Memburu Iblis 26
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 26
"Tahan...!" Orang yang disebut "Tuanku" itu membentak dan menghadang di depan Liu Yang Kun. Dan ketiga orang kawannya yang disebut Sam-eng itu segera melindunginya pula. Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya tertegun dan otomatis menghentikan gerakan mereka. Dengan kaget mereka menatap orang-orang yang telah mengganggu pertempuran mereka itu.
"Bok Siang Ki!" Giok-bin Tok-ong berseru kaget. Sementara itu Liu Yang Kun tak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Bergegas pemuda itu mengerahkan tenaga sakti untuk mengobati luka dalamnya yang agak parah. Matanya terpejam dan berkali-kali ia menyedot napas untuk memberi kesegaran pada bagian dada serta perutnya yang terluka. Hantaman lutut Giok-bin Tok-ong tadi benar-benar sangat keras dan hampir saja merusakkan isi perutnya. Untunglah dengan sisa-sisa tenaganya dia masih mampu bertahan.
"Huh-huk...huk!" Liu Yang Kun terbatuk dan beberapa gumpal darah beku ikut tersentak keluar bersama dahak yang keluar dari mulutnya. Tapi dengan demikian dada dan perutnya menjadi lega. Untuk sementara waktu lukanya telah terobati dan tidak akan terlalu mengganggunya lagi. Kemudian pemuda itu mengerahkan pandangannya ke arena kembali. Tiba-tiba jantungnya tersentak! Empat orang lelaki yang pernah dilihatnya di dalam perjalanannya kemarin dulu tampak sedang berhadapan dengan Giok-bin Tok ong dan murid-muridnya. Orang yang kemarin dulu mengaku bernama "Ki" itu kelihatannya ingin melindungi dia dari keganasan Giok-bin Tok-ong.
"Bok Siang Ki...!" sekali lagi Giok-bin Tok-ong menegur lelaki yang menghadang di depannya itu.
"Ternyata kau sampai di tempat ini pula, huh? Apakah kau sedang mencari aku? Baiklah...akupun ingin bertemu pula denganmu. Tapi...menyingkirlah terlebih dahulu! Aku hendak menyelesaikan urusanku dulu dengan pemuda ini."
"Bok... Siang... Ki?" diam-diam Liu Yang Kun berdesah di dalam hatinya. Orang yang ternyata adalah Bok Siang Ki, tokoh nomer dua di dunia persilatan itu tiba-tiba tersenyum. Matanya yang mencorong tajam luar biasa itu menatap Giok-bin Tok-ong hampir tak berkedip.
"Hmmh! Tok-ong...! Jangan harap kau bisa membohongi aku dengan tipu dayamu. Sejak kita bertiga dengan Bu-tek sin-tong dapat memancing keluar Ban-hoat Sian-seng dari pertapaannya setahun lalu dan kemudian dengan tipu muslihat kita bertiga bisa mendapatkan Buku Rahasianya yang asli, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa untuk selanjutnya aku harus waspada dan selalu berhati-hati bila berhadapan denganmu. Kau adalah manusia yang tidak bisa dipercaya. Kau tega berbuat licik terhadap kawanmu sendiri. Dengan akal bulusmu kau bermaksud mengelabuhi aku dan Bu-tek Sin-tong. Kau berniat untuk menguasai sendiri Buku Rahasia yang asli itu. Untunglah pada waktu itu aku dan Bu-tek Sin-tong sudah lebih dahulu menaruh curiga kepadamu. Hmm, kalau tidak... kau tentu telah berhasil menguasai sendiri buku itu."
"Hi-ha-ha-hi-ha...!" Giok-bin Tok-ong tertawa terkekeh-kekeh.
"Bok Siang Ki...! Sebenarnya kau tidak perlu mendongkol atau marah kepadaku. Apa yang telah kulakukan itu merupakan hal yang wajar dalam tata-kehidupan kita. Kita adalah manusia yang memiliki otak untuk berpikir. Dan sudah menjadi kelaziman setiap manusia untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Dan sudah merupakan Hukum Alam bagi kita. Nah... lalu apa salahku kalau pada waktu itu aku berbuat licik kepadamu?Kalianlah yang seharusnya menyesali kebodohan kalian sendiri. Coba kalau kalian pintar, tentu tiada seorangpun yang bisa memperdayakan kalian. Si bodoh memang merupakan makanan si pandai he-he-he-he..."
"Hm... kau anggap aku bodoh?" sahut Bok Siang Ki datar, sama sekali tidak terpengaruh oleh ucapan lawannya.
"Jangan takabur! Apa kau lupa bahwa otak rencana untuk mendapatkan Buku Rahasia yang asli itu adalah aku? Sayang aku terlalu jujur dan percaya kepadamu sehingga kau memanfaatkannya untuk mengelabuhi aku. Kau sebenarnya tidak pandai, Giok-bin Tok-ong. Kau cuma licik serta pandai mengambil kesempatan. Itu saja. Sebab kalau engkau pintar, kau pasti berhasil menguasai buku itu sendirian. Nyatanya, kau cuma memperoleh sebagian saja. Sementara sebagian yang lain masih dapat kupertahankan bersama Bu-tek Sin-tong." Giok-bin Tok-ong menjadi merah mukanya.
"Bangsat! Lalu apa maumu sekarang? Mau mengambil sebagian dari Buku Rahasia yang kubawa itu, hah?" bentaknya berang. Tiba-tiba Bok Siang Ki mengedikkan kepalanya. Matanya menyorot tajam.
"Tentu saja, Tok-ong. Aku telah hampir putus asa mencarimu selama setahun ini. Engkau benar-benar pandai memilih tempat persembunyian, sehingga aku benar-benar mengalami kesulitan untuk mendapatkanmu. Kalau tidak karena aku selalu memata-matai murid-muridmu itu, aku tentu belum berhasil juga menemukan tempat ini. Nah, sekarang bersiaplah, aku akan mulai!"
"Kau berani melawan aku?" Giok-bin Tok-ong masih mencoba untuk menggertak. Bok Siang Ki mendengus dingin.
"Mengapa tidak? Bukankah kau masih belum berubah juga? Bukankah kau masih Giok bin Tok-ong yang dulu itu? Bukankah kedudukanmu masih berada di urutan yang keempat dan masih berada dua tingkat di bawahku? Lalu apalagi yang harus kutakuti? Karena engkau telah mempelajari sebagian dari Buku Rahasia yang kau bawa itu? Huh, jangan congkak! Kita sama-sama mendapatkan sebagian dari buku itu. Dan kulihat tadi kepandaianmu belum bertambah pula. Tampaknya kepandaianmu justru semakin menurun malah. Nyatanya melawan pemuda itu saja kau kalah. Padahal pemuda itu adalah Chin Yang Kun, orang ke tujuh dalam urut-urutan Buku Rahasia itu."
"Kurang ajar! Kau sudah mengenal setan busuk itu?" Giok-bin Tok-ong meraung marah. Wajahnya benar-benar menjadi merah-padam.
"Sudahlah! Jangan banyak berprasangka. Akupun baru melihatnya sekarang. Yang penting sekarang adalah kau dan aku. Marilah...!"
"Tunggu...! Dengar, buku itu sudah tidak ada padaku lagi sekarang. Buku itu telah berada di tangan pemuda itu!" tiba-tiba Giok-bin Tok-ong menyela.
"Begitukah? Hmm... lagi-lagi kau hendak memperdayakan aku, agar aku bermusuhan dengan pemuda itu, sementara engkau nanti yang akan mengambil keuntungannya. Sungguh licik sekali siasatmu!" Bok Siang Ki pura-pura tidak tahu agar dengan demikian ia bisa meneruskan rencananya semula, yang menghadapi Giok-bin Tok-ong terlebih dahulu.
"Aku tidak bohong! Tanyakan kepadanya kalau kau tidak percaya!"
"Persetan! Aku tidak peduli! Lihat serangan...!" Bok Siang Ki membentak, lalu menyerang. Giok-bin Tok-ong cepat menghindar kemudian berteriak ke arah murid muridnya,
"Hong San, jangan hiraukan aku! Cepat kau bereskan pemuda itu! Dia sudah terluka parah!" Kim Hong San dan adik-adiknya yang bermaksud membantu gurunya itu segera berpaling kepada Liu Yang Kun. Ketika dilihatnya pemuda itu memang sedang berusaha mengobati luka-lukanya, ia mengangguk.
