Pendekar Penyebar Maut 59
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 59
Dan kuda itu tampaknya juga sangat bergembira sekali dapat berjumpa dengan tuannya. Sambil meringkik perlahan kuda itu menggosok-gosokkan kepalanya ke badan Chin Yang Kun. Demikianlah, dengan naik di atas punggung Si Cahaya Biru, Chin Yang Kun memasuki pintu gerbang Kotaraja yang sangat megah itu. Regu Prajurit Pengawal Istana yang tadi menyambut kedatangan pemuda itu kini berganti menjadi pengiringnya, karena kota yang amat rapat dan sangat padat penduduknya itu tak mungkin bisa menampung ribuan prajurit berkuda yang tadi mengawalnya dari luar kota. Hanya beberapa orang perwira saja yang tetap ikut mengantar Chin Yang Kun, yaitu Si Perwira Tinggi dan Si Perwira Tua beserta bawahannya Si Perwira Pendek Kekar itu. Di dalam kota sambutan penduduk semakin meriah lagi. Jalan yang lebar itu rasanya cuma penuh dengan manusia saja.
Mereka berbondong-bondong, berjejaI-jejaI dan saling mendesak di pinggir jalan, seolah-olah ingin berebut di depan agar bisa melihat wajah Chin Yang Kun sejelas-jelasnya. Chin Yang Kun merasa terharu juga menyaksikan sambutan penduduk yang sangat meriah itu. Ini benar-benar di luar dugaannya! Dan semua itu membuat Chin Yang Kun semakin ingin lekas bertemu dengan Kaisar Han atau ayahandanya itu, sebab semua ini tentu karena pengaruhnya juga. Begitulah, meskipun agak merasa kaku karena menjadi perhatian orang sedemikian banyaknya, Chin Yang Kun tetap bersenyum dan melambai-lambaikan tangannya. Dan sama sekali pemuda itu tidak mengira dan menduga bahwa diantara penduduk yang dilaluinya itu terdapat beberapa orang yang pernah dikenalnya, yang kini dengan mata terbelalak memperhatikan dirinya.
"Hei... Tong Ciak Cu-si, bukankah pangeran itu saudara Yang Kun yang kita kenal dulu? Nah, apa kataku! Isyarat yang kuterima itu mengatakan bahwa Im-yang-kauw akan menjadi sebuah aliran yang kuat dan besar apabila bisa menarik anak muda itu. Nah, apa jadinya kini?" Toat-beng-jin yang ikut berdesakan diantara penduduk itu menepuk pundak temannya.
"Yah, Lojin-ong memang benar. Tapi kita tak perlu berputus-asa dahulu, siapa tahu dia akan menjadi saudara kita juga? Bukankah dia pernah berjanji untuk mengunjungi perkumpulan kita?" Dan tidak jauh dari tempat itu seorang gadis cantik juga tampak lesu setelah dengan kaget melihat siapa sebenarnya pangeran yang lewat itu. Gadis itu diam-diam mengusap air matanya. Meskipun demikian kakek tua yang berada di samping gadis tersebut merasakan juga kesedihan itu.
"Li Ing... sudahlah, kau tak perlu menyesali nasibmu. Belum tentu semuanya itu akan berakhir sampai di sini saja. Semuanya bisa berubah setiap saat..." Lo-si-ong membesarkan hati gadis cantik itu.
"Tapi... jarak antara aku dan dia tampaknya semakin jauh juga, kek," Tiau Li Ing menyahut dengan suara sendu.
"Ya, tapi kau tak perlu berputus-asa karenanya..." Dan di dekat pintu gerbang istana seorang gadis ayu berlengan buntung sebelah juga merasa kecewa di dalam hatinya begitu melihat Chin Yang Kun kini telah menjadi seorang pangeran yang amat dihormati orang.
"Dia ternyata seorang putera mahkota. Setiap saat dia tentu dikelilingi oleh gadis gadis bangsawan yang ayu dan cantik. Aaah... masakan dia mau memikirkan seorang gadis cacat seperti aku ini lagi?" Perlahan-lahan gadis buntung itu keluar dari dalam himpitan para penonton di sekitarnya, lalu melangkah pergi dari tempat tersebut dengan kepala tertunduk.
