Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 17


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 17




   "Aku... aku tidak melihatmu. Di manakah k-k-kau...?" Siau In menjawab dengan suara gemetar. Bayangan nenek tua itu kembali menghantuinya.

   "Jawab dulu pertanyaanku, baru aku keluar menemuimu!" Siau In mulai ketakutan.

   "Namaku... tio Siau ln, dari aliran Im-yang-kauw. Aku tersesat dan tidak dapat keluar dari tempat ini!"

   "Tersesat? Siapa yang membawamu ke mari?"

   "Lhoh...?" Siau In tertegun. Ternyata orang itu bukan si Perempuan Tua yang menculiknya itu. Hening sejenak. Berdebar hati Siau In menantikan jawaban orang itu. Kalau bukan penculiknya, lalu siapakah orang ini? Wah, jangan-jangan yang ini justru hantu sungguhan!

   "Jawablah! Mengapa diam saja?" Suara itu kembali berdentang.

   "Eh-oh... aku Tio Siau In, murid ketua Cabang Im-yang-kauw wilayah Timur. Guruku bernama Giam Pit Seng." Siau In tersentak kaget dan buru-buru menjawab dengan suara gemetar.

   "Anggota aliran Im-yang-kau?"

   "Yah... Kau pernah mendengarnya?"

   "Ya, tapi aku tidak mengenal tokoh-tokoh yang baru. Apakah Toat-beng-jin yang biasa disebut Lojin-Ong itu masih hidup?" Siau In mengerutkan dahinya, lalu mengangguk. Perasaannya menjadi tidak enak karena orang itu menanyakan tokoh yang paling dihormati di dalam aliran Im-yang-kauw.

   "Ah... tentu sudah tua sekali. Eeem, lalu... bagaimana dengan... Kauwcusi (Pengurus Agama) Tong Ciak?"
Tong Ciak merupakan orang kepercayaan mendiang Kaisar Chin si Hong-te, seperti halnya mendiang Jendral Beng Tian. Setelah kaisar terakhir Dinasti Chin tersebut runtuh dan kerajaan jatuh ke tangan Kaisar Liu Pang, Tong Ciak kembali lagi ke tempat asalnya, yaitu ke aliran Im-yang-kauw. Karena sejak semula tingkat kedudukannya memang sudah tinggi, maka ia segera diangkat menjadi Pengurus Agama. Dan itu terjadi pada tiga puluhan tahun yang lalu, Ciak masih berumur tiga puluh tahun. Hati Tio Siau In semakin kecut. Ternyata orang itu juga sudah mengenal Tong Ciak pula. Bahkan caranya menyebut seperti kepada sahabat atau orang yang memiliki kedudukan setingkat.

   "Beliau juga dalam keadaan baik. Tapi... sekarang beliau menjabat sebagai Ketua, bukan sebagai Pengurus Agama lagi."

   "Oh... ya? Sekarang Ilmu Silat Kulit Dombanya tentu telah mencapai puncaknya. Kata orang, lima belas tahun lalu dia sudah berada di tingkat ke sebelas." Dada Siau In semakin berdebar-debar. Orang itu juga mengenal ilmu silat Aliran Im-yang-kauw yang sangat dirahasiakan. Padahal Ilmu Silat Kulit Domba hanya diketahui oleh tokoh-tokoh puncak mereka. Gurunya sendiri yang sudah berkedudukan cukup tinggi, juga belum di ijinkan untuk mempelajari ilmu rahasia tersebut.

   "Lo-Cianpwe... si-siapakah?" Di dalam keraguannya Siau In bertanya. Ia tidak berani bersikap sembarangan lagi.

   "Kau ingin tahu... siapa aku? Baik! Lihatlah...!" Siau In tersentak dan hampir saja menjerit ketika tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang wanita yang sangat cantik. Cantik dan matang! Dilihat dari rambutnya yang telah bercampur uban, usianya tentu sudah lebih dari empat puluh tahun. Tapi kalau dilihat dari kulit wajahnya yang tetap licin dan segar, orang takkan percaya kalau dikatakan umurnya lebih dari tiga puluh tahun. Pakaiannya yang longgar dan panjang itu hampir menutupi seluruh tubuhnya yang tinggi langsing. Hampir saja Siau In mengira bahwa ia sedang berhadapan dengan Souw Giok Hong, gadis ayu yang dijumpainya di atas pohon itu. Wajah mereka sangat mirip satu sama lain. Hanya umur dan penampilan mereka saja yang berlainan.

   "Kau terkejut? Mengapa? kau pernah bertemu dengan aku?" Wanita cantik itu bertanya. Suaranya nyaring berwibawa. Siau In menggeleng. Mulutnya belum bisa menjawab.

   "Jangan takut! Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu. Aku hanya ingin tahu, bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini. Hmm, siapakah namamu tadi? Tio Siau In? Benarkah?" Siau In mengangguk. Mulutnya tetap terkunci.

   "Baiklah! Tenangkanlah dulu perasaanmu! Atau... Kita keluar dulu? Marilah, akan kuperkenalkan kau dengan saudaraku!" Wanita cantik itu lalu menggandeng lengan Tio Siau In dan membawanya keluar melalui lubang besar tadi. Mereka menyusuri lorong panjang yang di kanan kirinya banyak dipasangi lampu minyak, sehingga tempat tersebut tampak terang-benderang.

   Hembusan angin dingin menerpa tubuh Siau In, seolah-olah dinding gua itu mempunyai banyak lubang angin. Lorong itu berbelok-belok, naik turun dan kadang-kadang menembus ke lubang gua yang lain. Demikianlah, setelah beberapa saat lamanya mereka berjalan, akhirnya Siau ln melihat sinar terang di kejauhan. Ternyata ujung lorong nembus ke permukaan tanah. Begitu keluar yang terlihat oleh Siau In adalah air terjun. Curahan air yang menebar panjang itu bagaikan selembar daun pintu yang menutupi pintu gua. Dan persis di mulut gua itu terlihat seorang wanita yang tidak kalah cantiknya dengan wanita yang datang bersama Siau In. Bahkan usia merekapun tampak sebaya pula. Hanya bedanya, perawakan anita yang kini baru memasak itu lebih kecil dan agak lebih pendek. Penampilannya juga tampak lebih sabar dan lembut.

   "Lan-moi, lihatlah... siapa yang kubawa ini? Aku hampir saja salah lihat. Kukira kau yang berada di bilik Semadhi, ternyata... dia! Lihat wajahnya, mirip denganmu, bukan?" Wanita cantik yang sedang memasak itu agak kaget juga melihat kehadiran Siau In. Bibirnya tersenyum, tapi senyumnya segera hilang begitu melihat wajah Siau In. Matanya terbuka lebar seolah-olah ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Tetapi kemudian mata itu kembali meredup, bahkan mulai berkaca-kaca.

   "Kau benar... cici. Aku benar-benar terkejut melihatnya. Siapakah dia...? Ah, kalau saja Cu Hua masih hidup..." Wanita berwajah lembut itu bergumam perlahan.

   "Maafkan aku, Lan-moi. Aku tidak bermaksud membangkitkan ingatanmu pada Cu Hua." Wanita yang datang bersama Siau In itu cepat meminta maaf. Wanita berwajah lembut itu menghela napas panjang sekali. Bahkan kepalanya menggeleng beberapa kali, seperti ingin melepaskan diri dari kabut kenangan yang menyedihkan.

   "Tidak apa, Cici. Melihat sikapmu kepada anak itu, aku juga tahu... bahwa kaupun ingat kepada Han Sui pula. Anak ini memang sebaya dengan kedua anak kita itu. Sayang bocah-bocah manis itu telah mendahului kita." Wanita cantik yang datang bersama Siau In itu tiba-tiba juga menarik napas panjang. Bahkan ia buru-buru berpaling untuk menyembunyikan matanya yang mulai memerah.

   "Ah, Lan-moi... sudahlah. Bagaimana dengan masakanmu? Sudah siap belum? Ayolah, kita bersantap bersama. Kita jamu tamu kita ini sambil... Kita tanyakan asal-usulnya." Katanya kemudian untuk mengalihkan suasana yang kurang menyenangkan itu.

