Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 12


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 12




   "Memangnya kenapa, heh?" bajak laut tua itu bertanya penasaran.

   "Sebab...kepandaiannya sekarang jauh lebih tinggi dari pada kepandaian paman. Bahkan ayahpun bisa kalah olehnya."

   "Omong kosong!" Mendadak gadis itu menghentikan tawanya.

   "Terserah kalau paman tidak percaya. Pokoknya aku sudah mengatakannya kepada paman," katanya kemudian dengan bersungguh-sungguh. Namun Tung-hai Nung-jin yang mengira sedang digoda oleh keponakan sendiri itu justru tertawa malah.

   "Mengapa tidak kaukatakan sekalian, bahwa kepandaianmu sekarang juga sudah lebih tinggi daripada kepandaian pamanmu," oloknya. Tak terduga gadia cantik itu menganggukkan kepalanya. Wajahnya masih tetap bersungguh-sungguh ketika menjawab ucapan pamannya itu.

   "Terus terang kepandaian silatku memang lebih tinggi dari paman sekarang. Cuma aku tak sampai hati mengatakannya sendiri"" ujarnya tenang.

   "Apaa...???" Tung-hai Nung-jin berteriak seperti orang kebakaran kumis. Matanya yang kecil sipit itu melotot sejadi-jadinya. Tapi yang dipelototi tetap tenang-tenang saja.

   "Sudahlah, paman. Akupun sudah menyaksikan pertempuran paman dengan wanita itu sejak tadi. Seperti halnya Hong-Gi-Hiap dan Keh-sim Siau-hiap tadi, akupun hampir meloncat kesini untuk menolong paman pula. Sayang sekali tempatku terlalu jauh, sehingga Hong-Gi-Hiap dan Keh-sim Siau-hiap lebih dulu datang daripada aku." Katanya pelan seakan-akan tak menyadari kalau ucapannya itu sangat menyakitkan hati pamannya.

   "Ling Ing, kau...kau...?" Tung-hai Nung-jin justru tak bisa berkata-kata saking kesalnya.

   "Sudahlah! Paman tak perlu marah-marah lagi! Aku akan membantumu memaksa perempuan itu untuk berbicara tentang Ceng-liong-ong..." kata gadis cantik itu dingin. Souw Thian Hai dan Keh-sim Siau-hiap saling memandang dengan kening berkerut. Sekali lagi mereka berdua merasa menjumpai seorang wanita muda yang aneh, misterius, cantik, namun juga sangat berbahaya. Tampaknya gadis yang baru datang ini juga sangat lihai dan sangat percaya kepada kemampuan dirinya sendiri. Buktinya, meskipun di atas perahu itu berkumpul tokoh-tokoh sakti, dia tak menjadi takut atau segan melihatnya. Enak saja dia berbicara dan menyombongkan dirinya.
(Lanjut ke Jilid 12)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 12
"Aku seperti mendapat firasat bahwa perahumu ini akan menjadi ajang pertempuran dahsyat nanti, Saudara Souw," Keh-sim Siau-hiap berbisik kepada Souw Thian Hai.

   "Ya, akupun merasakannya juga. Tampaknya gadis ini tidak akan datang sendirian saja di sini. Melihat sikapnya yang tenang dan tanpa gentar sedikitpun terhadap kita itu, menandakan bahwa ia mempunyai andalan untuk menundukkan kita semua."

   "Benar. Aku juga sependapat denganmu, Saudara Souw.Tak mungkin gadis semuda itu berani meremehkan Jago Silat Nomer Lima di dunia, kalau tak yakin bisa menghadapinya." Keh-sim Siau-hiap berbisik lagi sambil tersenyum.

   "Hei...?" Souw Thian Hai tersentak kaget.

   "Kau juga percaya pada 'Buku Rahasia' yang sedang ramai dibicarakan orang itu?" Sekali lagi Keh-sim Siau-hiap tersenyum.

   "Mengapa tidak?" ujarnya.

   "Ah, kau...!" Souw Thian Hai menggerutu kesal. Ternyata bukan hanya mereka berdua yang merasa risih melihat kesombongan gadis itu. Put-pai-siu Hong-jin yang konyol dan kocak itupun menjadi gatal pula tangannya untuk mencoba kecongkakan gadis tersebut. Sudah sejak tadi ia berpikir keras mencari alasan untuk mengganggunya. Meskipun kelihatan sinting dan konyol, tapi di dalam aliran Bing-kauw Put-pai-siu Hong-jin menduduki tempat ketiga setelah Put-chien-kang Cin-jin dan Put-ceng-li Lojin. Maka sebenarnyalah kalau kepandaiannya sangat hebat, mungkin tidak berselisih banyak dengan ketua Bing-kauw itu sendiri.

   Apalagi dalam ilmu Chuo-mo-ciang (Tangan Menangkap Setan) andalan para pimpinan B ing-kauw itu! Dan kesintingan atau kekonyolan Put-pai-siu Hong-jin itu sebenarnya sebagian besar juga disebabkan oleh kelatahannya dalam mempelajari ilmu Chuo-mo-ciang itu pula. Karena di dalam melakukan gerakan ilmu Chuo-mo-ciang tersebut, setiap pelakunya diwajibkan untuk bergaya dan mengumbar mulut sesuka hatinya, seperti layaknya adat kuno di dalam upacara 'mengusir setan" itu. Demikianlah ketika Tiauw Li Ing melangkah mendekati Tui Lan, tiba-tiba Put-pai-siu Hong-jin menjegal Put-ming mo serta mendorong punggungnya ke depan, sehingga tubuh Sutenya itu terhuyung ke arah Tiauw Li Ing, seakan-akan menyongsong kedatangan gadis tersebut.

   "Suheng, kenapa kau... oh!" Put-ming-mo yang sangat terkejut itu berteriak gusar. Namun mulutnya segera tertutup karena ia harus cepat-cepat mengelak, agar tidak menubruk Tiauw Li Ing. Tapi gadis yang merasa akan mendapat gangguan itu sudah terlanjur menyambut kedatangannya dengan pukulan dan tendangan, sehingga Setan Tak Bernyawa itu terpaksa mengerahkan tenaga untuk menangkisnya.

   "Plak! Plak! Duk!"

   "Aaah!" Put-ming-mo mengeluh ketika sedikit tubuhnya terjengkang ke belakang akibat menahan tendangan gadis itu. Tapi dengan cepat murid Put ceng-li Lojin itu melenting berdiri kembali. Wajahnya kelihatan geram karena penasaran. Tapi bukan disebabkan karena kalah tenaga melawan gadis itu, sebab ia memang tidak bersiap-siap sebelumnya.

   "Suheng! Mengapa kau tiba-tiba mendorong aku?" teriaknya berang.

   "Hei! Bukankah kau tadi mengatakan bahwa kau ingin mencium gadis itu?" enak saja Put-pai-siu Hong-jin menjawab.

   "Heh...? Bangsat keparat! Monyet tua tak punya bulu! Siapa bilang aku ingin... ingin men-men-men-cium... pedagang keliling itu?"

   "Pedagang keliling?" Put-pai-siu Hong-jin bertanya bingung. Namun begitu menyaksikan pakaian Tiauw Li Ing yang gemerlapan penuh hiasan itu, ia menjadi maklum apa yang dimaksudkan sutenya.

   "Ya! Ya! Ya, hahaha...! Kau sungguh pintar memberi julukan kepada calon pacarmu, hehehe-hahaha...!"

   "Kurang ajar...!" Tiauw Li Ing menjadi marah diolok-olok begitu rupa. Tangannya segera menampar ke arah mulut Put-ming-mo. Tapi Put-ming-mo yang sudah bersiap-siap itu cepat meloncat menghindarinya. Dan murid ketua Bing-kauw itu sengaja mendekati suhengnya, Put-pai-siu Hong-jin. Tiba-tiba kaki kanannya meluncur ke arah punggung manusia sinting itu. wuuuut!

   "Hei! Hei? Mengapa kau malah menjadi marah kepadaku?" Put-pai-siu Hong jin pura-pura marah pula. Badannya membungkuk untuk menghindari tendangan sutenya itu.

