Pendekar Pedang Pelangi 22
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 22
"Kalau memang benar demikian maksud Pangeran Liu, maka tidak ada masalahnya kita bergabung dengan mereka. Semakin besar dan terarah, maka kekuatan kita akan semakin kokoh pula. Rasanya Pangeran Liu memang Cbcok untuk memimpin kita."
"Baiklah, Tan-heng. Rasanya kami juga tidak keberatan untuk bergabung. Katakan kepada Ma Taihiap, bahwa kami semua siap bergabung dengan Pangeran Liu!" Akhirnya Liu Wan menjawab. Tan Sin Lun bangkit dan merangkapkan kedua tangannya.
"Terima kasih, Ciok Sinshe. Ma Susiok tentu akan senang sekali mendengarnya." Matahari mulai terbenam. Mereka makan minum sekedarnya. Ketika akhirnya Tan Sin Lun meminta diri, maka matahari benar-benar sudah tenggelam. Sebelum berangkat pemuda itu masih sempat bercerita pula tentang utusan Kong-sun Goanswe yang telah sebulan lamanya belum kembali. Utusan itu bernama Yo Keng, seorang perwira, diutus ke Kotaraja untuk menghadap Menteri Kui Hua Sin.
"Utusan itu belum juga kembali?" Liu Wan mengerutkan dahinya.
"Ah, mungkin dia mendapat kesulitan di Kotaraja..."
"Tampaknya memang demikian. Semua orang memang harus berhati-hati di Kotaraja. Kata orang suasana di sana sudah tidak sehat lagi. Ibu Suri dalam keadaan sakit, sementara keluarga Kaisar yang lain juga tidak ada yang dapat diharapkan lagi. Bahkan para pejabat kera-jaan juga tidak ada yang peduli pula. Mereka saling mencari kepuasannya sendiri."
"Benar. Oleh karena itu dengan munculnya Pangeran Liu Wan Ti, rasanya kita semua harus bergembira..." Ang Jit Kun berkata pelan. Setelah Tan Sin Lun pergi, Liu Wan memanggil si Pencuri Sakti Ang Jit Kun.
"Saudara Ang, tampaknya situasi semakin gawat. Aku akan pergi dalam beberapa hari. Tolong kau pimpin kawan-kawan kita. Apabila saat bulan purnama aku belum datang, bawalah kawan-ka-kawan kita ke rawa Tai-bong-sui. Para pendekar akan mengadakan pertemuan di tempat itu. Mereka akan merundingkan jalan yang hendak kita tempuh bersama. Aku akan pergi ke Kotaraja untuk melihat keadaan. Siapa tahu aku mendapatkan sesuatu yang penting bagi perjuangan kita."
"Ciok Sinshe akan berangkat malam ini juga?" Ang Jit Kun bertanya kaget.
"Benar. Situasi sudah semakin gawat. Pasukan asing sudah masuk ke negeri kita, sementara di Kotaraja malah saling cakar-cakaran sendiri. Kita harus segera berbuat sesuatu."
"Ciok Sinshe hendak berbuat apa...?" Ang Jit Kun berdesah tak mengerti. Tapi Liu Wan tak menjawab. Selesai membenahi bekalnya ia segera berangkat meninggalkan tempat itu. Dia berkuda ke arah timur. Dua hari kemudian Liu Wan sudah melewati kota An-yang. Ia terkejut ketika berjumpa dengan barisan prajurit dari Kotaraja. Demikian panjang barisan itu sehingga Liu Wan terpaksa menyelinap ke dalam hutan dan kebun untuk menghindari mereka.
"Ah! Tampaknya Au-yang Goanswe sudah mencium juga kedatangan pasukan Mo Tan. Pasukan ini sangat lengkap dan dipersiapkan untuk perang yang panjang."
Hampir setengah hari barisan prajurit itu baru habis. Liu Wan menyeka debu dan keringat yang mengotori wajahnya. Sambil meneruskan perjalanan ia sibuk berpikir. Dua atau tiga hari lagi perang besar akan berkecamuk di sepanjang aliran Sungai Huang-ho. Dan perang itu akan membuat penderitaan dan kesengsaraan rakyat kecil. Malam itu Liu Wan menginap di kota An-sing, sebuah kota kecil di sebelah tenggara An-yang. Walaupun kecil tapi kota itu sangat ramai. Anak Sungai Huang-ho di bagian selatan kota, memberi banyak kesuburan pada sawah ladang, sehingga daerah itu tampak lebih makmur daripada daerah sekitarnya. Tapi barisan prajurit yang lewat di kota itu telah meresahkan hati mereka. Bagaimanapun juga perang tidak pernah mereka sukai.
"Maaf, Tuan... Meja ini sudah dipesan orang. Sebentar lagi mereka datang. Kalau Tuan ingin makan, Tuan dapat pergi ke rumah makan sebelah. Di sana masih banyak tempat kosong..." Pelayan mem-beri tahu ketika Liu Wan bermaksud duduk di ruangan makan penginapan itu. Liu Wan menarik napas kecewa. Tapi ketika hendak berbalik, seorang lelaki berseru kepadanya.
"Ciok-heng, marilah kita duduk bersama...! Masih ada kursi kosong di mejaku!" Liu Wan menoleh. Dilihatnya seorang lelaki tua berpakaian sederhana duduk di dekat jendela. Ketika Liu Wan memperhatikan, dia segera mengingatnya. Orang itu adalah Ui Tiam Lok, kepala kampung Ui-thian-cung di Hang-ciu. Orang tua itu duduk bersama dua orang putera-nya, Ui Kong Tee dan Ui Kong Lam, yang pandai bermain barongsai itu. Sebagai penduduk yang pernah tinggal satu kota tentu saja mereka mengenal satu sama lain.
"Ah, apakah aku yang sudah tua ini bertemu dengan keluarga Ui dari Ui-thian-cung...?" Liu Wan menyapa ramah. Ui Tiam Lok berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Begitu pula dengan kedua puteranya. Mereka saling memberi hormat. Liu Wan menerima undangan mereka. Mereka lalu saling menanyakan kabar dan pengalaman masing-masing. Dan akhirnya mereka juga saling menanyakan keperluan masing-masing di tempat itu.
"Ciok Sinshe...! kau tentu masih ingat peristiwa lima tahun yang lalu, bukan? Pada waktu itu muncul beberapa tokoh aneh di dunia persilatan, yang memperkenalkan diri sebagai utusan dari Pondok Pelangi. Kepandaian mereka begitu tinggi, sehingga tokoh-tokoh besar seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Keh-sim Thai-hiap Kwe Tiong Lipun tidak mampu menandingi mereka. Bahkan keduanya ditaklukkan dengan mudah, Iflernudian dibawa pergi entah ke mana. Dan sampai sekarang mereka berdua belum kembali. Usaha kaum persilatan untuk mencari mereka juga tidak pernah berhasil. Tidak seorangpun tahu, di mana Pondok Pelangi itu berada." Ui Tiam Lok bercerita perlahan.
Liu Wan mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya menerawang jauh keluar jendela. Peristiwa di dunia persilatan pada lima tahun lalu memang tidak dapat dilupakan begitu saja. Terutama bagi dirinya sendiri. Banyak peristiwa mengesankan yang tidak mungkin bisa dia lupakan, Kedatangan anak-anak Raja Mo Tan yang memiliki kesaktian seperti iblis di daerah Tionggoan. Kemudian lenyapnya Tio Ciu In, gadis yang baru saja dikenalnya, namun telah mampu mengusik hatinya. Dan yang terakhir adalah munculnya beberapa orang tokoh Pondok Pelangi yang sempat membikin geger dunia persilatan. Lima tahun telah berlalu, namun semua peristiwa itu seperti masih terbayang di pelupuk mata.
"Yaaah, tentu saja aku masih ingat, Ui-heng. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan peristiwa itu? Ilmu silat yang telah kupelajari selama puluhan tahun ini ternyata tidak berarti apa-apa diban-dingkan ilmu silat mereka. Cuma dengan tiga jurus, orang-orang dari Pondok Pelangi itu telah mengalahkan aku. Aku benar-benar kecewa dan malu sekali pada waktu itu." Ui Tiam Lok tersenyum arif. Usianya yang sudah mencapai tujuh puluh lima tahun itu membuatnya matang luar dalam.