   Demikianlah, tiga orang wanita itu lalu makan bersama-sama. Matahari sudah naik hampir di atas kepala, membuat ruangan sempit di mulut gua itu terasa segar dan nyaman. Suasana itu membuat nafsu makan Siau In menjadi semakin bertambah, sehingga tanpa malu-malu lagi gadis itu menyerbu hidangan yang tersedia. Tingkahnya yang bebas tanpa kendali, namun wajar serta alami itu, justru sangat menyenangkan tuan rumah. Dan pada saat makan itulah Siau In baru menyadari kalau tangan kiri wanita cantik yang sudah mulai beruban rambutnya itu, hanya sebatas siku saja panjangnya. Tampaknya lengan itu cacat atau terputus karena kecelakaan. Namun demikian wanita cantik itu bergerak dengan leluasa. Cacat tubuhnya sama sekali tidak membuatnya kikuk. Sikapnya juga kelihatan biasa saja dan wajar.

   "Tio Siau In, ketahuilah... Kami berdua telah lebih dari sepuluh tahun tinggal di guha ini. Riwayat hidup kami sangat menyedihkan sehingga kami tidak ingin mengingatnya lagi. kau boleh menyebutku Bibi Lian dan memanggil adikku itu... bibi Lan. kau boleh tinggal bersama kami... Kalau mau." Siau In tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

   "Lan-moi, anak ini bernama Tio Siau In. Gurunya adalah Ketua Cabang Im-yang-kauw wilayah timur. Katanya dia diculik seorang wanita bongkok dan dibawa masuk ke lubang kuburan di atas sana."

   "Im-yang-kauw...?" Wanita cantik berwajah lembut yang disebut Bibi Lan itu tersedak. Matanya yang redup dan sayu menatap wajah Siau In dengan tajamnya.

   "Apakah Bibi Lan juga sudah mengenal Lojin-Ong dan Tong Kauwcu?" Tak terduga Siau In bertanya lebih dulu dengan suara lucu. Dia berkata sambil melirik ke arah Bibi Lian. Wanita yang disebut Bibi Lan itu tiba-tiba menundukkan wajahnya. Bibirnya yang tipis bergumam perlahan.

   "Tentu saja. Bukankah aku dan Bibi Lian bersaudara? Apa yang dia kenal, tentu aku ketahui pula. Aku mengenal Lojin-Ong seperti mengenal kakekku sendiri. Ah, apakah dia masih hidup?"

   "Dia memang masih hidup, Lan-moi. Katanya tubuh Lojin-Ong sudah bongkok, tetapi masih tetap bersemangat mendampingi Kauwcusi Tong Ciak, yang kini telah diangkat menjadi Kauwcu."

   "Benarkah...?" Wanita berwajah lembut itu berdesah pendek, kemudian menundukkan mukanya kembali. Matanya terpejam seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Mereka lalu terdiam untuk beberapa saat, sehingga kesempatan itu segera dipergunakan Siau In untuk menceritakan pengalamannya selama ini. Dia bercerita tentang tugas yang diberikan gurunya, serta pengalamannya bersama A Liong, Kedua wanita cantik itu saling berpandangan. Wajah mereka sedikit berubah. Bahkan Bibi Lan bergumam, tapi tak jelas.

   "Lojin-Ong mencari pemuda bertato. Pihak kerajaan juga mengumpulkan para pemuda bertato naga? Oh, apakah mereka masih tetap mencari keturunan Pangeran Liu yang kun?"

   "Pangeran Liu yang kun? Siapakah dia, Bibi?" Lagi-lagi kedua wanita cantik itu menarik napas panjang. Keduanya tidak segera menjawab. Tampaknya seperti ada sesuatu yang mereka pikirkan.

   "Pangeran Liu yang kun adalah putera mendiang Kaisar Liu Pang yang lenyap ketika akan dinobatkan menjadi Kaisar. Ah, sudahlah! Lanjutkan saja ceritamu! Tak ada hubungannya dengan ceritamu." Akhirnya Bibi Lian menerangkan dengan suara berat. Meski tidak puas tapi Siau In tidak berani bertanya lebih lanjut. Dia lalu meneruskan ceritanya. Dia bercerita tentang Wanita Bongkok yang membawanya ke liang kuburan.

   "Kau maksudkan... di atas Ruang Semadi itu ada Kamar Mayatnya? Eh, mengapa tidak kau katakan sejak tadi? Lan-moi, mari kita lihat!" Bibi Lian tiba-tiba berseru. Tiba-tiba saja kedua wanita cantik itu menghilang dari depan Siau In! Sepintas hanya terlihat bayangan mereka, berkelebat masuk ke dalam gua! Siau In sampai melongo saking kagumnya! Gerakan mereka sama cepatnya dengan gerakan pemimpin rombongan orang Hun yang membantai prajurit kerajaan itu.

   Siau In bangkit sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Timbul perasaan kagum dan perasaan ingin dapat menjadi seperti mereka. Alangkah bahagia hatinya bila dapat menjadi murid wanita-wanita sakti itu. Sambil melamun Siau In melangkah mengikuti mereka. Namun baru selangkah kakinya menapak, Siau In mendengar suara nyaring di balik tumpahan air terjun. Dengan tangkas Siau In membalikkan tubuh dan berjalan keluar mendekati air terjun. Sambil berlindung dari semburan air yang memercik kemana-mana, Siau In berusaha mengintip keluar. Suara teriakan yang disertai desau angin pukulan terdengar semakin jelas. Tapi Siau In tetap tak bisa melihatnya, karena curahan air menimpa bebatuan di depan gua itu amat deras sekali. Percikan air seolah-olah menyelimuti tempat itu sehingga semuanya tampak remang-remang. Kadang-kadang memang kelihatan bayangan di luar air terjun.

   "Wah, tampaknya ada pertempuran di luar sana. Tapi lubang gua ini tidak ada jalan keluarnya. Jalan satu-satunya hanya menerobos air terjun itu..." Siau In mengawasi batu-batu besar yang berserakan di depan gua, di mana air terjun itu tercurah dari atas. Batu-batu itu kelihatan licin dan berbahaya, sementara air yang menimpanya tentu memiliki kekuatan yang dahsyat pula.

   "Apa boleh buat... Kalau ingin keluar memang harus berani mencobanya!" Tapi sebelum kakinya melangkah, tiba-tiba terdengar suara panggilan yang berdengung di lubang telinganya.

   "Siau In...!" Suara itu bergetar jelas melalui gelombang ilmu Coan-im-ji-bit.

   "Wah, Bibi Lian memanggilku..." Siau In bergumam dan terpaksa mengurungkan niatnya untuk menerobos air terjun. Siau In lalu masuk kembali ke lorong gua dengan tergesa-gesa. Setelah beberapa kali berbelok, serta melewati beberapa buah gua, Siau In sampai ke sebuah lorong kecil yang menanjak ke atas. Di tempat itu baru Siau In sadar bahwa dia tersesat. Lorong itu bukan jalan menuju Ruang Semadi.

   "Ah, seharusnya aku sudah sadar ketika tidak melewati lorong berlampu minyak itu...! Aduh, bagaimana sebaiknya? Oh, ada sinar terang di ujung lorong ini. Tentu ada lampu di sana. Baiklah, aku berjalan terus saja." Karena lorong itu terlalu sempit, Siau In terpaksa merangkak. Beberapa saat kemudian telinga Siau In mendengar desau angin dan burung berkicau. Udara yang berhembuspun terasa lebih segar.

   "Hei... Ini jalan keluar!" Siau In bersorak gembira. Otomatis Siau In menjadi bersemangat. Dan benar juga dugaannya. Sebentar kemudian mata Siau In menjadi silau oleh sorot matahari. Siau In segera melompat keluar. Ternyata lubang keluar itu berada di antara dua batu besar di tepi sungai. Lubang itu hampir tidak kelihatan karena tertutup ilalang dan lebarnyapun hanya setebal tubuh manusia dewasa. Siau In melesat ke kanan dan ke kiri. Tempat itu benar-benar sepi. Sungai di depannya juga besar dan lebar, di mana airnya mengalir dengan tenang tanpa riak yang berarti.

