Memburu Iblis 6
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 6
(Lanjut ke Jilid 06)
Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 06
"Wah, beliau itu memang tokoh puncak di dalam aliran kami." Akhirnya kedua orang itu sampai juga di sungai di bawah tanah itu. Sementara itu luka di dalam dada Liu Yang Kun sudah agak membaik, biarpun untuk menjadi sembuh masih memerlukan waktu dan pengobatan yang lama pula. Di dalam lorong yang sempit itu suara air mengalir menjadi luar biasa kerasnya. Suaranya terdengar gemuruh, sehingga di dalam kegelapan tersebut suara itu terdengar sangat menakutkan, seperti suara nyanyian setan dan hantu yang sedang berpesta-pora.
"Nona Han...! Kau tunggulah aku sebentar di sini! Aku akan mencoba mencari obor untuk menerangi tempat ini. Tapi kuharap kau jangan pergi kemana-mana, sebab air sungai itu sangat dalam dan amat deras arusnya. Kalau kau nanti tergelincir dan tak bisa berenang, tubuhmu akan segera tersedot oleh pusaran air yang ganas," tiba-tiba Liu Yang Kun berbisik di telinga Tui Lan, sehingga napas pemuda itu seperti menggelitik pipi Tui Lan.
"Liu Taihiap, aku... aku takut!" Tui Lan cepat mencengkeram lengan Liu Yang Kun erat-erat dan berbisik pula dengan suara gemetar. Tak sadar lengan Liu Yang Kun yang lain lalu memeluk badan Tui Lan. Sekejap mereka saling berpelukan, karena Tui Lan juga merasa aman dalam pelukan pemuda itu. Tapi di lain saat Liu Yang Kun segera melepaskan pelukannya, ketika secara tak sengaja tersentuh pundak dan punggung Tui Lan yang telanjang. Pemuda itu lalu mundur menjauhkan diri.
"Di sini aman, nona Han. Kau tidak perlu takut! Nah, aku pergi dulu," pemuda itu berkata sambil melangkah pergi dengan terburu-buru seakan-akan takut dikejar setan.
"Liu Taihiap...!" Tui Lan menjerit dan mau mengejarnya, tapi tak berani. Gadis itu takut tersesat atau tergelincir ke dalam sungai.
Entah mengapa hati Tui Lan merasa ngeri dan takut sekali. Padahal biasanya dia tak pernah mengenal takut. Kemarinpun dia sudah masuk ke gua ini, sendirian malah. Tapi waktu itu tak sepercikpun perasaan takut mewarnai hatinya. Tapi kini sungguh lain, sehingga gadis itu menjadi heran pula memikirkannya. Selagi gadis itu berjuang melawan perasaan takut, tiba-tiba dari sebuah lorong yang lain memancar secercah sinar, menerangi tepian sungai itu, sehingga kepekatan yang melingkupi tempat tersebut menjadi larut sedikit demi sedikit. Dan beberapa saat kemudian muncullah Liu Yang Kun membawa sebuah obor besar di tangannya. Selain obor pemuda itu juga membawa seperangkat pakaian untuk Tui Lan. Sedangkan pemuda itu sendiri ternyata juga telah mengganti pakaiannya pula.
"Wah, kita sungguh sangat beruntung sekali kali ini, nona Han. Selain obor ini aku juga telah menemukan sejumlah pakaian yang masih bersih di dalam lorong itu. Hanya sayang, pakaian ini adalah pakaian pria. Tapi kukira ini juga lebih baik daripada tidak ada pakaian sama sekali."
Tui Lan tidak segera menyongsongnya. Gadis itu justru termangu-mangu di tempatnya. Gadis itu merasa aneh, karena pemuda yang menolongnya itu tampaknya selalu berusaha menyembunyikan keadaannya. Tui Lan berani bertaruh bahwa pemuda itu tentu telah pergi ke lobang gua dimana dia diborgol kemarin. Dan gadis itu juga berani bertaruh bahwa pakaian yang dijinjing itu tentulah pakaian pemuda itu sendiri, mengapa sekarang pemuda itu berbuat seolah-olah belum pernah menginjakkan kakinya di tempat itu? Tentu ada apa-apanya di balik semua sandiwara pemuda itu. Tapi untuk sementara waktu Tui Lan tidak berani menanyakannya. Gadis itu takut Liu Yang Kun akan menjadi marah kepadanya. Siapa tahu rahasia itu menyangkut urusan yang sangat pribadi, sehingga orang lain memang tidak boleh mengetahuinya?
"Baiklah! Aku tidak perlu mengurusinya. Biarlah dia menyimpan sendiri semua rahasianya. Toh dia bukan apa-apaku," akhirnya Tui Lan memutuskan sendiri semua pikirannya tentang pemuda itu.
"bukan apa-apaku...?" tiba-tiba gadis itu berpikir kembali dengan muka bersemu merah. Lalu terbayang di benak gadis itu ketika Liu Yang Kun menciumi pundak dan punggungnya dengan penuh nafsu beberapa saat yang lalu. Kemudian terbayang pula ketika mereka pelukan tadi. Mengapa semua yang dilakukan oleh pemuda itu tidak membuatnya marah atau tersinggung?
"Aah...!" mendadak Tui Lan berdesah dengan keras untuk menghapus semua bayangan yang menggodanya itu.
"Nona Han...! kau kenapa? Mengapa kau tidak bergembira dengan penemuanku ini? Apakah kau sakit?" Liu Yang Kun tiba-tiba bertanya. Pemuda itu ternyata telah berada di depannya. Tui Lan terkejut.
"A-a-aku tidak apa-apa! Aku masih merasa ketakutan disini sendirian tadi. Eh, Liu Taihiap memperoleh pakaian? Bagus! Biarlah aku mencobanya..." gadis itu cepat menyahut untuk menghilangkan kesan yang tidak enak itu. Karena yang sobek hanya bajunya saja, maka Tui Lan juga hanya mencoba baju yang dibawa oleh Liu Yang Kun tersebut. Dan ternyata baju itu terlalu besar untuk badannya. Namun seperti apa yang diucapkan oleh Liu Yang Kun tadi, baju itu sudah cukup baik untuk dipakai daripada tidak berpakaian sama sekali.
"Eh, dimanakah Liu Taihiap menemukan obor dan pakaian ini tadi? Sungguh aneh sekali! Tempat yang begini sunyi dan terpencil seperti ini, ternyata pernah didatangi orang pula." Tui Lan bertanya sambil lalu, tanpa memandang kepada Liu Yang Kun. Pemuda itu kelihatan gugup.
"Ini... ini... semua kudapatkan secara kebetulan saja. Aku... aku melihatnya tergeletak di atas tanah." Tui Lan tahu kalau pemuda itu berbohong kepadanya. Namun ia tak peduli pula. Sambil lalu ia malah bertanya,
"Liu Taihiap...! Bagaimana kalau minyak obor itu habis? Dari mana kita akan memperoleh minyaknya?"
"Ah, jangan khawatir, nona Han. Obor ini masih penuh. Minyak ini masih bisa bertahan sampai dua hari lagi. Dan dalam dua hari itu kita harus membuat persediaannya."
"Membuat? Apa yang hendak kita buat menjadi minyak obor?" Tui Lan berseru heran. Liu Yang Kun tersenyum.
"Di dalam sungai itu hidup seekor belut panjang yang dapat menghasilkan minyak bila kita rebus." Ujarnya kalem.
"Jadi selain dagingnya dapat kita makan, minyaknya pun dapat kita pergunakan untuk menyalakan obor."
"Oh, begitukah...?" Tui Lan berdesah lega.
"Sebenarnya hampir semua ikan yang hidup di dalam sungai di bawah tanah ini mengandung banyak lemak di badannya, tapi hanya belut panjang itulah yang paling banyak mengeluarkan minyak." Sambil omong-omong mereka berjalan kesana-kemari meneliti lorong-lorong gua itu. Mereka berharap dapat menemukan jalan keluar ke alam bebas kembali. Tapi sampai lelah mereka menerobos dan menyusuri setiap lorong yang mereka jumpai, mereka selalu menemui jalan buntu. Dan ketika mereka berdua mencoba mengikuti aliran sungai tersebut, baik kearah hulu maupun ke hilir, mereka juga menemui jalan buntu pula. Di kedua ujung sungai tersebut ternyata airnya menyusup ke dalam tanah, sehingga permukaannya tertutup oleh atap gua.
