Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 23


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 23




   "Bagaimana kalau masing-masing calon diminta untuk mengambil batu karang itu dan membawanya ke sini, tanpa harus mempergunakan perahu atau sampan?" A Liong mengutarakan pendapatnya. Para ketua perkumpulan itu memandang A Liong dengan wajah tak mengerti.

   "Maaf, aku kurang paham maksud saudara A Liong. Bukankah mudah sekali untuk membawa batu itu ke mari? Walaupun besar, tapi setiap pendekar tentu dapat mengangkatnya. Apalagi air rawa ini juga tidak terlalu dalam." Gobi Sam-ci berkata perlahan.

   "Ah, bukan begitu maksudku." A Liong buru-buru menerangkan.

   "Mereka tidak boleh masuk ke dalam air. Mereka harus berloncatan di atas lima buah patok kayu, yang akan kita tancapkan di dalam rawa. Nah, selanjutnya... tinggal para penguji yang menilai kemampuan mereka." Pek-hou dan Ang-bin Kuai-jin bertepuk. tangan. Mereka berdua merasa bahwa ujian itu benar-benar berat. Bahkan mereka sendiri belum tentu dapat melakukannya.

   "Bagus! Rencana yang bagus sekali! Kita akan menyaksikan kehebatan ilmu silat para anggota perkumpulam kita." Akhirnya semua orang menyetujui usul itu. Liu Wan dan Ma Sing tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahkan Liu Wan segera menggamit lengan A Liong.

   "Kau juga ikut bukan?"

   "Harus! Dia yang mengusulkan, maka dia harus dapat pula melakukannya!" Para ketua perkumpulan itu menyahut berbareng.

   "Lhoh? Ini... Ini...?" A Liong gelagapan. Demikianlah, Ma Sing lalu mengumumkan niatnya untuk memilih lima orang jago silat di antara mereka. Dikatakan pula bahwa para jago yang terpilih nanti akan mendapatkan tugas penting dari perkumpulan mereka. Para pendekar itu kembali bersorak gembira. Walaupun syarat. atau ujian itu sangat berat, tetapi pertandingan itu akan benar-benar menyemarakkan suasana.

   Bagi mereka tiada kegembiraan lain selain pertandingan silat. Begitu Ma Sing memberi tanda, maka beberapa orang segera maju ke depan. Bergantian mereka mencoba menyeberangi rawa tersebut. Dan orangpun segera tergelak-gelak ketika satu persatu mereka terjungkal ke dalam air. Tak seorangpun yang mampu mencapai sebe-rang. Meski berkepandaian tinggi, tetapi mereka tidak biasa berloncatan di atas patok kayu. Semakin malam suasana pertandingan menjadi semakin seru. Ada beberapa pendekar yang memiliki ginkang tinggi, sehingga dapat mencapai seberang. Tapi mereka segera tenggelam begitu kembali dengan batu karang itu, namun terpeleset, tetapi ada pula yang langsung tercebur ke dalam rawa dan mereka harus segera mengambalikan batu tersebut ke asalnya.

   "Ang-heng cobalah...!" Pek hou yang mengetahui kehebatan ginkang Ang Jit Kun mencoba mendesaknya.

   "Yaaah, kalau tidak membawa beban apa-apa... Memang mudah berlompatan diatas kayu itu! Tapi kalau harus membawa beban berat, waah... ya sulit" si pencuri sakti Ang Jit Kun menggerutu.

   "Waduh! Kalau saja kau tidak mampu lalu... siapa lagi yang akan dapat melakukannya?" Ketua Liong Gi Eng itu mengeleng-gelengkan kepalanya. Ang Jit Kun melirik ke arah Liu Wan, sebagai pembantu dekat tokoh itu tahu banyak tentang tingkat kesaktian Liu Wan. Tapi Liu Wan cepat menggelengkan kepalanya.

   "Ah! Aku juga tdak dapat melakukannya, Ang-heng! Perguruanku lebih mengutamakan Iweekang daripada ginkang, kalau aku dapat membawa batu itu kemari, maka cara yang kupergunakan tidak akan memenuhi syarat."

   "Apa maksud Ciok heng?" Go bi sam-ci bertanya bingung.

   "Ah, lihatlah... ada yang ingin mencoba lagi!" Liu Wan buru-buru mengalihkan perhatian.

   Ditepi rawa telah berdiri seorang pemuda jangkung kurus, berpakaian serba hitam dan masing segera mengenalnya sebagai pemuda asing yang tadi berdiri tidak jauh di belakang Tiau Hek Hoa. , Wajahnya tampan, namun kelihatan muran dan tidak gembira, bahkan sorot matanya berkesan dingin menakutkan seperti mata srigala di kegelapan malam. Setelah diam sejenak, pemuda itu lalu melompat tinggi ke udara, patok kayu pertama dilewatinya, tubuhnya tetap melayang ke depan, pada saat melayang turun ke patok berikutnya, ia berjungkir balik beberapa kali untuk mengurangi berat tubuhnya. Ternyata pada patok kayu yang ke dua, pemuda itu juga tidak mendaratkan kakinya. Pada saat tubuhnya melayang turun, pemuda itu dengan tenang justru mencopot ikat pinggangnya! Sebuah ikat pinggang terbuat dari kain putih sepanjang satu tombak lebih.

   "Taaaar...!" Tiba-tiba pemuda itu menyabetkan ujung ikat pinggangnya ke patok kayu! Dan... Huuuup! Tubuh yang hampir menyentuh air itu sekonyong-konyong melenting ke atas lagi seperti bola karet! Bahkan daya luncurnya menjadi lebih cepat lagi, sehingga patok kayu yang ke tigapun terlewati pula! Ketika tubuhnya mulai menukik ke patok yang ke empat, pemuda itu bergegas mengayun kembali ikat pinggangnya ke bawah!

   "Taaaarrrr...!" Pemuda itu kembali melenting ke depan, menuju ke patok yang ke lima dan selanjutnya dengan tumpuan patok kayu tersebut dia melesat ke batu karang! Tidak terasa semuanya menahan napas. Ilmu meringankan tubuh pemuda itu sungguh hebat sekali. Jauh lebih baik dari ginkang para ketua perkumpulan mereka. Maka tak mengherankan kalau sesaat kemudian terdengar suara gemuruh tepuk tangan dan teriakan mereka!

   "Huuuuraaaa! Hurrra...!" Tak seorangpun yang tidak takjub melihat gerakan itu. Bagi mereka, pemuda itu tak ubahnya seekor burung elang yang terbang rendah di atas air. Di mana pada saat-saat tertentu kukunya menghunjam ke dalam air untuk menyambar ikan.

   "Bukan main!" Para ketua perkumpulan itu berdesah kagum.

   "Siapakah dia...?" Ma Sing hampir tidak percaya pula. Belum juga pertanyaan tersebut terjawab, sorak-sorai di tempat itu terhenti! Ternyata pemuda itu telah mulai memperlihatkan kesaktiannya lagi! Batu karang yang diperlombakan itu telah berada di dalam pelukannya. Ketika semua orang masih menduga-duga, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, ternyata pemuda tersebut sudah lebih dulu melemparkan batu karang itu ke patok kayu yang terdekat.

   "Wus...!" Dan pemuda itu bergegas mengejarnya! Namun dengan mengerahkan segala kemampuannya, ternyata pemuda itu bergerak jauh lebih gesit dan lebih cepat dari. pada batunya. Ternyata pemuda itu lebih dulu mendaratkan kakinya di patok kayu. Kemudian sebelum batu itu menimpa kepalanya, pemuda itu lebih dulu menyongsongnya dengan sabetan tali ikat pinggangnya!

   "Srrrt!" Batu karang itu terbelit ujung ikat pinggang! Selanjutnya dengan sekali hentak, maka batu tersebut kembali terlempar ke atas melewati kepalanya! Pemuda itu cepat berbalik dan melesat mengejarnya. Dan seperti tadi, maka diapun lebih dulu mendarat di patok kayu berikutnya. Kemudian dia mengulangi pula caranya tadi. Dan beberapa saat kemudian dia telah berhasil membawa batu karang itu ke depan Huang-ho Siang-kiam Ma Sing! Sekali lagi tempat itu gemuruh dengan suara tepuk tangan! Gobi Sam-ci melesat ke depan. Sambil merangkapkan kedua telapak tangannya bekas ketua Kong-sim-pang itu mengawasi tamunya.