"Ciok-heng, kau tak perlu merasa malu dan patah semangat. Tidak hanya kAu-yang mengalami hal itu..."
"Yah, tapi... rasanya mengganjal juga di dalam hati. Apalagi mereka datang dan pergi begitu saja, seolah-olah tidak ada seorang manusiapun di Tionggoan ini yang mampu mengusik mereka. Rasa-rasanya kita ini seperti anak-anak yang tak bisa berbuat apa-apa. Benar-hjwajp sebuah mimpi buruk dalam kehidupan kita..." Pelayan yang mengusir Liu Wan tadi datang membawa makanan yang mereka pesan. Dengan sikap sopan dan ramah pelayan itu menaruh makanan di atas meja. Gerakannya sangat cekatan. Bebe-rapa kali tangan itu menyambar dan meletakkan mangkok kuah ke atas meja. Dan yang sangat mengherankan, kuah yang ada di dalam mangkok itu sama sekali tidak bergetar, apalagi memercara sembarangan pula. Tak seorang. pun melihat keanehan itu. Liu Wan juga baru menyadari ketika pelayan tersebut sudah meninggalkan mereka.
"Eh...???"
"Ciok-heng, ada apa?" Ui Tiam Lok bagai tersengat lebah. Liu Wan memandang kembali mangkok kuah di depannya. Tak ada getaran. Tak ada percikan.
"Ah, tidak apa-apa...Ui-heng. Aku hanya sedikit terkejut. Rasa-rasanya pernah melihat pelayan itu. Tapi aku lupa di mana?" Liu Wan cepat mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin dianggap terlalu berprasangka dan curiga. Sambil makan mereka lalu berbicara lagi. Ui Tiam Lok bercerita tentang beberapa kejadian yang menimpa keluarganya, yang akhirnya membuat dia keluar dari kampungnya.
"Ciok-heng... dalam satu bulan ini beberapa orang nelayanku telah empat kali melihat orang-orang misterius itu. Mereka naik sampan kecil terbuat dari tulang-tulang ikan paus."
"Orang-orang dari Pondok Pelangi...?" Ui Tiam Lok mengangguk.
"Aku sudah memberitahukan hal itu kepada tokoh-tokoh persilatan yang kukenal, agar mereka bersiap-siap menghadapi kedatangan mereka. Siapa tahu mereka ingin menculik beberapa orang di antara kita lagi?" Liu Wan menghela napas panjang.
"Perang besar akan segera meletus. Pasukan Raja Mo Tan telah menyeberangi Tembok Besar. Tapi, dunia persilatan justru bergolak sendiri..."
"Ciok-heng, kau benar... tampaknya perang besar memang segera meletus. Aku juga sudah melihatnya. Bahkan pasukan yang dikirim dari Kotaraja sudah melewati kota ini pula."
"Tapi bukan itu yang kuprihatinkan. Sebenarnya kita dapat mengusir musuh bila bersatu. Baik prajurit, rakyat, maupun para pendekar persilatan. Tapi tampaknya Mo Tan memang tahu kelemahan kita. Sudah beberapa tahun ini rakyat hidup dalam kerusuhan dan ketidak-adilan. Di Istanapun para pejabat saling berebut pengaruh. Kini para pendekar juga diteror pula oleh kemunculan orang-orang Pondok Pelangi. Nah... Lengkap sudah!"
"Oh...?!" Ui Tiam Lok seakan-akan baru terjaga dari tidurnya.
"Benar! Jangan-jangan semua itu memang berkaitan satu sama lain. Nah, Ciok-heng! Apa yang sebaiknya kita lakukan?" Mata Liu Wan berkilat-kilat.
"Tentu saja yang terpenting adalah... Mempersatukan semua kekuatan kita! Mereka harus kita galang menjadi satu kekuatan untuk menghadapi pasukan Mo Tan!" Ui Tiam Lok tersenyum.
"Ya, tapi... bagaimana caranya?" Liu Wan melirik ke sekitarnya. Setelah yakin tak seorangpun memperhatikan mereka, ia berbisik perlahan.
"Mudah. Kita harus dapat mencari seorang pemimpin yang benar-benar mam pu menguasai semua kekuatan itu. Seorang pemimpin yang sangat disegani dan dihormati oleh kekuatan kita itu!"
"Siapa...?" Ui Tiam Lok menatap tajam. Sekali lagi Liu Wan mengedarkan pandangannya.
"Ada dua tokoh! Mereka adalah... pangeran Liu yang kun dan bekas Panglima Besar Yap Kim! Menurut pendapatku hanya mereka berdua yang mampu mempersatukan kekuatan itu!" Mata Ui Tiam Lok yang sudah berkeriput itu terbelalak. Namun sinar kegembiraan tampak di dalamnya.
"Benar, Ciok-heng. Aku sependapat denganmu. Tapi rasanya... Hanya tokoh ke dua saja yang bisa diharapkan. Itupun harus ada yang dapat membebaskan dia dari Benteng Langit."
"Bagaimana dengan Pangeran Liu yang kun...?" Ui Thian Lok menggelengkan kepalanya.
"Aku tak yakin beliau masih hidup. Dua puluh tahun bukanlah waktu yang pendek. Kalau masih hidup, tidak mungkin dia melupakan keluarganya."
"Bukankah isteri dan anak-anaknya telah mati semua?"
"Ya, tapi masih ada adik-adiknya. Bukankah mereka juga keluarganya?" Liu Wan menghela napas dalam sekali. Wajahnya yang tertutup kumis dan jenggot palsu itu tampak gelap.
"Kau benar. Memang akulah yang terlalu berharap." Akhirnya Liu Wan bergumam seperti ditujukan kepada dirinya sendiri. Ui Tiam Lok memandang tamunya.
"Maaf, Ciok-heng. Bukannya aku merendahkan nama Pangeran Liu yang kun, tetapi kita memang tidak mungkin mengharapkannya lagi. Kita harus berpijak pada kenyataan. Dan kenyataannya, Pangeran Liu yang kun sudah tidak mungkin diharapkan lagi. Kini tinggal Panglima Besar Yap Kim saja yang dapat kita harapkan. Sayang sekali... beliau terkurung dalam penjara. Apa daya kita...?" Wajah Liu Wan yang tertutup cambang itu tiba-tiba menjadi cerah kembali.
"Ui-heng, aku punya rencana...!"
"Rencana...? Rencana apa?"
"Ah, nanti saja! Belum saatnya dikatakan..." Liu Wan tidak meneruskan ucapannya, karena pelayan yang menghidangkan kuah tadi datang kembali. Dan Liu Wan baru menyadari, betapa gagahnya pelayan itu. Tubuhnya tinggi dan besar. Raut mukanya yang keras dan penuh keyakinan itu membuat usianya kelihatan lebih dewasa. Penampilannya sama sekali tidak sesuai dengan seragam kacungnya.
"Maaf, Tuan. Tuan Muda yang duduk di pojok ruangan itu ingin mengundang cuwi semua. Apakah cuwi bersedia...?" Liu Wan dan Ui Tiam Lok melihat ke pojok ruangan. Mereka melihat seorang Pemuda berpakaian pelajar duduk sendirian di mejanya. Bajunya yang longgar berwarna putih, sementara topinya berwarna hitam seperti rambutnya. Kumis tipis menempel di atas bibirnya, membuat pemuda itu kelihatan ganteng sekali. Liu Wan saling pandang dengan Ui Tiam Lok. Masing-masing mengangkat pundaknya. Keduanya tidak mengenal pemuda itu.
"Siapa dia? Mengapa dia mengundang kami?"
"Tuan Muda itu mengaku saudara Pangeran Liu yang kun dari Istana kaisar.
" Apakah cuwi belum mengenalnya?" Tidak hanya Liu Wan yang kaget mendengar jawaban itu, tapi-juga Ui Tiam Lok beserta putera-puteranya. Bagaimana tidak? Mereka baru saja berbicara tentang Pangeran Liu yang kun, kini tiba-tiba saja ada orang yang mengaku sebagai saudara pangeran itu. Liu Wan dan Ui Tiam Lok berembug sebentar.
