Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 11


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 11




   "Tungguuuu...!" semuanya berteriak dan berusaha menghalang-halangi.

   Namun sudah terlambat. Tubuh Tui Lan sudah terlanjur melesat bagai peluru meninggalkan mereka. Semuanya hampir tidak menyangka bahwa wanita muda itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Keh-sim Siau-hiap yang disohorkan orang sebagai jago ginkang nomer wahid di dunia itupun juga tidak menyangka pula sebelumnya, sehingga dia menjadi terlambat pula menyadarinya. Tahu-tahu wanita muda itu telah melayang keluar dari perahunya. Tui Lan benar-benar mengerahkan seluruh ginkangnya. Tiga atau empat loncatan saja dia telah keluar dari kerumunan perahu tersebut. Tapi berbareng dengan itu awan gelap yang menutupi rembulan benar-benar telah bergeser pergi meninggalkan tempatnya, sehingga bulan itupun lalu bersinar kembali dengan cerahnya. Seketika pandangan Tui Lan menjadi silau bukan main.

   Rasa-rasanya apa yang dilihatnya menjadi putih cemerlang semuanya. Akibatnya ia tak bisa melihat apa-apa lagi, sehingga pada loncatan yang terakhir kakinya terperosok ke dalam air. Lebih celaka pula, pada saat yang bersamaan dua buah senjata gelap berbentuk bintang yang dilepaskan oleh Tung-hai Nung-jin mengenai leher dan pundaknya. Kedatangan bajak laut dari Laut Timur itu benar-benar tepat di saat pandangan Tui Lan menjadi kabur dan terperosok ke dalam air telaga. Maka tidaklah mengherankan bila Tui Lan tidak berkesempatan untuk mengelaknya sama sekali. Namun demikian masih untung juga bagi Tui Lan karena dia mengenakan kulit ular yang kebal senjata itu. sehingga Cuma sebuah dari amgi itu saja yang menembus kulit lehernya. Amgi yang lain segera runtuh begitu mengenai pundaknya yang terlindung oleh baju kulit ular itu.
(Lanjut ke Jilid 11)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 11
"Kena...!" Tung-hai Nung-jin bersorak gembira, kemudian ikut terjun ke dalam telaga untuk mengejar buruannya itu. Sambil terus menyelam Tui Lan menyeringai kesakitan. Senjata rahasia itu ternyata cukup dalam menembus daging lehernya, sehingga ia tak bisa segera mencabutnya.

   "Aku harus lekas-lekas pergi dari sini. Biarlah amgi ini kucabut belakangan..." geramnya menahan sakit, kemudian bergegas berenang menjauhi tempat itu begitu mendengar suara orang mengejarnya. Ternyata tidak hanya Tung-hai Nung jin yang berusaha mengejar Tui Lan. Beberapa jago silat yang merasa mahir berenang ternyata ikut pula terjun ke dalam air. Sedangkan yang lain hanya mengikut saja di atas permukaan air dengan perahunya. Semuanya berusaha melacak kemanapun Tui Lan pergi.

   "Gila...! Semua orang itu sudah gila... ough!" Tiba-tiba Tui Lan berhenti berenang dan memegangi perutnya yang besar. Mendadak saja anak yang berada di dalam kandungannya itu bergerak-gerak, seolah-olah hendak keluar membantu ibunya.

   "Diamlah, anak manis! Diamlah...! Sebentar juga kita akan selamat." Tui Lan menghibur diri sambil mengelus-elus perutnya. Benar juga. Anak itu berhenti bergerak, sehingga ibunyapun segera menyelam kembali untuk meloloskan diri dari tempat itu.

   Dan di dalam air yang dalam itu sinar rembulan tidak begitu tajam, sehingga Tui Lan bisa membuka matanya lebar-lebar. Tapi beberapa puluh tombak kemudian perutnya terasa sakit lagi. Malah rasa sakit di perutnya itu lalu diikuti pula oleh luka di lehernya. Otomatis dia tak bisa berenang pula. Padahal Tung-hai Nung-jin dan yang lain-lain tampak semakin dekat juga dengan dirinya. Celakanya, rasa sakit itu semakin lama tidak semakin berkurang, tapi justru semakin bertambah malah! Dan rasa sakit yang tak tertahankan itu membuat Tui Lan hampir berputus-asa. Mungkin kalau ia berada di daratan, rasa sakit itu bisa dia tahan dengan sekuat tenaganya. Tapi di dalam air seperti sekarang? Bagaimana mungkin ia bisa bertahan agar tidak tenggelam?

   "Thian... lindungilah aku dan anakku..." rintihnya sambil menahan sakit. Dan... permohonan Tui Lan yang hampir berputus-asa itu seolah-olah dijawab oleh kedatangan sebuah perahu besar, yang melintas mendekati dirinya. Seorang lelaki gagah yang berdiri di pagar perahu tampak mengejap-ngejapkan matanya, seakan-akan ingin meyakinkan apa yang dilihatnya. Sementara di belakangnya tampak seorang wanita yang luar biasa cantiknya sedang menggendong anaknya.

   "Hong-moi...! Kau lihat di depan itu? Rasa-rasanya aku benar-benar melihat sisik ular. Benarkah? Eh... Lihat di sana!

   Tampaknya orang-orang itu sedang mengejarnya..." lelaki gagah itu berkata kepada wanita ayu tersebut. Wanita ayu yang menggendong anak perempuan berusia dua tahun itu melebarkan matanya. Wajahnya juga menampilkan perasaan ingin tahunya yang amat sangat.

   "Tapi... itu bukan ular, Hai-ko. Dia seorang wanita! Kau lihat rambutnya yang panjang itu?" serunya kemudian kepada lelaki itu.

   "Ya! Ya, aku melihatnya... Tapi, kenapa orang-orang itu mengejarnya? Jangan-jangan mereka itu juga salah lihat seperti aku tadi?"

   "Mungkin juga, Hai-ko. Eh, kalau begitu... tolonglah dia! Agaknya dia telah kehabisan napas," wanita ayu itu berseru tegang dan gelisah.

   "Baik!" lelaki gagah itu mengiakan, kemudian meminta para pendayung perahunya agar mempercepat kayuh mereka. Dan perahu besar itu kemudian meluncur dengan cepat, memotong di belakang tubuh Tui Lan, sehingga para pengejarnya menjadi terhalang. Kemudian kesempatan yang sangat menguntungkan ini dipergunakan oleh lelaki gagah tersebut untuk menolong Tui Lan. Sebuah tangkai dayung dilemparkan ke bawah, ke dekat Tui Lan. Lalu dengan cepat dan tangkas luar biasa lelaki gagah tersebut meloncat turun. Ujung sepatunya menginjak tangkai dayung itu, kemudian tangannya menyambar tubuh Tui Lan dan selanjutnya membawanya 'terbang" kembali ke atas perahu. Dan semuanya itu hanya dilakukan tidak lebih dari sekejap saja, sehingga para pendayung perahu itu sampai melongo dibuatnya!

   "Hong-moi, rawatlah wanita ini! Biarlah aku menemui orang-orang yang mengejarnya itu!" setiba di atas perahu lelaki gagah itu menyerahkan Tui Lan kepada wanita ayu tersebut. Wanita ayu itu mengangguk, kemudian membawa Tui Lan ke dalam bilik perahunya. Sedangkan lelaki gagah tersebut lalu bergegas ke geladak kembali. Tapi baru beberapa langkah ia berjalan, terdengar suara berderak keras membuat perahu besarnya menjadi oleng.

   Beberapa buah peralatan dan perabot perahu berjatuhan dari tempatnya. Ternyata perahu-perahu kecil yang mengejar Tui Lan itu tak bisa menghentikan laju perahu mereka sehingga menabrak perahu besar tersebut. Beberapa orang penumpangnya tampak ikut berjatuhan ke dalam air. Sementara beberapa orang yang mempunyai ginkang tinggi cepat menyelamatkan diri dengan terbang ke atas perahu besar itu. Terdengar sumpah serapah mereka terhadap perahu itu. Beberapa orang di antara mereka segera berlari ke sisi perahu yang lain untuk melihat buruan mereka. Namun mereka segera kembali lagi begitu me lihat buruan mereka telah lenyap. Di antara orang-orang itu tampak Tung-hai Nung-jin. Dengan pakaiannya yang basah kuyup bajak laut itu mengumpat-ngumpat tiada habisnya.