   "Tampaknya saudara telah berhasil lulus dari ujian ini. Namun demikian kami perlu mengetahui asal-usul saudara dulu, sebelum kami berlima menetapkan sebagai pemenang..." Pemuda jangkung kurus itu tidak segera menjawab. Sebaliknya dari balik kerumunan tamu yang datang, tiba-tiba muncul seorang lelaki separuh baya yang berlari ke arah mereka. Lelaki itu mengenakan pakaian sederhana, yang biasa dipakai oleh orang-orang di daerah pedalaman. Meskipun demikian Gobi Sam-ci maupun para ketua yang lain segera me-ngenal orang itu, karena dia tidak lain adalah Yo Keng, utusan Kong-sun Goanswe!

   "Yo-Ciangkun...!" Semua orang yang hadir di tempat itu bergumam pendek.

   "Gobi Sam-ci, jangan khawatir! Aku yang membawa pemuda ini. Kita semua dapat mempercayainya!" Yo Keng berkata lantang. Kemudian Yo Keng mendekati Ma Sing.

   "Ma-heng, kau juga tidak perlu meragukan pemuda ini. Dia seorang pendekar pengembara. Namanya Chin Tong Sia. Dia telah menyelamatkan aku dari keganasan pasukan Mo Tan. Bahkan dia juga telah menyelamatkan, aku dari perangkap si Tongkat Bocor Ho Bing di kota Leng-fu!" Huang-ho Siang-kiam Ma Sing tersentak kaget.

   "Si Tongkat Bocor Ho Bing? Bukankafi dia sering terlihat di Istana Au-yang Goanswe? Mengapa pengemis itu ingin menangkap Yo-Ciangkun? Apakah dia mau memberontak?"

   "Ah, entahlah, Ma-Taihiap. Tampaknya memang ada sesuatu yang tak beres di kota raja. Suasananya tidak seperti dulu lagi. Pengaruh Au-yang Goanswe terasa di mana-mana. Tidak hanya di kalangan prajurit pengawal Istana, tapi di kalangan para pejabat kerajaanpun pengaruhnya sangat kuat. Aah... tampaknya kecurigaan Kong-sun Goanswe selama ini memang benar. Kota raja telah dikuasai para pengikut Au-yang Goanswe!" Para ketua partai persilatan itu menghela napas. Huang-ho Siang-kiam Ma Sing menganggukkan kepalanya.

   "Baiklah, Yo-Ciangkun. Nanti kita bicarakan lebih lanjut masalah itu. Sekarang kita lihat dulu kemampuan para pendekar muda kita. saudara Chin, silakan beristirahat dulu! kau kami nyatakan berhasil..."

   "Bagus! Kalau begitu aku juga ingin mencobanya! Hih...!" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru nyaring.

   Tubuhnya yang mungil itu melesat ke depan, lalu menyambar batu karang hijau di tengah arena. Sebelum semuanya mengetahui apa yang terjadi, gadis berkulit hitam itu telah terbang ke dalam rawa! Gerakan gadis itu memang lebih tepat disebut terbang daripada melompat. Dengan memeluk batu karang tersebut di dadanya, dia berloncatan di atas patok kayu, laksana seekor lebah betina yang pulang membawa hasil buruannya! Sekejap saja batu karang itu telah bertengger kembali di tempatnya semula! Maka tidaklah mengherankan kalau sedetik kemudian tempat itu seperti diguncang oleh suara riuh tepuk- tangan para pendekar yang hadir! Pemuda jangkung yang tidak lain adalah Put-tong-sia atau Chin Tong Sia dari Beng-kauw itu merah padam melihatnya. Hampir saja ia melompat dan menerjang gadis yang berani mengaku orang dari Beng-kauw itu. Untunglah dia segera dapat meredam perasaannya.

   "Lebih baik kubiarkan saja ia ikut ke Benteng Langit. Akan kuselidiki apa maksud dan tujuannya ia menyamar sebagai orang Beng-kauw..." Put-tong-sia berkata di dalam hatinya. Tampaknya kehebatan ilmu silat Put-tong-sia dan Tiau Hek Hoa tadi sangat menggelitik hati Souw Hong Lam pula. Terbukti pemuda ganteng itu cepat berdiri begitu Tiau Hek Hoa kembali ke tempatnya! Liu Wan dan A Liong menoleh. Terlambat! Mereka hanya melihat bayangan Souw Hong Lam berkelebat. Di lain saat pemuda ganteng itu telah melayang di atas permukaan air. Mantel hitamnya yang lebar itu berkibar indah di belakangnya. Sepintas lalu bagaikan sayap burung rajawali yang berkepak melawan angin. Dia hanya memanfaatkan sebuah patok saja di antara lima buah patok kayu itu.

   Jarak sejauh itu hanya ditempuh dalam dua kali lompatan! Sebelum orang-orang di tempat itu sadar apa yang terjadi, Souw Hong Lam telah berada di seberang. Dan ketika semuanya tersentak kaget melihat ulahnya, Souw Hong Lam telah melesat kembali dengan batu karang di dalam pelukannya. Tubuhnya melayang seperti induk rajawali pulang ke sarangnya. Batu besar itu seakan-akan tak berbobot sama sekali di tangannya. Kedatangan Souw Hong Lam disambut lebih meriah daripada Chin Tong Sia maupun Tiau Hek Hoa. Mereka merasa telah mendapatkan seorang jago sakti lagi. Sementara itu para ketua perkumpulan tampak saling lirik lagi. Mereka merasa heran karena tak terduga hari itu muncul jago-jago muda yang berkepandaian sangat tinggi. Bahkan mereka merasa bahwa ginkang ketiga anak muda itu boleh dikatakan di atas mereka.

   "Heran! Rasanya hanya Ketua Pusat Im-yang-kauw saja yang mampu berbuat seperti itu!" Huang-ho Siang-kiam Ma Sing yang juga Ketua Cabang Im-yang-kauw bagian utara itu bergumam pelan. Liu Wan bertepuk tangan pula.

   "Bagus! Sudah tiga jago yang kita dapatkan Nah, saudara A Liong... sekarang giliranmu!"

   "Benar! Ayoh, saudara A Liong...! kAu-yang memilin permainan ini! kAu-yang harus menyelesaikannya!" Pek Hou berteriak keras, diikuti pula oleh yang lain.

   "Ayolah, saudara A Liong!" Ma Sing ikut mendesak pula. A Liong tidak dapat menghindar lagi. Menolak permintaan mereka berarti mengecewakan banyak orang. Terpaksa dia melangkah ke rawa. Sebenarnya berloncatan di atas patok kayu itu merupakan pekerjaan mudah bagi A Liong. Bersama kedua gurunya, Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong, dia sudah biasa bermain-main di atas ombak hanya dengan alas kaki dari tulang ikan paus.

   Tapi sekarang, di depan para pen-dekar persilatan, dia tak mau menyombongkan diri. Dia akan mjenyeberang dan mengembalikan batu itu ke tempatnya, tapi dengan cara biasa. Tanpa mengeluarkan ilmunya yang aneh-aneh. A Liong bersiap-siap. Setelah mengerahkan sebagian dari tenaga saktinya, dia mengangkat batu karang yang dibawa Souw Hong Lam tadi ke pundaknya. Gerakannya berkesan lamban dan kurang bertenaga. Bahkan ketika berloncatan di atas patok kayu, tubuhnya tampak limbung serta nyaris jatuh ke dalam air. Namun demikian sampai juga pemuda itu ke seberang dengan selamat. Kembalinya lebih mudah daripada perginya. Tanpa beban batu karang itu, A Liong dengan cepat menyeberang dan kembali di tempat semula. Dan kedatangannya disambut dengan tepuk tangan riuh.