"Baiklah, kami tidak berkeberatan." Mereka lalu berdiri mengikuti pelayan itu. Pemuda ganteng itu menyambut kedatangan mereka.
"Oh, terima kasih atas kesediaan cuwi memenuhi undanganku. Perkenalkanlah, aku bernama Souw Hong Lam. Silakan duduk...!" Mereka lalu saling memperkenalkan diri. Meskipun demikian Liu Wan dan Ui Tiam Lok tetap berhati-hati.
"Maaf...! siauwte telah berani mengganggu ketenangan cuwi berempat. cuwi tentu merasa kaget, curiga dan bingung. Kita memang belum pernah saling mengenal sebelumnya. Tapi, apa boleh buat... tidak ada cara lain. siauwte ingin sekali berbicara tentang orang-orang Pondok Pelangi itu dengan cuwi berempat. Kudengar cuwi baru saja bercerita tentang mereka." Souw Hong Lam berkata panjang lebar. Liu Wan maupun Ui Tiam Lok terkejut. Jarak antara meja mereka dengan meja pemuda itu sangat jauh, bahkan di selingi oleh beberapa meja yang pemuh tamu pula. Bagaimana pemuda itu dapat mendengarkan percakapan mereka? Liu Wan saling pandang dengan Ui Tiam Lok. Mereka semakin berhati-hati. Kalau memang benar apa yang diucapkan pemuda itu, berarti pemuda itu memiliki tenaga dalam yang hebat.
"Maaf, Souw-heng. Kata pelayan rumah makan ini, kau masih memiliki hubungan keluarga dengan Pangeran Liu yang kun. Hmm, benarkah...?" Liu Wan bertanya hati-hati. Pemuda itu tertawa. Dan Liu Wan harus mengakui bahwa pemuda itu benar-benar tampan sekali. Giginya tersusun rapi, sementara bibirnya yang tertutup kumis tipis itu merekah seperti bibir wanita.
"Ah! Kalau mau dianggap masih keluarga, yah... bisa saja, karena salah seorang keluargaku adalah menantu Kaisar Liu Pang. Tapi kalau hal itu dianggap bukan keluarga, yaaa... Memang bukan apa-apa!" Liu Wan tersentak. Putera Kaisar Liu Pang yang sudah menikah hanya Pangeran Liu yang kun. Dan kedua isteri pangeran itu adalah Souw Lian Cu dan Han Tui Lan.
"Salah seorang isteri Pangeran Liu yang kun adalah puteri pendekar Souw Thian Hai. Apakah saudara dari keluarga pendekar ternama itu?" Liu Wan bertanya kaget.
"Benar. Tapi aku tidak berani mengaku terlalu dekat dengan mereka. Aku hanya keluarga jauh. Namun demikian kepergianku ini juga untuk mencari Pendekar Souw Thian Hai. Kata orang dia di culik utusan dari Pondok Pelangi. Nah, apakah jiwi Lo-Cianpwe tahu letak Pondok Pelangi itu?" Ui Tiam Lok menelan ludah. Sambil bergeser di tempat duduknya, ia berkata pelan.
"Souw-heng...! Kami memang baru saja membicarakan orang-orang dari Pondok Pelangi itu. Aku mengatakan kepada Ciok Sinshe ini, bahwa beberapa orang nelayan di kampungku telah melihat lagi kedatangan mereka di Laut Utara. Tapi para nelayan itu tidak ada yang tahu dari mana mereka datang..."
"Laut Utara...? Oh! Apakah mereka datang dari seberang lautan? Bukan dari daratan kita ini?" Souw Hong Lam ber gumam.
"Dugaan Tuan memang benar..." Tiba-tiba pelayan muda itu datang lagi membawa botol arak pesanan Souw Hong Lam. Bibirnya tersenyum kepada Souw Hong Lam. Tentu saja ucapan pelayan itu sangat mengejutkan mereka. Bahkan Liu Wan yang sudah bercuriga sejak tadi sampai melongo mendengarnya. Tapi pelayan muda itu dengan tenang melanjutkan kata-katanya.
"Maaf. Bukan maksudku untuk mencampuri pembicaraan Tuan. Tapi, orang-orang dari Pondok Pelangi itu memang bertempat tinggal jauh di seberang lautan sana. siauwte pernah berkunjung ke tempat itu. Pada musim panas begini, tempat tinggal mereka memang sangat indah. Tapi pada musim dingin, seluruh tanah mereka diselimuti oleh salju. Bahkan permukaan laut di sekitar tanah merekapun dilapisi oleh es pula. Liu Wan cepat berdiri sambil merangkapkan tangannya.
"Maaf, bolehkah kami tahunama jfewidara? Sejak tadi aku memang tidak percaya bahwa saudara adalah seorang pelayan biasa."
"Wah, Sinshe salah duga. siauwte memang seorang pelayan. Sudah lima hari siauwte bekerja di sini. siauwte bernama A Liong. Dan siauwte memang berasal dari Lautan Es itu..." Tiba-tiba tangan Souw Hong Lam menyambar ke depan, ke arah pergelangan tangan A Liong. Gerakannya cepat bukan main, sehingga mata Liu Wan hampir tidak bisa mengikutinya. Tapi A Liong sekarang bukanlah ALiong lima tahun lalu. Gerak tangannya ternyata jauh lebih cepat daripada gerakan Souw Hong Lam! Bagaikan main sulap, lengan pemuda itu tiba-tiba lenyap dari tempatnya. Dan tangan Souw Hong Lam hanya mampu meraup asap tipis yang tiba-tiba mengepul di tempat lengan A Liong tadi berada. Asap itu segera buyar tertiup angin, meninggalkan bau amis menyentak hidung.
"Gila...!" Liu Wan mengumpat di dalam hati.
"Pelayan ini jelas lihai sekali! Jikalau aku yang mendapat serangan itu, aku tidak mungkin bisa mengelakkannya. Paling-paling aku hanya bisa mengadu tenaga!" Ternyata Souw Hong Lam sendiri juga tidak kalah kagetnya. Dia tidak meneruskan gerakannya. Matanya yang jernih dan tajam itu menatap lawan lekat-lekat.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyerang, Saudara. Aku hanya ingin mengetahui, siapakah. saudara ini sebenarnya..." A Liong tersenyum.
"Ah, tidak apa-apa. siauwte hanya bergurau pula. siauwte ingat, waktu masih kecil dahulu sering bermain "tangkap tangan" dengan teman-temanku. Melihat gerakan tangan Tuan tadi, otomatis tanganku menghindar."
"Tapi... asap itu?" Liu Wan menyela. Lagi-lagi A Liong tersenyum.
"Ah, bukankah asap itu keluar dari arak yang kubawa? Arak itu baru saja dipanaskan!"
"Tapi baunya amis sekali..." A Liong tidak menjawab. Dia cepat membungkukkan badan dan melangkah mundur untuk kembali ke tempatnya.
"Tunggu...!" Souw Hong Lam berseru. Tapi A Liong tetap melangkah ke dalam, sehingga Souw Hong Lam terpaksa bangkit dan mengejarnya. Liu Wan dan keluarga Ui mengikut di belakangnya. Namun mereka tidak menemukan A Liong. Pelayan lainnya mengatakan bahwa A Liong baru saja keluar untuk membeli daging. Tampaknya Souw Hong Lam tidak mau kehilangan. Setelah membayar semua makanan, ia berlari keluar. Liu Wan dan keluarga Ui tidak mau ketinggalan pula. Mereka berlari-lari kecil di jalan raya.
"Ah! cepat sekali dia menghilangi Padahal kita hanya terlambat beberapa langkah saja di belakangnya...!" Souw Hong Lam bersungut-sungut. Mereka berdiri di perempatan jalan. Ui Tiam Lok tiba-tiba menunjuk ke sebuah kereta yang berjalan lambat dari arah selatan. Dua orang petugas keamanan tampak berdiri di atas kereta, sementara beberapa petugas lain membunyikan tambur untuk menarik perhatian orang. Dua petugas itu meneriakkan sebuah seruan tentang hadiah bagi siapa saja yang dapat menemukan Pangeran Liu Wan Ti.
