Pendekar Pedang Pelangi 28
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 28
"Aaah! Sungguh berbahaya!" Pek-kui menyeringai kecut.
"Kita gunakan Barisan Lok-kui-tin!" Hek-kui memberi aba-aba.
"Benar! Sinar itu jangan dilawan dengan kekerasan... Harus kita hindari atau kita pantulkan dengan badan pisau kita! Hanya dengan cara itu kita dapat merendam kekuatannya!" Ui-kui menanggapi ucapan saudaranya.
"Tetapi sinar yang memantul itu masih berbahaya buat kita. Salah-salah bisa mengenai kawan sendiri." Ang-kui berkata dengan suara bergetar.
"Kalau begitu kita arahkan pantulannya ke atas! Jangan sampai mengarah ke samping atau ke bawah!"
"Baiklah! Mari kita lakukan!" Pek-kui mengangguk. A Liong membiarkan lawan-lawannya berbicara. Dia tetap tenang saja di tempatnya. Bibirnya justru tersenyum.
"Sudah selesai berunding? Ayolah...!" Sikap pemuda itu benar-benar membakar hati Lok-kui-tin. Mereka segera menyusun barisan dan menyatukan kekuatan mereka. Mereka harus melawan tenaga A Liong secara bersama-sama. Mereka harus melawan pemuda itu sebagai kesatuan, bukan sebagai orang per orang.
"Kalian benar-benar cerdik. Begitu melihat kalian segera tahu kelemahan dan jalan keluarnya. Bagus sekali. Tampaknya pertempuran ini memang akan berlangsung lama. Tapi akan kita lihat, siapa di antara kita yang lebih dulu membuat kesalahan." Selesai bicara A Liong menyabetkan pisaunya. Seleret sinar putih melecut seperti cambuk ke arah lawan-lawannya.
"Siiing...!" Lok-kui-tin merunduk berbareng sambil bersama-sama menyilangkan senjata mereka di atas kepala. Gerakan mereka begitu serempak dan indah sehingga senjata itu membentuk deretan tangga yang panjang.
"Traaaaang!" Sinar putih itu mengenai deretan Pisau yang disusun oleh Lok-kui-tin dan memantul ke samping. Celakanya, pantulan sinar itu menyambar dan mengenai beberapa pendekar persilatan di dekat mereka. Orang-orang itu menjerit kesakitan, sebelum akhirnya jatuh dengan kulit terkelupas bagai dibelah senjata tajam. A Liong terkejut. Dia tak menduga kalau serangannya akan melukai kawan sendiri.
"Ah! Mereka memang cerdik sekali.! Aku benar-benar ceroboh! Aku terlalu meremehkan mereka." A Liong menyesal.
Lok-kui-tin benar-benar puas, mereka dapat menjinakkan ilmu pedang A Liong yang aneh. Bahkan mereka dapat memanfaatkannya pula. Sekarang justru mereka berenam yang balik menguasai arena. Sambil bertahan A Liong mencari jalan untuk menghadapi lawannya. Serangan. Lok-kui-tin yang bertubi-tubi hanya ia hindari dan ia punahkan sebelum mengenai tubuhnya. Namun karena serangan itu datang tanpa henti, maka sekali dua kali terpaksa harus ditahan dengan kekuatan pula. Dan akibatnya memang mengejutkan. Karena tenaga yang dilontarkan oleh Lok-kui-tin itu merupakan tenaga gabungan, maka kekuatannyapun bukan main hebatnya. Berbenturan dengan tenaga A Liong ternyata membuat kedua belah pihak merasakan akibatnya. Masing-masing tergetar mundur ke belakang. Hek-kui dan Pek-kui terlongong-Io-ngong di tempatnya. Keduanya hampir tidak percaya melihat hasil benturan itu.
"Gila! Tenaga dalam pemuda itu masih selapis lebih tinggi dibandingkan tenaga gabungan kita! Benar-benar tidak masuk akal." Demikianlah, Lok-kui-tin semakin berhati-hati menghadapi A Liong. Sebaliknya A Liong sendiri juga tidak berani berlaku ceroboh terhadap mereka. Masing-masing tak ingin mencelakai kawan sendiri. Sementara itu Souw Hong Lam telah1 meletakkan tubuh Tio Ciu In di dekat Yap Kim dan Liu Wan Ti. Tio Ciu In semakin kelihatan lemah dan menderita. Punggungnya telah basah oleh darah yang terus mengalir dari lukanya.
"Saudara Souw...? Tolong, ambilkan obat luka di dalam bungkusanku! Berikan kepada Nona Tio agar darahnya segera berhenti mengalir." Tabib Ciok atau Liu Wan atau Pangeran Liu Wan Ti itu berkata kepada Souw Hong Lam.
"Aku? Nona Tio...?" Pemuda ganteng itu mengerutkan dahinya seraya mengawasi Tio Ciu In dan Pangeran Liu Wan Ti berganti-ganti. Wajahnya kelihatan bingung. Tio Ciu In tersenyum dan mengangguk.
"Benar apa yang dikatakan Pangeran Liu Wan Ti. Aku yang rendah bernama Tio Ciu In. Terima kasih atas pertolongan Souw Taihiap."
"Haaah...? Pangeran Liu Wan Ti? Siapa yang... Lhoh, kau...? Kenapa kumis dan jenggotmu, Ciok Lo... eh!"
Souw Hong Lam kelihatan bingung sekali. Semula dia mengira berhadapan dengan Tabib Ciok, tetapi ternyata bukan. Orang yang berdandan seperti Tabib Ciok itu ternyata tidak memiliki kumis dan jenggot. Wajahnya juga tidak tua dan keriput seperti biasanya. Wajah itu masih kelihatan muda dan tampan.
"Dia memang Pangeran Mahkota Liu Wan Ti yang hilang hampir sepuluh tahun lalu, Anak Muda. Nah, kini lakukan dulu perintahnya! Ambilkan obat yang ada di dalarn bungkusan itu."
"Yayaya, Tai-Ciangkun!" Souw Hong Lam memandang Panglima Yap Kim yang terduduk lemah tak berdaya. Namun sebelum pemuda itu bergerak, Mo Hou sudah berdiri di depannya.
"Tak perlu bersusah-susah lagi! Bersiap sajalah untuk mati!" Hardik pemuda itu sambil mengayunkan kipasnya. Souw Hong Lam terbelalak. Namun dia tidak segera menghindar. Dia hanya memutar atau membalikkan tubuhnya saja, sehingga kipas itu menghunjam telak ke arah punggungnya.
"Mampus... Kau!" Mo Hou menggeram.
"Souw-heng...!" Pangeran Liu Wan Ti berdesah khawatir. Duuk! Ujung kipas itu menghantam punggung Souw Hong Lam dan melemparkannya ke tanah. Kebetulan pemuda itu jatuh di dekat bungkusan Liu Wan Ti, sehingga kesempatan tersebut dia pergunakan sebaik-baiknya. Obat yang dimaksud segera ia keluarkan dan ia lemparkan kepada Tio Ciu In. Mo Hou terkesiap. Ujung kipasnya seperti menggores benda keras. Dan lawannya sama sekali tidak mati atau ter-luka seperti kehendaknya. Pemuda ganteng itu hanya tersungkur. Bahkan masih dapat bergerak dengan lincah seolah- olah tidak terjadi sesuatu.
"Hmm, kau...? kau dapat menahan tajamnya kipasku?"
"Kenapa tidak? Kukira kipasmu tidak setajam mata pedang!" Souw Hong Lam menjawab sambil mengebutkan debu yang mengotori jubah panjangnya. Tiba-tiba Mo Hou menyeringai.
"Ah, aku tahu. kau keturunan Keluarga Souw dan kini mengenakan mantel hitam panjang... kau tentu mengenakan mantel pusaka warisan Bit-bo-ong itu, bukan?"