   "Sungai ini tentu dalam sekali dan... aha, kalau aku mengikuti alirannya, tentu akan sampai di air terjun itu! Bagus, aku akan ke sana!" Dengan wajah riang Siau In berlari di antara batu-batu yang berserakan di pinggir sungai. Sebentar saja ia sudah mendengar suara gemuruh itu.

   "Nah, apa kataku? Lorong gua tadi memang berada di bawah sungai ini. Air terjun itu...wah!" Tiba-tiba mulut Siau In ternganga. Aliran sungai itu sekonyong-konyong terputus dan meluncur turun dengan derasnya. Air sungai yang dalam dan lebar itu bagai ditumpahkan ke bawah begitu saja! Dan ketika Siau In mencoba melongok ke bawah, kakinya buru-buru ditarik kembali ke belakang. Ternyata air terjun itu cukup tinggi. Mungkin ada tiga belas atau lima belas tombak tingginya.

   Untuk menuruninya Siau In harus berjalan memutar cukup jauh, karena dinding tebing yang membatasi air terjun itu sangat terjal dan licin berlumut. Sampai di bawah Siau In semakin berhati-hati. Pengalamannya selama ini telah mengajarkan kepadanya, agar dia selalu waspada di manapun juga berada. Dia belum tahu siapa yang sedang berkelahi, tapi mengingat suara teriakan mereka yang mampu menindih, bahkan dapat mengalahkan suara air terjun, Siau In yakin bahwa mereka bukan orang sembarangan. Ternyata benar juga dugaan Siau In. Dia segera mengenal orang-orang yang sedang berkelahi itu. Mereka adalah orang-orang yang dilihatnya di kuburan pagi tadi, yaitu si Wanita Bongkok dan tiga orang aneh berkain belacu kasar itu. Sendirian Wanita Bongkok itu melawan tiga orang lawannya. Meskipun sudah tua namun gerakannya tetap luar biasa lincahnya.

   Tubuhnya yang sudah melengkung itu melenting kesana-kemari. Dia tidak membawa senjata apa-apa, tapi dari kedua telapak tangannya selalu tersembur angin tajam yang memburu lawan-lawannya. Dan bau aneh seperti bau dupa wangi menyebar sampai ke tempat Siau In. Tapi ketiga orang lawannya juga tidak kalah pula lincahnya. Mereka justru bergerak dengan cara yang lebih aneh dan mengerikan. Setiap kali kaki mereka menapak di tanah, tubuh mereka tampak terhuyung-huyung seperti orang mabuk berat. Namun setiap kali hendak jatuh tubuh mereka segera melenting lagi dengan tangkasnya. Demikianlah, pertempuran mereka benar-benar seru dan menegangkan. Dibandingkan dengan pertempuran di tepi Pantai Hang-ciu, pertempuran itu memang belum seberapa. Namun demikian pertempuran ini memiliki kesan tersendiri bagi Siau In.

   Cara dan gaya mereka berkelahi sama sekali berbeda dengan ilmu silat kebanyakan. Ternyata pada puncak pertempuran mereka, kedua pihak mempergunakan ilmu yang sama. Mereka bergerak kaku dan selalu bergoyang, seperti layaknya orang yang berdiri di atas geladak kapal. Entah mengapa, cara mereka bersilat yang aneh itu lama-lama menimbulkan perasaan seram dan ngeri di hati Siau In. Gadis itu serasa melihat sebuah acara ritual para pengikut setan. Bau dupa wangi serta kabut tipis tampak menyelimuti tubuh mereka, seperti halnya acara persembahan atau acara memanggil roh. Bahkan suasana segar dan cerah tadi tiba-tiba juga berubah menjadi sunyi mencekam. Suara gemuruh air yang mula terasa bising, mendadak mereda. Sebaliknya telinga Siau In seperti mendengar suara nyamuk yang mendenging tiada henti-hentinya.

   "Aduuuuh...!" Sekonyong-konyong Siau In mendekap kepalanya. Mulutnya meringis menahan sakit. Ternyata suara mendenging itu semakin lama semakin kuat dan tajam, hingga telinga Siau In menjadi sakit. Dan sebelum gadis itu sempat menutup telinganya, mendadak suara itu melengking makin kuat. Akibatnya seperti ada ribuan jarum yang tiba-tiba menyusup ke dalam telinga Siau In dan menyerang otaknya!

   "Hentikan...!!!" Karena tidak tahan lagi, maka Siau In berteriak sambil meloncat keluar dari persembunyiannya. Tapi apa yang dilakukan gadis itu benar-benar suatu kesalahan besar. Rasa kaget membuat orang-orang itu cenderung untuk membela diri.

   Otomatis semuanya bergerak menyerang Siau In. Ada yang melontarkan jarum-jarum kecil. Ada yang menghembuskan asap beracun. Dan ada pula yang menerjang dengan pukulan penuh tenaga sakti! Serangan tak terduga itu menyambar dengan cepat sekali dan tidak mungkin Siau In bisa mengelakkannya. Apalagi kepandaian mereka rata-rata memang berada jauh di atas gadis itu. Disertai jerit kesakitan tubuh Siau In terpental ke belakang. Sesaat gadis itu mencoba untuk bangkit kembali, namun gagal. Tubuhnya kembali terhempas ke tanah dan pingsan. Semua serangan lawannya tidak ada yang meleset. Semua mengenai tubuhnya. Sejenak pertempuran itu berhenti. Masing-masing melihat korban serangan mereka, tapi ketika tidak seorangpun diantara mereka yang mengenal Siau In, mereka saling bercuriga satu sama lain.

   "Kukira Kwa Yung Ling, ternyata... bukan! Hmmm siapakah gadis ini, Tai-Bong Kui-bo?" Salah seorang dari tiga lelaki berbaju putih itu bertanya kepada Wanita bongkok.

   "Mana aku tahu? Aku juga mengira ia kawan yang kau bawa dari Tai-bong-pai, sejak dulu kalian, Giam-lo sam-kui tak pernah pergi sendirian, selalu saja bertiga atau membawa kawan yang lain." Wanita bongkok itu mengejek. Orang tertua dari Giam-lo tai-bong itu mendengus, wajahnya yang pucat itu tampak semakin kusam.

   "Kurang ajar, perempuan tua tak tahu diri! Sudah dekat liang kubur, masih juga bersikap sombong, mari kita teruskan lagi pertempuran kita! Jangan harap kau dan Kwa Yung Lin bisa melepaskan diri dari hukuman Tai-bong-pai. Lihat serangan...!"

   "Bagus, kalau kalian memang bisa mengalahkan aku, akan kukatakan dimana Kwa Yu Ling berada!"

   Maka pertempuranpun pecah kembali, masing-masing tak mau mengalah lagi, begitu bergebrak mereka segera mengeluarkan kemampuan sepenuhnya, sekali lagi tempat itu menjadi ajang pertempuran yang dahsyat. Meskipun dari perguruan yang sama tapi kemampuan mereka memang berbeda, sejak kecil Tai-Bong Kui-bo ikut keluarga mendiang ketua Tai-bong-pai lama Kwa Eng Ki, meskipun tidak diambil murid tapi Kwa Eng Ki juga memberinya pelajaran silat. Ketika Kwa Eng Ki meninggal dan diganti Kui Mo Siang, sutenya, Tai-Bong Kui-bo diangkat menjadi pengurus rumah tangga perguruan, meskipun Tai-Bong Kui-bo tetap berada di rumah keluarga Kwa Eng Ki, wanita itu tetap mengasuh Kwa Yung Ling, cucu perempuan Kwa Eng Ki. Malapetaka timbul setelah Kui Mo Siang meninggal dunia... Penggantinya Yok si Ki, murid Mo Siang sendiri. Tapi watak mereka benar-benar bertolak belakang. Yok si Ki sangat kejam dan licik.