   "Setaaan! Perahu celaka! Huh! Siapa yang mengemudikan perahu ini, he?" pekiknya penasaran.

   "Benar! Siapakah yang empunya perahu kurang ajar ini? Kurang ajar, sampanku sampai pecah dan tenggelam...!" yang lain memaki pula.

   "Tenggelamkan juga perahu ini! Habis perkara!" teriak yang lainnya lagi. Beberapa orang yang baru datang segera naik pula ke atas perahu besar itu, sehingga geladaknya menjadi penuh sesak sekarang. Begitu datang mereka-pun lalu ikut-ikutan mengumpat dan berteriak-teriak pula. Akibatnya para tukang dayung yang berada di papan bawah menjadi ketakutan. Sebagian dari mereka cepat-cepat terjun ke dalam air menyelamatkan diri, sementara yang lain justru tidak berani bergerak saking takutnya.

   "Hei! Siapakah yang empunya perahu ini? Hayo, keluar...! Atau kami bakar saja perahu ini?" sekali lagi terdengar teriakan Tung-hai Nung-jin. Nadanya persis bila ia memimpin anak buahnya di tengah-tengah lautan. Tiba-tiba lelaki gagah tadi melangkah keluar dari bilik perahu. Empat langkah dari pintu ia berhenti. Matanya menatap orang-orang yang berada di atas geladak perahunya itu dengan tenang. Mantel hitamnya yang mengkilat seperti sutera itu tampak menutupi sekujur tubuhnya yang tinggi tegap, sehingga kedua buah lengan bajunya tersembunyi di dalamnya.

   "Akulah yang menyewa perahu ini, Nung-jin," jawah lelaki gagah itu singkat. Tapi orang-orang yang sudah mengenal kegarangan Tung-hai Nung-jin di lautan itu menjadi heran sekali. Tiba-tiba saja bajak laut yang kejam dan garang itu tampak kaget dan pucat wajahnya. Apalagi ketika terdengar suaranya yang gemetar dan gelisah.

   "Ah... Souw Taihiap kiranya. Tak kusangka Taihiap ikut tertarik pula ke tempat ini?" sapanya kepada lelaki gagah itu dengan nada segan dan hormat. Seketika orang-orang yang berada di sekitar Tung-hai Nung-jin mengerutkan kening mereka. Dengan pandang mata tak percaya mereka mengawasi lelaki gagah yang dipanggil dengan sebutan Souw Taihiap itu. Lelaki gagah itu tampak tidak terlalu istimewa menurut ukuran mereka. Wajahnya tampak biasa-biasa saja. Sikapnyapun juga tidak garang atau menakutkan seperti tokoh-tokoh terkenal lainnya. Terlalu halus malah.

   "Benar... eh , benarkah dia Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang tersohor itu?" akhirnya satu atau dua orang mulai saling berbisik.

   "Huh! Tung-hai Nung-jin itu cuma mau menakut-nakuti kita semua, supaya kita lari meninggalkan tempat ini..."

   "Benar juga katamu. Kalau kita semua pergi, bukankah tinggal dia sendiri yang menangkap Ceng-liong-ong itu?"

   "Bangsat! Kita keroyok saja bajak laut itu! Huh! Akal busuk! Paling-paling orang itu juga bajak laut yang dibawanya dari Laut Timur sana!"

   "Betul! Marilah...! Serbuuu..!" tiba-tiba salah seorang memberi aba-aba. Begitulah, secara mendadak orang-orang itu menyerang Tung-hai Nung-jin dan Souw Thian Hai. Sebagian menyerang dan mengeroyok Tung-hai Nung-jin, sedangkan yang sebagian lagi langsung menyerbu ke arah Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai.

   "Setan busuk! Kalian apakah sudah gila, he? Kenapa mengeroyok aku malah?" Tung-hai Nung-jin menjerit-jerit marah.

   "Persetan dengan mulutmu yang busuk! Kaulah yang hendak memperbodoh kami! Bajak laut kotor...!" orang-orang itu balas memaki.

   "Bangsat...! Kubunuh kalian semua!"

   "Huh! Engkaulah yang hendak kami bunuh!" Maka pertarungan yang serupun tidak bisa dihindarkan lagi. Tung-hai Nung-jin yang sangat marah itu mengamuk dengan hebatnya. Untuk sesaat lawan-lawannya menjadi kocar-kacir. Tak seorangpun yang mampu menahan pukulannya yang ampuh itu. Semuanya tercerai-berai menghadapi Ban-seng-kun (Pukulan Selaksa Bintang), ilmu-silat andalannya selama ini. Sementara itu di arena yang lain ternyata pertempuran belum dimulai juga. Pada gebrakan pertama tadi ternyata Souw Thian Hai telah menunjukkan kesaktiannya yang menggiriskan hati, sehingga para penyerbunya menjadi ngeri dan ketakutan untuk menyerang lagi. Semuanya terpaku diam dengan wajah pucat di tempat masing-masing.

   Di dalam hati mereka kini mulai percaya kalau lelaki gagah Itu memang benar-benar Hong-Gi-Hiap yang tersohor itu. Ternyata ketika orang-orang itu tadi berloncatan menyerbu dengan senjata mereka, sama sekali Souw Thian Hai tidak bergerak untuk menghindarinya. Dibiarkannya saja senjata-senjata lawannya itu menghantami tubuhnya. Dia hanya menggerakkan tangannya untuk menangkis bila ada senjata yang tertuju ke arah kepalanya. Satu atau dua kali orang-orang itu tetap belum yakin kalau Hong-Gi-Hiap kebal terhadap senjata mereka. Namun setelah berulang kali senjata mereka selalu terpental bila mengenal tubuh Hong-Gi-Hiap, maka merekapun lalu menjadi percaya. Mereka cepat-cepat mundur dengan hati ketakutan. Sehingga seperti yang tampak di situ, mereka hanya terpaku diam dengan wajah pucat.

   "Nah! Apakah kalian tidak mau pergi juga dari Perahuku ini? Ataukah kalian ingin menunggu pukulan tanganku?" Souw Thai Hai menggertak. Benar juga. Jago-jago silat itu lalu membalikkan tubuh mereka dan berloncatan turun meninggalkan perahu itu. Dan langkah mereka itu ternyata ikuti pula oleh para pengeroyok Tung hai Nung-jin. Orang-orang itu juga berlarian menyelamatkan diri mereka. Sehingga akhirnya hanya tinggal Tung-hai Nung-jln dan Hong-Gi-Hiap saja yang tinggal di atas geladak tersebut.

   "Hei, kenapa mereka itu? Kenapa mereka tiba-tiba berlarian meninggalkan perahu ini?" Tung-hai Nung-jin bergumam bingung. Bajak laut itu cepat melongok ke bawah. Tapi mendadak ia mundur kembali. Dari bawah tampak melayang tiga sosok bayangan, naik ke geladak perahu itu sehingga mereka hampir saja menabrak.

   "Naga Iblis! Naga Setan Naga... Busuk! Heh, siapa bilang perempuan muda itu menjadi Ceng-liong-ong? Huh! Bangsat keparat... orang tak tahu diuntung! Membuka mulut seenaknya saja... eh, Saudara Souw? Kaukah itu? Kapan kau datang? Mana isteri dan anakmu?" Orang yang baru datang itu, yang tidak lain adalah Put-ceng-li Lojin, mengomel dan mengumpat. Tapi begitu berhadapan dengan Souw Thian Hai, sumpah-serapahnya itu kontan berhenti. Matanya mendelik. Mulutnya ternganga kaget. Namun sekejap kemudian wajah itu berubah menjadi girang bukan main. Seperti dua sahabat lama yang jarang sekali bertemu ia menyambar tangan Souw Thian Hai dan mengguncangnya kuat-kuat.

   "Gila kau! Hahahaha...! Mereka adalah teman-teman seperjalanan yang sangat lucu dan menggembirakan. Yang pendek dan masih muda ini adalah muridku sendiri. Namanya Put-ming-mo.."

   "Selamat bertemu, Souw Taihiap," Put-ming-mo yang diperkenalkan oleh gurunya itu memberi hormat.

