Ceritasilat Novel Online

Pendekar Budiman 16


Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 16




   "Kurang ajar!" bentaknya dan tongkat di tangannya tergetar.

   "Bocah Hoa-san-pai, apa sih kehendakmu maka kau berani mengganggu pinceng?" Bi Lan tersenyum, sikapnya tenang akan tetapi menantang sekali.

   "Kian Wi Taisu, aku akan selalu menghormat orang-orang-tua, akan tetapi kalau dia benar. kau tanya apa kehendakku atau kehendak kami orang-orang Hoa-san-pai? Kami menghendaki perdamaian, sama sekali kami bukan tukang tukang pukul yang suka mencari perkara. Akan tetapi, karena muridmu Bu It Hosiang amat jahat bersekongkol dengan pemerintah Kin dan menyerbu Hoa-san-pai sehingga guruku Liang Bi Suthai sampai tewas, kuharap kau segera menghukum muridmu itu!"

   "Bohong! Tak mungkin muridku bersekongkol dengan pemerintah Kin!" bentak Kian Wi Taisu marah sekali.

   "Hati-hati kau dengan mulutmu, bocah lancang. Kami orang-orang Go-bi-pai turun gunung hanya untuk membantu perjuangan rakyat, melawan pemerintah Kin, dan kau sekarang berani sekali menuduh murid Go-bi-pai bersekongkol dengan pemerintah Kin?" Bi Lan tertawa, Tan Seng tersenyum sindir lalu berkata,

   "Kian Wi Taisu, lebih baik buktikan dulu sebelum kau menyangkal. Untuk apakah kami berdusta?"

   "Kalian selalu membusukkan nama kami. Siapa mau percaya? Minggirlah dan jangan mengganggu pinceng lebih lama lagi!" bentak Kian Wi Taisu makin marah. Akan tetapi Bi Lan sudah mencabut pedangnya dan gadis ini menghadang di jalan sambil berkata,

   "Sebelum kau berjanji hendak menghukum Bu It Hosiang dan minta maaf kepada guru-guruku, jangan harap akan dapat lewat!" Muka Kian Wi Taisu yang sudah keriputan itu sebentar merah sebentar pucat saking marahnya. Untuk sejenak ia tidak dapat berkata apa-apa, kemudian ia membentak.

   "Kalau begitu, kalian mencari binasa!" Tongkatnya yang besar dan panjang itu bergerak cepat sekali menghantam ke depan, akan tetapi karena ia tidak tega untuk membunuh orang begitu saja, pukulannya ini bukan diarahkan kepada Bi Lan, melainkan diarahkan kepada sebuah batu besar yang berada di dekat Bi Lan. Terdengar suara keras dan batu itu pecah menjadi dua, debu mengebul dan tanah, yang diinjak oleh Bi Lan tergetar! Dengan demonstrasi ini Kian Wi Taisu hendak memberi peringatan kepada orang-orang Hoa-san-pai agar menjadi jerih dan tidak mengganggunya lagi. Akan tetapi Bi Lan tersenyum mengejek dan berkata memanaskan hati,

   "Siapa sih yang takut menghadapi tongkat!" Kini Kian Wi Taisu tak dapat menahan marahnya dan ia lalu memutar tongkatnya, mendorong ke arah dada Bi Lan. Gadis ini telah waspada dan sekali menggerakkan tubuhnya yang ringan, serangan ini dapat digagalkan.

   Sebelum Kian Wi Taisu menarik kembali tongkatnya, Bi Lan sudah mendahuluinya, membalas dengan tusukan pedangnya. Gerakannya tidak kalah kuat dan cepatnya sehingga diam-diam ketua Go-bi-pai terkejut sekali. Agaknya tak mungkin anak murid Hoa-san-pai memiliki kecepatan seperti itu. Ia lalu menangkis dengan pengerahan tenaga sekuatnya namun ternyata pedang di tangan gadis itu tidak dapat dibikin terlepas, bahkan dalam beradu senjata ini, Bi Lan nampaknya enak saja mainkan pedangnya terus diluncurkan menusuk kembali ke arah tenggorokannya! Tahulah kini Kian Wi Taisu bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Ia pernah menyaksikan kepandaian Liang Bi Suthai, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengeluarkan ilmu tongkatnya yang hebat, menyerang bagaikan taufan mengamuk.

   Bi Lan mengimbanginya dan gadis ini lalu mainkan Ilmu Pedang Thian te Kiam hoat yang ia pelajari dari Thian Te Siang mo. Menghadapi permainan pedang ini, Kian Wi Taisu tercencang. Ia sudah pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa-san-pai yang gerakannya seperti kembang teratai dan sinarnya bundar dan cepat sekali gerakannya serta kuat dalam daya bertahan. Akan tetapi ilmu pedang gadis ini gerakannya seperti kilat menyambar nyambar, dari atas dan bawah, sukar sekali ditahan! Ia terkejut sekali dan setelah mengerahkan kepandaian sampai belasan jurus, ia menjadi makin kaget karena gerakan pedang ini mengingatkan ia akan ilmu pedang yang pernah ia lihat dimainkan oleh Te Lo-mo, orang ke dua dari Thian Te Siang mo yang lihai.

   "Tahan dulu!" bentaknya sambil meloncat mundur.

   "Hm, ada apa Kian Wi Taisu? Apakah kau jerih menghadapi pedangku?"

   "Bocah sombong! kau mainkan ilmu pedang apakah? Bukan Hoa san Kiam hoat yang kau mainkan, dan kalau tidak salah kau mainkan ilmu pedang dari iblis tua Te Lo-mo! Ada hubungan apakah kau dengan Thian Te Siang mo?" Bi Lan tersenyum mengejek.

   "Thian Te Siang mo adalah guru-guruku, akan tetapi pada saat ini aku adalah anak murid Hoa-san-pai yang membela nama baik Hoa-san-pai!"

   "Bagus, tidak tahunya Hoa-san-pai sudah berhubungan pula dengan orang-orang jahat seperti Thian Te Siang mo! Kini pinceng tidak ragu-ragu lagi untuk membasmi kalian!" Kembali Kian Wi Taisu menyerang Bi Lan dengan tongkatnya dan mereka bertempur lagi makin hebat dan seru.

   Karena maklum akan kelihaian Kian Wi Taisu, Tan Seng tidak tega melihat cucu angkatnya melayani Hwesio ini seorang diri, maka ia lalu menyerbu dan membantu cucunya ini sambil mainkan sepasang lengan bajunya yang lihai. Adapun para murid Kian Wi Taisu yang dikepalai oleh Tiauw It Hosiang ketika melihat guru mereka dikeroyok dua lalu berseru keras dan menyerbu, disambut oleh Liang Gi Cinjin dan Liang Tek Sianseng, Liang Gi Cinjin, seperti Tan Seng, mainkan sepasang lengan bajunya, adapun Liang Tek Sianseng telah mengeluarkan sepasang poan koan pit, senjatanya yang berupa alat tulis sederhana namun yang amat lihai itu. Karena tingkat kepandaian adik adik seperguruan Tiauw It Hosiang tidak begitu tinggi, maka pertempuran ini berlangsung ramai sekali.

   Yang paling seru adalah pertempuran antara Kian Wi Taisu yang dikeroyok oleh Bi Lan dan Tan Seng. Biarpun ilmu silat yang dimiliki oleh Bi Lan pada waktu itu sudah amat tinggi dan jauh lebih tinggi dari kepandaian Tan Seng sendiri, namun menghadapi Kian Wi Taisu gadis ini masih belum mampu mendesaknya, sungguhpun bagi Kian Wi Taisu juga bukan merupakan pekerjaan ringan untuk memecahkan sinar pedang sadis itu yang benar-benar lihai ilmu pedangnya. Adapun Tan Seng, biarpun membantu sekuat tenaga, namun ia tidak banyak berdaya, bahkan ia harus selalu menghindarkan diri dari sambaran tongkat Kian Wi Taisu yang amat berbahaya itu. Pada saat pertempuran sedang berjalan seru serunya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang segera berseru keras,

   "Cuwi sekalian, harap menghentikan pertempuran yang tidak ada artinya dan merugikan ini!" Seruan ini amat nyaring sehingga berpengaruh sekali dan otomatis mereka yang bertempur meloncat mundur dan memandang.