   Usianya yang masih terhitung muda, ditambah dengan ilmu silatnya yang tinggi membuat wataknya menjadi sombong dan sewenang-wenang. Lebih celaka lagi Yok si Ki memiliki watak hidung belang dan suka main perempuan. Banyak wanita dan gadis baik-baik yang menjadi korban kebiadabannya, di antaranya adalah Kwa Yung Ling, cucu Kwa Eng Ki sendiri. Padahal saat itu Kwa Yung Ling masih terlalu muda. Hanya karena menolak menjadi isteri mudanya, Kwa Yung Ling ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Dan di dalam penjara itu berkali-kali Kwa Yung Ling diperkosa dan dihina, sehingga akhirnya ia melahirkan seorang bayi perempuan. Dua belas tahun lamanya Kwa Yung Ling terkurung bersama anaknya. Dan selama itu pula pengasuhnya, Tai-bong Kui-bo, tak pernah kelihatan batang hidungnya. Perempuan itu menghilang sejak dikalahkan oleh pengawal-pengawal Yok si Ki.

   Selama dua belas tahun itu pula Yok si Ki selalu menyebar anak buahnya untuk mencari Tai-bong Kui-bo, karena wanita itu ternyata menghilang bersama buku pusaka Tai-bong Pit-kip. Tetapi usahanya tak pernah berhasil. Tak seorangpun di antara orang-orangnya yang dapat menemukan perempuan itu. Tai-bong Kui-bo seakan-akan sudah lenyap ditelan tanah. Maka Yok si Ki benar-benar tidak menduga ketika dua tahun yang lalu Tai-bong Kui-bo tiba-tiba muncul di gedung penjara, membunuh para penjaga, kemudian membawa pergi Kwa Yung Ling dan anaknya! Bahkan ketika Tai-bong Kui-bo yang kini sudah tua dan bongkok itu kepergok dengan Hiat-tok Mo-li (Iblis Wanita Darah Beracun), dia masih bisa mengecoh dan meloloskan diri. Padahal Hiat-tok Mo-li merupakan orang nomor tiga di partai Tai-bong-pai setelah Yok si Ki dan Mo-gan Wan-ong (Si Raja Kera Bermata Iblis).

   Sebab itulah selama dua tahun ini Yok si Ki benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memburu Tai-bong Kui-bo. Seluruh pelosok negeri diaduknya. Puluhan orang kepercayaannya tersebar hampir di segala tempat. Tak heran kalau akhirnya jejak perempuan tua itu dapat ditemukan juga. Giam-lo Sam-kui, tiga orang Petugas Hukum dari Tai-bong-pai, berhasil mencium persembunyiannya dan sekarang ketiga iblis neraka itu mencoba meringkusnya. Kepandaian Giam-lo Sam-kui memang masih di bawah Mo-gan Wan-ong maupun Hiat-tok Mo-li. Tapi di dalam Partai Tai-bong-pai, kedudukan Giam-lo Sam-kui sangat dihormati. Mereka bertiga adalah Pengawas Hukum di dalam Partai Tai-bong-pai. Kedudukan mereka sejajar dengan Pengurus Partai, yang kini dipegang oleh Mo-gan Wan-ong.

   Oleh karena itu tidak mengherankan bila mereka bertiga mampu melayani Tai-bong Kui-bo dengan baik. Sebenarnya kepandaian Tai-bong Kui-bo sendiri juga sulit diduga pula. Selama dua belas tahun bersembunyi, ditambah dengan dua tahun dalam pelariannya bersama Kwa Yung Ling, kesaktiannya benar-benar lain dengan Tai-bong Kui-bo dahulu. Dengan mempelajari Buku Pusaka Tai-bong Pit-kip yang berisi rahasia Ilmu Silat Tai-bong-pai, ilmunya telah meningkat berlipat ganda. Sayang sekali cacat pada tulang punggungnya, akibat keroyokan pengawal Yok si Ki lima belas tahun lalu, membuat dia tidak bisa mempelajari Tai-bong Pit-kip secara tuntas. Itulah sebabnya dalam pertempuran sekarang, Tai-bong Kui-bo tampak sangat geram kepada Giam-lo Sam-kui, karena ketiga Iblis Neraka tersebut termasuk pula di antara para pengeroyoknya pada waktu itu.

   Demikianlah, pada lima belas tahun lalu memang mudah bagi Giam-lo Sam-kui untuk mengalahkan Tai-bong Kui-bo. Tapi sekarang mereka tidak dapat melakukannya lagi. Kini ilmu silat Tai-bong Kui-bo telah sejajar dengan ilmu silat mereka. Bahkan tenaga dalam perempuan tua itu juga sudah mencapai tingkatan tertinggi pula. Oleh karena itu pertempuran mereka tidak mungkin selesai dalam waktu pendek. Masing-masing sudah saling mengenal ilmu silat lawannya. Mereka hanya bisa mengandalkan memujuran saja, siapa tahu lawan mereka lengah atau salah langkah. Demikianlah, lima puluh jurus telah berlalu. Dan mataharipun mulai bergeser ke arah barat. Tubuh mereka telah mulai basah dengan keringat, sementara kekuatan mereka telah berimbang. Namun menginjak jurus ke sembilan puluh, tiba-tiba perimbangan kekuatan mereka mulai berubah.

   Sedikit demi sedikit gerakan Tai-bong Kui-bo kelihatan melemah. Bahkan setiap kali beradu tenaga, mulut perempuan tua itu tampak menyeringai kesakitan. Malah sesekali perempuan tua itu terhuyung seolah-olah kehilangan tenaga. Ternyata perbedaan usia dan jumlah lawan berpengaruh juga pada daya tahan mereka. Walaupun berkepandaian tinggi tetapi tulang dan otot Tai-bong Kui-bo tidak sekuat dan sesegar tubuh Giam-lo Sam-kui yang masih muda. Apalagi Tai-bong Kui-bo memiliki cacat pada punggungnya, sehingga ia selalu merasa kesakitan setiap kali beradu kekuatan. Semakin lama perimbangan kekuatan mereka juga semakin berat sebelah. Pelan tetapi pasti perbedaan kekuatan itu membuat Tai-bong Kui-bo mulai terdesak. Malah beberapa saat kemudian satu dua pukulan mulai mendarat pada tubuh bongkok itu.

   "Iblis pengecut...!" Perempuan tua itu menjerit-jerit.

   "Sudahlah, Kui-bo! Lebih baik kau menyerah saja dan katakan di mana Kwa Yung Ling berada!"

   "Persetan! Kalian tidak mungkin... aduuuh!" Sebuah sabetan kaki mengenai pinggang perempuan itu sehingga tubuhnya terlempar jauh. Tapi dengan ginkangnya yang tinggi Tai-bong Kui-bo mampu mendaratkan kakinya di atas tanah kembali. Meskipun demikian tendangan itu tetap melukai bagian dalam perutnya.

   "Ayoh, cepat katakan! Di mana Kwa Yung Ling, hah...?" saudara tertua dari Giam-lo Sam-kui membentak seraya menahan dua saudaranya untuk memberi kesempatan kepada lawannya. Namun Tai-bong Kui-bo tak menjawab. Matanya justru mendelik penuh hawa pembunuhan. Dan itu sudah cukup bagi Giam-lo Sam-kui untuk segera mengakhiri pertempuran mereka. Oleh karena itu Giam-lo Sam-kui segera mempersiapkan diri mereka untuk menggempur perempuan itu dengan kekuatan penuh. Meski sedang goyah, tapi Tai-bong Kui-bo menyadari bahaya yang hendak menimpanya. Dalam keadaan terdesak itulah timbul kenekatannya. Lebih baik mati daripada jatuh ke tangan lawannya. Tiba-tiba Tai-bong Kui-bo bergeser mundur, berbareng dengan itu kedua tangannya terayun ke depan dan belakang bergantian.

