Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 18


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 18




   Ia pingsan untuk yang kedua kalinya. Apa sebenarnya yang menyebabkan gadis itu pingsan kembali? Ternyata Liu Yang Kun yang telah menjadi marah itu benar-benar seperti orang kemasukan setan atau iblis! Bajak laut yang sudah sekarat tapi belum juga mau mati itu, tiba-tiba ditubruknya, lalu diangkatnya, kemudian dibantingnya lagi, sehingga mengeluarkan suara berderakan seperti tulang yang berpatahan. Tidak cuma itu. Tubuh yang sudah remuk itu masih diinjaknya, kemudian diangkat lagi dan disabetkan ke sebuah pohon besar! Bruees! Dengan suara gemuruh pohon tersebut tumbang dan patah di tengah-tengahnya, sementara tubuh bajak laut itupun juga hancur lumat pula seperti cacahan daging yang berserpihan kemana-mana! Tak secuilpun bagian tubuhnya yang bisa dikenali lagi.

   "Oooouuuggh...?!?" setelah menjadi sadar kembali Liu Yang Kun mengeluh kaget, seperti orang yang tiba-tiba merasa sakit di dalam badannya. Apalagi ketika telah menyadari pula apa yang baru saja ia lakukan terhadap bajak laut itu, seketika Liu Yang Kun menjadi lemas. Sambil menjatuhkan dirinya di atas pohon yang tumbang itu ia duduk merunduk. Kedua beIah tangannya menutupi wajahnya, seolah-olah ia sangat menyesali perbuatannya. Dan dari sela-sela jari itu mengalir air mata kesedihannya.

   "Ya, Thian... kenapa tiba-tiba aku menjadi sedemikian buas dan kejamnya, sehingga aku seakan-akan telah melupakan diriku sendiri? A-apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam diriku? Ooooh... apakah karena... karena ilmu warisan Bit-bo-ong itu?" pemuda itu mengeluh dan berdesah sambil menjambaki rambutnya.

   Lalu terlintas di dalam benak Liu Yang Kun kata-kata tulisan tangan Hoa San Lojin yang tertulis di setiap halaman terakhir pada buku-buku warisan Bit-bo-ong itu. Orang Tua dari Gunung Hoa-san itu memperingatkan bahwa halaman-halaman terakhir dari buku warisan B it-bo-ong tersebut benar-benar sangat berbahaya, oleh karena itu telah dirobeknya agar tidak dibaca orang lagi. Namun dengan ketajaman pikiran dan perasaannya, ternyata Liu Yang Kun mampu mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba ia seperti orang yang kehilangan kepribadiannya sendiri dan berubah menjadi iblis yang kejam dan buas luar biasa. Kemudian Liu Yang Kun teringat pula akan kata-kata terakhir dari Paman Bungsunya, yaitu ketika menyerahkan buku-buku warisan B it-bo-ong itu kepadanya.

   "Anakku, kembalikanlah buku-buku ini kepada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai! Kalau engkau tidak bisa melakukannya, hmm... lebih baik kau musnahkan saja! Jangan sekali-kali kau miliki atau kaupelajari isinya, karena hal itu benar-benar sangat berbahaya sekali! Ilmu yang tertulis di dalam buku-buku ini tampaknya memang benar-benar diciptakan oleh seorang manusia iblis, sehingga ilmu yang dahsyat itupun seolah-olah mempunyai pengaruh buruk, kotor dan jahat terhadap orang yang mempelajarinya." Dan buku-buku itu memang dikembalikannya kepada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Tapi dalam perjalanan hidupnya, buku itu ternyata jatuh kembali kepadanya. Dan semua itu benar-benar tak disengajanya. Semuanya seperti telah diatur oleh Thian.

   "Oooh... apakah aku ini memang telah ditakdirkan untuk menjadi orang jahat...? Mengapa semua keburukan, kejelekan dan kesengsaraan seolah-olah ditumpukkan Thian di tubuhku? Dan mengapa pula selama ini aku seperti tak mampu mengelak maupun menghindarkannya?" Liu Yang Kun mengeluh dan mengutuki dirinya sendiri.

   "Tuan...?" tiba-tiba terdengar suara perlahan, namun benar-benar amat mengejutkan pemuda itu.

   "Apaaa...?" Liu Yang Kun berdesah dan bangkit dengan tergesa. Di hadapannya telah berdiri Ceng Ceng, gadis yang telah ditolongnya itu. Kini gadis itu telah menutupi kembali badannya dengan pakaiannya yang terlepas tadi, meskipun sudah sobek-sobek. Gadis itu menundukkan kepalanya kembali. Kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya tiba-tiba tertelan lagi. Sebaliknya dengan sibuk tangannya merapihkan pakaiannya yang sudah bolong dan sobek itu. Wajahnya berubah menjadi merah kemalu-maluan. Karena gadis itu menundukkan wajahnya, maka Liu Yang Kun menjadi lebih berani. Namun demikian melihat sikap Ceng Ceng yang gemetar dan kemalu-ma luan itu hatinya menjadi berdebar debar pula. Otomatis pemuda itu teringat lagi akan sikap Ceng Ceng di rumah Kam Lojin tadi siang.

   "Ah... jangan-jangan dia telah jatuh hati kepadaku. Hmm... bisa repot aku nanti," keluhnya di dalam hati. Tapi Liu Yang Kun segera menghapuskan bayangan itu. Ia harus cepat-cepat bertindak sebelum terlanjur. Oleh karena itu dengan menguatkan hatinya ia menyapa lebih dahulu.

   "Nona Ceng Ceng...? Kau sudah siuman kembali? Hmm, kalau... kalau begitu marilah kau kuantar pulang ke rumah kakekmu lagi!" ucapnya singkat agar ia tak menjadi gemetar pula menghadapi gadis manis itu. Namun gadis itu cepat mengangkat wajahnya. Matanya yang bening itu menatap Liu Yang Kun dengan tajamnya. Ada sesuatu yang aneh di dalam sinar mata itu. Sesuatu yang membikin Liu Yang Kun menjadi berdebar-debar, panas dingin dan serba salah. Apalagi ketika bibir yang tipis itu tampak terbuka dan bergetar seakan-akan hendak memohon sesuatu kepadanya, Liu Yang Kun semakin bingung dan salah tingkah.

   "Saya... saya tak mau kembali!" mendadak bibir itu menjawab. Jawaban yang benar-benar sangat mengejutkan Liu Yang Kun.

   "A-apa...? Nona... nona tak mau kembali? Mengapa?" pemuda itu berseru saking herannya. Lenyaplah semua kerisauan dan kebingungannya tadi. Matanya melotot ke arah Ceng Ceng. Tiba-tiba gadis itu menjadi murung dan ketakutan. Wajahnya tertunduk kembali. Tapi mulutnya terkatup rapat tak menjawab.

   "Me-mengapa nona tak mau kembaIi?" Liu Yang Kun berseru pula. Mendadak gadis itu menutupi wajahnya dan menangis terisak-isak.

   "A-apaa guna... gunanya saya kembali! Hkk...! Saya telah dilarikan oleh penjahat selama setengah hari. Apa kata orang kampungku nanti? Apakah mereka masih bisa menerimaku kembali? Bagaimana tanggapan tunanganku nanti? Hk...hkk! Oh, semuanya tentu akan mencemoohkan aku. Apalagi kalau mereka melihat pakaianku ini..." Liu Yang Kun menghela napas. Diam-diam dia membenarkan juga ucapan gadis itu. Orang desa memang masih terlalu kolot dan menjunjung tinggi kesucian dan martabat mereka.

   "Ah... bukankah kita bisa memberi keterangan kepada mereka? Dan tentang pakaian itu, hmm...nona bisa mencari ganti sebelum menemui mereka nanti." pemuda itu mencoba memberi saran.

   "Tidak bisa! Kampungku masih sangat kuat menjaga martabat dan adat istiadat! Mungkin mereka masih merasa kasihan dan memaafkan aku, tapi di dalam hati mereka tetap akan memandang rendah kepadaku... hkk...kk!"