Souw Hong Lam tidak menjawab. Kedua tangannya bersilang di depan dada, siap untuk menyerang Mo Hou. Asap putih dan merah tampak mengepul di atas kepalanya. Mo Hou tersenyum. Sama sekali tidak ada kesan khawatir atau takut di wajahnya. Baginya, Souw Hong Lam bukan lawan yang perlu diperhitungkan. Dari rumah ia telah dibekali berbagai macam kiat untuk mengalahkan ilmu silat Tionggoan. Termasuk juga ilmu silat Keluarga Souw. Jangankan cuma Souw Hong Lam, melawan Hong-gi-hiap Souw Thian Haipun dia tidak takut. Ketika asap di atas kepala Souw Hong Lam itu semakin tebal, Mo Hou tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Kipas itu justru ia masukkan ke dalam saku, kemudian dengan tangan kosong dia menerjang ke depan. Kedua tangannya mencakar wajah Souw Hong Lam.
Souw Hong Lam tidak berani beradu tangan. Dia sadar bahwa Iweekangnya masih kalah jauh dibandingkan lawannya. Dari pukulan kipas di punggungnya tadi dia sudah dapat menyelami kekuatan lawan. Dia memilih jalan lain, yaitu mengelak ke samping sambil memukul pinggang Mo Hou. Dan pukulan tersebut hanya pancingan saja, karena pukulan sebenarnya akan ia susulkan kemudian. Tapi Mo Hou adalah seorang jago silat yang cerdik dan berbakat sekali. Dalam hal tipu muslihat dan kelicikan, rasanya tidak ada orang lain yang mampu melebihi dia. Pukulan pancingan itu ternyata ia biarkan saja mengenai pinggangnya, sehingga Souw Hong Lam justru menjadi bingung sendiri.
"Anak Muda, awas...!" Yap Kim yang sudah tidak berdaya itu berteriak lemah. Souw Hong Lam berusaha menarik kembali pukulannya. Kakinya melangkah ke samping, lalu berputar menjauhi lawannya. Sambil bergerak jari telunjuk kirinya terayun ke depan! Cus! Seleret sinar merah menusuk ke arah punggung Mo Hou!
"Bless!" Sinar itu menghunjam telak ke punggung Mo Hou! Begitu kuatnya sehingga sinar itu tembus melewati dada.
Tapi sungguh mengherankan. Luka itu sama sekali tidak mengeluarkan darah. Bahkan tubuh itu sama sekali tidak ambruk atau kesakitan. Sebaliknya putera Raja Mo Tan itu justru tertawa gembira. Suaranya terdengar dimana-mana, karena suara itu tidak cuma keluar dari mulutnya, tapi juga keluar dari mulut tujuh Mo Hou yang lain, yang tiba-tiba telah berdiri di sekitar arena. Yap Kim, Lu Wan Ti dan Tio Ciu In mengeluh. Mereka tidak mempunyai harapan lagi. Melawan satu orang Mo Hou saja sudah sulit, apalagi harus melawan delapan orang sekaligus. Benar juga. Baru beberapa jurus saja Souw Hong Lam sudah kebingungan menghadapi lawannya. Totokan Tai-kek Sin-ciangnya benar-benar tidak berguna menghadapi bayangan-bayangan semu itu. Beberapa kali totokan jarinya mengenai bayangan Mo Hou palsu, sehingga tenaganya banyak terbuang sia-sia.
"Hmmm, sebentar lagi tenagamu habis. kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi kepadaku." Mo Hou mengejek. Beberapa buah pukulan mendarat di tubuh Souw Hong Lam, membuat pemuda itu jatuh bangun di atas tanah. Membuat pakaian pemuda ganteng itu menjadi lepas dan kedodoran. Bahkan debu dan tanah membuat wajahnya yang ganteng itu berlepotan tidak keruan. Akhirnya ketika topi yang melekat di kepala Souw Hong Lam itu copot diterjang angin pukulan Mo Hou, semua orang yang melihatnya terkejut. Rambut yang hitam panjang tiba-tiba terurai lepas menutupi sebagian pundak dan punggung pemuda ganteng itu.
"Eh, saudara Souw... jadi kau ini?" Liu Wan Ti berdesah perlahan. Matanya terbelalak. Souw Hong Lam palsu yang tidak lain adalah Souw Giok Hong, puteri Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, menjadi merah mukanya. Sambil tersenyum malu gadis itu membersihkan alis buatan dan semua kotoran yang menempel di wajahnya. Dan beberapa saat kemudian wajahnya yang cantik bak bidadari itu membuat terpesona semua orang.
"Aah!" Tak terasa Pangeran Liu Wan Ti menelan ludahnya.
"Bukan main! Sungguh tak kusangka hari ini aku dapat bertemu dengan banyak anak muda berkepandaian tinggi! Aku benar-benar sudah ketinggalan zaman." Panglima Yap Kim berdesah panjang.
Orang yang tidak peduli akan perubahan" itu hanya Mo Hou. Delapan sosok bayangan kembarnya masih tetap bersiaga penuh di sekitar mereka. Wajahnya tampak puas dan berseri ketika melihat pasukan Hun dapat menguasai seluruh arena.
"Nona! Kalau kau benar-benar dari keluarga Souw, kau tentu puteri kedua Hong-gi-hiap Souw Thian Hai." Yap Kim berkata.
"Benar, Yap Tai-Ciangkun. Aku memang Souw Giok Hong, puteri kedua Souw Thian Hai."
"Dimana ayahmu sekarang? Apakah dia juga datang kemari?" Wajah cantik itu tertunduk sebentar. Ketika kemudian wajah itu terangkat kembali dan siap untuk menjawab, tiba-tiba terdengar suara Mo Hou membentak,
"Diam! Kubunuh kalian semua...!" Dua diantara delapan bayangan kembar itu segera meloncat dan menyerang Souw Giok Hong.
Sementara empat bayangan lainnya mendekati Pangeran Liu Wan Ti, Tio Cu In dan Panglima Yap Kim. Sisanya, dua bayangan, masih tetap berdiri tegak mengawasi keadaan. Situasi memang sangat gawat bagi pasukan para pendekar dan bekas Panglima Yap Kim. Lawan mereka kali ini memang sangat kuat. Selain kalah banyak, pasukan asing yang dipimpin oleh Mo Hou itu memang lebih berpengalaman dalam perang besar. Tampaknya keinginan para pendekar untuk membebaskan Panglima Yap Kim gagal total. Bahkan mereka sendiri sekarang berada dalam kesulitan besar. Ternyata ilmu silat tinggi saja tidak dapat menjamin untuk menang perang. Rombongan Kwe Tek Hun dengan para pengemis Tiat-tung Kai-pang, sudah tercerai-berai. Korban sudah tidak terhitung lagi. P,ara pendekar persilatan yang lain juga sama saja keadaannya.
Bersama-sama dengan para prajurit penjaga benteng yang membelot, mereka mencoba bertahan sedapat mungkin. Mereka memanfaatkan lorong-lorong bangunan yang lebih mereka kenal untuk main petak-umpet. Api berkobar dimana-mana. Pasukan Hun telah membakar apa saja untuk memburu lawannya. Mereka benar-benar menjadi brutal setelah merasa menang. Watak asli mereka sebagai bangsa barbar tak dapat dikendalikan lagi. Benteng itu benar-benar menjadi tempat pembantaian sadis. Rombongan Souw Thian Hai, Kwe Tiong Li, serta para jago silat ternama lainnya, masih tetap mengamuk di arena masing-masing. Kesaktian mereka memang membuat pasukan Hun kewalahan. Tetapi dalam perang besar seperti itu mereka tetap tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenangkan pertempuran. Mereka hanyalah beberapa tetes air di-antara api yang berkobar di medan pertempuran.
Matahari mulai membakar atap benteng itu. Panasnya menambah, gerah hati manusia-manusia haus darah, yang kini saling bunuh diantara mereka sendiri. Perang memang membuat manusia kehilangan harkat hidupnya sebagai manusia. Perang menghilangkan peradaban manusia sendiri. Sementara itu Panglima Yap Kim dan rombongannya tinggal menantikan saat-saat kematian mereka pula. Mereka tidak mungkin lagi menyelamatkan diri. Apalagi sekarang tinggal Souw Giok Hong sendiri yang mampu melawan. Tapi mana mungkin Souw Giok Hong melawan ilmu sihir Mo Hou? Tai-kek Sin-ciang dan Tai-lek Pek-kong-ciang andalan keluarga Souw, hampir tak ada gunanya melawan bentuk-bentuk semu itu. Bayangan itu sama sekali tidak dapat disentuh, apalagi diserang. Tapi se-baliknya bayangan itu mampu menyerang dan melukai Souw Giok Hong.
