Pendekar Budiman 7
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Selagi muda tidak mencari kesenangan dunia. Sesudah tua, menyesalpun tiada guna!" Ia mengakhiri nyanyian dan sambil tersenyum-senyum dan sepasang matanya setengah dikatupkan, napasnya agak terengah-engah, gadis itu lalu mendorong kimnya ke samping, kemudian ia menggeser duduknya, mendekati Ciang Le! Wajah pemuda itu yang tadinya kemerah-merahan, tiba-tiba menjadi pucat dan dengan suara kaku dan kening berkerut ia berkata.
"Aku tidak setuju dengan kata-kata dalam nyanyianmu itu."
"Eh, Go kongcu yang manis, apakah kau menganggap suaraku tidak merdu?" Kiang Cun Eng telah berada dekat sekali dan kulit mukanya kemerah-merahan menambah manisnya.
"Suaramu merdu sekali, kau memang pandai bernyanyi," terus terang Ciang Le menjawab. Gadis itu meramkan matanya dan mengeluarkan suara seperti seekor kucing dibelai kepalanya.
"Aai, kau tidak saja tampan dan gagah akan tetapi juga pandai memuji dan merayu seorang wanita, kongcu yang baik. Atau..... bolehkah aku menyebutmu koko saja? Lebih sedap didengar..." Tangan gadis itu diulur dan hendak merangkul leher Ciang Le. Ciang Le menganggap hal ini sudah keterlaluan sekali, maka ia lalu bangkit berdiri.
"Kiang Pangcu, aku tidak sependapat denganmu. Selagi muda mencari kesenangan dunia adalah perbuatan yang sebodoh-bodohnya. Aku juga mempunyai peribahasa yang berbunyi Selagi muda bersuka suka, sudah tua banyak menderita, atau selagi muda beriman kuat, sudah tua akan selamat! Oleh karena itu, sudah cukuplah kiranya hiburan ini dan perkenankanlah aku sebagai seorang sahabat yang sama-sama menjunjung tinggi perikebajikan dan keadilan, memberi nasihat dan minta sesuatu darimu." Gadis itupun berdiri dari tempat duduknya dan sepasang matanya kini bersinar terang, tidak seperti tadi yang setengah dikatubkan ketika dirinya dikuasai oleh nafsunya sendiri.
"Nasihat apa yang hendak kau berikan kepadaku dan permintaan apa yang hendak kau ajukan?"
"Nasihatku kepadamu seperti yang patut kunasihatkan kepada seorang adik perempuanku. Amat tidak baik perlakuanmu kepadaku, Pangcu. Tidak selagaknya seorang gadis muda seperti engkau ini membawa seorang pemuda ke dalam kamarnya dan kemudian kau bersikap menarik hatinya seperti yang kau lakukan tadi. Adapun permintaanku kepadamu, berlakulah murah hati terhadap orang-orang yang terkurung di dalam taman bunga di belakang rumahmu itu. Apapun juga kesalahan mereka, kau tidak berhak mengurung dan menyiksa mereka di tempat itu." Berkilat kedua mata Cun Eng mendengar kata-kata ini.
"Nasihatmu itu tidak ada artinya bagiku, Go-Enghiong. Aku bukan anak-anak lagi, usiaku sudah dua puluh lebih, dan seperti kunyatakan dalam nyanyian tadi, selagi muda aku takkan menyia-nyiakan saja kesenangan yang datang menjelang! Adapun permintaanmu itu, ah, jadi tiga orang-tua bangka tolol itu telah membawamu ke belakang?" Ciang Le hanya mengangguk dan keningnya berkerut. Ia tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh wanita cantik ini, dan merasa lebih berbahaya menghadapi si cantik ini dari pada menghadapi musuh-musuh lainnya. Kalau disuruh pilih, ia tentu lebih suka menghadapi keroyokan tiga orang pemimpin Hek kin kai pang tingkat satu yang lihai itu daripada harus menghadapi gadis ini di dalam kamarnya!
"Go-Enghiong, mari kau ikut denganku. Aku hendak memperlihatkan sesuatu!" Setelah berkata demikian, air muka gadis itu berubah cepat sekali, kini menjadi sungguh-sungguh dan kekejaman membayang pada wajahnya yang cantik. Tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya dan siangto (sepasang golok) tadi telah berada di tangannya. Kemudian ia melambaikan goloknya mengajak Ciang Le sambil melompat keluar.
Sungguhpun Ciang Le diam-diam menaruh hati curiga, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan sikap takut. Iapun lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompat mengikuti gadis itu. Ternyata Cun Eng membawanya ke belakang dan seperti tiga orang pemimpin tingkat satu dari Hek kin kaipang tadi, kini gadis itupun melompat ke atas pagar tembok yang menutup taman itu. Kalau tadi ketika berada di situ dengan Bi Mo li dan kedua orang kawannya. Ciang Le melihat pemandangan yang aneh karena orang-orang di dalam taman itu nampak ketakutan seperti melihat iblis, sekarang ia melihat pemandangan yang lebih aneh lagi. Begitu melihat Cun Eng berdiri di atas tembok dengan sepasang golok di tangan, orang-orang yang tadinya asyik bekerja itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut semua dan mereka membentur benturkan jidat di atas tanah seakan-akan menghormat kedatangan seorang puteri raja!
"Toa Sam dan Tangan Seribu, majulah!" terdengar bentakan nyaring dari Cun Eng. Dari rombongan orang itu muncul dua orang. Yanp bernama Toa Sam bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan matanya sipit, mulutnya mengejek selalu. Orang kedua yang disebut Tangan Seribu adalah seorang yang kurus kecil tubuhnya akan tetapi tindakan kakinya cepat dan gesit sekali. Dua orang itu berdiri lalu berjalan menuju ke depan rombongan orang yang berlutut. Di situ mereka juga berlutut. Si Tangan Seribu menundukkan mukanya, akan tetapi Toa Sam kadang-kadang mengerling ke arah Cun Eng dan Ciang Le.
"Sudah kami pertimbangkan tentang dosa dosamu dan sekarang hukuman itu akan di jatuhkan. Bersiaplah kalian!" Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, Toa Sam tertawa dan berkata,
"Sayang aku tidak tampan seperti pemuda itu. Kalau aku tampan, sudah tentu Sianli (Dewi) akan mengampuni kesalahanku!" Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk bicara lebih lanjut, karena pada saat itu, dari atas telah menyambar Cun Eng. Benar saja seperti yang diduga Ciang Le, gadis itu memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, terbukti dari gerakannya yang cepat dan ringan bagaikan seekor burung walet. Akan tetapi, kepandaian gadis itu tidak amat mengejutkan hati Ciang Le, yang membuat ia benar-benar terkejut dan memandang dengan mata terbelalak adalah ketika ia melihat sinar putih dari kedua batang golok di tangan Cun Eng itu berkelebat dan tahu-tahu menyembur darah hidup yang mengerikan sekali.
Ternyata ketika ia memandang dengan penuh perhatian, kepala Toa Sam telah terpisah dari tubuhnya dan Tangan Seribu telah putus tangan kanannya sebatas siku! Darah mengalir membasahi rumput di taman itu. Tubuh Toa Sam menggeletak tak bergerak, hanya darah yang menyembur nyembur dari lehernya saja yang bergerak Tangan Seribu menggigit gigit bibir dengan muka pucat, boleh dipuji sekali orang ini karena biarpun tangannya dibuntungi, ia tidak mengeluarkan sedikit suara keluhan! Ciang Le menjadi marah sekali dan hendak melompat turun dan menegur gadis yang ganas dan kejam itu, tahu-tahu Cun Eng telah melayang dan berdiri di atas tembok di sebelahnya lagi. Kejadian itu hanya terjadi sekejap mata saja, sehingga benar-benar sukar dipercaya. Cun Eng merogoh saku bajunya, mengeluarkan sebungkus obat lalu melemparkan obat itu kepada Si Tangan Seribu.