   "Bagus...!" Walaupun kurang puas dengan penampilan A Liong, tapi Ma Sing tetap gembira dengan hasilnya. Karena jago yang diinginkan baru empat orang, padahal yang dibutuhkan lima orang, maka ujian terus dilaksanakan. Namun hingga bulan melorot ke barat, tiada lagi orang yang mampu menyeberangkan batu karang itu. Ang Jit Kun, yang terkenal memiliki ginkang tinggi, ternyata juga gagal menyelesaikan permainan tersebut. Kakinya tergelincir pada saat membawa batu karang.

   "Sudahlah. Tampaknya tiada lagi yang dapat menyeberangkan batu itu. Bagaimana pendapatmu, Ciok-heng?" Huang-ho Siang-kiam Ma Sing meminta pendapat Liu Wan.

   "Kalau memang demikian, yaaa... apa boleh buat! Rasanya empat orangpun sudah dapat berjalan pula. Bagaimana pendapat rekan-rekan yang lain?"

   "Aku mempunyai usul! Bagaimana kalau Ciok Sinshe ikut dalam rombongan itu...?" Ang-bin Kuai-jin yang sejak tadi jarang sekali bersuara, tiba-tiba memotong.

   "Maksud Kuai-jin...?" Pek Hou dan Gobi Sam-ci bertanya hampir bersamaan... ang-bin Kuai-jin menarik napas sambil mengawasi jago-jago muda yang baru saja terpilih itu.

   "Maaf! Lohu tidak bermaksud memandang rendah kemampuan para pendekar muda ini. Tapi kurasa... Mereka perlu seorang pendamping yang memiliki pengalaman dan wawasan luas. Lohu percaya, ilmu silat mereka, sulit dicari bandingannya. Tapi untuk menghadapi rintangan dan jebakan di dalam benteng itu perlu adanya seorang pendamping yang berpengalaman."

   "Bagus. Lohu juga sependapat. Tapi... Mengapa harus Ciok Sinshe dan bukan yang lain?" Pek Hou menyela.

   "Ah, rasanya aku bisa menebak jalan pikiran Ang-bin Kuai-jin. Selain banyak pengalaman, Ciok Sinshe juga mahir ilmu pengobatan. Eeee, siapa tahu ada yang terluka dalam tugas itu nanti?" Huang-ho Siang-kiam Ma Sing memotong.

   "Waaaah...!" Liu Wan pura-pura mengeluh, padahal di dalam hati dia memang ingin berangkat pula. Demikianlah Ma Sing lalu melakukan perundingan rahasia dengan para pembantu dekatnya. Dan pada malam itu juga rombongan penyelidik ke Benteng Langit diberangkatkan. Mereka terdiri atas Chin Tong Sia, Tiau Hek Hoa, Souw Hong Lam, A Liong dan Liu Wan! Rombongan itu berangkat secara diam-diam. Mereka menggunakan dua buah sampan kecil.

   A Liong bertiga dengan Chin Tong Sia dan Tiau Hek Hoa, sedangkan Liu Wan berdua dengan Souw Hong Lam. Ketika fajar mulai menyingsing mereka telah meninggalkan rawa Tai-bong-sui itu. Sekarang mereka berada di perbatasan Propinsi Shan-si dan Ho-nan. Mereka berjalan ke selatan, menyusuri hutan cemara yang terbentang luas sampai di Sungai Huang-ho. Di sepanjang jalan Liu Wan mengakrabkan jalinan persaudaraan mereka. Tapi usahanya agak sedikit mengalami kesulitan. Mereka terdiri dari anak-anak muda yang belum saling mengenal sebelumnya. Maka tak mengherankan kalau mereka masih saling curiga-mencurigai. Hanya A Liong saja yang kelihatan santai dan acuh. Mereka berhenti ketika matahari mulai memperlihatkan kekuatannya. Kebetulan mereka berada di sebuah kota kecil yang cukup ramai. Bahkan mereka melihat banyak toko dan warung makan di pinggir jalan.

   "Ciok Sinshe, sebaiknya kita makan dahulu di kota ini. Atau paling tidak kita singgah sebentar untuk mencari bekal. Perjalanan kita masih panjang dan rasanya kita takkan dapat lagi menemukan tempat seperti ini." Tiau Hek Hoa berkata kepada Liu Wan.

   "Kau benar, Lihiap. Aku juga pernah melewati jalan ini. Perjalanan selanjutnya memang hanya lewat di hutan dan tanah gersang. Padahal kita masih membutuhkan waktu dua hari lagi untuk mencapai Sungai Huang-ho..." Demikianlah, mereka lalu masuk ke sebuah warung kecil yang hanya menyediakan empat buah meja. Di mana salah satu mejanya telah terisi oleh tiga orang tamu lain. Kulit Tiau Hek Hoa yang hitam itu segera menarik perhatian mereka. Kulit gadis itu memang terlalu hitam, sehingga tidak mengherankan bila orang merasa aneh melihatnya. Sebaliknya Tiau Hek Hoa sendiri seperti tidak peduli terhadap mereka. Dia justru mendahului kawan-kawannya untuk memilih meja. Liu Wan, Souw Hong Lam, Chin Tong Sia dan A Liong juga tidak peduli pula. Mereka berempat berjalan dengan tenang di belakang Tiau Hek Hoa. Meskipun demikian perhatian Chin Tong Sia tak pernah lepas dari sekelilingnya.

   "Silakan masuk...!" Pemilik warung menyambut kedatangan mereka sambil melirik ke wajah Tiau Hek Hoa. Tiau Hek Hoa tetap acuh. Sambil melangkah ia melemparkan beberapa keping uang tembaga ke atas nampan si pemilik warung itu.

   "Hidangkan masakan yang" paling enak untuk kami berlima! Uang itu sebagai ongkos pelayananmu! Cepatlah...!" Gadis itu berkata datar tanpa memalingkan mukanya. Pemilik warung itu terbelalak. Tapi sekejap kemudian wajahnya berubah menjadi gembira bukan main. Seperti orang yang baru mendapatkan lotere, ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan hidangan.

   "Lihiap...?" Liu Wan mengerutkan dahinya melihat keroyalan gadis itu. Tapi Tiau Hek Hoa cepat merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

   "Maaf, Ciok Sinshe. Biarlah aku yang membayar makanan. Tampaknya orang itu lebih menghormati uang daripada perempuan jelek seperti aku ini."

   "Tiau-lihiap...! Jangan berprasangka begitu...!" Liu Wan berkata kikuk.

   "Waduh perutku sudah keroncongan. Ciok Sinshe, Tiau-lihiap, ayolah...! Kita duduk sambil berbicara tentang rencana kita nanti!" A Liong tiba-tiba menyela untuk menghilangkan suasana yang kurang menyenangkan itu. Ternyata Souw Hong Lam dan Chin Tong Sia juga sependapat dengan ucapan A Liong. Mereka segera duduk mengitari meja. A Liong lalu mengangguk kepada Liu Wan, yang mereka anggap sebagai pimpinan rombongan itu.

   "Nah, Ciok Sinshe. Bagaimana rencana kita? Berilah kami keterangan dan penjelasan, agar semua tindakan kita selalu terpadu dan tidak bertindak menurut keinginan masing-masing." Liu Wan tertegun sebentar, lalu tersenyum. Dia benar-benar kagum melihat sikap dan penampilan pemuda bertubuh kekar itu. Usianya masih amat muda, tapi pikiran dan pembawaannya sungguh sangat tenang dan matang.

   "Kau benar, saudara A Liong! Kita memang harus merundingkan dulu rencana kita..." Liu Wan mengangguk. Demikianlah, sambil menantikan hidangan, Liu Wan lalu memberitahukan rencana perjalanan mereka nanti. Pertama, mereka menuju ke desa Luang-cung di tepi Sungai Huang-ho. Dari sana mereka akan menempuh perjalanan melalui sungai. Mereka akan berperahu menyusuri Sungai Huang-ho sampai ke Benteng Langit.