"Oohhh, celaka! Tampaknya seumur hidup kita akan terkurung di dalam gua yang gelap ini..." Tui Lan mengeluh putus asa. Gadis itu lalu membanting tubuhnya di tepian sungai dengan wajah cemas. Saat itu mereka berada di hulu sungai di bawah tanah itu. Keduanya memandang ke arah permukaan air sungai yang bersatu dengan langit-langit gua itu.
"Satu-satunya jalan keluar bagi kita cuma mengikuti aliran sungai ini..." Liu Yang Kun berkata lirih.
"Mana mungkin?" Tui Lan cepat menyela.
"Kita bukanlah ikan yang dapat bernapas di dalam air! Bagaimana mungkin kita bisa terbenam terus-menerus di dalam air?"
"Tenanglah, nona Han! Kita belum tentu harus menyelam terus-menerus. Siapa tahu di balik gua ini air sungai akan tersembul kembali ke dalam lorong gua yang lain yang mungkin memiliki jalan keluar ke atas permukaan tanah?"
"Tapi bagaimana kalau sungai ini tak melewati gua lagi sampai di lautan timur sana? Apakah kita akan berenang terus di bawah air berhari-hari lamanya tanpa mengambil napas? Bisa meletus paru-paru kita!" Tui Lan berkata lagi dengan nada yang semakin putus asa.
"Ya, tapi kita perlu berusaha, nona."
"Tapi usaha seperti itu sangatlah berbahaya. Lebih baik kita mencoba kembali melalui jalan kita semula. Kita singkirkan tanah yang menutupi mulut gua ini."
"Baiklah, kalau memang jalan itu yang nona inginkan. Aku menurut saja. Tapi perasaanku mengatakan, bahwa jalan itu sudah tidak dapat kita bersihkan lagi. Namun demikian kitapun juga perlu mencobanya pula..." Liu Yang Kun berkata dengan suara riang dan semangat, sehingga suasana kaku dan cemas di hati Tui Lan menjadi agak reda. Tui Lan lalu bangkit berdiri, tapi kakinya hampir saja terpeleset oleh lembaran benda licin berlumut yang menggeletak di depannya.
"Huh, benda apakah ini? Licin benar...!" katanya seraya memungut benda itu dan merentangkannya di depan Liu Yang Kun.
"Ah! Itu potongan dari usus atau kantong perut!" Liu Yang Kun berseru tertahan.
"Lihatlah! Lembaran ini adalah kulit yang telah dimasak sehingga awet dan tidak berbau. Dan lembaran ini merupakan gelembung atau kantong besar yang telah kempes. Coba, mari kita tiupkan udara ke dalamnya!"
"Kotor... ah!" Tui Lan menolak dan mengeryitkan alisnya tanda jijik. Liu Yang Kun tersenyum, lalu berlari ke sungai untuk mencucinya. Setelah bersih pemuda itu lalu meniupnya sendiri. Tangannya menutup lobang yang satu, sementara mulutnya meniup lobang yang lain. Dan di lain saat benda tersebut telah menggelembung seperti buah labu sebesar perut kambing.
"Hei... besar amat? Potongan usus binatang apa ini! Kerbau? Gajah?" Tui Lan berseru kaget.
"Ah, masakan ada kerbau atau gajah di tempat seperti ini?"
"Namanya saja sudah diawetkan, nona. Tentu saja barang ini adalah milik seseorang yang dia bawa kemari. Mana ada binatang memotong ususnya sendiri untuk diawetkan sendiri pula? Haha...!" Liu Yang Kun tertawa melucu.
"Ah, kau!" Tui Lan mulai tersenyum juga oleh ketenangan kawannya itu. Mereka lalu menyusuri lorong-lorong gua itu kembali ke pintu atau lobang dimana mereka masuk tadi. Sambil melangkah Liu Yang Kun mempermainkan gelembung usus tersebut.
"Ah, kenapa masih kau bawa-bawa juga benda itu? Untuk apa? Buang saja." Tui Lan yang tanpa sadar sudah mulai akrab dengan Liu Yang Kun itu berkata gemas melihat kawannya selalu mempermainkan gelembung usus tersebut sehingga menimbulkan suara dat-dut...dat-dut yang merisihkan.
"Eeee... Ada gunanya juga, nona. Benda ini bisa untuk mengambil air atau menyimpan air kalau mau memasak, haha..."
"Huh! Siapa mau memasak? Apakah kau mau tinggal di sini?" Tui Lan yang kini sudah tidak merasa sungkan-sungkan lagi kepada Liu Yang Kun itu pura-pura membentak gusar.
"Ah, siapa tahu...?" enak saja Liu Yang Kun menjawab. Pemuda yang semula juga hanya mau menghibur dengan kata-katanya yang santai itu ternyata juga menjadi latah malah. Ternyata mereka cepat menjadi akrab satu sama lain. Tiba di lorong yang menghubungkan pinggir sungai itu dengan lorong yang menuju ke lobang masuk gua, mereka berdua terkejut setengah mati! Lorong sepanjang tiga puluh atau empat puluh tombak itu telah penuh dijejali longsoran kerikil dan tanah! Jadi selama mereka tinggalkan menyusuri lorong-lorong gua yang lain tadi, di tempat itu telah terjadi tanah longsor kembali, sehingga tempat tersebut menjadi tertutup sama sekali sekarang.
"Oooh...!" Tui Lan berdesah seraya menutupi wajahnya. Hilang sudah sekarang semua harapannya untuk kembali ke dunia ramai.
"Sudahlah, nona. Bukankah beberapa saat yang lalu kau menasehati aku agar bersikap tenang dan tidak gelisah? Siapa tahu Thian akan memberi petunjuk atau jalan kepada kita? Marilah kita mencari tempat yang baik untuk beristirahat! dan kita pikirkan cara bagaimana kita nanti melewatkan waktu-waktu yang panjang tanpa matahari, tanpa penerangan, tanpa siang dan malam sebelum Thian membebaskan kita dari tempat ini."
Dengan tubuh lemas Tui Lan terpaksa menuruti nasehat Liu Yang Kun. Mereka berdua lalu mencari tempat yang sekiranya dapat dipakai sebagai "kamar pribadi" untuk Han Tui Lan. Semula Tui Lan hampir saja menyebutkan ruangan tempat pemuda itu diborgol, tapi ketika dirasakannya kawannya itu selalu menolak atau menghalangi bila ia bermaksud pergi ke sana, maka gadis itu lalu menjadi ingat kembali bahwa temannya masih mempunyai rahasia pribadi. Akhirnya mereka mendapatkan juga "kamar pribadi' itu. Sebuah cekungan atau gua kecil, bertanah kering, dengan panjang dua tombak dan lebar satu setengah tombak. Langit-langitnyapun keras dan kering, tidak meneteskan air ke bawah.
"Nah, kau bisa tidur disini untuk sementara waktu." Liu Yang Kun berkata setelah membersihkan ruangan itu.
"Dan... kau tidur dimana?" Tui Lan bertanya. Dan tiba tiba saja pipi gadis itu menjadi merah.
"Mudah. Aku bisa tidur dimana saja. Di pinggir sungai itu, di lorong-lorong itu atau... di dalam air!" Liu Yang Kun menjawab dengan bergurau.
"Ah... kau!" Tui Lan melirik sambil cemberut.
"Nah. sekarang kau beristirahatlah barang sejenak. Aku tak tahu, saat ini di luar malam atau siang hari. Tapi aku juga akan beristirahat pula untuk memulihkan tenaga dan mengobati luka dalamku. Selamat tidur, nona!" Liu Yang Kun tersenyum seraya membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu. Tapi di depan pintu ruangan pemuda itu menoleh. Dengan senyum nakal pemuda itu menggoda.