"Pakai obat ini dan balut ujung tanganmu baik-baik. kau sudah menerima hukuman, lekas kau pergi dari sini!" Kalau dibicarakan sungguh aneh sekali. Orang yang baru saja tangannya dibikin buntung dan kini diberi obat lalu disuruh pergi, kini berlutut menghaturkan terima kasih kepada gadis yang telah membuatnya bercacad selama hidupnya itu! Kemudian, dengan sebuah lompatan yang cukup membuktikan bahwa Si Tangan Seribu itu memiliki kepandaian lumayan, orang itu telah mengambil bungkusan obat lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang berada di situ masih berlutut dan kini mereka nampak menggigil seluruh tubuh mereka. Biasanya, kalau Hek kin kai Pangcu (ketua Hek kin kaipang) sudah datang dengan sepasang goloknya di tangan, dia takkan pergi sebelum "membagi bagi" hukuman dengan cara yang amat ganas dan kejam. Siapa lagi yang akan menjadi korban? Sementara itu, Ciang Le menyambut kembalinya nona itu di atas pagar tembok dengan mata bersinar marah. Ingin sekali ia memukul dan menyerang wanita yang kejam ini, akan tetapi baiknya pemuda itu masih dapat mengendalikan diri dan ingat bahwa ia adalah seorang tamu dan juga bahwa sebelum tahu jelas duduknya perkara tidak baiklah kalau ia bertindak secara sembrono.
"Kiang Pangcu, mengapa kau seganas itu? Membunuh orang begitu saja dan membuntungi lengan orang pula? Apakah artinya semua ini?"
"Go-Enghiong, kau kasihan kepada mereka?" tanya Kiang Cun Eng sambil tersenyum dan kalau dia tersenyum, lenyaplah bayangan kejam dan ganas pada mukanya yang cantik.
"Orang-orang ini adalah penjahat-penjahat yang melakukan pelanggaran di wilayah yang kujaga! Tahukah kau mengapa aku menghukum mati kepada Toa Sam? Dia adalah seorang jai hwa cat (penjahat cabul) yang merusak dan mempermainkan banyak sekali anak bini orang di kota ini! Kepala daerah telah percaya kepada kami sebagai pencegah terjadinya kejahatan bukankah perbuatannya itu merupakan tamparan bagi nama kami? Apakah hukuman mati tadi kau anggap tidak sudah sepatutnya bagi seorang macam dia? Adapun Tangan Seribu itu, dia adalah seorang pencuri ulung yang datang dari luar kota dan ia kurang ajar sekali. Coba pikir, dia berani mencuri di dalam rumah kepala daerah sendiri! Inipun merupakan tamparan bagi kami dan sudah sepatutnya aku membikin buntung tangannya!"
Baru tahulah Ciang Le dan diam-diam iapun mengakui bahwa hukuman-hukuman yang dijatuhkan itu tentu akan membikin kuncup hati para penjahat. Namun ia masih penasaran dan menganggap bahwa perbuatan seorang gadis cantik dengan hukuman-hukuman kejam itu amat keterlaluan.
"Hm, kau bukan algojo, mengapa membunuh orang seperti membunuh ayam saja?"
"Habis, kalau menurut pendapatmu, Go-Enghiong yang budiman dan berhati mulia, apakah aku harus memperlakukan orang-orang jahat itu dengan lemah-lembut dan melepaskan mereka semua berkeliaran melakukan kejahatan tanpa diganggu?" suara gadis ini mengandung ejekan sehingga muka Ciang Le menjadi merah.
"Bukan demikian, hanya hukuman itu terlalu kejam dan ganas seperti perbuatan iblis saja! Bukan hakmu untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka ini. Apakah tidak ada rasa kasihan dalam hatimu?" Gadis itu menahan ketawanya dan tersenyum lebar.
"Aha, jadi kau benar-benar merasa kasihan kepada mereka? Baiklah, Go-Enghiong, kebaikan hatimu ini akan kusampaikan kepada mereka. Memandang mukamu sebagai tamuku, hari ini aku akan menurunkan semua hukuman mereka." Cun Eng lalu mengangkat tangan kanannya yang memegang golok dan berkata dengan nyaring kepada semua orang yang masih berlutut.
"Hai, kalian dengarlah baik-baik! Hari ini aku kedatangan tamu agung yang berhati mulia, yakni Hwa I Enghiong, pemuda gagah dan budiman ini! Atas permintaannya dan melihat mukanya, baiklah aku mengurangi hukuman kalian dan memotong setengahnya!"
Orang-orang yang tadinya berlutut dan menundukkan mukanya, kini mengangkat muka dengan girang sekali. Dengan wajah terharu dan berseri-seri mereka lalu mengangkat kedua tangan di atas kepala, menyembah ke arah Hwa I Enghiong untuk menyatakan terima kasih. Ciang Le yang berdiri dengan gagah di sebelah kiri Cun Eng lalu mengangkat tangan kirinya ke atas.
"Kalian dengarlah baik-baik! Sesungguhnya tidak seharusnya aku membela orang-orang seperti kalian yang telah melakukan kejahatan, baik kejahatan kecil maupun besar. Orang-orang seperti kalian ini wajib dihukum. Sekarang Kiang Pangcu telah berlaku baik untuk mengurangi hukuman kalian, bukan sekali kali karena jasaku. Kepada Pangcu inilah kalian harus berterima kasih. Kemurahan hati Pangcu ini hendaknya kalian jadikan pedoman untuk kemudian hidup dengan jalan baik dan menebus dosa. Ingatlah bahwa kalau lain kali kalian masih saja melakukan perbuatan terkutuk, aku sendiri bahkan akan membantu Kiang Pangcu untuk menangkap kembali dan memberi hukuman yang seberat beratnya!"
Cun Eng tersenyum manis mendengar ini dan ia lalu mengajak pemuda itu turun kembali meninggalkan tempat itu setelah berpesan kepada orang hukuman itu untuk mengubur jenazah Toa Sam di tempat kuburan umum. Sambil menanti datangnya malam hari di mana akan diadakan perjamuan untuk menghormat tamu. Ciang Le dilayani oleh Cun Eng dengan segala keramahan. Pemuda ini benar-benar merasa amat sungkan akan tetapi oleh karena ia telah menerima sambutan perjamuan itu, terpaksa ia menyabarkan diri, bahkan ia menggunakan kesempatan itu untuk bertanya dan bercakap-cakap dengan Cun Eng tentang keadaan perkumpulan Hek kin kaipang yang aneh.
Adapun ketua perkumpulan Pengemis Sabuk Hitam itupun agaknya sudah "jatuh hati" betul-betul terhadap Ciang Le yang tampan, karena tanpa ragu-ragu lagi Cun Eng menceritakan semua hal dan bahkan menceritakan pula siapa adanya tiga orang-tua yang menjadi pembantu pembantu itu. Cun Eng adalah puteri tunggal dari Kiang Pangcu, ketua dan pendiri dari perkumpulan Hek kin kaipang, seorang tokoh kang ouw yang amat terkenal karena ilmu silatnya yang tinggi dan biarpun Kiang Pangcu pernah menjadi seorang bajak tunggal, namun setelah berusia tua, ia mencuci tangan, bahkan lalu membentuk perkumpulan Hek kin kaipang yang sifatnya mengumpulkan semua pengemis dan menjaga keamanan kota di mana mereka tinggal!
Nama Kiang Pangcu amat tersohor sebagai ketua perkumpulan Hek kin kaipang. Akan tetapi, lebih terkenal lagi adalah nama tiga orang pembantunya, yakni pertama-tama Bi Mo li yang sebenarnya menjadi juga bini mudanya, setelah ibu dari Cun Eng meninggal dunia, Bi Mo li menjadi kekasih Kiang Pangcu. Orang ke dua Siang tung him, seorang yang tampan dan gagah, bekas perampok tunggal yang menjadi sahabat baiknya pula. Akan tetapi, bukan merupakan rahasia lagi bahwa di antara Bi Mo li dan Siang tung him, terdapat perhubungan rahasia. Bahkan Kiang Pangcu sendiri juga tahu akan hal ini, akan tetapi ia diam saja karena kalau ia bertindak, berarti ia akan melemahkan kedudukannya. Baik Bi Mo li maupun Siang tung him merupakan pembantu pembantu yang cakap dan lihai. Akan tetapi orang yang merasa marah dan sakit hati melihat kejadian ini adalah Cun Eng!
