Ceritasilat Novel Online

Pendekar Budiman 15


Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




   Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu terpaksa mundur dengan kaget sekali. Serbuan pemuda ini benar-benar hebat dan tenaga yang keluar dari sambaran pedang Kim kong kiam sekaligus dapat membuat sepasang roda dan rantai itu terpental memukul pemegangnya sendiri! Beberapa jurus lamanya Ciang Le tidak mau memberi kesempatan kepada dua orang lawannya untuk membalas serangannya, ia mendesak dan mengeluarkan Ilmu Silat Pak kek Sin ciang hoat yang lihai. Oleh karena ilmu silat ini memang ilmu silat rahasia yang belum pernah terlihat di dunia dan yang kehebatannya menduduki tingkat tertinggi, tentu saja Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu menjadi bingung dan tidak dapat membalas serangan pemuda itu, melainkan sibuk menjaga diri karena pedang kuning emas itu seakan-akan berobah menjadi puluhan banyaknya.

   Ciang Le memang hanya bermaksud menolong Bi Lan saja dan memberi kesempatan kepada gadis itu untuk melarikan diri, maka setelah ia mendesak beberapa jurus dan mengerti bahwa kini Bi Lan telah lari jauh, tiba-tiba ia meloncat keluar dari kalangan pertepruran dan berlari meninggalkan Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu! Bukan main marahnya kedua orang ini. Sambil memaki-maki mereka lalu melepaskan senjata-senjata gelap ke arah bayangan Ciang Le yang meloncat jauh. Akan tetapi Ciang Le adalah bekas murid Thian Lo-mo, seorang ahli amgi (senjata gelap) yang lihai sekali. Sebelum senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh kedua orang pendeta itu mengenai tubuh Ciang Le, terlebih dulu pemuda ini sudah menggerakkan tangan kirinya dan beberapa benda berkerdepan telah menyambar dan memukul runtuh semua senjata rahasia lawan.

   Sebelum menjadi murid Pak Kek Siansu, Ciang Le memang sudah ahli dalam penggunaan senjata rahasia yaitu kepandaian yang dipelajarinya dari Thian Lo-mo. Setelah ia menjadi murid Pak Kek Siansu di puncak Luliang san, ia menambah kepandaiannya ini dengan penggunaan Siauw seng ciam (Jarum Bintang Kecil), yaitu senjata rahasia yang dahulu seringkali dipergunakan oleh Pak Kek Siansu di waktu muda. Setelah dapat melarikan diri dari Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu, Ciang Le berlari terus. Akan tetapi, tiba-tiba dari balik sebatang pohon meloncat keluar sesosok bayangan dan ketika ia memandang, ternyata Bi Lan telah berdiri di hadapannya! Keadaan suram suram mendekati gelap dan ia tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya, tahulah Ciang Le bahwa ia berhadapan dengan gadis yang ditolongnya tadi.

   "Anjing pemerintah Kin, kau masih mengejarku? Asal jangan main keroyokan, aku Liang Bi Lan takkan mundur setapakpun!" seru BiLan sambil maju menerjang dengan pedangnya. Di dalam gelap, gadis inipun tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang ia hadapi, akan tetapi karena orang ini berlari cepat mengejarnya tentu saja ia menduga bahwa orang ini juga seorang kaki tangan Sam Thai Koksu yang mengejarnya. Ciang Le menjadi geli dan diam-diam ia memuji ketabahan hati gadis muda ini. Dimaki dan diserang, ia diam saja, hanya segera mengeluarkan pedangnya dan melayani Bi Lan bermain pedang!

   Ketika mereka bertempur dam bergebrak beberapa jurus lamanya, keduanya terkejut dan heran. Bi Lan merasa terkejut sekali karena ternyata bahwa kepandaian atau ilmu pedang dari lawannya ini benar-benar lihai sekali, adapun Ciang Le merasa terheran-heran karena ia mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Lan sebagai ilmu pedangnya sendiri sebelum menjadi murid Pak Kek Siansu, yakni ilmu pedang dari Thian Te Siang mo dan biarpun gerakan gadis ini lebih lihai dan juga ilmu pedang itu banyak sekali kemajuannya seakan-akan kedua bekas gurunya itu telah menyempurnakannya, namun pada dasarnya sama saja dengan ilmu pedang yang ia pernah pelajari dari Iblis Kembar itu. Maka iapun lalu merobah gerakan pedangnya dan kini iapun mainkan ilmu Pedang Thian Te Kiam sut yang tentu saja dikenal baik oleh Bi Lan.

   "Eh, siapa kau?" gadis ini membentak dengan suara heran.

   "Dari mana kau mencuri ilmu pedang Thian Te Kiam hoat?"

   "Tidak ada yang mencuri ilmu pedang. Sebaliknya kau tadi mengaku anak murid Hoa-san-pai, mengapa sekarang mainkan ilmu pedang dari Thian Te Siang mo?? Sejak kapankah kau menjadi murid dari kedua orang guruku?"

   "Hm" kau mengaku guru kepada kedua suhuku? Tak salah lagi kau tentulah Go Ciang Le murid yang murtad dan yang mengkhianati kedua suhuku itu!" Seru Bi Lan yang sengaja bersikap keras, padahal hatinya berdebar-debar karena ia kini berhadapan dengan cucu dari kakek angkatnya, yaitu Tan Seng.

   "Eh, eh, nanti dulu!" kata Ciang Le.

   "Betapapun juga, kalau kau sudah menjadi murid mereka kau masih terhitung sumoiku sendiri. Bagaimana kau tadi dapat katakan bahwa aku seorang murid murtad dan mengkhianati guru-guruku!"

   "Karena kau meninggalkan mereka dan belajar silat kepada orang lain!" Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak, seakan-akan ia mendengar sesuatu yang amat menggelikan hatinya. Bi Lan menjadi gemas, sayang ia tidak dapat melihat dengan nyata wajah pemuda itu, karena keadaan gelap. Akan tetapi ia dapat melihat bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, biarpun tidak setegap tubuh Lie Bu Tek suhengnya, dan dapat mendengar bahwa suara pemuda ini lantang akan tetapi bernada halus.

   "Kenapa kau tertawa? Apanya yang lucu?" Ciang Le menahan suara ketawanya.

   "Karena kau tadi memaki aku sebagai murid murtad dan berkhianat, sedangkun kau sendirpun murtad dan berkhianat." Bi Lan terkejut.

   "Kurang ajar, kau lancang sekali."

   "Bukankah betul kata-kataku tadi. kau, seorang anak murid Hoa-san-pai, namun kau juga meninggalkan Hoa-san-pai dan menjadi murid Thian Te Siang mo. Orang selagi muda mencari kemajuan, mengapa disebut murtad dan berkhianat?" Bi Lan tertegun. Memang, biarpun kedua orang suhunya telah berpesan agar kalau bertemu dengan Ciang Le ia suka menghajar murid murtad itu, namun di dalam hatinya tentu saja ia merasa berat untuk melakukan tugas ini. Pertama-tama ia sendiripun berganti guru, sama halnya dengan Ciang Le, ke dua karena Ciang Le adalah cucu dari kakek angkatnya!

   "Kau pandai memutar lidah! Cukup tentang itu, sekarang hendak kubertanya apakah maksudmu mengejarku? Apakah kau sudah menjadi kaki tangan pemerintah Kin?"

   "Nona, jangan menuduh secara sembarangan saja. Kita bersatu haluan. Bahkan aku tahu pula akan maksud kedatanganmu, tentu hendak mencari tokoh-tokoh Hoa-san-pai itu dan hendak menolong mereka bukan? Tak usah kau bersusah-payah, kalau hendak bertemu dengan mereka, pergilah ke bio (kuil) rusak di sebelah barat kota, di dalam hutan bambu itu." Setelah berkata demikian, Ciang Le meloncat ke dalam gelap dan lenyap dari situ.

   "Sayang... aku belum dapat melihat mukanya... dan belum berkesempatan untuk menanya tentang riwayatnya. Apakah ia tidak tahu bahwa kong kong adalah kakeknya yang aseli?" pikir Bi Lan dan teringatlah ia akan kata-kata pemuda itu. Benar-benarkah ia akan dapat menemui kong kongnya dan suhu-suhunya di dalam hutan sebelah barat kota? Hatinya berdebar penuh harapan ketika Bi Lan berlari-lari dalam menuju ke barat.