"Eh, katanya Pangeran Liu berada di Benteng Kong-sun Goanswe. Mengapa para petugas itu meneriakkan pengumuman itu? Apakah berita itu belum didengar oleh pemerintah?" Ui Tiam Lok berbisik. Souw Hong Lam menoleh. Dahinya berkerut.
"Apa...? Pangeran Mahkota itu masih hidup?" Liu Wan mengangkat pundaknya.
"Berita yang terdengar memang begitu. Malah kabarnya beliau sekarang sedang mengumpulkan kekuatan untuk melawan Raja Mo Tan di benteng Kong-sun Goanswe."
"Lhoh? Mo Tan menyerang Tionggoan?" Lagi-lagi Souw Hong Lam berseru tak percaya.
"Wah, Siau-ya benar-benar ketinggalan jaman!" Entah dari mana datangnya tiba-tiba A Liong telah berada di belakang mereka.
"Kau...???" Semuanya berdesah kaget.
"Oh, maaf! siauwte telah mengagetkan cuwi sekalian! siauwte dari pasar untuk membeli daging, tapi ternyata sudah habis. Jadi, siauwte terpaksa... eh, mengapa cuwi berada di sini? Bukankah cuwi sedang minum arak?" A Liong pura-pura terkejut. Souw Hong Lam menelan ludah.
"Maaf, kami memang mencari Saudara. Kami bersungguh-sungguh tentang Pondok Pelangi itu sehingga kami menginginkan beberapa keterangan lagi dari Saudara."
"Oh, ya-ya...! Tapi sekarang siauwte sedang sibuk. Bagaimana kalau kita bertemu saja di kuil San-hong-bio besok pagi?"
"Baiklah, Saudara... a Liong. Kami akan menunggu di depan Kuil San-hong-bio besok pagi." Liu Wan mengiyakan ketika dilihatnya Souw Hong Lam tidak segera menjawab. Entah mengapa, tapi pelayan itu benar-benar menarik perhatian Liu Wan. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh pemuda gagah itu. Sikapnya sangat aneh. Sama anehnya dengan Souw Hong Lam, yang juga baru dikenalnya itu. Diam-diam Liu Wan ingin tahu, siapa sebenarnya mereka itu. Demikianlah hari berikutnya mereka bertemu di halaman San-hong-bio. Liu Wan te"ap dalam penyamaran sebagai Tabib Ciok, sementara A Liong tidak berpakaian seperti pelayan lagi. Pemuda itu datang dengan pakaian longgar berwarna biru tua. Di atas pungungnya terikat sebuah bungkusan kain.
"Maaf, hari ini siauwte akan pergi ke suatu tempat, sehingga tak dapat menemani cuwi terlalu lama. Kita langsung saja berbicara tentang Pondok Pelangi itu..." Begitu datang A Liong berkata lantang. Souw Hong Lam maju ke depan.
"Aku sependapat denganmu, saudara A Liong! Aku juga tidak ingin berbelit-belit. Kedatanganku ke mari adalah untuk mengajakmu pergi ke Pondok Pelangi."
"Ke Pondok Pelangi? Mau apa Siau-ya ke sana?" A Liong kaget.
"Saudara A Liong! Jangan panggil aku... siau-ya! kau bukan seorang pelayan lagi! Panggil saja aku Hong Lam! Dan aku memanggilmu A Liong! Kita tak perlu berbasa-basi."
"Baiklah...!" Tak terduga A Liong mengiyakan.
"Nah, A Liong... aku ingin mencari Souw Thian Hai! Dia masih keluargaku. Kata orang dia bersama isterinya dibawa oleh utusan dari Pondok Pelangi lima tahun lalu."
"Souw Thian Hai dan isterinya? Dia bertubuh tinggi besar berambut putih? Dan usianya kira-kira sama dengan...Ui Lo-Cianpwe ini?" Mendadak A Liong berteriak gembira.
"A Liong! Apa maksudmu?" Cepat bagai kilat A Liong menyambar lengan Souw Hong Lam. Dan pemuda ganteng itu mengelak. Tapi sia-sia. Jari tangan A Liong yang kokoh kuat itu lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya. Souw Hong Lam berontak. Asap tipis berwarna kemerahan tiba-tiba mengepul di atas topinya. Dan kekuatan yang maha besar segera menghentakkan tangannya dari cengkeraman A Liong. Demikian besar kekuatan tersebut, sehingga getaran anginnya dapat dirasakan oleh Liu Wan maupun Ui Tiam Lok. A Liong melepaskan tangannya. Bibirnya tersenyum.
"Bagus! kau memang dari keluarga Souw. Ketahuilah, Souw Taihiap memang berada di Pondok Pelangi selama lima tahun ini. Tapi beliau sudah kembali ke Tionggoan sebulan lalu."
"Benarkah...?" Souw Hong Lam berseru gembira.
"Lalu ke manakah mereka sekarang?" A Liong mengangkat pundaknya.
"Entahlah, aku tidak tahu. Aku cuma berjumpa saja di perjalanan. Mungkin dia langsung kembali ke kampungnya..."
"Ke rumahnya? Ah, tidak! Aku baru saja dari sana! Eh... Mengapa kau tahu benar keadaannya? Apakah kau dari... pondok Pelangi juga?" Tiba-tiba mata Souw Hong Lam terbelalak. A Liong kembali tersenyum.
"Benar, aku memang datang dari daerah itu. Walaupun bukan dari Pondok Pelangi." Liu Wan dan Ui Tiam Lok terkejut. Otomatis mereka bersiaga. Namun dengan tenang A Liong menerangkan bahwa dia bukanlah orang Pondok Pelangi. Seperti halnya pendekar Souw dan iste-rinya, dia juga seorang pendatang pula di tempat itu.
"Ah, tampaknya misteri tentang orang-orang dari Pondok Pelangi akan segera terkuak..." Tak terasa Liu Wan berdesah perlahan.
"Wah, kalau begitu... orang yang dilihat oleh para nelayan itu tidak lain adalah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Bahkan kemungkinan juga malah... saudara A Liong ini." Ui Tiam Lok tiba-tiba berseru. A Liong tertawa.
"Mungkin juga, Ui Lo-Cianpwe. Sebab banyak juga nelayan, yang kutemui di perjalanan. Rata-rata mereka merasa aneh melihat perahuku yang terbuat dari tulang-tulang ikan paus."
"A Liong, menurut pendapatmu ke "Mana kira-kira tujuan pendekar Souw Thian Hai?" Souw Hong Lam mendesak. A Liong tidak menjawab. Pemuda itu memang tidak tahu arah dan tujuan Souw Thian Hai beserta isterinya. Tiba-tiba Ui Tiam Lok memegang tangan Souw Hong Lam.
"Souw-heng, rasanya saudara A Liong ini memang benar-benar tidak tahu! Tapi Souw-heng juga tidak perlu khawatir! Pendekar Souw sangat terkenal di dunia persilatan. Semua orang tahu dia. Maka kedatangannya kali ini tentu tidak akan lepas dari perhatian banyak orang. Sebaiknya kita berangkat ke Tai-bong-sui saja. Tempat itu akan menjadi ajang pertemuan para pendekar persilatan. Aku yakin kita akan mendapatkan keterangan dari sana. Bagaimana...?"
"Bagus, Ui Lo-Cianpwe! Pendapat Loci-anpwe benar sekali. Di sana akan berkumpul para pendekar dari segala penjuru. Siapa tahu ada salah seorang yang pernah melihat Souw-Taihiap? Kebetulan sekali aku juga hendak ke sana pula." A Liong bersorak gembira.