"Rahasianya hanya pada bentuk asli orang ini. Kalau aku bisa menyerang yang asli, dia pasti dapat kukalahkan. Tapi bagaimana aku dapat memilih, mana diantara mereka yang asli? Semuanya tampak sama, bahkan seperti hidup sendiri-sendiri." Souw Giok Hong berkata hampir putus asa. Mo Hou memang pemuda pilihan. Bertulang baik. Dalam usia yang masih amat muda ia telah memiliki ilmu silat sangat tinggi. Bakat dan kemampuannya lebih baik daripada kebanyakan orang.
Bahkan lebih baik dari Pangeran Liu Wan Ti, Kwe Tek Hun, Souw Giok Hong, Tio Ciu In atau lainnya. Selain itu ia masih juga beruntung mendapatkan guru yang baik. Kalau diperbandingkan, mungkin cuma A Liong atau Chin Tong Sia yang setara dengan bakat Mo Hou. Hanya saja, karena ilmu yang mereka pelajari tidak sama, maka hasil yang mereka dapatkan juga tidak sama pula. Mereka memiliki kelebihan dan keistimewaan sendiri. Se-lain itu, dalam perjalanan hidup mereka, masing-masing juga memiliki suratan nasib serta keberuntungan yang berbeda pula, sehingga akhirnya ilmu yang mereka miliki juga tidak sama pula tingginya. A Liong sejak kecil mempunyai benjolan aneh di bawah pusarnya. Benjolan yang entah berisi apa dan dari mana datangnya, namun yang jelas benjolan sebesar telor ayam itu mempunyai khasiat menguatkan tubuh dan melipatgandakan tenaga dalam.
Dan keberuntungan seperti itu jelas tidak diperoleh Mo Hou maupun Chin Tong Sia. Sedangkan Mo Hou, meskipun tidak seberuntung A Liong, tapi dia mendapat kan seorang guru yang memiliki ilmu silat sangat langka. Selain perguruan Soa-hu-pai itu sudah berusia ribuan tahun, ilmu silatnya juga berakar pada ilmu sihir. Oleh karena itu dapat dimaklumi kalau Soa-hu-pai memiliki beberapa kelebihan dibandingkan Beng-kauw atau aliran silat lainnya. Sementara itu ilmu silat Beng-kauw adalah ilmu silat murni dan usianya belum setua Soa-hu-pai. Kelebihan Soa-hu-pai hanya terletak pada ilmu sihirnya. Oleh karena itu untuk menghadapi ilmu silat Soa-hu-pai, orang harus bisa mengatasi ilmu sihirnya dulu. Sebelum kekuatan sihir itu hilang, maka pertempuran dengan orang Soa-hu-pai boleh dikatakan berat sebelah.
Maka dapat dimaklumi kalau akhirnya pertempuran antara Souw Giok Hong melawan Mo Hou itu dimenangkan oleh Mo Hou. Seperti halnya ilmu silat aliran Beng-kauw, ilmu silat keluarga Souw adalah ilmu silat murni. Dan celakanya, tingkat kepandaian Souw Giok Hong sekarang juga belum mencapai tingkat yang tertinggi, sehingga dia juga belum tahu cara yang baik untuk mengatasi ilmu sihir tersebut. Dua sosok bayangan Mo Hou itu mengurung dan mendesak Souw Giok Hong. Karena bayangan itu hanya bentuk semu, maka tidak dapat disentuh maupun dilukai. Sebaliknya, dengan kehebatan tenaga dalam pemiliknya, dua sosok bayangan itu dapat menyerang dan melukai Souw Giok Hong. Sementara itu empat bayangan Mo Hou lainnya, terus melangkah mendekati Yap Kim bertiga. Bentuk-bentuk semu itu siap menghabisi mereka.
"Pangeran...! Tampaknya kita tidak dapat mengelak lagi! Sebaiknya kita gabungkan kekuatan kita untuk menyongsong mereka. Lebih baik mati sebagai kesatria, daripada mati seperti binatang yang akan disembelih!" Yap Kim berbisik.
"Be-benar, Ciangkun..." Keempat bayangan itu mengangkat tangannya. Terdengar suara gemeretak tulang dan otot mereka. Namun sebelum tangan itu melayang, tiba-tiba terdengar suara teriakan Chin Tong Sia
"Tunggu...!" Pemuda itu melenting dan berjungkir balik di atas kepala para prajurit, kemudian berdiri di depan mereka. Dan air muka pemuda itu segera berubah melihat lawan yang ada di depannya. Selain sudah mengenal wajahnya, dia melihat wajah itu tidak hanya satu, tapi empat sekaligus.
"Gila...!" Chin Tong Sia mengumpat.
"Saudara Chin, awas... dia itu putera Raja Mo Tan. Dia mahir ilmu sihir." Pangeran Liu Wan Ti memberi peringatan. Chin Tong Sia menoleh. Air mukanya semakin keruh menyaksikan dandanan Pangeran Liu Wan Ti. Dia mengenal suara dan dandanan itu, tapi tidak mengenal orangnya. Pangeran Liu Wan Ti menyeringai menahan sakit.
"Ah, saudara Chin, maafkan aku. Aku... tabib Ciok. Maksudku, aku menyamar sebagai tabib. Aku menyamar untuk mencari Panglima Yap Kim! Dan aku... aku telah menemukan orang yang kucari itu. Lihat, dia ada di sini!" Chin Tong Sia tertegun, kemudian memandang bekas panglima yang sangat ia hormati itu. Kepalanya mengangguk, namun mulutnya masih terkunci. Tiba-tiba Panglima Yap Kim beringsut ke depan. Tubuhnya masih sangat lemah. Sambil menunjuk Liu Wan Ti ia berbisik,
"Anak muda, ketahuilah...! Dia ini sebenarnya adalah Pangeran Mahkota Liu Wan Ti!" Sekali lagi Chin Tong Sia terkejut.
"Pangeran Liu Wan Ti? Tapi kata orang Pangeran Liu Wan Ti berada di perbatasan? Beliau berada di Benteng Kongsun Goanswe. Kurasa... ciok Lo-Cianpwe sendiri yang mengatakan hal itu." Liu Wan Ti menghela napas.
"Saudara Chin, panjang ceritanya. Akan kuceritakan nanti." Pembicaraan mereka terhenti, karena empat sosok Mo Hou itu tiba-tiba membentak Chin Tong Sia,
"Jadi kau dapat meloloskan diri dari penjara bawah tanah itu, heh? Siapa yang menolongmu-? Hong-gi-hiap Souw Thian Hai...?"
"Benar. Tunggulah sebentar lagi. Pendekar itu akan sampai di sini. Dia sedang membersihkan orang-orangmu yang berusaha merintangi jalannya."
"Bagus. Kalau begitu aku tidak perlu mencarinya!" Keempat bayangan Mo Hou itu lalu menerjang Chin Tong Sia. Masing-masing menyerang dari arah berbeda, seakan-akan mereka itu memang hidup sendiri-sendiri. Dan seperti dugaan Chin Tong Sia, tenaga dalam Mo Hou memang selapis lebih tinggi daripada tenaga dalamnya, sehingga dia harus berhati-hati. Chin Tong Sia lalu melompat ke samping. Dari tempatnya berdiri ia melihat pertempuran lain di dekatnya.