   Ketika ia tiba di dalam sebuah hutan bambu, benar saja ia melihat kuil kuno yang biarpun di bagian bawahnya sudah buruk dan rusak, namun gentengnya masih kuat dan baik. Ia meloncat ke atas karena sebagai seorang gadis kang ouw yang berpengalaman, ia selain berlaku hati-hati dan menyelidiki lebih dulu sebelum mengambil tindakan. Begitu kakinya menginjak genteng, lampu penerangan yang tadinya terpasang di dalam kuil itu padam dan tiba-tiba dari bawah menyambar tiga buah benda ke arah tubuhnya, Bi Lan terkejut dan cepat mengelak sambil mengulur tangannya. Ia berhasil menyambar sebutir senjata rahasia itu dan ketika dilihatnya ternyata itu adalah sebutir besi thi lian ci, senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh Tan Seng, kakeknya!

   "Kong kong! Suhu, teecu Bi Lan berada di sini!" teriak Bi Lan dengan girang sekali! Terdengar seruan girang dan juga terheran dari bawah dan tak lama kemudian, dari bawah melayang naik, tiga bayangan yang bukan lain adalah Tan Seng, Liang Gi Cinjin dan Liang Tek Sian seng! Bi Lan cepat-cepat memberi hormat dengan hati girang sekali.

   "Bi Lan, sungguh tidak kami nyana bahwa kau yang datang! Semenjak tadi memang ada bayangan seorang yang mengintai kami, kami sedang menanti saat baik untuk menangkapnya. Agaknya ia mata-mata dari pemerintah Kin!" kata Tan Seng.

   "Kalau begitu, mari kita mencari dan membekuknya, kong kong!" kata Bi Lan dengan gemas.

   "Tadi dia datang dari jurusan sana!" kata Liang Gi Cinjin sambil menunjuk ke arah kanan kuil. Beramai-ramai mereka lalu mengejar ke jurusan itu, namun tidak nampak bayangan siapapun juga. Padahal, memang ada seorang laki-laki bertubuh pendek berkumis melintang panjang yang bersembunyi di balik wuwungan sebelah depan.

   Orang yang pendek kecil ini mempunyai gerakan yang amat lincah dan cepat. Juga ginkangnya sudah tinggi sekali sehingga ia tidak menerbitkan suara sedikitpun juga. Dengan sepasang matanya yang lebar ia mengintai ke arah mereka berempat yang mencoba mencarinya dan sikapnya seperti seorang maling yang amat mencurigakan. Ketika sudah melihat dengan jelas dan mendapat kenyataan bahwa tiga orang-tua itu adalah tokoh-tokoh Hoa-san-pai, sedangkan nona itu adalah pendekar wanita yang paru saja mengacau Enghiong Hweekoan, orang ini lalu bergerak hendak meninggalkan kuil. Akan tetapi, baru saja ia meloncat, tiba-tiba bayangan lain menyambar dan sebelum ia berdaya, ia telah kena ditotok oleh orang itu yang mempergunakan tiam hwat (ilmu menotok jalan darah) yang istimewa sekali.

   Orang pendek kecil ini seketika menjadi lumpuh seluruh tubuhnya dan ia tidak dapat melawan lagi ketika orang yang menotoknya itu memegang leher bajunya dan membawanya turun ke bawah dengan gerakan yang luar biasa ringannya. Orang yang menangkapnya ini bukan lain adalah Ciang Le yang diam-diam tadi mengikuti perjalanan Bi Lan. Setelah Ciang Le membuat pengintai itu tidak berdaya, ia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kuil, kemudian ia pergi meninggalkan kuil itu. Bi Lan dan tiga orang tokoh Hoa-san-pai kembali ke kuil dengan tangan hampa. Mereka telah mencari-cari, namun tidak menemukan orang di dalam hutan yang sunyi itu. Maka, alangkah heran dan tercengang mereka ketika di dalam kuil mereka melihat seorang laki-laki rebah dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya.

   "Inilah dia orang yang mengintai kami tadi!" kata Liang Gi Cinjin kepada Bi Lan, kemudian kakek ini lalu menotok orang itu untuk membebaskannya dari pengaruh totokan Ciang Le. Orang pendek kecil berkumis itu berlutut dengan tubuh gemetar, ia maklum bahwa kini ia telah berada di tangan musuh dan dalam keadaan berbahaya.

   "Kau siapa dan mengapa mengintai kami?" tanya Liang Gi Cinjin dengan suara keren.

   "Aku" aku tidak mengintai" aku seorang pelancong yang kemalaman di" di hutan ini..." jawab orang itu gugup.

   "Bohong!" Bi Lan membentak dan sekali pedangnya berkelebat, lenyaplah sebelah kumis orang itu! "Sekali lagi membohong, telingamu kupotong! Hayo mengaku kau siapa dan apa kerjamu di sini!" Dengan muka pucat dan suara megap megap, orang ini mengaku. Dia adalah seorang pencopet atau pencuri yang kenamaan di kota Cin-an dan telah lama bekerja sebagai mata-mata yang amat dipercaya oleh Sam Thai Koksu. Karena ia memiliki kepandaian berlari cepat dan ginkang yang sudah tinggi maka gerakannya gesit dan cocok sekali kalau ia menjadi seorang mata-mata. Ia bernama Lo Tek dan dijuluki Sin touw (Malaikat Copet)! Atas perintah Sam Thai Koksu ia disuruh menyelidiki keadaan orang-orang gagah yang mengganggu kota Cin-an dan kebetulan sekali ia dapat menemukan tempat bersembunyi tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang telah lari dari tempat kurungan mereka di Cin-an.

   "Dan bagaimana kau tahu-tahu meringkuk di sini dalam keadaan tertotok?" Tanya Bi Lan setelah orang ini menuturkan keadaan dirinya.

   "Aku"aku diserang oleh setan! Mungkin malaikat penjaga kuil yang menangkapku!" jawab Lo Tek dengan ketakutan.

   "Bohong!" Kembali pedang di tangan menyambar dan kali ini sebelah telinga Sin-touw Lo Tek putus.

   "Hayo mengaku sebetulnya!"

   "Ampun, Lihiap" aku" sungguh aku tidak bohong"tahu-tahu ada bayangan berkelabat dan sebelum aku dapat melihat siapa dia, aku telah ditotok dan dilempar ke tempat ini"" Bi Lan hendak membentak lagi, akan tetapi Tan Seng berkata mencegah,

   "Tentu dia penolong kami, siapa lagi yang begitu lihai?"

   "Kau adalah mata-mata Sam Thai Koksu, hayo ceritakan terus terang, siapa yang menjadi biangkeladinya sehingga Sam Thai Koksu memusuhi kami dan menawan kami?" Liang Tek Sianseng ikut mendesak mata-mata yang sudah mati kutu itu.

   "Aku tahu...aku tahu..." Lo Tek meringis-ringis sambil memegangi kepalanya yang berdarah di mana telinganya sudah copot.

   "Yang menghasut adalah orang-orang Go-bi-pai, siapa lagi? Kalau tidak ada Bu It Hosiang yang datang membujuk, tidak nanti Sam Thai Koksu memusuhi Cuwi dan tidak nanti pula aku sampai kehilangan telinga pada saat ini..." Bi Lan marah sekali. Ia menendang tubuh orang itu sehingga terlempar ke luar pintu. Liang Gi Cinjin mencegahnya bertindak terus, lalu orang-tua itu berkata kepada Lo Tek,

   "Kau pergilah, kami ampunkan nyawamu." Sin-tauw Lo Tek tentu saja menjadi girang dan cepat ia berlari pergi bagaikan seekor anjing kena pukul.

   "Orang-orang Go-bi-pai benar-benar kurang ajar. Mari kita menyusul ke Gobi, Suhu biarlah teecu yang akan menghajar adat kepada Bu It Hosiang!" kata Bi Lan marah-marah.