   "Huh, gila! Sungguh gila kalau mereka masih berpandangan seperti itu." Liu Yang Kun tiba-tiba berseru marah. Ceng Ceng menangis semakin keras. Selain menangisi nasibnya sendiri gadis itu juga menjadi ketakutan me lihat kemarahan Liu Yang Kun. Walaupun sangat kagum dan tertarik kepada pemuda itu, tapi gadis itu juga tak lupa pada kebuasan dan keganasan Liu Yang Kun ketika membunuh penculiknya tadi. Tiba-tiba Ceng Ceng bangkit berdiri. Sambil membetulkan pakaian dan mengusap air matanya gadis itu memohon diri.

   "Maaf, Tuan... Biarlah aku pergi saja agar tidak menyusahkanmu. terima kasih atas pertolonganmu..." katanya serak, lalu memberi hormat dan melangkah pergi.

   "Hei! Heii...! Nona hendak pergi kemana?" Liu Yang Kun berteriak kaget.

   "En-entahlah...! A-aku hanya i-ngin pergi... Entah kemana... Pokoknya... jauh dari tuan..." gadis itu menjawab di antara isaknya, dan sama sekali tak menoleh ataupun berhenti melangkah. Liu Yang Kun lah yang kini menjadi bingung dan serba salah. Mau menyusul ia takut urusan di antara mereka akan semakin bertambah runyam tapi kalau tidak menyusul ia mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Bagaimana gadis itu akan mencari jalannya di dalam kegelapan malam di hutan yang lebat ini?

   "Nona...?" Liu Yang Kun berdesah memanggil, tapi keraguan dan keenggannya memaksanya tak bergerak dari tempatnya.

   "Aaaaiiiiih...!" Mendadak terdengar suara jeritan Ceng Ceng. Gadis itu terperosok ke dalam jurang. Liu Yang Kun melesat bagai terbang cepatnya. Begitu melihat Ceng Ceng terguling-guling di lereng jurang, pemuda itu lalu terjun memburunya. Kemudian bagaikan elang menyambar ia menangkap gadis itu. Dan keduanya segera tersangkut di atas pohon besar yang tumbuh di lereng tersebut.
(Lanjut ke Jilid 18)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 18
Sambil menarik napas lega Liu Yang Kun lalu me letakkan gadis itu di tanah yang agak datar.

   "Ah... dia pingsan lagi!" gumamnya perlahan. Lalu dicobanya untuk menyadarkannya. Namun sekali lagi hatinya terkesiap melihat keadaan pakaian Ceng Ceng yang tidak karuan macamnya itu. Karena terguling dan tersangkut beberapa kali di bebatuan dan semak-semak, maka pakaian itu hampir-hampir tak berbentuk lagi. Dan biar pun kulit gadis itu banyak yang lecet dan berdarah, namun benar-benar tidak mengurangi daya tariknya. Bahkan bagi Liu Yang Kun hal itu semakin kelihatan merangsang malah.

   "Gila! Kalau terus menerus berdekatan dengan gadis ini, aku benar-benar bisa gila nanti! Huh...! Dan.. pikiranku tampaknya juga semakin kotor dan jahat pula. Selain merasa kasihan aku juga merasa tertarik dan terangsang melihat darah pada kulit wanita... Ah!"

   Liu Yang Kun lalu mengurungkan maksudnya untuk mengobati dan menyadarkan Ceng Ceng. Sebaliknya pemuda itu lalu duduk bersemadi, mengumpulkan seluruh kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh buruk itu. Pengaruh buruk yang sejak lama telah bercokol di dalam dirinya, dan kini tampaknya semakin parah dan menjadi-jadi setelah ia mempelajari ilmu warisan Bit-bo-ong yang dirahasiakan itu. Sambil mengerahkan seluruh kekuatan batinnya, pemuda itu berdoa semoga ia bisa tetap menguasai dirinya, sehingga kekuatan buruk itu tidak dapat mengalahkannya. Pemuda itu juga berharap agar penyakit aneh yang sangat berbahaya bagi gadis-gadis korbannya itu tidak muncul pada saat itu.

   "Aku tak ingin si Iblis Penyebar Maut itu muncul lagi di tempat ini..." gumamnya dengan perasaan prihatin.

   "Dengan tubuhku yang sangat beracun ini ia akan segera mati bila aku sampai.." Demikianlah malam merangkak semakin larut dan angin dingin pun bertiup pula semakin kencang.

   Karena berada di lereng jurang yang cukup dalam dan juga sedang asyik melawan pengaruh kekuatan buruk yang mau mencengkeram dirinya, maka Liu Yang Kun sama sekali tidak mengetahui atau melihat bahwa Kam Lojin dan beberapa orang penduduk Kee-cung telah lewat di atas jurang itu dalam usaha mereka melacak kembali kehilangan Ceng Ceng. Dengan obor di tangan mereka mencari-cari kalau-kalau Ceng Ceng ditinggalkan oleh penculiknya di hutan itu. Mereka juga menemukan bekas api yang tadi dibuat oleh Liu Yang Kun. Tapi mereka justru menyangka bahwa tempat tersebut telah dipergunakan oleh penjahat itu untuk mencelakai Ceng Ceng. Apalagi ketika mereka menemukan bekas-bekas sobekan pakaian Ceng Ceng, mereka semakin yakin kalau gadis itu benar-benar telah disiksa oleh penculiknya.

   Namun karena mereka tidak menemukan siapapun di tempat tersebut, maka mereka menduga bahwa Ceng Ceng masih dibawa pergi oleh penjahat itu. Oleh karena itu mereka lalu meneruskan pencarian mereka di kota An-lei. Sungguh sayang, tak seorangpun antara penduduk dusun Kee-cung yang mencoba melongok ke jurang. Andai kata mereka itu mau melongok, dan bisa melihat apa yang terjadi di lereng jurang tersebut, maka kemungkinan besar nasib Ceng Ceng benar-benar dapat mereka selamatkan, atau setidak-tidaknya mereka bisa menolong Liu Yang Kun dalam menghadapi 'penyakit anehnya'. Namun sungguh sayang bahwa tak seorangpun yang melakukannya, sehingga tak seorang pun pula yang dapat mencegah pengaruh iblis yang pada saat ia sedang menggempur sisa-sisa pertahanan Liu Yang Kun.

   Entah karena suasana lereng jurang yang sunyi dan romantis itu yang menyebabkannya, atau karena suasana malam yang gelap dan dingin itu yang menyebabkannya, tapi yang jelas sedikit demi sedikit pertahanan terakhir Liu Yang Kun telah bobol. Usaha pemuda itu untuk melawan dan mencegah amukan iblis yang bercokol di dalam tubuhnya tak berhasil. Sejalan dengan tumbuhnya kekuatan iblis yang semakin mencengkeram batinnya, maka terlepas pulalah kesadarannya. Mata yang perlahan-lahan menjadi beringas itu tiba-tiba menoleh ke arah Ceng Ceng. Dan secara kebetulan pula hembusan angin yang agak kencang menyingkapkan pakaian Ceng Ceng yang nyaris hancur itu. Wajah itu mendadak menjadi merah bagai terbakar api, sementara mata yang melotot itu seakan-akan juga mengeluarkan api pula.

   Dan sekejap saja kesan sebagai seorang pemuda baik-baik telah lenyap dari wajah Liu Yang Kun. Pemuda itu kini tampak kejam, buas dan mengerikan! Wajahnya persis ketika membunuh bajak laut tadi. Begitulah, ketika Ceng Ceng siuman dari pingsannya, dan mendapati dirinya dalam pelukan pemuda yang dicintainya, hampir-hampir ia tak percaya. Tapi ketika kenyataan tersebut memang benar-benar ia alami, maka ia menjadi gembira bukan main. Dia lalu membalas pelukan itu dengan tidak kalah hangatnya. Hatinya sungguh menjadi berbahagia sekali sehingga ia membiarkan saja semua perlakuan Liu Yang Kun terhadapnya. Bahkan ia melayaninya dengan penuh gairah pula. Sama sekali ia telah lupa atau tidak merasakan bahwa badannya penuh luka-luka goresan akibat terjerumusnya dia ke dalam jurang tadi.