"Tapi, awaaas... kau tidak boleh menyusulku! Kalau kau berani menyusulku, hmm... kupeluk lagi kau!" godanya seraya berlalu. Obor yang dipegangnya itu ditaruhnya di depan pintu ruangan.
"Ahh... kau!" Demikianlah, sepeninggal Liu Yang Kun gadis itu mencoba untuk beristirahat. Mula-mula dicopotnya pedang pendek yang selalu tergantung di pinggangnya. Kemudian dikeluarkannya semua isi sakunya yang bermacam-macam itu. Saputangan, alat-alat berhias, obat-obatan dan buku-buku yang diterimanya dari Ang-leng Kok-jin itu.
"Hei! Dimanakah Po-tok-cu itu?" tiba-tiba gadis itu tersentak kaget. Lalu gadis itu merogoh kesana-kemari diantara saku-sakunya yang banyak itu. Dan ketika teraba olehnya saku yang robek itu, hatinya menjadi lega kembali. Mutiara itu melekat di pinggir sakunya yang telah bolong tersebut. Darah Ang-leng Kok-jin yang kemarin masih melekat ketika mengeluarkan mutiara itu dari telapak tangannya, benar-benar menyelamatkan pusaka itu dari kehilangannya. Karena darah yang menjadi kering di dalam saku itulah yang membuat pusaka tersebut melekat di pojok saku yang bolong itu.
"Mutiara ini memang terlalu kecil untuk disimpan, sehingga sangat mudah sekali hilang. Memang paling baik disimpan atau dimasukkan ke dalam daging seperti Ang-leng Kok-jin itu..." Tui Lan berpikir di dalam hatinya. Gadis itu lalu mencabut pedangnya. Hati-hati diirisnya sedikit daging dibawah ibu jarinya yang sebelah kiri dengan ujung pedang itu. Setelah kira-kira cukup untuk memasukkan mutiara tersebut, Tui Lan lalu membubuhinya dengan obat. Kemudian pelan-pelan gadis itu memasukkan mutiara tersebut, lalu menutup irisan dagingnya dan selanjutnya membalut telapak tangan itu dengan saputangannya.
"Nah, sepekan lagi luka ini tentu sudah akan menutup pula kembali. Dan sapu tangan ini sudah dapat kulepas," Tui Lan berkata di dalam hatinya. Kemudian Tui Lan bermaksud untuk membaca buku pemberian Ang-leng Kok-jin itu. Tapi yang kemudian terpegang oleh tangannya adalah buku yang lain, bukan Im-Yang Tok-keng tapi... Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan)! Dan penyusun buku itu tidak tertulis nama Giok-bin Tok-ong seperti yang pernah dilihatnya, tetapi... Bit bo-ong (Si Raja Kelelawar). Tui Lan terkejut. Benar-benar terkejut! Bagi orang persilatan seperti gadis itu, nama Bit-bo-ong bukanlah nama yang asing lagi. Nama itu demikian tersohornya sejak se ratus tahun lalu sehingga sudah berkali-kali nama tersebut dicatut dan dipergunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk membuat kerusuhan dan mengacau dunia kang-ouw!
Dan Bu-eng Hwe teng itu adalah salah sebuah ilmu kebanggaan tokoh termashur itu, disamping ilmunya yang lain, seperti Kim-liong Sin-kun dan Pat-hong Sin-ciang! Sekali lagi Tui Lan membolak-balik buku itu seakan-akan tak percaya bahwa buku tersebut adalah buku pelajaran ginkang milik Bit-bo-ong yang terkenal itu. Dirabanya dengan ujung jarinya kain kasar yang dipakai untuk membuat buku itu. Diperhatikannya dengan teliti semua tulisan dan gambar-gambar yang menghiasi buku tersebut, dan yang terakhir dicium atau dibauinya buku itu dengan hidungnya, seolah-olah ingin meyakinkan bahwa buku tersebut memang sudah tua dan kuno. Kemudian gadis itu bergegas mengambil buku-buku yang lain, karena ia merasa mendapatkan tiga buah buku lagi selain buku milik Ang-leng Kok-jin itu.
"Aaah!" sekali lagi gadis itu menjerit kecil. Tui Lan melihat dua buah buku yang lain itu bertuliskan huruf Sin-liong sin-kun dan Pat-hong Sin ciang! Dan kedua buah buku itu juga tampak sama kunonya dengan buku yang pertama tadi. Malahan di dalam lembaran-lembaran kedua buah buku itu kelihatan bekas percikan-percikan darah kering, yang membuktikan bahwa buku tersebut mempunyai sejarah yang amat mengerikan!
"Ah, tampaknya... tampaknya buku-buku ini memang sungguh-sungguh milik iblis yang sangat terkenal itu. Tapi... tapi bagaimana buku-buku ini sampai berada di bawah kakiku dan bercampur dengan buku Ang-leng Kok-jin yang terjatuh dari sakuku itu?" gadis itu berpikir dengan hati bingung. Sambil lalu Tui Lan lalu mencoba membaca tulisan yang tertera pada lembar pertama dari buku Pat-hong Sin ciang (Tangan Sakti Delapan Penjuru Angin) itu. Disitu tertulis cara-cara bersemadi untuk menghimpun Pat-hong sinkang atau Tenaga Sakti dari Delapan-penjuru-angin, beserta dengan gambar-gambarnya pula.
Tui Lan lalu membuka halaman-halaman selanjutnya. Dan gadis itu semakin banyak menjumpai gambar-gambar orang bersemadi dengan cara-cara yang semakin aneh pula, ada yang jungkir balik dengan kaki di atas dan kepala dibawah. Ada yang bergantung dengan tubuh terbalik pula di atas sebuah dahan pohon, seperti layaknya seekor kelelawar bergantung. Malahan ada pula yang sikap tubuhnya benar-benar seperti sikap seekor kelelawar yang baru terbang di angkasa, yaitu dengan cara mengaitkan kedua ujung kakinya di sebuah dahan sementara kedua tangannya menggapai dahan lain yang berseberangan dengan dahan itu, sehingga tubuhnya terpentang di udara, laksana burung atau kelelawar terbang di angkasa.
"Hmmh, mengapa untuk mempelajari sinkang saja harus melakukan gerakan yang sulit-sulit begini?" Tui Lan membatin.
Lalu seperti petunjuk yang diberikan pada buku itu Tui Lan mencoba melakukan gerakan yang pertama. Kakinya bersila, sedangkan kedua telapak tangannya ia tumpuk di belakang tengkuknya. Matanya menatap lepas ke depan, sementara bibirnya terkatup rapat. Kemudian perlahan-lahan gadis itu menyedot napas sebanyak-banyaknya, sehingga dadanya terasa penuh sesak oleh udara. Dan seperti yang ditulis di daIam buku itu, Tui Lan tetap menahan udara yang tersimpan di dalam paru-parunya itu untuk beberapa waktu lamanya sehingga udara yang menggelembung penuh itu seakan-akan menjadi berdesakan untuk mencari jalan keluar. Dan sesuai dengan petunjuk di dalam buku itu pula Tui Lan lalu mempersatukan seluruh tenaga yang dihasilkan oleh udara yang berdesakan tersebut, untuk kemudian disalurkan ke bawah, menuju tan-tian (pusat).
Setelah itu udara yang memenuhi dadanya itu ia keluarkan lagi perlahan-lahan. Gadis itu lalu mengulangi sekali lagi gerakan tersebut dari awal. Mendadak sedikit demi sedikit hawa yang agak panas dan pengap di dalam goa itu terasa berubah menjadi sejuk dan nyaman. Merasakan perubahan yang menyenangkan tersebut, Tui Lan menjadi gembira, sehingga gadis itu selalu mengulanginya setiap gerakan tersebut selesai. Entah sudah berapa kali Tui Lan mengulangi gerakan tersebut. Namun yang terang ia tak menyadari bahwa obor yang berada di depan pintu itu, semakin lama semakin surut apinya, sehingga beberapa saat kemudian api tersebut menjadi padam. Barulah Tui Lan menjadi terkejut. Bergegas ia bangkit untuk menyalakannya kembali. Tapi sekali lagi gadis itu terkejut.