   "Nanti kita rundingkan lagi cara memasuki benteng itu setelah kita dapat melihat dan mengetahui keadaannya..." Liu Wan mengakhiri keterangannya. Sementara itu makanan telah dihidangkan. Mereka lalu bersantap bersama. Dan A Liong yang tidak pernah belajar tata cara makan bersama itu segera menyerbu hidangan tanpa malu-malu lagi. Sejak kecil sampai berada di bawah bimbingan kedua gurunya pemuda itu tidak pernah belajar tata krama. Dia hanya tahu tentang baik buruk, serta menghormati orang lain, terutama orang yang lebih tua. Tetapi pemuda itu tak pernah belajar tentang cara berprilaku dan bertatakrama dalam menghadapi orang lain.

   Cara makan A Liong yang bebas dan seenaknya itu memang sedikit mengganggu Tiau Hek Hoa. Kaki A Liong yang diangkat ke atas kursi serta cara melahap makanan dengan jari tangan itu, berkesan liar dan urakan. Sebagai gadis terpelajar dan terhormat, gadis itu me-rasa risih juga melihatnya. Tapi apa boleh buat, A Liong sendiri seperti tidak pernah merasa bersalah atau peduli dengan sikapnya. Begitu pula dengan anggota rombongan lainnya. Semuanya juga bersikap acuh saja melihat cara makan A Liong, sehingga Tiau Hek Hoa terpaksa berdiam diri pula. Sikap A Liong sungguh amat berbeda dengan Souw Hong Lam. Pemuda ganteng itu bersikap halus, tenang, sopan dan penuh tatakrama. Caranya makanpun amat sopan dan berhati-hati. Bahkan terlihat lebih sopan daripada Tiau Hek Hoa. Ketika pemilik warung itu lewat di dekat mereka, Tiau Hek Hoa menghentikannya.

   "Paman...! Di mana kami dapat membeli kuda?"

   "Kuda...? Apakah cuwi hendak membeli kuda? Wah, banyak sekali pedagang kuda di sini. Kebetulan sekali daerah ini memang daerah peternakan kuda. Tetapi kalau Nona menginginkan kuda yang bagus, sebaiknya pergi saja ke peternakan Kim Wangwe!"

   "Kim Wangwe...? di mana tempatnya?"

   "Peternakannya berada di sebelah selatan kota ini. Tapi hati-hati dengan para centengnya, Mereka galak-galak. Apalagi Kim Wangwe jarang berada di rumahnya. Dia lebih sering berada di kota."

   "Di kota Lu-fan maksudmu?" Pemilik warung itu mengangguk. Liu Wan memandang Tiau Hek Hoa.

   "Lihiap hendak membeli kuda? Tapi... Kita tidak boleh berangkat sendiri-sendiri. Rombongan ini harus selalu bersama-sama!" Gadis itu balik menatap wajah Liu Wan yang tertutup oleh penyamarannya.

   "Sinshe, aku tidak bermaksud berangkat sendiri. Kebetulan aku ada uang. Aku akan membeli lima ekor kuda sekaligus untuk kita."

   "Ah, maafkan aku. Tapi rasanya Lihiap tak perlu membuang-buang uang sebanyak itu. Harga kuda terlalu mahal. Apalagi harus membeli lima ekor..."

   "Benar. Kita berjalan kaki saja. Aku tak biasa naik kuda. Malah repot nanti..." A Liong yang belum pernah naik kuda itu juga berseru. Mulutnya masih penuh dengan makanan. Tiba-tiba salah seorang dari tiga tamu yang duduk di dekat mereka bangkit berdiri. Dia memberi hormat kepada Tiau Hek Hoa.

   "Maaf. Nona hendak membeli kuda? Kami, eh... Kami kebetulan juga mau menjual kuda. Mungkin Nona berminat membelinya?" Tiau Hek Hoa bangkit pula dari tempat duduknya. Tanpa rasa curiga ia membalas penghormatan orang itu.

   "Cuwi ingin menjual kuda? Bagus! Boleh aku melihatnya dulu...?" Ketiga orang tamu itu cepat membayar makanannya, lalu mengajak Tiau Hek Hoa keluar. Dan tanpa sungkan-sungkan lagi gadis itu segera mengikuti pula.

   "Ciok Sinshe, aku akan melihat kuda mereka. Sebentar saja!" Gadis itu berkata kepada Liu Wan.

   "Nona, kau belum selesai makan, bukan? Mengapa tidak kau habiskan dulu?" Pemilik warung itu tiba-tiba berseru dari mejanya. Wajahnya kelihatan pucat. Tiau Hek Hoa tidak menjawab. Dia tetap melangkah keluar mengikuti pedagang kuda itu. Chin Tong Sia mengerutkan keningnya. Dia tak mau kehilangan gadis itu. Dia harus tahu siapa gadis yang mengaku anggota Aliran Beng-kauw tersebut.

   "Nona Tiau, kubantu kau memilih kuda. Aku mempunyai banyak pengalaman soal kuda..." Chin Tong Sia berseru dan bangkit pula dari kursinya. Tiau Hek Hoa menoleh, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak peduli ketika Chin Tong Sia mengikutinya. Wajah yang hitam itu benar-benar sulit ditebak hatinya. Mereka masuk ke dalam pasar. Dan kebetulan hari itu merupakan hari besar, sehingga pedagang dari luar kotapun datang membanjiri pasar itu. Maka tidak mengherankan kalau tempat itu menjadi ramai sekali. Begitu berjejalnya sehingga Chin Tong Sia mendapat kesulitan mengikuti langkah Tiau Hek Hoa. Malah sebentar kemudian bayangan gadis berkulit hitam itu telah hilang bersama tiga orang yang diikutinya:

   "Wah, cepat benar! kemana mereka tadi?" Karena kehilangan jejak maka Chin Tong Sia lalu berjalan sekenanya. Matanya tajam mengawasi orang-orang di sekelilingnya. Namun bayangan Tiau Hek Hoa dan para pedagang kuda itu sama sekali tak kelihatan.

   Demikianlah setelah berputaran kesana-kemari tanpa hasil, Chin Tong Sia Lalu keluar dari pasar. Perlahan-lahan dia melangkah kembali ke tempat di mana kawan-kawannya menunggu. Sambil berjalan matanya masih tetap melirik kesana-kemari, mencari gadis bermuka hitam itu. Tiba-tiba matanya terbelalak. Jauh di ujung jalan matanya menangkap berkelebatnya bayangan Tiau Hek Hoa di antara para pejalan kaki yang lain. Gadis itu berjalan bersama seorang pemuda. Ketika Chin Tong Sia mencoba melongok lebih jelas lagi, bayangan gadis itu telah berbelok ke sebuah gang kecil. Chin Tong Sia berlari secepatnya, sehingga orang-orang di sekitarnya hanya melihat bayangan hitam dan hembusan angin yang amat kuat melewati mereka. Namun demikian, ketika Chin Tong Sia sampai di gang kecil itu, bayangan Tiau Hek Hoa telah hilang pula.

   
"Gila! permainan apa yang sedang ia lakukan? Jelas tadi aku melihatnya berjalan bersama seorang lelaki di sini? kemana dia?" Sambil menggeram Chin Tong Sia masuk ke dalam gang kecil itu. Di depan sebuah rumah besar bercat putih dan berhalaman luas dia berhenti. Pintu gerbang halaman rumah itu masih terbuka sedikit, seakan-akan baru saja dibuka orang. Chin Tong Sia melongok ke dalam. Dan ia segera melihat lelaki yang berjalan bersama Tiau Hek Hoa itu di sana. Lelaki itu berdiri di halaman bersama tiga orang temannya.

   "Hei? Tiga orang itu...? Bukankah mereka para pedagang kuda itu? Bagus! Jadi... aku memang tidak salah masuk!" Tanpa berpikir dua kali Chin Tong sia segera menerobos masuk. Dan tanpa berbasa-basi pula ia menghadapi lelaki muda itu. Sebagai orang Beng-kauw, Chin Tong Sia memang tidak pernah mempe-dulikan aturan dan sopan santun.