   Diantara semua orang yang berada di situ hanya Bi Lan yang mengenal baik pemuda yang baru datang ini. Pemuda ini bukan lain adalah Ciang Le yang datang sambil mengempit tubuh seorang Hwesio dan ketika semua orang memperhatikan, ternyata bahwa Hwesio itu adalah Bu It Hosiang! Sebelum semua orang sempat bertanya, Kian Wi Taisu tentu saja menjadi marah sekali dan salah duga. Ia menduga bahwa pemuda ini tentulah kawan dari orang-orang Hoa-san-pai buktinya datang datang membawa tubuh muridnya yang agaknya berada dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya. Maka sambil berseru marah, ia mengayun tongkatnya mengemplang kepala Ciang Le sekuat tenaga! Semua orang terkejut, terutama sekali Bi Lan karena gadis ini yang sudah tahu akan kelihaian tongkat itu,

   Melihat betapa serangan itu benar-benar berbahaya sekali dan ia berada di tempat agak jauh, tak berdaya menolong pemuda itu. Lebih lebih kagetnya ketika ia melihat Ciang Le mengangkat tangan kirinya menangkis tongkat tanpa melepaskan kempitan tangan kanannya pada tubuh Hwesio Go-bi-pai yang dibawanya tadi. Akan tetapi, tangan pemuda itu sama sekali tidak menjadi remuk terkena kemplangan tongkat hebat tadi, karena ternyata bahwa Ciang Le sama sekali tidak hendak menangkis, melainkan menerima tongkat itu dengan telapak tangannya. Kian Wi Taisu merasa betapa tongkatnya bertemu dengan sesuatu yang lunak dan secara aneh sekali tenaga kemplangannya tadi lenyap dan kini tongkat itu terpegang oleh Ciang Le! Kian Wi Taisu marah membetot tongkatnya, namun tak dapat terlepas dari pegangan anak muda yang berbaju kembang ini!

   "Kian Wi Taisu, sabar dan tenanglah. Siauwte datang sama sekali bukan membawa maksud buruk." Sambil berkata demikian, pemuda ini melepaskan tongkat yang dipegangnya, lalu ia melepaskan tubuh Bu It Hosiang dari pengaruh tiam hoat (ilmu totok). Bu It Hosiang buru-buru menghampiri Kian Wi Taisu dan menjatuhkan diri berlutut dengan muka merah dan wajah gelisah sekali. Pemuda baju kembang itu lalu berpaling kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai, mengerling ke arah Bi Lan sambil tersenyum, kemudian berkata,

   "Siauwte maklum mengapa cuwi datang dan bertempur melawan Kian Wi Taisu, karena siauwte telah mendengar semua dari Bu It Hosiang ini. Akan tetapi, agaknya dugaan cuwi terlampau jauh. Betapapun bodoh dan tidak baik perbuatan yang telah dilakukan oleh Bu It Hosiang, namun dia bukanlah seorang pengkhianat bangsa. Dia tidak sengaja hendak membantu orang-orang Kin, semata-mata karena merasa sakit hati dan hendak membalas dendam kepada cuwi dari Hoa-san-pai. Betapapun bodohnya, ia bukan seorang pengkhianat dan karenanya, siauwte berpendapat bahwa pertikaian antara Hoa-san-pai dan Go-bi-pai tak perlu dilanjutkan secara berlarut larut."

   Tokoh-tokoh Hoa-san-pai mendengar ucapan ini mengerutkan kening. Bagaimana mereka dapat menghabiskan permusuhan itu begitu saja kalau Kian Wi Taisu bersikap seperti tadi dan Liang Bi Suthai sudah menjadi korban? Hanya Tan Seng yang memandang kepada pemuda itu bagaikan telah berobah menjadi patung batu, mulut ternganga mata terbelalak, tak kuasa mengeluarkan suara sedikitpun. Hatinya bimbang ragu dan dadanya berombak, menahan detak jantungnya yang berdebar-debar. Akan tetapi pemuda itu tidak menanti jawaban mereka, ia telah berpaling kepada Kian Wi Taisu dan berkata,

   "Kian Wi Taisu, terus terang saja siauwte nyatakan bahwa dalam hal keributan kali ini, fihakmu yang salah. Kesalahan ini ditimbulkan oleh Bu It Hosiang yang secara pengecut tidak berani membalas dendam sendiri terhadap Hoa-san-pai sebaliknya membawa bawa orang Kin sehingga ia kelihatan seperti seorang yang telah bersekongkol dengan pemerintah Kin. Oleh karenanya, kalau kau suka minta maaf kepada fihak Hoa-san-pai serta suka menghukum muridmu Bu It Hosiang, kiraku persoalan ini dapat dibikin beres sampai di sini saja."

   "Enak saja kau bicara!" tiba-tiba Bi Lan membentak pemuda itu.

   "Kali ini kau salah besar, kawan! Guruku Liang Bi Suthai telah tewas gara gara perbuatan Bu It Hosiang yang pengecut ini, dan kami sengaja mencari Kian Wi Taisu untuk menegurnya, akan tetapi kami bahkan disambut dengan tongkatnya! Bagaimana kami orang-orang Hoa-san-pai mudah saja dihina oleh orang-orang Go-bi-pai?" Adapun Kian Wi Taisu yang mendengar tentang sepak terjang muridnya, menjadi pucat mukanya. Ia membentak Bu It Hosiang,

   "Bangsat rendah! Coba katakan, betulkah bahwa kau telah membawa orang-orang Kin untuk menyerbu Hoa-san-pai seperti yang diceritakan oleh anak muda ini." Dengan suara gemetar Bu It Hosiang berkata,

   "Betul, suhu dan teeeu mohon maaf sebanyaknya." Kian Wi Taisu tidak berkata apa-apa, akan tetapi tiba-tiba kakinya menendang sehingga tubuh Bu It Hosiang yang berlutut di depannya itu mencelat sampai jauh dan menggelinding bergulingan. Kian Wi Taisu masih belum puas. Sekali melompat ia telah berada di dekat muridnya ini dan ia mengangkat tongkatnya, dipukulkan ke arah kepala Bu It Hosiang! Akan tetapi, tiba-tiba tongkatnya itu berhenti gerakannya karena tertahan oleh tangan dari belakangnya. Ia merasa heran sekali akan kekuatan tangan yang menahan tongkatnya itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata bahwa yang menahannya itu adalah pemuda baju kembang tadi!

   "Kian Wi Taisu, kiranya tak perlu menurutkan nafsu amarah! Memang muridmu telah bersalah, akan tetapi kesalahannya itu sebenarnya tidak besar. Sudah lajimnya kalau diantara orang kang ouw balas membalas sakit hati karena kekalahannya. Kesalahannya karena ia minta bantuan orang-orang Kin dan ini dilakukan di luar kesadarannya, ia amat bodoh sehingga tidak tahu bahwa orang-orang Kin adalah penindas rakyat yang tidak boleh didekati. Aku sendiri sudah banyak memberi ingat kepadanya dan kalau kiranya siauwte tidak melihat bahwa dia masih bisa diperbaiki, untuk apa siauwte jauh jauh membawanya ke sini? Ampunkanlah dia, taisu, dan habiskanlah permusuhanmu dengan Hoa-san-pai!"

   "Eh, anak muda. kau siapakah maka begitu berlaku lancang dan bermulut besar memberi nasihat kepada pinceng? kau murid siapa dan datang dari partai mana?" tanya Kian Wi Taisu yang merasa lebih heran dari pada marah kepada pemuda aneh ini.

   "Siapa adanya siauwte kiranya tak perlu dipersoalkan. Siauwte orang biasa saja."

   "Dia murid Thian Te Siang mo, masih pernah suhengku juga, suhengku yang murtad!" tiba-tiba Bi Lan berkata mengejek.

   "Tak mungkin murid Thian Te Siang mo!" kata Kian Wi Taisu. Ciang Le tersenyum.

   "Sudah kukatakan tadi, siapa adanya aku, tak ada harganya untuk dibicarakan. Sekarang yang penting membicarakan tentang pertikaian antara dua fihak." Ia memandang tajam kepada Bi Lan.