Batu api yang ia taruh di dekatnya itu terasa dingin bukan main, sehingga ujung jari gadis itu serasa menyentuh batu es saja layaknya. Oleh karena itu Tui Lan menjadi kesukaran ketika ingin meletikkan apinya. Batu api tersebut melempem. Tui Lan lalu mendekati obor yang hanya tiga langkah dari tempatnya itu untuk sekedar memanaskan batu api tersebut. Namun untuk ketiga kalinya gadis itu menjadi kaget. Batang obor itu juga ikut dingin seperti es. Malahan gadis itu merasakan batang obor tersebut sangat licin seperti terbungkus embun. Dalam kebingungannya gadis itu berusaha keras menyalakan obor itu dengan batu apinya. Akhirnya usahanya tersebut berhasil juga. Obor itu kembali menyala. Tui Lan bernapas lega. Sambil menjungkirkan obor itu supaya apinya menjadi lebih besar, Tui Lan melangkah keluar dari 'ruangan pribadinya" itu.
"Hei?" tiba-tiba gadis itu menjerit kecil. Terasa hawa panas menerpa tubuhnya, sehingga dalam kagetnya gadis itu kembali meloncat ke dalam ruangannya lagi. Dan di dalam ruangan tersebut tubuhnya merasa sejuk kembali. Karena penasaran gadis itu lalu melangkah keluar lagi. Dan udara panas dan pengap kembali menyergapnya pula.
"Eh! Mengapa tiba-tiba saja kamarku ini menjadi lebih dingin daripada diluar itu?" gadis itu berdesah lirih ketika sudah berada di dalam ruangannya lagi. Tui Lan lalu teringat pula kembali tatkala tubuhnya terasa sejuk dan nyaman ketika ia mula-mula menirukan gerakan di dalam buku itu tadi. Dan semakin banyak ia mengulang gerakan tersebut, rasa sejuk itu juga semakin terasa menusuk tulang-tulangnya, sehingga lambat-laun hawa panas dan pengap dari ruangan yang sempit itu menjadi hilang musnah.
"Eh...! Apakah Pat-hong-sinkang itu bisa menimbulkan gelombang udara dingin? Anu... anu, tampaknya memang demikian..." gadis itu berpikir keras.
"Ah, kalau begitu... kalau begitu ilmu itu benar-benar hebat sekali! Baru sebuah gerakan saja sudah demikian dahsyat pengaruhnya, apalagi kalau dipelajari semuanya! Hmmmmmh!" Tui Lan lalu duduk kembali di tempatnya.
Direnunginya buku-buku itu untuk beberapa waktu lamanya. Namun rasa kantuk membuat gadis itu segera menyimpan kembali buku-buku tersebut di sakunya dan mencoba untuk berbaring. Dan sebentar saja gadis itu telah tertidur pulas. Entah sudah berapa lama Tui Lan tertidur, namun yang terang gadis itu merasa amat nyenyak dan pulas sekali, sehingga badannya justru terasa kaku dan pegal sekali malah. Gadis itu lalu bangkit berdiri. Ruangan itu bukan main pengap dan panasnya sehingga keringat terasa mengalir dengan derasnya dari kening, leher dan punggungnya. Tui Lan cepat keluar dari ruangan tersebut. Didengarnya Liu Yang Kun juga sudah bangun pula, dan tampaknya kini sedang mandi di pinggir sungai, karena terdengar pemuda itu menyanyi sambil bermain-main dengan air. Tui Lan menjadi ragu-ragu untuk menghampiri pemuda itu.
"Nona Han...! Kau sudah bangun? Kemarilah! Kita bisa makan kenyang hari ini...
" tiba-tiba terdengar suara pemuda itu memanggilnya. Tui Lan terpaksa keluar dari 'sarangnya' dan menemui pemuda itu. Ternyata pemuda itu hanya mengenakan celana saja, dan merendam diri di dalam sungai itu. Di atas batu di pinggir sungai bertumpuk belasan ekor belut panjang berwarna kehitaman, bercampur dengan beberapa ekor ikan kecil-kecil berwarna kebiruan. Tampaknya ikan-ikan itu adalah hasil buruan Liu Yang Kun. Dan di dekat batu tersebut tampak sebuah obor yang lain, menyala menerangi tempat itu.
"Aku memperoleh sebuah obor lagi di lorong sana," pemuda itu menyambut kedatangan Tui Lan seraya keluar dari dalam air.
"Wah, panasnya bukan main di dalam gua ini sekarang. Kelihatannya di luar sana matahari sedang membakar bumi dengan hebatnya...!" Tui Lan mengangguk. Ingin benar rasanya gadis itu berendam seperti pemuda itu, namun tentu saja ia merasa malu kalau ada pemuda itu.
"Nona ingin mandi juga? Silakanlah! Aku akan memasak ikan-ikan itu!" pemuda itu seperti mengerti apa yang dipikirkan Tui Lan, sehingga gadis itu merasa sangat berterima kasih karenanya. Namun apa yang sebenarnya disebut memasak oleh pemuda itu tak lain hanyalah membakar ikan-ikan tersebut dengan obor saja. Lain tidak. Apalagi dengan bumbu-bumbu masak seperti garam, cabe, bawang dan sebagainya. Tapi ketika Tui Lan selesai mandi dan mencicipinya bersama dengan Liu Yang Kun, ikan tersebut terasa gurih dan enak juga rasanya. Ternyata ikan sebanyak itu mereka lahap tanpa sisa.
"Hari ini aku dapat mengumpulkan secangkir minyak ikan." Liu Yang Kun berkata riang setelah selesai makan.
"Ya? Dimana minyak itu kau simpan?" Tui Lan menyahut dengan suara gembira pula.
"Di dalam kantong itu...!" Liu Yang Kun menjawab seraya menunjuk 'potongan usus raksasa' yang mereka ketemukan itu. Usus itu kini telah diberi sumbat di kedua ujung lobangnya.
"Benar juga katamu. Benda itu berguna juga akhirnya." Tui Lan berdiri, lalu melangkah perlahan-lahan menyusuri lorong-lorong gua itu lagi. Liu Yang Kun melangkah pula mengikuti. Gadis itu berharap memperoleh keajaiban, sehingga tercipta jalan keluar untuk mereka.
"Hei!? Kenapa telapak tangan kirimu, nona? Mengapa kau balut?" tiba-tiba Liu Yang Kun bertanya ketika melihat balutan di tangan kiri Tui Lan itu.
"Ah, cuma luka kecil karena tergores batu karang tadi..." gadis itu berbohong.
"Lalu... bagaimana dengan lukamu sendiri?"
"Sudah lebih baik. Aku telah mengerahkan seluruh kemampuanku untuk mengobatinya," Liu Yang Kun menjawab pula.
"Sepekan lagi kukira sudah pulih kembali seperti sedia kala."
"Demikian lamanya?" Tui Lan tersentak kaget.
"Tentu saja, nona. Tiga kali aku terhempas oleh ledakan peluru pek-lek-tan itu. Untunglah peluru itu tidak langsung mengenai badanku. Kalau demikian halnya, sebutir saja sudah cukup untuk mengantarkan nyawaku ke alam baka." Mereka telah beberapa kali berputar-putar di seluruh sudut gua itu, namun jalan untuk keluar dari tempat itu tetap tak dapat mereka ketemukan. Tempat itu benar-benar buntu dan tertutup rapat sama sekali.
"Satu-satunya jalan kukira memang hanya aliran sungai ini..." Liu Yang Kun bergumam pelan seperti berbicara dengan dirinya sendiri.
"Ah, lupakan saja itu!" Tui Lan yang menjadi cemas kembali itu berkata kaku.
"Lalu... Jalan mana lagi yang akan kita tempuh? Nona punya pendapat yang lain?" Liu Yang Kun berkata hati-hati.
"Entahlah! Aku belum dapat memikirkannya. Tapi tentu ada jalan yang lainnya. Biarlah aku kembali dulu ke kamarku untuk memikirkannya."