   Yang ada di dalam hati sekarang cuma rasa bahagia. Bahagia yang tiada taranya. Demikianlah, malam itu iblis benar-benar berpesta-pora di lereng jurang itu. Apalagi dengan keadaan Liu Yang Kun yang telah berhari-hari berpisah dengan isterinya itu, maka pesta pora tersebut benar-benar menjadi sangat ganas dan hebat luar biasa. Demikian dahsyatnya pengaruh iblis itu berkecamuk di dalam dada mereka masing-masing, sehingga pesta itu baru selesai menjelang pagi. Keduanya tergolek di tanah dan kemudian tertidur karena kelelahan. Begitu nyenyak tidur Liu Yang Kun sehingga ia baru terbangun kembali ketika matahari telah menyorot mukanya. Begitu membuka mata pemuda itu cepat melompat bangun. Dengan wajah cemas karena sadar apa yang telah ia lakukan terhadap Ceng Ceng, ia mengawasi gadis yang masih tergolek disampingnya itu.

   "Oooh... iblis... iblis itu telah menang lagi! Aku,.. aku telah memperkosa gadis ini. Oughh dia... dia tentu telah mati keracunan pula! Ah...tampaknya... tampaknya Si Iblis Penyebar Maut itu sudah mulai akan timbul dan meraja-lela di dunia kang-ouw lagi setelah... setelah terpendam selama setahun lebih... ooh! Dan... dan gadis ini adalah korbanku yang pertama! Oooh, Thian... ambil sajalah nyawaku, agar tidak semakin rusak dunia ini oleh ulahku!" pemuda itu merintih, kemudian menjatuhkan diri menelungkup di samping Ceng Ceng. Air matanya deras mengalir membasahi tanah di bawahnya.

   "Tuan...?" Liu Yang Kun tersentak kaget bukan alang-kepalang! Begitu kagetnya pemuda itu sehingga tubuhnya meloncat bangun tanpa terasa. Sambil sebentar-sebentar mengusap-usap matanya, pemuda itu menatap wajah Ceng Ceng seolah tak percaya.

   "Nona...? Kau... k-kau tidak m-mati keracunan?" desahnya gagap seperti orang bingung. Tentu saja Liu Yang Kun menjadi kaget dan bingung. Baru sekali ini, selain Tui Lan, ada wanita yang tidak mati oleh daya racun di tubuhnya. Apakah Ceng Ceng juga memiliki darah bening atau mustika penangkal racun seperti halnya isterinya itu? Sebaliknya, Ceng Ceng sendiri juga menjadi kaget pula melihat sikap Liu Yang Kun yang tiba-tiba seperti orang keheranan itu. Apalagi ketika pemuda itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya.

   "Keracunan...? Mengapa aku harus mati keracunan? Apakah..., apakah tempat ini mengandung racun? Ohh, Tuan... Mengapakah engkau ini? Apakah engkau sakit? Eh... eh, malam tadi kau tampak bersemangat sekali. Lalu bangun tidur tadi kau menangis sedih dan kelihatan amat menderita serta tersiksa batinmu. Kini me lihat aku bangun tidur kau tampak kaget sekali. Dan... kau pun tiba-tiba berbicara hal-hal yang aneh pula. Ehmm, tuan... mengapa kau ini sebenarnya?" Sekejap Liu Yang Kun menjadi gugup juga menerima pertanyaan itu. Tak mungkin kiranya ia menjawabnya. Sebab hal itu berarti ia harus menceritakan keadaan dirinya. Rahasia hidupnya. Rahasia Si Iblis Penyebar Maut yang mengerikan dan menggemparkan itu.

   Padahal ia tak ingin orang lain tahu tentang hal itu. la ingin melawannya sendiri. Menundukkannya sendiri. Atau kalau bisa, melenyapkan sendiri Si Iblis Penyebar Maut itu dari dalam dirinya. Sampai sekarang ia memang belum mampu mengalahkan iblis itu. Tapi ia yakin tentu bisa, sebab ia telah merasakan tanda-tandanya. Dahulu, apabila 'penyakit' itu datang, ia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Tapi sekarang, bila 'penyakit" tersebut menyerang dirinya, ia sudah mampu berontak dan melawan untuk beberapa waktu lamanya. Bahkan kadang-kadang ia merasa seperti akan berhasil mengatasinya, lagi sekarang sudah ada dua wanita yang tidak mati oleh racunnya, yaitu Tui Lan dan Ceng Ceng. Apapun yang menyebabkan kedua wanita itu menjadi kebal terhadap racunnya, tapi hal itulah membuatnya berbesar hati. Harapannya untuk sembuh semakin bertambah besar pula.

   "Tuan...?" Ceng Ceng berdesah dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu lalu menyentuh lengan Liu Yang Kun. Wajahnya yang pucat menampakkan perasaan khawatir yang sangat.

   Khawatir akan keadaan Liu Yang Kun yang ia rasakan sangat aneh itu. Dan otomatis ia juga mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri. Jangan-jangan sikap pemuda itu disebabkan oleh peristiwa semalam. Jangan-jangan pemuda yang sangat menarik hatinya itu menyesal akan kejadian tersebut. Tiba-tiba Ceng Ceng menangis. Gadis yang sudah terlanjur menyukai Liu Yang Kun itu mendadak menyesali diri sendiri. Menyesali nasibnya. Kenapa ia tidak bertemu dengan pemuda tampan ini jauh-jauh sebelumnya? Kenapa ia telah bertunangan dengan Cong Tai, pemuda desa berkulit hitam itu? Dan kenapa dulu ia juga bisa tertarik dan tergila-gila kepada pemuda desa yang buruk rupa itu? Dan yang tidak bisa dimengertinya pula, kenapa sebelum bertunangan ia juga rela menyerahkan kehormatannya kepada pemuda desa berkulit hitam itu?

   "Oooh...!" gadis itu terisak-isak menyesali nasibnya.

   "Apakah..., apakah dia menyesal karena aku sudah tidak suci lagi?" Tangis Ceng Ceng itu segera menyadarkan Liu Yang Kun dari lamunannya. Seperti halnya Ceng Ceng, pemuda ini pun menjadi salah tafsir pula me lihat tangis tersebut. Pemuda itu menyangka kalau Ceng Ceng menangis karena peristiwa memalukan semalam.

   "Maafkanlah aku, nona...! Aku tidak bermaksud mendiamkanmu. Dan aku juga tidak bermaksud membuatmu bingung dengan ulah tingkahku tadi. A-aku...tadi memang menangis, karena kukira engkau... engkau telah mati. Mati keracunan. Habis, tanpa sebab apa-apa engkau tidak mau bangun-bangun. Apalagi kalau tidak karena racun? Siapa tahu disini ada racun? Lihatlah, tempat ini sangat menyeramkan...!" pemuda itu mencoba memberi keterangan tentang sikapnya tadi. Keterangan yang amat singkat, sekedar untuk memuaskan hati Ceng Ceng.

   "Lalu...lalu kenapa setelah melihatku segar bugar engkau masih saja termenung dan kelihatan sedih? Apakah... apakah...?"

   "Maafkanlah aku, nona Ceng Ceng. Aku sungguh sangat berdosa kepadamu. Perbuatanku semalam benar-benar terkutuk dan sangat keterlaluan. Tidak seharusnya aku berbuat demikian kepadamu. Engkau telah bertunangan dan aku sendiri juga..." Ceng Ceng cepat menutup bibir Liu Yang Kun dengan telapak tangannya. Sambil tersenyum manis gadis itu bernapas lega, karena pemuda itu bukan menyesali keadaannya yang sudah tidak suci lagi itu.

   "Sudahlah, tuan...! Kau tak perlu menyesalkan peristiwa itu karena akupun... tak menyalahkan perbuatanmu pula. Kita sama-sama menikmatinya. Yang penting bagi kita sekarang adalah bagaimana menyelesaikan urusan kita ini sebaik-baiknya." katanya renyah, tapi wajahnya segera tertunduk dengan maIu-malu. Tapi ucapan gadis itu benar-benar menyibukkan hati Liu Yang Kun.