Demikianlah, dua hari kemudian para pendekar persilatan yang berdiam di sekitar aliran Sungai Huang-ho, berkumpul di tengah rawa Tai-bong-sui. Mereka datang secara rahasia. Dan undangan hanya diberikan kepada orang yang sudah dikenal dan dipercaya. Namun demikian tamu yang datang ternyata lebih banyak dari yang diperkirakan. Mereka berkumpul di sebuah pulau gundul di tengah rawa. Tempat itu sangat cocok sekali untuk berkumpul. Selain tempatnya lapang, kebetulan pula air di sekitarnya amat lebar dan dalam. Ketika rombongan Liu Wan datang, tempat itu telah ramai sekali. Ada rombongan dari Pek-lian-eng, Sin-hou-pang, Kong-sim-pang, Liong-gi-eng dan banyak pendekar lainnya. Rata-rata mereka datang dari daerah sekitar aliran Sungai Huang-ho.
Termasuk pula perkumpulan para pendekar yang didirikan oleh Liu Wan. Mereka dipimpin si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. Sebagai Tuan rumah adalah Perkumpulan Pek-lian-eng, karena mereka pula yang mendapat kepercayaan dari Pangeran Liu Wan Ti. Maka tidak mengherankan bila anggota mereka banyak yang tersebar di sekeliling arena itu. Mereka mengawasi dan meneliti semua undangan yang datang. Mereka juga meronda dengan sampan-sampan kecil di rawa-rawa itu. Mereka juga menyiapkan petugas-petugas rahasia di tempat-tempat tersembunyi, seperti di semak-semak, pepo-, honan dan sebagainya. Bahkan beberapa orang di antaranya ada juga yang berbaur dengan tamu-tamu yang datang. Liu Wan dan rombongannya segera bergabung dengan rombongan si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. Setelah saling berkenalan, Liu Wan bertanya tentang Souw Thian Hai.
"Ah! Benarkah pendekar itu sudah muncul lagi? Wah, kalau begitu benar juga ucapan Huang-ho Siang-kiam. Dia tadi mengatakan bahwa salah seorang anak buahnya telah melihat suami-isteri Souw Thian Hai menyeberangi Sungai Huang-ho di kota Liang-an."
"Di kota Liang-an...?" Souw Hong Lam bergumam lirih. Liang-an adalah kota kecil di Propinsi San-tung. Sebuah kota pelabuhan sungai yang cukup ramai, sehingga penduduknya cukup padat dan sibuk.
"Jangan khawatir, Souw-heng! Nanti kubantu mencarinya. Kebetulan aku juga hendak ke San-tung setelah pertemuan ini." Liu Wan berkata pelan.
"Ah, aku tak berani merepotkan Lo-Cianpwe..." Ketika bulan purnama menyibak kabut yang menggenang di tengah rawa itu, Huang-ho Siang-kiam Ma Sing tampil di tengah arena. Ketua Cabang lm-yang-kauw bagian utara itu diapit oleh orang murid utamanya. Meskipun usianya telah mencapai enam puluh lima tahun, namun orang tua itu masih tampak gesit dan lincah. Setelah mengucapkan rasa terima kasih dan selamat datang kepada tamu-tamunya, Ma Sing lalu menjelaskan maksud dan arti daripada pertemuan itu. Maksudnya yang utama adalah membentuk wadah bersama dalam menanggulangi kekuatan Raja Mo Tan.
"Wadah ini akan membuat kekuatan kita menjadi satu kesatuan yang kokoh kuat. Di dalam satu wadah dan satu perintah, kekuatan kita tidak akan terpecah-belah. Aku telah berbicara dengan Pangeran Liu Wan Ti. Beliau setuju dengan niat tersebut, tapi beliau tidak ingin terlalu turut campur. Sebagai pangeran mahkota beliau tidak ingin terjun langsung dalam gerakan seperti ini. Beliau khawatir hal itu akan berbuntut jelek di kemudian hari. Beliau tidak ingin ada yang menyalah-tafsirkan keterlibatannya itu. Siapa tahu ada yang berprasangka jelek dan menuduhnya yang bukan-bukan. Karena mengumpulkan kekuatan besar di kalangan rakyat dapat dianggap sebagai pemberontak yang hendak merongrong kekuatan kaisar." Ma Sing berhenti untuk mengambil napas. Kemudian lanjutnya dengan kata-kata yang tegas dan berwibawa.
"Tapi saya harap saudara jangan salah sangka. Ucapanku ini bukan lalu berarti bahwa aku... Ingin menggantikannya menjadi ketua. Sama sekali aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin seluruh kekuatan di ini. Tentang ketuanya, sila-pilih saja yang lain!" Semuanya menyambut baik gagasan Ma Sing itu. Tapi banyak juga yang memprotes karena Ma Sing tidak bersedia menjadi ketua. Bahkan sebagian dari mereka justru ingin memilihnya.
"Sekali lagi aku mohon maaf. Keputusanku tidak dapat diubah lagi. Di sini banyak tokoh yang lebih patut menyandang kedudukan itu. Biarlah aku yang tua ini berdiri sebagai penopangnya saja." Ma Sing menegaskan lagi.
"Wah, aku tidak setuju!" Ang Jit Kun tiba-tiba berseru. Ang Jit Kun berkata sambil berdiri, sehingga semua orang dapat melihat dia.
"Perkumpulan kita berdiri di atas keadilan bagi seluruh anggotanya. Tidak ada yang diistimewakan ataupun dibedakan dari yang lain. Ma-Taihiap juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita semua. Bukankah demikian, saudara-saudara?" Ang Jit Kun melanjutkan lagi. Semuanya bertepuk tangan. Mereka sependapat dengan ucapan si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. Akibatnya Ma Sing tidak dapat menghindar atau menolak lagi. Namun demikian Ma Sing tetap berkeberatan bila menjadi calon tunggal. Dia ingin agar semua ketua perkumpulan yang hadir dicalonkan pula untuk dipilih.
"Hahaha, baiklah... Kami juga tidak keberatan. Tapi bagaimanapun juga kami sudah sepakat untuk memilih Ma-Taihiap. Hahahahahaha...!" Ang-bin Kuai-jin, Ketua Perkumpulan Sin-hou-pang menanggapi permintaan itu dengan tertawa menggelegar.
"Yah, benar...! Sebenarnya kita tak perlu lagi mengadakan pemilihan. Namun Huang-ho Siang-kiam sudah lebih dari cukup bagi kita semua." Gobi Sam-ci dari Kong-sim-pang berseru pula dari tempat duduknya. Anak buahnya segera bertepuk tangan tanda setuju. Ketua rombongan Liong-gi-eng bangkit dari tempat duduknya. Pendekar bertubuh tinggi besar bercambang lebat itu tampak lebih menyeramkan dengan kulitnya berbercak-bercak putih bekas luka bakar.
"Ayolah, kita tidak usah bertele-tele lagi! Kita mulai saja pemilihan ketua ini! Nah, Ma-Taihiap... cara manakah yang paling sesuai kita pergunakan?"
Pendekar yang dijuluki orang Harimau Putih atau Pek Hou itu berteriak lantang. Belum juga pertanyaan itu dijawab oleh Ma Sing, tiba-tiba sesosok bayangan kecil meloncat ke tengah arena. Gerakannya lincah dan cepat luar biasa, seperti belalang yang melenting dari pucuk-pucuk ilalang. Sekejap saja bayangan itu telah berdiri tegak di tengah arena. Semua tamu yang hadir segera membelalakkan matanya. Bayangan yang bergerak lincah seperti belalang itu ternyata seorang perempuan muda, berkulit hi-tam-legam bak pantat kuali. Begitu hi-tamnya, sehingga wajah itu tak dapat dilihat dengan jelas dalam keremangan malam. Di bawah redupnya sinar rembulan hanya bola matanya saja yang kelihatan.
"Nanti dulu, rasanya kurang adil kalau calon yang dipilih hanya dari kalangan lelaki. Seharusnya kaum wanitapun diberi hak untuk dipilih pula. Bukankah di sini juga banyak pendekar wanita yang hadir?" Perempuan muda itu berseru nyaring.
"Selain daripada itu, acara dalam pertemuan ini rasanya juga terlalu tergesa-gesa! Eh, maaf...! Aku tidak bermaksud mengacau atau mau membikin onar pertemuan ini. Tapi ketika dibuka tadi, Ma-Taihiap belum berembug dengan kita semua tentang pembentukan wadah perkumpulan itu. Kita langsung saja berbicara tentang siapa ketuanya. Seharusnya kita bicarakan dulu niat tersebut dengan para tamu yang datang. Maksudku... apakah tidak perlu ditanyakan dulu pendapat para pendekar yang hadir di sini? Yah, siapa tahu, mungkin ada yang kurang setuju, atau... Mungkin justru mempunyai pendapat yang berbeda?"