Gadis ini telah mewarisi kepandaian ayahnya. Beberapa kali ia mengatakan kepada ayahnya untuk turun-tangan memberi hajaran kepada ibu tirinya dan Siang tung him yang dianggap mencemarkan nama ayahnya dan bahkan dianggap menghina ayahnya. Akan tetapi ayahnya bahkan mencegahnya. Sebaliknya, diam-diam Kiang Pangcu menderita tekanan batin hebat dengan menyelewengnya Bi Mo li yang sudah menjadi bini mudanya itu Ia terlalu mencinta Bi Mo li dan juga sayang kepada Siang tung him berhubungan rahasia itu merupakan pukulan batin dan akhirnya Kiang Pangcu yang sudah tua itu jatuh sakit. Di dalam sakitnya, mengingau dan tanpa disadarinya ia memaki-maki Bi Mo li dan Siang tung him. Mendengar igauan ayahnya ini larilah Cun Eng keluar, mencari Siang tung him dan menyerangnya. Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi akhirnya Siang tung him kalah dan roboh.
Dengan ganas sekali Cun Eng lalu menggunakan siangtonya (golok sepasang) untuk membuntungi kaki kiri Siang tung him yang tampan itu! Setelah itu, Cun Eng lalu mencari ibu tirinya, Bi Mo li juga tidak menyerah begitu saja karena iapun memiliki ilmu silat yang tinggi. Namun, ilmu kepandaian Cun Eng telah meningkat tinggi, bahkan mungkin tidak kalah oleh ayahnya sendiri, maka setelah bertempur dengan hebatnya akhirnya juga Bi Mo li dapat dirobohkan! Tadinya Cun Eng hendak menenggal leher wanita itu. Bi Mo li menjerit minta ampun sehingga golok di tangan gadis itu hanya menggurat sekitar leher bi Mo li yang menjadi ketakutan dan pingsan karena mengira bahwa lehernya akan di babat! Ketika ia siuman kembali, ternyata bahwa kulit lehernya sudah digurat sekelilingnya agak dalam, sehingga, untuk selamanya kulit lehernya akan menjadi cacad!
Adapun Beng san kui, kakek bongkok itu tadinya adalah seorang tokoh kang ouw yang menaruh hati dendam kepada Kiang Pangcu. Ia datang hendak membalas dendam, akan tetapi ia mendapatkan musuh besarnya meninggal dunia dan kedatangannya disambut oleh Cun Eng yang menggantikan ayahnya menjadi ketua dan kakek bongkok ini juga roboh di tangan Cun Eng, bahkan kemudian diangkat menjadi pembantu! Ciang Le yang mendengar semua penuturan ini, diam-diam menarik napas panjang dan merasa sayang bahwa gadis seperti Cun Eng terlahir di tengah-tengah lingkungan orang-orang kasar dan jahat seperti itu. Tidak mengherankan bahwa gadis ini menjadi seorang yang ganas, kejam, genit dan tak tahu malu, di samping sifatnya yang baik, yakni memberantas kejahatan.
"Aku mendengar Bi Mo li menyatakan bahwa guru-guruku, Thian Te Siang mo, adalah musuh-musuh besar kalian. Benarkah ini, dan mengapa demikian?" tanya Ciang Le.
"Kau benar-benar tabah dan berani sekali mengajukan pertanyaan ini, Go-Enghiong. Keberanian inilah agaknya yang membuat aku amat tertarik kepadamu. Kedua orang gurumu itu pernah mengganggu ayahku, dan ayah telah dikalahkan oleh mereka. Juga, belakangan ini, Thian Te Siang mo pernah pula bentrok dengan Bi Mo li dan kedua orang pembantuku. Soalnya mudah saja diduga, karena Bi Mo li memang menaruh hati dendam kepada guru-gurumu, karena.... karena sesungguhnya gurumu Te Lo-mo itulah yang membuka rahasia tentang perhubungan rahasia antara Bi Mo li dan Siang tung him kepada mendiang ayahku!" Ciang Le mengangguk-angguk. Kini tahulah ia mengapa Bi Mo li demikian benci kepada guru-gurunya.
Malam itu tiba dan perjamuan yang dijanjikan itu diadakan di ruang tengah yang telah diterangi oleh banyak sekali api lilin. Di situ hadir Cun Eng, Bi Mo li, Siang tung him Beng san kui, dan kepala daerah Taigoan, seorang gemuk bermuka ramah, she Lo dengan seorang kepala pengawalnya, seorang yang berpakaian sebagai guru silat yang bernama Lai Sui. Lai Sui ini merupakan bayangan dari Lo taijin, ke mana juga Lo taijin berada, tentu Lai Sui berada di sampingnya! Hidangan yang dikeluarkan adalah masakan masakan yang paling istimewa, sedangkan arak yang mengalir di tenggorokan mereka juga arak yang termahal dan wangi. Tidak mengherankan apabila Lo taijin sebentar saja telah menjadi setengah mabok. Sambil mengelus-elus perutnya yang makin gendut karena daging, ia berdiri dan mengisi sendiri cawan arak yang telah kosong di depan Cun Eng lalu berkata,
"Sungguh aku orang she Lo amat berbahagia dapat duduk makan semeja dengan Kiang Pangcu atau Kiang-siocia yang perkasa dan cantik jelita, pelindung kota Taigoan yang ternama. Harap siocia sudi menerima penghormatanku secawan arak!" Dipuji puji oleh kepala daerah ini, Cun Eng hanya tersenyum dan segera mengangkat cawan araknya dan diminum kering. Pipinya yang memerah itu menjadi makin kemerahan dan menarik hati sekali. Dari percakapan yang terjadi selagi mereka makan minum, tahulah Ciang Le bahwa perhubungan antara kepala daerah dan pemimpin-pemimpin Hek kin kaipang ini erat sekali dan Hek kin kai pang benar-benar dipandang tinggi dan dihormati oleh kepala daerah Taigoan.
Semua orang kecuali Bi Mo li yang selalu muram dan cemberut atau kadang-kadang mengerling ke arah Ciang Le dengan penuh kebencian, dan Ciang Le yang bersikap tenang tenang saja, nampak bergembira Cun Eng bicara dengan wajah berseri-seri, mata bersinar-sinar, dan senyumnya murah sekali, Sian tung him yang berwajah tampan itupun tersenyum-senyum, demikian pula si bongkok dan Lai Sui pengawal Lo taijin. Mereka semua telah dipengaruhi oleh wajah Pangcu yang cantik itu dan oleh arak wangi yang keras. Ciang Le membatasi dirinya dalam minum arak, karena ia tidak mau kalau sampai menjadi mabok dan lupa daratan. Akan tetapi sambil tersenyum, Cun Eng menggerakkan ujung sabuknya yang berwarna hitam terbuat dari sutera lemas dan yang melambai di depan tubuhnya. Sabuk sutera hitam itu melayang di atas meja dan bagaikan lengan yang lemas dari seorang puteri juita,
Ujung sabuk itu membelit guci arak yang besar dan berat, kemudian begitu Cun Eng mengerakkan tangannya yang memegang sabuk itu, ujung sabuk lalu bergerak mengangkat guci itu ke atas. Sambil mengerling ke arah Ciang Le dengan sepasang matanya yang bening dan indah, barengi senyumnya yang manis, Cun Eng lalui menggunakan ujung sabuk itu yang telah membelit guci untuk menuangkan guci itu dan memenuhi cawan Ciang Le! Pemuda ini terkejut sekali melihat demonstrasi lweekang yang tinggi ini. Sabuk sutera itu lemas saja, akan tetapi di dalam tangan nona ini dapat menjadi hidup. Dengan lweekangnya yang tinggi, nona itu dapat mempergunakan sabuk itu seperti orang mempergunakan lengan tangannya sendiri. Dari sini saja dapat dilihat, bahwa selain sepasang goloknya, nona ini tentu seorang ahli dalam permainan senjata istimewa, yakni sabuknya.