   "Sumoi" atau kalau kau lebih suka ku sebut nona" Nona, harap kau bersabar dan tidak menurutkan nafsu hati seperti ketua Go-bi-pai. Juga cuwi sekalian, harap sudi mendengarkan kata-kataku. Cuwi sekalian mengerti bahwa pada waktu ini, rakyat kita di utara sedang dalam penindasan pemerintah Kin dan sedang memberontak memperjuangkan perbaikan nasib. Sudah menjadi tugas kewajiban orang-orang gagah di dunia untuk membela dan membantu perjuangan mereka itu. Akan tetapi, apakah yang dilakukan oleh orang-orang gagah Hoa-san-pai dan Go-bi-pai? Saling gigit dan saling cakar! Cuwi sekalian, perjuangan rakyat menghadapi penjajahan dan penindas termasuk dalam sejarah yang takkan lenyap selama dunia berkembang! Sukakah cu wi sekalian kalau kelak tercatat dalam sejarah bahwa Go-bi-pai dan Hoa-san-pai yang besar itu di waktu rakyat berjuang tidak membantu bahkan menimbulkan kekacauan dengan saling bertempur sendiri?"

   "Kita bukan orang macam itu!" seru Bi Lan membantah keras "Ketahuilah, he, orang sombong, bahwa kami juga membantu perjuangau para patriot! Bahkan saudara-saudara seperguruanku masih berjuang bahu membahu dengan rakyat pada saat ini dan kamipun menunda bantuan kami hanya untuk menghajar adat kepada orang-orang Go-bi-pai!"

   "Pinceng juga turun gunung bersama murid-murid untuk membantu perjuangan rakyat!" Kian Wi Taisu membantah keras. Ciang Le tersenyum.

   "Bagus sekali kalau begitu, akan tetapi mengapa perjuangan suci dikotori oleh keributan saling menyerang sendiri karena urusan tetek bengek? Tanah air membutuhkan tenaga kita, mengapa tenaga kita bahkan saling bertumbuk dan melemahkan kedudukan sendiri? Bukankah ada peribahasa yang menyatakan bahwa bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh? Oleh karena itu, dari pada tenaga kita dipergunakan untuk saling gempur, bukankah lebih baik dipersatukan untuk menggempur musuh?" Terpukul hati semua orang mendengar omongan ini. Kian Wi Taisu mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang kagum.

   "Kau benar sekali, anak muda."

   "Memang begitulah seharusnya," kata pula Liang Gi Cinjin.

   "Kalau saja Kian Wi Taisu mau mengakui kesalahan muridnya, kamipun tak ingin membikin panjang urusan ini."

   "Bagus!" kata Ciang Le girang.

   "Memang, kesalahan seorang anggauta Go-bi-pai saja tidak seharusnya membakar seluruh partai yang akan membikin kedua partai selamanya turun temurun bermusuhan."
Kian Wi Taisu lalu berpaling kepada Bu It Hosiang.

   "Manusia sesat! Mulai sekarang, kau kuturunkan kedudukanmu menjadi penjaga pintu dan tukang membersihkan halaman kelenteng, selama lima tahun! Dan awas sekali lagi kau menyeleweng, aku takkan mengampunkan nyawamu lagi."

   "Teecu menerima salah," kata Bu It Hosiang.

   "Nah, pulanglah ke Go-bi-san dan jagalah kelenteng di sana, pinceng dan yang lain lain hendak membantu perjuangan rakyat."

   "Kalau boleh, teecu mohon ikut untuk membantu dan menebus dosa," kata Bu It Hosiang.

   "Tidak bisa, kau akan mengotori perjuangan," kata Kian Wi Taisu dengan kukuh dan keras. Dengan hati hancur dan malu sekali, Bu It Hosiang lalu berlutut dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi, menuju ke Go-bi-san. Kemudian Kian Wi Taisu lalu memandangi kepada Ciang Le dengan tajam.

   "Anak muda, sebelum kita berpisah, ingin pinceng mengetahui namamu untuk diingat-ingat, karena jarang sekali bertemu dengan seorang muda seperti kau."

   "Siauwte bernama Go Ciang Le..." kata pemuda itu sambil menjura dengan hormat.

   "Terima kasih, selamat berpisah, cuwi sekalian," kata pendeta tua itu sambil menyeret tongkatnya dan pergi dari situ, diikuti oleh semua muridnya. Adapun Tan Seng yang semenjak tadi berdiri seperti patung dan penuh dugaan dalam hatinya melihat bahwa pakaian berkembang yang dipakai oleh Ciang Le adalah pakaian dari mantunya, yakni Go Sik An, ketika mendengar pemuda itu mengakui namanya kepada Kian Wi Taisu, seketika menjadi pucat dan tubuhnya menggigil. Akan tetapi ia masih dapat mempertahankan diri. Setelah rombongan Go-bi-pai pergi, barulah ia berlari maju menghampiri Ciang Le.

   "Kau ... Ciang Le"??" Kakek ini memandang dan kedua tangannya dibentangkan, mukanya yang keriputan ini basah oleh air matanya yang mengalir turun. Tentu saja Ciang Le yang tidak mengenalnya, memandang bingung, pemuda ini dahulu hanya diberitahu oleh Thian Te Siang mo bahwa dia adalah putera dari Go Sik An yang tewas bersama isterinya oleh Bangsa Kin. Thian Te Siang mo sama sekali tidak pernah menceritakan tentang Tan Seng atau orang-orang lain. Maka tentu saja ia tidak kenal kepada kakek ini dan melihat sikap kakek ini, Ciang Le menjadi bingung sekali.

   "Ada apakah Lo-Enghiong..." tanyanya, karena sepanjang pengetahuannya, Tan Seng hanyalah seorang diantara tokoh-tokoh Hoa-san-pai.

   "Ciang Le" cucuku..." Hanya demikian saja Tan Seng dapat berkata dan ia segera merangkul pemuda itu. Ciang Le mendengar semua ini menjadi makin terheran dan ia memandang ke arah tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang lainnya, yaitu Liang Gi Cinjin dan Liang Tek Sianseng, yang hanya berdiri sambil menundukkan muka, nampaknya terharu sekali. Ketika Ciang Le melirik ke arah Bi Lan, bukan main kagetnya karena gadis itu memandangnya dan matanya bercucuran air mata! Ketika Ciang Le menatap wajah gadis itu dengan alis terangkat, penuh pertanyaan, Liang Bi Lan berkata diantara isaknya,

   "Dia adalah kong kongmu, ayah dari mendiang ibumu..." Bukan main girang dan terharunya hati Ciang Le sungguhpun ia masih bingung karena kenyataan yang tiba-tiba ini. Ia lalu melepaskan pelukan Tan Seng dan menjatuhkan diri berlutut.

   "Kong kong..." katanya perlahan. Tan Seng dapat menguasai hatinya dan ia mengangkat bangun pemuda itu dan memandanginya ke seluruh tubuhnya dengan hati besar dan girang sekali.

   "Ciang Le, kau tentu bingung menghadapi semua ini kalau tidak melihat baju ayahmu yang kau pakai ini... baju kematiannya.... akupun mungkin tidak percaya bahwa cucuku telah menjadi seorang pemuda yang gagah seperti engkau ini..." kata Tan Seng dan kakek ini lalu menceritakan betapa dahulu ketika ibu Ciang Le bersama dia dan ayah Bi Lan berusaha memampas jenasah Go Sik An yang digantung. Ciang Le yang masih orok itu ditinggalkan dan kemudian lenyap diculik oleh Thian te Siang mo! Terharu sekali hati Ciang Le mendengar ini, terutama sekali mendengar betapa ayah Bi Lan juga tewas karena berkorban membela ayah bundanya. Ia mengerling ke arah Bi Lan yang masih merah matanya karena terharu, dan menangis itu, lalu berkata perlahan,

   "Adik Bi Lan, mendiang ayahmu besar sekali jasanya dan aku patut menghaturkan terima kasihku kepadamu." Pemuda ini lalu berlutut di depan Bi Lan! Tentu saja gadis itu menjadi gugup sekali dan cepat-cepat ia lalu menyingkir, tidak mau menerima penghormatan sebesar itu.