Beberapa kali gadis itu hampir bertubrukan dengan penonton lainnya, sehingga banyak orang yang menjadi heran melihatnya. Sementara itu Chin Yang Kun telah memasuki halaman istana. Dengan masih tetap dikawal oleh Prajurit Pengawal Istana tadi, pemuda itu berjalan kaki melintasi halaman serta lorong-lorong bangunan istana yang amat luas itu. Dan setelah berbelok-belok kesana kemari, akhirnya mereka sampai juga di Gedung Induk di mana Kaisar Han tinggal. Seorang anggota Sha-cap mi-wi yang berjaga di pintu utama segera menyambut kedatangan mereka, Si Perwira Tinggi yang sejak tadi terus menyertai Chin Yang Kun lalu maju ke depan dan berbicara dengan anggota Sha-cap mi-wi itu. Tapi sebelum pembicaraan tersebut selesai, tiba-tiba Yap Tai-Ciangkun tampak melangkah keluar dari dalam gedung itu.
"Oh... Ongya sudah datang rupanya! Wah, sungguh kebetulan sekali kalau begitu, kita bisa bersama-sama menghadap Hongsiang di Kuil Agung sekarang juga." panglima muda itu berkata gembira.
"Di Kuil Agung? Eh, katanya Hongsiang sedang sakit..." Chin Yang Kun berdesah bingung. Yap Tai-Ciangkun menghela napas dengan wajah murung.
"Hongsiang memang sakit. Tapi beliau ingin berdoa terus sampai Ongya datang. Dan kami semua tak kuasa mencegahnya..."
"Ooooh!" Chin Yang Kun terhenyak dan rasa haru tiba-tiba mengembang memenuhi rongga dadanya. Maka ketika Yap Tai-Ciangkun itu melangkahkan kakinya, Chin Yang Kun buru-buru mengikutinya. Dan mereka langsung menuju ke bangunan kuil tersebut. Beberapa orang pendeta segera menyambut mereka, sementara belasan anggota Sha-cap mi-wi yang lihai-lihai itu tampak berkeliaran sambil berjaga-jaga di sekitar tempat itu.
"Hongsiang berada di altar pemujaan, Tai-Ciangkun," seorang anggota Sha-cap mi-wi menemui Yap Tai-Ciangkun dan melaporkan keadaan Baginda.
"Dengan siapa beliau di sana?"
"Sendirian. Tak seorangpun boleh masuk."
"Baiklah! Aku akan menghadap..." Yap Tai-Ciangkun dan Chin Yang Kun bergegas masuk ke ruangan dalam, di mana altar pemujaan atau altar sembahyang itu berada. Dan kedatangan mereka segera disambut dengan suara Baginda yang berat. "Siapa...?"
"Hamba Yap Kim datang bersama Pangeran Yang Kun, Hongsiang..." Yap Tai-Ciangkun menjawab seraya berlutut. Tiba-tiba Kaisar Han yang duduk membelakangi mereka di atas altar itu bangkit berdiri dengan tergesa-gesa. Lalu sambil bertele dan di atas meja sembahyang dia memandang Yap Tai-Ciangkun. Keadaannya sungguh sangat menakutkan.Wajahnya pucat pasi, rambutnya dibiarkan tergerai di pundak, sementara kumis dan jenggotnya yang lebat luar biasa itu hampir menutupi seluruh mukanya.
"Apa katamu, Tai-Ciangkun? Puteraku sudah tiba? Di mana dia, hah?" suaranya gemetar.
"Liu-Twako...!?!" Chin Yang Kun menjerit dan berlari menghampiri Kaisar Han. Sekejap Kaisar Han itu terbelalak menatap Chin Yang Kun, dia seakan-akan tidak percaya bahwa Chin Yang Kun benar benar telah datang. Namun beberapa saat kemudian mata itu lantas menjadi merah berkaca-kaca. Dan kemudian mereka berdua, ayah dan anak itu lalu saling berpelukan dengan eratnya.
"Yang Kun, anakku...! Sekarang engkau sudah mau mengakui aku sebagai ayahmu, bukan?" Hongsiang berkata sendu. Chin Yang Kun balas menatap wajah Hongsiang atau ayahnya yang asli itu dengan perasaan haru dan kasihan. Lalu pemuda itu menganggukkan kepalanya. Meskipun demikian Chin Yang Kun tetap diam tak menjawab. Entah mengapa, pemuda itu tiba-tiba teringat kembali pada Keluarga Chin. Dan ingatan itu menyebabkan hati dan perasaannya kembali kosong dan hampa luar biasa. Namun demikian pemuda itu tak hendak melukai atau mengurangi kegembiraan Hongsiang atau ayahandanya itu. Oleh karena itu Chin Yang Kun kembali bersikap biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi gejolak apa apa di dalam dirinya. Maka ketika Hongsiang merangkulnya lagi, Chin Yang Kun segera membalasnya dengan mesra.