   "Menyelesaikan urusan kita dengan sebaik-baiknya? Apa maksud nona?" sergahnya dengan suara gemetar. Wajah yang manis itu tiba-tiba menjadi muram. Dengan sorot mata cemas gadis itu menatap Liu Yang Kun. Mulutnya sudah siap untuk menangis kembali.

   "Mengapa... eh, mengapa Tuan masih bertanya pula? Tentu saja... tentu saja tentang urusan kita setelah kejadian malam tadi. Ooooh... apakah... apakah tuan tidak bersungguh-sungguh denganku?" Liu Yang Kun terhenyak. Itu yang ditakutkan. Gadis itu meminta tanggung-jawabnya sebagai akibat pergaulan mereka tadi malam. Padahal sama sekali tidak mencintai gadis itu. Apalagi ia sudah beristeri. Meski pun sekarang ia tidak tahu, apakah Tui Lan itu masih hidup atau sudah mati.

   "Bukankah... bukankah nona sudah mempunyai tunangan?" Liu Yang Kun mencoba menolaknya dengan hati-hati.

   "Ah! Aku dengan Cong Tai belum resmi bertunangan. Kami berdua baru dijodohkan oleh orang tua kami masing-masing," Ceng Ceng menukas dengan cepat.

   "Ya...ya, meskipun demikian nona tidak boleh meninggalkannya begitu saja. Kalian berdua sudah lama saling mengenal. Orang tua pun juga sudah saling setuju. Begitu pula dengan orang-orang kampung. Mereka telah merestui dan mengetahui jalinan kasih sayang kalian berdua. Apalagi yang harus dipikirkan...? Mengapa hubungan yang sudah sedemikian baiknya itu harus diputuskan atau diurungkan oleh orang asing yang baru beberapa jam lewat dikenal nona? Bukankah nona belum tahu, orang macam apakah aku ini? Jangankan hal-hal yang lain, sedangkan namaku pun nona juga belum tahu, bukan? Bagaimana kalau aku ini juga seorang penjahat seperti halnya orang yang menculik kemarin?" sekali lagi Liu Yang Kun mencoba berdalih.

   Seketika Ceng Ceng tak bisa menjawab. Apa yang diucapkan oleh Liu Yang Kun itu memang benar sekali. Jangankan yang lain, nama pemuda itu pun ia tidak tahu. Tapi entah mengapa, hatinya sudah terlanjur bertekuk lutut pada pandangan pertama terhadap pemuda itu. Dan sejak semula ia memang telah memikirkan akibatnya. Itulah sebabnya ia membiarkan pemuda itu menggagahinya semalam.

   "Tapi... tapi... bukankah aku belum resmi menikah dengan tunanganku. Aku... aku masih bebas. Aku masih dapat memutuskan ikatan pertunangan itu," Ceng Ceng membantah namun suaranya sudah mulai tersendat-sendat karena hatinya juga sudah mulai ragu pula akan niat baik Liu Yang Kun. Liu Yang Kun sendiri terpaksa menarik napas panjang menghadapi kekerasan hati gadis itu.

   Sesungguhnyalah, dalam hati pemuda itu merasa sangat berdosa dan bersalah kepada Ceng Ceng. Keputusan yang terbaik dalam peristiwa ini memang hanya mengawini gadis itu. Ia pun menyadari hal itu. Tapi bagaimana ia bisa mengawini gadis yang tidak dicintainya? Gadis yang baru dikenalnya dari satu hari itu? Masakan hanya karena 'kecelakaan" yang memang benar-benar tak bisa ia hindari itu ia harus mengorbankan seluruh kehidupannya di kemudian hari? Akan tetapi bagaimana ia harus menerangkan hal itu kepada Ceng Ceng? Namun belum juga mulutnya terbuka untuk memberi jawaban, gadis itu sudah lebih dahulu menangis. Ternyata melihat keraguan Liu Yang Kun, gadis itu semakin bertambah yakin akan maksud dan kehendak pemuda yang dicintainya itu. Tampaknya Liu Yang Kun merasa berat untuk mengawininya.

   "Uh-huuu... uh-huuu..." Ceng Ceng terisak-isak semakin keras. Tentu saja Liu Yang Kun menjadi kelabakan malah. Maksudnya untuk memberi keterangan secara halus dan hati-hati menjadi gagal. Dalam keadaan demikian gadis itu takkan bisa menangkap dan mencerna semua pertimbangannya. Dan Jalan yang terbaik hanyalah berterus terang. Oleh karena itu dengan hati berat Liu Yang Kun terpaksa menempuh jalan yang sedikit menyakitkan itu. Ia mengutarakan semua isi hatinya kepada Ceng Ceng.

   "Nona. Terus terang aku mengaku bersalah dan berdosa besar kepadamu. Dan untuk semua itu aku bersedia menerima hukumanmu. Kau boleh melakukan apa saja kepadaku.Bahkan aku bersedia menyerahkan nyawaku bila kau ingin membunuhku. Tapi... kalau disuruh mengawinimu, ehm... maaf, aku tidak bersedia. Selain aku tidak mencintaimu,aku... akupun juga telah beristeri pula. Dan...dan isteriku itu malah sedang hamil tua sekarang."

   "Ooough-hhuuu... huu!" Ceng Ceng tersentak kaget dan menangis semakin keras.

   "Maaf, nona Ceng Ceng... Selain aku juga tak ingin melukai tunanganmu, kakekmu dan orang-orang Kee-cung semua. Aku bukanlah pemuda baik baik seperti yang kau kira..."

   "Tapi... tapi mengapa tuan memperkosa aku tadi malam? Uh-huu..."

   "Itulah kesalahanku! Aku tak tahan melihat keadaan nona. Nah! Terserah kepada nona! Aku siap menerima hukuman apa saja darimu...

   "

   Liu Yang Kun menundukkan kepalanya. Tak sampai hatinya melihat kesedihan Ceng Ceng. Tapi apa boleh buat, ia juga tak ingin melawan hati nuraninya sendiri. Dan untuk itu ia sanggup menerima hukumannya. Ia takkan melawan seandainya gadis itu ingin membunuh atau mencabutnyawanya. Demikianlah, Liu Yang Kun lalu berdiri di atas lututnya di depan Ceng Ceng. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, seperti seorang pesakitan yang sedang menantikan hukumannya. Namun sudah sedemikian lama ia menanti, hukuman tersebut ternyata tidak kunjung tiba juga. Gadis itu masih saja berdiam diri di tempatnya. Hanya isaknya saja yang semakin lama semakin jarang terdengar. Meskipun demikian Liu Yang Kun tetap menepati janjinya.Sama sekali ia tak beranjak dari tempatnya. Pemuda ini benar-benar rela menebus dosanya, walaupun ia harus mati karenanya.

   "Tidaaak! Tidak! Aku tidak mau menghukummu...!" tiba-tiba Ceng Ceng bangkit dan berteriak, kemudian merambat naik ke atas jurang dengan tergesa-gesa.

   "Nonaaa...?" Liu Yang Kun tersentak kaget, tapi sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Entah mengapa ia seperti terbengong dan tak kuasa menggerakkan kakinya untuk mengejar. Baru setelah gadis itu mencapai di atas bibir jurang, Liu Yang Kun bangkit untuk mengejarnya. Sekali mengerahkan Bu-eng Hwe-tengnya, tubuhnya segera melesat ke atas bagai burung terbang dari sarangnya. Sekejap saja dia telah berada di samping Ceng Ceng. Namun bersamaan dengan waktu itu pula, dari arah utara terdengar langkah dan percakapan orang ke tempat itu.