Dan ia benar-benar kaget ketika melihat beberapa orang Mo Hou lain di arena itu. Beberapa orang Mo Hou lain itu sedang mendesak gadis berwajah ayu. Otak cerdas Chin Tong Sia segera melihat dan meyimpulkan keanehan itu. Untuk mengalahkan semua bentuk semu itu, dia harus tahu dulu mana yang asli. Dan untuk mencari yang asli, semua bentuk semu itu harus dikumpulkan dan tidak boleh ada yang bersembunyi. Demikianlah, karena ingin memilih sosok Mo Hou yang asli, maka Chin Tong Sia segera bergeser mendekati arena pertempuran gadis ayu itu. Dan seperti yang ia inginkan, empat bayangan itu terus memburunya pula. Maka di lain saat mereka telah berbaur dalam arena pertempuran Souw Giok Hong. Chin Tong Sia berdiri di sebelah Souw Giok Hong, sementara delapan sosok bayangan Mo Hou itu menebar di sekeliling mereka.
"Hei, saudara Chin! Akhirnya kau datang juga...!" Souw Giok Hong menyapa dengan lega begitu melihat Chin Tong Sia. Tentu saja Chin Tong Sia bingung. Dia tak mengenal wajah Souw Giok Hong. Dia tak tahu kalau Souw Giok Hong adalah Souw Hong Lam. Souw Giok Hong segera menyadari kekeliruannya. Sambil bertempur dia lalu bercerita tentang dirinya.
"Ah, jadi kau ini puteri Souw Taihiap. Kalau begitu malah kebetulan sekali. Sebentar lagi Souw Taihiap dan isterinya akan datang. Dia ingin berjumpa dengan Souw Hong Lam."
"Ayah-ibuku juga datang?" Gadis itu tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Demikianlah, Souw Giok Hong lalu bertempur berpasangan dengan Chin Tong Sia, sehingga delapan bayangan Mo Hou itu harus bekerja keras menghadapi mereka. Chin Tong Sia bergeser mendekati Giok Hong, lalu berbisik,
"Nona Souw. suhengku pernah mengatakan bahwa manusia-manusia tiruan ini dikendalikan oleh yang asli. Semakin tinggi tenaga dalam pemiliknya, maka semakin dahsyat pula kekuatan mereka. Untuk mengalahkan mereka, kita harus dapat mengetahui yang asli." Souw Giok Hong memandang Chin Tong Sia, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjawab dengan suara lirih pula,
"Aku tahu. Tapi bagaimana caranya?" "Sebenarnya mudah, tapi sulit melakukannya. Pertama-tama kita harus dapat melacak sumber tenaga yang menggerak-! kan bonska-bor,eka ini. Caranya, setiap kali mereka bergerak dan menyalurkan tenaga, kita Jihat dan kita rasakan. Kita lihat, siapa diantara mereka itu yang menjadi sumbernya, yang menyalurkan tenaganya kepada yang lain. Getaran tenaga itu yang harus kita lacak. Memang sulit, karena orang itu akan selalu berusaha mengacaukan indera kita."
"Suhengmu benar. Memang sulit melakukannya. Apalagi mereka berjumlah delapan, sementara kita" hanya berdua. Kita bertahan saja sudah sulit, apalagi harus melacak sumber tenaga mereka. Belum sampai ketemu, kita sudah mati duluan."
"Ah, jangan patah semangat dulu. Kita belum mencobanya. Ayoh, sekarang lindungi saja aku. Akulah yang akan melacak sumbernya."
"Baiklah," Souw Giok Hong menarik napas panjang. Keduanya lalu berdiri berendeng. Ketika salah satu dari Mo Hou itu menyerang, Souw Giok Hong cepat melangkah ke depan melindungi Chin Tong Sia. Dibiarkannya pemuda itu mencari Mo Hou asli. Tapi delapan orang Mo Hou itu terus saja bergerak ke sana kemari. Bagai kawanan burung elang yang mengincar anak ayam, mereka menyambar-nyambar dari segala jurusan. Souw Giok Hong terpaksa jatuh bangun melindungi Chin Tong Sia.
"Bagaimana, saudara Chin? Belum kau dapatkan?"
"Wah, sulit sekali! Setiap kali kutemukan, mereka cepat bergeser dan berbaur lagi."
Ternyata Mo Hou mengetahui maksud Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong. Buktinya pemuda itu. lalu meningkatkan serangannya. Delapan sosok bayangannya menyerang habis-habisan, sehingga Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong menjadi kalang-kabut mempertahankan diri. Keinginan Chin Tong Sia untuk mencari Mo Hou asli, tidak dapat terlaksana. Pat-sian ih-hoat memang terlalu sulit untuk dilawan. Ilmu silat bercampur ilmu sihir itu tidak mungkin dihadapi dengan ilmu silat biasa. Untunglah Souw Giok Hong mengenakan mantel pusaka dan Chin Tong Sia mahir Cuo-mo-ciang. Walaupun kalah, tapi setiap kali terjepit masih dapat meloloskan diri.
"Sayang sekali suhengku tidak ada di sini. Kalau ada dia... Hm, orang ini sudah lari terbirit-birit sejak tadi." Chin Tong Sia bergumam dengan suara dongkol. Begitu ingat suhengnya, gerak-gerik Chin Tong Sia tiba-tiba berubah linglung. Mulutnya melantunkan pantun sekenanya. Suaranya sumbang dan sama sekali tidak enak untuk didengar.
Kalau saja burung gagak itu datang padaku,
Mataharipun terpaksa sembunyi.
"Saudara Chin, kau...?" Souw Giok Hong kaget. Tapi Chin Tong Sia tidak peduli. Sambil bergumam tak jelas pemuda itu menyerang lawan yang berada di depannya. Wajahnya kelihatan. keras dan kaku. Pukulannya juga kuat mengejutkan!
Demikianlah, walau terdesak dan tak bisa berbuat apa-apa lagi, tapi Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong tetap melawan dengan gigih. Mereka mencoba bertahan dengan berpasangan. Masing-masing saling membantu dan saling melindungi. Tapi bagaimanapun juga delapan bayangan Mo Hou itu terlalu berat bagi mereka. Seorang Mo Hou saja sudah sulit dilawan, apalagi sampai delapan orang. Maka dapat dimaklumi kalau akhirnya mereka menjadi bulan-bulanan serangan Mo Hou. Karena marah dan kesal Chin Tong Sia mengumpat dan memaki sambil bernyanyi. Gerakannya juga semakin ngawur ternyata pemuda itu justru semakin berbahaya. Tampaknya saja ngawur, tapi ternyata gerakannya semakin sulit diduga. Seringkah pertahanannya juga terbuka dan tak terjaga. Namun anehnya, pukulan lawan justru sulit sekali mengenainya.
Babi, monyet,
kerbau sialan...
Tahu ada ekor,
tetap saja mencari
Dasar binatang bodoh!
Tentu saja Souw Giok Hong yang belum tahu adat kebiasaan Chin Tong Sia menjadi bingung dan risih. Bingung karena mendadak Chin Tong Sia berlagak seperti orang tidak waras. Risih, karena pemuda itu mengucapkan kata-kata kasar di depannya. Tapi seperti halnya Chin Tong Sia, Souw. Giok Hong tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Gempuran Mo Hou benar-benar membuatnya putus asa. Beberapa kali pukulan dan tendangan Mo Hou mengenai tubuhnya. Untung saja mantel pusaka itu melindunginya. Walau sakit, tapi tidak sampai melukai bagian dalam tubuhnya. Sebuah tendangan juga tidak bisa dihindari Chin Tong Sia. Begitu kerasnya sehingga Chin Tong Sia terlempar menabrak tembok bangunan. Rasanya seluruh bangunan itu ikut bergoyang.
"Aduh! Monyet gundul menampung air
Sahabat dekat menggali kubur.
Monyet tua sialan...!"
Sambil berteriak kesakitan Chin Tong Sia berpantun. Sebuah pantun konyol yang diteriakkan sesukanya. Tapi dalam keributan itu tiba-tiba terdengar suara pantun lain. Serangkai pantun yang dinyanyikan dengan suara lebih sumbang dan lebih jelek, tapi dengan dorongan kekuatan tenaga dalam yang menggetarkan hati.
"Monyet mati belum tentu jadi mayat.
Apa gunanya menampung air?
Bila sahabat tidak putus asa.
Apa gunanya menggali kubur?"