Semua tertegun. Ucapan wanita berkulit hitam itu seperti dentang lonceng di tengah malam. Mengejutkan, tapi juga menyadarkan hati dan pikiran mereka. Mereka mengakui kebenaran ucapan itu, walaupun terasa kurang enak di dalam hati.
"Wanita itu memiliki tenaga dalam yang tinggi!" Souw Hong Lam bergumam perlahan.
"Ya, benar! Tapi... rasanya kulit itu bukanlah kulit aslinya." Liu Wan menganggukkan kepalanya.
"Maksud Sinshe...?" Ang Jit Kun tertegun.
"Tampaknya wanita muda itu berusaha untuk menyamar..."
" He, benarkah?" A Liong berdesah pendek. Wanita berkulit hitam itu bertepuk tangan.
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, bagaimana dengan pendapat cuwi semua?"
"Benar! Benar! Ucapan Lihiap memang benar!" Entah darimana datangnya, tiba-tiba serombongan lelaki kasar telah berdiri di pinggir arena. Mereka berseru dan bertepuk tangan menanggapi ucapan wanita tersebut. Terdengan suara menggerutu di sana-sini. Apa yang dikatakan perempuan itu memang mengandung kebenaran, namun karena ucapan tersebut keluar dari mulut seorang perempuan muda, maka rasanya menjadi kurang menyenangkan bagi para pendekar. Ma Sing berdiri seraya mengangkat kedua tangannya.
"Baiklah! Ucapan Lihiap memang benar. Kami memang terlalu tergesa-gesa. Maafkanlah...! Nah, saudara-saudara...! Adakah di antara saudara yang mempunyai pendapat lebih baik?" Tak ada yang menyahut, semuanya diam. Namun sebaliknya, mereka bersorak dan bertepuk tangan gembira tatkala Ma Sing menawarkan pembentukkan sebuah wadah perkumpulan bagi kegiatan mereka.
"Nah, Lihiap... tampaknya semua orang memang menginginkan perkumpulan itu. Kalau begitu tinggal melaksanakan usul Lihiap yang kedua tadi, calon dari kalangan pendekar wanita! Nah, kira-kira... siapakah pendekar wanita yang pantas dicalonkan dalam pertemuan ini? Mungkin... Lihiap sendiri?"
"Yayaya, kami setuju! Biarlah Lihiap itu yang mewakili kaumnya! Hehehehe-he...!" Rombongan lelaki kasar tadi kembali berteriak-teriak dan bertepuk tangan. Akhirnya Liu Wan bangkit pula dari duduknya. Dengan hati-hati ia berkata kepada perempuan berkulit hitam itu.
"Lihiap maafkanlah kami! Rasanya kami belum pernah melihat Lihiap, atau mendengar nama Lihiap di dunia persilatan. Selain daripada itu kami juga merasa heran, bagaimana Lihiap dapat hadir dalam pertemuan rahasia ini. Apakah Lihiap mewakili Gurumu, atau mewakili ketua perkumpulanmu?" Perempuan muda itu membalikkan tubuhnya. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Liu Wan. Dan matanya yang bulat lebar itu menatap Liu Wan dengan tajamnya.
"Oh, tampaknya Lo-Cianpwe menaruh curiga kepadaku! Baiklah, namaku... tiau Hek Hoa! Aku mewakili Ketua Aliran Beng-kauw."
"Thuuuuuuuuoooot...!" Tiba-tiba terdengar suara kentut keras sekali. Sekejap pertemuan itu menjadi gaduh. Banyak yang tertawa,. tapi ada pula yang menggeram dan mengumpat-umpat. Perempuan itu kelihatan mendongkol pula, biarpun dia telah berusaha meredamnya. Bagaimanapun juga dia tak ingin memancing keributan, yang akibatnya akan menyulitkan dirinya sendiri.
"Tampaknya ada yang tidak menyukai kehadiranku..." Katanya perlahan sambil menarik napas panjang. Tak seorangpun menjawab keluhan itu. Orang yang kentutpun ternyata juga tidak mau keluar untuk memperlihatkan diri. Sekali lagi perempuan itu menghela napas panjang, lalu kembali meng-hadapi Liu Wan. Sebaliknya Liu Wan justru sedang berusaha memeras otaknya. Ternyata setelah berhadapan langsung dengan perempuan itu, Liu Wan seperti pernah melihat wajahnya. Namun dia lupa siapa dan di mana.
"Nah, Lo-Cianpwe... aku sudah mengatakan asal-usulku. Apakah Lo-Cianpwe masih mencurigaiku? Apakah kedatangaku ini tidak diinginkan." Tiau Hek Hoa bertanya dengan suara bergetar.
"Ah, jadi Lihiap mewakili Aliran Beng-kauw yang besar itu? Wah! Tapi rasanva... Kami tidak mengundang Aliran Bengkau." Liu Wan tidak menjawab secara langsung. Perempuan itu terdiam, tapi sesaat kemudian bibirnya yang hitam kebiruan itu berkata pula.
"Memang! Aku tidak mempunyai undangan! Namun demikian sebagai orang Han, aku juga berhak untuk ikut mempertahankan tanah ini. Apalagi sejak dulu Aliran Beng-kauw selalu berjuang untuk menegakkan keadilan di negeri ini. Nah, apakah kedatanganku tidak diterima?"
(Lanjut ke Jilid 22)
Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 22
tentu saja kami terima dengan senang hati. Siapapun akan bergembira menerima kunjungan tokoh Beng kau. Bukankah demikian, Ma-Taihiap?" Liu Wan menyahut dengan nada yang semakin berhati-hati.
"Benar, Ciok Sinshe." Ma Sing yang dapat merasakan keraguan sahabatnya itu mengangguk sambil mengedipkan matanya.
"Terima kasih! Emm, tapi... aku tidak melihat kehadiran Pangeran Liu Wan di tempat ini. Apakah Beliau tidak datang?" Tiau Hek Hoa merangkapkan kedua tangannya.
"Tentu saja tidak, Lihiap. Perkumpulan ini merupakan keinginan kami sendiri dan tidak melibatkan Pangeran Liu..." Huang-ho Siang-kiam Ma Sing menjawab dengan berhati-hati pula.
"He, Ma-Taihiap!" Tiba-tiba terdengar teriakan Pek Hou.
"Kapan pemilihan akan dimulai? Sudah hampir pagi, nih!" Terdengar suara tertawa di sana-sini. Ma Sing kembali mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Baiklah. Pemilihan akan kita mulai. Supaya bisa adil maka setiap perkumpulan hanya memilih satu suara. Demikian pula dengan kelompok saudara-saudara kita yang mencalonkan Taihiap tadi. Sehingga akan ada enam suara yang berhak memilih nanti. Nah, sekarang... silakan setiap perkumpulan mengirimkan wakilnya ke depan!" Enam orang maju ke depan. Mereka adalah wakil dari Pek-lian-eng, Sin-hou-pang, Kong-sim-pang, Liong-gi-eng, Bu-lim-eng dan kelompok lelaki kasar tadi. Ma Sing lalu menancapkan lima batang kayu di tengah-tengah arena. Setiap kayu diberi tulisan nama para calon ketua yang hendak mereka pilih.
"Nah, saudara berenam! saudara tentu telah mendapatkan pesan dari kelompok saudara. Sekarang pilihlah batang kayu yang sudah diberi nama para calon ketua itu! Dan pemenangnya adalah calon yang paling banyak pemilihnya! Dia berhak diangkat menjadi ketua perkumpulan kita!" Enam orang itu bergegas memilih kayu yang diinginkan. Ternyata hampir semuanya memilih kayu bertuliskan nama Ma Sing! Hanya seorang yang memegang kayu bertuliskan Tiau Hek Hoa, yaitu wakil dari rombongan lelaki kasar tadi. Semuanya bersorak gembira. Ma Sing tidak bisa menolak lagi. Ketua Pek-lian-eng itu kini resmi menjadi Ketua Perkumpulan Pendekar di sepanjang Sungai Huang-ho!