   "Nanti dulu, Bi Lan. kau tidak tahu bahwa kami bertiga telah mengalami hal yang mengagetkan dan tubuh kami masih lemah bekas luka-luka pukulan." Bi Lan baru sadar dan dia tiba-tiba bertanya,

   "Di mana adanya Suthai?" Mendengar pertanyaan ini, Tan Seng menghela napas.

   "Dia telah tewas karena luka-lukanya." Bukan main kagetnya, marahnya dan sedihnya hati Bi Lan mendengar ini. Ia menangis dan menyumpah-nyumpah orang-orang Go-bi-pai dan pemerintah Kin. Kemudian, atas pertanyaan kong-kongnya, ia menuturkan pengalamannya, betapa ia menerima pendidikan dari Thian-te Siang-mo sehingga tokoh-tokoh Hoa-san-pai itu menjadi girang sekali karena mereka dapat menduga bahwa kepandaian Bi Lan kini tentu amat tinggi.

   Sebaliknya Bi Lan lalu mendengar penuturan kakek angkatnya. Ternyata bahwa tiga orang tokoh Hoa-san-pai ini ditawan dan dibawa ke Cin-an, di mana mereka selain menerima siksaan juga mendapat bujukan dari Sam Thai Koksu agar supaya suka menyerah saja dan membantu pemerintah Kin. Tentu saja tiga orang kakek gagah ini tidak sudi menerima bujukan ini dan menyatakan lebih baik binasa dari pada membantu pemerintah Kin yang menindas rakyat Tiongkok.
(Lanjut ke Jilid 12)

   Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 12
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

   Jilid 12
Mereka diputuskan mendapat hukuman mati, akan tetapi pada malam hari terakhir, sesosok bayangan yang aneh dan luar biasa cepat gerakannya, merobohkan para penjaga tanpa banyak ribut. Kemudian bayangan ini di dalam gelap memutuskan belenggu mereka dan mengajak mereka pergi dari tempat tahanan.

   "Siapa dia itu kong kong?" tanya Bi Lan dengan hati berdebar, karena iapun teringat akan orang yang membantunya dalam pertempuran ketika ia terdesak oleh Ba Mau Hoatsu. Ia ada persengkaan bahwa orang itu tentu Ciang Le, akan tetapi ia rasa tidak mungkin pemuda itu memiliki kepandaian begitu tinggi. Kakeknya menggelengkan kepanya.

   "Ia tidak mau mengaku hanya membawa kami ke tempat ini dan minta kepada kami supaya beristirahat dan jangan pergi sebelum sehat benar. Dia tentu seorang pemuda yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi entah siapa kami tidak tahu."

   "Juga yang menangkap mata-mata tadi tentu dia pula" kata Liang Tek Sianseng sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Kong kong, tahukah kau bahwa Go Ciang Le cucumu itu masih hidup?" Tan Seng terkejut dan girang.

   "Betulkah? Di mana dia?"

   "Untuk apa aku membohong, kong kong? Aku bahkan sudah bertemu dengan dia di dalam gelap, sudah pula bertempur melawan dia! Dia juga murid dari Thian Te Siang mo, jadi suhengku sendiri." Bi Lan lalu menuturkan pertempurannya antara dia dan Ciang Le, akan tetapi tentu saja dia tidak menuturkan bahwa kedua suhunya berpesan agar supaya dia memberi "Hajaran" kepada pemuda itu!

   "Sayang mengapa kau tidak memberi tahu bahwa aku menunggu dan mencarinya." kata orang-tua ini.

   "Aku tidak diberi kesempatan, kong kong. Dia terus pergi lagi." Setelah berunding, empat orang Hoa-san-pai ini lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Go-bi-pai, memberi teguran kepada ketua Go-bi-pai yaitu Kian Wi Taisu, atas sepak terjang Bu It Hosiang yang khianat, mempergunakan tenaga pemerintah Kin untuk memusuhi Hoa-san-pai.

   ***

   Pemberontakan di Tiongkok utara, wilayah yang diduduki oleh pemerintah Kin makin meluas. Para gerilyawan melakukan perjuangan mati-matian, dibantu oleh orang-orang gagah dari utara dan selatan, orang-orang Han aseli yang tidak rela melihat bangsanya ditindas oleh orang Kin. Pemerintah Kin di utara makin menggila dan menindas rakyat. Banyak orang-orang Han dipaksa menjadi budak belian, diperdagangkan dan diperlakukan seperti kerbau peliharaan. Banyak sekali kaum tani dipaksa menjadi pelayan ketentaraan dan diperas tenaganya habis habisan. Setiap orang Kin menjadi bangsawan dan tiap orang bangsawan tentu mempunyai budak belian orang Han. Bahkan ada sekeluanga bangsawan besar mempunyai hamba hamba orang Han sampai seratus orang lebih! Namun pemberontakan rakyat tak kenal lelah dan tak kenal mundur.

   Dibunuh seorang maju dua orang, dibinasakan sepasukan maju dua pasukan. Muncullah orang-orang gagah yang memimpin barisan petani dan barisan rakyat yang berjuang dengan gigih, di mana-mana merupakan barisan berani mati, menyerbu dan mengganggu keamanan para petugas Kerajaan Kin. Barisan Kin dikerahkan dan Sam Thai Koksu menjadi sibuk sekali. Namun berkat bantuan Pak Hong Siansu yang lihai, setiap muncul barisan yang dipimpin oleh seorang gagah dari fihak pemberontak, pasti dapat dihancurkan. Banyak tokoh-tokoh kang ouw gugur dalam membela rakyatnya. Yang amat mengagumkan, biarpun tokoh-tokoh kang ouw yang tadinya berwatak kasar dan ganas, boleh dibilang jahat dalam pandangan umum, ketika melihat betapa banyak sekali bangsanya menjadi korban barisan Kin, serentak bangkit dan membantu perjuangan bangsanya!

   Orang seperti Coa ong Sin kai yang terkenal ganas, yang disohorkan berotak miring dan yang berani membunuh sesama manusia tanpa berkejap mata, sampai bisa tergerak hatinya dan kakek aneh ini bahkan berani seorang diri mendatangi Enghiong Hweekoan dan mengamuk! Hal ini terjadi pada suatu pagi. Ketika itu bala tentara Kin yang dipimpin oleh Kim Liong Hoat ong sendiri melakukan pembasmian terhadap sebuah dusun yang dianggap menjadi sarang pemberontak. Seluruh dusun dibakar musnah, orang-orang lelaki dibunuh dan perempuan perempuan diculik oleh barisan ini. Dalam waktu kurang dari setengah hari saja dusun itu telah menjadi tumpukan puing dan mayat rakyat berserakan di mana-mana ada diantaranya yang terpanggang api sampai hangus!

   Kebetulan Coa ong Sin kai berada di tempat yang tidak jauh dari dusun itu dan ketika kakek gila ini tiba di dusun yang sudah menjadi abu, timbul jiwa kepatriotannya dan ia menangis menggerung gerung ditengah dusun kosong itu. Kemudian, bagaikan orang gila, ia mencak-mencak dan langsung berlari cepat menuju ke Cin-an sambil memaki-maki di sepanjang jalan, menyumpah-nyumpah pemerintah Kin. Tentu saja setibanya di kota Cin-an, ia disambut oleh sepasukan penjaga yang hendak menangkap atau membunuhnya. Akan tetapi dengan ranting bambunya yang lihai ia membuka jalan darah dan sebentar saja sepuluh orang lebih penjaga roboh tak bernyawa lagi! Coa ong Sin kai terus berlari ke Enghiong Hweekoan dan menyerbu ke dalam sambil memaki keras,

   "Sam Thai Koksu, keluarlah untuk terima binasa!" Beberapa orang penjaga Enghiong Hweekoan keluar menyambut dengan golok di tangan, akan tetapi seperti penjaga kota tadi, sebentar saja terdengar jerit mengerikan dan beberapa orang itu roboh malang melintang dengan kepala pecah atau tubuh bolong bolong tertusuk ranting bambu!

