. Adapun toyu (Sahabat) ini baru kemarin kujumpai dan kenal, namanya Kim Kong Tojin, menurut keterangannya seorang tosu dan Kun-lun-san. Adapun tentang dusun ini, juga menurut penuturan Kim Kong To-yu ini, telah kedatangan iblis penyebar racun dan maut, maka aku diminta datang untuk menyelidiki dan kalau perlu menolong mereka yang menjadi korban." Sambil berkata demikian, dengan wajahnya yang jujur dan ramah tosu berjenggot putih itu memandang kepada Kim Kong Tojin dengan tajam.

   Sin Hong adalah seorang anak yang mempunyai kecerdikan dan kecepatan berpikir. Melihat sikap Kim Kong Tojin, dapat menduga bahwa tosu ini bukan seorang baik, sebaliknya mellhat sikap Kwa Siucay" yang ramah tamah ia dapat menduga pula bahwa ahli pengobatan tentu secara terpaksa berada di tempat ini, dipaksa oleh Kim Kong Tojin.

   "Akan tetapi ke mana perginya semua penghuni dusun, dan siluman apakah yang mengganggu tempat ini?" Sin Hong pura-pura ketakutan dan memandang ke kanan kiri.

   "Sebagian besar penghuni dusun telah tewas dan yang lain telah melarika diri karena takut," kata Kim Kong Tojin dengan sikap menakut -nakuti Sin Hong sungguh pun ia merasa mendongkol sekali terpaksa harus bercakap-cakap dengan seorang bocah di tempat itu.

   "Segala sesuatu di tempat ini mengandung racun, kalau tadi terus minum arak itu, sekarang kau tentu sudah menjadi mayat!"

   Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dan tidak dapat mengganggu engkau "." di dalam hatinya Sin Hong berkata.

   "Tosu ini tentu mengandung maksud tertentu. Dengan adanya aku di sini, ia akan bercuriga dan akan melakukan sesuatu dengan bersembunyi. Agaknya ada sesuatu yang mengancam kakek sasterawan ini. Lebih baik aku mengamati dari jauh." Setelah berpikir demikian ias lalu berkata dengan suara takut-takut.

   "Aduh celaka! Kalau begitu apa perlunya aku lama-lama berada di tempat terkutuk ini. Terima kasih Ji-wi Totiang, aku mau pergi saja!" Tanpa menanti jawaban, ia lalu berlari-lari seperti seorang anak yang ketakutan. Terdengar kedua orang kakek itu tertawa melihat ia lari ketakutan.

   Memang apa yang diduga oleh Sin Hong tidak meleset jauh. Sebagaimana mungkin masih ada pembaca yang ingat. Kwa Siucai adalah seorang tersohor sebagai seorang ahli dongeng cerita-cerita rakyat dan juga amat tinggi ilmunya dalam hal pengobatan. Di dalam cerita Pendekar Budiman, Kwa Siucai ini pernah menolong jiwa pendekar besar Ciang Le ketika pendekar ini terluka oleh senjata rahasia beracun.

   Kwa Siucai adalah seorang perantau dan ketika merantau sampai di dekat dusun itu, ia bertemu dengan Kim Kong Tojin yang menceritakan bahwa di dusun itu berjangkit penyakit yang aneh. Banyak penduduk tewas karena siapa pun juga yang tinggal di dusun itu sehanis makan atau minum lalu mati. Hal ini tentu saja menarik perhatian Kwa Siucai sebagai ahli pengobatan, akan tetapi mata kakek ini masih tajam dan ia merasa bercuriga terhadap Kim Kong Tojin. Ia sudah luas pengalamannya dan banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang dikenalnya, namun belum pernah ia mengenaI tosu ini yang mengaku sebagai orang dari Kun-lun san. ia hendak menolak, akan tetapi Kim Kong Tojin berkata dengan nada suara tidak senang,

   "Kwa Siucay kau sebagai seorang ahli pengobatan, mendengar akan adanya malapetaka ini bagaimana bisa menolak permintaanku untuk menyelidiki dan memberi pengobatan? Orang yang mati telah kusingkirkan, bahkan yang masih hidap sudah pada pergi meninggalkan dusun. Kalau racun atau siluman penyebar racun itu tidak dibasmi, bagaimana aku bisa disebut ahli silat yang menjunjung tinggi kegagahan dan kau sebagai seorang ahli pengobatan yang suka menolong orang?"