"Go koko (engko Go), marilah kita minum untuk kebahagiaan pertemuan ini," kata Cun Eng dengan nona ini menggigit bibir bawah dengan sikap genit sekali. Bi Mo li memandang kepada ketuanya dengan sinar mata tajam penuh pertanyaan
"Koko...? Apa pula ini?" tanyanya. Memang sebagai ibu tiri, Bi Mo li ini kadang-kadang bersikap sebagai seorang-tua terhadap puterinya kepada Cun Eng. Dalam keadaan biasa mungkin sekali kata-kata ini dapat menimbulkan kemarahan Cun Eng. Akan tetapi pada saat itu gadis ini sedang bergembira, maka sambil tertawa ia berkata,
"Hwa I Enghiong adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan budiman. Tidak patutkah ia menjadi kokoku?" Bi Mo li hanya menjebikan bibirnya dan berkata.
"Hm"!" Akan tetapi tidak berkata apa-apa lagi hanya menenggak araknya di dalam cawan dengan hati gemas sekali. Ciang Le tak dapat menolak suguhan arak yang dilakukan secara istimewa oleh ketua Hek kin kai pang itu. Ia tidak mau menunjukkan kelemahannya. Sambil mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya, ia lalu memegang cawannya yang penuh tanpa mengangkat cawan itu, lalu tangannya menekan meja sambil mengerahkan lweekangnya. Meja sedikit bergetar akan tetapi arak di dalam cawan itu bergelombang lalu memercik ke atas bagaikan sebuah pancuran air dan semua arak itu masuk ke dalam mulutnya. Tidak setetes arakpun tumpah di atas meja! Melihat demonstrasi yang dilakukan oleh Cun Eng dan Ciang Le, Lo taijin terbelalak memandang dengan penuh kekaguman.
"Ah, benar-benar hebat. Hwa I Enghiong memang pantas sekali menerima penghormatan dari Kiang Pangcu." Ia lalu menoleh kepada pengawalnya dan menepuk bahunya.
"Eh, Lai suhu, kau pun harus memberi hormat kepada Hwa I Enghiong yang gagah ini!"
Pembesar ini biarpun tidak mengerti ilmu silat, namun ia selalu dikawal oleh Lai Sui yang ilmu silatnya cukup tinggi. Maka melihat orang-orang mendemonstrasikan kepandaiannya, ia tidak mau kalah muka dan ingin pula memamerkan kepandaian pengawalnya. Lai Sui mengerti akan hal ini. Sebetulnya dia sendiri tidak berani sembarangan memperlihatkan kepandaian karena ia tahu bahwa kepandaian dari nona ketua itu masih lebih lihai daripada kepandaiannya sendiri, akan tetapi oleh karena majikannya mendesak, ia tidak berani menolak atau membantah. Sambil tersenyum sungkan ia lalu berdiri dari bangkunya dan mengambil guci arak itu dengan tangannya.
"Siauwte yang bodoh masih terlalu rendah untuk mengganggu Hwa I Enghiong dengan penghormatan minum arak. Akan tetapi siauwte mewakili Lo-taijin untuk menghormat tamu agung dengan secawan arak." Setelah berkata demikian, ia lalu membungkuk memberi hormat dan mengambil cawan arak Ciang Le yang sudah kosong.
Dengan cawan arak di tangan kiri dan guci arak di tangan kanan, pengawal ini lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawan. Hal ini kelihatan biasa saja sehingga Lo-taijin sudah merah mukanya karena menganggap bahwa pengawalnya melakukan perbuatan bodoh. Akan tetapi ketika, cawan itu sudah penuh, Lai Sui masih terus menuangkan arak sehingga kini arak dalam cawan itu menjadi terlalu penuh, lebih tinggi daripada permukaan cawan! Barulah Lai Sui menghentikan guci dan kini di dalam tangannya terdapat cawan yang araknya tinggi sekali akan tetapi yang tidak mau tumpah ke pinggir! Dalam pandangan mata Lo-taijin, hal ini seperti sulapan atau sihir saja, akan tetapi dalam pemandangan Ciang Le, pemuda ini maklum bahwa pengawal kepala daerah ini sedang memamerkan Lweekangnya. Kalau cawan itu ditaruh di atas meja, tentu arak yang lebih itu akan tumpah!
"Kau baik sekali, Lai-kauwsu," kata Ciang Le sambil menerima cawan yang terlalu penuh ini. Iapun harus mengerahkan lweekangnya sehingga arak itu tidak sampai tumpah. Bahkan Ciang Le agak miringkan cawannya sehingga arak itu agak mendoyong ke kiri, akan tetapi tetap saja tidak mau tumpah, seakan-akan arak itu telah berubah menjadi barang kental yang hamper mengeras. Sambil menahan napas, Ciang Le lalu terus miringkan cawan sampai berjungkir ke bawah, namun tetap saja arak itu tidak tumpah!
"Hebat, hebat!" seru Lo-taijin sambil bertepuk tangan.
"Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, siapa dapat percaya akan hal ini?" Ciang Le lalu minum arak dalam cawannya itu dan menghabiskannya dengan sekali teguk. Pemuda ini mengerahkan lweekangnya untuk menekan pengaruh arak yang panas itu keluar lagi dari hidung dan mulutnya. Cun Eng dapat menduga bahwa tamunya Ini tentu tidak biasa minum arak, maka sambil tersenyum ia berkata kepada Siang-tung-him dan Beng-san-kui.
"Lo-taijin dan aku sudah memberi hormat kepada tamu agung kita, apakah kalian juga tidak ingin memberi penghormatan pula?" Beng-san-kui terkekeh-kekeh dengan suara ketawanya yang seperti ringkik kuda.
"Tamu kita yang masih muda agaknya kurang suka minum arak, buktinya tiap kali arak dituang ke dalam perutnya, mukanya menjadi merah. Ha-ha, lebih baik lohu menghormatinya dengan daging-daging yang paling lezat!" Sambil berkata demikian, Si Bongkok ini lalu mempergunakan sumpit dan dengan sumpit itu ia mencari-cari di semua mangkok masakan. Aneh sekali, tiap kali sumpit menemukan potongan daging yang baik, tanpa menggerakkan sumpit itu, tahu-tahu potongan daging itu telah melompat ke atas, terputar-putar kemudian meluncur turun ke dalam mangkok kosong di depan Ciang Le! Ia melakukan hal ini beberapa kali sambil tersenyum-senyum dan sebentar saja di dalam mangkok Ciang Le itu telah terkumpul sedikitnya tujuh potong daging masakan paling gemuk! Siang-tung-him tersenyum lebar dan wajahnya yang biarpun sudah tua namun masih nampak bersih dan tampan itu berseri,
"Biarlah aku yang menyediakan sumpitnya!" katanya. Ia mengambil sepasang sumpit gading yang belum terpakai dari atas meja dan biarpun ia menaruh sepasang sumpit tanpa tenaga begitu saja di depan Ciang Le namun ternyata setelah ia melepaskan sumpit itu, sepasang sumpit telah tertancap di atas meja sampai setengahnya lebih! Ketika melakukan hal ini tangan kiri Siang-tung-him seperti tanpa sengaja menekan cawan arak di depan Ciang Le dan kini cawan itupun amblas sampai setengahnya di atas meja. Ciang Le tersenyum dan menyaksikan demonstrasi kedua orang kakek ini, adapun Lo-taijin memandang terbelalak dan Lai Sui mengangguk-angguk kagum.