Ketika orang berpantun itu tiba-tiba muncul di arena, Mo Hou benar-benar kaget setengah mati. Penyanyi bersuara jelek itu tidak lain adalah Put-pai-siu Hong-jin, manusia bertampang jelek yang dulu melukainya.
"Kau lagi...!" Pemuda itu menggeram marah. Seperti orang tidak bersalah Put-pai-siu Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa sebabnya, kali ini dia datang tanpa baju, sehingga tulang-tulangnya yang kurus itu menonjol kesana-kemari. Wajahnya yang buruk itu sangat mengerikan, sehingga Souw Giok Hong tidak berani menatapnya lama-lama. Sebaliknya Chin Tong Sia kelihatan gembira dan berseri-seri.
"Nona Souw, inilah... suhengku. Dia benar-benar datang!" Souw Giok Hong berusaha tersenyum. Namun senyumnya segera hilang dan berubah kecut ketika Put-pai-siu Hong-jin tertawa kepadanya. Lobang mulut yang lebar itu sama sekali tidak ada giginya, kosong melompong.
"Waduh, temanmu cantik sekali...!"
"Suheng, jangan macam-macam!" Chin Tong Sia membentak.
"Baiklah. Aku tidak akan mengganggunya. Sekarang pergilah kau membantu teman-temanmu itu! Serahkan saja anak j penyihir ini kepadaku. Akan kuajak dia main sihir-sihiran, heh-heh-heh."
Chin Tong Sia mengerutkan dahinya.
"Suheng, kau juga mempunyai ilmu sihir?" Put-pai-siu Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh.
"Konyol kau! Siapa bilang aku bisa ilmu sihir? Ilmu bohong-bohongan itu tidak ada gunanya untuk dipelajari." Mo Hou benar-benar marah sekali, begitu geramnya dia, sehingga semua bentuk kembarannya berteriak bersama-sama, lalu menerjang Put-pai-siu Hong-jin.
"Monyet ompong! Kubunuh kau!" Delapan orang Mo Hou itu menggempur Put-pai-siu Hong-jin dari empat penjuru. Tidak sesosok bayanganpun yang peduli pada Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong lagi. Sehingga kesempatan itu dipergunakan pula oleh mereka untuk meloloskan diri dari tempat itu. Mereka menyelinap kembali ke tempat Pangeran Liu Wan Ti berada. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, sesosok bayangan telah berdiri bertolak pinggang di depan mereka. Seorang gadis cantik bermata liar dan ganas yang tidak lain adalah Mo Goat atau Tiau Hek Hoa!
"Saudara Chin, awaaas... dia Tiau Hek Hoa! Pengkhianat itu!" Souw Giok Hong yang amat mengenal Tiau Hek Hoa itu menjerit.
"Jadi kau gadis bermuka hitam itu, heh?" Chin Tong Sia yang telah dikhianati oleh Mo Goat itu membentak marah.
"Bocah bodoh...! Memang benar aku! Mau apa?"
"Huh! Sudah kuduga bahwa kau seorang pengkhianat! Menjebloskan aku ke dalam perangkap! Lalu kembali ke rombongan dan membohongi mereka! Sungguh licik!" Chin Tong Sia berseru marah.
"Biar saja! Aku adalah puteri Raja Mo Tan, yang mendapat tugas untuk mencari dan membunuh bekas Panglima Yap Kim! Aku melakukan apa saja untuk melaksanakan tugas itu. Dan ternyata aku berhasil mendapatkan buruanku itu. Nah, kalian mau apa? Mau menghalangi aku? Huh! Jangan harap! Lihat saja sekelilingmu! Pasukanku telah menguasai benteng ini!" Selesai bicara gadis itu mengerahkan tenaga dalamnya, kemudian memecah diri menjadi empat bayangan. Dan bayangan itu segera bergeser ke samping untuk mengepung Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong.
"Saudara Chin, hati-hati dengan senjata gelapnya! Gadis itu suka menggunakan racun!" Liu Wan Ti memberi peringatan. Mo Goat menoleh. Dia segera mengenal wajah Liu Wan yang pernah berkelahi dengan dia di kota Hang-ciu lima tahun lalu.
"Bagus. Sebenarnya aku sudah curiga padamu, karena aku pernah melihat ilmu pukulanmu. kau bukan seorang tabib. Tapi aku tak menyangka kalau kau masih begini muda..."
"Adik Goat! Jangan lepaskan orang itu! Dia itu Liu Wan Ti! Putera Mahkota Han yang kita cari selama ini!" Tiba-tiba Mo Hou berteriak dari tempatnya begitu melihat kedatangan adiknya.
"Putera Mahkota? Wah, aku benar-benar terkecoh dalam beberapa hari ini! Aku sama sekali tidak mengenalnya walau sudah berkumpul berhari-hari!" Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong saling pandang. Ternyata terlepas dari mulut singa, mereka jatuh ke taring serigala pula. Puteri Raja Mo Tan itu tidak kalah berbahayanya daripada Mo Hou. Tio Ciu In yang duduk di sebelah Liu Wan Ti menjadi cemas pula. Dia teringat peristiwa lima tahun lalu, pada saat Mo Goat melukai Ku 3ing San sehingga pemuda itu harus dipotong kakinya.
"Liu Toako, eh... pangeran Liu? Bagaimana ini. ?"
"Bagaimana dengan lukamu sendiri? Sudah lebih baik?" Pangeran Mahkota itu balik bertanya.
"Lumayan. Tapi aku belum berani mengerahkan tenaga dalam. Aku khawatir darahnya akan keluar lagi." Panglima- Yap Kim menghela napas panjang.
"Jangan dipaksa. Istirahat sajalah barang sebentar lagi. Aku juga sedang berusaha mengembalikan tenagaku. Aku sebenarnya tidak terluka. Aku hanya kehilangan tenaga karena tadi terlalu memaksa diri." Pangeran Liu Wan Ti mengangguk-angguk, lalu menatap Tio Ciu In kembali. Kenangan masa lalu kembali terbayang di depan matanya. Sungguh tidak diduga ia masih bisa berjumpa dengan gadis yang pernah merampas hatinya itu.
"Nona Tio, dimana saja kau selama Ini? Aku benar-benar tidak mengira bahwa kita bisa bertemu lagi. Pada waktu itu aku dan para tokoh Im-yang-kauw melihat sendiri gua yang runtuh itu. Kami semua berpendapat bahwa kau telah terkubur di gua itu. Apalagi kami menemukan sepatu dan ikat pinggangmu..." Liu Wan Ti berbisik perlahan. Tio Ciu In tertunduk dalam-dalam.
"Pendekar Buta itu menyelamatkan aku. Aku dibawa ke tempat tinggalnya dan diambil sebagai murid."
Selesai berkata gadis itu tiba-tiba tersentak. Dia ingat gurunya si Pendekar Buta, yang juga datang ke benteng ini bersamanya.
"Lalu dimana Pendekar Buta itu sekarang, Nona Tio?"
"Eh, dia... dia juga berada di benteng! Aku tidak tahu, dimana dia sekarang. Mungkin masih di dapur atau... di gudang penyimpanan kayu bakar."
"Dia? Dia ada di sini...?" Sementara itu rombongan Souw Thian Hai masih berkutat dengan pasukan Bayan Tanu yang mengeroyok mereka. Walaupun pasukan pilihan itu tidak dapat mendekati mereka, namun Souw Thian Hai dan rombongannya juga tidak bisa mengalahkan barisan pengepung itu. Mereka bertempur sambil terus bergeser mendekati arena pertempuran Mo Hou dan Put-pai-siu Hong-jin. Souw Thian Hai berpasangan dengan isterinya, Chu Bwe Hong. Tio Siau In berpasangan dengan Yok Ting Ting.