"Baik, suhu," Jawabnya sambil melompat dan menerjang Liu Yang Kun. Liu Yang Kun yang baru saja menyelesaikan pengobatan dirinya itu terpaksa mengerahkan tenaganya lagi untuk menghindar. Dan serangan tersebut memang dapat ia elakkan, tapi gerakan itu membuat perutnya menjadi pedih kembali. Rasa-rasanya ada luka yang menganga kembali di dalam perut itu.
"Ouugh!" pemuda itu mengeluh pendek. Kim Hong San menjadi gembira. Ia menyerang semakin garang. Dikerahkannya seluruh kekuatan dan kemampuannya.
Bahkan ia masih memberi isyarat kepada Nyo Kin Ong dan Tang Hu untuk membantunya. Kesempatan tersebut benar-benar tak disia-siakan Nyo Kin Ong dan Tang Hu. Kedua orang adik seperguruan Kim Hong San itu segera terjun pula ke arena. Mereka bermaksud menyelesaikan pertempuran itu secepatnya, agar dengan demikian mereka bisa segera menolong guru mereka. Tetapi tiga sosok bayangan yang lain tiba-tiba memotong gerakan mereka. Ketiga sosok bayangan itu yang tidak lain adalah Sam-eng, datang bagaikan gulungan angin puting-beliung yang menerjang dengan kuatnya ke arah mereka. Begitu dahsyatnya kekuatan yang melandasi gerakan ketiga orang itu sehingga mereka berdua sampai terdorong mundur beberapa langkah ke belakang. Bahkan mereka berdua merasa seperti ikut tergulung dan terseret pula beberapa saat ketika menangkis tadi.
"Gila...!" mereka mengumpat dan memaki tiga orang lelaki gagah berpakaian seragam hitam-hitam, kuning kuning dan putih-putih itu. Kini mereka saling berhadapan dalam jarak dua tombak.
"Ji-te! Samte! Kau layani mereka. Aku akan membantu pemuda itu." orang pertama dari Sam-eng itu yang mengenakan seragam hitam-hitam, memberi perintah kepada kawan-kawannya. Setelah itu ia melompat dan menyerang Kim Hong San yang sedang sibuk mendesak Liu Yang Kun.
"Kurang ajar!" sekali lagi Nyo Kin Ong dan Tang Hu memaki, kemudian menerjang dua orang lawan mereka yang berseragam kuning-kuning dan putih-putih itu.
"Bagus! Ini baru adil dan seimbang! Dua lawan dua!" orang yang berseragam kuning-kuning itu berkata dengan bersemangat.
"Benar, Ji suheng. Marilah kita masing-masing seorang lawan, lalu kita buktikan mana yang lebih unggul, perguruan Lembah Tak Berwarna atau Perguruan Pasir Kuning (Ui-soa-pai) dari Gurun Gobi!" anggauta Sam-eng yang paling muda, yang mengenakan seragam putih-putih, menyahut perkataan suhengnya dengan suara gembira pula.
"Baik!" orang yang berseragam kuning-kuning mengiyakan. Kemudian dia mengambil Nyo Kin Ong sebagai lawannya, sementara adiknya berhadapan dengan Tang Hu. Kedua orang murid Giok-bin Tok-onf itu tak bisa mengekang diri lagi. Mereka merasa ditantang untuk mempertahankan nama perguruan mereka. Oleh karena itu dengan menggeram keras segera menyerbu lawan-lawannya, sehingga sekejap kemudian mereka berempat telah terlibat dalam pertarungan sengit yang sangat menegangkan. Sementara itu kedatangan anggauta Sam-eng berbaju hitam itu benar-benar telah menyelamatkan jiwa Liu Yang Kun.
Dengan berani anggauta Sam-eng berbaju hitam itu menyongsong serbuan Kim Hong San yang menggebu-gebu. Berkali-kali tangan dan kaki mereka bentrok di udara dan menimbulkan suara berdebug dan berdentam pula dengan kerasnya. Ternyata mereka berdua memiliki tenaga dalam yang berimbang, sementara ilmu silat mereka pun ternyata juga tidak berselisih banyak pula. Tapi karena Kim Hong San sambil bertempur juga selalu mengobral racun-racunnya, maka anggauta Sam-eng berbaju hitam itu terpaksa harus menyisihkan sedikit tenaga dan kewaspadaannya untuk bertahan dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang ada. Untung ilmu meringankan tubuhnya agak sedikit lebih tinggi dari pada tokoh Lembah Tak Berwarna tersebut, sehingga sedikit banyak ia juga bisa memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari lawannya.
"Bhuuuuussssshhhh...!" Mendadak arena pertempuran tersebut digelapkan oleh asap tebal berwarna kuning pekat, yang tersebar dari bahan peledak yang dibanting oleh Giok-bin Tok-ong. Ternyata di dalam pertarungan cepat melawan Bok Siang Ki tadi Giok-bin Tok-ong segera tercecer di bawah angin.
Walaupun ketua Lembah Tak Berwarna itu memiliki ilmu silat yang tinggi, namun lawannya adalah jago silat nomer dua di dunia persilatan. Di dalam segala hal ketua perguruan Ui-soa-pai itu ternyata memiliki beberapa kelebihan dari pada dia. Oleh karena itu pula akhirnya Giok-bin Tok-ong memutuskan untuk mempergunakan senjata senjata racunnya. Demikianlah akhirnya arena pertempuran tersebut menjadi gelap oleh asap beracun yang disebarnya. Bok Siang Ki yang langsung terserang oleh kepulan asap tersebut cepat menghindar dengan meloncat tinggi ke udara. Sekejap saja tubuhnya telah bertengger di atas dahan pohon yang tinggi. Dari atas pohon tersebut ia melihat sekejap ke arah Sam-eng, pembantu pembantunya. Begitu menyaksikan para pembantunya itu dapat menyelamatkan diri pula, perasaannya menjadi lega.
"Sam-eng! Lekas kalian keluarkan tepung daun coa-tou (kepala ular) itu. Ambillah sedikit, lalu makanlah! Selanjutnya kalian tak perlu takut menghadapi racun-racun mereka!
Cepat!" teriaknya keras. Tiba-tiba Bok Siang Ki tersentak kaget. Ternyata ia telah melupakan Liu Yang Kun. Ia tidak melihat pemuda itu di luar kepulan asap. Dan hal itu berarti bahwa si pemuda masih berada di tengah-tengah asap bersama rombongan Giok-bin Tok-ong.
"Kurang ajar! Giok-bin Tok-ong benar-benar licik sekali! Dia menggunakan tabir asap itu untuk berlindung. Dan dengan perlindungan tabir asap itu pula ia dan anak-buahnya menyergap Liu Yang Kun. Bangsat! Hei... Sam Eng! Mari kita terjang tabir asap itu! Kita tidak boleh keduluan oleh iblis-Iblis Lembah Tak Berwarna itu!"
Ternyata benar apa yang diduga oleh Bok Siang Ki itu. Karena merasa takkan menang melawan Bok Siang Ki dan anak-buahnya, Giok-bin Tok-ong mulai menggunakan siasat dan akal-bulusnya. Ia meledakkan bahan peledak yang dapat menimbulkan kepulan asap tebal di arena pertempuran tersebut. Selain juga untuk menyerang lawan-lawannya, asap tebal yang mengandung racun itu juga dapat ia pergunakan untuk berlindung dari sergapan musuh. Sementara itu dengan perlindungan tabir asap tersebut ia dan murid-muridnya dapat pula melanjutkan niat mereka semula, yaitu mengepung dan menyergap kembali Liu Yang Kun.