   "Maaf, aku sedang mencari temanku Kulihat dia masuk ke sini. Di mana dia?" Namun sungguh mengherankan. Keempat orang itu sama sekali tidak kaget melihat kedatangan Chin Tong Sia. Bahkan mereka kelihatan tenang sekali, seolah-olah memang sedang menantikan Chin Tong Sia.

   "Orang inikah yang telah mempecun-dangimu, Ho Bing?" Lelaki yang ternyata masih sebaya A Liong itu menoleh ke pendapa. Chin Tong Sia melihat ke pendapa. Hatinya berdegup keras. si Tongkat Bocor Ho Bing yang telah gagal menghadang Yo Keng dan dirinya di kota Lu-feng itu tampak berdiri geram memandangnya. Di sebelahnya juga berdiri Tiat-tou dan Siang-kim-eng, pembantunya.

   "Benar, Kongcu. Dialah orangnya! Huh! Di mana perwira yang kau lindungi itu?" Ho Bing menghardik ke arah Chin Tong Sia. Chin Tong Sia sadar bahwa dia telah terperangkap dalam sarang musuh. Dan melihat sikap Ho Bing yang garang, dia yakin orang itu telah memiliki sandaran kokoh di tempat tersebut. Chin Tong Sia bersiap-siap. Perasaannya mengatakan bahwa pemuda tampan di depannya itulah yang menjadi sandaran Ho Bing. Dan dari sikapnya Chin Tong Sia yakin, bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tangguh. Bahkan dari getaran suaranya, Chin Tong Sia juga yakin bahwa pemuda itu memiliki tenaga dalam amat sempurna.

   "Anak muda berpakaian bagus ini tentu lihai sekali..." Chin Tong Sia berkata di dalam hatinya. Pemuda tampan itu melangkah mendekati Chin Tong Sia.

   "Bagus. Kalau begitu orang ini harus dibunuh karena telah berani mengganggu tugasmu."

   "Tahan! Siapa kau ini? Apakah kau seorang pangeran dari kota raja? Atau... Kau masih keluarga dari Au-yang Goanswe?" Melihat pemuda itu datang bersama Ho Bing, maka Chin Tong Sia menyangka lawannya itu berasal dari kota raja.

   " Au-yang Goanswe? Huh! Tak ada sangkut pautnya aku dengan manusia tamak dan licik itu! Aku adalah Mo Hou, putera Mo Tan, raja suku bangsa Hun yang besar!" Bukan main terkejutnya Chin Tong Sia. Tak disangka-sangka dia berjumpa dengan putera Raja Mo Tan di tempat itu. Otomatis seluruh urat-urat Chin Tong Sia menegang. Dia sering mendengar bah- j wa putera-puteri Mo Tan memiliki ilmu silat yang tinggi sekali.

   "Oh, jangan-jangan Tiau Hek Hoa itu juga... puteri Mo Tan!" Tiba-tiba Chm Tong Sia membatin. Tapi sebelum pemuda itu bertanya lebih lanjut, Mo Hou telah lebih dahulu menyerang. Mo Hou mengibaskan lengan kirinya ke depan," menyerang wajah Chin Tong Sia.

   "Ho Bing mengatakan bahwa kau bernama Chin Tong Sia atau Put-tong-sia dan berasal dari aliran Beng-kauw! Orang selalu bercerita bahwa ilmu silat aliran Beng-kauw sangat tinggi! Tapi, aku tidak percaya! Coba, kau perlihatkan ilmumu kepadaku!" Angin tajam menyambar kepala Chin Tong Sia. Tapi dengan sigap Chin Tong Sia menarik kepalanya ke belakang. Kemudian dalam waktu yang hampir bersamaan dia bergeser ke kanan sambil melontarkan pukulan lurus ke belakang kepala Mo Hou. Chin Tong Sia tak mau berbasa-basi pula. Tiga perempat dari tenaga saktinya membanjir keluar mendorong pukulannya.

   Perbawanya sungguh menggetarkan hati. Mo Hou kaget bukan main. Putera Raja Mo Tan yang terlalu percaya akan kehebatan ilmunya itu sama sekali tidak percaya kalau lawannya memiliki kece patan dan tenaga dalam sedahsyat itu. Pukulan itu hampir saja mengenai kepala Mo Hou. Untunglah pada saat-saat terakhir pemuda itu masih dapat menghindarinya. Namun demikian tali pengikat rambutnya tetap saja terlepas bersama beberapa helai rambutnya, sehingga rambut yang panjang itu terurai lepas menutupi bahu. Bahfcn butir-butir mutiara yang menghias tali pengikat rambut itu juga ikut terlempar entah ke mana. Wajah Mo Hou menjadi merah padam. Karena terlalu memandang rendah lawan, hampir saja dia kehilangan kepalanya. Sementara itu ketiga orang kawan Mo Hou tadi telah berpencar di sekeliling mereka.

   "Gila! Kubunuh kau...!" Mo Hou berteriak marah.

   "Kongcu, biarlah kami bertiga yang menangani bocah ini!" Seorang dari ketiga teman Mo Hou melompat ke depan sambil melepaskan pukulan. Mo Hou terpaksa menunda kemarahannya. Sambil mendengus ia melangkah mundur.

   "Bayan Tanu, hati-hati! Ucapan Ho Bing memang benar. Orang ini tidak boleh dipandang ringan. Engkau bertiga belum tentu dapat mengatasinya."

   "Chin Tong Sia mengelakkan pukulan Bayan Tanu dengan mudah. Dalam keadaan marah pemuda itu masih tetap mempergunakan akal sehatnya, dia cuma sendirian di rumah itu, sementara lawannya berjumlah banyak. Dia tidak boleh gegabah mengumbar tenaga. Dia harus mampu keluar dan menyelamatkan diri dari halaman tersebut. Tampaknya Mo Hou mengetahui maksud Chin Tong Sia. Sambil menggeram pemuda tampan itu bertepuk tangan dan beberapa saat kemudian belasan orang segera muncul dari segala penjuru rumah itu. Mereka mengepung halaman itu dengan senjata lengkap. Ho Bing yang tadi berdiri di atas pendapa juga turun bersama para pembantunya.

   "Kau harus mati!" Ho Bing yang telah dipermalukan oleh Chin Tong Sia di kota Leng-fu itu berseru marah.

   "Bagus! Tampaknya kau telah bersekongkol dengan kekuatan musuh untuk menghadapi aku!"

   "Huh! Akulah lawanmu! Bukan dia!" Bayan Tanu yang telah siaga di depan Chin Tong Sia itu tiba-tiba berteriak sambil mendiang.

   "Wuuuuuuuush...!" Tentu saja Chin Tong Sia tidak ingin terjungkal pada jurus-jurus pertama. Dengan ginkangnya yang hebat dia melenting ke samping, kemudian sambil memba likkan badannya dia mengayunkan tangannya dengan jari-jari terbuka. Tujuannya adalah tenggorokan Bayan Tanu. Serangan ini hanya mempergunakan separuh dari tenaga dalamnya. Namun demikian pengaruhnya telah mengejutkan lawan-lawannya. Bayan Tanu menangkis dengan sisi tangannya.

   "Duuuug!" Dua buah kepalan bertemu di udara, menyebabkan keduanya terpental ke belakang. Chin Tong Sia terdorong mundur selangkah ke samping, sementara Bayan Tanu terhuyung mau jatuh. Orang kepercayaan Mo Hou itu marah sekali. Sebagai orang Mongol, yang ilmu silatnya lebih banyak bertumpu pada ilmu gulat, ia memiliki otot-otot yang kuat dan liat. Meskipun tenaganya juga lebih terpusatkan pada tenaga luar (gwakang), namun kecepatan tangan juga tidak dapat dipandang ringan. Orang seperti Bayan Tanu dengan mudah dapat menangkap lalat yang terbang di sekitarnya. Benturan kedua tangan itu sama sekali tak menyakitkan Bayan Tanu. Bahkan dengan kelincahannya Bayan Tanu kembali menerjang Chin Tong Sia.