   Pada saat itu, yang berada di dalam Enghiong Hweekoan adalah Sam Thai Koksu dan Ba Mau Hoatsu. Mereka ini sedang merayakan "Kemenangan" dari Kim Liong Hoat Ong yang siang tadi katanya melakukan pembersihan di dusun itu. Ketika mendengar ribut-ribut di luar, kemudian disusul oleh bentakan dan tantangan Coa ong Sin kai, mereka menjadi marah sekali dan memburu keluar dengan senjata siap di tangan. Sam Thai Koksu menjadi terkejut dan jerih juga melihat Coa ong Sin kai. Akan tetapi Bamu Hoatsu membentak kepada para penjaga yang mengeroyok Coa ong Sin kai supaya mundur, kemudian dia sendiri lalu menghadapi kakek Raja Ular itu dengan sepasang senjata rodanya.

   "Orang gila, bagus benar kau datang mengantar kematian. Memang telah lama aku mencarimu!" kata Ba Mau Hoatsu sambil mempersiapkan sepasang rodanya. Coa ong Sin kai menunda amukannya dan dengan mata merah ia memandang kepada Ba Mau Hoatsu. Tentu saja ia mengenal orang ini, akan tetapi ia tidak memperdulikan pendeta dari Tibet ini dan pandang matanya ditujukan ke arah Sam Thai Koksu.

   "Tiga anjing Kin, aku datang untuk menghirup darah kalian!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat menyerang kepada Kim Liong Hoat ong! Sam Thai Koksu terkejut sekali dan berbareng mereka menangkis serangan ini. Namun gerakan Coa ong Sin kai bukan main hebatnya, karena ia berada dalam keadaan marah.

   Ranting bambunya bagaikan telah menjadi seekor ular hidup yang bergerak berlenggak lenggok sukar sekali dijaga serangannya. Kim Liong Hoat Ong yang diserang menangkis dengan rantainya, dibantu oleh Tiat Liong Hoat Ong yang juga membantu suhengnya menangkis dengan goloknya. Adapun Gin Liong Hoat Ong yang memegang sepasang ruyung, menghantamkan ruyungnya ke pundak dan lambung Coa ong Sin kai! Akan tetapi, kakek yang dianggap gila ini sudah nekad benar rupanya. Ia tidak mengelak dari serangan ruyung dan ranting bambunya begitu tertangkis oleh rantai dan golok, bukannya ditarik mundur, melainkan diteruskan dan kini meluncur cepat menotok ulu hati Kim Liong Hoat ong. Serangan iri demikian tiba-tiba dan tak terduga sehingga orang pertama dari Sam Thai Koksu ini tidak melihat lain jalan untuk menghindarkan diri.

   Namun ia masih percaya bahwa serangan ruyung Gin Liong Hoat ong akan mengenai sasaran dan secepat kilat ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Pada saat itu, terjadilah akibat yang hebat dari serangan serangan ini. Terdengar pekik kesakitan dari Kim Liong Hoat ong dan seruan kaget dari Gin Liong Hoat ong. Ruyung sebelah kanan di tangan Gin Liong Hoat ong dengan tepat mengenai pundak Coa ong Sin kai dan terdengar tulang pundak kaket gila ini patah, akan tetapi ujung ranting bambu di tangan Coa ong Sin kai masih sempat menusuk pundak Kim Liong Hat Ong yang segera terguling dan merintih-rintih di atas tanah dengan muka menjadi pucat sekali. Adapun ruyung di tangan kiri Gin Liong Hoat Ong yang menyerang lambung Coa ong Sin kai, kena disabet oleh tangan kiri kakek pengemis ini dan terdengar suara,

   "Krak" dan patahlah ruyung yang kuat itu! Biarpun tulang pundaknya telah patah, namun Coa ong Sin kai seakan-akan tidak merasa sakit sama sekali. Terdengar ia tertawa bergelak dan menyeramkan kemudian ia menubruk mau menyerang Tiat Liong Hoat ong dengan ranting bambunya. Pada saat itu, sepasang roda di tangan Ba Mau Hoatsu menyambar cepat. Melihat datangnya senjata yang luar biasa lihainya ini, Coa ong Sin kai tidak berani menerimanya dan cepat mengelak. Sementara itu, ranting bumbunya telah berpindah ke tangan kiri, karena lengan kanannya tak dapat digerakkan lagi.

   Ia membatalkan niatnya menyerang Tiat Liong Hoat ong dan kini dengan sepenuh tenaga dan pengerahan kepandaiannya, ia menghadapi Ba Mau Hoatsu sambil masih tertawa bergelak gelak. Gin Liong Hoat ong dan Tiat Liong Hoat ong ketika melihat keadaan Kim Liong Hoat Ong yang terluka parah, menjadi marah sekali dan berbareng mereka mengeroyok Coa ong Sin kai. Akan tetapi, perbuatan mereka ini merugikan Ba Mau Hoatsu dan bahkan menggirangkan hati Coa ong Sin kai yang menjadi makin ganas. Dengan tendangan kaki berantai, ia berhasil membuat golok di tangan Tiat Liong Hoat ong terlempar jauh dan sebelum Tiat Liong Hoat ong sempat menangkis, sebuah tendangan kakek pengemis ini mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi karena tulang pahanya patah!

   "Ha-ha-ha! Anjing-anjing Kin, kalau belum membasmi kalian, aku belum puas! Ha-ha-ha!" Kata Coa ong Sin kai dan kini ia menubruk Gin Liong Hoat Ong yang sudah menjadi pucat dan gentar. Akan tetapi, Ba Mau Hoatsu mendesak maju dan karena perhatian Coa ong Sin kai ditujukan kepada Gin Liong Hoat Ong yang hendak dirobohkannya ia tidak dapat menjaga datangnya roda kiri di tangan Ba Mau Hoatsu yang amat lihai,

   "Prak!" dengan tepat sekali roda itu menghantam kepala Coa ong Sin kai dan pengemis tua ini menjerit ngeri, akan tetapi ia masih sempat melontarkan rantingnya ke arah Ba Mau Hoatsu. Lontaran ranting ini dilakukan dengan tenaga terakhir sebelum ia roboh tak bernyawa di atas tanah karena kepalanya telah pecah. Bukan main hebatnya lontaran ini dan Ba Man Hoatsu maklum bahwa ranting ini ujungnya mengandung racun dan apabila mengenai tubuhnya akan berbahaya sekali.

   Ia cepat menangkis dengan sepasang rodanya sehingga ranting itu menyeleweng ke pinggir dan menjeritlah seorang penjaga, lalu roboh tak bernyawa lagi. Ranting itu dengan keranya menancap di dadanya dan ia tewas di saat itu juga. Dengan amat marah, Gin Liong Hoat ong mengerjakan ruyungnya yang tinggal sebelah untuk memukuli kepala dan tubuh Coa ong Sin kai sehinga tak lama kemudian tubuh kakek pengemis itu sudah tidak karuan macamnya lagi. Ngeri orang-orang melihat peristiwa ini dan hati para perwira Kin menjadi gentar. Bukan main hebatnya orang-orang Han yang datang mengamuk. Baiknya ada Pak Hong Siansu yang datang pada senja harinya, karena kalau tidak ditolong oleh kakek sakti ini, agaknya Kim Liong Hoat Ong yang tertusuk ujung ranting bambu berbisa, tentu akan tewas. Sam Thai Koksu merawat luka mereka sambil menyumpah-nyumpah.

   "Masih ada dua orang lagi, yakni Iblis Kembar. Kalau mereka tidak dibasmi dan mereka beri kesempatan mengacau di sini, akan lebih hebat lagi," kata Kim Liong Hoat ong.

   "Jangan khawatir, biar dia datang kalau hendak mencari mampus!" kata Ba Mau Hoatsu. Mendengar ini Kim Liong Hoat ong menjadi mendongkol.

   "Apa lagi kalau mereka datang, sedangkan baru Coa ong Sin kai yang datang saja, hampir saja kami binasa. Kalau Pak Hong Siansu berada di sini, tentu takkan terjadi hal seperti ini." Ucapan ini terang terangan menyindir bahwa adanya Ba Mau Hoatsu di situpun tidak banyak gunanya!

   Merah wajah Ba Mau Hoatsu. Ia adalah seorang sombong yang segan mengalah, maka diam-diam ia timbul perasaan tidak senang kepada Sam Thai Koksu, katanya.