"Sungguh siauwte merasa berat sekali menerima penghormatan yang begini," kata Ciang Le. Ia meraih sepasang sumpit yang menancap di meja itu seakan-akan sumpit itu tidak tertancap. Padahal orang biasa saja belum tentu dapat mencabut sumpit-sumpit itu tanpa mengerahkan seluruh tenaganya. Kemudian, sekali ia menjepit ke dalam mangkoknya dengan sepasang sumpit gading ini, tujuh potong daging itu sekaligus telah dijepitnya. Berapa kali ia mainkan sumpit itu dan aneh sekali, makin lama potongan daging yang sudah menjadi makin kecil seperti dipres oleh alat penjepit yang kuat. Kemudian, pemuda ini dengan tenaganya lalu memasukkan potongan daging yang sudah menjadi kecil itu kedalam mulutnya.
Akan tetapi ketika ia mencabut sepasang sumpit itu dari mulutnya, sumpit itu telah patah dan potongannya tertinggal di dalam mulut! Ciang Le makan daging itu dengan enaknya dan Lo taijin sampai melongo memandangnya karena mengira bahwa pemuda itu telah makan potongan sumpit gading! Akan tetapi tiba-tiba Ciang Le meniup ke atas dan dua potongan sumpit gading itu melayang lalu menancap di tiang melintang yang berada di atas kepala mereka! Kemudian Ciang Le mengangkat cawannya yang masih ada sedikit araknya, lalu diminumnya. Juga ketika mengangkat cawan ini, seakan-akan ia tidak tahu bahwa cawan itu telah amblas sampai setengahnya. Bukan main kagumnya semua orang yang berada di situ, termasuk Cun Eng, Gadis ini menjadi makin kagum dan suka kepada Ciang Le dan kerlingnya makin tajam menarik.
"Bi Mo li, kau belum memberi hormat!" kata Cun Eng yang menghendaki agar semua orang memberi hormat kepada pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu. Bi Mo li sudah setengah mabok seperti yang lain, dan kebenciannya terhadap pemuda itu membuat dia makin marah saja ketika disuruh memberi hormat. Ia memegang cawan araknya yang terbuat dari pada perak, menggenggamnya lalu tertawa dan melemparkan cawan kosong itu ke depan Ciang Le.
"Murid Thian Te Siang mo hanya patut dihormati di dalam peti mati!" Ketika semua orang melihat, ternyata bahwa cawan perak yang digenggamnya tadi kini telah menjadi hancur berkeping keping di atas meja depan Ciang Le! Lo-taijin menjadi pucat dan semua yang memandang dengan hati tegang, hanya Cun Eng yang memandang marah sekali sedangkan Ciang Le masih tetap tenang seperti biasa. Seakan-akan tidak tahu kemarahan Bi Mo-li, pemuda ini mengambil potongan-potongan perak bekas cawan arak yang hancur itu, menggenggamnya lalu mengembalikannya kepada Bi Mo-li.
"Terima kasih atas penghormatan Bi Mo-li!" Ketika pemuda itu melepaskan tangannya, ternyata bahwa pecahan-pecahan perak tadi kini telah menjadi segumpal perak yang telah menjadi satu, menjadi sepotong perak yang bulat! Kalau lweekang dari Bi Mo-li telah dapat menghancurkan perak itu, ternyata kini Ciang Le lebih hebat lagi, karena hancuran itu telah menjadi satu dan keras seakan-akan pecahan perak itu hanya tanah liat belaka! Sepasang mata Bi Mo-li mengeluarkan cahaya berapi. Ia menyambar segumpal perak itu dari depannya,kemudian membentak,
"Makanlah ini!" Potongan perak itu melayang dan menyambar ke arah jalan darah di leher Ciang Le! Ini adalah serangan maut yang amat berbahaya karena dilakukan dari jarak dekat sekali. Dan sesungguhnya, biarpun ilmu kepandaian Ciang Le sudah cukup tinggi, namun pemuda ini sudah tak berdaya lagi untuk menyelamatkan dirinya dan hanya dapat berseru dengan muka pucat,
"Celaka!" Akan tetapi pada saat itu, Cun Eng yang duduk di sebelah kanan Ciang Le, yakni di meja kepala atau kursi tuan rumah, cepat mengulurkan tangan kirinya. Terdengar suara ketawa Bi Mo-li yang lantang karena iblis wanita ini telah merasa girang melihat bahwa serangannya pasti akan berhasil mengenai pemuda itu.
Suara ketawa ini tiba-tiba terhenti dan berganti oleh suara jerit Cun Eng yang merasa kesakitan. Gadis ini telah menyambar perak itu dengan nekad sehingga telapak tangan kirinya terluka hebat. Gumpalan perak itu menggelinding ke atas meja dan warnanya yang tadi putih berkilauan menjadi merah karena darah Cun Eng! Seluruh telapak tangan gadis itu terbeset kulitnya dan berdarah banyak sekali. Bukan main kagetnya Bi Mo-li melihat ini. Suara ketawanya yang tadi terhenti tiba-tiba dan mukanya menjadi pucat sekali. Ia terbelalak memandang ke arah tangan kiri Cun Eng yang terluka oleh potongan perak itu. Dan kini gadis itu telah berdiri, memandang kepada Bi Mo-li seakan-akan hendak menelan nenek itu bulat-bulat. Gadis ini benar-benar gagah, sama sekali ia tidak merasakan sakitnya lagi.
"Ampun... Ampun, Nona..." Bi Mo-li mencoba memohon ampun, akan tetapi tiba-tiba tangan kanan Cun Eng berkelebat dan terdengar suara keras. Tangan itu telah menampar muka nenek itu sehingga Bi Mo-li terhuyung-huyung ke belakang. Pipinya menjadi biru karena tamparan tadi! Sebetulnya, biarpun kepandaian Cun Eng tingkatnya lebih tinggi daripada Bi Mo-li, namun kalau saja Bi Mo-li berani dan mau, tasmparan tadi itu tentu akan dapat dielakkannya dengan mudah. Namun Bi Mo-li tidak berani melakukan hal ini karena hal itu akan menerima hukuman lebih hebat lagi!
"Ampun, Nona... Aku tidak bermaksud melukaimu..." Bi Mo-li mencoba untuk bermohon lagi. Cun Eng sudah mencabut siang-tonya dan sekali melompat ia telah menghadapi Bi Mo-li. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa tangan kananya dipegang orang dan ketika ia menengok, ternyata Ciang Le telah berdiri di
(Lanjut ke Jilid 06)
Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 06
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
Jilid 06
belakangnya.
"Kiang-siocia, harap kau ampunkan dia. Memang benar tidak disengaja ia melukai kau..." Sinar mata gadis itu berobah heran.
"Apa? kau yang akan dibunuhnya bahkan mintakan ampun?"
"Ia memang benci kepadaku, kepada suhu-suhuku. Sudahlah, ampunkan saja dia." Juga Lo taijin yang merasa ketakutan dan tidak enak sekali melihat peristiwa ini, berdiri dan berkata.
"Kiang Pangcu, harap kau suka memberi maaf kepadanya. Untuk apakah ribut-ribut dengan orang sendiri? Dan pula karang sudah jauh malam, harap kau maafkan, aku harus pulang karena besok banyak sekali pekerjaan yang harus kuselesaikan." Setelah berkata demikian, pembesar ini lalu menjura kepada Cun Eng dan Ciang Le, yang dibalas oleh gadis itu, Lo taijin merasa ngeri, melihat tangan gadis itu masih saja mengalirkan darah. Maka ia lalu buru-buru mengajak Lai Sui untuk segera meninggalkan tempat itu. Bi Mo li masih berdiri sambil menundukkan mukanya di depan Cun Eng, sementara itu, kakek bongkok dan kakek buntung masih terus saja minum arak, seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang hebat!
"Siang tung him, Beng san kui! Bawa dia ke belakang, keram dalam kamar gelap!" perintah Cun Eng kepada dua orang kakek itu Siang tung him dan Beng san kui saling pandang, akan tetapi merekapun tidak berani membantah perintah ketua ini, dan tak lama kemudian Bi Mo li dipegang tangan kiri kanannya oleh dua orang kakek itu yang membawanya pergi dari situ. Terdengar isak tangis nenek itu ketika ia dibawa pergi.