   "Dan... yang kurus kering berambut jarang itu adalah Put-pai-siu Hong-jin, murid suhengku yang telah mengasingkan diri. Tapi jangan kaget. Meskipun namanya Hong-jin (Orang Gila) tapi dia tidak gila sungguhan. Hanya saja kelakuan dan sifatnya memang sangat konyol. Paling konyol di antara kami semua. Hahahaha. Betul tidak, Hong-jin?"

   "Orang bilang memang begitu. Tapi sesungguhnya itu tidak benar, Heh-heh-he... Susioklah sebenarnya orang yang paling konyol dan paling gila di dunia ini!" Put-pai-siu Hong-jin menjawab seenaknya dengan hidung cengar-cengir.

   "Hei! Mengapa begitu?" Put-ceng-li Lojin membentak.

   "Habis, sudah tua begitu susiok masih punyak anak juga. Apa itu tidak lebih konyol dari pada aku?"

   "Monyet! Siapa bilang aku punya anak? Mana anakku, hei?" Put-ceng-li Lojin berteriak semakin marah. Tapi Put-pai-siu Hong-jin masih tetap pringas-pringis seenaknya. Sedikitpun tidak ambil pusing terhadap kemarahan susioknya. Sehingga Souw Thian Hai yang merasa tidak enak hati itu terpaksa melerainya.

   "Sudahlah, Bing Kauwcu. Isteriku ada di dalam. Marilah kita masuk menemuinya," pendekar itu berkata halus. Tiba-tiba Put-ceng-li Lojin itu tertawa gelak gelak.

   "Bangsat! Monyet gila keparat! Bisa juga anak sinting itu membakar hatiku! Hong-jin, awas kau...!" gertaknya.

   "Huh! Susiokpun juga harus awas terhadapku...!" Put-pai-siu Hong-jin mengancam pula dengan nada menggoda.

   "Kurang ajar! Apa lagi! Apanya yang awas...?"

   "Wah, susiok ini goblok benar! Tentu saja matanya yang awas. Kalau susiok tidak awas, masakan bisa sampai kemari? Heh-heh-heh..." jawab si Kurus Kering yang kepalanya hampir botak itu semakin kurang ajar. Tak sampai hati juga Souw Thian Hai menyaksikan Ketua Bing-kauw itu dikeroyok terus-menerus oleh keponakan muridnya. Disambarnya lengan orang tua itu dan dibawanya masuk ke dalam bilik perahu.

   "Eh, Souw-heng... kami pun ingin datang bertamu pula!" tiba-tiba terdengar pula suara seorang di luar perahu mereka. Ketika semuanya menoleh, mereka melihat sebuah perahu besar yang lain datang merapat ke perahu mereka. Keh-sim Siau-hiap bersama isterinya tampak di atas geladak sambil tersenyum. Dan beberapa saat kemudian mereka telah melompat pula ke dalam perahu itu.

   "Ah, Saudara Kwee rupanya...Marilah! Marilah kalian masuk sekalian! Kita duduk-duduk di dalam." Souw Thian Hai menyambut mereka. Lalu seperti diingatkan oleh sesuatu hal pendekar sakti itu menoleh ke tempat Tung-hai Nung-jin berdiri.

   "Eh, maaf. Aku sampai lupa mempersilakan Nung-jin pula. Nung-jin, marilah masuk!"

   "Terima kasih. Tapi aku sedang mencari jejak Ceng-liong-ong." Tung-hai Nung-jin menolak dengan halus. Souw Thian Hai tersenyum.

   "Ceng-liong-ong belum keluar dari sarangnya," katanya mantap.

   "Tapi aku telah mengejar-ngejarnya tadi..."

   "Hmm, kalau itu yang kau maksud dia berada di dalam. Tapi dia bukan Ceng-liong-ong..."

   "Benarkah?" Tung-hai Nung-jin menegaskan.

   "Aku berkata sebenarnya. Marilah kau lihat di dalam...!"

   "Baik." Karena ingin mengetahui kebenaran ucapan Souw Thian Hai, maka Tung-hai Nung-jin lalu ikut masuk pula ke dalam bilik perahu. Bilik itu memang amat luas, sehingga bisa memuat belasan orang di dalamnya.

   "Hong-moi, lihatlah siapa yang datang mengunjungi kita ini...!" begitu berada di dalam Souw Thian Hai berseru kepada isterinya. Wanita ayu yang baru saja menyelesaikan perawatannya kepada Tui Lan itu segera menoleh. Mula-mula yang tampak olehnya adalah Put-ceng-li Lojin. orang yang selama ini sangat ia hormati. Baru kemudian tampak Keh-sim Siau-hiap dan isterinya, kawan akrabnya selama ini. Wanita ayu itu segera menyapa Keh sim Siau-hiap dan isterinya kemudian bergegas berlari mendekati Put-ceng-li Lojin. Tanpa mempedulikan yang lain-lainnya lagi wanita ayu itu bersimpuh di depan Put-ceng-li Lojin. Suaranya gemetar penuh haru ketika menyapa orang tua itu. Matanya berlinang-linang.

   "Lojin..." Tiba-tiba saja orang tua itu menitikkan air mata pula, sehingga orang-orang menjadi heran melihatnya.

   "Huh! Bangsat keparat! Mengapa pula dengan biji mataku ini? Semakin tua semakin sukar diurus! Oooh... hmm!" orang tua itu mengumpati dirinya sendiri.Kemudian sambil menarik napas panjang orang tua itu menyentuh pundak Chu Bwee Hong, isteri Souw Thian Hai tersebut. Ucapannya penuh haru pula,

   "Sudahlah! Sudahlah! Jangan menangis lagi, anakku...! Kita justru harus berterima kasih karena kita berjumpa dalam keadaan sehat dan berbahagia."

   "Heh-heh-heh... susiok ini ada-ada saja. Kau sendiri yang mengeluarkan air mata, tapi malah menuduh orang lain menangis. Sungguh konyol!" tiba-tiba Put-pai-siu Hong-jin membuka mulutnya.

   "Ah, suheng ini juga cerewet benar. Suhu itu mengeluarkan air mata bukan karena menangis, tapi karena matanya kemasukan debu." Put-ming-mo berusaha menolong muka gurunya dengan nada bergurau.

   "Kaulah yang cerewet dan goblok! Mana ada debu di atas air telaga ini, heh?" Put-pai-siu Hong-jin membentak dengan mata mendelik. Keh-sim Siauw-hiap dan yang lain-lain terpaksa menahan senyum juga melihat adegan konyol itu. Untunglah mereka sudah mengenal adat kebiasaan para anggota alirang Bing-kau yang urakan dan kurang mengindahkan tata cara itu. Dan kali ini tampaknya Put-ceng-li Lojin tidak punya nafsu untuk melayani kata-kata keponakan muridnya itu. Sungguh berbeda dengan adapt kebiasaannya setiap hari ia berbicara dengan suara halus dan urut di depan Chu Bwee Hong. Ia membawa wanita ayu itu ke kursi dan menyuruhnya duduk. Beberapa kali ia mengelus-elus pundak wanita itu seperti seorang ayah menghibur hati anaknya.

   Memang hubungan mereka berdua tidak hanya sekedar kenalan atau persaudaraan biasa. Apalagi bagi Chu Bwee Hong. Wanita ayu itu tidak mungkin akan bisa melupakan kebaikan budi dan jasa Ketua Bing-kauw itu selama hidupnya. Bagi dia orang tua itu benar-benar sudah ia anggap sebagai pengganti orang tuanya. Sebab orang tua itu pernah mengangkatnya dari jurang kehinaan dan keputus-asaan. Karena orang tua itu pulalah ia mempunyai semangat hidup kembali, sehingga bisa bertemu dengan kekasihnya, Souw Thian Hai itu. Pada waktu masih gadis Chu Bwee Hong pernah diperkosa orang hingga hamil. Karena malu dan putus asa Chu Bwee Hong bermaksud bunuh diri. Untunglah Put-ceng-li Lojin datang menolong. Tanpa memperdulikan pendapat orang tentang dirinya, orang tua itu berpura-pura mengawininya.