   "Salah sam wi sendiri, kalau tadi sam wi tidak ikut campur dan menyerahkan Coa ong Sin kai kepadaku seorang, tak nanti akan jatuh korban. Di dalam pertempuran menghadapi musuh pandai, paling selamat menonton saja di pinggir dan membiarkan orang yang lebih kuat maju melayaninya!" Ucapan inipun merupakan sindiran bagi Sam Thai Koksu yang terang terangan dikatakan masih terlampau rendah kepandaian mereka! Suasana menjadi panas dan Ba Mau Hoatsu maupun Sam Thai Koksu, kedua fihak telah mulai merasa tidak senang hati.

   "Tak perlu ribut-ribut," kata Pak Hong Siansu.

   "Hal yang sudah lewat tak perlu diributkan. Sekarang kita ke depan dan mencari jalan terbaik."

   "Tidak ada lain jalan lagi, sebelum harimau menyerang, kita turun-tangan lebih dulu!" kata Kim Liong Hoat ong.

   "Ucapan Kim Liong Hoat ong betul juga," kata Giok Seng Cu.

   "Pemberontakan ini tidak kuat kalau di belakang mereka tidak ada orang-orang seperti Coa ong Sin kai, orang-orang Hoa-san-pai, dan Thian Te Siang mo. Oleh karena itu, sebelum menanti mereka bergerak terlebih dulu membasmi mereka, adalah siasat yang baik sekali."

   "Akan tetapi Thian Te Siang mo tidak tentu tempat tinggalnya. Di mana kita bisa mencari mereka?" kata Pak Hong Siansu.

   "Memang aku sendiripun sengaja meninggalkan gunung dengan maksud mencoba kepandaian mereka."

   "Mudah saja," kata Kim Liong Hoat ong.

   "Kalau kita menyiarkan berita menantang mereka, apakah mereka tidak akan datang? Biar kami bertiga mempergunakan nama kami untuk menantang dia menantang pibu di kota Cin-an!" Demikianlah, tak lama kemudian, tersiar berita luas di kalangan kang ouw bahwa Sam Thai Koksu menantang Thian Te Siang no untuk mengadu kepandaian!

   ***

   Gan Hok Seng, murid ke tiga dari Hoa-san-pai, setelah bertemu dengan Bi Lan, cepat pulang dan ia mulai mengumpulkan kawan-kawan sehaluan di daerahnya, lalu ia memimpin pasukan suka rela ini untuk membantu perjuangan saudara-saudaranya di utara melawan pemerintah Kin. Sebelum berangkat, ia membuat sepucuk surat ditujukan kepada sucinya, yaitu Thio Ling In di Biciu, lalu ia menyuruh seorang kawannya naik kuda mengantar surat itu ke Biciu. Kemudian pada hari keberangkatan pasukannya ke utara, kebetulan sekali datanglah Lie Bu Tek di tempat itu. Hok Seng menyambut suhengnya ini dengan girang sekali dan Bu Tek juga menyatakan kesediaanya membantu sutenya, memimpin barisan ini menuju ke utara untuk digabungkan dengan para pejuang di sana.

   Karena melihat pakaian Lie Bu Tek yang berkembang sudsh tidak karuan macamnya lagi, Hok Seng lalu memberi pakaian kepada suhengnya itu dan Lie Bu Tek kini berganti pakaian seperti kawan-kawannya yang hendak berjuang, pakaian orang Han yang ringkas dan pedangnya tergantung di punggungnya. Pemuda ini telah mendapatkan semangatnya kembali dan ia berjalan dengan gagahnya di sebelah sutenya. Dengan semangat bernyala-nyala, rombongan orang-orang muda ini berangkat untuk menyumbangkan jiwa raga guna membela tanah air di utara yang dijajah oleh musuh! Thio Ling In menanti-nanti kembalinya suaminya dan hatinya mulai terasa gelisah. Ia hanya tahu bahwa suaminya tinggal di utara, di wilayah Kerajaan Kin dan ia mendengar pula akan keributan dan pemberontakan di utara.

   Telah berbulan-bulan suaminya tidak muncul dan ia setiap malam tak dapat tidur, mengkhawatirkan keselamatan suaminya yang dicintanya itu. Pada suatu senja, selagi ia duduk di depan rumahnya menanti dan mengharap-harapkan kembalinya Wan Kan, dari jauh ia melihat seorang laki-laki menunggang kuda yang dilarikan cepat sekali menuju ke arahnya. Hatinya berdebar penuh harapan dan ia bangkit dari duduknya karena mengharapkan bahwa yang dating itu suaminya. Akan tetapi alangkah kecewanya bahwa yang menunggang kuda itu adalah seorang laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Akan tetapi penunggang kuda ini menghentikan kudanya di depan rumah, lalu turun memberi hormat.

   "Apakah di sini rumah Biciu Lihiap Thio Ling In?" Tanya orang itu. Ling In mengerutkan keningnya.

   "Betul dan aku sendirilah Thio Ling In," jawabnya. Muka orang itu nampak girang.

   "Bagus, kebetulan sekali Lihiap. Memang aku sengaja dating dari jauh untuk menemui Lihiap."

   "Siapakah kau, dari mana datangmu?"

   "Aku datang dari Kanglam, diutus oleh Hui-houw Gan Hok Seng Toako untuk menyampaikan suratnya kepada Lihiap." Setelah berkata demikian, orang itu lalu mengeluarkan sepucuk surat dari saku bajunya. Ling In menerima surat ini dengan hati tidak enak.

   "Duduklah, saudara. kau datang dari tempat jauh dan mengasolah." Akan tetapi orang itu menggeleng kepalanya.

   "Aku harus segera kembali untuk menyusul pasukan Gan toako yang berangkat lebih dulu ke utara." Setelah berkata demikian, pesuruh Gan Hok Seng itu segera meloncat kembali ke atas kudanya, ia memang sudah tidak sabar lagi untuk segera menyusul rombongan pasukannya karena, kuatir kalau kalau tertinggal. Beginilah semangat kepahlawanan yang membakar dada setiap pemuda di waktu itu dan pergi perang menghadapi penjajah bagi mereka seakan-akan pergi menuju ke medan pesta! Ling In duduk kembali di atas bangkunya dan membuka surat dari Hok Seng. Dibacanya surat itu dengan berdebar.

   "Suci (Kakak seperguruan) THIO LING IN, Siauwte (adik) mengharap suci takkan terkejut dengan isi surat ini. Siauwte hendak berterus terang saja dan percayalah bahwa siauwte, juga Lie Suheng dan kami semua tidak mengandung rasa hati benci atau mendendam kepada suci karena dapat menduga bahwa perbuatan suci yang memutuskan hubungan dengan Lie Suheng dan menikah dengan orang she Wan itu tentu dengan alas an yang kuat.

   Akan tetapi, hendaknya suci maklum bahwa orang yang bernama Wan Kan dan menjadi suami suci bukan lain adalah WAN YEN KAN, pangeran Bangsa Kin, musuh bangsa kita yang kejam dan ganas! Oleh karena itu, terserah kepada suci hendak bersikap bagaimana hanya ketahuilah bahwa kami juga Lie suheng, sekarang berangkat hendak membantu perjuangan rakyat di utara untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman dan penindasan kaum penjajah!

   Harap saja suci insyaf dan dapat mengambil tindakan yang sesuai sebagai anak murid Hoa-san-pai yang gagah perkasa!

   Tertinggal Hormatnya, Siauwte
GAN HOK SENG

   Membaca surat ini, pucatlah wajah Ling In. Kedua tangannya gemetar, bibirnya menggigil dan tak terasa pula surat itu terlepas dari tangannya. Kemudian ia menutup mukanya dengan kedua tangan dan menangis.

   "Kau ... kau " Wan Yen Kan Pangeran Kin"? Ya Tuhan Yang Maha Kuasa" bagaimana bisa terjadi hal seperti ini"?" Sampai setengah hari Ling In menangis dan segala pertanyaan ibu dan pamannya tak di jawabnya. Kemudian, bagaikan seorang gila dan nekad, tanpa mengeluarkan sepatah katapun kepada orang serumah, Ling In membuntal pakaiannya dan pergilah ia meninggalkan rumahnya.