   "Tidak, tidak! Ciang Le jangan kau menghaturkan terima kasih kepadaku. Kalau tidak ada" kong kong, eh" kong kongmu ini" yang merawatku semenjak kecil, entah apa jadinya dengan diriku..." Tan Seng berkata,

   "Bangunlah, Ciang Le, tidak perlu banyak sungkan terhadap orang sendiri. Bi Lan telah kuaku menjadi cucuku sendiri dan.... memang ia patut menjadi cucuku yang baik!" Pada saat itu, Liang Gi Cinjin mendapat pikiran baik sekali. Ia melangkah maju mendekati Tan Seng dan berbisik sebentar di telinga sutenya ini. Tan Seng mendengarkan dan seketika mukanya berseri dan mulutnya tersenyum biarpun pipinya masih basah oleh air mata tangisnya tadi!

   "Bagus, terima kasih, suheng, memang pikiran itu sudah ada dalam pikiranku semenjak aku mendapat harapan bahwa Ciang Le masih hidup!" Ia lalu menengok kepada Ciang Le dan Bi Lan yang memandang kepada orang-orang-tua itu dengan penuh dugaan.

   "Ciang Le, dan kau Bi Lan. Pertemuan ini sudah dikehendaki oleh Thian dan inilah saatnya pula aku orang-tua menyampaikan hasrat hatiku yang disokong pula oleh suhengku. Kalian berdua adalah anak-anak yatim piatu dan orang-tuamu hanyalah aku seorang. Oleh karena itu, sekarang juga kunyatakan bahwa kalian akan menjadi suami-isteri, atau tegasnya aku menjodohkan kalian satu kepada yang lain!" Liang Gi Cinjin dan Liang Tek Sianseng tersenyum mendengar omongan ini, akan tetapi akibatnya membuat dua orang muda itu menjadi merah mukanya sampai ke telinga. Akan tetapi, sungguh mengherankan semua orang ketika tiba-tiba Bi Lan menangis dan di dalam tangisnya itu ia berkata,

   "Tidak...! Tidak"! Tak mungkin...!" Setelah berkata demikian, gadis ini lalu meloncat pergi dan berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Sebentar saja ia telah menghilang ke arah timur. Sebelum tiga orang tokoh Hoa-san-pai itu dapat berkata-kata, Ciang Le mendahului mereka.

   "Kong kong, bagaimana aku bisa bicara tentang perjodohan dalam masa seperti ini? Kematian ayah bunda belum terbalas, tentara penjajah belum terusir, perjuangan bangsa belum selesai, bagaimana bicara tentang jodoh? Aku tidak mau menikah sebelum selesai tugas itu? Maaf dan selamat tinggal!" Pemuda inipun meloncat dan sekejap saja lenyap pula menyusul Bi Lan! Tan Seng dan dua orang suhengnya menarik napas panjang. Terdengar Liang Gi Tojin berkata,

   "Begitulah orang-orang muda. Penuh semangat dan berdarah panas! Tidak apa, sute. Jangan gelisah, urusan ini dapat dilanjutkan kelak. Lebih baik kita sekarang menyusul murid-murid kita, karena Bi Lan tentu juga menyusul Hok Seng dan Bu Tek untuk membantu mereka. Adapun tentang pemuda cucumu itu. Tan sute, tak usah dikawatirkan. Kulihat ilmu kepandaiannya bahkan lebih tinggi dari Bi Lan. Tentu kelak kita akan dapat bertemu dengan dia kembali!" Tan Seng menghela napas dan ia tak dapat berbuat sesuatu kecuali menurut kehendak suhengnya. Demikianlah, tiga orang tokoh Hoa-san-pai inipun lalu turun dari tempat itu, pergi ke medan perjuangan membantu para patriot yang sedang berjuang mengusir penjajah Kin yang memeras rakyat jelata.

   ***

   Bi Lan berlari cepat sekali, bagaikan seekor rusa betina muda yang berlari-lari lincah melawan tiupan angin. Tubuhnya meluncur cepat sehingga seandainya ada orang dusun atau petani melihatnya, tentu orang ini hanya melihat berkelebatnya bayangan saja. Ia mempergunakan ilmu lari cepat Liok te Hui teng (Terbang di Atas Bumi) yang ia pelajari dari Thian Te Siang mo. Guru-gurunya sendiri, tokoh-tokoh Hoa-san-pai, agaknya takkan dapat mengimbangi kecepatan larinya ini. Setelah berlari setengah hari lamanya tanpa mengurangi kecepatan dan merasa bahwa kini ia telah berada jauh sekali dari guru-gurunya dan dari pemuda baju kembang itu.

   Bi Lan lalu duduk di atas rumput, di tempat yang teduh di pinggir hutan, untuk beristirahat. Lelah juga rasanya setelah berlari-larian setengah hari lamanya itu dan bukan main segar dan enaknya ditiup angin hutan yang sejuk. Bi Lan mengeluarkan saputangannya dan menghapus butir butiran peluh yang membasahi jidat dan lehernya. Pipinya kemerah-merahan dan matanya berseri, tidak hanya karena habis berlari cepat, akan tetapi terutama sekali karena teringat akan kata-kata Tan Seng tentang perjodohan itu. Tiap kali ia teringat akan ucapan kakek angkatnya, pipinya menjadi merah lagi dan hatinya berdebar tidak karuan. Ia tidak tahu bagaimana perasaan hatinya pada waktu itu, ada girang, ada marah, malu, penasaran, juga bingung dan gugup, amat gugup sehingga kalau teringat, berkali kali ia menghapus jidatnya yang sudah kering tak berpeluh itu dengan saputangannya.

   Ia akui bahwa Ciang Le amat tampan dan gagah, lebih tampan dan gagah dari pada suhengnya Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng, dan sikapnya lemah-lembut, halus dan sopan pula. Ia tahu bahwa kepadaian Ciang Le dalam ilmu silat cukup tinggi, barang kali tidak kalah olehnya sendiri, walaupun tidak setinggi kepandaian orang yang telah menolongnya dan menolong guru-gurunya keluar dari tahanan! Tentu saja gadis ini juga para tokoh Hoa-san-pai, tidak pernah mengira bahwa orang yang berkepandaian tinggi dan yang menolong mereka itu bukan lain adalah Ciang Le sendiri, karena pemuda itu memang tidak membicarakan hal itu. Akan tetapi, sungguhpun Ciang Le cukup tampan, gagah, dan pandai, bagaimana ia bisa menjadi isterinya?

   Ia telah berjanji kepada guru-gurunya, Thian Te Siang mo, untuk memberi "Hajaran" kepada Go Ciang Le, murid Thian Te Siang mo yang dianggap murtad dan khianat itu! Bagaimanakah pertanggungan jawabnya terhadap dua orang gurunya itu kalau kelak mereka ketahui bahwa ia bukan ia bukan memberi "Hajaran", bahkan menjadi isteri dari Ciang Le? Pikiran ini membuatnya pening dan siliran angin yang sejuk membuat ia mengantuk sekali dan sebentar kemudian, tanpa terasa lagi Liang Bi Lan telah tertidur pulas di atas rumput itu, bersandarkan batang pohon! Bi Lan memang cantik sekali, apalagi bersandar pada pohon dalam keadaan tertidur, di tempat yang sunyi dan indah. Ia benar-benar seperti seorang bidadari yang tertinggal oleh kawan-kawannya yang telah terbang kembali ke sorga setelah turun dan bermain-main di hutan.

   Wajahnya yang manis dan berkulit putih itu nampak nyata dengan kulit batang pohon yang hitam kecoklatan di belakangnya. Tubuhnys yang ramping dan penuh sempurna bentuknya nampak indah sekali bersandar pada batang pohon yang lembam dan kasar. Rambutnya yang digelung ke atas, agak terlepas dan segumpal rambut tertiup angin melambai lambai menyapu jidat dan pipinya. Entah berapa lama ia tertidur, Bi Lan tak dapat ingat lagi. Ia sadar ketika mendengar suara orang dan ketika ia membuka matanya, ia melihat seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa yang berwajah menakutkan, tengah berdiri bertolak pinggang menghadapi Ciang Le yang sikapnya tenang seperti biasa! Saking heran dan terkejutnya, Bi Lan hanya bisa duduk dan memandang kepada mereka.