Pokoknya Buku Rahasia yang dibawa pemuda itu harus direbut dahulu. Demikianlah Bok Siang Ki dan tiga orang pembantunya lalu menerjang tabir asap itu. Hanya dengan mengandalkan ketajaman perasaan mereka saja mereka itu menyerang Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya. Oleh karena itu pula dalam kemelutnya pertempuran mereka seIanjutnya, mereka semua tak bisa lagi membedakan mana kawan mana lawan. Bahkan merekapun sudah tidak bisa menentukan lagi, apakah Liu Yang Kun masih berada diantara mereka atau tidak? Lain dari pada itu kepekatan asap beracun tersebut benar-benar membuat napas mereka menjadi sesak. Sekali tempo mereka harus keluar dari kepulan asap dahulu untuk menyedot udara segar.
"Siiiing! Siiiing! Siiiing!" Ternyata tabir asap yang amat pekat itu telah dimanfaatkan pula oleh Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya untuk mengobral senjata-senjata rahasia mereka.
Mereka melepaskan pisau-pisau terbang, jarum-jarum lembut yang bisa menyusup ke dalam daging dan pembuluh darah, dan peluru-peluru beracun yang dapat meletus dan memuntahkan cairan atau tepung berbahaya ke arah lawan mereka. Sehingga beberapa saat kemudian pertempuran tersebut menjadi semakin ruwet dan simpang-siur oleh desingan senjata-senjata rahasia itu. Bahkan sekejap kemudian juga digaduhkan pula oleh letupan-letupan peluru yang memuntahkan alat-alat pembunuh berbahaya. Tentu saja hal itu benar-benar sangat merepotkan Bok Siang Ki dan tiga orang pembantunya. Bertempur dengan membuta di dalam tabir asap itu saja sudah amat menyulitkan mereka, apalagi harus menghadapi senjata-senjata gelap yang seolah-olah berhamburan menghujani mereka itu.
Sebagian besar dari taburan senjata gelap itu memang dapat mereka hindarkan, tapi beberapa buah diantaranya terpaksa tidak bisa mereka elakkan. Beberapa buah dari pisau-pisau terbang itu sempat menghujam kedalam daging Sam-eng, sementara sebuah diantara peluru yang meletus itu juga sempat memercikkan cairan berbahaya yang membakar mata kiri dan sebagian pelipis kiri anggauta Sam-eng yang termuda. Dan Bok Siang Ki sendiri ternyata juga tidak luput dari bencana itu. Sebuah di antara puluhan jarum yang tersebar di arena itu dapat lolos dari kebutan lengan bajunya dan menembus paha kanannya. Sekejap saja jarum itu telah masuk ke dalam daging dan seakan akan terus bergerak sesuai dengan gerakan atau menegangnya otot paha itu.
(Lanjut ke Jilid 26)
Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 26
"Gila!" jago silat nomer dua di dunia persilatan itu menggeram marah. Dan kemarahannyapun semakin menjadi pula ketika telinganya juga mendengar pekikan dan keluhan para pembantunya yang terkena senjata lawan itu.
"Sam-eng! Lepaskan Hwee-coa! Cepat!" lengkingnya meninggi seraya melompat keluar dari kurungan asap beracun itu. Tiba-tiba tiga buah cahaya berwarna kemerah-merahan tampak melesat di tengah-tengah arena pertempuran tersebut. Warnanya yang terang bagal bara api di dalam sekam itu seolah-olah dapat mengusir pekatnya asap tersebut.
Cahaya merah itu tampak bergerak dengan cepat sekali, melenting kesana-kemari mengejar Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya. Dengan segala kelincahannya Giok-bin Tok-ong mencoba menghadapi kegesitan Ular Api itu. Begitu pula dengan Kim Hong San dan adik-adik seperguruannya. Meskipun mereka juga merasa sedikit gentar, namun mereka berusaha pula untuk melawan ular kecil itu. Bahkan mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk membunuh ular yang sangat mengerikan tersebut. Tapi ular kecil itu benar-benar lincah dan gesit luar biasa. Berkali-kali ular tersebut berhasil menusup ke dalam pakaian Giok-bin Tok-ong dan muridnya. Namun setiap kali pula ular kecil itu harus keluar lagi, karena tokoh-tokoh sakti dari Lembah Tak Berwarna itu segera berguling dan bergelundungan di atas tanah.
Ular kecil yang cerdik itu tak mau mati tertindih. Hwee-coa itu selalu mengincar lobang telinga, mulut atau hidung Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya. Tapi tentu saja hal itu sangat sulit untuk dilaksanakan. Mereka adalah tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, yang tidak mudah untuk diserang atau dicari kelengahannya. Namun demikian ular kecil itu melejit kesana-kemari dengan amat gesitnya, diantara tubuh-tubuh lawan mereka tersebut, seolah-olah ular-ular kecil yang ganas itu tidak pernah mengenal lelah maupun putus-asa. Bahkan ketika Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya telah mulai kelelahan, ular-ular kecil itu tetap tidak kehilangan kegesitannya. Ular-ular kecil itu bahkan mulai berani menyusup ke dalam pakaian dan menggigit sekenanya.
Tentu saja hal itu sangat mengesalkan hati Giok-bin tok-ong dan murid-muridnya. Untunglah mereka telah minum obat penawar racun yang paling hebat, sehingga racun Hwee-coa yang sangat dahsyat itu tidak dapat membinasakan mereka. Walaupun demikian mereka berempat menjadi kesal sekali dan kemudian mulai menyesali asap tebal yang mereka buat sendiri itu. Asap itu terasa mengganggu pandangan mereka sekarang, sehingga mereka tidak bisa melihat dan tidak bisa melawan ular-ular jahanam tersebut dengan baik. Tanpa asap itu mereka tentu bisa membinasakan ular-ular itu dengan mudah. Sementara itu Bok Siang Ki dan keempat pembantunya telah berada di luar tabir asap tersebut. Sambil berusaha mengobati luka-luka yang mereka peroleh tadi, mereka mencoba mengetahui apa yang telah terjadi di dalam tabir asap yang amat pekat itu.
"Sam-eng...? Dimanakah pemuda itu...? Rasa-rasanya aku tidak pernah beradu tangan ketika berada di dalam tadi," dengan heran Bok Siang Ki bertanya kepada pembantu-pembantunya.
"Entah, tuanku. Hambapun rasa-rasanya juga tak bersinggungan dengannya tadi."
"Jangan-jangan dia telah lari meninggalkan arena pertempuran ini!"
"Tidak mungkin. Kita telah mengepungnya tadi. Kalaupun dia telah lari, Giok-bin Tok-ong dan murid-muridnya itu tentu telah pergi pula. Bocah itu tentu masih ada di dalam asap itu," ujar anggota Sam-eng yang termuda seraya meringis kesakitan. Mata kiri dan pelipis kirinya ternyata telah rusak dan menjadi cacat terkena letusan peluru Giok-bin Tok-ong tadi.
"Benar katamu, Pek eng (Garuda Putih). Akupun masih mempunyai dugaan demikian pula. Pemuda itu tentu masih berada di dalam asap itu! Hmmh...bagaimana dengan luka luka kalian? Bagaimana kalau kita masuk lagi ke dalam arena untuk membantu ular-ular kita?" Bok Siang Ki menggeram tak sabar.
"Kami telah selesai mengobati luka luka kami, tuanku. Meskipun agak parah, tapi kami sekarang sudah siap untuk bertempur. Kami justru sangat mengkhawatirkan jarum yang menembus paha tuanku itu..." Hek eng (Garuda Hitam), anggauta yang tertua dari Sam-eng itu menjawab perlahan.
"Bagus! Aku pun tidak apa-apa. Jarum itu telah kukeluarkan pula. Daging pahaku telah kurobek sedikit untuk mengeluarkannya. Kalau begitu mari kita terjun lagi ke arena."
"Marilah, tuanku..." Demikianlah, masuknya kembali mereka itu ke dalam arena pertempuran ternyata bersamaan pula dengan habisnya kesabaran Giok-bin Tok-ong dalam menghadapi Hwee-coa. Karena tokoh Lembah Tak Berwarna itu juga sangat mengkhawatirkan Liu Yang Kun, yaitu kalau kalau pemuda itu telah diringkus lebih dahulu oleh lawannya, maka ia telah mengambil keputusan yang tak dapat ditunda lagi. Kakek tampan itu telah memutuskan untuk mempergunakan Pek-Iek-tan! Apalagi ketika pada saat itu pula ia mendengar jeritan Nyo Kin Ong, muridnya! Jerit kematian!