   Serentak dari kedua telapak tangannya berhembus angin berputar mengelilingi tubuhnya, membentuk sebuah benteng untuk melindungi diri dari sergapan lawannya. Pusaran angin yang keluar dari telapak tangan Tai-bong Kui-bo makin lama terasa semakin kuat, sehingga pengaruhnya mulai melanda pinggiran air terjun itu. Semak-semak mulai bergoyang, sementara dedaunan juga mulai tanggal dan bertebaran ke segala penjuru. Tapi ke tiga iblis itu hampir tak terpengaruh oleh kedahsyatan ilmu Tai-bong Kui-bo tersebut. Mereka bertiga tetap menerjang ke depan, menerobos benteng angin itu. Di dalam puncak ilmu mereka, Giam-lo Sam-kui benar-benar memiliki kekuatan seperti iblis. Ketiga pasang tangan mereka bagaikan palu godam yang menggedor benteng pertahanan Tai-bong Kui-bo. Dan akibatnya sungguh mendebarkan!

   "Dhuuuuaaaaaarrrr!" Tubuh Tai-bong Kui-bo terpental balik bagaikan layang-layang putus! Sebaliknya salah seorang di antara lawannya juga jatuh terduduk di atas rumput! Ternyata benturan kekuatan itu telah membawa korban!

   "Kui-bo...!" Tiba-tiba terdengar jeritan dari jauh.

   "Kwa Yung Ling!" Tiga Iblis dari Neraka itu menggeram bersama-sama. Salah seorang dari Giam-lo Sam-kui yang jatuh tadi telah dapat berdiri kembali. Sekejap kemudian seorang wanita cantik berusia tiga puluh satu atau tiga puluh dua tahun, datang ke tempat itu dan menubruk tubuh Tai-bong Kui-bo yang tergeletak lemah di atas tanah. Darah segar tampak mengalir deras dari mulut perempuan tua itu.

   "Kui-bo, bertahanlah! Aku akan mengobati lukamu...!" Wanita yang tidak lain memang Kwa Yung Ling itu menangis di samping Tai-bong Kui-bo. Dia sama sekali tidak mempedulikan Giam-lo Sam-kui yang berdiri garang di sekelilingnya. Mata yang terpejam itu terbuka. Ketika melihat kehadiran Kwa Yung Ling, mata yang telah mulai meredup itu tampak kaget. Dengan segala kekuatan yang masih tersisa bibir itu dipaksakan untuk berkata.

   "Ce-cepatlah... Laari!" Bibir itu bergetar lemah, kemudian terkatup rapat kembali. Nyawa tua itu keburu lepas dari tubuhnya. -

   "Kui-bo...!!!" Sekali lagi wanita yang baru tiba itu menjerit pilu dan memeluk tubuh Tai-bong Kui-bo.

   "Diam! kau tidak perlu menangis lagi! Sekarang berikan buku itu dan ikut kami ke Tai-bong-pai!" Tiba-tiba orang tertua dari Giam-lo Sam-kui menghardik dan menyambar lengan Kwa Yung Ling. Tapi dengan tangkas wanita cantik itu menghindar. Walau sedang menangisi pengasuhnya, namun Kwa Yung Ling tetap waspada terhadap lawan-lawannya. Maka ketika tangan Giam-lo Sam-kui menyambar, dia buru-buru melompat ke samping. Di lain saat ia telah berdiri tegak di hadapan lawan-lawannya. Bahkan tangan kanannya telah memegang selendang putih yang tadi membelit di pinggangnya. Di kedua ujung selendang itu terpasang gelang kecil dan besar.

   "Kalian bertiga memang bukan manusia baik-baik. Kalian telah mengkhianati sumpah kalian terhadap Tai-bong-pai. Kalian mengabdi kepada si Iblis Yok si Ki, yang telah berbuat makar terhadap Tai-bong-pai. Sebagai pejabat Pengawas Hukum seharusnya kalian tahu bahwa Yok si Ki telah menginjak-injak peraturan dan adat istiadat Tai-bong-pai, yang selama ini dijunjung tinggi oleh leluhur kita."

   Wajah Giam-lo Sam-kui yang putih pucat itu untuk sesaat berubah menjadi merah padam. Namun rasa malu justru membuat mereka menjadi marah sekali. Dengan pandangan mengerikan ketiga iblis itu mengangkat tangannya. Terdengar suara berkerotokan ketika lengan itu mengeluarkan asap tipis berwarna kemerahan. Sebagai seorang anggota partai Tai-bong-pai, Kwa Yung Ling segera tahu apa yang sedang dilakukan lawannya Cepat ia mengerahkan segala kemampuannya, semua ilmu yang diberikan mendiang Tai-bong Kui-bo selama dua tahun ini. Selendang itu cepat direntangkan di depan dadanya. Seluruh tenaga sakti dia kerahkan di kedua lengannya, karena ia tahu bahwa dia bukan tandingan Giam-lo Sam-kui. Namun yang jelas ia tak mau menyerah begitu saja.

   "Mulutmu sangat tajam, maka tiada jalan lain bagi kami selain membungkam mulutmu selama-lamanya! Nah, bersiaplah untuk mati!" Orang tertua dari Gia lo Sam-kui menggeram, kemudian memberi aba-aba kepada saudaranya untuk menyerang.

   "Wuuuuuus! Singgggg! Taaaaak" Giam-lo Sam-kui tidak peduli lagi akan pandangan orang. Sebagai seorang tokoh Tai-bong-pai mereka tidak malu-malu lagi mengeroyok seorang wanita muda. Bagi mereka yang penting adalah menunaikan tugas yang diberikan oleh Jcetua mereka.

   Mereka tidak ingin kehilangan kesempatan itu. Mereka harus segera memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan buku Tai-bong Pit-kip itu kembali. Mereka bertiga menyerang tanpa belas kasihan lagi. Seluruh kemampuan mereka tercurah untuk secepatnya membunuh Kwa Yung Ling, kemudian mengeledahnya. Kwa Yung Ling memang tidak bisa berbuat banyak. Tai-bong Kui-bo saja kalah, apalagi dia. Meskipun selendangnya yang berujung gelang itu sangat cepat dan bergerak lincah melindungi diri, tapi ketiga lawannya memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dia. Maka belasan jurus kemudian gerakan selendang itu justru menjadi kacau dan menyulitkan dirinya sendiri. Beberapa kali gelang di ujung selendang itu malah berbalik menyerang dirinya. Bahkan tangkai selendang itu sering membelit dan membelenggu tangannya sendiri.

   "Hihihi, kelihatannya selendangmu justru ingin mengantung lehermu sendiri. Lihat saja...!" saudara termuda dari Giam-lo Sam-kui tertawa mengejek.

   Benar juga. Pertempuran selanjutnya ketiga Iblis Neraka itu selalu berusaha untuk mempengaruhi jalannya ujung selendang Kwa Yung Ling. Mereka membuat gerakan agar selendang itu selalu berbalik menyerang kepada tuannya. Dan hal itu tidak sulit mereka lakukan karena kepandaian mereka memang jauh lebih tinggi daripada Kwa Yung Ling. Beberapa jurus kemudian wanita cantik itu benar-benar dalam kesulitan. Beberapa kali ia ingin membuang selendangnya, tapi Giam-lo Sam-kui selalu mencegahnya. Selendang itu selalu berbalik kembali ke dalam genggamannya. Akhirnya dalam keputusasaannya Kwa Yung Ling nekat untuk mengadu jiwa. Ia tidak lagi mempedulikan keselamatannya. Selendang itu diputar di atas kepalanya, kemudian ia hentakan dalam jurus yang tak terduga.

   Giam-lo Sam-kui memang terkejut bukan main. Dalam gerakan ilmu silat Tai-bong-pai, tidak ada jurus memutar senjata sambil menghentak seperti itu. Gerakan itu justru sangat membahayakan keselamatan sendiri, karena di dalam ajaran tenaga dalam Tai-bong-pai, gerakan tersebut justru akan memecah himpunan tenaga sakti di dalam tubuh, kemudian menutup seluruh jalan darah yang ada. Menggunakan gerakan seperti itu sama saja dengan bunuh diri. Tapi justru itu memang sengaja diciptakan oleh Tai-bong Kui-bo, yang kemudian diajarkan kepada Kwa Yung Ling, untuk sewaktu-waktu dipergunakan bila tidak ada jalan lain lagi.
(Lanjut ke Jilid 17)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 17
Demikianlah, dalam keadaan kaget Giam-lo Sam-kui tidak menyangka kalau selendang yang berputar di atas kepala Kwa Yung Ling itu mendadak terputus menjadi beberapa bagian.