Tui Lan lalu meninggalkan Liu Yang Kun sendirian. Gadis itu lalu berbaring dan melamun di kamarnya. Ditatapnya nyala api obor yang bergoyang-goyang di depan pintunya itu. Udara di dalam gua itu sudah tidak begitu gerah dan pengap lagi. Mungkin matahari sudah lama terbenam, dan kini hari telah berganti malam. Gadis itu lalu mencoba untuk memicingkan mata lagi. Namun baru saja mau terlelap, tiba-tiba luka di telapak tangannya itu terasa berdenyut-denyut. Dan semakin lama denyut itu semakin kuat rasanya, sehingga gadis itu merasa kesakitan dibuatnya. Mungkin telah terjadi reaksi yang keras di dalam tubuh Tui Lan berkenaan dengan dipasangnya 'Po-tok-cu' itu di dalam telapak tangannya. Dan denyut yang semakin menyakitkan tersebut segera diikuti pula dengan panas badan yang semakin meninggi.
Tui Lan lalu menjadi bingung dan gelisah sekali, karena lambat-laun badannya serasa berada di atas tungku api yang sedang menyala. Hampir saja gadis itu berteriak memanggil Liu Yang Kun. Namun setelah ia sadar bahwa karena kepanasan atau kegerahan tadi dia telah mencopoti pakaian luarnya, gadis itu tidak jadi melaksanakan niatnya tersebut. Gadis itu mencoba bertahan sekuat tenaganya, melawan rasa sakit dan rasa panas yang menyerang dirinya itu. Peluh membanjir keluar membasahi seluruh tubuhnya. Dan akhirnya ketika gadis itu merasa bahwa dia sudah tidak dapat bertahan lagi, tiba-tiba berkelebat bayangan ilmu Pat-hong-sinkang yang tertulis di dalam buku peninggalan Bit-bo-ong itu. Bukankah gerakan-gerakan yang ditirunya itu membuat dirinya merasa sejuk, dingin dan nyaman?
Siapa tahu rasa sakit dan panas atau gerah ini bisa ditanggulangi dengan ilmu itu? Demikianlah dalam keadaan terpepet dan tak tahu apa yang harus ia kerjakan lagi, Tui Lan lalu mencoba melawan rasa sakit dan rasa gerah tersebut dengan ilmu yang tertera di dalam buku Pat-hong Sin-ciang itu. Dan tidak cuma sekali gadis itu melakukannya, tapi berulang kali! Meskipun demikian rasa sakit dan rasa gerah tersebut ternyata tidak kunjung lenyap juga! Padahal nyala obor di depan pintu itu sudah mulai tersendat-sendat mau padam. Memang, setelah melakukan gerakan itu pernapasannya menjadi lebih lancar. Tapi rasa sakit dan gerah itu tetap saja bercokol di dalam tubuh Tui Lan. Saking kesalnya gadis itu lalu membuka halaman berikutnya. Gadis itu bermaksud mencoba gerakan yang selanjutnya. Tui Lan lantas tidur telentang seperti gambar yang terlukis di halaman yang kedua itu.
Sambil menyedot napas sebanyak-banyaknya gadis itu mengangkat kedua kaki dan tangannya ke atas tegak lurus dengan tanah. Kemudian setelah menyalurkan himpunan tenaga sakti yang tercipta itu ke dalam tan-tian, maka udara di dalam paru-paru tersebut lalu dikeluarkannya lagi secara perlahan-lahan. Demikianlah, gerakan tersebut lalu diulanginya terus sehingga berkali-kali. Begitulah. Entah karena pengaruh ilmu itu atau karena rasa sakit itu sendiri yang telah hilang, namun yang terang tiba-tiba tubuh Tui Lan telah pulih kembali seperti semula. Rasa gerah dan rasa sakit yang hampir tak tertahankan lagi oleh gadis itu mendadak hilang lenyap seketika, dan diganti dengan perasaan enak dan nyaman luar biasa. Namun ketika gadis itu membuka matanya, didapatinya obor itu telah mati, dan ruangan sempit tersebut dalam keadaan gelap gulita.
Lebih dari pada itu, Tui Lan mendapatkan ruangan yang dingin luar biasa, sehingga lantai dan dinding-dinding gua itu rasanya menjadi lembab dan basah semuanya. Tidak cuma itu saja. Bahkan pakaian yang dipakainya terasa disaput oleh salju tipis yang segera mencair begitu tersentuh tangannya. Malahan ketika gadis itu mencoba menyalakan obornya kembali, ia mendapatkan minyak dalam tangkai obor tersebut juga telah membeku seperti cairan bubur kental. Setelah obor itu menyala kembali, Tui Lan segera membawanya keluar untuk mencari Liu Yang Kun. Sambil berjalan gadis itu membenahi pakaiannya yang kedodoran tadi. Lorong-lorong itu terasa pengap dan panas seperti biasanya. Gua itu memiliki lima buah lorong atau ruangan yang satu sama lain saling berhubungan.
Dan ruangan yang paling besar adalah ruangan yang sebagian dari lantainya dialiri oleh sungai di bawah tanah itu. Sedangkan ruangan yang paling kecil adalah ruangan yang paling sulit dicapai, yaitu ruangan dimana Tui Lan pernah melihat Liu Yang Kun diborgol kaki tangannya itu. Ruangan tersebut hanya bisa dicapai dengan merangkak melalui sebuah terowongan kecil sepanjang tiga tombak. Liu Yang Kun tidak dapat dijumpai Tui Lan di keempat lorong gua itu. Tinggal satu lorong lagi yang belum dijenguk oleh gadis itu, yaitu lorong terkecil. Namun ketika Tui Lan melangkah ke sana, terowongan sempit yang menghubungkan tempat tersebut dengan lorong yang lain telah disumbat dengan batu karang sebesar gajah, sehingga lobang itu tidak kelihatan sama sekali. Dan tentu saja Tui Lan tak kuat memindahkannya.
"Eh... dimanakah Liu Taihiap itu? Apakah dia berada di ruangan ini? Tapi kenapa ia harus menutup lobang ini, kalau dia ada di sini? Ataukah dia tidak berada di lorong ini? Lalu dimana? Apakah masih ada ruangan lain yang dirahasiakannya selain kelima lorong ini?" gadis itu bertanya-tanya di dalam hati. Dengan langkah gontai dan pikiran penuh pertanyaan Tui Lan kembali ke kamarnya lagi. Bayangan wajah Liu Yang Kun yang kadang-kadang tampak riang dan penuh senyum, tapi seringkali juga terlihat murung dan sayu itu benar-benar membingungkan hati gadis itu.
"'Pemuda itu sangat baik kepadaku. Wajahnya tampan, kepandaiannya sangat tinggi. Tanpa alasan dan sebab apapun dia telah mempertaruhkan jiwanya untuk menolongku. Namun demikian sungguh sulit bagiku untuk menerka apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Sikapnya kadang-kadang sangat aneh dan sulit dimengerti. Siapa tahu dia justru... Si Iblis Penyebar Maut itu malah?" dalam keragu-raguan dan kebingungannya gadis itu mencoba berseloroh dengan dirinya sendiri. Namun tiba-tiba hatinya menjadi kecut juga.
"Ah, masakan orang sebaik dia menjadi seorang iblis penyebar maut!" sangkalnya kemudian.
"Tapi... ah, sebaiknya aku memang harus berhati-hati menghadapinya. Bagaimanapun juga dia baru saja kukenal, dia adalah orang asing bagiku. Biarlah untuk selanjutnya aku akan menyelidiki siapa sebenarnya dia itu!"
Tui Lan justru tak pernah menanyakan dimana pemuda itu beristirahat serta tidur setiap harinya. Tapi sejak itu Tui Lan menjadi semakin ramah dan suka bicara dengan Liu Yang Kun. Tui Lan mencoba untuk mengorek asal-usul dan keluarga pemuda itu dengan cara yang amat halus dan tak kentara. Meskipun demikian, pemuda itu ternyata juga sangat berhati-hati sekali berbicara tentang dirinya. Setiap menyinggung keluarganya pemuda itu tentu segera mengelak dan memindahkan percakapan mereka ke hal yang lain. Pemuda itu hanya bercerita tentang pengalamannya, tentang dirinya, dan tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia persilatan. Pemuda itu tentu akan segera menjawab bila ditanyakan tentang dirinya, ilmunya, dan tentang apa saja yang pernah dialaminya. Tapi dia akan segera bungkam setiap kali menjurus ke arah keluarganya.