   Kwa Siucai dapat mendengar nada ancaman dalam kata-kata ini maka ia tertawa dan berkata.

   "Baiklah, To-yu, aku akan ikut kau ke sana. Akan tetapi, biarpun soal pengobatan adalah tanggunganku, namun kalau muncul siluman-siluman jahat kaulah yang menghadapinya."

   "Jangan khawatir, Kwa Siucai, siluinan-siluman jahat adalah makananku sehari-hari. Akan tetapi apakah kiranya kau dapat membereskan wabah yang aneh itu? Apakah betul-betul kau ahli dalam hal pengobatan racun seperti yang sering kali kudengar? Menurut pendengaranku di dunia kang-ouw banyak sekali tokoh tokoh mempergunakan ribuan macam bisa yang aneh-aneh seperti halnya tokoh besar See-thian Tok-ong."

   Kwa Sweat mainkan bibirnya dan sepasang matanya bersinar-sinar.

   "Hmm, orang semacam See thian Tok-ong amat sombong. Biarpun aku belum pernah melihat mukanya, namun aku dapat membayangkan bahwa orang-orang yang memakai nama Raja Racun bukanlah orang yang baik, mungkin bukan manusia. Penggunaan racun untuk merobohkan orang lain adalah kejahatan yang securang-curangnya."

   "Akan tetapi dapatkah kiranya Kwa Siucai menyembuhkan dan menolak semua racun dari Raja Racun itu dengan pengobatan?"

   "Mengapa tidak?" jawab Kwa Siucay menantang.

   "Semua racun yang ia keluarkan akan dapat kulawan dengan pengetahuanku tentang obat-obatan pemberian alam yang maha kuasa."

   Demikianlah, dua orang itu berangkat ke dusun dan kebetulan sekali mereka melihat Sin Hong hendak minum arak dari guci-guci yang didapatkannya dari dalm rumah. Kwa Siucai cepat menyuruh Kim Kong Tojin mencegah bocah itu melanjutkan minumnya dan Kim Kong Tojin cepat melemparkan piauwnya, akan tetapi tak tersangka-sangka bocah itu menggerakkan guci sehingga piauwnya tidak mengenai sasaran. Mula-mula Kim Kong Tojin merasa terkejut dan heran. Ia telah terkenal dengan ilmunya menimpuk dengan senjata rahasianya, mengapa dalam jarak yang paling jauh empat puluh kaki ia tidak dapat menimpuk guci yang demikian besarnya? Akan tetapi ia segera mendapat pikiran bahwa gerakan bocah itu adalah kebetulan saja, bukan karena ia kurang pandai menimpuk atau karena bocah itu memiliki kepandaian, semua tentu hanya kebetulan saja.

   Setelah Sin Hong lari pergi dari situ Kwa Siucai bersama Kim Kong Tojin lalu masuk ke dalam dusun dan sasterawan itu mulai melakukan pemeriksaan. Dalam rumah pertama, begitu masuk ia menggerakkan hidungnya dan mengerutkan kening.

   "Hm, aneh sekali. Bagaimana di tempat seperti ini bisa terdapat seekor Pek-gan-coa (Ular Mata Putih)?"

   "Apa maksudmu, Kwa Siucai?" tanya Kim Kong Tojin dan air mukanya berubah.

   "Diam dan tunggulah saja," kata sasterawan itu yang segera duduk bersila di tengah ruangan rumah yang berlantai tanah itu. Dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan besar yang ketika dibuka terisi beberapa puluh macam bungkusan kertas kecil-kecil. ia memilih sebuah bungkusan kecil setelah membaca tulisan-tulisan di atas setiap bungkusan. Bungkusan itu dibukanya dan ia menjemput sedikit bubuk warna biru yang disebarkan di depannya. Tercium bau yang wangi oleh Kim Kong Tojin ketika sasterawan itu menyebarkan bubuk biru ini, dan kepalanya menjadi pening. Buru-buru ia melangkah mundur menjauh dan menonton semua itu dari jarak jauh dengan hati berdebar.