Sedangkan Giam Pit Seng berpasangan dengan muridnya, Tan Sin Lun. Mereka berenam selalu menjaga jarak agar pasangan mereka tidak terpisah satu sama lain. Hanya dengan berpasangan mereka mampu bertahan dari kurungan lawan. Dua kelompok pasukan pilihan itu dipimpin oleh Bayan Tanu. Dibantu Ho Bing, Siang-kim-eng, Tiat-tou dan lain-lain. Dilihat dari segi ilmu silat, mereka itu memang bukan lawan Souw Thian Hai dan Tio Siau In. Namun karena mereka dibantu oleh pasukan pilihan yang sudah dipersiapkan untuk menghadapi jago silat tinggi, maka mereka sangat sulit dikalahkan. Setiap kali terdesak atau mendapat bahaya, mereka selalu dilindungi barisannya. Ketika pertempuran itu terus bergeser maju dan akhirnya sampai di tempat Pangeran Liu Wan Ti berada, tiba-tiba Panglima Yap Kim bangkit berdiri. Bekas panglima itu segera mengenal Souw Thian Hai dan isterinya!
"Saudara Souw...! Souw Hujin! Selamat bertemu!" Ternyata tidak hanya bekas panglima itu saja yang gembira melihat kedatangan rombongan itu. Ternyata Tio Ciu In dan Souw Giok Hong juga gembira sekali.
"Suhu...! Siau In!"
"Ayah! Ibu...,!" Panggilan atau seruan itu benar-benar mengejutkan rombongan pendekar Souw Thian Hai. Bahkan Souw Thian Hai sendiri sampai lupa bahwa dia sedang berkelahi dengan Bayan Tanu. Dan kelengahan itu benar-benar dimanfaatkan oleh Bayan Tanu. Tombak rantainya menerobos pertahanan lawan dan melukai paha Souw Thian Hai.
"Souw Taihiap, awas...!" Giam Pit Seng berteriak. Tapi mata tombak itu sudah terlanjur mengenai sasarannya. Darah memancar dari luka itu, membuat Souw Thian Hai menyeringai kesakitan. Sekejap kaki kanan itu seperti lumpuh karena mata tombak itu tepat mengenai urat pokok.
"Aduuuh...!" Giam Pit Seng yang baru saja memberi peringatan itu tiba-tiba menjerit pula. Ternyata pedang Siang-kim-eng juga menerobos pertahanan Giam Pit Seng dan menyambar lengan pendekar itu.
Sebuah goresan yang panjang dan dalam membuat lengan itu tidak bisa digerakkan lagi. Otomatis senjata pit yang dipegangnya terlepas. Seperti berlumba Chu Bwe Hong dan Tang Sin Lun memberi pertolongan. Chu Bwe Hong menolong suaminya, sedangkan Tan Sin Lun menolong gurunya. Walau kaget mendengar suara panggilan kakaknya, namun Tio Siau In tidak mengurangi kewaspadaannya, sehingga rasa kaget itu tidak sampai mencelakakannya. Sambil berseru girang ia meloncat keluar arena. Dia berlari menuju ke arah Tio Ciu In. Tapi jeritan Giam Pit Seng mengejutkan Tio Siu In. Sekejap pikirannya bingung. Siapa yang harus dia lihat lebih dulu? Gurunya yang berada dalam bahaya atau kakaknya yang sudah lima tahun berpisah? Akhirnya Tio Siau In berbalik kembali. Dia tidak bisa meninggalkan gurunya. Dengan pedang pendeknya dia menerjang Siang-kiam-eng.
"Cici, maaf! Aku akan menolong Suhu dulu!" Di pihak lain Souw Giok Hong tak dapat berbuat apa-apa melihat bahaya yang mengancam ayahnya. Dia dan Chin Tong Sia benar-benar tak berkutik menghadapi delapan bayangan Mo Hou. Dia hanya bisa melihat, bagaimana sibuknya ibunya bersama Yok Ting Ting menolong ayahnya. Demikianlah situasi benar-benar buruk bagi pihak Pangeran Liu Wan Ti. Pasukan para pendekar yang bergabung dengan perajurit benteng itu tidak mampu bertahan lagi. Banyak diantara mereka yang tewas atau terluka. Bahkan banyak pula diantara mereka yang tertawan. Terompet kemenangan telah ditiup di segala tempat.
Matahari tepat di atas kepala. Akhirnya pertempuran usai juga. Panas matahari tidak menghalangi kegembiraan pasukan Hun. Mereka bersorak sambil membunyikan terompet dan tamburnya. Benteng itu telah mereka taklukkan dan mereka kuasai. Kalaupun masih ada pertempuran, maka pertempuran itu hanya pertempuran kecil, yaitu pertempuran beberapa tokoh persilatan yang dikepung prajurit Hun. Walau tidak memiliki kawan lagi, tapi tokoh seperti Kwe Tiong Li, Kwe Tek Hun, Jing-bin Lokai dan lainnya lagi, masih tetap bertempur sekuat tenaga. Seperti halnya rombongan Souw Thian Hai, mereka tetap tidak mau menyerah. Pangeran Liu Wan Ti merasa sangat sedih. Walaupun serangan ke dalam benteng itu bukan rencananya, tapi kekalahan para pendekar persilatan tersebut benar-benar menyakitkan hatinya.
Rasanya ia ikut bersalah atas kejadian itu. Panglima Yap Kim juga menyesal sekali. Semua itu hanya karena dia. Dua kekuatan besar yang Bsama-sama menginginkan dirinya. Yang satu ingin membebaskan dia, sementara yang lain ingin membunuh dirinya. Dan ternyata kekuatan yang menginginkan kematiannya itu telah mengalahkan kekuatan yang hendak membebaskan dia. Yap Kim benar-benar sedih dan menyesal sekali. Ratusan korban telah jatuh di kalangan pendekar persilatan. Mereka mati hanya karena mau membebaskan dirinya. Benar-benar suatu pengorbanan besar, pengorbanan yang sangat menyentuh jiwa dan semangatnya. Perasaan seperti itu menghinggapi pula hati Pangeran Liu Wan Ti. Pangeran itu tak kuasa menyembunyikan rasa sedihnya. Berkali-kali dia berdesah panjang.
"Ciangkun, apa yang harus kita lakukan sekarang? Para pendekar itu telah dikalahkan. Tinggal tokoh-tokohnya saja yang masih bertahan. Dan mereka juga akan tergilas oleh pasukan Hun," Pangeran Liu Wan Ti mengeluh sedih. Yap Kim tidak menjawab. Matanya menatap ke sekelilingnya. Dilihatnya A Liong, Souw Thian Hai, Giam Pit Seng, Put-pai-siu Hong-jin, Chin Tong Sia dan yang lain lagi. Semuanya bertempur dengan susah payah. Lawan mereka memang hebat. Pasukan dan jago yang di-bawa Mo Hou memang benar-benar pilihan.
Karena tempat itu lebih tinggi dari tempat lain,-maka Yap Kim juga dapat menyaksikan sisa-sisa pertempuran di sekitarnya. Ia masih melihat para tokoh Tiat-tung Kai-pang yang mati-matian bertahan dari kurungan pasukan Hun. Bahkan dengan ketajaman matanya ia juga dapat melihat sahabat lamanya, Kwe Tiong Li dan puteranya, berkelahi dengan gagah perkasa.
Keadaan mereka tidak kalah sulitnya dibandingkan tokoh-tokoh Tiat-tung Kai-pang. Barisan yang mengepung mereka terdiri dari empat lapis, yang secara bergantian menyerang mereka dari empat jurusan. Ketika pandangan Yap Kim bergeser ke selatan, tiba-tiba matanya terbelalak. Lebih kurang seratus tombak jauhnya dari tempat itu, dia melihat keributan kecil diantar a kerumunan pasukan Hun. Wlasan orang prajurit Hun tampak beterbangan, terlempar ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada gajah mengamuk di tengah-tengah mereka. Namun ketika kerumunan itu menyibak, bukan gajah yang muncul, tapi seorang lelaki berpakaian tukang kebun dengan topi lusuh di kepalanya. Orang itu melangkah perlahan, sambil sebentar-sebentar memasang telinganya. Wajahnya tidak dapat terlihat dengan jelas, karena rambut putih di bawa"- topi lusuh itu dibiarkan terurai lepas menutupi mukanya.
"Siapa dia...?" Tak terasa bibir Yap Kim itu bergumam.
"Ada apa, Panglima?" Pangeran Liu Wan Ti dan Tio Ciu In bertanya kaget.