"Ah... jadi kau pernah menginap di istana kaisar pula? Wah, pengalamanmu sungguh hebat sekali," pada suatu hari Tui Lan berseru mengagumi cerita yang dikisahkan oleh Liu Yang Kun.
"Tentu saja, karena menginap di dalam istana itulah aku akhirnya bisa bertemu dengan guruku yang kedua. Ketika aku terbenam di dalam telaga di belakang istana itu, tubuhku tersedot ke dalam sungai di bawah tanah seperti sekarang ini. Di situ aku justru dapat bertemu dengan seorang wanita tua yang memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepadaku. Aku diajari Liong-cu i-kang (Tenaga Sakti Mustika Naga) dan Kim-coa ih-hoat (Ilmu Baju Ular Emas), yang menjadi ilmu andalanku selama ini..."
"Hmm, kalau begitu kau sudah dua kali hidup di dalam ruang di bawah tanah seperti ini? Ah, makanya kau enak-enakan saja selama ini. Sama sekali tidak merasa gelisah ataupun sedih." Tui Lan menggerutu kesal. Liu Yang Kun tertawa gembira.
"Bukan begitu, nona..." pemuda itu menyangkal.
"Soalnya..."
"Uh! Mengapa kau masih juga memanggil dengan nona-nonaan terus?" Tui Lan memonyongkan bibirnya.
"Habis kau juga masih sering memanggilku Liu Taihiap, sih..." Liu Yang Kun membela diri. Namun akhirnya pemuda itu mengalah juga.
"Baiklah! Aku akan memanggilmu Lan-moi! Tapi ingat, kaupun harus menyebutku twa ko! Bagaimana?"
"Baik. Twako...!" Tui Lan mengangguk seraya menyunggingkan senyum di bibirnya yang tipis. Demikianlah, dari hari ke hari persahabatan mereka menjadi semakin akrab. Tui Lan semakin mengenal pribadi Liu Yang Kun, meskipun pemuda itu tetap bungkam tentang masalah keluarganya, begitu juga sebaliknya, Liu Yang Kun juga semakin mengenal diri Tui Lan.
Cuma masih ada sebuah hal yang tetap menjadi teka-teki bagi Tui Lan, yaitu masalah 'lorong gua' yang tertutup batu sebesar gajah itu. Selama ini Liu Yang Kun tetap merahasiakan dan menutup-nutupinya. Dan juga selama itu pula Tui Lan tak pernah mengetahui, dimana pemuda itu tidur dan beristirahat. Namun seperti yang telah diputuskannya sendiri, Tui Lan tak pernah mengungkat-ungkat hal itu. Sementara itu persoalan lain yang ternyata justru sangat menyibukkan Tui Lan adalah serangan hawa panas di dalam tubuhnya yang disebabkan oleh Po-tok-cu itu. Sejak benda tersebut tertanam di dalam dagingnya, serangan hawa panas itu selalu saja mengganggunya. Setiap hari gadis itu harus bertarung untuk mengalahkan serangan hawa panas yang membakar tubuhnya itu dengan gerakan-gerakan yang terlukis di dalam buku Pat-hong Sin-ciang.
Celakanya, setiap kali datang menyerang, hawa panas itu selalu saja bertambah dan berlipat ganda kekuatannya, sehingga untuk menanggulanginya Tui Lan terpaksa harus menambah pula gerakan-gerakannya dengan gerakan yang terdapat di halaman berikutnya dari buku tersebut. Sehingga tanpa dikehendaki sendiri oleh gadis itu, maka lembar demi lembar isi buku Pat-hong Sin-ciang tersebut terpaksa ditirukannya untuk me lawan serta menaklukkan serangan hawa panas itu. Kadang-kadang Tui Lan merasa kewalahan pula, sehingga sering kali ia bermaksud untuk mengeluarkan saja Po tok-cu itu dari tangannya. Tapi bila terlihat oleh gadis bekas luka yang telah merapat dan menutupi benda pusaka itu, maka keinginannya tersebut segera hilang.
"Biarlah...,! Bila panas itu memang tak bisa kutahan lagi, dan ilmu yang tertulis di dalam buku itu juga sudah tak dapat mengatasinya pula, maka mutiara itu terpaksa akan kucongkel keluar." Tui Lan berkata di dalam hatinya. Akibatnya, setengah bulan kemudian pelajaran dasar ilmu bersemadi Pat-hong-sinkang tersebut sudah habis dilahap Tui Lan untuk melawan serangan hawa panas itu. Sehingga untuk hari-hari selanjutnya, Tui Lan terpaksa pula melangkah ke halaman berikutnya lagi, karena pelajaran dasar tersebut sudah tidak kuasa lagi membendung serangan hawa panas itu. Demikianlah, pada hari yang ke enambelas, Tui Lan mulai pula dengan halaman yang ke enambelas. Pada halaman itulah buku tersebut benar-benar mulai mengajarkan cara-cara menguasai dan menghimpun Tenaga Sakti Delapan-Penjuru Angin atau Pat-hong sinkang!
Dan mulai hari itu pulalah Tui Lan dipaksa untuk melakukan gerakan-gerakan yang sulit dan aneh-aneh. Sehingga untuk melakukannya Tui Lan terpaksa pula mempersiapkannya sehari sebelumnya! Untuk menirukan gerakan 'kelelawar tidur dengan menggantungkan kakinya di atas dahan', Tui Lan terpaksa membuat lobang kecil di langit-langit guanya untuk mengaitkan ujung kakinya. Sementara untuk menirukan gerakan 'kelelawar terbang', Tui Lan terpaksa pula mencari dua dinding gua yang saling berdekatan, yang jaraknya sesuai dengan panjang tubuhnya. Ada delapan cara atau gerakan untuk menghimpun Pat-hong-sinkang. Masing-masing dengan cara dan aturan-aturannya sendiri dalam menyalurkan hawa sakti yang telah terkumpul di tan tian.
Masing-masing juga disebutkan cara untuk menembus tiap-tiap simpul jalan darah yang dilalui hawa sakti tersebut, lengkap dengan ukuran dan urut-urutannya pula. Sungguh beruntung bagi Tui Lan, karena sebelumnya dia telah memperoleh pendidikan tentang jalan darah dari gurunya, sehingga apa yang tertulis di dalam buku itu tidak membingungkannya. Dan memang sungguh mengherankan sekali! Sekali saja Tui Lan menyalurkan hawa sakti seperti yang diperintahkan oleh buku itu, maka hawa panas itu segera lenyap seketika! Tak perlu gadis itu mengulang-ulangnya lagi! Selain dari pada itu Tui Lan merasakan suatu perubahan yang mendadak di dalam dirinya. Tui Lan merasa badannya tiba-tiba menjadi lebih segar, bersemangat dan ringan bukan main!
"Ajaib! Pat-hong-sinkang benar-benar hebat sekali! Dengan salah satu dari gerakannya saja, aku telah mampu mengendalikan hawa panas itu!" gadis itu berdesah gembira. Tui Lan benar-benar mengagumi kehebatan ilmu yang baru dipelajarinya itu. Maka dari itu dia tidak menjadi terpaksa lagi sekarang. Sebaliknya gadis itu menjadi kecanduan malah. Meskipun dengan gerakan yang pertama saja sebetulnya gadis itu sudah mampu menjinakkan serangan hawa panas tersebut namun karena ia sudah terlanjur kecanduan tadi, maka dia tetap saja meneruskan pelajarannya. Satu persatu lembar demi lembar, petunjuk tentang Pat-hong sinkang itu dipelajarinya hingga selesai. Dan sebulan kemudian Pat-hong-sinkang itupun telah habis dilahapnya pula.