   Kali ini dengan kekuatan kakinya. Demikianlah, kedua orang itu segera terlibat dalam pertempuran seru. Chin Tong Sia dengan tenang dan santai melayani Bayan Tanu yang marah dan ingin segera memperoleh kemenangan. Dan pertarungan itu semakin lama semakin cepat. Saling memukul dan menangkis, sehingga halaman yang luas itu bagaikan sebuah ajang pertarungan silat yang menegangkan. Tapi beberapa jurus kemudian segera terlihat siapa yang lebih unggul di antara mereka. Napas Bayan Tanu yang lincah dan kuat itu mulai tersengal-sengal, sementara napas Chin Tong Sia masih kelihatan teratur seperti sedia kala. Merasa kalah dalam hal tenaga Bayan Tanu segera mengurai senjatanya yang selalu melingkar di pinggangnya. Yaitu sebuah rantai baja sepanjang satu-setengah depa dengan mata tombak di salah satu ujungnya.

   Begitu diputar maka rantai baja itu mengeluarkan suara mengaung panjang. Dan Chin Tong Sia terpaksa harus berloncatan kesana-kemari untuk menghindarinya. Debu mengepul tinggi ketika beberapa kali rantai itu menghantam tanah, sehingga Mo Hou dan para pembantunya terpaksa mundur sampai ke tangga pendapa. Dari tempat itu mereka harus menyaksikan, bagaimana sulitnya Bayan Tanu menyentuh lawannya. Sebagai jago silat yang memiliki ginkang hampir sempurna, Mo Hou dapat melihat, betapa jauh perbedaan ilmu meringankan tubuh mereka. Bayan Tanu yang hanya mengandalkan kelincahan dan kekuatan otot-ototnya, sama sekali tidak mampu mengejar kecepatan gerak Chin Tong Sia. Ilmu meringankan tubuh murid aliran Beng-kauw itu benar-benar sudah mendekati puncaknya, sehingga ia sendiri sering tersilap dan terlambat mengikutinya.

   "Tidak heran kalau Ho Bing kalah. Sepuluh orang Ho Bingpun belum tentu dapat menundukkannya. Mungkin hanya Mo Goat atau Panglima Solinga yang dapat menandingi dia." Semakin lama gerakan rantai Bayan Tanu semakin melemah. Serangan ujung tombaknya juga tidak akurat lagi. Sementara gerakan Chin Tong Sia masih tetap lincah dan tegar seperti sedia kala. Tampaknya pemuda itu memang mengulur-ulur waktu untuk mencari kesempatan meloloskan diri.

   "Ho Bing, Tiat-tou, Siang-kim-eng, majulah...!"

   "Bantu Bayan Tanu!" Akhirnya Mo Hou berteriak tidak sabar lagi,

   Tanpa diulang lagi perintah Mo Hou tersebut segera dilaksanakan oleh Ho Bing dan kawan-kawannya. Ketiganya segera terjun ke arena dengan senjata masing-masing. Begitu masuk mereka segera menyerang Chin Tong Sia tanpa ampun. Sekarang Chin Tong Sia terpaksa harus bersungguh-sungguh. Sekaligus menghadapi empat orang jago silat berkepandaian tinggi, bukanlah pekerjaan enteng. Meskipun dia telah menguasai hampir seluruh ilmu silat aliran Beng-kauw, namun dia juga merasa bahwa dia belum sampai pada puncaknya. Sementara itu di pihak lain ternyata Mo Hou sendiri memang bermaksud melihat dan menjajagi ilmu silat Chin Tong Sia. Peristiwa lima tahun lalu di pantai timur Hang-ciu ternyata masih amat membekas di hati Mo Hou. Betapa dahsyatnya ilmu silat Put-pai-siu Hong-jin sehingga dia harus digotong pulang oleh Lok-kui-tin (Barisan Enam Hantu).
(Lanjut ke Jilid 23)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 23
Menurut penuturan Ho Bing, Chin Tong Sia adalah adik seperguruan Put-pai-siu Hong-jin. Sementara Mo Goat, yang kini sedang menyamar sebagai Tiau Hek Hoa, juga mengatakan bahwa Chin Tong Sia memiliki ilmu silat yang tidak kalah dengan tingkatan mereka.

   "Tampaknya pemuda ini memang benar-benar berbahaya. Kemampuannya. sama dengan sepuluh orang panglima ayahku. Sayang sekali dia belum dapat disingkirkan sekarang. Nyawanya merupakan jaminan bagi keselamatan Mo Goat." Mo Hou berdesah di dalam hati melihat kehebatan Chin Tong Sia. Memang benar juga kekhawatiran Mo Hou. Sepuluh orang panglima suku bangsa Hun belum tentu dapat menandingi kesaktian Chin Tong Sia. Apa lagi hanya tokoh semacam Ho Bing dan Bayan Tanu.

   "Kisah lucu si Kera Bodoh,
Ingin menangkap Burung Kenari.
Walau Kenari lemah dan kecil,
Kera Bodoh tetap tak berdaya."

   Sambil bertempur sesekali Chin Tong Sia menyelipkan senandung kesukaannya. Bagi anggota Aliran Beng-kauw berkelahi sambil mengoceh merupakan sebuah ciri tersendiri. Turun-temurun mereka telah terbiasa bernyanyi dan berpantun dalam menjalankan agamanya. Sampai pada saat berlatih silatpun mereka juga latah melantunkan pantunnya. Dan kelatahan tersebut semakin parah pada saat mereka memainkan Ilmu Silat Cou-mo-ciang (Tangan Menangkap Setan)! Tentu saja ocehan "Ngawur" itu membuat Ho Bing dan Bayan Tanu menjadi berang sekali.

   "Tutup mulutmu! kau anggap kami kera besar? Kurang ajar!" Bayan Tanu menjerit marah.

   "Lihat Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)...!" Ho Bing berteriak pula sambil memencet tongkatnya. Tapi Chin Tong Sia merupakan tokoh paling berbakat di antara angkatan muda Beng-kauww. Sebagai murid bungsu Put-ceng-li Lojin (Orang Tua yang Tidak Tahu Aturan), yaitu mendiang ketua Beng-kauw lama, ilmu silatnya justru lebih hebat dari semua kakak seperguruannya. Bahkan selapis lebih tinggi daripada Put-sim-sian (Si Dewa Tak Punya Perasaan), kakak seperguruannya yang kini menjabat sebagai Ketua Beng-kauw. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau serangan Bayan Tanu dan Ho Bing sama sekali tidak menyulitkan dia. Hanya dengan mengandalkan kecepatan tangan dan kekuatan lweekangnya, mata tombak Bayan Tanu dengan mudah disambarnya.

   Bahkan semua itu dilakukan sambil meraup jarum Ho Bing ke dalam lengan bajunya. Dan pada saat itu pula, tiba-tiba pintu halaman depan terbuka dari luar. Enam orang penunggang kuda menerobos masuk. Chin Tong Sia melihat peluang yang baik untuk meloloskan diri. Cepat ia meompat ke belakang. Mata tombak Bayan Tanu yang ada di tangannya segera ia lemparkan ke arah Mo Hou. Sementara kumpulan jarum yang ada di dalam lengan bajunya diayunkan pula ke arah musuhnya itu. Ternyata kedua macam senjata itu menjadi lebih dahsyat dalam tangan Chin Tong Sia. Demikian cepat dan kuatnya ayunan mata tombak itu, sehingga Bayan Tanu yang tetap masih memegangi ujung rantainya, ikut terlempar pula ke arah Mo Hou. Demikian pula halnya dengan jarum-jarum Ho Bing. Benda kecil itu melesat bagai curah hujan ke tubuh Mo Hou.

   "Bangsat...!" Mo Hou mengumpat kasar. Putera Raja Mo-tan itu menghindar dengan cepat. Begitu cepatnya sehingga tubuhnya seperti hilang begitu saja. Tahu-tahu pemuda itu telah berada di atas pendapa. Chin Tong Sia benar-benar kaget menyaksikan kegesitan lawan. Terlintas dalam ingatannya, cerita yang pernah dikatakan oleh suhengnya. Put-pai-siu Hong-jin pernah bercerita tentang seorang pemuda yang mampu bergerak seperti angin. Lima tahun yang lalu suhengnya berkelahi dengan pemuda itu dan hampir saja dikalahkan. Untunglah Put-pai-siu Hong-jin dapat meloloskan diri dengan cara menceburkan diri ke dalam laut.