   Dan mereka juga tidak menduga pula ketika potongan-potongan selendang itu tiba-tiba menerjang ke arah mereka. Ternyata hentakan tenaga Kwa Yung Ling tadi telah memotong selendang itu menjadi beberapa bagian. Mati-matian Giam-lo Sam-kui berusaha menghindar dari potongan selendang itu. Mereka berjungkir balik sambil mengibaskan lengan baju mereka yang longgar. Namun tetap saja beberapa potongan selendang melesat mengenai mereka. Ketiganya meringis menahan sakit. Ketika mereka berdiri tegak kembali, tampak baju mereka telah terbuka di sana-sini. Bahkan darah mulai mengalir membasahi kain yang sobek itu. Beruntung bagi mereka karena memiliki sinkang lebih tinggi, sehingga luka-luka itu tidak terlalu dalam.

   "Keparat! Hampir saja dia membunuhku!" Orang termuda dari Giam-lo Sam-kui mengumpat, karena dialah yang terparah lukanya. Namun mereka tidak bisa menghukum Kwa Yung Ling lagi, karena sejalan dengan jurus terakhirnya itu maka seluruh jalan darah wanita itu telah tertutup, sehingga jantungnya juga berhenti berdenyut. Wanita cantik itu telah mati mengikuti pengasuhnya. Giam-lo Sam-kui bergegas mengobati luka-lukanya, kemudian cepat-cepat menggeledah tubuh kedua korbannya. Dan sebuah buku kecil mereka dapatkan di balik pakaian Kwa Yung Ling.

   "Ah, Tai-bong Pit-kip telah kita dapatkan kembali!" Orang tertua dari Giam Lo Sam-kui berdesah kegirangan. Buku itu segera dimasukkannya ke dalam saku.

   "Ji-te, Sam-te... ayoh, cepat kita tinggalkan tempat ini! Kita harus segera melaporkan penemuan ini kepada Yok Ciangbun (Ketua Yok)!" Namun belum sempat mereka melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu, segera seorang dara remaja berusia empat belas tahun menghambur datang. Gadis itu berteriak setinggi langit begitu melihat mayat Kwa Yung Ling.

   "Ibuuuuuu...!!!"

   "Tahan! Bukankah anak ini... yok Ting Ting?" Orang tertua dari Giam-lo Sam-kui tiba-tiba mencengkeram lengan kedua saudaranya.

   "Kita tak usah pedulikan dia. Kita sudah membunuh kedua buruan itu dan sudah mendapatkan buku mereka pula. Kita tak usah membuang-buang waktu untuk mengurusi anak itu." Orang kedua dari Giam-lo Sam-kui memperingatkan kakaknya.

   "Benar, Twako. Perjalanan kita masih panjang. Kita tak usah mencari perkara yang lain. Biarlah anak itu
mengurusi Ibu dan pengasuhnya." Orang termuda dari Giam-lo Sam-kui berkata pula.

   "Ah, bodoh benar kalian ini! Bagaimanapun juga dia adalah puteri Yok Ciangbun. Kedatangan anak ini akan menambah kegembiraan beliau. Hmm, ayoh... Kita bawa anak ini!" Orang kedua dan ketiga dari Giam-lo Sam-kui tidak mau membantah lagi. Sambil saling memandang dan mengangkat pundaknya, mereka berdua cepat melangkah ke depan untuk meringkus Yok Ting Ting.

   "Nona Yok, Ibumu sudah mati. Tak perlu kau tangisi lagi. Marilah sebaiknya kau ikut kami untuk menemui Ayahmu."

   "Pembunuh! Kalian bertiga benar-benar manusia busuk! Kalian telah membunuh Ibuku dan Nenekku! Aku... aku... ah, kubunuh kalian bertiga!" Yok Ting Ting berteriak tinggi, kemudian dengan nekad melompat dan memukul orang tertua dari Giam-lo Sam-kui. Tapi hanya dengan sebelah tangan orang tertua dari Giam-lo Sam-kui menangkap pergelangan tangan Yok Ting Ting. Kemudian hanya dengan sekali sentak gadis itu terkulai lemas dalam pelukannya. Sebuah totokan jari telah membuat gadis itu tak berdaya. Namun sebelum ketiga iblis itu beranjak pergi, dari balik air terjun terdengar suara bentakan nyaring.

   "Lepaskan anak itu...!" Dengan gesit Giam-lo Sam-kui membalikkan badan. Dan mata mereka segera menangkap dua sosok bayangan wanita berkelebat menghampiri tempat itu. Salah seorang dari bayangan itu tiba-tiba telah berdiri di depan mereka, sementara bayangan yang lain melesat ke tempat di mana Tio Siau In tergeletak. Sekejap ketiga iblis itu melongo menyaksikan wajah cantik berkesan agung itu.

   "Engkau... siapa?" Di dalam kekagetan mereka orang tertua dari Giam-lo Sam-kui itu bertanya. Wanita cantik di depan Giam-lo Sam-kui, yang tidak lain adalah Bibi Lian itu berdesah pendek.

   "Kalian tak perlu tahu... siapa kami berdua. Kami hanya meminta agar anak itu dilepaskan!"

   "Oh...!" saudara tertua dari Giam-lo Sam-kui menggeram. Kulit wajahnya yang pucat itu kembali memerah. Hatinya tersinggung.

   "Tahukah kau... siapa gadis ini? Dia puteri ketua kami yang hilang sejak dua tahun lalu. Kami telah menemukannya kembali dan akan membawanya ke Tai-bong-pai. Nah, apakah kau tetap ingin mencampuri urusan kami?"

   "Bohong...! Penjahat ini berbohong! Aku bukan anak Yok si Ki! Orang-orang ini justru telah membunuh Ibu dan Nenekku!" Tak terduga Yok Ting Ting berteriak keras sekali. Tentu saja Giam-lo Sam-kui menjadi marah sekali. Kelima jari-jari tangan kanannya tiba-tiba terayun ke ubun-ubun Yok Ting Ting. Gadis itu menjadi pucat seketika. Dia tak mungkin bisa mengelak, karena tubuhnya tertotok lemas dan tak bisa bergerak! Namun di dalam situasi yang kritis itu mendadak terdengar suara berdesis seperti suara bara api terjatuh ke dalam air.

   "Cush!" Dan Giam-lo Sam-kui tiba-tiba melihat cahaya kebiruan melesat menerjang ke arah jari tangannya yang hendak mencoblos kepala Yok Ting Ting! Ujung jari yang hampir menembus ubun-ubun Yok Ting Ting itu cepat ditarik kembali. Sebagai gantinya orang tertua dari Giam-lo Sam-kui itu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah cahaya yang datang.

   "Taaak...! Taaaak!" Tak terasa lengannya bergetar hebat seperti menahan gempuran pedang, sehingga Yok Ting Ting terlepas dari pelukannya! Dan pada saat itu pula wanita cantik tersebut berkelebat menyambar tubuh gadis itu!

   "Aaiiih...!?" Tiga Iblis dari Neraka itu membelalakkan mata mereka. Ujung lengan baju saudara tertua mereka tampak berlubang di kedua sisinya. Lubang sebesar ujung jari itu bagaikan lubang bekas tertembus anak panah.

   "Kau... Kau dari keluarga Souw?" saudara tertua dari Giam-lo Sam-kui bertanya gugup.