"Go koko, harap kau maafkan kekurang ajaran Bi Mo li. Aku akan memberi hukuman yang setimpal padanya." kata Cun Eng sambil mulai membalut tangan kirinya dengan saputangan. Ciang Le merasa jemu dan tidak enak hati sekali melihat seraja peristiwa tadi. Akan tetapi ketika ia melihat tangan kiri gadis itu yang berdarah, timbul rasa haru dan kasihan. Betapapun juga, boleh dibilang gadis itu telah menolongnya, bahkan menolong nyawanya karena harus ia akui bahwa serangan gelap tadi benar-benar amat berbahaya dan ia tidak berdaya untuk menghindarkan diri. Kini, tangan yang kecil dan halus itu berdarah karena menolongnya. Melihat betapa tangan kanan Cun Eng amat canggung membalut tangan kirinya sendiri, pemuda itu lalu menghampiri dan berkata,
"Biarlah aku membalut tanganmu, nona." Tanpa menanti jawaban, ia lalu mengambil saputangan itu dan mulai membalut tangan Cun Eng yang terluka, setelah menaruhkan obat bubuk warna putih yang selalu berada di kantongnya untuk membuat luka itu lekas kering dan mencegah panas. Ketika pemuda itu sedang membalut tangannya, Cun Eng memandang dengan mata tertutup dan mesra sekali. Ia mendoyongkan tubuhnya mendekati pemuda itu lalu berbisik,
"Koko, kau baik sekali. Aku... aku suka kepadamu." Melihat betapa gadis itu makin mendekat sehingga sebagian rambut yang panjang hitam itu, membelai pipinya, Ciang Le menjadi berdebar dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membalut. Kemudian ia melangkah mundur tiga tindak dan menjura lalu berkata,
"Kiang Pangcu, sekarang aku bermohon diri. Terima kasih atas segala kebaikanmu. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan akui akan membalas keramahanmu itu." Terbelalak mata Cun Eng mendengar ucapan ini.
"Apa...? kau hendak pergi? Jangan koko, jangan pergi dulu"! kau harus bermalam di sini. Bukankah kau tamuku, tamu ku yang kami hormati? kau harus bermalam disini koko." ia mengulang dengan suara memohon. Ciang Le ragu-ragu, akan tetapi ia lalu menggeleng kepala.
"Tidak usah, nona. Aku sudah cukup banyak menimbulkan repot padamu. Aku harus pergi dari sini." Berkerut kening gadis itu dan untuk beberapa lama ia diam saja. Ciang Le tidak tahu bahwa gadis ini sedang memutar otaknya yang cerdik dan penuh tipu muslihat Kemudian gadis itu menarik napas panjang dan nampak sedih sekali.
"Hwa I Enghiong, kalau kau berkeras hendak pergi, aku yang bodoh juga tak dapat berbuat sesuatu. Bagaimana aku dapat menahanmu? Akan tetapi, dengan terjadinya hal tadi, hatiku merasa tidak enak dan lenyap kegembiraan kita. kau mau pergi? Baiklah, akan tetapi lebih dulu temanilah aku minum tiga cawan arak." Ciang Le merasa serba salah. Ia telah minum arak terlalu banyak daripada semestinya, ia bukan seorang peminum dan beberapa cawan tadi saja sudah membuat kepalanya mulai terasa ringan sekali. Akan tetapi, bagaimana ia dapat menolak?
"Kiang-siocia, maafkanlah aku. Sekarang aku sudah cukup banyak minum arak. Baiklah aku berjanji bahwa lain kali, kalau aku kebetulan lewat di kota ini, aku akan menemani minum arak, tidak hanya tiga cawan, bahkan sepuluh cawan!" Ia mencoba tersenyum. Akan tetapi Cun Eng tampak marah dan kecewa.
"Hm, jadi sedemikian sajakah penghargaan Hwa I Enghiong kepadaku? Aku telah mengundangnya, menjamunya, permintaannya untuk mengurangi hukuman para penjahat kuturuti, bahkan baru saja aku telah melepaskan dia dari bahaya maut sehingga tanganku berdarah. Dan sekarang hanya menemani minum tiga cawan arak saja dia tidak mau?
"Ah" aku benar-benar telah merendahkan diri terlalu sekali"" dengan amat pandai nya, tiba-tiba Cun Eng dapat mengeluarkan air mata dari kedua matanya dan nona cantik ini mulai menangis. Tentu saja Ciang Le menjadi sibuk sekali
"Ah, jangan kau berpikir bahwa aku memandang rendah kepadamu, nona." Kemudian melihat nona itu tetap menangis, ia menghela napas.
"Baiklah, baiklah, aku menemaniku minum tiga cawan lalu aku pergi. Akan tetapi jangan mentertawakan kalau aku menjadi mabok karenanya!" Cun Eng mengangkat mukanya dan dengan air mata masih membasahi pipinya, gadis itu tersenyum.
"Koko, kau baik sekali, terima kasih!" Mau tak mau Ciang Le tersenyum juga melihat gadis ini. Baru saja menangis, sudah tersenyum lagi dan diam-diam ia mengakui bahwa gadis ini benar-benar cantik dan menarik hati sekali. Hanya sayang... ah, ia mencela diri sendiri, mengapa ia menyayangkan? Perduli apa dengan nona ini? Ia tidak berhak memikirkannya. Dengan langkah tetap Ciang Le lalu menghampiri bangkunya yang tadi dan duduk sambil menanti Cun Eng menuangkan arak ke dalam cawan.
"Hwa I Enghiong." kata Cun Eng sambil menukarkan cawannya sendiri dengan cawan Ciang Le.
"Baru sekarang aku bertemu dengan orang seperti engkau. Sayang sekali kau mau buru-buru pergi saja, sesungguhnya aku me rasa berbahagia kalau kau " suka tinggal untuk beberapa lama di sini atau" bahkan selama hidupmu tinggal bersamaku di sini. Aku suka kepadamu, terus terang saja, aku suka sekali kepadamu. Biarlah perpisahan ini akan selalu menjadi kenang kenangan, maka mari kita bertukar cawan. Aku takkan melupakanmu, sahabatku yang baik." Cun Eng mengangkat cawannya. Ciang Le tak dapat menjawab. Mukanya sudah menjadi merah karena jengah dan malu. Kata-kata apa yang dapat ia ucapan terhadap pernyataan seperti itu? Ia lalu mengangkat cawannya pula dan mereka minum arak itu dengan sekali teguk. Kembali Cun Eng mengisi cawan cawan yang sudah kering.
"Cawan kedua ini untuk bersyukur bahwa kau telah terhindar dari pada bahaya maut!" Karena hal itu memang betul-betul terjadi dan tidak ingin menyinggung perasaan nona itu, Ciang Le menurut saja dan minum pula araknya yang ke dua ini, kepalannya mulai terasa pening dan denyut darahnya makin cepat. Celaka, pikirnya, maboklah aku? Akan tetapi pemuda ini masih dapat mempergunakan lweekangnya untuk mengatur jalan darahnya dan memperkuat dirinya.