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, tidak. Aku... aku hanya sedih sekali. Begitu tulus perjuangan para pendekar itu, sehingga mereka lebih rela mati daripada menyerah kepada musuh. Lihatlah! Masih banyak pendekar yang tidak mau meninggalkan benteng ini walau perang sudah usai. Mereka memilih gugur daripada pulang menanggung malu." Yap Kim menjawab hampir tidak terdengar.
(Lanjut ke Jilid 28-Tamat)
Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 28 (Tamat)
Ho Hou dan pengikut-pengikutnya memang tidak bisa ditahan lagi. Walau dia dan Liok-kui-tin belum bisa menaklukkan lawan masing-masing, tetapi Mo Goat dan yang lain sudah dapat menguasai keadaan. Bahkan Tan Sin Lun dan Tiam Pit Seng sudah terkapar di atas tanah. Kedatangan Tio Siau In untuk menolong mereka sudah tidak keburu lagi. Siang-kim-eng bersama Tiat-tou telah mengakhiri perlawanan mereka. Sabetan golok dan tusukan pedang membuat guru dan murid itu jatuh terluka parah.
"Suhu...!" Tio Siau In menjerit, namun tak bisa menolong karena pasukan Ho Bing segera mencegatnya.
Sebaliknya, pendekar Souw Thian Hai masih dapat diselamatkan oleh isterinya. Karena keduanya selalu berdampingan, maka kesulitan Souw Thian Hai segera dapat ditolong oleh Chu Bwe Hong. Bahkan pada waktu menolong tadi, pedang Chu Bwe Hong nyaris menebas leher Bayan Tanu. Namun demikian luka di paha Souw Thian Hai itu benar-benar mengganggu sepak terjangnya. Kaki yang luka itu menjadi sulit digerakkan, sehingga Souw Thian Hai menjadi lamban dan kurang bersemangat. Pendekar itu lebih banyak diam di tempatnya dan bersama Chu Bwe Hong mencoba bertahan sekuat tenaga. Yok Ting Ting yang berhadapan langsung dengan Ho Bing juga tidak mampu berbuat apa-apa. Meskipun ilmu silat gadis itu jauh lebih tinggi daripada lawannya, tapi Ho Bing mendapat dukungan pasukan khususnya. Pasukan khusus yang sudah dilatih dan dipersiapkan untuk melayani jago silat berkepandaian tinggi.
Mereka bergerak dalam kelompok atau barisan, seperti layaknya kawanan semut yang selalu bekerja bersama-sama. Melawan satu dari mereka, berarti harus menghadapi seluruhnya. A Liong sendiri masih terus berupaya menekan lawannya. Dengan habisnya perlawanan para pendekar, maka arena pertempuran itu menjadi longgar. A Liong tidak merasa takut lagi mengeluarkan ilmu pedang pelanginya. Kilatan-kilatan cahaya segera memancar dari pedang bengkoknya. Berkelebatan kesana-kemari, memburu dan mengurung anggota Lok-kui-tin. Lok-kui-tin dengan Barisan Enam Hantunya memang dapat melayani kedahsyatan sinar pelangi tersebut. Dengan cara mempersatukan tenaga dan pikiran mereka, Lok-kui-tin selalu berusaha memantulkan cahaya yang menyerang mereka. Dan sebagai balasannya, mereka ganti, menyerang dengan segala macam senjata rahasia mereka.
"Baiklah. Akan kulihat sampai di mana kalian bisa bertahan. Bagaimana kalau senjata rahasia itu habis?" A Liong mengejek. Lok-kui-tin menggeram. Mereka benar-benar menjadi gemas dan penasaran. Baru sekarang mereka menemukan lawan setangguh A Liong. Biasanya mereka tidak pernah bertempur sesulit ini. Satu atau dua orang diantara mereka, biasanya cukup untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Marilah! Menang atau hancur!" Hek-kui berseru keras. Demikianlah walau sangat sulit, A Liong mampu mengimbangi keuletan Lok-kui-tin. Bahkan pemuda itu selalu berada di atas angin. Celakanya, A Liong yang kurang pengalaman itu belum mampu menilai keadaan.
Pikirannya hanya tertumpah pada pertempurannya sendiri. Dia hanya berpikir, bagaimana mengalahkan Lok-kui-tin. Sama sekali tidak terpikir olehnya akan hasil akhir dari pertempuran itu. Sementara itu Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong masih juga bertahan terhadap kurungan Mo Goat. Sebenarnya ilmu silat mereka berdua tidak kalah hebatnya dengan ilmu silat Mo Goat. Namun karena mereka berdua tidak mampu mencari Mo Goat asli diantara enam bayangan itu, mereka segera jatuh di bawah angin. Bagaimanapun juga dahsyatnya ilmu silat mereka, tapi bayangan-bayangan itu tidak dapat diserang atau dilukai dengan pukulan atau senjata mereka. Sebaliknya seperti yang dikhawatirkan Liu Wan Ti, bayangan Mo Goat itu mulai melepaskan senjata rahasianya. Senjata rahasia yang amat berbahaya karena mengandung racun. Tapi Chin Tong Sia yang cerdik itu ternyata berpendapat lain.
"Bagus! walau lebih berbahaya, tapi aku justru dapat mengetahui aslinya! Hanya yang asli yang melepaskan senjata rahasia, karena yang lain tidak mungkin melepas senjata betulan! Nah, Nona Souw... Lindungi aku! Akan kucekik dia!" Chin Tong Sia berbisik kepada Souw Giok Hong dengan ilmu Coan-im-ji-bit, yaitu ilmu mengirim gelombang suara.
"Baik. Mari kita lakukan!" Souw Giok Hong mengangguk. Dengan mantel pusakanya Souw Giok Hong memang tidak dapat dilukai oleh senjata rahasia Mo Goat. Sebaliknya, setiap kali senjata rahasia itu meluncur dari tangan Mo Goat, maka Chin Tong Sia segera menyerang lawannya. Beberapa kali pukulan Chin Tong Sia yang amat mematikan itu nyaris mengenai tubuh Mo Goat asli, sehingga gadis itu segera menyadari kesalahannya. Ternyata maksudnya untuk segera mengakhiri pertempuran itu justru membahayakan dirinya.
"Kau benar-benar cerdik...!" Gadis itu berseru. Mo Goat menarik kembali niatnya untuk mempergunakan senjata rahasia. Dia kembali mengurung Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong dengan ilmu silat Pat-sian ih-hoatnya.
Karena tingkatan ilmu silat Mo Goat sekarang sudah lebih tinggi, maka dia sudah dapat mengubah dirinya menjadi enam sosok bayangan kembar. Dan semua itu amat merepotkan lawan-lawannya. Sementara itu arena pertempuran di dekat mereka juga berlangsung tidak kalah sengitnya. Mo Hou dengan Pat-sian ih-hoatnya melawan Put-pai-siu Hong-jin dengan Cuo-mo-ciangnya! Tapi kali ini Mo Hou benar-benar ketemu batunya. Pat-sian ih-hoat yang ia bangga-banggakan itu ternyata tidak mampu mengelabuhi mata Put-pai-siu Hong-jin. Seperti memiliki mata malaikat kakek tua jelek rupa itu dapat memilih Mo Hou asli diantara delapan sosok kem-barannya. Walau orang tua itu harus menerobos kesana-kemari menghindari lima bayangan Mo Hou palsu, namun dia terus saja memburu Mo Hou asli. Pukulan dan tendangan kakinya yang berbahaya itu hampir tidak pernah keliru memilih sasaran.
"Monyet buruk!" Mo Hou mengumpat tidak habisnya.
"Sudahlah, menyerah sajalah! kau tidak bisa mengakali aku dengan bentuk-bentuk palsumu itu. Meskipun hidungku ini bengkok dan jelek, tapi daya ciumnya tajam sekali. Aku dapat membedakan bau keringatku dan bau keringatmu. Sementara semua bentuk palsumu itu tidak berkeringat, bukan? Heh-heh-heh!"