   "Benar! Ia memang puteri kesayangan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai!" Tiba-tiba dari pinggir arena terdengar suara lembut dan merdu. Semuanya berpaling dengan cepat ke arah suara itu. Di tepian kolam, di mana air terjun itu tertumpah tampak seorang gadis cantik bak bidadari. Tubuhnya yang tinggi langsing itu melenggang gemulai bagaikan pohon yang-liu tertiup angin. Sementara itu wajahnya yang bulat telur kelihatan bercahaya laksana bintang kejora. Kalau Giam-lo Sam-kui terbelalak matanya melihat kecantikan yang tiada tara itu, sebaliknya Bibi Lian tersentak keheranan seperti melihat hantu!

   "Kau... Kau siapa? Bagaimana kau bisa mengenal aku?" Gadis ayu itu tersenyum sambil memberi hormat kepada Bibi Lian.

   "Cici, kau tentu telah melupakan Adikmu, karena akupun hampir melupakan wajahmu pula. Tapi Ayah telah memberikan ciri-ciri wajahmu, sehingga aku bisa mencarimu..."

   "Kau... Kau mencariku? Apakah kau... souw Giok Hong?" Gadis ayu yang kemarin berjumpa dengan Tio Siau In di atas kuburan itu mengangguk.

   "Benar, Cici Lian Cu. Ayah sangat prihatin dan tidak pernah percaya kalau kau mati dalam musibah kebakaran itu. Beliau tetap mencarimu kemana-mana bersama Ibu. Beruntunglah aku bisa melacakmu sampai di tempat ini. Cici, Ayah sangat kangen padamu..."

   Terdengar suara tertahan di tenggorokan wanita bertangan buntung itu. Matanyapun tampak berkaca-kaca. Perlahan-lahan tangannya yang memegang Yok Ting Ting itu terkulai lemas, sehingga gadis remaja itu melorot turun ke atas rumput. Sementara itu Giam-lo Sam-kui saling memberi isyarat untuk secara diam-diam meninggalkan tempat tersebut, karena melihat kesaktian wanita buntung tadi mereka sadar bahwa mereka tak mungkin bisa menghadapinya. Apalagi wanita itu masih memiliki dua orang kawan yang belum mereka ketahui kepandaiannya. Namun mereka percaya bahwa kedua orang itu tentu memiliki kesaktian yang serupa pula. Tapi ketika Giam-lo Sam-kui mulai bergerak melangkahkan kakinya, gadis ayu yang baru datang itu cepat membentak.

   "Berhenti...! Kalian telah membunuh orang! Hmm, bagaimana mungkin pergi begitu saja?" Bukan main malunya ketiga iblis neraka itu. Mereka benar-benar menjadi marah sekarang. Walaupun tahu berhadapan dengan tokoh sakti yang mereka perkirakan dari keluarga Souw, tapi mereka juga pantang dihina. Bagaimanapun juga mereka adalah tokoh dari partai persilatan terkenal pula.

   "Hmmh! Peduli apa dengan engkau? Kami adalah petugas Pengawas Hukum dari Tai-bong-pai! Dan kedua wanita yang kami bunuh itu adalah anggota-anggota partai kami yang harus kami adili karena telah berbuat kesalahan! Apakah engkau hendak mencampuri urusan kami?" saudara tertua dari Giam-lo Sam-kui menggeram. Ketiga Iblis Neraka itu lalu berdiri berdampingan, siap untuk bertempur. Sebaliknya gadis ayu itu tergagap bingung mendengar ucapan lawannya. Melihat hal itu Bibi Lian atau Lian Cu segera memunahkan totokan Yok Ting Ting dan bertanya kepada gadis itu.

   "Benarkah Nenek dan Ibumu anggota Partai Tai-bong-pai?" Gadis remaja itu memandang jenazah ibu dan pengasuhnya. Air matanya kembali bercucuran.

   "Orang-orang itu sangat jahat! Mereka adalah Giam-lo Sam-kui! Mereka...uhuk-huk...!"

   "Jawablah pertanyaanku dulu! Benarkah Ibu dan Nenekmu itu anggota Partai Tai-bong-pai seperti mereka?" Wanita bertangan buntung itu kembali mendesak. Sambil tersedu-sedu Yok Ting Ting mengangguk.

   "Tapi... tapi Ibuku dipaksa oleh..." Jawabnya tersendat, lalu tiba-tiba terdiam kembali dan tak mau melanjutkan kata-katanya.

   "Ya, sudah! Kalau begitu urusan ini memang urusan Partai Tai-bong-pai sendiri! Orang luar tidak berhak untuk mencampurinya." Wanita buntung itu melirik Souw Giok Hong.

   "Tapi... dia telah membunuh Ibuku! Aku harus membunuhnya!" Yok Ting Ting melengking tinggi. Wanita berlengan buntung itu melepaskan pegangannya.

   "Kalau engkau sendiri yang hendak melawan mereka, silakan...! kau dan mereka memang sama-sama anggota Tai-bong-pai! Cuma... Hm, rasanya kepandaianmu masih terlalu lemah dibandingkan mereka. Melawan mereka sekarang, sama saja dengan bunuh diri. Dan hal itu berarti dendam Ibu dan Nenekmu tidak ada yang membalaskan." Yok Ting Ting terbelalak. Di balik ucapannya wanita cantik itu seolah-olah memberi harapan kepadanya. Harapan untuk belajar ilmu silat kepadanya. Dan ketika menoleh, gadis ayu bak bidadari tadi juga tampak mengedip-ngedipkan mata kepadanya. Akhirnya Yok Ting Ting memberi hormat.

   "Bibi, kau... Kau mau menerima aku sebagai murid?" Katanya dengan suara gemetar. Wanita cantik itu menghela napas. Matanya menerawang jauh, seperti ada banyak masalah yang sedang membebani pikirannya.

   "Sudahlah, hal itu bisa kita pikirkan belakangan. Sekarang biarkanlah Giam-lo Sam-kui pergi. Lebih baik kita urus sendiri jenazah Ibu dan Nenekmu." Akhirnya wanita cantik itu berdesah dengan suara berat. Lalu tangannya dikibaskan untuk memberi isyarat agar lawannya segera pergi meninggalkan tempat itu. Bagi Giam-lo Sam-kui yang penting adalah tugas yang diberikan oleh ketua mereka, yaitu mencari Tai-bong Kui-bo dan Buku Pusaka Tai-bong Pit-kip. Sekarang mereka telah berhasil menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Selain sudah berhasil menemukan Tai-bong Kui-bo dan membunuhnya, mereka juga berhasil mendapatkan Tai-bong Pit-kip pula. Oleh karena itu urusan Yok Ting Ting sebenarnya tidak penting bagi mereka.

   Kalau tadi mereka berniat menangkap gadis itu, sesungguhnya hanya untuk menyenangkan ketua mereka saja. Maka melihat Yok Ting Ting sekarang dilindungi oleh orang-orang yang lebih kuat, mereka tidak ingin mencari kesulitan lagi. Mereka bergegas meninggalkan tempat tersebut. Begitu ketiga iblis itu pergi, Yok Ting Ting segera menubruk mayat ibunya dan menangis sekuat-kuatnya. Sementara itu dari arah lain Bibi Lan datang bersama Tio Siau In. Wanita cantik itu, yang begitu tiba tadi langsung menghampiri tubuh Siau In, berhasil menyelamatkan gadis itu dari maut. Wajah Tio Siau In kelihatan pucat sekali. Meskipun dapat berjalan, namun gadis itu masih tampak lemah sekali. Serangan Giam-lo Sam-kui dan Tai-bong Kui-bo tadi benar-benar telah melukai bagian dalam tubuhnya dengan parah. Apabila tadi tidak cepat-cepat ditolong oleh Bibi Lan, mungkin dia sudah mati.

   
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cici Tui Lan...? Benarkah?" Melihat kedatangan wanita cantik itu, Souw Giok Hong tiba-tiba berseru gembira. Wanita cantik yang datang bersama Siau In itu terkejut. Matanya menatap Souw Giok Hong dengan tajamnya. Karena merasa belum pernah kenal juga, maka ia memandang Lian Cu, seakan-akan menuntut penjelasan.

   "Lan-moi, kau masih ingat gadis kecil yang sering digendong Ayahku dahulu" Wanita bertangan buntung itu akhirnya berkata pelan.