   Sampai anak haram yang dikandungnya itu lahir, Put-ceng-li Lojin selalu menghiburnya menuntun batinnya, sehingga akhirnya timbul pula semangat hidupnya. (baca: Pendekar Penyebar Maut). Jadi seloroh tentang anak Put-ceng-li Lojin yang dilontarkan oleh Put-pai-siu Hong-jin tadi memang ada benarnya juga, sebab anak haram itu memang dipelihara oleh Put-ceng-li Lojin sekarang. Setelah keharuan mereka mereda, maka Souw Thian Hai pun lalu mempersilakan tamu-tamunya untuk duduk. Dan pendekar itu sendiri lalu duduk pula di dekat isterinya. Mereka lalu berbincang-bincang dengan ramainya. Terutama antara Chu Bwee Hong dan Ho Pek Lian, isteri Keh-sim Siau-hiap. Kedua wanita itu memang merupakan sahabat erat sejak masih gadis. Rupanya Tung-hai Nung-jin tidak sabar menunggu percakapan mereka itu. Tiba-tiba ia berdiri dan menjura kepada Souw Thian Hai.

   "Maaf, Souw Taihiap. Terus terang saja saya ingin meminta keterangan tentang Ceng-liong-ong itu sekarang. Taihiap tadi bilang bahwa binatang langka itu telah berada di sini. Tapi mengapa aku belum melihatnya juga? Apakah Souw Taihiap menyimpannya di tempat lain?" Souw Thian Hai pun buru-buru berdiri pula. Setelah dia juga meminta maaf atas kelalaiannya, ia lalu menoleh ke arah isterinya.

   "Bagaimana dengan perempuan muda itu? Apakah dia baik-baik saja?" bisiknya kepada wanita ayu itu. Chu Bwee Hong agak gugup juga menerima pertanyaan yang sangat mendadak itu. Sambil melirik ke bangku di pojok ruangan ia berbisik tegang,"Hai-ko, sungguh aneh benar wanita muda itu. Dia... dia ternyata sedang hamil tua. Mungkin sudah tujuh atau delapan bulan umur kandungannya. Dan dia tidak... eh, tidak mengenakan apa-apa lagi selain kulit ular itu. Untunglah aku mempunyai persediaan pakaian..."

   "Hamil tua...? Lalu bagaimana dia sekarang?" Souw Thian Hai tersentak kaget pula.

   "Aku telah mengobati luka di lehernya. Senjata rahasia berbentuk bintang telah kukeluarkan dari dalam dagingnya. Sekarang dia sedang memulihkan tenaganya. Lihatlah! Mungkin sebentar juga dia akan selesai. Tapi hati-hati, tampaknya wanita muda itu bukan orang sembarangan. Kulihat Iweekangnya sangat tinggi. Agaknya lebih tinggi dari pada lweekangku..."

   "Begitukah...?" Sekali lagi Souw Thian Hai menjura kepada Tung-hai Nung-jin.

   "Maaf, sebelum menjawab pertanyaan Nung-jin aku akan melihat orang yang dirawat oleh isteriku dahulu. Maaf." pintanya. Kemudian pendekar itu bergegas menuju ke bangku di pojok ruangan itu, di mana Tui Lan sedang menggeletak memulihkan tenaganya. Tapi kedatangannya segera disambut oleh Tui Lan. Wanita muda itu segera bangkit begitu mendengar langkah kaki Souw Thian Hai yang mendekatinya. Wanita muda itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu.

   "Terima kasih atas pertolongan Souw Taihiap kepadaku," katanya pendek, lalu mengawasi orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut satu-persatu. Dan ketika terpandang olehnya wajah Tung-hai Nung-jin di antara mereka, tiba-tiba wajah Tui Lan menjadi merah. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati tokoh bajak laut dari Laut Timur itu.

   "Kaukah yang tadi melukai aku dengan senjata rahasia terbentuk bintang itu?" geramnya. Sementara itu Tung-hai Nung-jin sendiri juga sangat terkejut melihat pakaian dari kulit yang dipakai Tui Lan itu. Rasa-rasanya seperti itulah benda yang dikejar-kejarnya tadi. Dan rasa-rasanya juga seperti itu pulalah benda yang dia serang dengan amgi, yang kemudian timbul tengelam di dalam air tadi. Tapi ia menjadi heran, mengapa tiba-tiba ada seorang wanita muda mengenakan kulit bersisik itu? Apakah dia tadi telah salah lihat?

   "Eh...? Apa-apaan ini? Dimanakah Ceng-liong-ong itu? Souw Taihiap, di mana...?" tanpa mengacuhkan pertanyaan Tui Lan, bajak laut itu mendesak kepada Souw Thian Hai. Di pihak lain ternyata Keh-sim Siau-hiap dan Put-ceng-li Lojin menjadi kaget pula melihat Tui Lan.

   Kedua tokoh itu telah melihat Tui Lan di perahu Keh-sim Siauw-hiap tadi. Tadi kedua tokoh tersebut memang merasa curiga me lihat keadaan wanita muda itu. Apalagi ketika jago-jago silat yang berkumpul di telaga itu memburu dan mengejar-ngejarnya. Dan karena kecurigaan mereka itu pulalah mereka sekarang berada di tempat itu. Jadi bukan karena mereka juga ingin memburu Tui Lan seperti yang lain pula. Mereka hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi, sehingga jago-jago silat yang berada di atas telaga Tai Ouw itu menjadi gaduh dan memburu-buru wanita muda berpakaian kulit ular tersebut. Souw Thian Hai cepat melesat ke depan dan berdiri di antara Tung-hai Nung-jin dan Tui Lan. Dengan kata-kata halus pendekar sakti itu menyabarkan hati kedua orang itu, lalu mempersilakan mereka untuk duduk pula.

   Dari ucapan-ucapannya kepada Tui Lan dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekar sakti itu sudah lupa kepada Tui Lan. Memang pertemuan mereka di palung jurang di Luar kota Soh-siu, satu setengah tahun yang lalu, cuma sekejap mata saja. Tak heran kalau pendekar itu tidak mengenalnya lagi. Apalagi dengan kehamilan Tui Lan tersebut membuat wanita itu agak sedikit berubah pula. Tapi Tui Lan justru amat bersyukur karenanya. Wanita muda itu tak ingin mendapat pertanyaan tentang suaminya. Sementara itu setelah mempersilakan semua tamunya untuk duduk kembali, Souw Thian Hai lalu menerangkan duduk persoalannya. Apa yang dilihatnya di atas telaga itu dan bagaimana ia menolong wanita muda yang terluka itu ke atas perahunya.

   "Jadi... dia bukan Ceng-liong-ong? Tapi... tapi mengapa dia mengenakan baju kulit ular di tubuhnya? Dan kulit ular itu terang bukan kulit ular biasa. Tidak ada kulit ular selebar dan sebesar itu sisik-sisiknya selain naga raksasa seperti Ceng-liong-ong." Tung-hai Nung-jin mencoba menutupi kekeliruannya. Diam-diam semua orang memang sependapat dengan ucapan Tung-hai Nung-jin. Kulit ular yang dikenakan oleh Tui Lan itu memang sangat mencurigakan. Oleh karena itu tak seorangpun berusaha membantah atau menengahi pertanyaan bajak laut dari Laut Timur itu. Semuanya justru menunggu dan mengawasi Tui Lan, seolah-olah mereka juga menantikan jawaban dari mulut wanita muda itu.

   "Bagaimana, nyonya...?" akhirnya Souw Thian Hai mempersilakan pula kepada Tui Lan untuk menjawab sendiri pertanyaan itu.

   "Ini memang kulit... Ceng-liong-ong!" tiba-tiba Tui Lan menjawab tegas.

   "He...?"

   "Ah...?"

   "Hei?" Seketika ruangan itu menjadi tegang luar biasa. Semua mata tertuju ke baju kulit ular yang dikenakan oleh Tui Lan. Tak seorangpun yang bersuara ataupun bergerak dari tempatnya. Semuanya berada di dalam keterpakuan antara perasaan percaya dan tidak percaya.

   "Benarkah apa yang telah kaukatakan itu, nyonya?" akhirnya Souw Thian Hai membuka mulut untuk mencairkan kebekuan tersebut.