   Sunyi beberapa lama. Kwa Siucai duduk tak bergerak sambil meramkan mata seperti orang bersamadhi. Kim Kong Tojin juga tidak berani bergerak. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis dari atas. Kwa Siucai tetap tidak bergerak, akan tetapi Kim Kong Tojin menggerakkan mata memandang ke atas. Alangkah ngerinya ketika ia melihat seekor ular yang kecil akan tetapi panjangnya tidak kurang dari dua kaki, merayap turun tiang. Ular itu warnanya biru, akan tetapi sepasang matanya putih mengerikan. Lidahnya yang hitam terjulur keluar masuk dari mulutnya. Dengan perlahan ular itu merayap turun terus menghampiri Kwa Siucai!

   Kim Kong Tojin tetap tidak bergerak, akan tetapi diam-diam ia telah memegang sebatang senjata rahasia piauw di tangan kanan, siap untuk memmpuk ke arah ular itu kalau binatang berbisa ini menyerang Kwa Siucai. Akan tetapi ular itu tidak menyerang Kwa Siucai, melainkan menghampiri bubuk biru yang tersebar di depan sasterawan itu lalu... bagaikan seekor binatang yang jinak ia menjulurkan lidah dan menjilati tepung biru itu! Kelihatan enak sekali ia makan tepung itu sehingga sebentar saja tepurg itu sudah habis. Ular itu masih menggunakan lidah untuk menjilati tanah bekas tempat tepung tersebar, akan tetapi tiba-tiba ia diam tak bergerak"

   Kwa Siucai tertawa dan melompat berdiri.

   "Hm, seekor ular ini saja sudah cukup membunuhi semua penghuni dusun, ia lalu membungkuk dan memegang ular itu pada lehernya. Ular itu masih hidup akan tetapi tubuhnya lemas tak bertenaga sedikitpun juga.

   "Eh, Kwa Siucai, bagaimana ia bisa menjadi begitu lemas?" tanya Kim Kong Tojin dengan kagum.

   "To-yu, kau tidak tahu. Pek-gan-coa ini adalah ular yang paling berbahaya dan gigitannya sukar diobati. Entah bagaimana ia dapat datang ke suni, pada hal biasanya ular macam ini hanya hidup di daerah utara yang dingin. Kau lihat bukankah dengan obatku aku mampu bikin dia tak berdaya? Juga orang yang menjadi korban gigitannya, kalau belum lewat sehari semalam, aku sanggup mengobatinya."

   Kim Kong Tojin mengangguk angguk kagum.

   "Apakah namanya obat tadi, Kwa Siucai? Bolehkah aku bertanya agar kelak kalau ada aku dapati orang tergigit olehnya, boleh aku mencoba menolonginya?"

   Kwa Siucai tersenyum.

   "Tidak mudah, To-yu. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu pengobatan, jauh lebih sukar daripada mempelajari ilmu silat. Kalau tidak demikian, mengapa aku lebih suka mempelajari ilmu pengobatan? Obat tadi adalah sari bunga bwee biru dari utara. Sudahlah, kita bertmtung sekali bertemu dengan ular ini. Memanggangnya sampai hangus, arangnya dapat menjadi obat penawar racun yang manjur." Kwa siucai memasukkan ular itu ke dalam saku bajanya yang lebar, lalu menyimpan kembali bungkusan obatnya.

   Di rumah ke dua dan ke tiga, ternyata bahwa racun yang tersebar di situ adalah racun ular mata putih juga. Akan tetapi di rumah ke empat, baru saja memasuki rumah, Kwa Siucai mengeluarkan seruan tertahan.

   "To-yu, mundurlah, Jangan masuk dalam rumah ini. Berbahaya sekali!" serunya.