   "Maksudmu dia ini... giok Hong?" Wanita yang datang bersama Siau In itu bertanya ragu. Lian Cu mengangguk sambil meraih pundak Giok Hong.

   "Benar, Lan-moi entah bagaimana caranya dia sampai bisa menemukan persembunyian kita ini. Padahal sudah dua belas tahun kita menghilang dan kukira setiap orang juga beranggapan bahwa kita sekeluarga telah terbakar hangus di dalam Istana itu. Aaah!" Wanita cantik itu berdesah sedih.

   "Semua orang memang berpendapat begitu, karena perajurit yang memeriksa reruntuhan Istana itu telah menemukan mayat dua wanita yang sedang memeluk anak-anaknya. Jadi semua orang menganggap bahwa Cici sekeluarga memang telah menjadi korban kebakaran itu. Cuma... ayah dan Ibu yang tidak percaya pada khabar itu. Menurut Ayah, Cici bedua memiliki kepandaian tinggi. Tidak mungkin Cici mati hanya karena kobaran api itu. Dan sampai sekarangpun Ayah tetap mencari Cici." Sekali lagi wanita bertangan buntung itu berusaha menahan sedu-sedannya. Terbayang kembali wajah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, ayahnya, yang kini tentu sudah tua.

   "Aku bersama kakakmu Tui Lan memang dapat menyelamatkan diri. Tapi anak-anak...? Ah, kasihan sekali mereka..." Sementara itu Siau In yang tidak pernah melupakan wajah Giok Hong, menyapa dengan suara lemah pula.

   "Hei, Cici... ternyata kita bertemu kembali."

   "Ah, kau? Mengapa kau tampak kesakitan begitu? Apakah engkau terluka?" Giok Hong menyahut kaget.

   "Aku terkena pukulan Perempuan Bongkok yang kukatakan tadi malam itu. Kebetulan aku menemukannya di dekat air terjun ini dan sedang berkelahi dengan lawan-lawannya. Tetapi ketika mereka melihat aku, entah mengapa... tiba-tiba semuanya berbalik menyerangku." Siau In bercerita dengan suara lirih dan agak gemetar.

   "Begitukah? Padahal sebenarnya Perempuan Bongkok itu tidak begitu jahat. Kelakuannya yang aneh itu disebabkan oleh keinginannya untuk melindungi anak dan cucunya, lihatlah, dia telah menjadi korban lawan-lawannya!"

   "Oooh! Lalu... Kemana tiga orang lawannya itu? Apakah mereka menemukan anak dan cucunya?" Souw Giok Hong mengangguk sambil menunjuk Yok Ting Ting yang sedang menangisi mayat ibunya

   "Itu dia anak dan cucunya. Hampir saja mereka mati di tangan orang-orang itu."

   "Sudahlah!" Tui Lan atau Bibi Lan menengahi.

   "Kita urus dulu mayat mereka! Setelah itu kita bisa berbincang-bincang lagi sepuasnya. Bagaimana? Setuju?" Lian Cu dan Giok Hong mengangguk. Mereka lalu membujuk Yok Ting Ting, agar merelakan kedua orang tuanya dikuburkan. Semakin cepat dikuburkan akan semakin baik buat mereka. Semula Yok Ting Ting menolak. Gadis yang sekarang merasa sebatangkara dan tidak memiliki sanak saudara lagi itu tidak memperbolehkan ibunya dikubur. Namun setelah Lian Cu dan Tui Lan membujuknya, gadis itu mau juga menurut. Sambil menimbun tanah ke liang lahat, Lian Cu mendekati Giok Hong. Ia berbisik ke telinga gadis ayu itu.

   "Eh, Giok Hong! Bagaimana dengan Pangeran Liu yang kun? Apakah dia telah pulang ke Istana?" Tapi gadis ayu itu menggelengkan kepalanya.

   "Belum, Cici. Sampai sekarang Pangeran Liu yang kun belum muncul juga. Entahlah, semua orang juga sudah melupakannya. Malah sekarang Permaisuri Li telah mengangkat puteranya sendiri untuk menggantikan Pangeran Liu yang kun menjadi putera mahkota. Anehnya... pangeran mahkota yang baru itu mendadak juga hilang dari Istana. Persis seperti peristiwa hilangnya Pangeran Liu yang kun pada lima belas tahun yang lalu. Dan sekarang sudah lebih dari dua tahun pangeran muda itu menghilang dari Istana. Permaisuri Li sudah berkali-kali mengerahkan pasukan rahasia untuk mencari puteranya itu." Terdengar tarikan napas yang berat di dada Lian Cu. Matanya juga menerawang jauh. Kenangannya bersama Pangeran Liu yang kun kembali terbayang di depan matanya.

   "Apakah dia benar-benar sudah tiada...?" Lian Cu bergumam seperti kepada dirinya sendiri. Memang sebenarnyalah bahwa kedua wanita cantik itu adalah isteri Pangeran Liu yang kun. Mereka bernama Han Tui Lan dan Souw Lian Cu. Mereka berdua merupakan jago-jago silat berkepandaian tinggi, sebelum menjadi isteri Pangeran Liu yang kun. Han Tui Lan adalah Anggota Aliran Im-yang-kauw, sedangkan Souw Lian Cu adalah puteri Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dari isteri pertamanya. Seperti telah dituturkan pada permulaan cerita ini, Istana Pangeran Liu yang kun terbakar habis bersama seluruh isinya. Semua orang berpendapat bahwa keluarga Pangeran Liu yang kun habis terbakar api. Namun anggapan itu ternyata tidak benar. Kedua isteri Pangeran Liu yang kun dan putera-puteri mereka ternyata dapat lolos dari malapetaka tersebut.

   Semuanya selamat walaupun terpisah dan saling tidak mengetahui keadaan masing-masing. Han Tui Lan dan Souw Lian Cu dapat menyelamatkan diri dengan luka bakar di seluruh badan mereka. Sedangkan putera-puteri mereka dapat diselamatkan oleh Tabib Tong Kian Teng, walaupun akhirnya anak-anak tersebut juga hilang di dalam perjalanan mereka. Karena mengira anak-anak mereka sudah mati, apalagi mereka berdua juga menderita luka bakar yang parah, maka Souw Lian Cu dan Han Tui Lan sengaja menyembunyikan diri di gua itu sambil mengobati luka-lukanya. Sepuluh tahun telah berlalu dan mereka sudah dapat melupakan peristiwa sedih itu. Namun peristiwa tak terduga pada hari ini, telah membangkitkan kembali kenangan lama mereka. Kenangan yang sangat menyakitkan, yang membuat luka di hati mereka seolah-olah terkoyak kembali.

   "Lalu... bagaimana dengan mayat para dayang dan anak-anak yang ditemukan setelah kebakaran itu? Apakah mereka juga dikuburkan secara layak? Hmm, kasihan sekali para dayang itu! Mereka tentu telah berusaha menyelamatkan anak-anak..." Souw Lian Cu meneruskan pertanyaannya begitu upacara penguburan itu selesai.

   "Benar, Cici. Mereka dimakamkan secara terhormat, karena semua orang memang menyangka bahwa mereka adalah isteri dan putera-puteri Pangeran Liu yang kun. Permaisuri Li malah mengadakan upacara kebesaran di seluruh negeri. Ah... semua orang tentu akan kaget sekali kalau tiba-tiba Cici berdua muncul di depan mereka."

   "Jangan dipikirkan dulu masalah itu! Sebaliknya kita mengatur rencana sebelum melangkah. Dan pertama-tama... Kita bicarakan dulu masalah Yok Ting Ting ini. Eh... Namamu Yok Ting Ting, bukan? Kudengar Giam-lo Sam-kui menyebut namamu tadi..." Souw Lian Cu mengalihkan pembicaraan kepada Yok Ting Ting. Gadis yang masih dibalut kesedihan itu mengangguk.

   

Memburu Iblis Eps 4 Memburu Iblis Eps 8 Memburu Iblis Eps 11

Cari Blog Ini