"Kurang ajar!" Mo Hou terkejut melihat kecerdikan lawannya. Put-pai-siu Hong-jin tertawa puas. Saking senangnya mulutnya segera berdendang. Dendang yang tidak keruan lagunya.
"Bersampan di atas telaga,
Airnya bening bagai kaca.
Melihat rambut beralih rupa,
Serasa mimpi jadi bayangan."
Karena bibirnya tebal dan lebar, sementara giginya juga sudah ompong, maka suara dendang yang keluar dari mulut kakek jelek itu lebih menyerupai omelan daripada nyanyian. Namun demikian, apa yang terjadi sungguh diluar dugaan. Semakin panjang dan semakin getol kakek itu mengomel, semakin hebat pula jurus-jurus yang dia keluarkan. Benturan-benturan tenaga vang terjadi, semakin lama semakin menggoyahkan kuda-kuda Mo Hou.
"Monyet tua! Monyet gila!" Tiba-tiba gerakan Mo Hou berubah. Satu persatu kembarannya menghilang. Put-pai-siu Hong-jin tidak mau terkecoh. Setelah kini tinggal satu, Mo Hou justru bergerak lebih cepat. Demikian cepatnya sehingga tubuh pemuda itu kadang-kadang menghilang dari pandangannya.
"Heh-heh-heh! Ilmu apa lagi yang kau keluarkan?" Put-pai-siu Hong-jin terkekeh-kekeh. Sungguh mendebarkan. Mo Hou mulai menapak ke tingkat akhir dari Pat-sian ih-hoat, yaitu membuat tubuhnya menghilang. Dengan tenaga dalamnya yang tinggi, disertai dengan kemampuan sihirnya yang hebat, pemuda itu mulai mengecoh pandangan Put-pai-siu Hong-jin. Semakin cepat gerakan Mo Hou, maka semakin sering pula Put-pai-siu Hong-jin kehilangan lawannya. Ketika akhirnya pemuda itu mengerahkan segala kemampuannya, maka Put-pai-siu Hong-jin tidak dapat melihat lawannya lagi. Pemuda itu hanya kelihatan bila sedang mengambil napas.
"Ah! Bocah itu benar-benar hebat dan menakjubkan!" Yap Kim yang tidak pernah melepaskan matanya dari pertempuran itu memuji kedahsyatan ilmu silat Mo Hou. Sekarang Put-pai-siu Hong-jin kebingungan. Dengan ketajaman indera dan perasaannya, sebenarnya dia dapat melacak keberadaan Mo Hou. Tapi karena situasi di arena itu sangat riuh dan gerakan Mo Hou juga sangat cepat, maka langkahnya selalu lebih lambat dari la-wannya. Akibatnya serangan Mo Hou yang datang bertubi-tubi membuatnya kalang-kabut.
"Tikus busuk memakan cacing! Cacing kurus kepanasan" Perubahan yang sangat mendadak itu sungguh mengejutkan Pangeran Liu Wan Ti. Sungguh tidak terduga keadaan menjadi berbalik seperti itu. Tampaknya semua orang memang akan dikalahkan oleh pasukan Hun. Satu persatu tokoh Tiat-tung Kai-pang jatuh ke tanah.
Demikian pula dengan tokoh persilatan lainnya, hingga akhirnya tinggal rombongan pendekar Pulau Meng-to saja yang masih bertahan. Namun demikian mereka juga sudah kepayahan, sementara pasukan Hun terus mendesak dan memburu mereka. Akhirnya rombongan itu sampai juga di tempat Pangeran Liu Wan Ti berada. Demikianlah, akhirnya seluruh pasukan Hun mengepung tempat itu. Mereka bersorak sambil meniup terompet dan menabuh tambur perang. Suasana benar-benar ramai dan hingar bingar. Yap Kim dan Pangeran Liu Wan putus asa. Seluruh kekuatan di pihak mereka sudah kalah. Tiada lagi yang dapat mereka andalkan. Tinggal A Liong yang masih berada di atas angin. Tapi apa gunanya kemenangan A Liong itu kalau seluruh kekuatan lainnya kalah? Oleh karena itu pertempuran selanjutnya boleh dikatakan cuma menunggu waktu saja.
Menunggu saat jatuhnya para pendekar itu seorang demi seorang. Dan semuanya memang tak bisa dihindarkan lagi. Dengan dukungan pasukan khususnya, Ho Bing dan para pembantunya mulai mendesak Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Tongkat Ho Bing mulai menyentuh kulit Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Tapi sentuhan itu belum sampai membahayakan jiwa mereka. Namun ketika akhirnya tongkat itu sering menyentuh tubuh mereka, otomatis perlawanan mereka menjadi terganggu. Apalagi ketika pasukan yang mengepung mereka itu semakin kuat mendesak mereka. Tio Ciu In benar-benar sedih melihat kesulitan adiknya. Matanya berkaca-kaca. Lima tahun mereka berpisah. Kini mereka bertemu justru dalam situasi yang tidak menyenangkan. Dan celakanya dia sendiri juga terluka parah, sehingga tidak bisa menolong adiknya.
"Tak kusangka nasib kami sangat menyedihkan. Tidak ada orang tua, tidak ada kebahagiaan. Ada guru yang membesarkan kami, tapi sekarang guru juga menjadi korban keganasan perang. Aaah...!" Dalam kesedihannya tiba-tiba terlintas wajah Pendekar Buta, gurunya yang lain. Meski buta tapi memiliki kesaktian yang hebat.
"Ah, dimana guru sekarang? Apakah dia juga menjadi korban perang besar ini? mengapa dia tidak muncul-muncul? Saking teganganya bibir Tio Ciu In bergetar menyanyikan lagu kesukaan Pendekar Buta. Mulanya hanya perlahan, tapi semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya suara itu melengking tinggi penuh getaran tenaga dalam.
"Apabila di malam yang gelap gulita,
Tiba-tiba muncul bulan purnama,
Alampun tersentak dari tidurnya,
Untuk menyambut kehangatan Sang Pelita malam.
Kekasihku...!
Aku selalu mengharapkan kehadiranmu...!"
Pangeran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim kaget, bekas panglima itu memandang Tio Ciu In dengan bingung sekilas ia menyangka gadis itu menjadi gila. Namun dugaan itu segera dihapusnya. Sebaliknya Pangeran Liu Wan Ti menjadi berdebar-debar hatinya. Masih teringat di benaknya peristiwa lima tahun lalu di kota Hang-ciu. Kala itu Tio Ciu In juga bernyanyi seperti sekarang dan tiba-tiba muncul seorang pendekar sakti bermata buta menolong mereka.
"Apakah Nona Tio hendak meminta pertolongan pendekar buta itu lagi?" Ternyata nyanyian itu sampai ke telinga Kwe Tek Hun pula. Pemuda yang sedang bertempur di samping ayahnya itu mempunyai pendapat yang sama dengan Pangeran Liu Wan Ti. Ia juga teringat peristiwa mengerikan di kota Hang-ciu itu. Peristiwa yang membuat Ku Jing San kehilangan salah satu kakinya. Belum juga lagu itu habis dinyanyikan oleh Tio Ciu In, tiba-tiba terdengar suara gemuruh mendekati tempat itu. Suara itu seperti suara angin atau badai yang menerjang pepohonan.
"In-ji...! Aku datang! Bertahanlah!" Bersamaan dengan hilangnya suara gemuruh itu, seorang lelaki separuh baya telah berdiri di depan Tio Ciu In. Wajahnya sama sekali tidak kelihatan karena tertutup oleh rambut putih yang terurai lepas di mukanya.
"Auuh...!" Pada saat yang sama Chin Tong Sia justru mengeluh karena pundaknya tergores kipas Mo Goat. Souw Giok Hong terkejut.
"Saudara Chin, kau terluka...?" Walau tidak parah tapi kipas itu mengandung racun sehingga bahu Chin Tong Sia terasa linu sekali. Untung ia selalu membawa obat pemunah racun di sakunya. Walau tidak segera sembuh, tapi racunnya tidak berbahaya lagi.
Pendekar Penyebar Maut Eps 47 Memburu Iblis Eps 8 Memburu Iblis Eps 12