   Kim Kong Tojin melompat mundur akan tetapi mengintai dari balik daun pintu, melihat apa yang hendak dilakukan oleh sasterawan tua itu. Kwa Siaucai berhenti di tengah ruangan rumah yang agak gelap ini, lalu mengeluarkan sebungkus garam dan mencampur garam halus itu dengan obat bubuk warna putih. Kemudian ia menyebarkan bubukan ini ke sudut-sudut ruangan, ke atas dan ke tempat-tempat yang dapat dipakai bersembunyi binatang kecil.

   Bau apek memenuhi ruangan itu tiba-tiba melayang sebuah bayangan kecil yang berwarna kuning emas dan sebelum ia dapat mengelak, tahu-tahu lengan kiri Kwa Siucai telah tergigit oleh seekor kelabang yang besarnya melebihi Ibu jari kaki! Kelabang itu menggigit lengan di bawah saku dan tidak mau melepaskan lagi. Baju Siucai bukan apa-apa baginya dan segera gigitannya telah mengenai kulit.

   Kwa Siucai terhuyung-huyung dan cepat ia berlari keluar. Sampai di luar, ia cepat menjatuhkan diri duduk dan dengan langan kanan, ia mengeluarkan bungkusan obatnya. Kim Kong Tojin memburu dan bendak mencahut pedangnya, akan tetapi Kwa Siucai berseru.

   "Jangan sentuh!!"

   Kwa Siucai mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna putih, mengambil guci araknya dan menuangkan sedikit arak ke dalam tutup guci. Obat bubuk warna putih itu ia tuangkan pula setengahnya ke dalam tutup guci yang dijadikan cawan, kemudian ia mengambil pula sebutir pil warna merah yang segera ditelannya. Setelah itu ia minum arak yang bercampur obat itu.

   Sehabis minum obat itu ia menjadi tenang. Sambil tersenyum ia mengamat-amati kelabang yang masih melingkar di lengannya dan ia mengangguk-angguk.

   "Benar-benar aneh. Apakah dunia utara dan selatan sudah kiamat sehingga binatang-binatang berbisa macam ini bisa berkumpul di sini?" Ia menengok ke arah Kim Kong Tojin yang memandang kepadanya dengan gelisah.

   "To-yu, tahukah kau binatang apa ini? Inilah kelabang kulit emas yang hanya terdapat di daerah selatan yang panas. Sekali gigit saja ia mencwaskan orang dan setiap makanan yang dilaluinya juga akan mengandung racun jahat."

   "Akan tetapi kau... kau telah digigitnya, Kwa Siucai...."

   "Tidak apa, bukankah aku tukang mengobati gigitan-gigitan binatang berbisa? Aku takkan apa-apa, sebaliknya binatang ini akan menjadi milikku." Sambil tertawa-tawa girang Kwa Siucai lalu menjatuhkan beberapa banyak bubuk obat putih itu ke arah kepala dan tubuh kelabang yang masih menempel pada lengannya. Tiba-tiba kelabang itu melepaska gigitannya. Jatuh di atas menggeliat-geliat dan kemudian diam tak bergerak, mati!

   "Ha, minyak dari tubuhnya akan menjadi obat yang manjur bagi penyakit gatal," kata Kwa Siucal girang dan cepat ia masukkan kelabang yang sudah menjadi bangkai itu ke dalam saku bajunya yang lain lagi.

   Semua rumah itu dimasuki oleh Kwa Siucai dan makin besar keheranannya ketika di rumah-rumah ia mendapatkan binatang-binatang berbisa yang amat berbahaya seperti kalajengking, segala macam ular dan kumbang. Baiknya Kwa Siucai benar-benar ahli dalam hal pengobatan, bahkan beberapa kali ia terkena gigitan binatang berbisa. Dalam menghadapi binatang-binatang berbisa yang datang dari segala penjuru itu memang aneh dan berbahaya, ia sampai beberapa kali membuka kitab tebal kecil yang selalu dibawanya di dalam saku untuk mempelajari kembali agar jangan sampai salah memperrgunakan obat penolaknya.

   

Pendekar Budiman Eps 12 Memburu Iblis Eps 25 Pendekar Pedang Pelangi Eps 11

Cari Blog Ini