   "Aku tidak bohong, Taihiap. Kulit yang kupakai ini memang benar-benar kulit Ceng-liong-ong. Hmm, mengapa semuanya kelihatan kaget, Taihiap? Apakah aku tidak boleh mengenakan baju kulit ular seperti ini?" Souw Thian Hai tersenyum sambil memandang kearah tamu-tamunya. Diam-diam hatinya menjadi curiga juga terhadap wanita muda itu. Kelihatannya wanita muda itu tampaknya juga tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada di antara orang-orang yang ingin memburu binatang langka, yang kulitnya kini ia pakai itu. Dan tampaknya wanita muda itu juga tidak mengerti sama sekali, kenapa ia sampai dikejar dan diburu oleh orang-orang yang berada di atas telaga itu.

   "Nyonya, ketahuilah...! Malam ini adalah malam istimewa, karena Ceng-liong-ong atau Raja Naga Hijau yang keluar setiap lima puluh tahun sekali itu, malam ini akan keluar dari liangnya di dasar danau ini. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa darah yang terkumpul di atas kepala ular naga itu merupakan obat mujijat, yang selain dapat menguatkan tubuh juga bisa melipatgandakan tenaga sakti peminumnya. Selain daripada itu, diatas kepala ular naga tersebut juga terdapat mustika racun, yang khasiatnya bisa menawarkan segala macam racun di dunia ini," ujar Souw Thian Hai perlahan.

   "Begitukah...?" Tui Lan tersentak kaget. Otomatis wanita muda itu teringat akan ular raksasa yang dibunuh suaminya di dalam gua dibawah tanah itu. Kalau ular raksasa itu memang betul-betul Ceng-liong-ong seperti yang mereka duga selama ini, maka suaminya itu benar-benar amat beruntung sebab selain mendapatkan mustika racun itu, suaminya juga telah meminum darah diatas kepala ular raksasa tersebut. Cuma sedihnya sekarang, apakah suaminya itu masih hidup dan dapat menyelamatkan diri dari gua dibawah tanah itu.

   "Malahan kalau mau, orang dapat mengambil kulit ular naga itu sebagai penutup tubuh mereka. Sebab khabarnya kulit ular naga tersebut juga tidak mempan segala macam senjata tajam pula. Maka... nyonya bisa menduga sendiri, mengapa tiba-tiba orang-orang itu mengejar-ngejar dan mengeroyok nyonya, begitu di dalam kegelapan itu nyonya muncul di permukaan air danau." Souw Thian Hai melanjutkan keterangannya seraya menudingi baju kulit ular yang dikenakan oleh Tui Lan.

   "Oooohh...!" Tui Lan berdesah mengerti. Otomatis matanya tertunduk mengawasi baju kulit ularnya.

   "Nyonya...!" akhirnya Souw Thian Hai menghela napas panjang.

   "Siapakah sebenarnya kau ini? Mengapa kau tiba-tiba muncul dengan baju kulit ular itu disini? Katakanlah agar semua kesalah-pahaman ini menjadi jelas dan terang!" Tui Lan menundukkan mukanya. Sekejap terjadi perang batin di dalam pikirannya. Kalau ia bercerita tentang hal yang sebenarnya, itu berarti bahwa ia harus bercerita tentang suaminya. Dan tak luput pula ia harus bercerita tentang buku-buku silat milik Bit-bo-ong itu. Tapi kalau ia tak menceritakan hal itu bagaimana dia harus bercerita tentang baju kulit ular itu?

   "Bagaimana, nyonya?" Souw Thian Hai mendesak.

   "Ini... ini... ah, aku belum bisa menceritakannya sekarang." di dalam kebingungannya akhirnya Tui Lan menjawab sekenanya.

   "Kau harus menceritakannya sekarang juga!" tiba-tiba Tung-hai Nung-jin membentak sambil bangkit berdiri.

   "Paling tidak kau harus mengatakan dari mana kau memperoleh kulit ular itu. Dan betulkah itu kulit Ceng-liong-ong seperti katamu tadi?" Tui Lan cepat berdiri pula dari kursinya. Matanya berkilat-kilat marah. Hatinya tersinggung dibentak-bentak begitu rupa oleh Tung-hai Nung-jin.

   "Hmmh... bagaimana kalau aku tak mau menceritakannya juga? Adalah hakku untuk menjawab atau tidak menjawab pertanyaanmu itu!" Tui Lan menjawab dengan keras pula.

   "Kurang ajar! Aku akan memaksamu! Dan aku juga ingin membuktikan kebenaran kulit ularmu itu!" Tung-hai Nung-jin berteriak lagi dan mencabut senjatanya yang terkenal, sebuah pacul kecil yang tangkainya bisa diperpendek maupun diperpanjang. Souw Thian Hai berdiri dengan cepat pula dan berusaha melerai mereka.

   "Nung-jin, tahan...! Jangan berkelahi! Dia... dia... anu... perutnya... ah!" Tapi Tung-hai Nung-jin tak mau mundur juga.

   "Jangan khawatir, Souw Taihiap! Aku hanya ingin mencoba keampuhan baju kulit ularnya itu. Lain tidak!" katanya meremehkan. Souw Thian Hai tak bisa menahan mereka lagi. Apalagi dilihatnya tamu-tamunya yang lain juga mendiamkan saja hal itu. Tampaknya mereka malah menyetujui tindakan Tung-hai Nung-jin tersebut. Agaknya diam-diam mereka juga ingin membuktikan kebenaran kulit ular yang dikenakan oleh wanita muda itu.

   "Sudahlah. Asal tidak membahayakan jiwa wanita muda itu, biarlah Tung-hai Nung-jin membuktikan keinginannya. Malahan dengan demikian akupun bisa lihat ilmu silat wanita muda itu. Siapa tahu aku bisa menebak asal-usulnya," Souw Thian Hai berkata di dalam hatinya.

   "Hai-ko...?" Chu Bwee Hong berbisik khawatir di telinga suaminya itu.

   "Biarlah mereka saling bergebrak sebentar. Nanti aku yang akan melerainya, bila serangan-serangan Tung-hai Nung-jin terlalu membahayakan wanita muda itu," suaminya menghibur. Ruangan itu memang besar, tapi tidak cukup untuk berkelahi. Oleh karena itu selesai menantang, Tung-hai Nung-jin segera melompat keluar. Tui Lan yang kini menjadi gampang marah dan tersinggung itu segera mengejarnya. Namun langkahnya segera terhenti di depan pintu. Lagi-lagi sinar bulan yang jatuh di atas geladak itu sangat menyilaukan matanya.

   "Ohh!" Tui Lan berdesah sambil menutupi kedua buah matanya.

   Chu Bwee Hong cepat mendatangi.

   "Ada apa...?" serunya khawatir. Tui Lan menggelengkan kepalanya.

   "Aku... aku tidak tahan melihat sinar rembulan. A...Apakah Souw Hujin (nyonya Souw)... mempunyai saputangan hitam? Bolehkah aku meminjamnya?"

   "Sapu tangan hitam? Wah, mana ada saputangan hitam di dunia ini? Bagaimana kalau yang biru?" Chu Bwee Hong menawarkan saputangan birunya dengan wajah heran.

   "Ah, terima kasih. Biru juga tidak apa-apa. Cuma untuk menahan cerahnya sinar rembulan itu." Tui Lan menerima saputangan itu sambil mengucapkan terima kasihnya. Kemudian mengikatkan saputangan tersebut di kepalanya, sehingga kedua buah matanya menjadi tertutup sekarang. Ternyata tidak hanya Chu Bwee Hong yang merasa heran melihat keadaan Tui Lan itu. Put-ceng-li Lojin dan Keh-sim Siau-hiap pun menjadi heran pula melihatnya. Keduanya saling memandang dengan mengangkat bahu tanda heran dan tak mengerti. Begitu pula halnya dengan Tung-hai Nung-jin yang telah bersiap-siap di luar bilik itu. Di dalam keheranannya, tokoh bajak laut yang disegani dan ditakuti orang itu juga merasa terhina karenanya.

   "Kurang ajar. Kau budak kecil ini sungguh sangat menghina aku!" pekiknya marah seraya menyerang Tui Lan yang belum selesai mengikatkan saputangan itu.

   "Ah...!" semuanya berdesah kaget melihat kecurangan Tung-hai Nung-jin itu. Namun kekagetan mereka itu segera berubah menjadi keheranan dan juga ketakjuban yang luar biasa!