   "Ha, ha, ha, orang muda yang masih hijau! kau lebih baik menyingkir pergi, jangan kau menanti sampai aku Tiat pi him (Biruang Lengan Besi) menjadi marah!" kata laki-laki tinggi besar itu sambil matanya melirik lirik penuh gairah kepada Bi Lan.

   "Kau lah yang harus pergi dari sini, orang tak tahu aturan," kata Ciang Le dengan suara tenang.

   "Tak pantas sekali seorang laki-laki berdiri melihat seorang gadis yang tak dikenalnya sedang tidur seorang diri. Sungguh kau tak tahu malu!" Orang itu tertawa dan suaranya menyeramkan sekali, seperti gerengan seekor biruang tulen.

   "Pemuda gila! kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan! Kalau hatiku tak sedang gembira menemukan bunga indah di hutan sunyi ini, tentu kau takkan bisa berpanjang cerita lagi, sudah tadi tadi kau kupecahkan kepalamu!" Kemudian sikapnya berobah dan wajahnya beringas ketika ia memandang kepada Ciang Le dengan penuh kecurigaan "Eh, bangsat, apakah kau juga tertarik kepada bunga itu? Awas, dia punyaku, kau lekas pergi!"

   "Manusia kasar! Jangan persamakan aku dengan manusia berhati binatang seperti engkau! kau mengandalkan namamu sebagai Biruang Berlengan Besi, hendak kurasakan sampai di mana kerasnya tanganmu!" Orang itu tertawa lagi dan karena ia sedang bertolak pinggang, maka kepalanya doyong ke belakang dan wajahnya menengadah ketika ia tertawa bergelak itu.

   "Lucu, lucu! Seekor kelinci menantang biruang! Ha, ha, ha! kau menantang berkelahi. Sekali pukul saja, remuk dadamu, bocah!"

   "Benarkah? Coba kita saling pukul satu kali saja dan hendak kulihat siapa yang akan patah patah tulangnya," jawab Ciang Le.
(Lanjut ke Jilid 13)

   Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 13
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

   Jilid 13
Melihat sikap Ciang Le orang itu makin geli.

   "Boleh, boleh! Siapa akan memukul lebih dulu?"

   "Sesukamulah. kalau kau kehendaki, kau boleh memukul dadaku satu kali lebih dulu," jawab Ciang Le.
Orang itu tersenyum-senyum, mengeluarkan suara haha hehe dengan muka geli sekali merasa menghadapi seorang pemuda yang sudah miring otaknya.

   "Tidak bisa, kalau kau kupukul dulu lalu mampus, bagaimana aku dapat merasakan empuknya tanganmu yang berkulit halus itu? kau boleh pukul dulu, tidak satu kali, akan tetapi sepuluh kali, kemudian aku ikan membalas sekali saja untuk memecahkan dadamu!"

   Sambil berkata demikian, Tiat pi him berdiri dengan kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan dadanya melembung karena diisi hawa untuk siap menerima pukulan Ciang Le. Melihat sikap orang itu, diam-diam Bi Lan merasa geli sekali. Tadinya ia telah marah sekali dan ingin meloncat dan menghajar orang kurang ajar itu, akan tetapi melihat sikap Ciang Le, ia tahu bahwa pemuda itu hendak mempermainkan raksasa ini, maka tanpa terasa, gadis ini menggunakan tangan kiri untuk menutupi mulutnya agar ia tidak tertawa geli. Adapun Ciang Le lalu memasang kuda kuda dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka lalu menebak ke arah dada yang melembung itu. perlahan sekali.

   "Terimalah pukulanku!" katanya. Kedua tangannya jatuh di dada itu perlahan dan tidak mengeluarkan suara, seakan-akan menepuk biasa saja dan orang tinggi besar itu tidak merasa sesuatu, maka ia tertawa bergolak!

   "Hayo pukul lagi, sembilan kali lagipun boleh!" katanya.

   "Cukup, satu kali saja sudah cukup. Dadamu terlalu keras hingga tanganku terasa sakit!" kata Ciang Le sambil meringis seperti orang merasa sakit. Tiat pi him benar-benar seorang tolol yang tidak tahu diri. Ia tertawa bergelak sampai keluar air matanya, lalu berkata.

   "Bocah gila, aku kasihan kepadamu. Melihat nona manis itu, biar aku beri ampun kepadamu. Ini bukan waktunya bagiku untuk membunuh orang, hatiku sedang gembira mendapat kawan cantik jelita," katanya sambil melirik ke arah Bi Lan, seakan-akan hendak memamerkan bahwa dia adalah seorang yang baik hati.

   "Tidak bisa begitu, kau harus membalas memukulku. Kalau tidak, aku belum mau mengaku kalah dan tidak akan membiarkan kau berlaku kurang ajar terhadap nona itu." jawab Ciang Le. Marahlah Tiat pi him.

   "Kau minta mampus? Nah, terimalah pukulan ini!" Setelah berkata demikian, raksasa ini lalu mengayun kepalan tangan kanannya ke arah dada Ciang Le sekuat tenaga.

   "Buk!" Aneh sekali akibatnya! Bukan tubuh Ciang Le yang terlempar atau pecah dadanya, melainkan orang tinggi besar itu yang menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya.

   "Aduh" aduh... mati aku... aduhh...!" jeritnya sambil berdiri dan jongkok, bagaikan dikeroyok semut berbisa. Ia merasa dadanya sakit sekali, terutama di mana tadi kedua tangan pemuda itu menepuknya dan ketika ia meraba, ternyata tulang-tulang iganya terasa sakit luar biasa!

   Mana orang kasar itu tahu bahwa tadi Ciang Le telah menggunakan ilmu pukulan yang disebut coh kut ciang, (pukulan melepaskan tulang) yang dilakukan dengan tenaga lweekang secara luar biasa disertai pengetahuan luas sekali tentang duduknya tulang dan urat tubuh lawan. Maka, tanpa terasa, oleh Tiat pi him, tepukan kedua tangannya pada dada lawan tadi telah membuat tulang-tulang iga Tiat pi him terlepas sambungannya. Hal ini tidak terasa dan mungkin akan dapat pulih kembali kalau orang kasar ini lalu beristirahat dan tidak mempergunakan tenaga kasar. Akan tetapi ketika ia memukul dada Ciang Le yang tidak terasa oleh pemuda sakti ini, ia menggunakan tenaga gwakang sekuatnya dan karenanya, tulang-tulang iganya banyak yang copot sambungannya! Tiat pi him si raksasa kasar itu hendak melarikan diri, akan tetapi Ciang Le berkata...

   "Kalau kau pergi membawa luka lukamu itu, kau akan mampus dalam waktu sehari semalam!"

   Mendengar ini, Tiat pi him menjadi pucat dan rasa sakit itu makin menghebat. Pada saat itu, ia membelalakkan kedua matanya karena terkejut melihat betapa gadis cantik manis, yang tadi duduk tertidur, kini sekali tubuhnya bergerak, gadis itu telah melompat tinggi di atas kepalanya dan sebelum hilang kagetnya, kaki Bi Lan telah menendang kepalannya! Tiat pi him merasa seakan-akan kepalanya disambar petir. Tubuhnya terputar putar dan ia roboh dengan napas empas empis, akan tetapi ia masih dapat melihat tegas betapa gadis itu kini berdiri sambil bertolak pinggang di depannya, ia diam-diam mengeluh. Celaka hari ini ia benar-benar sial. Tidak saja bertemu dengan pemuda aneh ini, bahkan gadis yang hendak diganggunya itupun memiliki kepandaian yang demikian hebatnya! Ia tidak punya harapan untuk lolos lagi.

   "Anjing macam kau harus dibunuh!" terdengar suara gadis itu memakinya dan sekali lagi Bi Lan menggerakkan kakinya. Akan tetapi pemuda itu berkata.