"Biarlah, suatu saat nanti...kalau waktunya sudah mengijinkan, aku akan berterus terang kepada Hongsiang, bahwa aku tak dapat hidup di dalam lingkungan istana seperti itu. Aku akan minta ijin untuk meneruskan niatku semula, yaitu hidup bertapa seorang diri di tempat sunyi." pemuda itu berkata di dalam hatinya. Sementara itu Kaisar Han sama sekali tidak tahu apa yang sedang bergejolak di dalam hati puteranya itu. Kaisar Han benar-benar sedang diliputi kegembiraan di dalam hatinya.
"Anakku...! Kita harus merayakan pertemuan kita ini semeriah mungkin. Dan aku akan memanggil semua menteri serta kepala daerah di seluruh negeri untuk menyaksikan pengukuhanmu sebagai Putera Mahkota. Tapi sekarang marilah kita berdoa lebih dulu untuk keberuntungan kita ini!"
"Tapi... bukankah Hongsiang sedang sakit? Apakah Hongsiang tidak beristirahat saja biar lekas sembuh?" Chin Yang Kun berusaha membujuk Kaisar Han.
"Jangan pikirkan aku! Rasa sakitku sudah tidak terasa lagi begitu melihat engkau... Ayolah!" Begitu berlutut di atas altar, tiba-tiba Chin Yang Kun tergetar hatinya. Bayangan sinar kuning keemasan yang dulu pernah dilihatnya di bawah altar itu kembali menggoda hatinya. Dan hatinya semakin tergelitik ketika angan-angannya seperti melihat benda bersinar itu kembali. Namun pemuda itu menjadi kecewa tatkala ia tak bisa menemukan lobang itu lagi.
"Hongsiang..." akhirnya Chin Yang Kun memberanikan dirinya untuk melaporkan hal itu kepada Hongsiang. "Hamba merasa seperti ada sesuatu di bawah altar ini. Bolehkah hamba membongkar altar ini sebentar saja...?"
"Apa? kau hendak membongkar altar ini?" Kaisar Han berseru dan menatap Chin Yang Kun dengan dahi berkerut. Tapi melihat kesungguhan hati puteranya itu Kaisar Han lantas mengendorkan lagi sikapnya.
"Baiklah! Terserah kepadamu. Tapi... omong-omong, apa sih sebenarnya maksudmu?"
"Entahlah, Hongsiang... hamba seperti melihat sesuatu di bawah altar ini, tapi hamba tak tahu macam apa benda itu. Maka dari itu hamba hendak membongkarnya..."
"Hmm... tapi altar dari batu giok ini beratnya tentu lebih dari seribu kati. Bagaimana kau hendak mengangkatnya? Apakah kau perlu bantuan para pengawal itu?"
"Nanti saja, Hongsiang. Biarkanlah hamba mencobanya sendiri dahulu. Jikalau nanti hamba memang tak kuat mengangkatnya, barulah hamba akan memanggil mereka."
"Hmmmm, baiklah... kau boleh mencobanya! Tapi kau harus berhati-hati!" Kaisar Han memberi peringatan. Chin Yang Kun lalu mempersiapkan dirinya. Dipegangnya pinggiran altar itu dengan kedua belah tangannya. Kemudian dengan kuda-kuda yang sangat rendah pemuda itu mengerahkan seluruh tenaga sakti Liong-cu I-kangnya. Maka sesaat kemudian seluruh urat-urat di dalam tubuh pemuda ini pun lantas menegang dan mengembang sepenuhnya.
"Brrrrt...sssssss!" Seketika udara dingin terasa menghembus ke seluruh ruangan. Sekejap Kaisar Han menggigil dengan mata terbelalak kaget, namun rasa kaget tersebut segera lenyap manakala dilihatnya altar yang besar itu mulai terangkat naik! Malahan rasa kaget itu segera berganti dengan rasa takjub luar biasa! Suara derak altar tersebut ternyata juga menarik perhatian Yap Tai-Ciangkun dan para pengawal yang sedang menunggu di luar ruangan. Mereka bergegas masuk. Tapi seperti halnya Kaisar Han, merekapun segera ternganga kagum menyaksikan kekuatan Iweekang Chin Yang Kun yang maha dahsyat itu. Semuanya baru sadar kembali tatkala altar tersebut telah bersandar di tiang kuil.