   "Habis mulutmu kotor benar! Orang tidak apa-apa dibilang mau menciumi"

   "Ahh... yang benar saja! Mengapa mesti malu-malu segala? Bukankah kau tadi berbisik kepadaku? Kau katakan bahwa gadis itu luar biasa cantiknya. Kulitnya putih, bibirnya merah, tubuhnya...yahud! Dan... eh, kau malah bilang juga kalau sekali waktu... kau kepingin mengintipnya bila sedang mandi!" Put-pai-siu membakar lagi.

   "Apaaaa...?" Put-ming-mo menjerit marah. Tapi Si Setan Tak Bernyawa itu tak bisa melanjutkan kemarahannya, karena Tiauw Li Ing yang telah naik pitam kembali itu telah menyerangnya lagi. Malahan di dalam tangan gadis itu tergenggam senjata andalannya, yaitu sebuah kipas yang daun-daunnya dibuat dari lempengan-lempengan baja tipis.

   Dan kipas yang sangat tajam itu menyodok ke arah perutnya. Sepintas lalu serangan kipas itu seperti tidak bersungguh-sungguh, karena pada mulanya gerakannya sangat lambat dan amat mudah diikuti oleh mata. Namun setelah mendekati sasarannya, tiba-tiba kipas itu terbuka lembarannya dan melesat ke atas dengan cepatnya. Tujuannya berubah ke arah tenggorokan. Begitu cepatnya sehingga Put-ming-mo menjadi kelabakan dibuatnya. Setan Tak Bernyawa itu mengumpat kasar dan membanting tubuhnya ke belakang. Karena terlalu mendadak dan terburu-buru, maka dia tidak berkesempatan lagi untuk melihat bahwa sebenarnya dia telah berada di bibir perahu. Oleh karenanya, begitu ia membanting tubuhnya ke belakang, otomatis kepalanya menukik ke dalam air danau yang kelam itu.

   "Whuuuuuuss!" Kipas itu gagal menyambar tenggorokan Put-ming-mo. Dan Tiauw Li Ing segera menutupnya dan menariknya kembali ke s isi tubuhnya. Setelah itu dia bergegas melongok ke luar perahu untuk menyerang kembali kalau lawannya berusaha naik lagi ke atas perahu. Namun hampir saja ia bertubrukan dengan tubuh Put-ming-mo, yang tiba-tiba muncul kembali dari bawah perahu!

   "Eiitt...!" gadis itu memekik kaget seraya menangkis golok kecil yang tiba-tiba juga telah dipegang oleh Put-ming-mo.

   "Traaaaaang!" Tiauw Li Ing tergetar mundur tiga langkah, sementara Put-ming-mo tampak berdiri bergoyang-goyang hampir terjatuh kembali ke dalam air. Mereka berdua lalu berhadapan kembali dengan kemarahan yang meluap-luap. Cuma sekarang Tiauw Li Ing tampak semakin berhati-hati setelah menyaksikan kelihaian lawannya yang kurus kecil itu. Put-pai-siu Hong-jin bertepuk tangan melihat ketangkasan Sutenya itu.

   "Bagus! Bagus! Gerakanmu sungguh hebat sekali, Sute! Kau benar-benar sudah mulai menghayati ilmu Chuo-mo-ciang kita! hehehehe-hahaha...!"

   "Monyet tua! Monyet busuk! Monyet botak tak berbulu, he-he-he-he...! Aku tahu siasatmu sekarang, kau ingin mengadu aku dengan Pedagang keliling itu, bukan! He-he-he! Monyet Gila... Monyet sinting, maukah kau bertaruh denganku?" Put-ming-mo yang sudah bersiap dengan ilmu Chuo-mo-ciang itu mulai berceloteh.

   "Bertaruh? Apa yang akan dipertaruhkan?" Put-pai-siu Hong-jin yang kocak itu melayani olok-olok Sutenya.

   "Rambutmu!" Put-ming-mo menjawab seraya menggerakkan golok kecilnya, menyerang pinggang Tiauw Li Ing. Gerakannya sembarangan saja seperti layaknya seorang tukang kayu menebang pohon.

   Tentu saja Tiauw Li Ing semakin merasa dipandang rendah dengan ulah lawannya itu. Kemarahannya tak bisa dibendung lagi. Timbul niatnya untuk membunuh saja musuhnya itu. Maka secepat kilat kedua tangannya dirangkapkan di depan dadanya. Telapak tangan kiri terbuka, sedang telapak tangan kanan terkepal sambil menggenggam kipas besinya. Lalu bersamaan dengan datangnya golok Put-ming-mo, gadis itu menggeliatkan badannya seraya meloncat mengikuti arah ayunan golok tersebut. Sementara itu kipas besi yang berada di dalam tangannya tampak berkelebatan menyambar lengan lawannya yang memegang golok itu. Sementara itu di luar arena, Put-pai-siu Hong-jin masih tampak penasaran mendengar tantangan Sutenya tadi. Sambil mendekati Sutenya ia berteriak teriak.

   "Rambutku...? Kenapa dengan rambutku? Apanya yang mesti dipertaruhkan?" teriaknya seolah tak memperdulikan pertarungan Sutenya itu.

   "Hi-ha-ha... hi-ha-ha!" Put-ming-mo tertawa gelak-gelak. Namun suaranya itu segera terhenti manakala kipas besi lawannya hampir saja memutuskan pergelangan tangannya. Dan suara ketawa itupun lantas berubah menjadi sumpah serapah yang sangat jorok dan kasar.

   "Pedagang keliling bau kambing! Pedagang pasaran yang tak pernah laku! Kutelanjangi kau...!" Put-ming-mo cepat-cepat menarik goloknya untuk menangkis sambaran kipas lawannya.

   "Traaaaaaang!" Kedua buah senjata itu saling berbenturan di udara! Dan Put-ming-mo segera memanfaatkan keunggulan senjatanya dalam benturan itu untuk mendahului menyerang lagi, sebelum lawannya berdiri tegak. Tapi sebelum niatnya itu ia laksanakan, tiba-tiba matanya terbelalak! Kipas yang baru saja dibenturnya itu mendadak pecah, sehingga lempengan-lempengannya yang tajam itu bertebaran menyambar ke arah dirinya. Cepatnya bukan alang kepalang! Dan jaraknyapun juga sangat dekatnya, sehingga tak mungkin ia bisa menghindar lagi!

   "Put-ming-mo!" Put-ceng-li Lojin menjerit khawatir, namun tak kuasa berbuat apa-apa.

   "Sute!" ternyata Put-pai-siu Hong jin pun tak bisa menyembunyikan kecemasannya pula. Mulutnya berteriak. Lalu seperti orang yang tak memperdulikan keselamatannya lagi Put-pai-siu Hong-jin menghambur ke tengah-tengah arena. Tubuhnya yang kurus kering dibalik bajunya yang kedodoran itu seolah-olah memang sengaja diumpankan ke arah tebaran lempengan-lempengan kipas Tiauw Li Ing. Beberapa kali tubuhnya menggeliat di udara ketika baja-baja tipis itu menerjang dirinya.

   "Brug!" tubuh Put-pai-siu Hong-jin jatuh berdebuk di atas geladak.

   "Suheng!" Put-ming-mo yang lolos dari maut karena pertolongan Put-pai-siu Hong-jin itu menjerit pula. Tiauw Li Ing melompat mundur dengan senyum puas, meskipun korban keganasan kipasnya itu bukan lawannya bertempur.

   Baginya kedua orang itu sama saja. Mereka adalah orang-orang yang telah menghina dan memperolok-oloknya. Dan berbareng dengan itu pula tiga sosok bayangan berkelebat menghampiri tubuh Put-pai-siu Hong-jin. Mereka adalah Hong-Gi-Hiap, Keh-sim Siau-hiap dan Put-ceng-li Lojin. Karena cemas dan khawatir maka mereka benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan mereka masing-masing, sehingga tanpa sadar ketiganya seperti berlomba untuk lebih dulu sampai di tujuan. Dan ternyata dalam hal ginkang, memang Keh-sim Siau-hiaplah yang paling hebat. Baru kemudian Hong-Gi-Hiap dan Put-ceng-li Lojin yang paling akhir. Ketiganya segera berjongkok mengelilingi tubuh Put-pai-siu Hong-jin. Masing-masing bergegas memeriksa tubuh manusia sinting tersebut.