"Sekarang kita rayakan penobatan ketua kita ini dengan berpesta seadanya! Setuju...?" Gobi Sam-ci berseru dari tempat duduknya.
Setujuuuuuu...!"
"He! Nanti dulu...! Kita masih melupakan sesuatu! Kita belum memberi nama perkumpulan kita!" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berteriak melengking. Semuanya terdiam. Lagi-lagi gadis berkulit hitam itu menyadarkan mereka. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Seseorang berteriak dari bagian belakang.
"Mudah saja! Kita namakan... Huang-ho Eng-hiong! Bukankah kita berasal dari daerah sepanjang aliran Sungai Huang-ho?"
"Setuju! Setujuuuuuu...!"
"Setujjjuuuuu...!" Demikianlah sisa malam itu mereka pergunakan untuk berpesta pora. masing dengan gaya dan cara sendiri. Ada yang bergerombol sambil minum arak yang telah mereka sediakan. Ada pula yang bersantap-ria membakar daging buruan atau daging ikan yang banyak terdapat di tempat itu. Ma Sing bersama dengan bekas ketua-ketua perkumpulan lama saling berbicara di sekeliling api unggun. Ikut duduk di antara mereka itu, si Pencuri Sakti Ang Jit Kun, Ui Tiam Lok, A Liong dan Souw Hong Lam.
"Kita harus segera membuat rencana bagi perkumpulan kita. Kita tidak boleh terlambat. Pasukan Mo Tan sudah menyusup ke selatan..." Gobi Sam-ci berkata dengan suara bergetar.
"Benar, Ma Taihiap! Mari kita susun rencana kita! Mumpung kita masih berkumpul di sini..." Pek Hou mengangguk-anggukkan kepalanya. Ma Sing menghela napas panjang. Matanya yang kecil namun tajam luar biasa itu memandang ke kanan dan ke kiri. Dan pandangannya. segera berhenti wajah hitam legam yang saat itu mengawasinya pula. Ma Sing menarik napas panjang. Ternyata Tiau Hek Hoa duduk tidak jauh dari tempat itu. Bahkan mata Ma Sing juga melihat seorang pemuda jangkung berdiri tak jauh dari gadis itu. Pemuda itu sebentar-sebentar memandangi gadis itu.
"Ahhh...!" Ma Sing berdesah sambil memalingkan mukanya.
"Sebenarnya aku sudah mempunyai rencana. Tapi... aku tidak berani mengatakan. Rencana itu sangat berbahaya bagi perkumpulan kita."
"Cepat katakan, Ma-Taihiap! Apa rencanamu? Kita bisa mengaturnya nanti..." Ang-bin Kuai-jin yang tidak sabaran itu mendesak. Ui Thian Lok menggamit Liu Wan. Sambil mendekatkan bibirnya dia berbisik di telinga pemuda itu.
"Ciok Sinshe, kau juga punya rencana yang belum jadi kau beritahukan kepadaku!" Liu Wan tersenyum. Seolah-olah ingin bercanda pemuda itu juga berbisik di telinga Ui Tiam Lok.
"Ah, mudah saja kalau begitu. Akan kukatakan sekarang juga. Heem, kalau aku menjadi ketua, perkumpulan ini, aku akan membawa para pendekar ke Benteng Langit untuk membebaskan Yap Tai-Ciangkun! Hehe-hehe...!" Ui Tiam Lok terbelalak, namun segera tersenyum pula. Dia tahu Ciok Sinshe yang dikenalnya itu sedang bercanda. Sementara itu Ma Sing juga menjawab desakan rekannya.
"Kita tak akan berhasil menghalau pasukan Mo Tan tanpa seorang ahli siasat perang di antara kita. Kita membutuhkan seorang ahli perang seperti... yap Tai-Ciangkun!"
"Hah...???" Semuanya terkejut. Tak terkecuali Liu Wan dan Ui Tiam Lok sendiri yang baru saja menyebut nama itu. Huang-ho Siang-kiam Ma Sing memandang wajah rekan-rekannya.
"Memang, rencanaku ini sangat tidak masuk akal dan amat berbahaya! Kita dapat dituduh sebagai pemberontak! Tapi apa boleh buat, memang tidak ada jalan yang lain lagi! Di medan perang memang butuh seorang jendral yang baik! Tanpa pimpinan seorang ahli perang, maka ribuan atau laksaan prajurit takkan dapat berbuat banyak!" Tak seorangpun memberi komentar. Apa yang diucapkan oleh Huang-ho Siang-kiam Ma Sing itu memang benar. Dan apa yang direncanakan itu sebenarnya juga baik sekali. Cuma pelaksanaannya saja yang sulit! Yap Tai-Ciangkun adalah tawanan pemerintah, bahkan di-anggap sebagai pengkhianat negara. Jadi memberontak terhadap negara!
"Ah, mudah saja! Kalau memang hanya itu jalan keluarnya, kita lakukan saja rencana itu.! Kita tidak perlu banyak berpikir tentang salah-benarnya! Kata para cerdik-pandai, seorang budiman lebih banyak menurutkan naluri dan perasaannya, daripada oleh pikirannya! Kalau jalan itu kita anggap paling benar bagi kita semua, yah... Kita laksanakan saja! Adapun akibatnya, kita hadapi saja dengan dada terbuka!" Tiba-tiba A Liong berkata tegas dan mantap. Semuanya tertegun. Sebenarnya jawaban seperti itu sudah bergema di hati mereka masing-masing. Namun untuk mengucapkannya mereka tidak berani. Kini melihat seorang pemuda berusia dua puluhan tahun berani mengucapkannya, hati mereka terasa bergetar!
"Saudara kecil, boleh aku mengetahui namamu?" Ang-bin Kuai-jin bertanya dengan suara bergetar pula.
"Aku yang sudah tua ini sebenarnya sependapat denganmu. Cuma, hehehe... bagaimana cara melaksanakannya? Semua orang mengetahui, bahwa Benteng Langit dijaga ketat oleh lebih dari seribu orang prajurit pilihan. Selain itu Benteng Langit merupakan bangunan besar, terdiri dari ratusan kamar dan lorong bangunan. Bagaimana kita dapat menemukan kamar penjara Yap Tai-Ciangkun?" Gobi Sam-ci menatap A Liong sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apa yang dikatakan Ang-bin Kuai-jin itu memang benar, Anak Muda, Kita tak mungkin menyerbu benteng di atas pulau karang itu dengan segenap kekuatan kita. Selain kita tidak punya perahu, kedatangan kitapun akan" mudah mereka ketahui. Sebelum kita dapat memanjat dinding tembok, kita akan dihujani panah dan tombak!" A Liong tersenyum. sombong pada sikap dan cara berbicaranya.
"Tentu saja kita tak perlu mengerahkan pasukan besar hanya untuk mengetahui di mana Yap Tai-Ciangkun itu ditawan, Lo-Cianpwe! Apalagi kita juga belum tahu, apakah Beliau masih hidup atau tidak!"
"Jadi, bagaimana menurut saran saudara A Liong?" Liu Wan mulai tertarik mendengar cara berbicara pemuda itu.
"Kita kirimkan beberapa orang petugas pilihan untuk menyusup ke dalam benteng itu. Setelah kita tahu tempat di mana Yap Tai-Ciangkun ditawan, kita baru dapat mengatur siasat yang tepat untuk membebaskannya!" Mereka saling pandang dengan kening berkerut. Saran itu sebenarnya sederhana sekali, tapi sungguh tepat dan bagus. Untuk membebaskan Yap Tai-Ciangkun memang tidak boleh dilakukan secara terang-terangan. Apalagi oleh perkumpulan para pendekar seperti mereka.
"Bagus! Nah, kalau begitu... siapa kira-kira yang harus pergi ke benteng itu?" Ma Sing menjadi tertarik pula dengan rencana tersebut. A Liong menunduk sambil memegangi dagunya.