   Ceng Ceng dan Liu Yang Kun sama-sama kagetnya. Sehingga untuk sesaat keduanya juga sama-sama melupakan urusan mereka. Seketika Ceng Ceng menghentikan tangisnya, sedangkan Liu Yang Kun juga menunda niatnya untuk membujuk gadis itu. Glodag... glodag... glodak! Terdengar pula suara pedati di antara percakapan orang itu. Dan tidak lama kemudian muncullah sebuah pedati kecil disurung orang, dimana di dalamnya tergolek seorang lelaki berkulit hitam, yang kelihatannya sedang menderita luka-luka. Di belakang pedati itu mengiringkan belasan orang lelaki pula, yang beberapa orang di antaranya juga dibalut dengan kain akibat luka-lukanya, hanya beberapa orang saja yang tampak sehat tak kurang suatu apa. Dan di antara mereka itu adalah seorang kakek tua berpakaian sederhana, namun kelihatan gesit dan tangkas sekali.

   "Kam Lojin...?" tak terasa bibir Liu Yang Kun memanggil nama orang tua tersebut.

   "Pangeran... eh, anu... Liu Siau-heng? Kaukah itu? Heii..? Ceng Ceng...? Kau juga?" kakek tua itu tersentak kaget apalagi ketika melihat Ceng Ceng yang nyaris telanjang itu. Dengan cepat kakek itu membuka jubahnya dan menyelimutkannya di badan Ceng Ceng.

   "Hei, Ceng Ceng? Wah, kau selamat?" yang lain ikut menyapa.

   "Ceng Ceng! Kami semua ini mencarimu! Lihat, Cong Tai terluka!" Orang-orang itu segera mengelilingi Ceng Ceng. Mereka kelihatan gembira bukan main. Tapi sebaliknya Ceng Ceng sendiri masih tampak bengong dan gugup. Gadis itu sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan. Liu Yang Kun lah yang kemudian maju untuk memberi keterangan.

   "Cuwi...! Secara kebetulan aku berjumpa dengan bajak laut yang menculik nona Ceng Ceng. Dan sungguh beruntung pula aku bisa membunuh penjahat itu dan membebaskan nona Ceng Ceng." Belasan orang penduduk Kee-cung itu mengangguk-angguk kepala mereka. Mereka yang semula kurang senang kepada Liu Yang Kun itu tampak sangat bersyukur dan berterima kasih kepada pemuda itu. Kecuali Kam Lojin. Meskipun orang tua itu juga ikut bergembira dengan keadaan Ceng Ceng itu, namun beberapa kali matanya menatap wajah Liu Yang Kun dengan curiga. Tampaknya orang tua yang arif itu mencium sesuatu hal tidak beres atau kurang wajar antara Ceng Ceng dan Liu Yang Kun. Tapi karena orang tua itu tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, maka ia pun tetap berdiam diri pula. Apalagi Ceng Ceng sendiri juga tak berkata apa-apa.

   "Terima kasih, Siau-heng. Kami sungguh bergembira sekali kau dapat menyelamatkan Ceng Ceng. Lihatlah, kepergian kami sampai di sini inipun juga mau mencari Ceng Ceng," akhirnya orang tua itu menjawab perkataan Liu Yang Kun.

   "Benar, tuan. Bahkan kami sudah sampai di kota An-lei tadi malam. Di sana kami malah berjumpa lagi dengan kawanan penjahat... eh, bajak laut yang menculik Ceng Ceng itu. Kemudian karena tidak dapat menguasai hatinya, Cong Tai berkelahi dengan mereka. Cong Tai kalah, sehingga kami terpaksa membantunya. Dan selanjutnya dapat tuan lihat sendiri, banyak di antara kami yang terluka, terutama Cong Tai. Itu pun karena jasa Kam Lojin. Coba tidak ada dia, kami semua yang tidak bisa silat ini tentu akan dibantai habis oleh penjahat itu." Kepala Desa Kee-cung yang juga ikut dalam rombongan itu menambahkan.

   "Ah... aku pun hampir dibunuh pula oleh mereka." Kam Lojin merendah! Tentu saja Liu Yang Kun tersenyum mendengar ucapan orang tua itu. Masakan Kam Song Ki, guru dari Keh-sim Siau hiap itu, hampir dibunuh oleh bajak laut rendahan semacam anak buah Tung-hai-tiauw itu? Jangankan hanya belasan orang bajak laut itu yang datang, meski Tung-hai-tiauw sendiri yang memimpin seluruh anak buahnya, belum tentu mereka bisa menangkap orang tua itu, apalagi membunuhnya. Sementara itu seperti orang bingung Ceng Ceng yang menjadi pusat perhatian mereka justru hanya diam saja di tempatnya. Seperti orang yang telah kehilangan akal gadis itu hanya terlongong-longong diam seperti patung. Matanya menatap pedati yang berisi tubuh tunangannya itu. Gadis itu baru sadar ketika kakeknya menepuk pundaknya.

   "Ceng Ceng! Lihatlah Cong Tai itu! Dia terluka parah karena mencarimu. Kenapa kau diam saja?"

   "A-a-apa...?" Ceng Ceng tiba-tiba berseru. Matanya terbelalak.

   "Cong Tai terluka parah karena ingin menyelamatkanku?" sambungnya. Dan secara tiba-tiba pula gadis itu merasa sangat bodoh dan berdosa sekali. Kenapa ia yang selama ini telah menyanding intan permata, masih juga mencari-cari intan permata itu di tempat lain?

   "Cong Taiii...!?" Ceng Ceng memekik, lalu berlari ke pedati. Dipeluknya kepala tunangannya itu dengan deraian air matanya. Wajah yang pucat pasi itu membuka matanya. Dan mata itu segera bersinar lega begitu me lihat siapa yang sedang memeluk dirinya.

   "Ceng Ceng...? K-kau... kau tidak apa-apa? Oh, syukurlah..." pemuda berkulit hitam itu berbisik sambil menyeringai kesakitan.

   "Ouuuh, Cong Taiiiiiii...Maafkanlah aku!" Ceng Ceng menjerit lalu menangis seperti anak kecil di dada tunangannya. Semuanya menghela napas terharu. Demikian pula dengan Liu Yang Kun. Selain merasa lega, pemuda itu juga merasa semakin berdosa pula terhadap sepasang merpati itu. Hatinya menjadi malu. Oleh karena itu diam-diam ia me langkah pergi meninggalkan tempat tersebut.

   Demikianlah, Liu Yang Kun lalu meneruskan perjalanannya ke kota An lei. Dan dia tetap mengambil jalan di sepanjang sungai itu. Selain pemandangannya indah, di sepanjang sungai itu juga banyak perkampungan penduduk, sehingga sewaktu-waktu ia lapar atau ingin beristirahat, dengan mudah ia mendapatkannya. Menjelang lohor pemuda itu sampai di sebuah desa yang agak besar. Mungkin lebih besar dari pada Kee-cung. Dan seperti halnya di desa Kee-cung, rumah-rumah penduduk di desa itu pun menggerombol pula di tepian sungai. Tapi berbeda dengan penduduk desa Kee-cung yang rata-rata bertani, penduduk desa itu banyak yang lebih menyukai sebagai nelayan. Maka tak mengherankan kalau di pinggir sungainya banyak terdapat perahu kecil atau sampan untuk mencari ikan.

   "Ah, andaikata aku bisa menyewa atau menumpang perahu itu ke An-lei.." pemuda itu bergumam dengan hati kecewa, sebab ia tahu bahwa ia tak mungkin bisa melaksanakannya.

   Selain di kantongnya tidak ada uang, perahu-perahu kecil itu tidak akan pernah dibawa oleh pemiliknya sampai di An-lei. Kota itu sangat jauh, dan di beberapa tempat terdapat pusaran-pusaran air yang sangat berbahaya. Begitulah, sambil menarik napas panjang Liu Yang Kun melangkahkan kakinya memasuki dusun itu. Dan jalan yang membujur di sepanjang sungai itu kelihatan ramai sekali. Beberapa orang nelayan yang baru saja menambatkan perahunya tampak berlalu-lalang di jalan itu. Sementara wanita dan anak-anak juga kelihatan sibuk pula di antara mereka. Ada yang membawa hasil tangkapan ikan suami atau ayah mereka. Ada pula yang menjinjing bakul makanan untuk makan siang suami atau ayah mereka itu. Dan ada pula yang hanya berhilir-mudik menawar ikan atau membawa barang dagangan mereka.