   Namun sekejap kemudian ketiganya lalu saling pandang dengan kening berkerut. Mereka menjadi heran karena tak ada luka sedikitpun di badan Put-pai-siu Hong-jin itu. Baju itu memang bolong-bolong dan kulit badan manusia sinting tersebut memang juga tampak bergaris-garis merah pula bekas goresan senjata tajam. Tapi kulit itu sama sekali tak terluka, apalagi mengeluarkan darah. Dan mereka bertiga menjadi semakin heran ketika menemukan lembaran-lembaran daun kipas itu bergantungan di baju Put-pai-siu Hong-jin yang bolong-bolong tersebut. Tiba-tiba Put-ceng-li Lojin bangkit berdiri. Mukanya berubah menjadi kemerahan. Dan sebelum Hong-Gi-Hiap dan Keh-sim Siau-hiap menyadari apa yang terjadi, ketua Aliran Bing-kauw itu mendadak telah menyepak pinggul Put pai-siu Hong-jin sambil mengumpat.

   "Monyet gila! Pandai benar kau main sandiwara. Bangsaaaaat! Ayoh, bangun!"

   "Bing Kauw-cu, kenapa kau...?" Keh-sim Siau-hiap cepat bangkit pula untuk mencegah perbuatan Put-ceng-li Lojin, tapi maksudnya itu segera terhenti di tengah jalan begitu menyaksikan tubuh Put-pai-siu Hong-jin yang menggeletak itu tiba-tiba melenting berdiri menghindari sepakan susioknya. Manusia Sinting itu berdiri dengan mulut meringis memandang Put-ceng li Lo jin. Kedua tangannya sibuk melolosi lempengan-lempengan baja tipis yang bergantungan di bajunya. Dan sebelum yang lain bertanya kepadanya, ia telah lebih dulu membuka mulutnya.

   "Susiok...! Bagaimana dengan gerakan 'Menerobos Lobang Pintu Jala' tadi? Hebat dan sempurna sekali, bukan? Hehehe. he-heh! Susiok sendiri belum bisa melakukannya, ho-ho ho..." serunya keras sambil tertawa gembira.

   "Monyet Gila! Kau memang sangat berbakat! Suheng memang tidak keliru memilih murid!" Put-ceng-li Lojin menyahut pula dengan suara bersemangat. Sama sekali tidak merasa tersinggung atau berkecil hati mendengar kata-kata keponakan muridnya itu. Ternyata gerakan-gerakan di dalam ilmu Chuo-mo-ciang itu demikian aneh dan sulitnya, sehingga ada beberapa gerakan atau jurus yang sulit dipelajari oleh anak murid Aliran Bing-kauw sendiri. Salah satu diantaranya adalah jurus 'Menerobos Lobang Pintu Jala' itu tadi. Dan seperti yang telah dikatakan oleh manusia sinting tadi, Put-ceng-li Lojin sendiri ternyata juga belum bisa melakukannya pula.

   Sementara itu orang yang sangat kaget melihat kemampuan Put-pai-siu Hong-jin ternyata tidak hanya mereka saja. Tiauw Li Ing yang semula telah yakin bisa membunuh lawannya itu ternyata juga tidak kalah kagetnya dari pada mereka. Saking kagetnya gadis itu sampai tertegun diam seperti patung untuk beberapa saat lamanya. Rasa-rasanya gadis itu tidak yakin dan tidak percaya bahwa lawannya itu bisa lolos dari jurus mautnya itu. Namun Tiauw Li Ing segera menjadi sadar pula bahwa orang sinting itu memang telah dapat menyelamatkan diri dari taburan daun kipasnya. Karena itu kemarahannyapun lantas menggelegak kembali. Tiba-tiba tangannya telah mengambil sebuah kipas lagi dari balik bajunya. Dan kipas itu jauh lebih besar ukurannya dari pada kipasnya tadi.

   "Hei! Ternyata kalian memiliki kepandaian yang hebat juga, ya? Hmmh... jadi itukah sebabnya kalian berdua berani melawanku?" serunya melengking. Lalu tambahnya lagi seraya melangkah ke depan.

   "Tapi jangan buru-buru bersuka ria dahulu! Kita belum selesai. Majulah kalian berdua bersama-sama! Kita lanjutkan lagi pertempuran kita..." Semuanya terkejut mendengar tantangan itu.

   "Nona..." Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai mencoba mencegahnya. Tapi Tiauw Li Ing cepat menggoyang-goyangkan telapak tangannya.

   "Maaf, Taihiap. Pertempuran ini tak bisa dihentikan sebelum salah seorang di antara kami menggeletak mati di sini!" katanya mantap dan tegas.

   "Hi-ha-ha-ha...hi-he-ha-ha! Sute, lihat... pacarmu itu benar-benar nekat sekali! Kau dan aku disuruh maju berbareng katanya, heh-he...! Tampaknya dia telah biasa bertarung dengan banyak lelaki, heh-heh-heh...!" Tiba-tiba Put-pai-siu Hong-jin tertawa dan berseru kepada Put-ming-mo.

   "Ah... kau sajalah yang maju, suheng. Lebih baik aku mengurungkan niatku tadi. Aku tak ingin isteri yang galak," enak saja Put-ming-mo menjawab. Setelah bergebrak beberapa jurus dengan Tiauw Li Ing, murid ketua Bing-kauw ini merasa takkan menang melawan gadis itu. Dari pada mendapat malu, lebih baik ia menyerahkannya kepada suhengnya. Mumpung belum terlanjur.

   "Ah!" Hong-Gi-Hiap dan Keh-sim Siau-hiap saling pandang dan berdesah berbareng. Keduanya tak kuasa lagi mencegah pertempuran itu. Orang-orang Bing-kauw itu rasanya memang sedikit keterlaluan juga kalau bergurau. Dan celakanya Put-ceng-li Lojin sendiri seperti membiarkan saja tingkah laku anak muridnya itu. Sementara itu di sekeliling perahu Hong-Gi-Hiap tersebut telah penuh dengan perahu dan sampan dari orang-orang kang-ouw yang malam itu berniat memperebutkan Ceng-liong-ong. Karena binatang yang mereka cari itu tidak kunjung keluar juga, mereka lalu mengalihkan perhatian mereka ke perahu Hong gi-hiap tersebut. Mereka tak peduli lagi bahwa fajar telah mulai menyingsing. Mereka ingin menyaksikan keributan yang terjadi di atas perahu pendekar yang sangat tersohor itu.

   "Hei, kemanakah wanita muda tadi?" tiba-tiba Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai berseru kepada Keh-sim Siau-hiap.

   "Heh benar...! Dan... eh, dimana pula Pek Lian tadi?" Keh-sim Siau-hiap berdesah pula dengan kagetnya, melihat isterinya juga tidak ada di dekatnya.

   "Hong-moi, dimanakah Kwee Hujin (Nyonya Kwee) dan wanita muda itu tadi?" Souw Thian Hai bertanya kepada isterinya.

   "Aku... aku tak tahu..." Chu Bwee Hong menjawab terbata-bata, kemudian melongok ke dalam bilik perahu.

   "Eeeh...!" tiba-tiba ia menjerit kecil. Bagai terbang cepatnya Souw Thian Hai dan Keh-sim Siau-hiap menghampiri wanita ayu itu.

   "Ada apa...?" keduanya bertanya berbareng.

   "Lihat...! Ada... ada coretan pedang di atas meja!" Chu Bwee Hong berkata gugup. Souw Thian Hai melompat ke dalam, kemudian diikuti oleh yang lain. Pendekar itu lalu membaca huruf-huruf yang tercoret di atas meja tersebut. Sebuah coretan yang sangat dalam, menandakan kalau tenaga dalam yang dipergunakan amat tinggi.

   Terima kasih atas kebaikan hati keluarga Souw, kelak Siauwte akan datang kembali untuk membayarnya. Dan di bawah kedua kalimat itu masih ada pula sebuah kalimat lagi. Tapi coretan hurufnya berbeda. Bekasnyapun tidak sedalam kalimat yang ada di atasnya. Kalimat tersebut berbunyi : Aku mengejar dia!

   "Hei! Yang ini tulisan Pek Lian...!" Keh-sim Siau-hiap tiba-tiba berseru. Jarinya menunjuk ke kalimat yang terakhir itu.