   Tekadnya hendak mencari suaminya, hendak menuntut balas karena suaminya dianggap telah menipunya, ia akan mencari Wan Kan atau Wan Yen Kan, hendak dibunuhnya, kemudian ia akan membunuh diri sendiri, karena sesungguhnya ia cinta kepada suami itu, siapapun juga adanya orang itu! Ibu dan pamannya hanya saling pandang dengan bingung dan nyonya Thio hanya bisa menangis dan mengeluh melihat kepergian puterinya. Akan tetapi ketika ia mendapatkan surat dari Hok Seng bukan main bingung dan menyesalnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa mantunya yang kelihatan baik itu adalah pangeran Bangsa Kin! Sementara itu, di dalam istana Kaisar Kin terjadi peristiwa lain lagi, Wan Yen Kan ribut mulut dengan ayahnya.

   "Kalau kau ingin mempunyai selir perempuan Han, tentu saja aku tidak keberatan. kau boleh mencari beberapa belas atau beberapa puluh sesukamu. Akan tetapi membawa seorang perempuan Han ke sini untuk menjadi isteri tunggal? Tak mungkin!"

   "Ayah, aku cinta kepadanya dan aku tidak mau menikah dengan wanita lain!" bantah Wan Yen Kan.

   "Bodoh! Karena sejak muda kau merantau dan bergaul dengan orang-orang Han, watak mupun berobah seperti seorang petani Han! Bangsa Han sedang memberontak dan merongrong kita, apakah sekarang kau hendak memasukkan seorang wanita Han sebagai mantuku di sini? Tidak boleh!"

   "Ayah, pemberontakan mereka itu terjadi karena tidak becusnya para pembesar kita sendiri mengurus pemerintah. Mereka itu tidak lain merupakan orang-orang jahat yang berselimutkan pangkat, korupsi besar besaran dan memeras rakyat jelata untuk kantong sendiri. Tidak dapat disalahkan kepada rakyat yang memberontak begitu saja, karena setiap pemberontakan tentu ada sebabnya dan selalu yang menjadi sebabnya adalah penindasan dan pemerasan. Siapa orangnya takkan memberontak kalau ditindas dan dicekik? Dari pada menindas mereka yang memberontak untuk perbaikan nasib, lebih tepat kalau ayah bertindak keras terhadap para pembesar tukang makan dan mengganti mereka dengan orang-orang yang benar-benar jujur dan tepat."

   "Apa katamu?" Kaisar menggebrak meja. kau membela kaum pemberontak? Sungguh gila, mana yang lebih gila dari pada ini? Dan kau adalah pangeran, puteraku, calon Kaisar menggantiku! Terkutuk, agaknya kau telah kemasukan racun orang-orang Han. Lebih baik kau mampus dalam tanganku!" Kaisar yang marah itu lalu mencabut pedangnya, akan tetapi permaisurinya atau ibu dari Wan Yen Kan segera mencegah dan menghiburnya.

   "Dia masih terlalu muda, harap kau suka maafkan dia dan memberi kesempatan padanya," kata ibu Wan Yen Kan.

   "Bangsat besar!" Kaisar memaki-maki.

   "Pendeknya, tidak boleh dia membawa perempuan Han itu di sini sebagai isterinya. Kalau sebagai selir, masa bodoh."

   "Dari pada menganggap isteriku sebagai selir, lebih baik aku pergi dan hidup sebagai seorang petani biasa," Wan Yen Kan membantah, sedikitpun tidak takut.

   "Bangsat tak tahu malu, kalau begitu baik, pergilah!" Ayahnya menudingkan jarinya mengusir Wan Yen Kan memeluk ibunya lalu berlari keluar. Hatinya sudah tetap. Ia lebih suka meninggalkan istana ayahnya, meninggalkan kesempatan menjadi pengganti ayah nya, dari pada harus merendahkan Ling In sebagai selirnya!

   Setelah keluar dari istana ayahnya, Wan Yen Kan lalu membuang semua pakaian pangeran yang melekat di tubuhnya dan mengganti dengan pakaian biasa, pakaian seorang Han! Baiknya semua orang di Kotaraja sudah mengenalnya, dan sudah biasa melihat Pangeran Wan Yen Kan berpakaian seperti itu. Mereka menganggap bahwa pangeran yang pandai dan tinggi kepandaiannya ini tentu akan bekerja sebagai mata-mata, menyelidiki orang-orang Han yang memberontak, maka berpakaian seperti itu. Kalau saja semua orang tidak mengenal Wan Yen Kan, tentu ia akan dikeroyok dan dibunuh, karena pada waktu itu, siapa yang tidak membenci orang Han yang telah menimbulkan pemberontakan di mana-mana? Bahkan para hamba sahaya Bangsa Han yang berada di Kotaraja, menjadi manusia setengah binatang, banyak yang dibunuh oleh orang-orang Kin untuk melampiaskan amarah mereka mendengar betapa orang-orang Han memberontak.

   Keputusan hati Wan Yen Kan sudah tetap. Ia hendak pergi ke Biciu dan hidup sebagai suami-isteri penuh bahagia dengan Ling In, isterinya. Bahkan ia hendak mengajak Ling In pindah jauh ke selatan agar jangan mendengar pula tentang keributan dan pemberontakan Bangsa Han terhadap Kerajaan Kin! Ia lalu melakukan perjalanan ke selatan dengan cepat, tak diperdulikannya keributan dan pertempuran pertempuran kecil yang selalu ia dengar dan lihat di sepanjang perjalanannya. Apabila ia ditahan oleh sepasukan Kin, ia memperlihatkan tanda pengenalnya dan menyatakan kepada komandan tentara bahwa dia bertugas menyelidiki ke selatan! Kalau bertemu dengan pasukan pemberontak, tak seorangpun mencurigainya, karena selain pakaian yang dipakainya seperti pakaian seorang Han aseli, juga Wan Yen Kan pandai sekali berbahasa Han dengan lidah yang fasih.

   Akan tetapi, dasar memang sudah nasibnya untuk menghadapi keributan. Pada suatu hari, ia mendengar dari komandan barisan Kin bahwa tak jauh di sebelah utara lembah Sungai Huai, terdapat sekelompok barisan pemberontak yang dikepalai oleh orang-orang Hoa-san-pai. Mendengar ini tertariklah hati Wan Yen Kan karena ia teringat bahwa Thio Ling In, isterinya tercinta, juga anak murid Hoa-san-pai, juga memperkenalkan nama saudara-saudara seperguruan isterinya, yaitu yang bernama Lie Bu Tek, Gan Hok Seng, dan Liang Bi Lan. Dengan hati girang dan besar Wan Yen Kan lalu meninggalkan barisan Kin itu dan dengan tabah menuju ke tempat di mana pasukan pemberontak berada, ia ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan saudara-saudara seperguruan isterinya! Ketika ia berjalan di daerah pemberontak itu, seorang penjaga menegurnya,

   "Eh, saudara! Di waktu tidak aman seperti ini, mengapa kau berjalan enak-enak saja? Apakah kau tidak tahu bahwa barisan Kin yang ganas berada hanya beberapa li di sebelah utara?" Wan Yen Kan tersenyum.

   "Tentu saja siauwte tahu akan hal itu karena siauwtepun mengungsi dari utara. Siauwte mendengar bahwa pemimpinmu adalah orang-orang gagah dari Hoa-san-pai, betulkah? Apakah ada yang bernama Gan Hok Seng dan Lie Bu Tek di sini? Siauwte kenal baik dengan nama mereka, maka kalau bisa, mohon bertemu dengan mereka." Sikap penjaga itu berobah manis ketika mendengar ini.

   "Ah, tidak tahunya Siangkong adalah kawan-kawan baik dari Gan piauwsu dan Lie taihiap. Mereka memang berada di sini, dan kalau kau ingin bertemu datanglah di lembah sebelah kiri itu, mereka biasanya berada di tempat itu. Aku tidak dapat mengantar, maaf, karena aku harus menjaga di sini." Wan Yen Kan menghaturkan terima kasih dan dengan girang ia lalu menuju ke tempat yang ditunjuk oleh penjaga itu. Ia bertemu dengan orang-orang yang bersenjata tajam, sikap mereka gagah dan bersemangat sekali.