"Tentu saja yang pergi adalah mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi yang jelas mereka bukan... Lo-Cianpwe sekalian! Lo-Cianpwe sekalian sudah dikenal orang banyak, termasuk petugas kerajaan, sehingga tugas itu sangat berbahaya bagi nama dan martabat Lo-Cianpwe. Sungguh berbahaya dan sangat tidak enak dituduh sebagai pemberontak." Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang diucapkan pemuda itu memang benar serta masuk akal. Mereka memang tak berani menanggung resi-ko dicap sebagai pemberontak, yang berakibat akan selalu dikejar-kejar oleh petugas kerajaan.
"Lalu... Kalau bukan para ketua perkumpulan, siapa lagi...?" Liu Wan bertanya lirih. A Liong mengangkat wajahnya.
"Lo-Cianpwe harus memilih empat atau lima orang di antara para pendekar yang hadir malam ini! Dan mereka itu harus memiliki kepandaian tinggi! Paling tidak harus sejajar atau syukur lebih tinggi dari Lo-Cianpwe sekalian! Selain daripada itu mereka harus siap untuk mati demi tugas ini!" ucapnya kemudian dengan suara tegas dan bersemangat.
"Aaaaaah...!" Semuanya berdesah.
"Bagus! Aku setuju!" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru seraya melangkah menghampiri tempat itu.
"Rencana saudara A Liong itu sangat baik. Aku mendukungnya."
"Hmmh...!" Pemuda jangkung yang berada di belakang Tiau Hek Hoa tadi menggeram dan terbatuk-batuk.
"Ah, Lihiap juga mendengarkan percakapan kami?" Huangjio Siang-kiam. Ma Sing berkata kaget. Tiau Hek Hoa berdiri di depan A Liong. Sorot api unggun menerpa wajahnya yang hitam legam bak pantat kuali itu.
"Maaf, Ma-Lo-Cianpwe. saudara A Liong ini berbicara dengan keras dan bersemangat sehingga telingaku juga mendengarnya." Ma Sing menarik napas panjang.
"Baiklah, tidak apa-apa. Semua orang memang boleh mendengarnya, asal dapat menyimpan dan merahasiakannya. Nah, bagaimana pendapat cuwi sekalian dengan rencana saudara A Liong tadi?" Katanya kemudian kepada para ketua perkumpulan itu.
"Aku setuju!" Liu Wan dengan cepat menjawab.
"Lohu juga sependapat! Rencana itu memang hebat! Kalau boleh... Lohu juga mau berangkat!" Ang-bin Kuai-jin yang berangasan itu berseru pula.
"Wah, tentu saja tidak boleh, Kuai-jin! Wajahmu banyak dikenali orang. Begitu para perajurit kerajaan itu tahu, maka seluruh anggota Huang-ho Eng-hiong kita akan diburu dan dimusnahkan oleh bala tentara kerajaan! Kita memang harus memilih orang seperti yang diusulkan oleh saudara A Liong tadi." Pek-hou tertawa sambil mmengelus-elus jenggotnya.
"Sudahlah! Cepat kita pilih orang yang akan berangkat ke benteng itu! Nah, Ma Taihiap... beberapa orang yang hendak kita pilih? Satu, dua, atau... sepuluh orang?" Gobi Sam-ci menyela tak sabar. Setelah berpikir sebentar, Ma Sing menjawab perlahan.
"Sebaiknya memang tidak boleh terlalu banyak. Tetapi juga tidak boleh terlalu sedikit. Terlalu banyak justru akan menyulitkan kerjasama mereka. Tapi terlalu sedikit juga akan mengurangi kemungkinan keberhasilan tugas itu. Yah, tampaknya yang baik memang... empat atau lima orang itu! Mudah diatur, gampang menyusupnya dan apabila terlihat oleh lawan, maka salah seorang tentu dapat menyelamatkan diri. Dan hal itu sudah cukup bagi kita untuk mendapatkan keterangan."
"Bagus! Sekarang tinggal menentukan cara memilihnya!" Huang-ho Siang-kiam Ma Sing berdiri sambil mengangkat tangannya. Sikapnya kelihatan serba salah.
"Mencari orang terbaik berarti harus memilih calon yang ada. Dan untuk menentukan pilihan, harus dilihat dulu kemampuannya. Untuk melihat kemampuan mereka, terpaksa harus diadu. Nah... Ini lah yang kurang kusukai!" Katanya sambil berpantun. Hiruk-pikuk di tengah rawa terpencil itu tiba-tiba berhenti! Semuanya memandang Huang-ho Siang-kiam Ma Sing. Mereka tidak tahu, apa yang sedang dibicarakan oleh para pimpinan mereka. Namun yang jelas Ma Sing baru saja berkata tentang pemilihan adu silat. Mereka berbisik satu sama lain. Dan sesaat kemudian sorak-soraipun kembali bergema di tempat itu. Pengaruh arak telah membakar kegembiraan mereka.
"Bagus! Bagus! Mari kita pilih jago kita malam ini...!" Mereka bersorak dan berteriak kegirangan.
"Apa pendapatmu, Ciok-heng? Ma Sing yang tidak menyukai pertandingan silat itu meminta pendapat Liu Wan.
"Waaah...! Repot juga!" Liu Wan bergumam melihat kegembiraan para pendekar itu. A Liong melangkah ke depan.
"Lo-Cianpwe! Bagaimana kalau diatur saja dengan cara yang lebih aman? Para calon tidak perlu bertanding! Masing-masing hanya diminta untuk menunjukkan kemampuannya! Dan Lo-Cianpwe berlima yang akan menjadi juri. Lo-Cianpwe tentu akan dapat memilih jago yang dikehendaki!" Ma Sing dan para ketua lainnya memandang A Liong dan Liu Wan bergantian. Sejak semula mereka memang tidak begitu memperhatikan A Liong. Mereka percaya bahwa semua teman Ciok-Sinshe adalah kawan seperjuangan mereka pula. Namun sebenarnya mereka juga bertanya-tanya di dalam hati. Apalagi anak yang masih sangat muda itu kelihatannya amat disegani oleh yang lain. Memang repot bagi Liu Wari untuk memberi penjelasan. Di satu pihak dia sudah percaya penuh kepada pemuda asing itu, tapi di lain pihak dia memang tidak tahu banyak tentang asal-usulnya.
"Saudara A Liong... semua orang mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya! Silakah! Siapa tahu saranmu benar-benar memberi jalan keluar yang baik?" Akhirnya Liu Wan berkata perlahan. Ma Sing mengerutkan keningnya.
"Tapi... setiap ilmu silat memiliki rahasia dan keistimewaannya sendiri-sendiri. Kadang-kadang ilmu silat baru menunjukkan kedahsyatannya setelah berhadapan dengan lawan. Bagaimana mungkin kita bisa menilainya?" A Liong tersenyum pahit.
"Benar, Lo-Cianpwe. Usulku memang bukan yang terbaik, karena usul itu hanya berpijak pada keinginan untuk menghindari korban di antara kita. Sebab, apa yang kita perlukan hanyalah memilih beberapa orang yang pantas menerima tugas itu. Bukan mencari siapa yang paling sakti di antara kita!"
"Ah, kau benar, saudara A Liong! Maafkan aku...!" Huang-ho Siang-kiam Ma Sing tergagap. Usul A Liong itu sungguh tepat dan cocok dengan keinginannya. Hilang semua kecurigaannya kepada pemuda itu. Segera dimintanya pemuda itu menjelaskan usulnya lebih lanjut. A Liong menunjuk ke sebuah batu karang besar yang tersembul di tengah-tengah rawa. Tempat itu kira-kira sepuluh tombak jauhnya dari tempat itu. Air tak terlalu dalam. Paling hanya sepuluh lutut orang dewasa. Persis di bagian atas batu karang itu terdapat pecahan karang sebesar kambing. Berwarna hijau lumut. Entah sudah berapa ratus tahun batu itu bertengger di sana. Namun yang jelas, guyuran air hujan serta hembusan angin di setiap musim, belum mampu menggesernya darri tempat itu.
Memburu Iblis Eps 25 Memburu Iblis Eps 25 Memburu Iblis Eps 26