   "Mayat...! Mayaaaaaatt...! Ada mayat terapung di sungaiiiiii...!" tiba-tiba seorang nelayan yang baru saja datang dari sungai berteriak sambil berlari-lari. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal. Seketika tempat itu menjadi gempar luar biasa. Semua orang, lelaki maupun wanita, segera berlarian ke tepi sungai.

   "Mayat...? Mayat siapa?"

   "Wanita atau lelaki?" Mereka berlari sambil bertanya-tanya, tapi tak seorangpun yang menjawab, karena yang lain juga tidak tahu pula.Mereka segera berdiri berdesakan di tepi sungai itu. Empat orang nelayan cepat melepaskan sebuah sampan ke dalam air, lalu mendayungnya ke tengah sungai. Mereka bergegas menuju ke arah mayat yang terapung di tengah-tengah aliran sungai itu. Namun karena sungai tersebut amat lebar, mungkin lebih dari lima puluh atau enam puluh tombak lebarnya maka mereka berempat terpaksa mendayung sampan itu untuk beberapa waktu lamanya. Dan dengan perasaan tegang para penonton yang berada di tepi sungai itu juga ikut berdebar-debar pula menantikannya.

   "Ah, ternyata kedatanganku di dusun ini pun telah disambut pula oleh sesosok mayat yang terapung di atas sungai. Persis seperti di desa Kee-cung kemarin. Hmm...jangan-jangan di sini pun aku akan memperoleh kesulitan pula seperti kemarin." Liu Yang Kun mengeluh. Meskipun demikian pemuda itu tetap mendekat dan ikut berdesakan pula di antara mereka. Mula-mula orang yang ada di dekatnya memang tidak bereaksi atas kedatangannya. Seluruh perhatian mereka hanya tertuju ke arah kawan mereka yang sedang mendayung perahu di tengah-tengah sungai.

   Tetapi ketika secara tidak sengaja mereka menoleh dan melihat wajah Liu Yang Kun yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, maka satu-persatu lalu beringsut menjauhinya. Dusun itu meskipun luas dan besar, tapi terletak di tempat yang terpencil dan jarang didatangi orang luar. Mereka hanya terbiasa melihat wajah-wajah mereka sendiri, dan hampir tak pernah melihat wajah orang lain selain penduduk dusun itu sendiri. Hanya kadang-kadang saja mereka menerima penduduk dari dusun yang lain. Itupun orang orang yang telah mereka kenal pula, seperti halnya penduduk Kee-cung! Maka tidaklah mengherankan bila kedatangan Liu Yang Kun yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, membuat mereka agak takut dan curiga. Satu persatu menyingkir dari dekat pemuda itu, sehingga akhirnya Liu Yang Kun terpaksa berdiri sendirian di tempatnya.

   "Nah, tampaknya hawa permusuhan sudah tertiup kepadaku..." pemuda itu akhirnya menghela napas panjang. Sambil menundukkan mukanya, Liu Yang Kun lalu melangkah pergi dari tempat itu. Ia tak jadi melihat mayat yang terapung di atas sungai tersebut.

   Ia tak ingin mendapatkan kesukaran seperti di desa Kee-cung kemarin. Tapi belum juga sepuluh langkah pemuda itu berjalan, tiba-tiba para penonton yang berdiri di pinggir sungai itu menjerit keras sekali. Beberapa orang segera berlarian ke arah perahu mereka. Otomatis Liu Yang Kun menghentikan langkahnya dan menoleh dengan cepat. Dan pandangannya segera terpaku ke tengah sungai, di mana keempat orang nelayan yang ingin mengambil mayat itu sedang timbul tenggelam dipermainkan arus air. Ternyata perahu mereka telah terbalik. Sekejap Liu Yang Kun menjadi ragu-ragu. Menolong mereka atau tidak? Dan sementara itu para nelayan lain yang ingin menolong kawan-kawan mereka itu telah mengayuh sampan mereka dengan sekuat tenaga. Namun untuk mencapai tempat kecelakaan itu memang membutuhkan waktu yang lama.

   Padahal keempat orang nelayan tadi semakin kepayahan dipermainkan arus air. Sekali lagi Liu Yang Kun menjadi ragu-ragu. Dengan Bu-eng Hwe-tengnya yang ampuh sebenarnya ia mampu menolong mereka dengan cepat. Tapi ia merasa ragu-ragu, apakah maksud baiknya itu akan memperoleh tanggapan yang baik pula dari penduduk desa itu? Jangan-jangan ia malah dituduh sebagai pembunuh dari mayat itu nanti? Demikianlah, selagi hati pemuda itu masih tercekam oleh keragu-raguannya, maka dari kerumunan penonton yang memadati pinggiran sungai itu tiba-tiba melesat sesosok bayangan ke tengah-tengah sungai. Bayangan itu meluncur di atas permukaan air beralaskan dua potong bambu yang diikatkan di bawah sepatunya. Gerakannya demikian ringan dan tangkasnya, sehingga sepintas lalu seperti seekor capung yang baru bercanda di atas permukaan telaga.

   "Aaaaa...!" Hampir semua orang berdesah kagum menyaksikan kesaktian itu. Demikian pula halnya dengan Liu Yang Kun. Meskipun belum sedahsyat Bu-eng Hwe-tengnya namun ilmu mengentengkan tubuh orang itu benar-benar hebat tiada terkira. Mungkin cuma ada beberapa orang saja di dunia persilatan ini yang memiliki ginkang setinggi itu. Hampir saja Liu Yang Kun menyangka bahwa orang itu adalah Kam Lojin. Tapi begitu melihat perawakannya yang jangkung, pemuda itu segera menghapuskan dugaannya itu. Kam Lojin tidaklah sejangkung dan setinggi bayangan itu.

   "Heran! Mengapa di daerah yang sepi dan terpencil ini bermunculan jago-jago silat kelas satu?" pemuda itu bergumam di dalam hati. Bayangan itu cepat mengangkat kembali perahu yang terbalik tadi. Kemudian dengan cepat pula tangannya menyambar para nelayan yang tercebur ke dalam air itu dan meletakkannya di dalam perahu.

   Pekerjaan yang sulit itu ternyata dia kerjakan dengan gampang dan cepat luar biasa. Malahan yang terakhir kali ia mencongkel mayat yang terapung tadi dengan ujung bambu yang terikat pada sepatunya. Dan sekejap saja mayat itu telah berada di dalam perahu pula. Kemudian bayangan itu ikut masuk ke dalam perahu, dan selanjutnya membawa perahu tersebut ke pinggir. Beberapa orang nelayan yang tadi bermaksud hendak menolong kawan-kawan mereka segera menyongsong kedatangannya. Mereka mengambil alih perahu tersebut. Dan kedatangan perahu itu segera disambut oleh penduduk yang memadati pinggiran sungai itu. Sebagian dari mereka segera mengurus kawan-kawan mereka yang mengalami kecelakaan, sementara yang sebagian lagi cepat mengurusi mayat yang terapung di sungai tadi.

   "Mayat seorang wanita muda...!" beberapa orang di antara mereka berdesah dengan suara gemetar.

   "Tampaknya... korban kekerasan! Lihat... ia hampir tak mengenakan pakaian sama sekali!" yang lain menyahut.

   "Benar. Agaknya seseorang telah menggagahinya dengan paksa. Kemudian membunuhnya dan membuang jasadnya ke dalam sungai..."

   "Sungguh kejam dan keji sekali." Demikianlah, semua perhatian hanya tercurah kepada mayat yang diketemukan itu. Kecuali Liu Yang Kun. Diam-diam pemuda itu mengawasi tokoh sakti yang memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang amat luar biasa itu.