   "Hmmm...!" Souw Thian Hai menarik napas panjang.

   "Wanita muda itu telah pergi. Dan tampaknya... Kwee Hujin mengetahui, lalu berusaha mengejarnya."

   "Sungguh berbahaya! Wanita muda itu sangat lihai. Isteriku bukan tandingannya." Keh-sim Siau-hiap mencemaskan keselamatan Ho Pek Lian. Diam-diam matanya melirik ke sekeliling perahu itu melalui pintu belakang.

   "Kemana mereka pergi?" desahnya lirih.

   "Saudara Kwee tak perlu khawatir serta cemas. Wanita muda itu bukan orang jahat. Tak mungkin dia mencelakakan Kwee Hujin." Souw Thian Hai menghibur.

   "Traaaaang!" terdengar denting suara senjata di luar bilik perahu. Bergegas mereka kembali ke depan. Dan di sana tampak Put-pai-siu Hong-jin telah bertanding dengan Tiauw Li Ing. Gadis itu menyerang dengan ganasnya. Kipasnya yang besar itu menyambar nyambar dengan galak sekali. Semuanya mengarah ke tempat-tempat yang mematikan. Gerakannya tampak amat kejam dan bengis, seakan-akan tidak mengindahkan tata-krama dan peri-kemanusiaan. Souw Thian Hai menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Sungguh sayang sekali. Gadis secantik itu menjadi anak Tung-hai-tiauw."

   "Benar, saudara Souw. Tak tega rasanya melihat ilmu silat yang kasar dan brutal seperti itu dima inkan oleh gadis secantik dia..." Keh-sim Siau hiap berdesah dengan suara kesal. Tiauw Li Ing memang semakin tampak buas dan keji. Jurus-jurusnya yang licik, kasar dan tanpa mengindahkan aturan-aturan umum itu ternyata telah membingungkan Put-pai-siu Hong-jin juga akhirnya. Meskipun telah memegang golok kecil kepunyaan Sutenya tadi, manusia sinting itu masih tampak kewalahan juga. Malah akhirnya sebuah goresan kecil melintang di atas bahunya ketika kipas Tiauw Li Ing tak bisa dielakkan lagi.

   "Hwaduh...! Keparat! Sundal busuk...!" pekiknya dengan suara kotor. Mendadak manusia sinting itu membuang goloknya sehingga menancap di lantai perahu kemudian menubruk ke depan seperti orang gila yang tak memperdulikan lagi keselamatannya. Malahan dadanya seakan-akan sengaja diumpankan ke arah kipas lawan. Sambil menubruk mulutnya masih meracau pula.

   "Perempuan busuk perempuan murahan. Meski cantik tiada harganya. Bak bunga tumbuh di jalanan. Setiap tangan bisa memetiknya...Huah-ha-ha-ha-ha...! Bangsat kurang ajar! Mati kau!" serunya seperti orang membacakan sebuah pantun.

   Tingkahnya yang seolah-olah mau bunuh diri itu sesaat justru membingungkan hati Tiauw Li Ing. Kipas yang hampir mengenai dada lawan itu tiba-tiba terhenti. Sekejap timbul kecurigaan dan keraguan di dalam hati Li Ing. Jangan-jangan ada sesuatu di balik gerakan lawannya yang aneh itu. Oleh karena itu Tiauw Li Ing cepat menarik kipasnya, kemudian mengelak ke samping malah. Dan kecurigaan gadis itu ternyata benar-benar terjadi. Bersamaan dengan ditariknya kipas itu ke belakang, Put-pai-siu Hong-jin pun tiba-tiba mengubah gerakannya pula. Kedua lengan bajunya yang lebar itu tampak menampar ke depan, kemudian membanting tubuh ke lantai perahu.

   Persis di tempat manusia sinting tersebut menancapkan goloknya! Sekali lagi Tiauw Li Ing terperanjat! Begitu pula halnya dengan orang-orang yang ada di atas perahu itu. Mungkinkah Put-pai-siu Hong-jin benar-benar telah berputus asa? Apakah karena merasa gagal menubruk kipas lawan, manusia sinting itu ingin mengakhiri hidupnya dengan goloknya sendiri? Tapi semua itu berlangsung dengan cepatnya. Tahu-tahu terdengar suara jeritan. Namun anehnya bukan Put-pai-siu Hong-jin yang menjerit, tapi...Tiauw Li Ing! Tentu saja semuanya terkejut. Apalagi ketika terlihat oleh mereka Tiauw Li Ing terhuyung ke belakang seraya mencengkeram lengan kirinya, yang tergores ujung golok Put-pai-siu Hong-jin. Namun ketika semuanya masih tertegun melihat keanehan itu, tiba-tiba Put-ming-mo telah bertepuk tangan dengan kerasnya.

   "Bagus... bagus! IImu Chuo-mo-ciang suheng memang sangat sempurna! Hah-ha-hah-hah...!" soraknya gembira.

   "Tapi... kurang cepat sedikit! Seharusnya lengan gadis itu sudah terpotong oleh mata golok itu! Tidak cuma tergores oleh ujungnya..." Put-ceng-li Lojin menyambung. Tampaknya Put-pai-siu Hong-jin sendiri juga menyadari kalau serangannya sedikit mengalami kegagalan. Namun karena sabetan goloknya yang tak terduga itu dapat juga melukai lengan lawannya, maka ia tidak terlalu merasa menyesal karenanya. Sebaliknya mulutnya yang lebar itu malah tertawa gembira karena keadaan mereka menjadi berimbang sekarang. Yaitu sama-sama tergores pada bagian lengan mereka.

   "Hah-heh-hah...! Kuntilanak busuk! Tampaknya kau lihai juga, karena bisa mencium bahaya yang diakibatkan oleh jurusku tadi. Coba kau tadi tidak lekas-lekas menarik kipasmu.. he-he-he akan ada kuntilanak buntung di sini."

   Hampir saja Tiauw Li Ing tak bisa mengendalikan lagi kemarahannya. Tapi gadis itu segera teringat bahwa lawan yang ia hadapi kali ini benar-benar di luar dugaannya, dan hampir saja ia tadi terjerumus ke dalam kesukaran. Oleh karena itu dengan sangat hati-hati ia mempersiapkan dirinya. Demikianlah, pertempuran selanjutnya sungguh-sungguh merupakan pertarungan yang sangat seru, aneh, namun juga sangat menggelikan! Masing-masing memiliki ilmu silat yang amat aneh dan menggiriskan hati. Meskipun demikian dengan kekonyolan dan kekocakannya Put pai-siu Hong-jin sering kali membuat gerakan dan tingkah laku yang mengundang senyum dan tawa para penontonnya. Apalagi mulutnya yang lebar dan berbibir tebal itu tak henti-hentinya 'berkicau' dengan segala macam pantun dan syair yang tak keruan artinya.

   "Hei! Hei, tahannn...! Berhenti dulu!" mendadak Manusia Sinting itu menjerit-jerit sambil memegangi perutnya.

   "Ada apa...?" Lawannya berhenti menyerang dan berteriak.

   "Aku... aku...perutku tiba-tiba terasa sakit. Sudah tiba saatnya bagiku untuk... untuk berak di pagi hari. Lihat...! Matahari telah terbit! Ouuhh...perut bangsat..perut celaka! Beginilah kalau sudah terbiasa berak di pagi hari." Put-pai-siu Hong-jin meratap sambil memilin-milin perutnya. Lalu tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya, Put-pai-siu Hong-jin 'menarik" celananya ke bawah dan berlari ke pinggir perahu. Namun belum sampai ia berjongkok, Tiauw Li Ing sudah keburu menyerangnya dengan jarum-jarum beracunnya. Tampaknya arena merasa jijik, malu dan amat terhina dengan tingkah laku Put-pai-siu Hong-jin tersebut Tiauw Li Ing lalu bermaksud membunuh saja lawannya dengan taburan jarum beracunnya itu.

   "Hei-hei! jangan serang dulu! Wah... wah, bagaimana ini?" Put-pai-siu Hong-jin berjingkrakan sambil memegangi pantatnya. Otomatis celananya melorot ke bawah. Tempat itu seketika menjadi riuh dengan gelak dan tawa.