"Nyo Sute...??" Kim Hong San memekik kaget.
"Nyo suheng...?" Tang Hu berseru pula.
"Suiiiit! Suiiiiiiiiiiiit...!" tiba-tiba Giok-bin Tok-ong bersiul panjang dua kali, memberi tanda atau isyarat kepada murid-muridnya itu untuk menyingkir dari arena sejauh-jauhnya. Dan pada detik itu pula kakek tampan itu membanting peluru mautnya! Kemudian bergegas melesat pergi meninggalkan arena! Demikian pula dengan Kim Hong San dan Tang Hu meskipun keduanya belum lenyap rasa kagetnya! Hampir saja mereka bertiga bertubrukan dengan Bok Siang Ki dan pembantu-pembantunya! Untunglah kedua belah pihak sama-sama lincahnya dan sama-sama tinggi ilmu meringankan tubuh mereka, sehingga dengan tangkas dan gesit, masing-masing cepat menghindarkan diri! Giok-bin Tok-ong dan kedua muridnya cepat menjatuhkan diri dan menggelundung pergi cepat sekali!
Sedangkan Bok Siang Ki dan para pembantunya cepat pula menggeliatkan tubuh mereka ke samping, kemudian melesat ke belakang menjauhkan diri. Entah mengapa, mendengar suara siulan Giok-bin Tok-ong dan menyaksikan ketergesaan lawan mereka itu, Bok Siang Ki dan para pembantunya menjadi curiga. Tiba-tiba saja mereka juga ikut meloncat pergi menjauhkan diri. Biarpun tidak sejauh lawan-lawan mereka itu. Dan pada saat itu pula terdengar sebuah ledakan yang maha dahsyat di tengah-tengah arena pertempuran itu! Sebuah ledakan yang benar-benar mengguncangkan isi hutan tersebut! Tanah dan pasir berhamburan ke udara. Empat atau lima batang pohon besar di sekeliling arena itu roboh pula dengan suara yang bergemuruh. Bok Siang Ki dan para pembantunya yang benar-benar tidak menduga akan hal itu, terlempar pula dengan kuatnya.
Tubuh mereka melanggar pepohonan di belakang mereka, kemudian terbanting jatuh ke dalam semak-semak. Bok Siang Ki, Hek-eng dan Ui-eng tidak apa-apa. Mereka itu hanya menderita beberapa goresan luka akibat melanggar pepohonan tadi. Tapi Pek-eng orang yang termuda diantara mereka menderita patah tulang pada kaki kirinya. Kaki itu patah ketika melanggar sebatang pohon siong besar. Meski pohon tersebut juga berderak patah tersabet kakinya. Sebaliknya Giok-bin Tok-ong dan kedua orang muridnya, Kim Hong San dan Tang Hu, selamat tak kurang suatu apa. Mereka bertiga bangkit berdiri limabelas atau dua puluh tombak dari tempat ledakan. Pakaian mereka memang menjadi kotor oleh tanah dan lumpur. Mereka berdiri mengawasi tempat mereka bertempur tadi, tapi kegelapan malam menghalangi pandangan mereka.
"Suhu...? Nyo Sute... telah...telah tiada!" Kim Hong San berkata tersendat-sendat.
"Ah, Nyo suheng..." Tang Hu mengeluh pula dengan sendu. Giok-bin Tok-ong menghela napas panjang.
"Sudahlah kita tak perlu terlalu menyedihkan kematiannya. Dia mati karena Hwee-coa. Dan Hwee-coa itu kini sudah binasa pula mengiringinya. Sekarang Nyo Kin Ong tentu tersenyum gembira di alam baka sana. Sayang Bok Siang Ki dan orang-orangnya sempat menghindar dari neraka itu. Hmmmmh...!"
"Tapi belum tentu mereka selamat, suhu. Paling tidak mereka tentu terluka parah. Mereka berada terlalu dekat dengan tempat ledakan itu." Tang Hu menyahut.
"Ya. Tapi pemuda yang membawa Buku Rahasia itu tentu hancur pula bersama bukunya. Aku belum me lihat dia keluar dari kurungan asap itu." Kim Hong San berkata pula.
"Biarlah. Dari pada jatuh ke tangan Bok Siang Ki..." Giok-bin Tok-ong menghentikan omongan muridnya. Demikianlah, kedua belah pihak sama-sama beranggapan pula bahwa Liu Yang Kun telah hancur luluh bersama bukunya oleh ledakan itu. Oleh karena itu pula masing-masing pihak menganggap bahwa perselisihan mereka tidak perlu dilanjutkan lagi. Apalagi kedua belah pihak sekarang telah sama-sama mengalami kerugian pula. Giok-bin Tok-ong telah kehilangan salah seorang muridnya, sedangkan Bok Siang Ki walaupun tidak kehilangan salah seorang pembantunya, tapi keadaan Pek-eng itu hampir sama dengan orang mati. Kalau pun harus ada perang tanding lagi, orang termuda dari Sam-eng tersebut juga tidak bisa berbuat apa-apa pula.
Bahkan sekarang justru Bok Siang Ki lah yang kemudian bergegas mengajak pergi para pembantunya. Dengan musnahnya buku yang diperebutkan itu, praktis tinggal Bok Siang Ki dan Bu-tek sin-tong-lah yang memiliki bagian dari buku itu. Jadi kalau ia tidak lekas-lekas pergi, mungkin ganti Giok-bin Tok-ong lah yang kemudian justru akan meminta sebagian dari buku yang lain itu kepadanya. Sebaliknya Giok-bin Tok-ong yang telah kehilangan salah seorang muridnya itu juga tidak ingin memperpanjang urusan itu lagi. Dengan wajah lesu kakek tampan itu mengajak kedua muridnya yang masih tinggal untuk pergi meninggalkan tempat tersebut. Angin tengah malam mulai meniup membelai bumi.
Anginnya yang dingin bercampur embun itu mulai pula membasahi di dalam hutan itu. Binatang-binatang malampun telah mulai bernyanyi kembali. Suara-suara mereka yang khas saling bersahut-sahutan, sehingga membentuk sebuah irama yang khusus pula. Irama keheningan sebuah hutan di malam hari! Hening, sunyi, namun juga mencekam hati! Tapi keheningan dan kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh suara bisik-bisik dan langkah kaki manusia. Seorang kakek buta tampak berjalan bersama seorang pemuda berwajah buruk sekali, menerobos rimbunnya semak-belukar yang tumbuh di tempat itu. Di atas pundak kakek buta itu tersampir sesosok tubuh manusia pula. Sebentar-sebentar tubuh itu melorot turun dan hampir jatuh dari punggung kakek buta tersebut sehingga setiap kali pula kakek itu harus membetulkannya.
"Suhu...? Apakah luka-lukanya bisa disembuhkan? Apakah dia bisa menjadi sehat kembali seperti sediakala?" pemuda berwajah buruk itu berbisik khawatir. Suaranya terdengar bening bernada tlnggi seperti layaknya seorang perempuan. Sungguh sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang mengerikan itu. Kakek buta itu menarik napas panjang. Katanya kemudian dengan nada lembut,
"Engkau tidak perlu merasa khawatir. Dia tentu akan sembuh pula nanti. Kau justru harus berterima kasih sekali dengan kejadian ini. Siapa lagi yang akan dapat melukai pemuda ini sedemikian parahnya kalau bukan orang-orang itu? Coba kau bayangkan! Sampai kapan kita harus menunggu pemuda ini menjadi pingsan dan terluka parah, sehingga kita berdua bisa melaksanakan rencana kita, kalau tidak ada orang seperti Giok-bin Tok ong dan Bok Siang Ki itu?" Pemuda berwajah buruk itu menundukkan mukanya.
"Suhu benar..." bisiknya lirih.