   Tui Lan yang tak bersenjata dan belum selesai mengikatkan saputangannya itu bisa mengelak dengan manisnya. Hanya dengan mendengarkan angin serangan lawannya wanita muda itu sudah dapat menentukan arah pacul tersebut. Dengan melangkah dua tindak ke kiri, lalu mendoyongkan tubuhnya ke belakang, wanita muda itu melompat berjumpalitan me lewati kepala Tung-hai Nung-jin. Dan semuanya itu dilakukan sambil menyelesaikan ikatan saputangannya. Dan kaki yang mungil dan tak bersepatu itu mendarat di atas papan geladak tanpa menimbulkan suara sedikit pun! Kemudian dengan cepat tubuh yang agak gemuk karena hamil itu berbalik menghadapi Tung-hai Nung-jin yang terlongong-longong di tempatnya. Sepasang matanya telah tertutup oleh saputangan pemberian Chu Bwee Hong tadi.

   "Aaaah...!" semua orang yang ada di atas perahu itu tertegun menyaksikan ilmu mengentengkan tubuh yang amat tinggi. Tidak terkecuali Keh-sim Siau-hiap, tokoh yang pada saat itu diagung-agungkan orang karena kehebatan ginkangnya.

   "Kau benar, isteriku... Seperti katamu tadi, perempuan muda ini memang bukan orang sembarangan. Ginkang yang baru saja dia perlihatkan itu tadi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang setingkat Put-ceng-li Lojin dan aku. Hm... tapi rasa-rasanya aku pernah melihat gerakan seperti itu. Eee... dimana ya?" Souw Thian Hai berkata pula kepada isterinya seraya mengetuk-ngetuk dahinya.

   Di pihak lain, Keh-sim Siauw-hiap dan Put-ceng-li Lojin semakin menjadi bergairah untuk mengetahui asal-usul Tui Lan yang sangat mengejutkan hati mereka itu. Kecurigaan mereka semakin menjadi-jadi. Rasanya gatal pula tangan mereka untuk menjajal sendiri kepandaian perempuan muda itu. Sementara itu dengan saputangan sebagai penutup matanya, pandangan Tui Lan tidak menjadi silau lagi. Meskipun dengan demikian pandangannya menjadi terhalang oleh kain biru tipis itu, namun hal itu sudah lebih baik daripada tidak dapat melihat sama sekali. Sekarang dengan jelas ia bisa melihat bentuk tubuh Tung-hai Nung-jin, biarpun ia tidak dapat melihat jelas wajahnya.

   "Hei! Mengapa kau tidak lekas-lekas mencabut senjatamu?" Tung-hai Nung-jin membentak untuk menutupi kekagetannya. Bajak laut itu menjadi kaget karena lawannya mampu mengelak meskipun matanya tertutup rapat. Tui Lan yang belum yakin benar akan kemampuan ilmu-ilmu barunya itu segera mencabut pedang pendeknya. Menghadapi jago silat tinggi semacam Tung-hai Nung-jin dia tak berani berlaku sembrono. Dahulu saja gurunya selalu menghindar bila berjumpa dengan bajak laut itu. Dia harus melawannya dengan hati-hati.

   Sehingga kalau terdesak, dia masih bisa meloloskan diri mengandalkan ginkangnya. Melihat lawannya sudah bersiap diri, tokoh dari Lautan Timur itupun lalu membuka serangan. Pacul yang gagangnya belum diperpanjang itu ia ayunkan dari bawah ke atas, mengarah ke dagu Tui Lan. Gerakan itu tampaknya sangat sederhana, tapi sebenarnya menyimpan tipuan dan jebakan. Sedikit saja Tui Lan salah langkah, maka gerakan selanjutnya akan membuat wanita muda itu terjerumus ke dalam kesulitan. Untunglah sejak semula Tui Lan telah memutuskan untuk bertindak hati-hati. Ia tidak mau gegabah menangkis atau mengelakkan serangan itu. Hal itu hanya berarti memberi kesempatan pada lawannya untuk mengembangkan permainannya. Karena lawannya tentu telah menyiapkan pula kemungkinan-kemungkinan tersebut.

   Dari pada menangkis atau mengelak dengan kemungkinan dicecar lagi oleh serangan-serangan berikutnya, maka Tui Lan memilih menghadapi serangan lawannya itu dengan serangan pula. Jadi, sama-sama repotnya. Begitulah, melihat berkelebatnya mata pacul ke arah dagunya, Tui Lan tidak berusaha mengelak atau menangkis. Wanita muda itu justru mengayunkan pedang pendeknya ke lengan lawan yang memegang pacul, sehingga kalau serangan pacul tersebut diteruskan, maka lawan pun akan segera kehilangan lengannya pula. Tung-hai Nung-jin kaget juga menyaksikan cara lawannya untuk mematahkan serangannya. Dan nyatanya ia memang tak berani mengambil resiko kehilangan lengannya. Cepat-cepat ia menarik tangkai paculnya, untuk kemudian ia pergunakan menangkis ayunan pedang wanita muda itu.

   "Thaaaak!" Kedua senjata mereka saling beradu dan terpental, sehingga masing-masing harus mempererat pegangannya agar tidak terlepas dari tangannya. Namun dengan kecepatannya yang sangat mengagumkan Tui Lan segera mendahului menyerang Tung-hai Nung-jin. Pedang pendeknya yang terpental itu lalu meliuk ke atas, membabat kearah leher Tung-hai Nung-jin. Dan serangan itu ia barengi dengan tendangan kaki ke arah tangkai pacul lawannya. Tung-hai Nung-jin yang tak menduga demikian tangkas dan gesitnya segera menjadi kelabakan.

   "Setan laut...!" umpatnya kotor sambil menjatuhkan diri dan berguling-guling di atas geladak perahu. Namun dengan demikian kemarahannya menjadi semakin melonjak. Sambil menggeretakkan giginya bajak laut yang garang itu menyerbu Tui Lan. Paculnya berdesing-desing terayun kesana-kemari seakan-akan hendak memotong atau mencacah-cacah tubuh lawannya. Lebih mengerikan lagi ketika gagang pacul itu bisa memanjang atau memendek sesuka hatinya, sehingga arena pertempuran yang tak begitu luas itu seolah-olah dipenuhi dengan ribuan pacul yang menyambarnyambar kian kemari.

   Souw Thian Hai dan para penonton lainnya mulai berdebar-debar juga melihat kehebatan iblis dari Lautan Timur itu. Memang nama Tung-hai Nung-jin bukan nama kosong belaka. Sudah selayaknya kalau iblis itu bisa malang-melintang di lautan bebas. Kepandaiannya memang hebat bukan main. Meskipun demikian, Souw Thian Hai dan tamu-tamunya tak urung menjadi heran juga. Walaupun diburu dan didesak terus-menerus oleh pacul lawannya, namun sama sekali wanita muda itu tidak tampak kerepotan atau jatuh di bawah angin. Dengan sangat lincahnya wanita yang baru hamil itu 'beterbangan" kesana-kemari menghindari terjangan pacul lawannya. Tubuhnya seolah-olah menjadi seenteng kapas, sehingga kena tiupan angin sedikit saja telah melayang menjauhi lawannya.

   "Bangsat buruk! Siapa sebenarnya perempuan muda itu? Huh, hebat benar ilmu mengentengkan tubuhnya...!" tak terasa Put-ceng-li Lojin mengumpat dan memuji kehebatan ginkang Tui Lan.

   "Ya! Ginkangnya memang luar biasa. Tapi kurasa... ilmu silatnya pun juga tidak kalah hebatnya. Coba Kauw-cu lihat jurus-jurusnya itu!" Keh-sim Siau-hiap menyahut pula.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hmmh...! Padahal matanya tertutup saputangan. Ah, rasa-rasanya tulang-tulangku yang tua ini takkan mampu pula mengalahkannya." Put-ceng-li Lojin mengiyakan. Kalau semuanya itu menonton pertempuran tersebut dengan tegang dan bersungguh-sungguh, tapi tidak demikian halnya dengan Put-pai-siu Hong-jin. Keponakan murid Put-ceng-li Lojin yang kocak dan konyol itu selalu mondar-mandir sambil terus mengomel tidak keruan di sekitar arena pertempuran. Kalau tidak ditahan dan dicegah oleh Put-ming-mo, mungkin dia sudah 'merusakkan" pertempuran itu dengan kekonyolannya. Sedangkan Souw Thian Hai yang berdiri di dekat isterinya, semakin lama kelihatan semakin gelisah juga. Pendekar sakti itu rasa-rasanya semakin mengenal ilmu silat Tui Lan yang hebat itu. Namun demikian ia tak kunjung bisa mengingatnya juga.