   "Benar-benar gila! Orang itu sungguh tidak punya rasa malu sama sekali, ah-ah-ah...!" Keh-sim Siau-hiap yang jarang sekali tertawa itu ternyata tak kuasa menahan senyumnya pula.

   "Itulah sebabnya dia disebut Put-pai-siu Hong-jin (Si Gila Yang Tak Punya Malu). Bukankah demikian, Lojin?" Hong-Gi-Hiap menyahut pula sambil tertawa. Matanya melirik ke arah Put-ceng li Lojin, Ketua Aliran Bing-kauw. Put-ceng-li Lojin mendengus, namun tak menjawab. Seluruh perhatian Ketua Aliran Bing-kauw itu sedang tertuju kepada keponakan muridnya.

   Tapi sementara itu di pihak lain, Tiauw Li Ing menjadi semakin marah dan jijik menghadapi lawannya. Tanpa berani melihat langsung ke arah lawannya dia tiba-tiba menyerang lagi dengan senjata rahasianya. Namun kali ini caranya lain. Dan senjata rahasia yang dipakainyapun juga lain pula. Amgi atau senjata rahasia yang dilontarkan oleh Tiauw Li Ing sekarang berwujud pisau kecil-kecil sebesar jari tangan. Jumlahnya tujuh batang. Dilemparkan secara berurutan, susul-menyusul dalam kecepatan tinggi. Hanya saja tenaga yang dipergunakan tidak sama, sehingga kecepatannyapun tidak sama pula. Semuanya menebar seolah-olah mengurung tubuh Put-pai-siu Hong-jin. Put-ceng-li Lojin terloncat saking kagetnya. Ilmu melempar pisau itu sungguh hebat bukan main, dan rasa-rasanya ia pernah melihat cara-cara melempar pisau seperti itu.

   Tapi untuk sesaat ia lupa di mana ia melihatnya. Ternyata tidak cuma Put-ceng-li Lojin yang terkejut menyaksikan cara gadis itu melemparkan pisaunya. Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai dan Keh-sim Siau-hiap pun ternyata tidak kalah pula kagetnya. Sebagai seorang datuk-datuk persilatan merekapun segera mengenali pula kehebatan ilmu melempar pisau tersebut. Dan ternyata keduanya cepat mengenali pula asal-usul ilmu melempar pisau yang dahsyat tersebut. Sudah sejak be ratus- ratus tahun yang lalu hidup semacam legenda atau dongeng di kalangan rakyat, yaitu tentang kehidupan orang-orang sakti yang pernah hidup di negeri mereka. Begitu populernya nama-nama orang sakti itu sehingga meskipun mereka hidup di zaman yang berbeda-beda, nama mereka diungkapkan di dalam sebuah sanjak atau nyanyian rakyat yang sangat terkenal.

   Menjadi pendekar gagah perkasa.
Ada tiga jalan untuk mencapainya.
Pertama di atas Gunung Hoa-san
Kedua di tengah Gurun Gobi
Dan terakhir di Lembah Tak Berwarna.

   Walaupun di dalam nyanyian tersebut tak disebutkan nama-nama orang sakti yang bertempat tinggal di tiga tempat itu, namun setiap orang sudah tahu bahwa yang dimaksudkan adalah Keluarga Souw beserta anak-keturunannya di Gunung Hoa-san, Keluarga Bok turun-temurun yang bertempat tinggal di tengah-tengah Gurun Gobi dan terakhir adalah keturunan Keluarga Tok yang berdiam di Lembah Tak Berwarna.

   Ketiga buah keluarga atau marga itu menjadi tenar pada waktu atau zaman yang berlainan. Namun demikian kemashuran mereka benar-benar membekas dan dicatat di dalam hati setiap orang turun-temurun hingga sekarang. Keluarga Souw menjadi tersohor dan terkenal di mana-mana pada lebih kurang se ratus lima puluhan tahun yang lalu, yaitu ketika salah seorang di antara keluarga mereka sekaligus mengalahkan empat orang Datuk Persilatan yang termashur pada waktu itu. Padahal keempat orang itu sudah dianggap sebagai tokoh besar yang tak terkalahkan di sepanjang zaman, (Baca: Darah Pendekar). Itulah pula sebabnya sampai sekarang Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang juga keturunan Keluarga Souw sangat dihormati orang karena kesaktiannya.

   Sedangkan Keluarga Bok yang tinggal di tengah-tengah Gurun Gobi menjadi buah bibir di seluruh negeri pada zaman yang lebih tua lagi, yaitu pada zaman Chan Kuo atau Zaman Peperangan Antar Negara di masa Kerajaan Chuo Timur. Pada zaman itu muncullah seorang pendekar besar yang mahir segala macam kepandaian, baik ilmu silat, ilmu perang, ilmu perbintangan, ilmu melempar senjata rahasia, ilmu sastra dan segala macam ilmu kepandaian lainnya. Pendekar itu bermarga Bok dan digelari orang Pendekar Serba Bisa. Di dalam kemelut peperangan yang melibatkan beberapa negara itu nama Pendekar Serba Bisa sangat tersohor dan ditakuti orang.

   Kepandaiannya yang aneh-aneh di luar jangkauan otak manusia yang hidup pada zaman itu sungguh membuat lawan-lawannya merasa segan dan ngeri menghadapinya. Dan biarpun selama be ratus- ratus tahun kemudian tiada seorangpun diantara keturunan keluarga itu yang menonjol, namun nama keluarga tersebut telah terlanjur terpateri di dalam hati sanubari rakyat sampai sekarang. Dan yang terakhir adalah Keluarga Tok. Keluarga Tok hidup di lembah Tak Berwarna, yaitu sebuah lembah terpencil di kaki Pegunungan Kun lun-san yang maha luas itu. Di dalam Lembah yang luas dan penuh rawa-rawa ganas tersebut hidup sebuah keluarga besar bermarga Tok. Begitu besar jumlah mereka sehingga tempat tinggal mereka tak ubahnya dengan sebuah perkampungan penduduk yang luas.

   Selain berkepandaian sangat tinggi rata-rata mereka mahir membuat racun dan membikin alat-alat pembunuh yang lain, sehingga anak-keturunan mereka selalu ditakuti orang dimana mana. Begitu mahirnya keluarga itu membuat alat-alat pembunuh, hingga orang yang memiliki kesaktian dan kekuatan yang maha besarpun harus berpikir seribu kali untuk berhadapan dengan mereka. Untunglah para anggota keluarga itu sangat suka menyendiri serta tidak suka berkelana atau keluar dari dalam lembah mereka. Demikianlah, ketika Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai dan Keh-sim Siau-hiap melihat cara-cara Tiauw Li Ing melemparkan pisaunya, mereka segera teringat akan dongeng Keluarga Bok yang serba pandai itu. Cara-cara melemparkan pisau tersebut tentulah ilmu melempar pisau dari keluarga Bok itu.

   Tapi yang menjadi pertanyaan di dalam hati mereka adalah, dari mana gadis itu memperoleh pelajaran tersebut? Apakah gadis itu telah menjadi anak-murid Keluarga Bok yang sudah be ratus- ratus tahun tidak terdengar beritanya itu? Sementara itu ketujuh batang pisau yang dilemparkan oleh Tiauw Li Ing tadi telah mendekati sasarannya. Lima jengkal dari tubuh Put-pai-siu Hong-jin tiba-tiba terjadi letupan kecil di masing-masing ekor pisau tersebut. Dan selanjutnya pisau-pisau itu seperti berloncatan berganti arah, sementara kecepatannya juga bertambah menjadi berlipat-ganda. Put-pai-siu Hong-jin yang sedang berjingkrakan karena celananya melorot turun itu menjadi kaget setengah mati. Sekejap ia menjadi bingung melihat gemerlapannya sinar pisau yang menyambar ke arah tubuhnya itu. Dengan cepat ia membanting tubuhnya ke belakang.

   "Brroooooott...!" Disertai dengan suara kentut yang keras, segumpal kotoran terjatuh dari pantatnya!

   "Plok!" Baunya jangan ditanya lagi. Dan pantat yang tipis itu persis jatuh, menimpa kotoran itu pula.

   "Ceprot!"