"Nah! Oleh karena itu pula kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang amat bagus ini. Mulai detik ini kita harus sudah memulainya. Mulai dengan rencana yang telah kita susun itu. Kau harus melakukannya dengan sungguh-sungguh seluruh petunjuk yang kuberikan kepadamu dulu. Jangan sampai lupa...!" Sekali lagi pemuda berwajah buruk itu menundukkan kepalanya. Tiada tampak kesan apapun pada wajahnya yang hitam itu. Hanya sikapnya saja yang tiba-tiba berubah menjadi malu-malu.
"Ba-ba-baik... suhu," desahnya gemetar seperti perawan yang sedang malu-malu atau mabuk kepayang.
"Bagus. Kalau begitu marilah kita sekarang mencari rumah penduduk yang terdekat. Dan kau harus lekas-lekas menanggaIkan penyamaranmu itu. Pemuda ini sebentar lagi akan siuman."
Kedua orang aneh yang tidak lain memang kakek Lo dan A Hek itu segera mempercepat langkah mereka. Ternyata selama ini mereka berdua selalu mengikuti Liu Yang Kun. Memang, sejak terjadinya huru-hara kebakaran perahu di tepian sungai itu, mereka berdua lalu memisahkan diri. Tapi walaupun demikian secara diam-diam mereka tetap mengikuti segala langkah Liu Yang Kun. Dan setiap saat pula mereka berdua selalu mencari kesempatan atau menanti kesempatan untuk melaksanakan rencana rahasia yang hendak mereka lakukan terhadap Liu Yang Kun. Demikianlah setelah dengan tekun mereka menanti, akhirnya kesempatan tersebut datang juga. Mereka berdua sampai di hutan itu malam itu.
Mereka menyaksikan Liu Yang Kun bertempur melawan Giok-bin Tok-ong dan Bok Siang Ki. Dengan berharap-harap cemas mereka berdua menantikan akhir dari pertempuran tersebut. Tapi sambil menanti dan berdoa di persembunyian mereka, kakek Lo juga berusaha untuk mencari kesempatan yang baik bagi rencananya. Tentu saja kakek buta itu juga sadar kalau orang yang dihadapinya adalah tokoh-tokoh sakti yang berada di atasnya. Ketika menyaksikan Liu Yang Kun tercecer dan terluka oleh serangan Giok-bin Tok-ong, kakek Lo hampir-hampir tidak bisa mengendalikan dirinya. Untunglah kakek itu cepat menyadari bahwa waktunya belumlah tiba, sehingga ia tidak terlanjur terjun ke arena. Ternyata kesabaran kakek itu membuahkan hasil juga.Yaitu ketika secara tak terduga Giok-bin Tok-ong meledakkan senjata asapnya.
Asap tebal kuning pekat itu menutup hampir seluruh arena pertempuran, sehingga orang-orang yang sedang berkelahi itu tak bisa melihat apa-apa. Mereka bertempur secara membuta dan hanya mengandalkan panca-indera mereka yang lain saja. Pada saat itulah kakek Lo terjun ke dalam pertempuran. Terjun secara diam-diam, tanpa sepengetahuan orang-orang yang sedang berkelahi. Demikianlah, dengan matanya yang memang sudah buta itu kakek Lo justru menjadi orang yang paling awas di dalam gelapnya tabir asap tersebut. Kalau semua orang menjadi bingung dan sulit membedakan lawan, kakek Lo justru dengan mudah mendapatkan Liu Yang Kun. Dan kemudian dengan perlindungan tabir asap itu pula kakek Lo berusaha melumpuhkan Liu Yang Kun yang sudah terluka parah itu.
Dalam keadaan biasa kakek Lo memang bukan lawan Liu Yang Kun. Tapi di dalam pekatnya asap yang bergulung-gulung itu, dengan tubuh yang sudah terluka pula, bahkan empat buah pisau terbang tampak menancap di kedua lengannya, Liu Yang Kun benar-benar tidak berdaya melawan kakek Lo yang masih segar-bugar tersebut. Dalam beberapa jurus saja pemuda itu telah dapat diringkus oleh kakek Lo. Lalu setelah ditotok pingsan pemuda itu dibawa lari oleh kakek Lo. Itulah sebabnya pemuda itu terbebas dari ledakan dahsyat pek lek-tan tadi. Liu Yang Kun memang terbebas dari keganasan Giok-bin Tok-ong, dan juga terhindar pula dari kekejaman Bok Siang Ki. Namun apa yang hendak terjadi atas pemuda itu sekarang, ternyata justru akan jauh lebih seram dan mengerikan dari pada nasibnya bila jatuh ke tangan Giok-bin Tok-ong atau Bok Siang Ki tadi.
Pemuda itu memang tidak akan mati di tangan kakek Lo, karena kakek Lo memang tidak bermaksud untuk membunuhnya Tapi meskipun tidak mati, keadaan yang diterimanya nanti justru akan lebih hebat dari pada mati. Embun semakin tebal menyelimuti hutan itu. Sebaliknya tiupan angin justru semakin hilang dan mereda. Kakek Lo sengaja membawa Liu Yang Kun menjauhi aliran sungai, karena ia khawatir akan bertemu kembali dengan Giok-bin Tok-ong atau Bok Siang Ki. Air embun yang menempel di pucuk-pucuk daun menetes membasahi rambut dan pakaian mereka. Dinginnya bukan alang-kepalang. Mereka berjalan terus di dalam naungan kegelapan pepohonan yang tumbuh lebat di hutan itu.
Hanya kadang-kadang saja mereka memperoleh secercah sinar rembulan yang menerobos diantara rimbunnya dedaunan. Meskipun demikian mereka tidak berhenti untuk melepaskan lelah. Bahkan orang setua kakek Lo itu, yang tubuhnya kelihatan kurus dan kecil, ternyata masih tampak gesit dan lincah memanggul tubuh Liu Yang Kun. Sedikitpun kakek tua itu tidak kelihatan capai atau kehilangan tenaganya. Justru muridnya yang masih amat muda itulah yang kemudian tampak kusut dan terengah-engah. Berkali-kali pemuda berwajah buruk itu hampir jatuh ketika melewati tanah becek atau melompati jurang kecil yang sangat licin. Beberapa saat kemudian pepohonan yang mereka lalui pun semakin menjadi jarang. Bahkan semak-semak pun tampak semakin menghilang pula, sehingga akhirnya yang ada hanya satu-dua pohon dengan rumput atau alang-alang di sekitarnya.
"Suhu! Ada sinar lampu di depan sana. Tampaknya kita sudah mendekati sebuah perkampungan penduduk." tiba-tiba A Hek berbisik seraya menggamit lengan kakek Lo.
"Bagus. Kalau begitu... marilah kita ke sana!" Tapi tampaknya saja amat dekat, namun setelah mereka menuju ke tempat itu ternyata cukup jauh juga. Mereka harus menuruni sebuah jurang dahulu, kemudian harus menyeberangi sungai pula. Sebuah sungai kecil yang dangkal dan jernih airnya. Setelah itu masih harus mendaki sebuah lereng bukit lagi. Dan di lereng bukit itu pulalah sinar lampu tersebut berasal. Dari jauh tadi sinar lampu itu memang tampak jelas. Tapi setelah mendaki bukit tersebut, sinar lampu itu tiba-tiba menghilang. Pandangan A Hek yang menuntun kakek Lo itu mendadak terhalang oleh hutan cemara yang tumbuh lebat di lereng bukit tersebut.
"Ah! Ternyata bukan perkampungan penduduk, suhu. Kita sampai di sebuah hutan pohon cemara. Dan tampaknya sinar lampu itu datang dari tengah-tengah hutan ini. Kalau begitu sinar lampu itu tentu bukan keluar dari rumah orang. Mungkin sinar itu cuma datang dari sebuah obor yang dibawa oleh seseorang di dalam hutan ini. Seorang pemburu barangkali..." Kakek itu membetulkan tubuh Liu Yang Kun yang ada di atas punggungnya. Kedua belah alisnya yang putih itu tampak berkerut sehingga hampir bertemu satu sama lain. Tiba-tiba kakek itu menggeleng.
"Tentu bukan. Apa yang hendak dicari oleh seorang pemburu di hutan cemara larut malam begini?" sanggahnya kemudian.