   "Hmm, siapakah dia? Kepandaiannya amat sangat tinggi. Mungkin lebih tinggi dari ketua-ketua persilatan yang kukenal. Tapi mengapa aku belum pernah melihatnya? Sungguh mengherankan sekali. Ada apa sebenarnya di dunia persilatan sekarang ini? Mengapa tiba-tiba bermunculan tokoh-tokoh sakti yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia? Setahun yang lalu aku terjebak di dalam tanah karena ulah Giok bin Tok-ong dan Bu-tek Sin-tong, dua orang tokoh sakti yang mempunyai kesaktian seperti iblis. Dan sekarang... ah, siapa tahu masih ada lagi tokoh tokoh lain yang muncul pada saat aku terkurung di dalam tanah itu?" Kalau pemuda itu masih disibukkan oleh berbagai macam pikiran tentang orang yang baru saja memperlihatkan kesaktiannya itu, maka penduduk kampung itu pun masih digemparkan pula oleh berbagai macam dugaan tentang mayat yang mereka ketemukan tersebut.

   "Ah, seperti halnya orang-orang Kee-cung kemarin, ternyata kita pun telah menemukan pula mayat yang hanyut disungai ini. Mungkin memang benar juga dugaan orang-orang Kee-cung itu, yang mengatakan bahwa di hulu sungai ini telah berkeliaran seorang jai-hwa-cat keji, yang suka membunuh korbannya setelah berhasil menggagahinya." seorang nelayan muda mengatakan pendapatnya.

   "Agaknya memang demikian halnya. Tak kulihat segores luka pun di tubuhnya,..." yang lain menyambung. Mendadak orang yang memiliki gin kang tinggi itu tertawa dingin. Suaranya amat bening dan nyaring, suatu tanda bahwa tenaga dalamnya juga telah mencapai kesempurnaan. Dan sekali lagi kenyataan itu benar-benar mengejutkan hati Liu Yang Kun.

   "Ah, tampaknya orang ini benar-benar sulit dijajaki ilmunya..." pemuda itu berdesah di dalam hati. Sementara itu semua orang yang berkerumun di tempat tersebut terkejut pula mendengar suara itu. Tapi mereka cepat menyadari pula bahwa mereka tadi belum menyatakan terima kasih kepada orang itu. Begitu sibuknya mereka, sehingga mereka menjadi lupa kepada orang yang telah membantu dan menolong kawan-kawan mereka itu.

   "Taihiap, maafkanlah kami. Kami semua sampai lupa menyatakan rasa terima kasih kami kepada Taihiap." salah seorang di antara orang-orang itu mewakili teman-temannya. Sekali lagi orang itu tertawa dingin. Dan diam-diam Liu Yang Kun memperhatikan wajahnya. Sungguh sulit menentukan umurnya. Mukanya masih tampak segar seperti halnya anak muda belasan tahun. Namun kalau melihat raut-mukanya yang kokoh keras dengan garis-garisnya yang tajam dan kuat, orang tentu menyangka kalau usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Apalagi kalau dilihat rambut alis matanya yang sudah bercampur dengan warna putih itu.

   "Hmm... kukira dugaan kalian tentang jai hwa-cat tadi memang tidak salah. Aku telah mendengar pula, bahwa akhir-akhir ini Si Iblis Penyebar Maut yang menghilang di Kota Soh-ciu setahun yang lalu telah muncul kembali di dunia persilatan." orang itu berkata. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Liu Yang Kun!

   "Gila! Bagaimana hal itu bisa terjadi! Aku toh baru keluar dari lorong gua di bawah tanah itu. Dan aku belum sempat pergi kemana-mana pula. Huh! Bagaimana dia bisa mengatakan kalau Si Iblis Penyebar Maut telah muncul kembali di dunia persilatan? Apakah orang itu sedang menyindir aku? Ataukah di dunia persilatan memang benar-benar muncul Si Iblis Penyebar Maut yang lain? Kurang ajar!" pemuda itu mengumpat-umpat di dalam hati.

   Liu Yang Kun benar-benar menjadi penasaran. Meskipun demikian pemuda itu juga tidak mengurangi kewaspadaannya. Siapa tahu orang itu memang sudah mengetahui keadaannya dan kini memang sedang menyindir dirinya? Diam-diam pemuda itu mengerahkan seluruh himpunan tenaga sakti Liong-cu i-kangnya! Urat-uratnya pun tampak menegang! Kalau memang benar dugaannya, maka lawannya kali ini benar-benar lawan yang paling berat yang pernah ia hadapi. Tapi orang itu tak menunjukkan sikap yang mencurigakan. Sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia sedang menyindir dirinya. Bahkan orang itu seperti tidak tahu kalau sedang ia awasi. Malahan beberapa waktu kemudian terdengar suaranya meminta diri.

   "Ah, tampaknya aku terlalu mencurigai orang..." akhirnya Liu Yang Kun menarik napas panjang.

   "Taihiap, bolehkah kami mengetahui nama besarmu?" masih terdengar suara seorang nelayan menanyakan nama orang berkepandaian sangat tinggi itu. Orang itu kembali tertawa dingin.

   "Sebutnya saja aku dengan nama Ki. Tanpa tambahan apa-apa lagi, karena aku memang tidak mempunyai she atau sebutan yang lainnya." jawabnya acuh tak acuh.

   Tentu saja para nelayan itu menjadi bingung dan tak mengerti. Bagaimana mungkin seseorang tidak memiliki she atau nama keluarga di negeri mereka ini? Masakan orang itu lahir begitu saja, tanpa ayah dan ibu? Namun untuk menanyakan sebab-sebabnya, mereka tidak berani. Mereka takut kalau orang yang memiliki kesaktian seperti dewa itu menjadi marah karenanya. Demikanlah, tanpa berkata-kata lagi orang yang bernama Ki itu berkelebat pergi meninggalkan tempat itu. Dia melesat ke arah utara, mungkin bermaksud ke Kota An-lei pula. Gerakannya cepat bukan main, sehingga sekejap saja bayangannya telah hilang dari pandangan. Melihat orang itu juga menuju ke arah utara, Liu Yang Kun menjadi gembira sekali. Hatinya yang masih diliputi rasa penasaran terhadap orang itu bagai didorong untuk lekas-lekas mengejarnya.

   "Heran! Siapa sebenarnya orang itu? Mengapa ia berkata bahwa Si Iblis Penyebar Maut telah muncul lagi?" sambil mengerahkan Bu-eng Hwe-tengnya untuk mengejar orang itu Liu Yang Kun menduga-duga di dalam hati. Maka mereka berdua pun lalu saling berkejaran di tepian sungai itu.Mereka menerobos hutan, berlompatan di atas bebatuan dan berlari-lari di tebing sungai dalam kecepatan tinggi. Karena masing-masing mengerahkan ginkangnya maka tubuh mereka seperti lenyap dari pandangan mata. Tubuh mereka berubah seperti bayang-bayang yang berkelebatan di antara batu-batu, pohon atau dedaunan. Sama sekali orang itu tidak mengetahui kalau dirinya sedang diikuti oleh Liu Yang Kun.

   Hal itu disebabkan karena Bu-eng Hwe-teng yang dipelajari Liu Yang Kun memang telah mencapai puncak kesempurnaannya, sementara orang itu sendiri juga terlalu percaya dan membanggakan kepandaiannya sehingga kurang berwaspada dan kurang bercuriga terhadap keadaan sekelilingnya. Apalagi sepanjang aliran sungai itu lebat dengan batu-batu dan pepohonan, sehingga memudahkan bagi Liu Yang Kun untuk menyelinap dan bersembunyi bila diperlukan. Ternyata orang itu berlari terus bagaikan sedang mengejar sesuatu. Satu jam. Dua jam. Dan orang itu tetap belum mengendorkan larinya. Gerakannya masih cepat, lincah dan gesit bukan main! Sedikitpun tidak kelihatan lelah atau menurun kemampuannya. Napasnya pun masih tetap halus dan teratur, seakan-akan ia tak pernah mengeluarkan tenaga sedikitpun.

   Liu Yang Kun semakin merasa kagum sekali. Selain ginkangnya sangat tinggi, orang yang bernama Ki ini ternyata memiliki Iweekang yang amat luar biasa pula. Untunglah dia telah mendapatkan kemajuan yang dahsyat pula ketika berada di dalam lorong-lorong gua itu. Coba kalau ia tidak memperoleh kemajuan-kemajuan itu, tak mungkin rasanya dia bisa mengikuti orang itu. Akhirnya matahari pun bergulir semakin rendah ke arah barat. Dan sinarnya yang panas terasa mulai meredup pula. Namun demikian orang yang bernama Ki itu tetap saja berlari ke arah An-lei, sehingga lambat-laun timbul juga perasaan bosan di hati Liu Yang Kun.