"Cawan ke tiga untuk pertemuan kita yang mesra ini" Cun Eng mengangkat cawannya dan memandang kepada Ciang Le dengan, kerling mata demikian tajam dan senyum demikian menarik dan manisnya sehingga ketika Ciang Le mengangkat cawannya sendiri memandang kepada gadis itu, ia melihat seorang bidadari yang luar biasa eloknya berdiri di depannya! Dengan kepala makin bingung dan tidak karuan, Ciang Le cepat-cepat menenggak araknya yang ke tiga. Ia lalu menaruh cawan kosong itu di atas meja, menghela napas lega lalu menjura kepada Cun Eng dan berkata,
"Sekarang maafkan aku, nona. Aku harus pergi!" Setelah berkata demikian, ia buru-buru membalikkan tubuhnya agar jangan melihat lagi senyum yang manis sekali dan kerling yang seakan-akan membetot semangatnya Itu. Cun Eng tidak menahannya, bahkan tidak mengeluarkan sepatahpun kata-kata. Akan tetapi gadis ini memandang kepada pemuda itu dengan senyum melebar ketika melihat betapa Ciang Le ketika membalikkan tubuh tadi tidak menuju keluar, bahkan menuju ke dalam rumah! Kemudian, pemuda itu terhuyung-huyung dan hampir roboh kalau saja Cun Eng tidak cepat melompat dan memeluknya,
"Hati-hati, koko, kau nanti jatuh"" tegurnya dengan senyum dikulum dan suara merdu dan halus. Ciang Le benar-benar bingung Ada bau yang harum menusuk hidungnya, bukan bau arak tadi. Tiba-tiba ia teringat bahwa ketika minum cawan kedua bau harum ini lebih keras lagi memasuki tenggorokannya. Ah, celaka, pikirnya. Tentu wanita ini telah mencampur racun di dalam arak yang diminumnya! Ketika ia merasa betapa Cun Eng memeluknya, ia cepat memberontak dan membentak.
"Kau mencampuri apa dalam arak tadi"" Akan tetapi Cun Eng hanya tertawa-tawa saja dan terdengar ia berkata.
"Ah, kau mabok" kau lucu sekali, koko yang manis"!" Kembali Cun Eng hendak memeluk karena tubuh Ciang Le bergoyang-goyang hendak jatuh.
"Kurang ajar, kau tentu meracuniku!" kata Ciang Le dan pemuda ini segera mengangkat tangan kanan untuk menampar muka nona itu. Akan tetapi ternyata bahwa tenaganya telah menjadi lemah dan ketika Cun Eng meunduk kan kepala, tamparannya mengenai tempat kosong dan kini bahkan lengannya itu melingkari leher nona itu seperti orang yang memeluk kekasihnya!
"Kokoku yang manis..." kata pula Cun Eng sambil merangkul Cian Le dan ditariknya pemuda itu menuju ke kamarnya di bagian barat gedung. Ciang Le seperti orang yang setengah pingsan, tidak ingat apa-apa dan dengan tersaruk-saruk setengah ditarik oleh Cun Eng, ia menurut saja dibawa ke dalam kamar bertirai halus itu. Dua orang itu tidak tahu bahwa semenjak pertemuan dalam perjamuan tadi, telah ada bayangan orang yang mengintai mereka. Bayangan ini adalah seorang kakek yang berpakaian sebagai seorang sasterawan dan yang berwajah sabar sekali.
Sungguh luar biasa gerakan kakek ini karena biarpun yang berada di dalam ruangan itu orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun tak seorangpun diantara mereka yang dapat mendengarkan gerakan kakinya. Ketika Cun Eng merangkul Ciang Le yang sudah setengah pingsan dan mabok karena pengaruh obat yang dicampurkan dalam arak oleh Cun Eng, tiba-tiba datang lain bayangan menyambar dan mengintai. Berbeda dengan bayangan pertama, yakni sasterawan itu, bayangan ke dua ini memandang ke dalam dengan mata bernyala-nyala. Tak lama kemudian datang lagi seorang kawannya yang juga mengintai di sebelahnya. Dua orang ini adalah dua orang kakek yang berpakaian pendeta dan berwajah sama. Mereka saling pandang dengan muka merah dan seorang diantaranya berbisik...
"Kurang ajar sekali, Ciang Le! Benar-benarkah dia hendak mengecewakan kita dan demikian lemah menghadapi wajah cantik?" yang bicara ini adalah Te Lo-mo, sedangkan Thian Lo-mo hanya mengerutkan keningnya.
Memang dua orang yang baru datang ini adalah Thian Te Siang mo, guru dari Ciang Le yang selama ini diam-diam dan dari jauh mengikuti perjalanan murid mereka untuk melihat sepak terjangnya. Ketika Ciang Le berada di rumah ketua Hek kin kaipang, kedua orang iblis tua ini merasa heran. Mereka dulu pernah datang di tempat ini, yakni ketika mereka mengalahkan ketua dari Hek kin Kaipang dan membuka rahasia Bi Mo Ii dan Siang tung him sebagaimana yang telah dituturkan oleh Cun Eng kepada Ciang Le. Thian Te Lo-mo lalu mengadakan penyelidikan di dalam kota dan mendengar bahwa kini Hek kin kaipang merupakan perkumpulan yang kuat dan bahkan membasmi kejahatan, mereka merasa lega.
Akan tetapi ketika dinanti sampai malam murid mereka belum juga keluar dari rumah itu, mereka merasa curiga dan segera melakukan penyelidikan. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi dan tahu-tahu mereka menyaksikan betapa dalam keadaan mabok, Ciang Le dirangkul dan dituntun oleh ketua Hek kin kaipang yang cantik dan genit itu memasuki kamarnya! Thian Te Lo-mo menjadi marah sekali. Mereka telah mendengar akan sifat-sifat cabul dan genit dari Kiang Pangcu, ketua Hek kin kaipang, dan kini melihat Ciang Le seperti melayani kehendak wanita ini, mereka menjadi kecewa sekali. Yang amat mengherankan, biarpun kedua iblis tua ini amat lihai, juga tidak melihat adanya bayangan sasterawan tua yang mengintai di tempat itu, sebaliknya sasterawan itu dapat melihat mereka!
"Anak itu lebih baik mampus di tangan kita dari pada mencemarkan nama baik kita!" kata Te Lo-mo yang berwatak lebih keras dari pada kakaknya. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, tiba-tiba melayang bayangan yang gesit sekali bagaikan seekor burung garuda menyambar ke dalam kamar itu.
Thian Te Lo-mo terkejut dan merekapun lalu melarang turun. Yang lebih kaget adalah Cun Eng. Ia telah merasa girang sekali karena berhasil membikin Ciang Le tidak berdaya. Gadis ini benar-benar jatuh hati kepada pemuda itu dan ia hendak berusaha membikin pemuda itu menjadi kekasihnya atau kalau mungkin, menjadi suaminya. Ia percaya akan kecantikan dan kecerdikannya. Biarpun pemuda ini keras hati, namun ia telah mendapat daya untuk membikin Ciang Le menurut kehendak hatinya. Sambil membisik-bisikkan rayuan yang mesra, ia telah menarik pemuda yang telah lemas tak berdaya itu dan membaringkannya di atas pembaringannya yang indah. Dan pada saat itu, ia melihat bayangan yang luar biasa gesitnya memasuki kamarnya.
"Kurang ajar, siapa kau berani masuk ke dalam kamarku?" bentak Cun Eng. Ia tadinya mengira bahwa ini mungkin Bi Mo li yang telah dapat melepaskan diri dan hendak mengganggu Ciang Le. maka ia telah mencabut sepasang goloknya dan berniat membunuh Bi Mo li yang dianggapnya terlalu sekali. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang dan yang kini telah berdiri di depannya dengan senyum mengejek itu adalah seorang laki-laki tua berpakaian sasterawan, Cun Eng tertegun. Ia tidak kenal siapa orang ini.
"Siapakah engkau? dan perlu apa kau berlancang memasuki kamarku tanpa permisi?" Sasterawan tua itu menuding ke arah Ciang Le dan berkata,
"Lohu datang hendak membawa dia keluar dari sini. Nona, namamu sebagai ketua Hek kin kaipang telah ternama dan terkenal sebagai seorang gagah yang tidak tercela, apakah kau sekarang hendak merusak namamu itu hanya karena ketampanan wajah seorang pemuda? Salah, kau salah..." Setelah berkata demikian, sekali bergerak saja, sasterawan tua itu telah melompat ke dekat pembaringan Ciang Le dan di lain saat, pemuda itu telah dikempit di bawah lengan kirinya.
"Setan tua, lepaskan!" seru Cun Eng marah sekali.
"Siapakah kau berani sekali mencampuri urusanku? Sungguh tak bermalu!"