"Bukan main...!" mereka berdesah hampir berbareng. Namun Chin Yang Kun tidak mempedulikan pujian mereka.
Pemuda itu bergegas mencari lobang yang pernah dilihatnya di bawah altar dulu. Dan begitu lobang itu telah ia dapatkan pemuda itu segera memasukkan tangannya. Tentu saja perbuatan itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan di dalam hati orang-orang yang melihatnya. Semuanya bertanya-tanya di dalam hati, apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Pangeran itu? Tapi semuanya segera menjadi kaget sekali ketika melihat pangeran itu mengeluarkan sebuah benda kekuning-kuningan dari dalam lobang tersebut. Dan benda sebesar buah persik itu tampak bercahaya dan bergetaran, seakan-akan memancarkan wibawa yang sangat besar. Dan semuanya saja, tak terkecuali Kaisar Han dan Yap Tai-Ciangkun, merasakan getaran itu, sehingga tiba-tiba saja mereka menundukkan kepala mereka dengan perasaan segan dan hormat.
"Cap Kerajaan...!" mulut mereka berbisik hampir tak terdengar. Sebaliknya, Chin Yang Kun sendiri juga menjadi kaget pula menyaksikan sikap orang-orang itu. Sambil mendekati ayahandanya, pemuda itu berulang-ulang membolak-balikkan benda yang berada di tangannya tersebut.
"Cap Kerajaan? Tapi mendiang ayah mengatakan barang ini berada di dalam Goa Harimau. Hm... masakan lobang sekecil itu disebut Goa Harimau? Tapi... tapi... bagaimana dengan perintah untuk bersembahyang di waktu tengah malam, ketika bulan tepat di atas kepala itu? Aku menemukan lobang itu juga karena aku bersembahyang pada waktu bulan tepat berada di atas kepala. Aaah... kalau begitu... kalau begitu, apakah perkataan GOA HARIMAU itu cuma merupakan kata-kata sandi atau kiasan saja? Yaa... ya, agaknya memang demikian. Agaknya yang dimaksudkan dengan Goa Harimau itu adalah sarang lawan yang sangat berbahaya, yaitu istana ini... oh!" sambil melangkah pemuda itu berpikir keras. Oleh Chin Yang Kun Cap Kerajaan itu dia serahkan kepada Kaisar Han, dan saking gembiranya Kaisar itu memeluk Chin Yang Kun dengan eratnya.
"Anakku...! Penemuanmu ini semakin meyakinkan aku bahwa engkau memang berjodoh dengan tahta kita. Oleh karena itu hatiku juga semakin mantap untuk lekas-lekas mengukuhkanmu sebagai calon penggantiku kelak. Nah, Yang Kun... ayahmu sungguh-sungguh merasa sangat berbahagia sekali hari ini. Oleh karena itu kau boleh mengajukan sebuah permintaan kepadaku. Dan sebagai seorang raja aku akan mengabulkan permintaanmu itu sepanjang yang kau minta tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan keadilan..." Kaisar Han berkata dengan suara keras.
Chin Yang Kun yang sedang gugup dan kebingungan itu tiba-tiba tertegun mendengar tawaran tersebut. Sekilas pemuda itu melihat setitik kesempatan untuk melepaskan diri dari cengkeraman istana itu tanpa harus melukai hati ayahnya. Tapi pemuda itu tidak tahu bagaimana ia harus mengatakannya kepada ayahnya.
"Ini... ini benar-benar sebuah kesempatan yang tak mungkin kudapatkan lagi di kelak kemudian hari, apa lagi kalau aku telah dikukuhkan sebagai Putera Mahkota nanti! Tapi... tapi... bagaimana aku harus mengatakannya?" pemuda itu berpikir.
"Pangeran...! Hongsiang telah berkenan untuk memberikan sebuah hadiah yang tak ternilai kepada Pangeran. Pangeran bebas untuk menyebutkannya. Apakah Pangeran menginginkan sebuah istana yang bagus? Ataukah Pangeran sudah menghendaki seorang puteri sebagai pendamping Pangeran nanti? Silakan Pangeran menyebutkannya, Hongsiang tentu akan meluluskannya...!" Yap Tai-Ciangkun yang melihat Chin Yang Kun cuma diam saja itu ikut pula mendesak.
"Ya..., ya, anakku! Apa yang dikatakan oleh Yap Tai-Ciangkun itu memang betul. Katakan saja, aku tentu akan memberikannya!" Kaisar Han berkata pula sambil tersenyum. Chin Yang Kun menatap wajah ayahandanya, kemudian perlahan-lahan berlutut di depannya.