Sekarang tinggal separuh buku saja lagi. Itupun bukan inti pelajaran lwee kang pula, tapi adalah jurus-jurus ilmu Pat-hong Sin-ciang yang terkenal itu! Namun sudah banyak kemajuan yang diperoleh Tui Lan dalam waktu sebulan itu. Sekarang Tui Lan sudah dapat melihat di dalam kegelapan tanpa harus menggunakan obor lagi, meskipun jaraknya juga masih sangat terbatas pula. Dan sekarang Tui Lan juga sudah bisa mengatur tenaga saktinya, sehingga obor itu juga tidak menjadi padam lagi seperti dulu. Dan dengan kepandaiannya mengatur hawa sakti itu, dinding-dinding di dalam guanya sudah tidak menjadi basah serta mengembun lagi seperti dulu. Sementara itu pergaulannya dengan Liu Yang Kun juga semakin akrab pula. Setiap hari mereka mencari ikan dan membakarnya bersama-sama.
Kadang-kadang mereka berlatih silat pula dengan tekun. Atau kalau mereka sedang lelah, mereka cuma berbincang-bincang saja sambil duduk-duduk di tepi sungai itu. Namun selama itu pula mereka selalu menjaga diri dan menjaga jarak diantara mereka, agar hubungan itu tidak dikotori oleh nafsu-nafsu yang akan menyesatkan mereka nanti. Begitu kuatnya mereka menjaga 'persahabatan' itu sehingga masing-masing sangat menghormati dan menjauhi daerah 'pribadi' sahabatnya. Walaupun demikian, kadang-kadang Liu Yang Kun tampak sedikit curiga juga menyaksikan kemajuan Tui Lan. Di matanya sekarang, gadis itu kelihatan lebih tangkas dan lincah, sedangkan sinar matanya tampak lebih tajam berwibawa. Namun pemuda itu tetap tidak pernah bertanya, apalagi mengurusnya. Tapi yang terang gadis itu selalu tampak bertambah cantik saja setiap harinya.
"Lan-moi... Kau benar-benar... cantik sekali!" pada suatu hari pemuda itu memuji. Tampaknya pemuda itu sudah tidak bisa menguasai perasaannya lagi. Tentu saja pipi Tui Lan menjadi merah seketika. Gadis itu sungguh tidak menyangka kalau Liu Yang Kun akan memujinya seperti itu.
"Ah, Twako... kau ini ada-ada saja! Bagaimana mungkin wajah seperti ini bisa disebut cantik? Cermin tidak ada, bersolekpun juga tidak pernah." Tui Lan cepat menyanggahnya dengan kemalu-maluan. Namun sebenarnya hatinya terasa membengkak sebesar bukit. Bagaimana Tui Lan tidak menjadi berbangga dan berbesar hatinya mendengar pujian itu?
Sejak pertama kali melihat Liu Yang Kun, gadis itu sudah merasa kagum dan tertarik hatinya. Apa lagi ketika pemuda itu menyelamatkannya dari keganasan Giok-bin Tok-ong, rasa kagum tersebut menjadi bertambah pula dengan rasa hutang budi dan rasa terima kasih yang tak terhingga. Dan rasa-rasanya perasaan itu menjadi semakin mendalam selama mereka berada di dalam gua itu. Namun sebagai seorang gadis tentu saja Tui Lan selalu berusaha untuk menahan diri dan mengendalikan perasaannya. Siapa tahu perasaannya itu ternyata hanya bertepuk sebelah tangan? Maka sungguh tidak mengherankan bila kata-kata pujian pemuda itu benar benar sangat mengejutkan, sekaligus juga amat menggembirakan hati Tui Lan. Perasaan gadis itu seolah-olah melayang-layang di atas langit.
"Benar, Lan-moi. Justru karena melihatmu tanpa berdandan demikian itu aku lantas memujimu. Di Kotaraja atau di kota Soh-ciu ini aku sering menyaksikan gadis cantik dengan dandanannya yang sangat anggun Tapi selama ini aku belum pernah melihat seorang gadis bisa secantik kau tanpa berdandan dan memoles wajahnya dengan alat-alat kecantikan..." Liu Yang Kun memuji lagi.
Apa yang bisa dikatakan lagi oleh Tui Lan selain diam seribu bahasa? Gadis itu hanya bisu menundukkan mukanya, untuk menyembunyikan kegembiraannya. Tapi justru sejak itu Tui Lan jarang-jarang melihat Liu Yang Kun. Kalau biasanya seharian mereka selalu bersama, kini pemuda itu hanya muncul bila waktunya makan dan mencari ikan. Dan Tui Lan melihat suatu perubahan yang aneh pada wajah dan sikap pemuda itu. Pemuda itu kelihatan sangat gelisah dan murung. Meskipun pemuda itu selalu berusaha menyembunyikan keadaannya tersebut dengan sikapnya yang riang, tapi Tui Lan tak bisa dikelabuinya. Pemuda itu seperti sedang menanggung beban batin yang amat berat. Dan setiap saat pemuda itu seperti selalu menghindarinya. Dan kalau hal itu ditanyakannya, pemuda itu akan menjadi gelagapan, dan semakin tampak sangat menderita sekali.
"Badanku... eh, aku agak kurang enak badan, Lan-moi! Biarlah aku beristirahat dulu..." paling-paling pemuda itu akan berkata demikian, dan kemudian meninggalkannya. Tentu saja Tui Lan menjadi sedih sekali. Apalagi ketika kadang-kadang sampai dua hari Liu Yang Kun tidak kelihatan menemuinya. (Setelah sebulan mereka berada di dalam kegelapan gua tersebut, mereka bisa mengira-ira, apakah hari itu siang atau malam, dengan cara membedakan panasnya udara di dalam gua itu). Akibatnya Tui Lan menjadi sulit tidur, dan nafsunya untuk mempelajari jurus-jurus Pat-hong Sin-ciang-pun juga menjadi kendor. Gadis itu lebih banyak melewatkan waktunya dengan melamun.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lambat laun Tui Lan tidak tahan juga menanggung beban perasaan tersebut. Hatinya yang sudah terlanjur 'melekat' pada pemuda itu benar-benar amat tersiksa menghadapi keadaan seperti itu. Akhirnya Tui Lan memutuskan untuk mencari tahu, apa yang menyebabkan kawannya bersikap seperti itu. Maka pada suatu hari, ketika sudah dua hari lamanya Liu Yang Kun tidak muncul, Tui Lan segera mencarinya. Tui Lan sudah tidak peduli lagi pada peringatan Liu Yang Kun dulu, bahwa dia tidak sekali-kali diperbolehkan menyusul pemuda itu di tempatnya. Langsung saja Tui Lan ke lorong gua yang terkecil itu, karena dia yakin kalau pemuda itu tentu berada di sana. Tapi sampai di depan lobang terowongan itu Tui Lan menjadi bingung. Bagaimana dia bisa masuk kalau menggeser batu sebesar itu saja dia tak mampu?
"Aaah...!" Tui Lan menghela napas kecewa, lalu membalikkan badannya untuk kembali lagi ke kamarnya. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti! Telinganya yang tajam itu mendengar suara geraman yang menggetarkan hati. Suara geraman yang pernah dia dengar sebelumnya, tapi ia lupa entah dimana. Tui Lan menjadi tegang, hatinya berdebar-debar. Kebetulan gadis itu tidak membawa obornya. Dengan pandang matanya yang bisa menembus kegelapan itu Tui Lan celingukan kesana-kemari mencari asa l suara tersebut. Dan ketika suara geraman itu menggema kembali, Tui Lan segera mendekati lobang terowongan yang tertutup batu besar tersebut.
"Suara itu benar-benar datang dari dalam lorong gua ini..." Tui Lan membatin dengan hati semakin tegang.