   "Hai-ko...? Ada apa? Mengapa kau kelihatan gelisah sekali?" Chu Bwee Hong bertanya.

   "Hong-moi, rasa-rasanya aku pernah melihat ilmu silat wanita muda itu," jawab suaminya.

   "Ah... dari tadi kau juga mengatakannya," Chu Bwee Hong memotong. Demikianlah, pertempuran itu kian lama kian seru juga. Masing-masing semakin meningkatkan ilmunya, sehingga akhirnya Tung-hai Nung-jin telah mengeluarkan segala kemampuannya. Sementara Tui Lan yang berperut besar itu ternyata tidak mau kalah pula. Meskipun sedang hamil ternyata hal itu tidak menghalangi kelincahannya. Begitu hebat ginkangnya sehingga lambat namun pasti ia mulai mengurung lawannya.

   "Budak busuk! Budak gila...!" bajak laut itu memaki-maki.

   "Jangan hanya memaki-maki saja! Ayoh, lekaslah tundukkan aku! Bukankah kau tadi hendak memaksa aku?" Tui Lan mengejek.

   "Kurang ajar! Budak busuk! Kubunuh kau...!" Tung-hai Nung-jin berteriak marah.

   Tiba-tiba paculnya menghujam kebawah, menuju ke tengkuk Tui Lan. Dan kali ini tampaknya Tung-hai Nung-jin benar-benar mengerahkan semua kekuatannya, sehingga ayunan pacul itu mengeluarkan suara mengaung saking kencangnya. Malah berbareng dengan itu Tung-hai Nung-jin juga menghamburkan belasan biji senjata-senjatanya yang berbentuk bintang ke seluruh tubuh lawannya. Tui Lan menjadi kaget juga. Namun bukan pacul itu yang menggetarkan hatinya, melainkan senjata rahasia yang melesat ke segala arah itu. Dan kiranya tak mungkin ia bisa menangkis atau mengelakkan semuanya. Tampaknya lawannya telah menjadi gelap pikiran sekarang. Ternyata serangan maut yang dilakukan oleh Tung-hai Nung-jin tersebut juga mengejutkan Souw Thian Hai dan Keh-sim Siau-hiap pula.

   Keduanya benar benar tidak menduga kalau Tung-hai Nung-jin akan melakukan serangan keji itu didepan mereka. Keduanya terlalu percaya bahwa bajak laut dari Lautan Timur itu hanya akan membuktikan keampuhan baju kulit ular yang dikenakan oleh wanita muda itu saja. Mereka berdua benar-benar tidak memperhitungkan, karena marah dan malu tidak bisa membuktikan ucapannya, bajak laut tua dari Lautan Timur itu bisa berubah menjadi mata gelap dan mau membunuh wanita muda tersebut. Seperti mendapatkan aba-aba kedua pendekar sakti itu melompat ke arena secara berbareng. Gerakan tubuh mereka hampir tidak dapat dilihat karena cepatnya. Sepintas lalu orang hanya melihat bayangan hitam yang melesat ke dalam arena bagai peluru. Dan kedua sosok bayangan itu menerjang tepat ditengah-tengah antara Tui Lan dan Tung-hai Nung-jin.

   "Bug! Bug! Traang! Traang!" Terdengar suara berdebuk dan berdencing beberapa kali, kemudian semuanya berhenti. Empat orang berdiri tegak di tengah-tengah arena. Tung-hai Nung-jin berdiri berhadapan dalam jarak lima langkah dengan Tui Lan, sementara Souw Thian Hai dan Keh-sim Siau-hiap berdiri beradu punggung di tengah-tengahnya. Sesaat masih terlihat oleh semua penonton, belasan biji senjata rahasia berbentuk bintang berjatuhan dari mantel pusaka yang dikenakan oleh Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Sementara Tung-hai Nung-jin juga masih meneliti pinggiran paculnya yang somplak (rusak) karena beradu dengan pedang Keh-sim Siau-hiap tadi.

   "Bagaimana, nyonya...? Apakah kau terluka?" Souw Thian Hai yang merasakan kedatangannya agak sedikit terlambat, bertanya kepada Tui Lan.

   "Terima kasih, Souw Taihiap. Aku tidak apa-apa,." Tui Lan menjawab sambil mengambil dua buah senjata rahasia yang menempel pada baju kulit ularnya. Senjata rahasia yang dilontarkan oleh Tung-hai Nung-jin tersebut ternyata tidak mampu menembus baju kulit ularnya itu.

   "Syukurlah..." Souw Thian Hai dan Keh-sim Siau-hiap berdesah hampir berbareng.

   "Bukan main! Ternyata baju kulit itu benar-benar asli. Kulit itu sungguh sungguh kulit Ceng-liong-ong yang kebal terhadap senjata," tiba-tiba Put-ceng-li Lojin berseru sambil bertepuk tangan.

   "Bagus! Bagus...! Wah, asyik juga kalau aku bisa mendapatkan baju seperti ini, heh-heh-heh...! Susiok pun takkan menang melawan aku! Bukankah begitu, susiok?" Put-pai-siu Hong-jin yang sinting itupun ikut-ikutan bersorak pula,lalu meloncat ke dekat Tui Lan dan meraba-raba baju tersebut dengan amat gembira. Put-ceng-li Lojin diam saja tak menjawab. Justru put-ming-mo-lah yang menyahut ucapan suhengnya itu.

   "Siapa bilang suhu tak bisa mengalahkanmu? Bukankah baju kulit itu hanya khusus menutupi badan saja? Bagaimana kalau suhu menyerang kepala dan kakimu terus terusan? Masakan akhirnya tidak kena juga? Maukah suheng menjadi manusia tanpa kepala dan kaki?" Put-pai-siu Hong-jin mengerutkan dahinya yang luar biasa lebar itu. Beberapa saat lamanya ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah memang sedang memikirkan bantahan Sutenya itu.

   "Tanpa kepala dan kaki...? Hmmmm... kalau tanpa kaki itu sih belum apa-apa. Suhuku Put-chien-kang Cin-jin, meski lumpuh juga bisa ke mana-mana. Tapi... tanpa kepala? Wah... inilah yang repot! Bagaimana aku harus menyuapkan nasi nanti! Ah, Sute... kau benar! Kalau begitu tak ada gunanya memakai baju kulit itu, hehehe...!" akhirnya manusia sinting itu menjawab perkataan Put-ming-mo. Sementara itu Tung-hai Nung-jin yang terganggu maksudnya itu terdengar menggeram menahan marah.

   "Souw Taihiap...! Mengapa kau mengganggu pertempuranku?"

   "Bersabarlah, Nung-jin! Bukankah engkau tadi cuma ingin menguji kebenaran baju kulit ular itu? Mengapa engkau lantas hendak membunuhnya?"

   "Habis dengan paculku saja aku merasa tak mampu mengatasinya. Maka aku terpaksa mempergunakan juga senjata rahasiaku," Tung-hai Nung-jin mengaku.

   "Ya, tapi kurasa kau tak perlu menghamburkan senjata rahasia itu sedemikian banyaknya, bukan?"

   "Hmm... ini... ini..." Tung-hai Nung-jin tergagap tak bisa menjawab.

   "Sudahlah! Sekarangpun kau juga sudah melihat keasliannya, bukan? Kulit itu memang benar-benar kulit Ceng liong-ong."

   "Tapi dia belum mengatakan... dimana dia memperoleh kulit ular yang kita damba-dambakan itu!" bajak laut yang keras kepala itu masih merasa penasaran.

   "Baiklah! Kalau hanya itu yang kau inginkan, kita tak perlu bersikeras mengadu tenaga. Kita bisa menanyakan hal itu dengan baik-baik kepadanya."

   "Kalau dia tak mau menjawab juga?"