"Hongsiang...! Hamba sama sekali tak menginginkan apa-apa. Yang terpikir di dalam hati hamba selama ini hanyalah..., bagaimana hamba bisa membalas budi kepada orang-orang yang pernah melepas kebajikan kepada hamba."
"Maksudmu...?"
"Hongsiang, masih banyak yang harus hamba lakukan sebelum hamba menerima anugerah itu. Diantaranya adalah memindahkan abu jenazah Nenek Hoa ke dusun Ho-ma-cun dan menghilangkan pengaruh racun yang selama ini masih mengalir di dalam tubuh hamba..."
"Hmm... kalau itu permintaanmu, lalu berapa hari kau akan pergi?"
"Inilah yang memberatkan hati hamba. Hamba tak tahu berapa lama hamba akan dapat menyelesaikan tugas itu." Kaisar Han menundukkan kepalanya seraya menarik napas dalam-dalam. Sekilas tampak rasa sesal di wajah Baginda karena telah terlanjur memberi janji kepada puteranya itu.
"Baiklah! Karena aku tadi telah menjanjikan sebuah permintaan kepadamu, maka aku akan memenuhi juga permintaanmu itu. Tapi ingatlah! Akupun akan berjanji kepada diriku sendiri, yaitu selama kau pergi aku akan tinggal di kuil ini! Selain mengerjakan tugas-tugasku sehari-hari, aku akan tidur, makan dan minum di tempat ini. Aku akan terus berdoa sambil menantikan kedatanganmu di sini! Nah, anakku, kau boleh pergi sekarang...! Yap Tai-Ciangkun, antarkan puteraku ini keluar istana!" akhirnya Hongsiang bersabda.
"Hongsiang...!" Chin Yang Kun, Yap Tai-Ciangkun dan para pengawal itu buru-buru berlutut dan menengadahkan wajah mereka yang gemetaran.
Namun Hongsiang sudah tidak berkata apa-apa lagi. Dengan pandang mata sayu seakan-akan tiada mempunyai semangat lagi Hongsiang melangkah meninggalkan mereka, menuju ke ruangan belakang dari kuil itu. Sekejap saja semuanya sudah dapat menduga bahwa Hongsiang sangat kecewa dan merasa sedih sekali. Tapi apa daya, semuanya sudah terjadi, dan tak mungkin seorang Kaisar menjilat Iudahnya kembali. Hampir semua mata di dalam ruangan itu menyalahkan Chin Yang Kun. Mereka seperti menyayangkan sikap Chin Yang Kun yang kurang memiliki perasaan kasih sayang terhadap ayahandanya sendiri itu.
Demikianlah, dengan kepala tertunduk Chin Yang Kun keluar dari pintu gerbang istana. Wajahnya murung. Pakaiannya sudah berganti dengan pakaian yang amat sederhana pula. Dan kakinya melangkah satu-satu, menyusuri tepian jalan raya, menuntun Si Cahaya Biru yang polos pula, tanpa seorangpun tahu bahwa dialah pangeran mahkota Yang dielu-elukan orang tadi. Seorang penjaja kue dengan mata mendelik mengumpat umpat Chin Yang Kun ketika Si Cahaya Biru hampir saja menyenggol dagangannya. Dan seorang puteri hartawan buru-buru menyingkir ketika hendak berpapasan dengan Chin Yang Kun, seolah-olah pemuda itu seorang pengemis dekil yang memuakkan. Padahal kedua orang itu, baik si Penjaja Kue maupun si Nona Hartawan adalah orang-orang yang sangat getol dan bersemangat ketika menyambut kedatangan Chin Yang Kun tadi.
Chin Yang Kun tidak mempedulikan mereka. Dengan langkah gontai, sambil tetap menuntun kendati kudanya, ia berjalan menerobos keramaian kota dan keluar melalui pintu gerbang selatan.
"Hidup ini rasanya seperti sebuah impian saja...!" pemuda itu menarik napas panjang.
TAMAT
Yogyakarta, 2 Desember 1982
Karya : Sriwidjono
Ilustrasi : Yanes & Sriwidjono
Penerbit : CV. GEMA
Cetakan Tahun : 1978 (Pertama)
Sumber : http://kumpulan-cerita-silat.blogspot.com
Kontributor : Awie Dermawan
Di Edit ke DOC, PDF, TXT oleh : Cersil KPH
Harta Karun Kerajaan Sung Eps 12 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 2 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12