   "Bangsat... keparaaaaaat!" Manusia sinting itu mengumpat dengan hidung cengar-cengir. Namun betapa kagetnya dia tatkala pisau-pisau yang dihindarinya itu masih mengejarnya juga! Di dalam kebingungannya Put-pai-siu Hong-jin berguling ke kiri, sehingga tubuhnya tercebur ke dalam air telaga. Tapi dengan demikian ia bisa terhindar dari keganasan pisau-pisau terbang itu.

   "Aaaah...!" tanpa terasa Hong gi-hiap, Keh-sim Siau-hiap dan Put-ceng-li Lojin berdesah lega bersama-sama. Selanjutnya mereka bertiga mengawasi Tiauw Li Ing yang masih sangat muda itu dengan kening berkerut. Mulut mereka berdecak menyaksikan kedahsyatan ilmu si gadis yang sangat berbahaya itu.

   "Hei... dimanakah perempuan berkulit ular tadi?" tiba-tiba si gadis yang merasa telah memperoleh kemenangan itu berseru. Tangannya bertolak pinggang.

   "Ah, benar! Dimanakah dia?" Tung-hai Nung-jin yang sekarang seperti terbuka matanya melihat kelihaian Tiauw Li Ing, tiba-tiba tersentak kaget pula.

   "Dia sudah pergi..." dengan halus Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai memberi keterangan. Tapi keterangan tersebut tak dipercaya oleh Tiauw Li Ing.

   "Apa? Dia sudah pergi? Huh... bohong! Tentu kalian sembunyikan di dalam perahu!" bentaknya keras tanpa merasa takut atau hormat sama sekali kepada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Merah juga muka pendekar besar itu dibuatnya. Namun dengan kebesaran jiwanya pendekar yang telah kenyang makan asam-garam kehidupan itu menahan hatinya. Sekali lagi dengan tenang ia menjawab,

   "Buat apa kami menyembunyikannya?"

   "Buat apa? Huh... jangan berlagak bodoh! Tentu saja untuk memiliki keterangan tentang Ceng-liong-ong itu! Apa lagi?" sergap gadis itu dengan suara tetap tinggi. Ternyata Chu Bwee Hong lah yang tak tahan melihat suaminya dibentak-bentak sedemikian rupa. Sambil menggendong anaknya wanita ayu itu me langkah ke depan. Wajahnya yang cantik itu tampak kemerah-merahan.

   "Gadis tak tahu diri! Kau jangan sembarangan menuduh dan membentak-bentak orang! Kau kira siapa suamiku itu? Hmmh... bocah yang tak tahu tingginya langit!" geramnya marah. Tapi ternyata gadis itu tak menjadi gentar karenanya. Sambil bertolak-pinggang ia menyongsong kedatangan Chu Bwee Hong.

   "Memangnya kenapa kalau aku membentak-bentak Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai? Kau kira aku ketakutan mendengar namanya? Huh... cuma sebuah nama kosong belaka!" Dapat dibayangkan betapa marahnya Chu Bwee Hong mendengar perkataan itu. Sambil melemparkan anak yang digendongnya itu kepada suaminya ia membentak pula.

   "Anak yang tak tahu adat! Kau memang layak untuk diberi pelajaran agar tahu sopan sedikit!"

   "Hah... jangan terlalu besar kepala! Lebih baik Hong-Gi-Hiap saja yang maju! Kau bukan lawanku!" Tiauw Li Ing menjawab dengan suara di hidung.

   "Tutup mulutmu...!" Chu Bwee Hong berteriak lalu menyerang.

   "Hong-moi!" Souw Thian Hai berusaha mencegah isterinya, tapi tak berhasil. Kedua wanita itu sudah terlanjur berkelahi dengan sengitnya. Chu Bwee Hong yang masih cucu-murid Bu-eng Sin-yok-ong, datuk persilatan yang tersohor itu, menyerang lawannya dengan Kim hong-kun-hoat yang dilandasi dengan tenaga sakti Pai-hud sinkang.

   Dan ilmu warisan Bu-eng Sin-yok-ong itu menjadi semakin dahsyat di tangannya karena ia mengerahkan pula Pek-in Ginkangnya. Tiauw Li Ing masih tetap memainkan ilmu silatnya yang kasar dan buas. Ia tidak perduli lawannya bertangan kosong. Kipasnya yang besar itu menyambarnyambar dengan ganasnya. Sesekali terdengar teriakannya yang keras dan nyaring. Meskipun ilmu silat Chu Bwee Hong lebih halus dan kurang garang, namun lambat laun ternyata dapat mengatasi ilmu silat Tiauw Li Ing yang garang dan bengis itu. Tapi hal itu justru sangat menggelisahkan hati Souw Thian Hai. Pendekar sakti itu malah mengkhawatirkan nasib isterinya bila pada suatu saat nanti Tiauw Li Ing menjadi marah dan mengeluarkan pula senjata-senjata rahasianya.

   Tapi apa yang dilakukan oleh Tiauw Li Ing selanjutnya ternyata sangat mengejutkan pendekar sakti tersebut. Ketika menyadari bahwa dirinya terdesak, gadis itu ternyata tidak mengeluarkan senjata-senjata rahasianya. Sebaliknya gadis itu hanya mengubah cara bersilatnya saja. Namun bentuk ilmu silat si gadis itulah yang justru mengejutkan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai! IImu silat tersebut jauh berbeda dengan ilmu silat yang buas dan kasar tadi. Ilmu silat yang dikeluarkan oleh gadis itu sekarang amat indah, gagah dan tangkas. Gerakan-gerakannya sangat kuat dan mempesonakan. Sepintas lalu saja Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai segera mengenalnya. Meskipun tak paham tapi pendekar itu sudah sering melihatnya, karena ilmu silat tersebut adalah ilmu silat andalan Aliran Im-Yang-kauw.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hanya yang sangat mengherankan hatinya, mengapa gadis itu juga bisa memainkan ilmu silat Aliran Im-Yang-kauw pula? Diam-diam Souw Thian Hai menjadi curiga kepada gadis itu. Ilmu silat andalan Im-Yang-kauw itu tak sembarang diberikan kepada orang lain selain kepada para anggauta aliran itu sendiri itupun dibatasi, yaitu hanya diberikan kepada para anggota yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Lalu mengapa sekarang gadis itu bisa memainkannya juga? Apalagi dilihatnya gadis itu mampu mengerahkan Im-Yang Sinkang (tenaga sakti Im dan Yang) dalam takaran yang mendekati kesempurnaan pula. Bukankah hal itu sangat mengherankan sekali? Seperti yang telah diduga oleh Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai sebelumnya, isterinya segera ganti terdesak oleh ilmu silat Tiauw Li Ing tersebut.

   Ilmu silat warisan Bu-eng Sin-yok-ong yang hebat itu ternyata tak mampu membendung ilmu silat andalan Im-Yang-kauw tersebut. Namun seperti yang telah diduganya pula, isterinya segera mengubah juga cara bersilatnya. Kali ini isterinya memainkan ilmu silat andalannya pula, yaitu Ilmu Silat Bidadari Bersedih. Seperti telah diketahui bahwa semua ilmu warisan keluarga Souw itu hanya bisa diberikan dan dipelajari oleh anak keturunan keluarga itu sendiri. Maka dari itu meskipun telah menjadi isteri Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai, Chu Bwee Hong tidak dapat memainkan ilmu silat keluarga Souw yang terkenal itu. Namun demikian wanita ayu tersebut juga memiliki sebuah ilmu silat yang tak kalah hebatnya pula, yaitu Ilmu silat Bidadari Bersedih.

   Sebuah ilmu silat yang diciptakan oleh Put-ceng-li Lojin ketika wanita ayu itu sedang dirundung duka nestapa serta putus asa di tempat kediamannya dahulu. Sebenarnya Ilmu Silat Bidadara Bersedih tersebut diciptakan berdasarkan tingkah laku, gerak gaya dan pengamatan yang dilakukan oleh Put-ceng-li Lojin terhadap kesedihan Chu Bwee Hong ketika berputus asa dahulu. Oleh karena itu gerakannya atau jurus-jurusnya tampak sangat sederhana dan lamban. Namun dibalik kesederhanaan dan kelambanannya itu ternyata berisi kepekaan yang dalam serta tanggapan yang tinggi terhadap ilmu silat lawan. Bagaimanapun hebat dan dahsyatnya serangan Tiauw Li Ing, Chu Bwee Hong seperti telah merasa dan mengetahui terlebih dahulu arah serangan itu. Sehingga akibatnya semua serangan Tiauw Li Ing selalu gagal serta dapat dipunahkan oleh Chu Bwee Hong.