   "Jangan bunuh dia! Dosanya belum begitu besar untuk dibunuh, bahkan seharusnya kau menyembuhkan luka di tulang iganya!" Mendengar ini, Bi Lan tidak perduli dan tetap menendang sampai tujuh kali ke arah dada kanan kiri raksasa itu. Ciang Le tersenyum senang, ia maklum, bahwa yang dilakukan oleh gadis itu bukanlah tendangan biasa saja melainkan tendangan berdasarkan ilmu Ciang siang ci twi hwat (Ilmu Tendangan Untuk Mengobati Luka Bekas Pukulan Tangan) yang lihai dan yang hanya dimiliki oleh Thian Lo-mo! Biarpun kini di luar pengetahuannya, tulang-tulang iganya telah kembali di tempatnya dan nyawanya tertolong, namun rasa sakit makin menghebat sehingga Tiat pi him berkuik kuik seperti anjing disiram air panas.

   "Aduh" ampunkan hamba, taihiap dan lihiap" hamba Kwan Sam berjanji tak berani berlaku kurang ajar lagi..." ratapnya.

   "Pergilah, dan biarlah pelajaran ini menginsyafkan kau. Perbuatan jahat di manapun juga pasti akan membawamu ke bencana. Nyawamu tertolong oleh tendangan tadi." Girang hati Tiat pi him Kwan Sam mendengar ini, maka ia lalu berdiri sambil meringis ringis dan berjalan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu. Ciang Le membalikkan tubuh memandang kepada Bi Lan. Gadis itupun tengah memandangnya dan dua pasang mata bertemu sebentar.

   "Sumoi""

   "Aku bukan sumoimu, karena kau tidak diakui lagi oleh suhu!" potong gadis itu dengan ketus. Ciang Le menarik napas panjang dan mengganti panggilannya,

   "Adik Bi Lan..."

   "Sejak kapan aku menjadi adikmu? Kong kongmu bukanlah kong kongku, aku hanya cucu angkat saja, seorang sebatangkara..." Ciang Le menjadi bingung.

   "Kalau begitu, kau memang bukan sumoi atau adikku, kau adalah... calon jodohku... betul tidak, Lan moi...?"

   "Cih! Siapa bilang? Sudahlah jangan banyak cakap, kau menyusulku ada keperluan apakah?" Ciang Le makin gugup melihat sikap ketus dan galak ini, akan tetapi dalam pandangannya, gadis ini makin manis kalau sedang marah marah.

   "Lan moi aku bukan menyusulmu, hanya kebetulan saja kita bertemu di sini, kebetulan sekali karena..karena aku memang ingin menyampaikan sedikit perasaan hatiku kepadamu. Orang-tuamu telah melepas budi, mengorbankan nyawa untuk membela orang-tua ku, hal ini saja sudah membuat aku berterima kasih kepada ayahmu dan kepadamu, dan aku berjanji untuk membalas kebaikan ini sedapat mungkin. Oleh karena itu, terus terang saja, aku... aku merasa bahagia sekali ketika tadi kong kong menyatakan perjodohan kita..."

   "Cukup! Jangan bicara tentang jodoh, siapa sudi menjadi jodohmu?" Pucat wajah Ciang Le mendengar kata-kata ini. Ia memandang tajam untuk menyelidiki perasaan hati gadis itu, rupa rupa dugaan timbul dalam otaknya. Apakah gadis ini telah mempunyai seorang pilihan? Akan tetapi Bi Lan tidak mau bertemu pandang secara langsung dengan dia, bahkan pipinya menjadi kemerahan dan bibirnya gemetar.

   "Lan moi, mengapa kau agaknya... membenci sangat kepadaku? Apa salahku? Melihat betapa kau masih dapat mengampunkan penjahat tadi dan menolong nyawanya setelah ia bersikap kurang ajar kepadamu, nyata bahwa kau baik budi dan murah hati. Akan tetapi kepadaku... agaknya kau lebih membenci aku dari penjahat tadi. Kenapakah? Apakah urusan perjodohan ini menyakiti hatimu? Kalau demikian, terus terang sajalah Lan moi, aku dapat minta kong kong membatalkan niatnya itu." Suara Ciang Le yang tenang, penuh kehalusan budi dan mengharukan itu, membuat Bi Lan terharu juga. Sukar baginya untuk mengeluarkan kata-kata, karena ia sendiri sebetulnya bukan benci kepada pemuda ini, juga tidak sakit hatinya mendengar tentang perjodohan itu. Akan tetapi...

   "Kau telah mengkhianati suhu, telah meninggalkan mereka dan menjadi murid murtad." Ketika Ciang Le hendak membantah, Bi Lan tahu bahwa pemuda itu seperti dulu tentu akan memperingatkan kepadanya bahwa dia sendiri sebagai murid Hoa-san-pai juga telah berguru kepada orang lain, maka ia cepat-cepat menyambung kata-katanya.

   "Betapapun juga kedua guruku Thian Te Siang mo yang mengangapnya begitu. Dan aku sebagai murid mereka telah dipesan kalau bertemu denganmu harus memusuhimu, kalau dapat memberi hajaran kepadamu. Kedua suhu amat sakit hati kepadamu Nah, kalau sudah begini soalnya, bagai mana aku bisa... bisa menjadi... jodohmu?"

   Berserilah wajah Ciang Le mendengar ini. Ah, pikirnya dalam hati, tak tahunya gadis ini tidak membenciku, agaknya iapun suka kepadaku, hanya saja, ia mengerti bahwa tentu Bi Lan takut akan kemarahan Thian Te Siang mo kalau sampai menjadi jodohnya.

   "Terima kasih atas keteranganmu ini, Lan moi. Baiklah, aku akan mencari kedua suhu itu dan akan minta ampun. Aku semenjak masih orok mereka pelihara dan urus, aku tahu betul bahwa di dalam dada mereka tersembunyi hati yang amat baik, sungguhpun mereka menjalani cara hidup liar. Aku percaya dan sudah kenal kepada mereka, pasti mereka suka memberi ampun kepadaku. Setelah kedua orang-tua itu mau memberi ampun kepadaku kau... kau tentu takkan keberatan lagi, bukan?"

   "Keberatan untuk apa? Apa maksudmu?" tanya Bi Lan dan bibirnya tersenynm mengejek, penuh godaan. Ciang Le menjadi merah mukanya dan untuk sesaat ia bingung tak tahu harus menjawab bagaimana.

   "Untuk" untuk.... melanjutkan perjodohan ini tentunya." Akhirnya dapat juga ia bicara. Bi Lan mengerling dengan gaya menarik sekali lalu melempar pandang ke samping dan mukanya menjadi makin merah.

   "Soal itu... bagaimana nanti sajalah. Pertama kau belum mendapat ampun dari ke dua suhu dan ke dua.. aku masih belum tahu di mana tingginya ilmu kepandaianmu. Menurut suhu Thian Te Siang mo, setelah aku mempelajari ilmu silat yane mereka ciptakan baru baru ini, kepandaianku lebih tinggi dari pada kepandaianmu. Maka syarat ke dua..." wajahnya makin merah lagi ketika mengucapkan kata-kata syarat ini.

   "Kau harus dapat mengalahkan pedangku!"

   "Lan moi...!"

   "Cukup! Bukan untukmu saja syarat itu? melainkan aku sudah mengambil keputusan takkan sudi menjadi jodoh seorang yang ilmu silatnya tak dapat mengalahkan kepandaianku."

   "Lan moi.... kau benar-benar keras hati, Lan moi."

   "Dan pula... jangan kau memanggil aku Lan moi seperti itu!"

   "Habis bagaimana? kau boleh dibilang masih sumoiku sendiri, juga mendiang ayahmu adalah suheng mendiang ibuku dan kau diangkat cucu oleh kong kongku pula. Akhirnya... kau dicalonkan menjadi jodohku! Syaratnya sudah terlalu penuh untuk membolehkan aku menyebutmu Lan moi! Apa sih jeleknya sebutan ini?"

   
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bukan sebutannya, bukan panggilannya..."

   "Habis, apanya?"

   "Cara kau menyebutkan itu" suaramu itu""

   "Mengapa?"

   "Terlalu" mesra!"

   "Eh, eh! Bagaimana pula ini?"