"Lalu apa menurut pendapat suhu?" Kakek itu menengadahkan mukanya sebentar ke langit, seolah-olah matanya yang buta itu ingin me lihat bintang-bintang yang bertaburan di sana. Sesaat kemudian dia kembali menundukkan kepalanya sambil menarik napas panjang.
"Entahlah. Tapi perasaanku mengatakan bahwa kita harus berhati-hati di tempat ini. Hmm... Li Ing! Lebih baik kau lekas-lekas menanggalkan penyamaranmu itu. Kita harus benar-benar mulai dengan rencana kita. Lekaslah...!"
"Di sini, suhu? Ah... aku malu!" pemuda buruk rupa yang ternyata adalah penyamaran Li Ing itu berkata kaget.
"Memangnya kenapa? Tiada orang di hutan ini malam-malam begini. Dan kau juga tak perlu menanggalkan pakaianmu. Basuh saja mukamu di sungai tadi sehingga penyamaranmu hilang...!"
"Oh... ba-baik, suhu." Dengan tersipu-sipu Li Ing menjawab.
Gadis itu lalu berlari kembali ke bawah. Kemudian setelah yakin bahwa tiada seorangpun yang melihatnya, ia membersihkan tepung dan perekat yang menempel pada wajahnya. Gigi palsu yang dipakai untuk mengganjal mulutnya pun juga dia tanggalkan pula. Demikianlah, beberapa waktu kemudian A Hek yang buruk rupa itu telah berubah menjadi Tiauw Li Ing yang cantik jelita kembali. Gadis itu lalu kembali lagi ke tempat gurunya berada. Tapi ia menjadi kaget sekali ketika menyaksikan tubuh Liu Yang Kun telah dibaringkan di atas tanah dan gurunya yang tiada lain adalah Lo-sin-ong itu sedang sibuk menusukkan jarum-jarum emasnya ke kepala pemuda itu.
"Eh... suhu? Apa yang sedang kau lakukan?" serunya kaget dan khawatir. Tapi dengan tenang Lo-sin-ong menggelengkan kepalanya.
"Sssst! Jangan ribut! Pemuda itu tampaknya sudah akan siuman kembali. Kita tidak boleh terlambat. Kini aku sedang membetulkan letak jarum-jarum itu, agar kalau ia siuman nanti tidak merasakannya. Nah... kau bersiap-siaplah!" ujarnya perlahan.
"Dia... dia... oh, dia hendak siuman sekarang?" tiba-tiba Tiauw Li Ing yang biasanya lincah dan berani itu berseru gugup. Pipinya pun mendadak juga menjadi merah. Lo-sin-ong tersenyum. Biarpun buta, tapi ia bisa merasakan nada suara muridnya yang gembira, gugup dan tegang itu.
"Tenanglah! Jangan gugup! Bisa berantakan rencana kita itu nanti. Bersikaplah wajar, seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada kita! Nah sekarang mari kita bawa dia ke sungai itu! Kita guyur dia dengan airnya yang dingin, biar lekas sadar!" Lo-sin-ong lalu membawa Liu Yang Kun ke sungai. Kemudian dicelupkannya telapak tangannya ke dalam air untuk seterusnya ia usapkan ke wajah pemuda itu. Tiga kali hal itu ia lakukan ketika tiba-tiba pemuda itu sudah membuka matanya.
"Hah...???" pemuda itu tersentak kaget lalu bangkit berdiri dengan tiba-tiba. Sigap dan cepat sekali, sehingga tokoh sakti seperti Lo-sin-ong dan Tiauw Li Ing yang sudah bersiap-siaga sejak semula itu pun tetap ikut kaget pula. Lo-sin-ong me lompat ke belakang dan berdiri tegak.
Tongkatnya melintang di depan dadanya. Sedangkan Tiauw Li Ing ikut-ikutan meloncat pula ke belakang, namun wajahnya tampak tegang dan khawatir. Liu Yang Kun berdiri tegak mengawasi Lo-sin-ong dan Tiauw Li Ing bergantian. Sinar matanya tampak mencorong mengerikan. Sementara kulit wajahnya yang pucat itu tampak mengkilat kekuningan. Seolah-olah sedang menahan marah. Memang pemuda itu dalam keadaan siap tempur! Tapi hal itu cuma beberapa kejap saja berlangsung, karena di lain saat pemuda itu tiba-tiba menggeram dengan mulut meringis. Kepalanya terasa sakit, seperti ada sesuatu yang menyengatnya. Bahkan beberapa saat kemudian seluruh tubuhnya juga terasa linu dan lemas. Dan pemuda itu juga terkejut ketika me lihat kedua buah lengannya telah dibalut dengan kain pula.
"Sia... siapa ka-kalian? A-a-apa yang telah kalian perbuat terhadapku?" katanya kaget.
"Plong!" Lega hati Lo-sin-ong sekarang. Ternyata garapannya berhasil. Pemuda sakti itu sudah tidak mengenal mereka lagi. Tidak mengenal dia sebagai kakek Lo dan juga tidak mengenal Tiauw Li Ing pula. Dan hal itu berarti bahwa pemuda itu telah melupakan masa lalunya. Oleh karena itu Lo-sin-ong segera memberi isyarat kepada Tiauw Li Ing untuk segera menjalankan rencana mereka. Tapi untuk beberapa saat gadis itu masih bungkam saking tegangnya. Gadis yang biasanya lincah dan berani itu hanya mampu memandang kekasihnya dengan mata terbelalak serta dengan bibir yang bergetar pucat.
"Kenapa kalian diam saja? Siapakah sebenarnya kalian berdua ini? A-a-pa yang telah kalian perbuat terhadapku di hutan malam-malam begini?" Liu Yang Kun berseru pula kembali. Suaranya juga masih terdengar tegang dan curiga.
"Koko...?" akhirnya Tiauw Li Ing menegur setelah dengan susah payah dapat menguasai hatinya. Namun dengan cepat Liu Yang Kun menghindar ketika gadis itu hendak memeluknya. Dengan air-muka semakin heran ia memandang Tiauw Li Ing.
"Kau...kau siapa? Mengapa kau memanggilku 'koko'? Apakah engkau adikku?" Tiauw Li Ing kembali terdiam dan menjadi salah tingkah lagi. Semua rencana dan petunjuk yang ia terima dari Lo-sin-ong tiba-tiba juga menghilang dari ingatannya.
"Hmm, Yang Kun... Mengapa kau menjadi lupa kepada isterimu sendiri? Oh, celaka!" Lo-sin-ong tiba-tiba mengeluh dengan suara keras untuk memancing perhatian Liu Yang Kun. Benar juga. Bagai disengat lebah Liu Yang Kun tersentak menghadapi Lo-sin-ong. Wajahnya semakin bingung.
"Isteriku? Dia... ini...isteriku?" desahnya tertahan. Tiauw Li Ing sendiri seperti terlepas dari beban berat yang menindihnya. Sambil menjerit ia menubruk dada Lo-sin-ong dan menangis sepuas-puasnya.
"Suhu. A-aku takut! Aku.. aku malu...! Jangan-jangan... jangan-jangan ia masih tetap sadar! Jangan-jangan dia mencemoohkan aku! Oooh, suhu...!" ia mengeluh diantara isaknya. Sebaliknya tangis Tiauw Li Ing itu ternyata semakin mengalutkan hati dan pikiran Liu Yang Kun. Pemuda yang kini telah menjadi lupa akan masa lalunya, akibat cekokan-cekokan obat dan jarum-jarum emas yang dimasukkan ke kepalanya oleh Lo-sin-ong itu, semakin menjadi bingung menghadapi hal-hal yang tak dimengertinya itu. Pikirannya seolah-olah telah buntu dan tak tahu apa-apa. Rasanya ia benar-benar seperti bayi yang baru saja lahir. Akhirnya Liu Yang Kun menatap Lo-sin-ong yang ada di depannya. Dipandangnya orang tua itu dengan wajah sedih dan tertekan.