   Diam-diam Wan Yen Kan menarik napas panjang dan menyesalkan kesalahan tindakan dari pemerintahan ayahnya. Tempat yang ditunjuk oleh penjaga tadi merupakan sebuah tempat terbuka di mana Gan Hok Seng dan Lie Bu Tek seringkali mengadakan perundingan dan membicarakan siasat dengan kawan-kawan lain. Pada saat itu, tempat itu sunyi saja dan ketika Wan Yen Kan tiba di tempat itu, ia memandang ke kanan kiri dengan ragu-ragu. Mengapa tidak ada orang di sini, pikirnya. Tiba-tiba dari balik pohon muncul seorang pemuda yang gagah perkasa. Pemuda ini adalah Lie Bu Tek yang bersikap hati-hati dan waspada. Tidak seperti penjaga tadi, ia selalu bersikap hati-hati dan curiga. Biarpun pemuda yang berdiri di situ terang adalah seorang Han, namun karena ia belum pernah melihatnya, maka timbul kecurigaan dalam hatinya.

   "Siapa kau dan ada keperluan, apa datang di sini?" bentaknya. Wan Yen Kan menengok dan ia melihat seorang pemuda yang memandangnya tajam penuh selidik.

   "Siauwte ingin bertemu dengan Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng, anak murid Hoa-san-pai," jawabnya. Makin besar curiga di hati Lie Bu Tek.

   "Ada keperluan apakah kau hendak bertemu dengan mereka? Siapakah kau?"

   "Aku bernama Wan Kan, suami dari Biciu Lihiap Thio Ling In." Pucat wajah Lie Bu Tek mendengar ini dan secepat kilat ia mencabut pedangnya.

   Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus! Jadi kau kah Wan Yen Kan, pangeran Kin yang terkutuk itu? Hari ini kau berhadapan dengan Lie Bu Tek jangan harap kau dapat hidup lagi!" Wan Yen Kan kaget bukan main.

   "Ah, jadi kau adalah Lie toako? Mengapa kau bersikap begini, Lie toako? Bukankah isteriku Ling In adalah sumoimu sendiri? Mengapa kau memusuhi aku?"

   "Tutup mulut dan jangan menyebut nyebut nama Ling In di sini! kau adalah Wan Yen Kan, pangeran musuh yang sudah mempergunakan kekayaan, ketampanan, dan kedudukanmu untuk memikat hati sumoi. Oleh karena itu. kau harus mampus!" Tanpa banyak cakap lagi Lie Bu Tek lalu menyerang dengan pedangnya menusuk dada pangeran itu sekuat tenaga. Wan Yen Kan merasa penasaran sekali. Tak pernah disangkanya suheng dari isterinya akan bersikap begini,

   Juga ia terkejut sekali karena sedangkan isterinya sendiri belum tahu akan rahasianya, akan tetapi pemuda ini sudah tahu dia adalah Wan Yen Kan, pangeran Kin. Ini berbahaya, pikirnya. Kalau para pemberontak tahu bahwa dia adalah pangeran Kin, tentu sukar baginya untuk meloloskan diri. Maka iapun cepat mengelak dan mencabut rantainya. Lie Bu Tek mendesak terus dan menyerang bertubi tubi dengan sengit sekali. Inilah orang yang merebut Ling In dari padanya, orang yang mendatangkan kesengsaraan batin kepadanya. Ingin ia menembuskan pedangnya di dada pangeran ini. Akan tetapi ternyata Wan Yen Kan amat lihai dan gerakannya amat cepat sehingga jangankan mengalahkannya, untuk menghadapi rantai itu saja Lie Bu Tek merasa sibuk sendiri. Kepandaian Wan Yen Kan memang masih lebih tinggi setingkat dari pada kepandaiannya sendiri.

   "Lie toako, sabar dan tenanglah. Biarpun aku benar pangeran Kin, akan tetapi aku tidak ikut mencampuri urusan pemerintahan, bahkan aku bersimpati terhadap perjuangan para pemberontak."

   "Simpan kata-katamu yang memikat. Aku tidak sudi mendengarnya!" kata Lie Bu Tek yang menyerang terus. Pertempuran berjalan ramai sekali, namun Wan Yen Kan hanya melayani Bu Tek dengan setengah hati. Ia mainkan rantai dengan tangan kirinya dan hanya mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk mengelak dari setiap serangan Lie Bu Tek yang sedang marah. Pertempuran itu menarik perhatian orang-orang yang berada di situ dan sebentar saja datanglah para pejuang menonton pertempuran itu, termasuk Gan Hok Seng yang berlari-lari mendatangi.

   "Sute, ini dia si bangsat Wan Yen Kan pangeran Kin itu!"

   "Tangkap dia!" teriak Gan Hok Seng marah dan pemuda inipun lalu menyerbu sambil mainkan sepasang poan koan pitnya yang lihai. Wan Yen Kan menjadi makin gelisah ia memutar rantainya untuk menangkis serangan serangan itu dan ia harus mengerahkan seluruh tenaganya, karena kini yang mengeroyoknya adalah dua saudara Hoa-san-pai yang berilmu tinggi. Berkali kali ia berseru dengan suara memohon.

   "Mengapa jiwi tidak mau mendengarkan kata-kataku? Aku Wan Yen Kan biarpun Pangeran Kin, namun tidak memusuhi rakyat Han, dan jiwi adalah saudara-saudara seperguruan isteriku, aku tidak suka bertanding melawan jiwi."

   "Bangsat hina dina! Siapa sudi menjadi isterimu?" tiba-tiba terdengar bentakan da seorang wanita muda menyerbu dengan pedangnya. Wanita ini bukan lain adalah Thio Ling In sendiri! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ling In sedih bukan main menerima surat Gan Hok Seng, maka iapun lalu menyusul rombongan sutenya itu untuk membantu perjuangannya. Kebetulan sekali ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat Wan Yen Kan atau suaminya tengah dikeroyok oleh Bu Tek dan Hok Seng. Melihat Wan Yen Kan, kesedihan dan kemurkaannya memuncak, maka ia lalu menyerbu dan menusuk ulu hati suaminya dengan pedangnya.

   "Ling In...!" teriakan Wan Yen Kan ini penuh dengan kesedihan dan putus asa. Ia tidak dapat mengelak serangan isterinya dan bahkan berdiri memandang dengan mata terbelalak. Ling In ketika melihat wajah suaminya, lemaslah tubuhnya dan pedangnya yang tadi menusuk ke arah dada, kini diangkatnya dan hanya melukai pundak Wan Yen Kan.

   "Ling in" kau juga sudah tahu....? kau mau membunuhku? Bunuhlah, isteriku... bunuhlah! Untuk apa hidup di dunia ini bagiku kalau kau sendiripun membenciku?" Ling In tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Suaminya berdiri dengan kepala menunduk dan pundak berdarah. Bagaimana ia bisa membunuh suaminya ini! Ia amat mencintanya!

   "Bangsat, kau memang harus mampus!" teriak Lie Bu Tek dan pemuda ini menggerakkan pedang menusuk. Akan tetapi, tiba-tiba Ling In menggerakkan pedangnya pula, menangkis suhengnya itu.

   "Sumoi! kau melindungi seorang pangeran musuh!" bentak Bu Tek.

   "Sabar, suheng, betapapun juga dia suami dari Suci." Hok Seng merasa kasihan kepada Ling In.

   "Dia memang suamiku dan dia memang pangeran musuh! Oleh karena itu tidak lain orang yang boleh membunuhnya. Aku sendiri yang berhak menamatkan hidupnya!"

   "Bagus, Ling In, isteriku yang baik. Akupun tidak rela mati di tangan orang lain. Kecuali kau yang menyerangku, siapapun juga takkan dapat membunuhku tanpa perlawanan mati-matian dari padaku," kata Wan Yen Kan sambil memandang kepada isterinya dengan pandangan mesra yang menjatuhkan hati Ling In.