   "Yaah... apa boleh buat, itu memang haknya, kita tak boleh memaksanya," Souw Thian Hai menjawab tenang sambil mengangkat pundaknya.

   "Huh! Itulah yang tidak aku sukai. Bagaimanapun juga dia harus mengatakannya. Kalau dia tetap membungkam kita harus memaksanya..."

   "Begitukah? Apakah Nung-jin merasa mampu memaksanya?" akhirnya habis juga kesabaran Souw Thian Hai melihat kebandelan bajak laut tua itu.

   "Bukankah Taihiap tadi sudah menyaksikannya? Kalau engkau dan Keh-sim siau-hiap tadi tidak datang membantu., hmm, budak perempuan itu tentu sudah menggeletak mati di atas perahu ini!" Tiba-tiba Keh-sim Siau-hiap yang sejak tadi hanya berdiam diri itu mendengus keras. Matanya yang mencorong berkilat-kilat itu menatap wajah Tung-hai Nung-jin dengan sangat kesal.

   "Kau ini benar-benar orang tua yang tidak tahu diri! Kedatangan kami di arena ini tadi cuma untuk mencegah timbulnya kurban di antara kalian berdua. Yang Kami khawatirkan tadi sebenarnya bukan nasib wanita muda ini, tapi... kau! Kalau kami tidak segera datang melerai kalian tadi, maka bukan wanita muda itu yang menggeletak mati di perahu ini, melainkan...kau! Apakah kau belum juga sadar akan hal itu?" pendekar Pulau Meng-to itu membuka mulutnya.

   "Apa...? Aku yang kalah? Mana bisa begitu? Apakah kau tadi tak melihat, betapa pucatnya dia karena tak mampu mengelakkan senjata rahasiaku!" Tung-hai Nung-jin berteriak marah.

   "Tentu saja aku melihat semuanya dengan jelas sekali. Kalau tidak, masakan aku dan Souw Taihiap bergegas datang menolongmu?" Keh-sim Siau-hiap menjawab seenaknya. Lalu,

   "Dengarlah, kau tadi merasa yakin dapat membunuh wanita muda itu dengan sebaran senjata rahasiamu. Begitu, bukan?"

   "Tentu saja!" Tung-hai Nung-jin menjawab mantap. Keh-sim Siau-hiap menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Tapi...kau lupa memperhitungkan baju kulit ular yang kebal itu!" pendekar itu mengingatkan lawannya.

   "Lalu...?" tiba-tiba tergetar juga hati bajak laut tua itu mendengar peringatan Keh-sim Siau-hiap. Pendekar dari Pulau Meng-to itu tersenyum dingin.

   "Lalu... yah, seharusnya kau sendiri juga bisa menerkanya pula. Apa yang mesti dilakukan oleh wanita muda itu bila dirinya telah terpojok dan tak bisa menghindar lagi? Tak lain yang dilakukannya tentu... mengadu jiwa! Meskipun demikian wanita muda itu tentu akan memperhitungkan baju kulit ularnya pula. Jadi dalam detik-detik mengadu jiwa itu dia akan tetap memikirkan keselamatan jiwanya. Nah, sekarang cobalah kau pikirkan...! Misalkan wanita muda itu nekad mengadu jiwa, dengan membiarkan satu atau dua buah senjata rahasiamu mengenai tangan atau kakinya yang tak terlindung baju kulit ular itu. lalu membarengi seranganmu dengan serangan pedang pendeknya pula, apa yang akan terjadi padamu?"

   "Tidak bisa! Dia tak mungkin bisa berbuat demikian! Paculku akan lebih dulu mengenai tengkuknya." Tung-hai Nung-jin membantah keras. Keh-sim Siau-hiap sekali lagi menggelengkan kepalanya.

   "Kau salah perhitungan lagi. Dengan membarengi seranganmu dengan serangan pedang pendeknya, otomatis tubuhnya akan membungkuk ke depan. Nah, bukankah dengan demikian mata paculmu akan mengenai punggungnya yang terlindung kulit ular itu? Lalu bagaimana dengan ulu hati atau tenggorokanmu yang tertusuk pedang pendek itu? Apakah kiranya kau masih bisa hidup?" pendekar itu menerangkan. Tiba-tiba peluh dingin mengucur dari setiap pori-pori tubuh Tung-hai Nung-jin. Apa yang dikatakan oleh pendekar dari Pulau Meng-to itu memang benar sekali. Mendadak ulu hati dan tenggorokannya seperti merasa nyeri dan dingin.

   "Ya... itu...ini... eh! Ya... kalau dia berpikir seperti yang kau pikirkan itu..." bajak laut tua itu masih juga membela dirinya. Keh-sim Siau-hiap dan Souw Thian Hai tertawa bersama-sama.

   "Ah, Nung-jin...! Kau ini seperti anak kemarin sore saja. Orang seperti dia, yang bisa membuat dirimu kewalahan, masa kau anggap enteng begitu rupa? Bagaimana pula kau ini...?" tegur Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai sedikit keras. Tung-hai Nung-jin terdiam dan tak bisa berdalih lagi. Wajahnya menjadi pucat karena malu. Maka tanpa mengucapkan permisi lagi ia bermaksud meloncat meninggalkan tempat itu. Namun begitu kakinya mau bergerak, tiba-tiba dari bawah me lompat sesosok bayangan menghadangnya.

   "Paman, jangan pergi dulu! Aku yang akan membantumu." bayangan itu berseru nyaring. Tiba-tiba saja di samping bajak laut dari Lautan Timur itu telah berdiri seorang gadis cantik berpakaian bagus gemerlapan. Sikapnya lincah gembira dan agak genit. Begitu datang gadis itu lantas tersenyum kepada Tung-hai Nung-jin.

   "Hei, paman...! Kenapa kau diam saja? Apa yang kau lihat?" serunya genit. Tak lupa tangannya menarik dan menampar lengan bajak laut tua itu. Tung-hai Nung-jin tergagap seperti orang bangun tidur.

   "Eh! Kau...? Bukankah kau ini... Tiauw Li Ing itu? Benar, bukan?"

   "Ah! Masakan paman sudah lupa kepadaku? Aku memang Tiauw Li Ing, keponakanmu dulu. Lalu... kenapa paman sampai datang kemari? Apakah paman sudah bosan berada di lautan?" gadis lincah itu menyahut riang. Tiba-tiba wajah Tung-hai Nung-jin tampak gembira sekali. Tapi hanya sesaat, karena sekejap kemudian suaranya menjadi murung kembali.

   "Tentu saja aku hampir tak mengenalmu lagi. Habis hampir empat tahun kau pergi dari Hai-ong-hu (Istana Raja Laut). Dan karena kepergianmu itu pulalah yang menyebabkan aku dan kakakmu Tiauw Kiat Su berkelana di daratan Tiong-kok ini. Hmmm, apakah kau sudah berjumpa dengan kakakmu itu?" Tiauw Li Ing mengangguk sambil tertawa lebar. Matanya yang kocak itu seolah-olah ikut pula mentertawakan pamannya yang tampak lusuh dan loyo itu.

   "Sudah. Mungkin sebentar lagi dia juga akan tiba disini. Dia marah-marah kepadaku, sehingga kami berdua terpaksa berkelahi, hi-hi-hi..." Tung-hai Nung-jin menarik napas kesal.

   "Kau dan kakakmu memang sama saja. Sama-sama senang membawa adatnya sendiri, sehingga orang tua menjadi repot mengurusnya. Dari Hai-ong-hu aku dan kakakmu berangkat bersama-sama. Tapi setelah sampai di daratan dia segera menghilang mencari jalannya sendiri, tahun lalu aku menjumpai dia di kota Soh-ciu. Tapi hanya beberapa hari dia sudah menghilang lagi entah kemana. kalau tak ingat pada ayahmu... sudah kuhajar anak itu!"

   "Hi-hi-ha-ha...!" gadis itu tertawa lepas. Sama sekali tak memperdulikan pandangan orang yang terheran-heran menyaksikan kelakuannya itu.

   "Awas paman! Jangan sekali-sekali kaulaksanakan niatmu itu! Kau bisa mendapat malu nanti! Hi-hi-ha-ha...!"

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 39 Pendekar Penyebar Maut Eps 20 Pendekar Penyebar Maut Eps 57

Cari Blog Ini