"Kakek...! Tolonglah aku! Aku benar-benar sangat bingung. Aku sungguh-sungguh tak tahu apa-apa. Siapakah sebenarnya aku ini? Dan siapa pula kakek berdua ini? Mengapa aku berada di tempat ini? Dan mengapa pula kakek berada pula disini bersama aku? Tolonglah, kek...!" rintihnya memelas seperti orang yang menderita sakit berat. Lo-sin-ong menundukkan kepalanya dan berbisik pelan kepada Tiauw Li Ing,
"Lihat! Dia benar-benar telah melupakan segalanya. Berarti semua rencana kita berhasil dengan baik. Kau tidak perlu takut lagi. Kau harus melakukan peranmu sebaik-baiknya. Kau masih ingin menjadi isterinya, bukan?" Tiauw Li Ing menghentikan isaknya. Masih dengan butir-butir air mata yang menggenangi matanya gadis itu tersenyum. Pelan-pelan gadis itu menganggukkan kepalanya. Lo-sin-ong berdesah lega. Kemudian sambil memiringkan wajahnya ke arah Liu Yang Kun ia berkata,
"Yang Kun...! Sungguh tak kusangka luka-luka yang kau peroleh dalam pertempuran itu telah membuatmu menderita seperti ini. Hmmmh...!"
"Luka-luka dalam pertempuran? Aku baru saja berkelahi? Dengan siapa?" Liu Yang Kun tersentak kaget. Otomatis matanya memandang kain pembalut yang melilit lengannya. Bagaikan seorang pemain sandiwara ulung orang tua itu menunduk sedih. Dipeluknya kepala Tiauw Li Ing yang bersandar di dadanya.
"Ya! Tak kusangka semuanya berlalu sedemikian cepatnya. Kau yang kemarin masih segar bugar dan tampak mesra dengan isterimu ini, ternyata kini telah berubah sama sekali akibat luka-luka itu. Ooooh...!" orang tua itu sengaja menggelitik hati Liu Yang Kun. Benar saja Liu Yang Kun cepat melompat ke depan dan menyambar lengan Lo-sin-ong. Cepat bukan main, sehingga Lo-sin-ong yang agak ragu-ragu itu tidak kuasa mengelak lagi. Lengannya yang memegang tongkat itu telah dicengkeram oleh Liu Yang Kun.
"Kek, katakanlah cepat apa yang terjadi pada diriku? Lekaslah! Jangan kau siksa aku berlama-lama...!" pemuda itu memohon dengan sangat. Lo-sin-ong mendorong tubuh Tiauw Li Ing dan menyuruhnya duduk, lalu sambil mempersilahkan Liu Yang Kun pula ia duduk di samping muridnya itu.
"Yang Kun, namamu adalah Liu Yang Kun. Kau memang benar-benar suami dari muridku ini. Namanya...Tiauw Li Ing. Kalian adalah pengantin baru." Lo-sin-ong memulai cerita palsunya.
"Liu Yang Kun...? Ehm, ya... rasa-rasanya aku juga sangat mengenal nama itu. Hmm... Jadi namaku Liu Yang Kun? Lalu... dia itu isteriku?'* Liu Yang Kun bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya melirik Tiauw Li Ing yang menjadi merah padam mukanya. Kemudian pemuda itu mengetuk-ngetuk dahinya sendiri dengan jari-jarinya.
"Tiauw Li Ing... isteriku. Benar rasa-rasanya aku memang sudah beristeri. Cuma aku memang lupa nama itu."
"Dia memang isterimu. Dia adalah puteri Tung-hai-tiauw, tokoh besar dari lautan Timur sana." Lo-sin-ong menerangkan lagi.
"Tung-hai-tiauw? Ah, aku sudah melupakannya pula. Hmm... lalu siapa orang tuaku? Dari mana aku berasal?" Kini Lo-sin-ong lah yang ganti terdiam menerima pertanyaan pemuda itu. Sekejap orang tua itu menjadi bimbang untuk menjawabnya. Apakah ia harus berbohong atau mengatakan yang sesungguhnya? Namun sekejap kemudian orang tua itu telah mengambil keputusan pula. Dia harus mengatakan yang sebenarnya, sebab tidak mungkin membohongi orang tentang pemuda itu. Liu Yang Kun telah terkenal di dunia persilatan. Bahkan pemuda itu adalah putera Kaisar Han yang sedang dicari-cari oleh para punggawa kerajaan. Setiap saat pemuda itu akan segera mengetahui siapa dirinya. Sungguh sangat berbahaya bila ia membohonginya.
"Sebenarnya kau pun juga bukan pemuda sembarangan pula, Yang Kun. Kau adalah seorang Pangeran. Bahkan kau adalah putera Hongsiang sendiri.Tapi kau selalu mengembara di dunia kang-ouw, karena kau tak senang berada di istana yang gemerlapan itu. Dan selama ini Hongsiang selalu mencarimu dan memanggilmu agar kembali ke istana, tapi kau tak mau. Kau justru bersembunyi dan kawin dengan puteri Tung-hai-tiauw ini..." Liu Yang Kun ternganga. Ia seperti tak percaya kepada cerita orang tua itu. Tapi apa daya? Ia benar-benar tak mengerti apa-apa, sehingga ia juga tidak bisa membantahnya.
"Lalu siapakah yang telah berkelahi dan melukai aku kemarin?" tanyanya kemudian. Lo-sin-ong menghela napas, lalu bercerita dengan singkat pertempuran yang terjadi di tengah-tengah hutan semalam. Bagaimana pemuda itu berkelahi dengan Giok-Bin Tok-ong dan Bok Siang Ki, tokoh nomer empat dan nomer dua di dunia persilatan. Tapi tentu saja orang tua itu tidak bercerita tentang sebagian dari Buku Rahasia yang mereka perebutkan itu, karena buku itu kini berada di dalam saku bajunya.
"Giok-bin Tok-ong dan Bok Siang Ki?" lagi-lagi Liu Yang Kun merasa belum pernah mengenal nama-nama itu. Dan hal itu benar-benar sangat menyedihkannya.
"Sudahlah, kau tak perlu menjadi sedih karena keadaanmu ini. Yang penting kau selamat lebih dahulu. Suatu saat kau tentu akan sembuh kembali seperti semula. Sekarang marilah kita meneruskan perjalanan kita...!" Lo-sin-ong pura-pura membujuk dan membesarkan hati Liu Yang Kun.
"Ah... kemana kita akan pergi? Aku sama sekali tak mempunyai tujuan...," Liu Yang Kun menjawab hambar.
"Tentu saja kita pulang ke rumah, koko. Kau harus banyak beristirahat agar ingatanmu menjadi segar kembali." tiba-tiba Tiauw Li Ing menyela dan menyentuh lengan pemuda itu dengan jari-jarinya. Liu Yang Kun menoleh dengan cepat. Ditatapnya wajah Tiauw Li Ing yang cantik itu dengan pandangan asing. Tapi ia buru-buru menundukkan mukanya lagi ketika menyaksikan pancaran sinar kasih di mata gadis itu.
"Be-benarkah kau isteriku?" katanya kemudian seperti tak percaya. Untuk sesaat pipi Tiauw Li Ing menjadi merah. Namun di lain saat gadis itu telah menemukan keberaniannya kembali.
"Ah, koko. Mengapa kau masih belum percaya juga? Kita memang belum resmi dimeriahkan dengan pesta oleh ayahku. Tapi percayalah, Kita memang benar-benar... suami-isteri!"
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik... baiklah kalau begitu." Liu Yang Kun menyahut dengan gugup. Apalagi ketika Tiauw Li Ing merangkul pinggangnya dan menyandarkan kepalanya di pundaknya.
"Sudahlah. Marilah sekarang kita berangkat!" Lo-sin-ong memotong pula, kemudian mendahului me langkah pergi meninggalkan tempat itu. Tiauw Li Ing segera mengajak Liu Yang Kun untuk mengikuti orang-tua itu. Ketika mereka mendaki lereng bukit itu kembali, Lo-sin-ong berkata kepada Liu Yang Kun.
"Yang Kun! Sementara ingatanmu belum pulih kembali, kau lebih baik menurut saja apa perintah isterimu. Biarlah dia yang mengatur dan memberitahukan kepadamu, apa yang seharusnya kau lakukan nanti." Liu Yang Kun memandang orang tua itu sekejap, kemudian menoleh pula ke arah Tiauw Li Ing.