   "Saat itu suheng dalam. keadaan mabuk. Oh! Jangan-jangan pemuda yang dia maksudkan itu adalah... Mo-Hou, putera Raja Mo Tan ini!" Chin Tong Sia tapi Chin Tong Sia tak ingin kehilangan kesempatan. Sebelum mereka sadar apa yang terjadi, dia cepat-cepat melesat ke pintu halaman.

   "Wuuuuuus!" Tubuhnya melejit seperti kijang cepatnya! Hampir-hampir seperti gerakan Mo Hou!

   "Lok-kui-tin! Tangkap dia!" Sambil mengelak Mo Hou masih sempat berteriak kepada penunggang kuda yang baru saja datang itu.

   "Baik, Kongcu!" Dua di antara enam orang penunggang kuda itu melompat, turun untuk menyongsong kedatangan Chin Tong Sia.

   "Awaaaas! Jangan sembrono...!" Mo Hou berteriak memperingatkan mereka. Terlambat. Pek-kui dan Ang-kui, yang tidak menyadari akan kehebatan ilmu silat Chin Tong Sia, sudah terlanjur mengayunkan tangannya, menyongsong kedatangan pemuda tersebut.

   "Dhuuuuuuar...!!"

   "Aaaarrgghh...!" Terdengar Ang-kui dan Pek-kui mengeluh pendek. Mereka terbanting ke tanah dengan mata terbelalak. Terpantul perasaan tak percaya di mata mereka. Tetapi Chin Tong Sia juga tidak lolos dari pengaruh benturan itu. Tubuhnya tergetar mundur dengan kuatnya. Dia merasa seperti menerjang tembok besi. Begitu kuatnya sehingga dalam sekejap aliran darahnya terasa kacau. Bahkan dari dalam mulutnya mengalir darah segar. Anggota Liok-kui-tin memang bukan tokoh sembarangan. Mereka berenam merupakan tokoh-tokoh persilatan yang sangat ditakuti di luar Tembok Besar. Kekuatan mereka berenam bagaikan kekuatan sepuluh ekor gajah menjadi satu. Chin Tong Sia cepat mengatur pernapasannya kembali. Percikan darah yang menetes di bawah dagunya, dia bersihkan dengan lengan bajunya. Perasaannya mulai ragu.

   "Gila! Siapa pula orang-orang ini?" Pemuda itu menggeram. Demikianlah, ternyata Chin Tong Sia tak mampu memanfaatkan kesempatan itu. Kini Mo-Hou dan Lok-kui-tin telah mengelilinginya. Mo Hou kelihatan ram sekati.

   "Baru saja aku berteriak untuk memperingatkan kalian" Tapi kalian main gempur saja! Untunglah nyawa kalian masih ada! kau kira siapa lawan kalian itu? Ketahuilah, dia adalah adik seperguruan Put-pai-siu Hong-jin!" Mo Hou memarahi pengawal-pengawal ayahnya itu.

   
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aaaah...!" Semuanya tersentak kaget. Termasuk pula Chin Tong Sia yang menyangka telah dikenal oleh lawan-lawannya.

   "Hek-kui! Bawa Ang-kui dan Pek-kui ke pendapa! Biarlah aku yang menangkap bocah ini!" Akhirnya Mo Hou memberi perintah. Chin Tong Sia kembali mengerahkan segala kekuatannya. Dia merasa bahwa tingkatan ilmu silat lawannya, tidak jauh berbeda dengan dirinya. Bahkan ilmu silat Mo Hou kelihatan lebih matang dan lebih sempurna dari dugaannya. Cing-kui, Ci-kui dan Ui-kui melangkah ke depan. Ui-kui memberi hormat.

   "Kongcu, biarlah kami bertiga yang membereskan pemuda ini. Belum saatnya Kongcu turun tangan sendiri. Kekalahan Ang-kui dan Pek-kui merupakan kesalahan mereka sendiri. Mereka kurang waspada melihat kekuatan lawan. Bahkan kami semua juga lengah akibat kegembiraan yang berlebihan. Tugas untuk menangkap Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan isterinya, telah kami laksanakan dengan baik."

   "Bagus! Kalian berhasil meringkus pendekar itu? Lalu di mana mereka sekarang...?"

   "Kami kurung di ruang bawah tanah." Diam-diam hati Chin Tong Sia bergetar juga. Dia memang belum pernah berjumpa dengan Souw Thian Hai, tapi kesaktian tokoh besar itu sudah sering ia dengar sejak kecil. Benarkah mereka mengalahkan pendekar ternama itu?

   "Baik, kalau begitu... ringkuslah pemuda ini! Jangan dibunuh! Aku ingin mengorek keterangan dari mulutnya." Akhirnya Mo Hou memberikan perintahnya. Selesai berkata pemuda itu melesat pergi meninggalkan halaman tersebut. Ia kelihatan begitu percaya pada kemampuan anak buahnya. Hek-kui memapah Ang-kui dan Pek-kui ke pendapa, sementara Ui-kui, Ci-kui dan Cing-kui menghadapi Chin Tong Sia.

   "Bagus! Jadi, kau... adik seperguruan Orang Gila itu? Siapa namamu?" Ui-kui yang berbaju kuning itu membentak Chin Tong Sia yang sedang berusaha memulihkan aliran darahnya.

   "Hmmh...! Apa perlunya namaku bagi kalian? Sebentar lagi kita akan saling membunuh di sini! Kita tak perlu tahu nama masing-masing! Kalian atau aku yang mati! Habis perkara!" Chin Tong Sia yang mudah tersinggung itu balas menggertak.

   "Hohoho, agaknya namamu yang aneh dan lucu itu takut ditertawakan orang, heh?" Cing-kui yang berbaju hijau mengejek. Wajah Chin Tong Sia menjadi merah. Nama orang Beng-kauww memang aneh dan terasa lucu di telinga orang kebanyakan.

   "Kurang ajar! kau kira namamu lebih bagus daripada namaku? Dengar, Boneka Katak Hijau! Namaku... chin Tong Sia, atau Put-tong-sia! Dan aku akan membunuhmu lebih dulu daripada kawan-kawanmu yang lain!" Chin Tong Sia menjerit marah. Lalu tanpa menanti jawaban lagi, Chin Tong Sia menerjang Cing-kui! Kedua telapak tangannya mendorong dengan kekuatan penuh! Sekarang tak seorangpun dari ketiga orang itu yang berani menyongsong pukulan Chin Tong Sia. Dalam keadaan belum bersiaga penuh, lebih baik mereka menghindari pukulan pemuda itu. Demikian pula yang mereka lakukan sekarang. Mereka cepat mengelak, lalu berpencar mengelilingi Chin Tong Sia. Secara berbareng mereka menyerang.

   "Wuuush!" Chin Tong Sia melambung tinggi ke udara, kemudian berjumpalitan mendekati Cing-kui. Dengan tubuh masih menggeliat di udara, jari-jari tangan kanannya mencakar ke wajah Hantu Berbaju Hijau tersebut. Terdengar suara mendesis ketika jari tangan itu mengeluarkan asap tipis!

   "Awaaaas, Cing-kui!" Ui-kui berseru sambil memukul punggung Chin Tong Sia dengan kedua kepalannya. Terdengar suara mencicit ketika kepalan itu menerjang menuju sasarannya.

   Ternyata sejak dini Chin Tong Sia telah menyadari kedudukannya. Orang-orang yang sedang dia hadapi adalah jago-jago silat kelas satu. Satu lawan satu, dia yakin bisa menang. Satu lawan dua, mungkin dia masih bisa bertahan. Tetapi kalau harus menghadapi tiga orang sekaligus, jelas ia akan kewalahan. Oleh karena itu begitu menyerang dia langsung mengeluarkan jurus Cuo-mo-ciangnya. Siapa tahu lawan kembali terkecoh, sehingga dalam gebrakan pertama dia dapat mengurangi satu lawan lagi. Tetapi ternyata Lok-kui-tm tidak dapat dijebak untuk yang kedua kali. Begitu Chin Tong Sia mencakar ke wajah Cing-kui, Ui-kui cepat membokong punggung pemuda itu dengan pukulan ganasnya. Terpaksa Chin Tong Sia berbalik sambil menyambut pukulan itu! Dan kali ini masing-masing benar-benar telah bersiap dengan segala kekuatannya!