   Tapi karena Ilmu Silat Bidadari Bersedih itu sifatnya juga hanya bertahan, maka pertempuran itupun tidak kunjung selesai pula. Dan hal itu benar-benar sangat mengesalkan hati Tiauw Li Ing yang garang itu! Gadis yang merasa telah mengerahkan segala kemampuannya itu ternyata belum juga bisa mengalahkan lawannya. Di dalam kemarahannya gadis itu lalu mengeluarkan lagi pisau terbangnya. Pisau terbang yang tadi mampu membuat Put-pai-siu Hong-jin tercebur ke dalam air. Otomatis hati Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai menjadi tegang. Tanpa terasa kakinya melangkah mendekati pertempuran. Seluruh urat-uratnya menegang. Dengan tangan kiri tetap menggendong anaknya pendekar sakti itu mengerahkan tenaga dalamnya. Sekilas tampak uap tipis mengepul di atas ubun-ubunnya. Uap tipis yang berwarna putih dan merah!

   "Seperti halnya Put-pai-siu Hong-jin tadi, Hong-moi juga tidak akan dapat bertahan bila menghadapi lemparan-lemparan pisau gadis itu. Aku harus.." pendekar sakti itu berkata di dalam hatinya. Namun belum juga ia menyelesaikan kata-katanya, gadis itu sudah menggerakkan tangannya. Tiga batang pisau kecil tampak melesat menyerang Chu Bwee Hong. Tiga-tiganya berjajar membentuk segi-tiga dan semuanya menuju ke arah perut Chu Bwee Hong. Pisau-pisau itu meluncur seperti biasa, seolah-olah tidak menunjukkan keanehan-keanehan. Tapi Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang sangat mengkhawatirkan keselamatan isterinya itu tidak mempercayainya. Tentu ada apa-apa dibalik lemparan yang sangat sederhana itu.

   Oleh karena itu Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai cepat melompat pula ke depan, siap menolong isterinya. Dan apa yang ditakutkan oleh pendekar sakti itu ternyata benar-benar terjadi. Tiba-tiba terjadi letupan kecil di masing-masing pisau tersebut, dan selanjutnya pisau tersebut terbelah menjadi dua bagian. Masing-masing meluncur ke arah yang berbeda, sehingga gerakannya menyerupai bunga teratai yang sedang mekar. Indah dan mentakjubkan gerakannya namun juga sangat berbahaya serta mematikan! Jarak antara Tiauw Li Ing dan Chu Bwee Hong hanya empat atau lima langkah saja, maka tidaklah mengherankan kalau wanita ayu itu sangat terkejut me lihat serangan pisau yang amat mendadak tersebut. Apalagi ketika pisau tersebut terbelah dan memencar menjadi enam bagian, sehingga pisau-pisau itu seperti mengurungnya dari segala jurusan.

   "Celaka...!" Chu Bwee Hong menjerit di dalam hati, lalu mengibaskan kedua buah lengan bajunya yang lebar ke depan untuk menangkis pisau-pisau tersebut.

   "Ting! Ting! Ting!" Lima buah pisau berhasil ditangkisnya. Tapi sebuah di antaranya ternyata mampu menerobos di sela-sela lengan bajunya dan meluncur ke arah dadanya. Tak ada kesempatan untuk mengelak lagi. Namun di dalam keadaan yang gawat tersebut tiba-tiba Chu Bwee Hong merasa tubuhnya didorong orang ke samping, sehingga pisau yang sedianya akan merenggut nyawanya itu luput mengenai dirinya. Dan ketika ia kembali berdiri tegak, dilihatnya suaminya telah berada di sisinya.

   "Kau tidak apa-apa, bukan?" Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai bertanya penuh perhatian. Anak yang berada di dalam pelukannya tersenyum gembira melihat ibunya.

   "Ti... tidak, koko. Terima kasih." Chu Bwee Hong menjadi gagap, karena belum hilang rasa terkejutnya.

   "Sudahlah. Tidak usah kita layani perempuan muda itu." Souw Thian Hai berkata lagi.

   "Tapi... dia...?"

   "Sudahlah! Tak ada salahnya kita mengalah kepadanya, bukan? Lihatlah anakmu ini! Dia minta digendong lagi oleh ibunya."

   "Ba... baiklah, Hai-ko." Chu Bwee Hong menghela napas seraya menerima kembali anaknya.

   "Hi-hi-hi... ternyata Souw Taihiap yang tersohor itu tak sampai hati juga melihat kematian isterinya. Dan sekarang tampaknya ingin menggantikan kedudukan isterinya untuk melawanku." tiba-tiba Tiauw Li Ing berseru dengan pongahnya.

   "Hai-ko, dia... menghinamu!" Chu Bwee Hong yang sudah melangkah mundur itu tiba-tiba berhenti dan siap untuk melabrak Tiauw Li Ing kembali.

   "Hong-moi, tenanglah! Biarlah aku saja yang menghadapinya. Kau jangan terpancing oleh mulutnya yang tajam itu! Nah, bawalah anak kita ini ke pinggir!" Dengan hati berat terpaksa Chu Bwee Hong menuruti perintah suaminya. Matanya tampak berkilat-kilat menahan marah. Sebaliknya Tiauw Li Ing yang selalu merasa memperoleh kemenangan itu semakin menjadi sombong dan pongah. Dengan sangat berani ia berdiri menghadapi Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai.

   "Bagaimana, Souw Taihiap? Apakah sekarang Souw Taihiap sudah mau menyerahkan perempuan berbaju kulit ular itu?" tanyanya sambil menimang-nimang sebuah benda bulat sebesar telur penyu di tangannya. Sekejap Souw Thian Hai merasa terkejut melihat benda tersebut. Benda bulat itu mengingatkannya kepada peluru Giok-bin Tok-ong yang bisa meledakkan bukit itu. Tapi setelah ia meneliti pula beberapa saat lamanya, hatinya menjadi tenang kembali. Benda bulat tersebut berbeda dengan peluru Giok-bin Tok ong. Benda yang dipegang Tiauw Li Ing itu agak kecil dan bentuknya sedikit lonjong (oval). Namun karena ia tak bisa menduga apa kegunaannya, maka ia juga tidak berani meremehkannya. Siapa tahu benda itu juga tidak kalah berbahayanya dari pada peluru Giok-Bin Tok-ong itu?

   "Nona, kau jangan menuduh orang secara sembarangan. Perempuan muda itu benar-benar telah pergi. Kami tidak menyembunyikannya..." Souw Thian Hai masih berusaha menahan hatinya. Tetapi Tiauw Li Ing mencibirkan bibirnya.

   "Huh!" dengusnya. Tangannya berhenti menimang benda bulat itu. Urat-uratnya menegang, jari-jarinya menggenggam erat benda tersebut.

   "Kalau begitu aku yang rendah ingin meminta pelajaran kepada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang tersohor!" sambungnya dengan nada menantang.

   "Eh, nona... nanti dulu!"

   "Hmmmh! Lihat serangan...!" Gadis itu tidak memberi kesempatan lagi kepada Hong-Gi-Hiap untuk memberi keterangan. Benda bulat itu ia pindahkan ke tangan kiri, kemudian dengan tangan kanannya ia menghantam dada lawannya. Seperti pemain sulap saja tangan itu telah menggenggam sebuah kipas baja, senjata khususnya. Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai masih berusaha menghindari pertempuran, tapi mendadak kipas yang terarah ke dadanya itu terbuka, dan dari dalamnya melesat jarum-jarum kecil ke arah wajahnya.