"Baiklah, aku menurut..." jawabnya pelan seperti kepada dirinya sendiri. Lalu ketika pada suatu saat Tiauw Li Ing mendekati gurunya, Lo-sin-ong juga berpesan pula, meskipun dengan perlahan sekali.
"Dan kau juga harus ingat pula akan janjimu. Kau harus mengubah sikap dan kelakuanmu selama ini." Gadis itu mengerling dan memainkan bibirnya.
"Tentu saja, suhu. Akupun tak ingin kehilangan dia pula," desahnya manja. Demikianlah, mereka bertiga sampai pula ke tempat berhenti mereka semalam.Sementara itu di ufuk timur mulai membersit sinar pagi yang kemerah-merahan.
"Suhu, lihat! Sebentar lagi fajar akan menyingsing..." Walaupun tidak bisa melihat, namun Lo-sin-ong bisa merasakan nada gembira yang terpancar dalam suara muridnya itu. Diam-diam hatinya juga ikut berbahagia pula.
"Aaoh... moga-moga kebahagiaannya ini benar-benar bisa mengusir kekelaman jiwanya dan menuntunnya ke dalam kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian dosa yang telah kuperbuat ini rasanya menjadi ringan dan tidak sia-sia," ia bersyukur di dalam hati. Dan ketika matahari benar-benar tersembul di ufuk timur, maka tirai kegelapanpun rasanya seperti terkuak dari muka bumi. Meskipun masih remang remang, tapi semuanya sudah dapat ditembus dengan penglihatan mereka.
"Mengapa kau diam saja sejak tadi? Lihatlah, pemandangan alam demikian indah dan mempesonakan! Kau pernah menyaksikan panorama seperti ini?" tiba-tiba Tiauw Li Ing berkata kepada Liu Yang Kun. Jari tangannya menunjuk ke lembah di sebelah kiri mereka. Lembah dlmana sungai kecil tadi mengalir. Liu Yang Kun mengikuti arah jari telunjuk itu. Dan matanya segera memancarkan sinar kekaguman pula. Lembah itu tampak hijau segar, sehingga aliran air jernih yang membelah di tengah-tengahnya itu bagaikan tinta perak yang mengalir gemerlapan di pagi hari. Bahkan kabut tipis yang kemudian turun dari bukit-bukit di sekitarnyapun semakin menambah keelokan dan keindahannya. Bagai tirai kain yang sangat tipis, kabut itu membuat tempat-tempat yang dilaluinya menjadi samar-samar.
"Bagaimana...? Pernahkah?" Tiauw Li Ing mendesak lagi. Liu Yang Kun menatap wajah Tiauw Li Ing, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Entahlah, aku sudah tak ingat lagi. Tapi panorama seperti ini rasanya juga tidak asing bagiku. Aku seperti sering melihatnya. Bahkan rasanya aku pernah tinggal pula di tempat seperti ini..." Tiauw Li Ing meraih lengan Liu Yang Kun. Matanya melirik, sementara bibirnya menyunggingkan senyum manis sekali.
"Ah, mana mungkin? Kau adalah seorang Pangeran. Mana mungkin kau tinggal di tempat sunyi seperti ini?" Liu Yang Kun tersenyum pula. Entah mengapa hatinya tidak enak untuk terus menerus bercuriga terhadap gadis cantik itu.
"Aku seorang Pangeran? Hmm... aku berani bertaruh kalian keliru dalam hal ini. Aku sama sekali tidak merasa sebagai Pangeran selama ini. Aku memang telah kehilangan seluruh ingatanku, tapi aku tidak kehilangan perasaan dan naluriku. Ketika gurumu itu mengatakan bahwa kau adalah isteriku, naluriku memang merasakan bahwa aku memang sudah beristeri. Ketika orang tua itu juga mengatakan bahwa aku berkelahi dengan tokoh-tokoh ternama di dunia persilatan, hati dan perasaanku juga tidak membantahnya, karena naluriku juga mengatakan pula bahwa aku memang seorang Jago persilatan berkepandaian tinggi... Eh, maaf, aku tidak bermaksud menyombongkan diri... Tapi kalau kalian katakan bahwa aku seorang Pangeran, hmm... kalian keliru! Sekali lagi kukatakan bahwa aku bukan seorang Pangeran. Sama sekali aku tidak merasakannya. Aku bahkan sangat setuju kalau kau katakan bahwa aku ini seorang dusun atau seorang pengembara, karena naluriku mengatakan bahwa aku sangat akrab dengan lembah dan gunung yang indah seperti ini. Bahkan aku merasa pernah tinggal lama sekali di tempat seperti ini."
Tiba-tiba Tiauw Li Ing tertawa lepas. Begitu wajar dan segar suaranya. Dan begitu cantik pula wajahnya, sehingga tak terasa mata Liu Yang Kun seperti terpaku dan terpesona melihatnya. Dan diam-diam hati pemuda itu merasa tergetar. Tak terasa Liu Yang Kun meraih jari-jari Tiauw Li Ing.
"Kau... kau sungguh cantik sekali! Be-benarkah kau ini... isteriku?" bisiknya gemetar pula. Tawa itu tiba-tiba terhenti dengan mendadak. Wajah yang segar dan renyah itu tiba-tiba juga berubah menjadi merah. Bahkan wajah yang cantik itu kemudian tertunduk pula dalam-dalam. Sama sekali tidak berani menatap Liu Yang Kun. Barulah gadis itu menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk. Bahkan semangatnya seperti melayang pula dengan mendadak ketika tiba-tiba bibirnya juga dicium oleh Liu Yang Kun. Selanjutnya gadis itu sudah tidak ingat lagi. Tahu-tahu ia sudah terlena dalam pelukan pemuda yang dicintainya itu.
"Hem... hem...! Kalian kenapa! Ada sesuatu di sekitar kita? Mengapa tiba-tiba kalian terdiam?" mendadak Lo-sin ong yang berada jauh di depan mereka itu membalikkan badan dan berseru kepada mereka. Tergesa-gesa Tiauw Li Ing melepaskan diri dari pelukan Liu Yang Kun. Mukanya yang cantik itu merah padam bagai udang direbus.
"Ti-tidak a-apa-apa, suhu..., tidak apa-apa!" jawabnya gugup seraya membenahi bajunya yang kedodoran. Yang tidak kalah kagetnya adalah Liu Yang Kun. Pemuda itu seperti terbangun dari mimpinya. Wajah dan matanya tampak memerah seperti singa sedang marah, sementara napasnya seperti kuda yang baru saja berjalan jauh.
"Gila!" pemuda itu menggeram perlahan sambil mengibas-ngibaskan kepalanya, ke kanan dan ke kiri.
"Kalau begitu marilah kita meneruskan perjalanan kita! Kita capai dulu desa atau kota yang terdekat, baru kemudian kita istirahat sepuasnya nanti." Lo-sin-ong berkata lagi seolah-olah menyindir mereka. Wajah Tiauw Li Ing semakin merah padam. Begitu pula halnya dengan Liu Yang Kun.
"Huh... kau! Nekad saja!" gadis itu menggerutu sambil memukul dada kekasihnya.
"Apakah dia tahu? Bukankah matanya tidak dapat melihat?" Liu Yang Kun membantah. Tiauw Li Ing melirik. Mulutnya yang runcing itu kemudian mencibir.
"Huh, enak saja! Meskipun buta suhu memiliki perasaan yang peka dan tajam luar biasa! Tahu?"
"Ya, tapi dia juga sudah bilang sendiri bahwa kau adalah isteriku.Apa salahnya kalau aku memeluk dan mmmmmnim...?" Liu Yang Kun mau membantah lagi, tapi keburu ditutup mulutnya oleh Tiauw Li Ing.
"Li Ing, ayolah...! Ajak suamimu!" Lo-sin-ong berseru lagi.
"Baik. suhu... Sssst... ayolah, jangan membantah lagi!" Tapi baru beberapa langkah mereka berjalan, Tiauw Li Ing telah berteriak pula.
Pendekar Penyebar Maut Eps 42 Pendekar Penyebar Maut Eps 32 Pendekar Penyebar Maut Eps 20