   '"Kalau terdengar orang lain kurang pantas, seakan-akan diantara kita ada apa-apanya!" Ciang Le tersenyum dan matanya bersinar-sinar jenaka.

   "Bukankah memang ada" apa-apanya, Lan moi?" kini suaranya ketika memanggil nama gadis itu mesra sekali!

   "Cih...! Tak tahu malu!" kata Bi Lan dengan muka merengut dan gadis ini lalu melompat pergi dan berlari cepat dengan hati... berdebar girang dan penuh kebahagiaan yang ia sendiri tidak mengerti dari mana datangnya Ciang Le tertawa bergelak dan tidak mengejar. Ia tahu ke mana gadis itu hendak pergi ke mana lagi kalau bukan ke daerah utara untuk membahu perjuangan saudara-saudaranya? Iapun lalu berlari cepat menuju ke Kotaraja Kerajaan Kin. Hatinya penuh dengan kebahagiaan dan kerinduan dan ia berlari sambil melamun muluk muluk tentang Bi Lan, gadis yang begitu bertemu telah menarik seluruh jiwa dan hatinya itu.

   ***

   Kini kembali kita melihat keadaan Thio Ling In, Lie Bu Tek, dan Gan Hok Seng, murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan oleh pasukan Kin. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, tiga orang murid Hoa-san-pai ini pada saat menyerang Wan Yen Kan di dalam hutan tiba-tiba datang serbuan dari tentara Kin yang membuat kawan-kawannya banyak yang tewas dan mereka sendiri tertawan.

   Mereka dibawa ke kota Cin-an dan sesampainya di sana, mereka dimasukkan ke dalam kamar tahanan secara terpisah. Enghiong Hwee koan, rumah perkumpulan orang gagah yang didirikan oleh Sam Thai Koksu memang amat luas dan mempunyai banyak sekali kamar kamar tahanan yang kuat. Ketika Ling In siuman dari pingsannya, wanita muda ini teringat akan semua kejadian dan ia menangis sedih sekali. Ia tidak menyesal dan sedikitpun tidak takut bahwa dia telah tertawan oleh musuh. Kematian bukan apa-apa bagi orang-orang gagah yang berjiwa pahlawan, bahkan tewas dalam perjuangan berarti mati secara terhormat. Akan tetapi kalau nyonya muda ini mengingat kembali betapa ia telah menusuk dada suaminya yang tercinta, kalau terbayang kembali dalam ingatannya betapa Wan Kan yang amat dikasihinya itu menggeletak dengan dada berlumur darah karena ia tusuk, hatinya menjadi perih sekali.

   "Wan Kan... Wan Kan suamiku... ampunkan aku..." keluhnya berkali kali dan ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya agar bayangan tubuh suaminya yang menggeletak mandi darah itu lenyap dari depan matanya. Namun, makin jelaslah barangan itu sehingga hati nyonya muda ini makin perih dan sakit. Ling In dikurung di dalam sebuah kamar yang gelap. Penerangan yang masuk hanyalah cahaya matahari yang di antara celah celah ruji besi dari pintu yang tebal dan kuat itu. Kedua kakinya dibelenggu oleh rantai yang kuat dan panjang, dimatikan oleh kunci baja yang besar. Tiada harapan baginya untuk melepaskan diri. Biarpun kedua tangannya bebas namun bagaimana ia dapat membuka kunci itu tanpa anak kunci? Juga tidak mungkin memutuskan rantai besi yang demikian tebalnya.

   Andaikata ia dapat melepaskan diri dari belenggu kakinya, juga tak mungkin ia dapat membuka pintu setebal itu. Keadaannya sudah tidak ada harapan lagi. Selagi Ling In merenung dan mengeluh mengabungi kematian suaminya yang dibunuhnya sendiri, suaminya yang amat dicintainya itu, tiba-tiba terdengar bunyi pintu bergerit dan perlahan lahan terbukalah pintu itu. Saat itu telah menjelang malam dan cahaya matahari yang tadi mencuri masuk telah terganti oleh cahaya lampu di luar kamar tahanan. Ketika pintu tahanan terbuka mengeluarkan suara bergerit, cahaya lampu ikut masuk mengantar bayangan sesosok tubuh manusia. Ling In cepat mengangkat muka dan kedua, tangannya siap sedia. Ia tahu akan kejahatan orang-orang Kin, tahu akan kebuasan laki-laki dan tahu pula akan nasib mengerikan dari tawanan wanita.

   Namun ia bukan sembarang wanita yang mudah dipermainkan sesukanya oleh siapapun juga. Lebih baik mati dari pada dipermainkan oleh penawannya dan ia masih mempunyai sepasang tangan yang lihai yang sekali pukul akan dapat meremukkan benak laki-laki yang hendak mengganggunya, ia mengira bahwa yang datang tentulah penjaga yang bermaksud tidak baik terhadap dirinya. Maka ia berjaga jaga penuh ketegangan. Bayangan itu benar seorang laki-laki yang cepat masuk ke dalam dan menutupkan kembali, daun pintu cepat-cepat. Di dalam gelap, Ling In tidak dapat melihat muka laki-laki ini, akan tetapi potongan tubuhnya mengingatkan ia akan seseorang dan ia bergidik kengerian. Kemudian, laki-laki itu melangkah maju sehingga mukanya tersorot oleh sinar lampu dari luar. Ling In mendekap mulut sendiri agar tidak mengeluarkan jerit saking ngerinya.

   "Ling In, isteriku...." bayangan itu berkata dengan suara penuh kasih sayang, suara yang dikenalnya baik-baik di antara seribu macam suara orang lain. Kalau tadinya masih ragu-ragu, kini Ling In yakin bahwa yang berdiri di hadapannya adalah suaminya, Wan Kan! Atau lebih tepat, roh dari suaminya yang sudah mati dibunuhnya itu. Sambil menahan isak tangisnya, Ling In menjatuhkan diri berlutut di depan bayangan itu.

   "Suamiku, aku tahu kau mati penasaran karena terbunuh oleh isteri yang kau cinta sepenuh jiwamu. Aku mengaku telah berdosa besar sekali, suamiku" akan tetapi itu adalah dorongan tugas suci membela bangsaku...! Sekarang kau datang" untuk membawaku kah? Jangan lama lama, Wan Kan, bawalah aku serta. Aku ikut padamu, Wan Kan... aku ingin mati bersamamu. Mari kita bertiga meninggalkan dunia yang kejam ini" katanya di antara isak tangisnya.

   "Bertiga! Apa maksudmu, Ling In?"

   "Ya" bertiga bersama" anak kita yang berada dalam kandunganku..." Bayangan itu terkejut sekali.

   "Kau sudah mengandung...??" suaranya terdengar penuh perasaan menggetar terharu.

   "Dua bulan sudah aku mengandung... tadinya hendak kusembunyikan sebagai rahasia yang membahagiakan... tidak tahunya kau... kau berobah menjadi pangeran Kin... terpaksa kubunuh..." Ling In tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis tersedu sedu.

   "Aduh, Ling In isteriku yang manis"!" Bayangan itu meloncat maju, mengangkat tubuh Ling In dan memeluknya erat-erat.

   "Isteriku..." katanya berkali kali. Ling In merasa tubuhnya dingin dan bulu tengkuknya berdiri, kemudian ia menggigil. Bagaimana seorang roh atau makhluk halus bisa memeluk begini mesra? Bagaimana ia masih dapat merasakan getaran kedua lengan suaminya, detak jantung di balik baju dan kehangatan jari-jari tangan yang membelai rambutnya? Tak mungkin sekali!

   "Isteriku, aku" suamimu, Wan Kan... masih hidup. Aku tahu bahwa kau mencintaku bahwa kau takkan dapat membunuhku, aku tahu sejak kumelihat kau menyerangku dengan pedangmu, Ling In."

   "Wan Kan" jadi kau belum... belum mati?" Wan Kan mencium jidat isterinya penuh kasih sayang.