   "Wan Yen Kan, kau sudah mengetahui dosa dosamu, dosa dosa pemerintahanmu terhadap bangsaku?" tanya Ling In kepada suaminya sambil menggigit bibir dan menahan air matanya. Pedangnya menggigil di tangannya. Wan Yen Kan mengangguk.

   "Memang kuakui bahwa pemerintahan ayahku telah berlaku salah."

   "Kalau begitu aku sebagai seorang berjiwa patriot, seorang anak murid Hoa-san-pai sejati, hari ini akan membunuh Pangetan Wan Yen Kan, seorang pangeran Kin!" Kata Ling In sambil menahan air matanya.

   "Dan suamimu." Wan Yen Kan memperingatkannya.

   "Bukan! Suamiku bernama Wan Kan ia seorang yang amat baik hati!" jawab Ling In sambil mengangkat pedangnya. Terharulah hati Wan Yen Kan mendengar ini. Tak terasa pula air matanya turun membanjir di atas kedua pipinya.

   "Ling In" isteriku, kau seorang isteri baik, seorang pahlawan yang bijaksana" Wan Kan suamimu berterima kasih kepadamu. Nah, bunuhlah Wan Yen Kan putera Kaisar Kin!" Ia mengangkat dadanya. Ling In menusuk, akan tetapi karena tangan Ling In gemetar dan menggigil, tusukannya mencong dan tidak tepat menembus dada, melainkan melukai dada sebelah kanan, membentur tulang iga dan menyeleweng ke pinggir sehingga hanya kulit dan daging dada Wan Yen Kan yang terluka hebat. Namun cukup membuat pangeran itu terjungkal mandi darah.

   "Wan Kan..." isak Ling In sambil meramkan matanya. Pada saat itu, terdengar sorak-sorai hebat dan beberapa orang pejuang terjungkal dengan punggung tertancap anak panah.

   Ternyata bahwa barisan Kin yang amat kuat datang menyerbu dengan tiba-tiba! Keadaan menjadi kacau balau, para pejuang melawan mati-matian, namun jumlah barisan musuh lebih besar. Banyak sekali pejuang yang gugur dan setelah bertempur hebat setengah hari lamanya, akhirnya semua pemberontak dapat dibasmi. Bu Tek, Hok Seng dan Ling In terluka dan tertawan! Adapun Wan Yen Kan yang tadinya jatuh pingsan, ditolong oleh komandan pasukan Kin dibawa bersama semua tawanan ke Cin-an! Sebelum kita mengikuti nasib tiga orang murid Hoa-san-pai yang tertawan oleh bala tentara Kin, marilah melihat keadaan Liang Bi Lan yang bersama Tan Seng, Liang Gi Cinjin, dan Liang Tek Sianseng. menuju ke Go-bi-san untuk memberi teguran kepada tokoh-tokoh Go-bi-pai mengenai perbuatan Bu It Hosiang yang memusuhi mereka dengan menggunakan orang-orang Kin.

   Biarpun mereka berempat ini mempergunakan ilmu lari cepat yang sudah tinggi sekali, namun Go-bi-san bukanlah tempat yang dekat dan agaknya perjalanan itu akan makan waktu berpekan pekan kalau saja tidak kebetulan sekali mereka bertemu dengan ketua Go-bi-pai sendiri di tengah jalan! Kian Wi Taisu, Hwesio ketua Go-bi-pai itu, sambil membawa tongkatnya yang panjang diikuti oleh murid-muridnya sebanyak tujuh orang diantaranya terdapat Tiauw It Hosiang. Ketika melihat rombongan Hwesio dari Go-bi-pai ini, merahlah wajah Bi Lan dan guru-gurunya. Mereka berdiri tegak di tengah jalan menanti datangnya rombongan Hwesio itu. Kebetulan sekali pertemuan ini terjadi di luar sebuah dusun yang sunyi sehingga tidak terlihat oleh orang.

   "Siancai" kebetulan sekali!" kata Liang Gi Cinjin sambil memimpin tiga orang kawannya menjura kepada rombongan Hwesio itu. Akan tetapi Bi Lan tidak mau ikut menjura karena hati gadis ini sudah marah sekali melihat rombongan orang-orang yang dianggap musuhnya ini. Kian Wi Taisu dan kawan-kawannya ketika melihat tokoh-tokoh Hoa-san-pai mencegat perjalanan mereka, mengerutkan kening dan menyangka tak baik. Memang, orang kalau sudah bermusuhan selalu menyangka buruk saja kepada lawan.

   "Hm, kalau tidak salah lihat mata pinceng yang sudah lamur ini, pinceng berhadapan dengan tokoh-tokoh besar dari Hoa-san-pai yang ternama! Liang Gi Cinjin sudah puluhan tahun kita tak bertemu dan pertemuan pinceng akhir akhir ini dengan sumoimu Liang Bi Suthai benar-benar tak bisa disebut pertemuan yang menyenangkan. Sekarang, kau dan kawan-kawanmu menghadang perjalanan pinceng, ada keperluan apakah gerangan?"

   Mendengar ucapan ini tak senanglah hati Liang Gi Cinjin dan adik adiknya. Memang Kian Wi Taisu orang yang berhati keras dan ucapannya tadi tentu saja tak dapat dipergunakan sebagai dasar perdamaian. Terutama sekali bagi Bi Lan yang masih amat muda dan yang merasa sakit sekali atas kematian gurunya. Liang Bi Suthai. Mendengar ucapan itu, ia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya yang runcing kecil itu ke arah muka Kian Wi Taisu.

   "Hwesio tua, kau datang datang menyalahkan orang lain saja! Beberapa tahun yang lalu, muridmu si kepiting gundul itu mengacau di puncak Hoa san!" Ia menuding ke arah Tiauw It Hosiang yang memandang marah.

   "Kemudian muridmu Bu It Hosiang yang lebih jahat itu mendatangkan malapetaka kepada kami orang-orang Hoa-san-pai! kau tidak menghukum murid-muridmu bahkan membela mereka. Cih! Apakah seorang Hwesio tua yang sudah berani menjadi ketua Go-bi-pai masih belum dapat mengoreksi kesalahan sendiri dan menimpakan semua keburukan kepada orang ain?"
Berdiri sepasang alis Hwesio tua itu ketika mendengar ucapan ini.

   "Bagus! Memang tidak mudah mengakui kesalahan sendiri, termasuk kau bocah murid Hoa-san-pai yang sombong! Akan tetapi pinceng tidak ada waktu untuk melayani orang-orang picik semacam kalian. Ada persoalan yang lebih penting. Minggirlah kalian, jangan mengganggu perjalanan kami!" Sambil berkata demikian, Kian Wi Taisu menggerakkan lengan bajunya yang panjang, dikebutkan ke arah Bi Lan dengan sikap seakan-akan orang mengusir binatang yang mengganggu. Sambaran ujung lengan baju ini mendatangkan angin pukulan yang kuat sekali dan ketua Go-bi-pai itu merasa yakin bahwa sabetan ini tentu akan membikin kapok anak murid Hoa-san-pai yang kurang ajar ini. Akan tetapi bukan main terkejutnya ketika melihat gadis itu sama sekali tidak mengelak, bahkan berani menangkis dengan jari-jari tangan disabetkan pula.

   "Tahan tanganmu!" Kian Wi Taisu berseri kaget karena ia merasa khawatir kalau kalau jari-jari tangan gadis muda itu akan patah patah tulangnya. Ia memang marah, akan tetapi ia masih belum begitu kejam untuk melukai gadis muda ini dengan hebat. Namun teriakannya tidak dipedulikan oleh Bi Lan dan pertemuan antara ujung lengan baju dan ujung jari tangan Bi Lan tak dapat dielakkan lagi "Plak! Breet!!" Bi Lan merasa tangannya kesemutan dan terpental seperti tertotok oleh tenaga yang amat kuat akan tetapi sebaliknya air muka Kian Wi Taisu berubah ketika kakek ini melihat betapa ujung lengan bajunya telah robek!

   

Memburu Iblis Eps 6 Pendekar Pedang Pelangi Eps 26 Pendekar Pedang Pelangi Eps 8

Cari Blog Ini