   "Huh! Mengapa ia tak kunjung berhenti juga?" pemuda itu menggerutu. Hampir saja Liu Yang Kun menghentikan langkahnya. Tapi niat itu segera ia urungkan karena orang itu tiba-tiba juga mengendorkan larinya.

   Malah sesaat kemudian orang itu berlari-lari kecil menjauhi aliran sungai, dan selanjutnya melangkah memasuki hutan. Liu Yang Kun cepat bersembunyi. Lalu dengan mengendap-endap ia mengikuti langkah orang itu. Di tempat yang agak lapang orang itu berhenti, kemudian bersiul panjang. Suaranya nyaring melengking, seperti suara suling yang ditiup sekeras-kerasnya. Terdengar desir angin yang sangat halus. Dan tiba-tiba saja dari balik rimbunnya dedaunan berkelebat tiga orang lelaki datang menghadap di depan orang itu. Biarpun tidak setinggi orang bernama Ki tersebut, namun ginkang orang-orang itu juga hebat bukan main. Gerakan mereka hampir tidak mengeluarkan suara, walaupun kaki mereka menginjak daun-daun kering yang menumpuk di tempat itu. Untuk sesaat Liu Yang Kun menjadi berdebar-debar hatinya. Jangan-jangan kedatangannya telah diketahui oleh orang-orang itu.

   "Sam-eng (Tiga Garuda)...!" orang yang bernama Ki itu memangggil.

   "Ya, Tuanku...!" ketiga orang yang baru datang itu menyahut berbareng. Kepala mereka tertunduk dalam-dalam seakan-akan mereka sangat takut dan sangat hormat kepada orang yang bernama Ki itu.

   Liu Yang Kun mengerutkan keningnya. la sangat heran mendengar sebutan yang ditujukan kepada orang yang bernama Ki itu. Mengapa orang itu disebut Tuanku? Apakah ia seorang raja atau bangsawan tinggi? Kalau memang demikian halnya, lalu bangsawan atau raja dari manakah dia itu? Liu Yang Kun mencoba untuk mengingat-ingat. Saat itu di Negeri Tiongkok memang banyak sekali bekas raja-raja kecil, atau bangsawan-bangsawan muda, yang sejak ditaklukkan oleh mendiang Kaisar Chin Si, praktis tidak mempunyai kekuasaan lagi. Mungkin orang yang bernama Ki itu juga termasuk salah satu di antara mereka. Namun untuk mengingat-ingatnya tentu saja sangat sulit bagi Liu Yang Kun. Selain jumlah mereka sangat banyak, pemuda itu sendiri juga tidak begitu banyak mengenal mereka.

   "Sam-eng! Bersiaplah! Kita menuju ke Cin-an sekarang. Dimanakah kuda kalian?" orang yang bernama Ki itu berkata lagi. Ketiga orang yang dipanggil dengan sebutan Sam-eng itu menengadahkan mukanya. Ada terbersit rasa heran di wajah mereka, namun mereka tak berani bertanya.

   "Baik, tuanku. Biarlah kami mengambil kuda itu dahulu. Mereka kami ikat didalam hutan." salah seorang dari ketiga orang itu menjawab. Ketiga orang itu lalu menyelinap kembali ke dalam hutan. Dan tidak lama kemudian mereka telah kembali lagi dengan kuda tunggangan mereka masing-masing. Salah seorang di antaranya malah menuntun pula seekor kuda lagi untuk tuannya itu. Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka berempat telah pergi meninggalkan tempat itu. Tinggallah kini Liu Yang Kun sendirian di sana. Pemuda itu sudah merasa segan untuk mengikuti mereka lagi. Apalagi mereka kini menunggang kuda.

   "Heran. Siapakah sebenarnya orang itu? Namanya sangat aneh dan kepandaiannya pun sangat tinggi. Dan tampaknya juga mempunyai pengaruh atau kedudukan yang tinggi pula. Wah, kelihatannya dengan munculnya Buku Rahasia itu tokoh-tokoh yang selama ini tak mau memperlihatkan jejaknya, telah ikut terjun pula ke dunia kang-ouw..." sambil berjalan kembali ke tepian sungai pemuda itu memutar pikirannya. Kemudian pemuda itu melanjutkan langkahnya ke kota An-lei yang tak begitu jauh lagi. la sengaja berjalan seenaknya untuk memulihkan kembali tenaganya. Sebab meskipun ia juga tidak merasa lelah seperti halnya orang yang diikutinya itu, tetapi bagaimanapun juga ia telah mengerahkan lweekang dan ginkangnya secara berlebihan pula. Dan sambil melangkah Liu Yang Kun masih meneruskan lamunannya tentang orang-orang yang baru dijumpainya tadi.

   "Mereka akan langsung pergi ke Cin-an dengan naik kuda. Tampaknya mereka sangat tergesa-gesa pula, sehingga mereka tidak sempat singgah bermalam di Kota An-lei. Hmm... ada apa di Kota Cin-an? Apakah yang hendak mereka kerjakan di sana?"

   Akhirnya Liu Yang Kun memasuki kota An-lei bersamaan dengan terbenamnya matahari di balik gunung. Orang-orang telah mulai menyalakan lampu rumahnya. Mereka juga telah menutupi daun-daun jendela mereka. Meskipun demikian keramaian kota itu tidak menjadi berkurang karenanya. Orang-orang justru banyak yang keluar untuk menikmati kehidupan malam kota itu ma lah. Terutama para tamu atau pendatang, yang datang dari daerah lain. Mereka berjalan-jalan, hilir-mudik menikmati udara malam, di jalan utama yang membentang di tengah-tengah kota tersebut. Mereka melihat-lihat keramaian warung-warung, toko-toko atau tempat-tempat hiburan yang banyak terdapat di kanan-kiri jalan itu.

   "Tuan Chin...? Bukankah Siauw ya (Tuan muda) ini adalah Chin ln-kong (Tuan penolong Chin)?" tiba-tiba Liu Yang Kun dikejutkan oleh teguran seseorang. Cepat pemuda itu menoleh. Dicarinya orang yang menyapa dengan She atau nama keluarganya yang lama itu. Dan tidak jauh dari tempatnya tampak seorang lelaki berusia setengah baya tersenyum kepadanya. Lelaki itu mengenakan pakaian yang bersih dan ringkas seperti layaknya seorang pengawal atau pelatih silat. Di atas ikat-pinggangnya juga terlihat gulungan cambuk yang melilit pinggangnya. Beberapa saat lamanya Liu Yang Kun memeras otaknya untuk mengingat-ingat, tapi ia tetap tak bisa mengenal orang itu.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapakah... Tuan ini? Mengapa telah mengenal namaku?"

   "Aha! Jadi tuan-muda ini betul-betul tuan Chin? Terima kasih... terima kasih! Sungguh aku tak menyangka kalau aku bisa bertemu dengan Tuan Chin di kota ini, hahaha..." orang itu kembali tertawa dengan suka-citanya.

   "Tuan Chin, agaknya kau telah lupa kepadaku. Tapi aku tak mungkin lupa kepada Tuan Chin, karena Tuan Chin pernah menyelamatkan nyawaku dan nyawa sebagian besar anggota perkumpulan Kim-liong Piauw-kiok (Perusahaan Ekspedisi Naga Emas) kami. Tuan Chin, aku adalah... Toan Hoa, pengurus dari Kim-liong Piauw-kiok." Liu Yang Kun menghela napas lega. Selain merasa lega karena ia telah mengingat kembali orang itu, ia juga merasa lega karena tampaknya orang itu tidak mengenalnya sebagai Liu Yang Kun putera dari Kaisar Han.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 14 Pendekar Penyebar Maut Eps 13 Pendekar Penyebar Maut Eps 38

Cari Blog Ini