"Kalau begitu... kalau begitu, apakah Liu Twako yang menggeram itu? Ah... benar! Aku ingat sekarang!" Tui Lan lalu teringat kembali akan pengalamannya sebelum dia tertimbun di dalam gua itu. Tatkala itu dia sedang memeluk pinggang Liu Yang Kun yang sedang bertempur melawan Giok-bin Tok-ong di luar gua. Pada waktu itulah dia tiba-tiba mendengar Liu Yang Kun menggeram dan kemudian...menciumi punggung dan lehernya! Di dalam ketegangannya mendengar geraman Liu Yang Kun itu, timbul pula perasaan khawatir di hati Tui Lan. Jangan-jangan pemuda itu sedang menderita sakit atau sedang mendapatkan kesukaran. Maka ketika sekali lagi geraman itu terdengar oleh telinganya, Tui Lan segera melupakan kelemahannya, batu sebesar gajah itu didorongnya dengan sekuat tenaganya!
"Rrrrrrrttttt!" Batu itu tergeser dengan mudahnya! Sejenak Tui Lan malah menjadi kaget! Matanya terbelalak, mulutnya ternganga! Hampir saja gadis itu tidak percaya kalau ia bisa mendorong batu itu!
"Apakah semua ini diakibatkan oleh Pat-hong-sinkang itu?" gadis itu menduga-duga di dalam hatinya. Setelah hilang kekagetannya, Tui Lan lalu merangkak masuk ke dalam lobang terowongan itu. Hatinya merasa agak tenang karena suara geraman tersebut sudah tidak terdengar lagi. Ruangan gua itu tampak terang benderang dengan sinar obor yang ditaruh di tengah-tengah gua. Tapi karena ruangan itu mempunyai banyak tiang-tiang batu karang yang menghubungkan langit-langit gua itu dengan lantai di bawahnya, maka bayang-bayangnya tampak hitam berjajar-jajar di dinding gua, bagaikan bayangan manusia yang bergoyang goyang mengerikan! Tui Lan menjulurkan lehernya ke dalam ruangan itu. Satu-persatu tiang-tiang batu karang yang amat besar tersebut ditelitinya. Dicarinya Liu Yang Kun diantara puluhan bayang-bayang hitam itu.
"Krinciiiiiiing...!" Tiba-tiba terdengar suara gemerincing besi yang amat nyaring! Tentu saja Tui Lan menjadi kaget bukan main! Terlintas kembali di dalam pikiran gadis itu tubuh Liu Yang Kun yang diborgol kaki dan tangannya dua bulan yang lalu! Siapakah yang kini bermain-main dengan rantai borgol itu? Apakah Liu Yang Kun sendiri?
"Liu Twako!" Tui Lan menyapa perlahan. Tiada jawaban. Tui Lan lalu melangkah masuk perlahan-lahan. Dihampirinya asal suara tadi. Dan... Apa yang dilihatnya kemudian benar-benar sangat mencengangkan hatinya. Di atas lantai tampak Liu Yang Kun sedang tertidur pulas. Kedua buah tangan dan kakinya terjepit borgol besi yang amat besar dan kuat! Malahan lehernya tampak dilingkari borgol pula sekarang!
"L-i-u t-w-a...k-o?" Tui Lan menjerit. Namun tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya selain suara serak yang hampir tak terdengar. Suaranya seolah-olah tertahan di dalam kerongkongannya. Lalu gadis itu menggosok-gosok kedua matanya seolah tak percaya! Benarkah orang yang diborgol kaki tangannya ini Liu Yang Kun? Ataukah orang ini adalah orang lain yang wajahnya mirip dengan Liu Yang Kun? Tapi kenapa baju yang dipakai orang ini juga persis dengan baju yang dikenakan Liu Yang Kun dua hari yang lalu?
"Oooooouugh...!" Tui Lan mengeluh seraya memegangi kepalanya. Tiba-tiba gadis itu terhuyung-huyung mau jatuh. Namun tangannya dengan cepat berpegangan pada dinding gua. Kemudian perlahan-lahan gadis itu melangkah keluar dari ruangan itu. Rasa pening membuat gadis itu merasa seolah-olah sedang berada di dalam ruangan yang berputar cepat sekali! Tanpa mengembalikan lagi batu besar itu ke tempatnya semula, Tui Lan merayap menuju ke kamarnya sendiri. Sampai di kamarnya gadis itu lalu membaringkan badannya dan mencoba untuk tidur. Dan gadis itu memang tertidur dengan nyenyaknya. Matanya baru terbuka kembali ketika udara panas di dalam gua itu telah menyengatnya, di luar gua matahari telah bersinar dengan teriknya.
"Aughhh...!" Tui Lan menguap lebar, lalu duduk. Namun bagai disengat lebah Tui Lan segera melompat keluar kamarnya. Bergegas gadis itu berlari ke tempat Liu Yang Kun diborgol malam tadi. Batu besar itu kelihatan sudah tergeser semakin jauh dari lobangnya. Tui Lan menjadi tegang, hatinya berdebar-debar. Selangkah demi selangkah gadis itu merangkak melalui terowongan itu. Tapi akhirnya gadis itu menjadi sangat kecewa sekali. Ruangan tersebut telah kosong. Rantai borgol itu sudah tidak ada lagi di sana. Dan pemuda itupun juga sudah lenyap pula bersama borgol itu.
Yang tertinggal di dalam ruangan itu hanyalah obor. Obor yang sudah hampir habis minyaknya! Otomatis Tui Lan menjadi gelisah sekali. Kemanakah pemuda itu? Pindah ke lorong gua yang lain? Tapi kenapa? Apa karena pemuda itu sudah mengerti kalau dia bayang-bayangi?Tui Lan cepat keluar kembali. Dengan amat tergesa-gesa dia mengelilingi semua lorong-lorong gua itu. Tapi pemuda itu tetap tak dijumpainya juga. Sekarang Tui Lan benar-benar mengkhawatirkan nasib Liu Yang Kun. Sekali lagi gadis itu berlari-lari mengelilingi lorong-lorong gua itu. Bolak-balik kesana-kemari membawa obor yang hampir habis minyaknya itu untuk memuaskan hatinya. Setelah yakin bahwa Liu Yang Kun memang tidak dapat ia ketemukan, maka Tui Lan lalu duduk termangu-mangu di tepian sungai. Dipandangnya air sungai yang gelap kehitam-hitaman,
"Mungkinkah dia benar-benar dapat tidur di dalam air yang dalam ini?" desahnya risau, teringat akan seloroh pemuda itu tempo hari.
"Ooooh...!" rintihnya pula seraya menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
"Kenapa aku tidak menolongnya kemarin? Mengapa aku malahan meninggalkannya? Oooooh..." Hari itu Tui Lan terpaksa mencari ikan sendiri, membakar sendiri, dan membikin minyak sendiri pula. Wajahnya amat pucat. Hatinya tampak putus asa. Berkali-kali gadis itu berdiri di tepi sungai yang hitam pekat itu sambil meneteskan air mata.
"Liu Twako...!" bisiknya berulang-ulang, seolah-olah pemuda itu memang benar-benar berada di dasar sungai tersebut.
Beberapa hari lamanya Tui Lan tidak makan dan tidak tidur. Badannya menjadi sangat lemah. Namun demikian gadis itu hampir tak pernah beranjak dari tepian sungai itu. Akibatnya gadis itu menjadi sakit. Tubuhnya demam. Pada hari yang ke lima Tui Lan sudah tidak bisa bangkit lagi dari pembaringannya. Walaupun demikian gadis itu tetap merangkak menuju pinggir sungai itu. Gadis itu ingin mati di pinggir sungai, kalau Thian memang menghendaki ia mati di dalam gua itu. Tui Lan lalu duduk bersandar pada dinding gua dan menghadap ke arah sungai. Pada saat-saat terakhirnya gadis itu masih ingin melihat kalau-kalau pemuda yang dicintainya itu muncul kembali. Ditatapnya tirai kegelapan yang mewarnai udara di atas sungai itu. Sungai besar yang tidak ia ketahui berapa lebarnya, karena sinar obor cuma mencapai dua atau tiga tombak saja dari tepian.
"Mungkinkah di seberang sungai ini masih ada juga lorong-lorong gua seperti ini?" tiba-tiba terbetik di dalam pikiran Tui Lan suatu kemungkinan di seberang sungai itu,
Pendekar Penyebar Maut Eps 53 Pendekar Penyebar Maut Eps 10 Pendekar Penyebar Maut Eps 55