   Maka tiada pilihan lagi selain menangkis dan meruntuhkannya dengan ujung lengan bajunya yang lebar. Setelah itu jari-jari tangan pendekar sakti itu menyambar ke depan untuk merampas kipas lawannya. Tapi Tiauw Li Ing telah lebih dulu menariknya ke belakang, kemudian menutup lembaran kipas tersebut dan menotokkan ujungnya ke depan, ke arah pergelangan tangan Souw Thian Hai yang datang. Berbareng dengan itu dari dalam kipas itu melesat lagi belasan batang jarum halus. Diam-diam Hong-Gi-Hiap terkejut juga. Usia gadis itu masih sangat muda, namun ternyata kepandaiannya benar benar hebat. Sama sekali ia tidak diberi kesempatan untuk mundur atau menghindari pertempuran. Serangannya datang beruntun bagaikan ombak yang bergulung-gulung memecah karang.

   "Tak heran kalau sikapnya sedemikian berani dan pongahnya. Kepandaiannya memang luar biasa. Apalagi bila dibandingkan dengan usianya yang masih sangat muda." Souw Thian Hai membatin.

   "Mungkin... lebih lihai dari pada Souw Lian Cu. Hmmmmmm..." Pendekar sakti itu menarik napas panjang. Diam-diam dia membandingkan gadis tersebut dengan puterinya sendiri, yang dalam beberapa tahun ini telah menghilang entah kemana.

   Sebelum kawin dengan Chu Bwee Hong, Souw Thian Hai memang seorang duda muda yang telah beranak satu. Dan sekarang anaknya itu telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang amat cantik seperti mendiang Ibunya. Hanya sayang sekali ketika masih kecil puterinya tersebut mendapat musibah sehingga tangan kirinya putus sebatas siku. Karena angan-angannya melayang ke mana-mana, maka perlawanan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai menjadi agak kendor. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila Tiauw Li Ing semakin banyak memperoleh kesempatan untuk menyerang dan mendesaknya. Dan hal itu menimbulkan kesalah-sangkaan di dalam hati gadis tersebut. Tiauw Li Ing mengira kalau kepandaian Souw Thian Hai ternyata tidaklah sehebat yang dibicarakan orang. Dan gadis tersebut menjadi semakin pongah karenanya.

   "Nah, Souw Taihiap... bagaimana? Apakah Souw Taihiap masih juga tidak mau mengatakan dimana perempuan itu berada? Atau tetap kita teruskan pertempuran ini sampai...seorang pendekar besar seperti Souw Taihiap kehilangan muka karena dikalahkan oleh seorang gadis muda tak dikenal seperti saya ini? Heh?"

   "Ah?" Souw Thian Hai tergagap kaget seperti orang yang dibangunkan dari tidurnya. Ejekan gadis itu telah menyadarkan dirinya bahwa ia sedang bertempur dengan seseorang.

   Sambil mengelak kesana-kemari pendekar sakti itu mengurut dadanya. Ia benar-benar menyayangkan sikap gadis muda yang amat lihai itu. Sikap yang sangat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Timbullah niatnya untuk memberi pelajaran kepada gadis congkak itu. Sementara itu para penonton menjadi heran menyaksikan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang tersohor itu mundur dan mengelak terus dari serangan gadis muda tersebut. Keh-sim Siau-hiap dan Put ceng-li Lojin yang tahu bagaimana dahsyatnya ilmu kepandaian Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hal menjadi heran dibuatnya. Namun rasa heran mereka tersebut segera lenyap begitu melihat Souw Thian Hai tiba-tiba mulai membuka serangan. Bagaikan seekor banteng jinak yang tiba-tiba diganggu orang, pendekar itu menerjang Tiauw Li Ing dengan hebatnya.

   Mantel hitam yang semula menutup hampir seluruh tubuhnya itu tampak menyabet ke depan, seolah-olah hendak menggulung atau menjaring badan lawannya. Terdengar suara angin bersiutan seperti hembusan badai yang mendadak bertiup dengan kencangnya! Tiauw Li Ing terkejut bukan buatan. Belum juga mantel Souw Thian Hai itu tiba, tubuhnya seakan-akan sudah digulung oleh pusaran angin yang dahsyat. Seketika dadanya menjadi sesak dan sulit untuk bernapas. Namun di lain saat ia segera menjadi sadar bahwa dirinya berada di dalam bahaya. Maka dengan amat tergesa-gesa dia mengerahkan seluruh sinkangnya untuk bertahan kemudian meliukkan pinggangnya ke belakang, sehingga sambaran mantel Souw Thian Hai itu lewat di depan hidungnya.

   Setelah itu dengan tidak kalah garangnya ia melompat ke atas untuk balas menyerang musuhnya dengan kipas bajanya. Tapi Souw Thian Hai segera berputar dengan cepat pula. Sekilas terlihat kepulan asap tipis berwarna merah di atas kepalanya, dan lagi-lagi mantel pusakanya menyambar ke atas, menyongsong kedatangan kipas Tiauw Li Ing. Sekali lagi Tiauw Li Ing terkesiap. Sama sekali gadis itu tak menyangka kalau lawannya bisa bergerak sedemikian cepatnya. Apalagi dengan tenaga yang luar biasa dahsyatnya seperti itu. Tiada jalan lain baginya selain membentur mantel pusaka tersebut dengan seluruh kekuatannya pula. Namun demikian sambil membenturkan kekuatannya ia melemparkan benda bulat yang dipegangnya itu ke arah lawan!

   "Dhieeeeeeees! Taaaaas!" Tubuh Tiauw Li Ing yang berada di udara itu tiba-tiba terlempar ke samping dengan kuatnya. Tapi berbareng dengan itu pula benda bulat yang dilontarkannya tadi meletus nyaring, dan jaraknya hanya beberapa jengkal dari muka Souw Thian Hai. puluhan jarum kecil-kecil berhamburan keluar disertai asap hitam yang tebal! Dan semuanya itu seakan-akan mengurung Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai! Sejak semula pendekar sakti itu telah berhati-hati dan bersiap-siaga menghadapi benda bulat yang belum pernah dilihatnya itu. Namun demikian ketika benda itu dilemparkan Tiauw Li Ing dan meletus di depan hidungnya, sekejap ia menjadi kaget juga. Untunglah ia cepat menyadari bahaya itu dan berputar lagi dengan cepatnya sehingga mantelnya yang lebar itu segera melilit dan membungkus seluruh badannya!

   "Cus! Cus! Cus! Plok! Plok!" puluhan jarum kecil-kecil itu berjatuhan ketika mengenai mantel pusaka tersebut, sementara yang meluncur ke arah kepala segera bersarang dan bergantungan di dalam gumpalan rambut Souw Thian Hai yang gemuk.

   Tak sebuahpun di antara jarum-jarum tersebut yang berhasil mengenai kulit dan daging Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Hanya kepulan asap hitam sajalah yang sempat tersedot oleh pendekar itu. Itupun juga cuma sedikit pula. Namun asap yang cuma sedikit itu ternyata telah membuat pening kepala Souw Thian Hai. Sekejap pendekar Sakti itu berdiri bergoyang-goyang di atas kakinya. Tapi tak seorangpun mengetahuinya, karena pada saat itu perahu besar tersebut juga bergoyang pula dengan kerasnya. Dan bersamaan waktunya dengan goncangan tersebut, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat naik ke atas perahu itu untuk menangkap tubuh Tiauw Li Ing yang hampir jatuh terbanting ke geladak perahu itu. Bayangan tersebut melesat ke samping Tung-hai Nung-jin dan menurunkan tubuh Tiauw Li Ing di sana.

   "Ing Ing, berdiri sajalah kau di dekat paman Tung-hai Nung-jin! Biarlah aku saja yang menghadapi orang itu," ucap bayangan yang tidak lain ternyata seorang pemuda tampan itu kepada Tiauw Li Ing.

   "Kiat Su...!" Tung-hai Nung-jin berdesah. Pemuda tampan yang usianya tidak terpaut banyak dengan Tiauw Li Ing itu tersenyum. Sikapnya ternyata juga tidak jauh berbeda dengan Tiauw Li Ing. Angkuh dan congkak. Malah dari sorot matanya dapat ditebak bahwa pemuda itu lebih bengis dan ganas dari pada adiknya. Tiauw Li Ing cepat menahan lengan kakaknya. Wajahnya kelihatan pucat sekali, karena terluka dalam akibat benturan tadi.

   

Darah Pendekar Eps 37 Pendekar Penyebar Maut Eps 25 Pendekar Penyebar Maut Eps 38

Cari Blog Ini