   "Sedikit saja selisihnya, ibu anakku. Selisihnya Thian menghendaki kita tetap hidup untuk mengasuh anak kita. Mari, cepat, kubukakan belenggu kakimu." Tanpa banyak cakap lagi Wan Yen Kan atau Wan Kan lalu menggunakan anak kunci membuka belenggu kaki isterinya. Kemudian ia lalu menarik tangan isterinya itu, dibawa keluar dan dengan tergesa gesa mereka lalu menolong dan mengeluarkan Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng dari kamar tahanan mereka. Dengan penuh keheranan namun kekaguman Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng melihat bekas musuhnya ini diam-diam mereka merasa terharu juga melihat kesetiaan dan kecintaan Wan Kan kepada Ling In.

   "Lekas kalian lari! Sudah kuatur bahwa penjagaan pintu kota sebelah selatan dikosongkan pada saat ini. Cepat!" kata Wan Kan.

   "Kau harus pergi bersamaku!" kata Ling In.

   "Sst, jangan ribut-ribut, isteriku. Pergilah kau dengan kawanmu, aku akan menyusul kemudian."

   "Tidak, mati hidup aku harus berada di sampingmu!" Ling In berkukuh sambil membanting kakinya dan berdiri di samping suaminya yang tercinta. Wan Yen Kan memeluk isterinya, penuh rasa bahagia dan terima kasih.

   "Isteriku, kali ini harap kau jangan ragu-ragu dan membandal. Larilah lebih dulu, bagiku mudah saja untuk pergi dan menyelamatkan diri. Yang penting kau dan saudara-saudaramu ini yang harus pergi dulu. Cepat, mereka datang....!" Katanya sambil melepaskan pelukan.

   "Suci, marilah kita pergi dulu. Suamimu tentu sudah mengatur dan merencanakan semua dengan sempurna!" kata Gan Hok Seng sambil meloncat ke arah selatan bersama Lie Bu Tek. Beberapa kali Ling In ragu-ragu dan menoleh ke arah suaminya, akan tetapi Bu dan Hok Seng menarik tangannya.

   "Wan Kan" suamiku..." bisiknya.

   "Pergilah, Ling In. Tuhan bersamamu dan anak kita"" Sambil menahan isaknya, Ling In meloncat pergi bersama kedua saudara seperguruannya. Belum lama mereka pergi, terdengar suara ribut-ribut di belakang mereka, dari arah tempat mereka ditahan tadi. Hati Ling In tidak karuan rasanya, mengkhawatirkan keadaan suaminya, akan tetapi Bu Tek dan Hok Seng menghiburnya, mengatakan bahwa sebagai pangeran Kin, Wan Kan pasti akan selamat dan tidak ada orang yang berani mengganggunya. Benar seperti yang dinyatakan oleh Wan Kan, pintu kota bagian selatan ini hanya terjaga oleh dua orang saja. Dua orang penjaga ini tentu saja mencoba untuk menghalangi mereka keluar, namun apa artinya dua orang penjaga yang kasar bagi murid-murid Hoa-san-pai?

   Sekali terjang saja Bu Tek dan Hok Seng dapat merobohkan mereka dan berlarilah tiga orang murid Hoa-san-pai ini cepat-cepat memasuki hutan. Adapun Wan Yen Kan setelah berhasil melepaskan isteri dan saudara-saudara seperguruan isterinya, cepat kembali ke kamar istirahatnya sendiri. Pangeran ini seperti diketahui telah menderita luka tusukan pedang isterinya akan tetapi karena tubuhnya kuat dan luka itu hanya luka di daging saja, maka setelah tertolong dan dibawa ke kota Cin-an dan mendapat perawatan teliti sekali segera sembuh kembali. Ia amat cinta kepada Ling In, maka sebelum ia berhasil menolong isterinya, ia gelisah bukan main dan sikap isterinya yang memusuhinya jauh lebih menyakitkan hati dari pada pedang yang menyakiti tubuhnya. Akan tetapi sekarang ia merasa bahagia sekali. Ternyata isterinya amat mencintanya pula, bahkan isterinya telah mengandung!

   Akan tetapi ia tidak tahu bahwa malapetaka tergantung di atas kepalanya. Perbuatannya menolong para tawanan tadi terlihat oleh seorang penjaga! Tentu saja penjaga ini merasa heran sekali melihat betapa Pangeran Wan Yen Kan menolong dan membebaskan para tawanan pada hal ia mendengar betapa pangeran itu hampir terbunuh oleh para tawanan itu! Akan tetapi sebagai seorang penjaga biasa, mana berani ia menegur atau menghalang apa yang dilakukan oleh seorang pangeran yang berkuasa? Dengan cepat penjaga ini lalu berlari-lari ke tempat di mana Sam Thai Koksu tinggal dan menggedor pintu pemimpin-pemimpin ini. Dengan tersengal sengal ia menceritakan apa yang dilihatnya. Sam Thai Koksu marah sekali. Orang-orang besar ini sudah mendengar peristiwa di Kotaraja, yakni tentang percekcokan antara sri baginda raja dan Pangeran Wan Yen Kan sehingga pangeran itu diusir oleh baginda.

   Namun tentu saja berita ini ditutup rapat rapat dan tidak tersiar di kalangan pegawai rendah dan rakyat. Hal ini untuk menjaga nama baik Kaisar. Amat memalukan kalau terdengar orang bahwa pangeran Kin tergila-gila dan hendak memperisteri seorang perempuan Han! Kini mendengar betapa Wan Yen Kan melepaskan para tawanan, mereka menjadi marah, tak pernah disangkanya bahwa perempuan Han yang ditawan itu adalah isteri Wan Yen Kan dan kini mereka hanya mengira bahwa Wan Yen Kan benar-benar berkhianat terhadap pemerintah Kin. Bersama dengan Giok Seng Cu yang kebetulan berada di situ, Sam Thai Koksu menyerbu kamar Wan Yen Kan. Dengan sekali tendang saja, robohlah pintu kamar Wan Yen Kan oleh Tiat Liong Hoat ong, orang ke tiga dari Sam Thai Koksu.

   Memang di antara mereka. Tiat liong Hoat Ong yang paling marah dan sakit hati atas perbuatan pangeran ini. Seandainya yang dilepaskan oleh Wan Yen Kan bukan Ling In, agaknya ia masih takkan semarah itu. Dalam hal ini ada rahasia yang hanya diketahui oleh Tiat Liong Hoat ong, yakni bahwa diam-diam ia amat tertarik oleh Ling In yang cantik jelita dan diam-diam ia mengandung maksud untuk mengganggu wanita muda cantik ini! Wan Yen Kan terkejut sekali memandang pintu kamarnya jebol. Cepat ia melompat dan mempersiapkan senjata rantainya. Ketika dilihatnya Sam Thai Koksu dan Giok Seng Cu murid Pak Hong Siansu yang muncul dengan maka marah, ia dapat menduga bahwa tentu perbuatannya telah ketahuan orang. Ia tetap berlaku tenang dan melompat turun dari pembaringannya.

   "Sam Thai Koksu dan Giok Seng Cu To tiang malam malam datang menggedor pintu ada apakah?" tanyanya.

   "Pengkhianat!" Tiat Liong Hoat ong memaki sambil mencabut goloknya dan menudingkan golok itu kepada Wan Yen Kan.

   "Masih banyak tanya lagi? kau telah melepaskan para tawanan pemberontak, bukankah ini berarti bahwa kau juga menjadi pemberontak dan pengkhianat!"

   "Tiat Liong Hoat ong, kau hanya seorang koksu berani berkata demikian terhadap putera Kaisar junjunganmu?" Wan Yen Kan balas membentak ketika melihat betapa Kim Liong Hoat ong dan Gin Liong Hoat ong juga Giok Seng Cu agaknya masih malu malu dan ragu-ragu memandangnya, karena mengingat berhadapan dengan seorang pangeran. Pemuda ini hendak mempergunakan kedudukannya untuk menggertak dan membela diri.

   "Biarpun kau seorang pangeran, namun kau telah berkhianat dan setiap orang pengkhianat harus dibunuh! kau telah berlaku khianat, melepaskan tawanan tawanan pemberontak berbahaya, apakah itu belum cukup?"

   

Memburu Iblis Eps 6 Pendekar Pedang Pelangi Eps 4 Pendekar Penyebar Maut Eps 59

Cari Blog Ini