"Aku sudah tua, Nona. Memasuki kamar gadis seperti engkau, tak perlu aku malu-malu karena memang aku tidak bermaksud buruk terhadapmu. kaulah yang harus malu karena mengeram seorang pemuda yang berhati bersih!" Dengan ucapan ini, sekali berkelebat saja kakek sastrawan ini telah melompat keluar dari kamar itu!
"Bangsat jangan lari!" Cun Eng mengejar dengan sepasang golok di tangan. Ketika sastrawan tua itu tiba di luar kamar, ia dihadang oleh Thian-te Siang-mo!
"Aha, tidak tahunya Luliang Siucai yang telah mendahului kami!" kata Thian Lo-mo sambil menjura.
"Terima kasih bahwa kau telah menolong kami menangkap murid kami yang tak tahu malu ini." Ia mengulur tangan hendak merampas tubuh Ciang Le dari kempitan Luliang Siucai, akan tetapi sastrawan ini mengibaskan lengan baju kanannya dan Thian Lo-mo hanya menangkap angin.
"Thian-te Siang-mo, aku justeru mendahului kalian agar kalian jangan membunuhnya," katanya dengan halus.
"Peduli apa kau dengan urusan kami menghadapi anak murid kami? Apakah orang Lu-liang-san sekarang sudah tidak tahu aturan lagi dan suka memasukkan hidungnya ke dalam rumah tangga lain orang?" bentak Te Lo-mo dengan marah. Luliang Siucai, seorang diantara pelayan dari Pak Kek Siansu itu tersenyum sabar.
"Bukan mencampuri urusanmu, Siang mo. Soalnya ialah bahwa aku telah melihat sendiri betapa pemuda ini telah menolong seorang pemuda sasterawan. Oleh karena ini maka aku merasa menjadi kewajibanku untuk membalas budinya itu terhadap orang segolonganku." Pada saat itu Cun Eng telah tiba di situ dan gadis ini terkejut bukan main ketika melihat Thian Te Siang mo berada di situ dan mendengar bahwa sasterawan tua yang merampas kekasihnya itu adalah Luliang Siucai, tokoh luar biasa yang sudah banyak dikenai namanya.
Siapakah orang di dunia kang ouw yang tidak mengenal nama Luliang Ciangkun. Luliang Siucai, dan Luliang Nungjin, tiga tokoh utama berpakaian Perwira, Sasterawan, dan Petani, tiga orang murid dan pelayan dari Pak Kek Siansu, guru besar yang ditakuti oleh semua orang itu? Melihat mereka ini, Cun Eng segera mengeluarkan jerit rahasia dari perkumpulannya dan sebentar saja terdengar suara kaki yang banyak sekali mendatangi tempat itu. Pertama-tama yang muncul adalah Siang tung him dan Beng san kui. Akan tetapi dua orang kakek tokoh Hek kin kaipang inipun berdiri tertegun dan tidak berani sembarangan bergerak ketika melihat Thian Te Siang mo. Adapun Luliang Siucai mengeluarkan suara ketawa perlahan, kemudian mengenjot kedua kakinya dan bagaikan sesosok bayangan setan tubuhnya telah melayang keluar dari tempat itu sambil mengempit tubuh Ciang Le!
"Siucai tua bangka, lepaskan dia!" seru Thian Lo-mo dan diikuti oleh adiknya, ia lalu melompat mengejar. Cun Eng dan dua orang kakek pembantunya itu tidak berani mengejar dan mereka hanya saling pandang dengan muka pucat. Ketika para pemimpin Hek kin kaipang tingkat dua ke bawah datang berturut turut mendengar pekik tanda rahasia tadi. Cun Eng dengan mendongkol dan kecewa sekali lalu membubarkan mereka. Kemudian ketua dari Hek kin kaipang, nona cantik ini, lalu kembali ke dalam kamarnya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis terisak-isak dengan amat sedih dan kecewanya!
"Siucai, benar-benarkah kau tidak mau melepaskan dia?" Seru Te Lo-mo ketika dia dan kakaknya mengejar Luliang Siucai.
"Dia itu murid kami, tahukah kau? Apakah kau tidak malu melarikan murid orang lain?"
"Tidak ada guru yang hendak membunuh muridnya tanpa dosa!" kata Luliang Siucai sambil mempercepat larinya.
"Kau perduli apa? Lepaskan dia!" Sambil berkata demikian. Thian Lo-mo mengayun tangannya dan tujuh batang Kim-kong-touw kut-ciam (Jarum Penembus Tulang Bersinar Emas) melayang dengan amat cepatnya ke arah belakang tubuh kakek sasterawan itu mengarah jalan darah di tujuh tempat!
Luliang Siucai takkan patut disebut pelayan dan murid Pak Kek Siansu kalau ia roboh oleh serangan gelap ini, sungguhpun serangan ini agaknya takkan mudah dielakkan oleh sembarang tokoh persilatan. Tanpa menoleh, kakek sasterawan itu meneebutkan lengan bajunya yang panjang dan lebar itu ke belakang tubuhna. Bagaikan sehelai layar perahu tertiup angin keras, ujung lengan baju itu mengembang dan mengeluarkan angin, mengebut runtuh tujuh jarum itu. Akan tetapi, kembali menyambar tujuh batang jarum, disusul lagi oleh tujuh batang yang lain berturut turut sebanyak tiga kali. Luliang Siucai terkejut sekali Cepat ia mempergunakan ginkangnya untuk melompat jauh menghindarkan diri dari sambaran dua puluh satu batang jarum yang datang bagaikan hujan itu.
Baiknya di dekat situ terdapat sebatang pohon yang besar sekali sehingga ia cepat melompat ke balik pohon dan dengan sendirinya serangan jarum-jarum itu tertahan oleh pohon berikut dahan dan daun-daunnya. Ketika Thian Te Siang mo mengejar ke balik pohon, kakek sasterawan itu telah menghilang di dalam gelap. Sepasang iblis ini menyumpah-nyumpah dan memaki-maki. Kalau saja mereka tidak jerih menghadapi Pak Kek Siansu, tentu mereka akan terus mengejar ke Luliang san. Menghadapi tiga pelayan atau murid dari Pak Kek Siansu yakni Luliang Siucai, dan Luliang Nungjin saja mereka berdua masih sanggup untuk mengimbangi kepandaian mereka, akan tetapi biarpun kedua orang lihai ini belum pernah berhadapan sendiri dengan Pak Kek Siansu, namun mendengar nama guru besar itu mereka telah kuncup hatinya!
"Dasar kita yang bernasib buruki" Te Lo-mo membanting banting kaki kanannya.
"Anak itu kita didik semenjak kecil, tidak tahunya sekarang ternyata hanya menjadi seorang pemuda pemogoran, pemuda hidung belang, mata keranjang yang kelak hanya akan mencemarkan nama kita saja!" Thian Lo-mo yang lebih tenang dan sabar berkata,
"Belum tentu seburuk itu. Yang paling menggemaskan adalah Luliang Siucai itu. Dia bawa pergi murid kita mau apakah?"
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, apalagi? Dia tentu tertarik melihat bakat yang baik pada diri Ciang Le dan hendak mengambilnya sebagai murid!" Karena masih penasaran, kedua orang iblis ini lalu mendatangi rumah Cun Eng. Tanpa permisi lagi mereka lalu melompat ke atas genteng dan Cun Eng ketika itu masih menangis tersedu sedu di dalam kamarnya ketika tahu-tahu ia mendengar suara angin dan ketika gadis ini mengangkat kepala, ternyata ia telah berhadapan dengan Thian Te Lo-mo! Kalau dalam keadaan biasa, tentu gadis ini akan menjadi pucat ketakutan, karena ia sudah tahu sampai di mana kelihaian sepasang iblis ini yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Akan tetapi pada saat itu, Cun Eng sedang patah hati berduka, maka ia menjadi nekat dan tidak merasa takut sama sekali.
Memburu Iblis Eps 19 Memburu Iblis Eps 17 Memburu Iblis Eps 18