   "Thuuaaaas...! Plak!" Tubuh Chin Tong Sia yang masih terapung di udara itu terlempar ke samping, sementara Ui-kui jatuh terduduk di atas tanah. Ternyata selisih kekuatan mereka memang tidak terpaut banyak. Mungkin cuma selapis saja.

   Setelah berjumpalitan beberapa kali, Chin Tong Sia mendaratkan kakinya di luar kepungan. Beberapa saat masih terasa getaran pukulan Ui-kui di dalam dadanya, sehingga ia semakin yakin akan kemampuan lawan-lawannya. Demikianlah halaman itu kembali disibukkan oleh pertempuran yang amat seru. Satu lawan tiga. Memang pertempuran yang tidak seimbang, karena kekuatan dari masing-masing anggota Lok-kui-tin itu hampir sejajar dengan Chin Tong Sia. Semakin lama Chin Tong Sia semakin dipaksa untuk memeras keringatnya. Ketiga hantu itu benar-benar lihai bukan main. Bahkan mereka bertiga mulai mendesaknya. Mereka mengambil keuntungan dengan kelebihan jumlah kekuatan mereka. Mereka memancing Chin Tong Sia untuk beradu tenaga secara bergantian, sehingga kekuatan pemuda itu semakin cepat surut.

   "Gila! Mereka benar-benar licik! Aku... aaaah!" Karena kurang cepat, sebuah tendangan dari Ui-kui telah mengenai pundak Chin Tong Sia. Begitu kuatnya sehingga lengan kanan pemuda itu serasa lumpuh dan sulit digerakkan. Dan kesempatan itu tak disia-siakan oleh ketiga lawannya. Mereka cepat mengejar dan memberondong pukulan secara berbareng. Mereka ingin meringkus Chin Tong Sia dalam satu gebrakan. Tapi dengan cepat Chin Tong Sia menjatuhkan diri ke tanah, kemudian berputar seperti baling-baling. Pemuda itu tidak memikirkan lagi kalau pakaiannya menjadi kotor oleh debu.

   "Meski dihempas badai!
Digulung oomaw!
Dihantam petir!
Digilas karang! Namun,
Batu dan pasir tetap bertahan!
Hancur satu, muncul seribu..."

   Sambil berputar tidak lupa pemuda itu berpantun dengan suara tinggi. Bahkan sangat bersemangat! Ternyata dalam keadaan sulit, pemuda itu justru mengeluarkan gerakan yang aneh, yaitu Menggali Liang Ubur-ubur! Salah satu dari jurus Cuo-mo-ciangnya yang aneh dan membingungkan! Sekejap ketiga lawannya benar-benar menjadi bingung. Otomatis mereka melompat menjauhi Chin Tong Sia. Namun betapa kagetnya mereka ketika baling-baling itu mendesak melenting ke arah Cing-kui si Hantu Hijau! Cepat bukan main! Bagaikan baling-baling patah yang terhempas ke udara! Lebih cepat dari kilatan halilintar!

   "Deessss!" Tubuh Cing-kui terlempar bagaikan layang-layang putus. Dan dia tentu akan terbanting tanah, apabila Hek-kui yang baru saja keluar dari dalam gedung tidak segera menyambarnya! Demikianlah, dalam waktu yang tidak terlalu lama, separuh dari barisan Lok-kui-tin telah menjadi korban keganasan Cuo-mo-ciang! Walau tidak terlalu berat, namun mereka harus segera dirawat, sehingga untuk sementara mereka tidak dapat berkelahi lagi. Setelah membawa Cing-kui ke pinggir, Hek-kui melangkah ke dalam arena. Wajahnya tampak merah padam menahan marah.

   "Ui-kui! Ci-kui! Ayoh kita ringkus bocah ini!" Chin Tong Sia bersiap siaga kembali menghadapi segala kemungkinan. Dia sadar bahwa lawannya memiliki ilmu yang dahsyat. Meskipun Cuo-mo-ciang merupakan ilmu yang mentakjubkan, namun kemenangan-kemenangannya tadi lebih banyak disebabkan oleh faktor keberuntungan! Mendadak pemuda itu bergetar dengan hebat. Perasaan ngeri tiba-tiba mencekam hatinya. Dia melihat bola mata lawannya seolah-olah mengeluarkan sinar cahaya kemerahan, bagaikan mata iblis yang hendak membakar dirinya.

   "Kami bertiga adalah utusan Iblis Neraka. kau menyerahlah!" Tiba-tiba Hek-kwi menggeram dengan suara berat seakan-akan suaranya itu datang dari liang kubur. Getaran magis seperti membelenggu jiwa dan pikiran Chin Tong Sia. Sekejap kesadaran pemuda itu terusik.

   "B-ba-baik, a-aku... Mmm-menyerah!" Tak terasa bibirnya bergetar.

   "Bagus! Nah, sekarang acungkan kedua lenganmu ke depan! Kami akan mengikatmu..." Hek-kui memberi perintah.

   "Ya-ya, eh-oh...? Apa pula ini? Kurang ajar!" Ternyata Chin Tong Sia cepat menyadari keadaannya. Lweekangnya yang sangat tinggi itu segera bertahan dan melawan gempuran kekuatan sihir tersebut. Dalam keadaan kaget pemuda itu menyerang Hek-kui! Kedua tangan yang teracung ke depan itu sekonyong-konyong berputar dan menyambar dada Hek-kui dengan jari-jari terbuka.

   "Wuuut...!" Seperti bermain sulap, jari tangan itu sudah menyentuh pakaian Hek-kui.

   "Aaaaaaaa...??" Hek-kui menjerit ketika kain bajunya yang tersentuh jari Chin Tong Sia itu hancur berkeping-keping.

   "Kurang ajar! Bocah ini memang pantas dibunuh!"

   Si Hantu Hitam Hek-kui memberi aba-aba dan mereka berpencar mengelilingi Chin Tong Sia. Mereka dalam keadaan siaga penuh, sehingga Chin Tong Sia tidak berani sembarangan menyerang salah seorang dari mereka. Begitu dia berani menerjang salah seorang dari mereka, maka yang lain akan segera menggempur dirinya habis-habisan. Dan hal itu sangat berbahaya sekali. Chin Tong Sia tetap saja menunggu, ketika lawannya berputaran di sekelilingnya. Semakin lama langkah mereka semakin cepat. Namun ketika Chin Tong Sia mulai bersiap hendak menyerang, langkah mereka tiba-tiba berubah pelan. Semakin pelan. Namun sejalan dengan itu, Chin Tong Sia merasakan adanya perubahan yang mengejutkan. Ototnya terasa kaku dan berat untuk bergerak. Sementara udara terasa semakin tebal dan kental, sehingga paru-parunya terasa sulit untuk bernapas.

   "Gila! Ilmu apa lagi, nih?" Chin Tong Sia terkesiap. Pemuda itu bergegas mengerahkan lweekangnya untuk melawan pengaruh ilmu silat lawannya yang aneh itu. Sambil menghentakkan tenaga saktinya, Chin Tong Sia menerjang Hek-kui yang berada di depannya. Kedua tangannya mendorong dengan kekuatan penuh.

   "Whhhuuuuuuaaas!" Dalam keadaan biasa dorongan tangan Chin Tong Sia yang penuh tenaga sakti itu akan dapat merubuhkan seekor kerbau jantan. Tapi dalam pengaruh ilmu yang aneh dari ketiga lawannya itu, ternyata kekuatannya menjadi hambar. Kekuatan yang dahsyat itu seperti tertahan oleh kepadatan udara yang berputar di sekelilingnya. Tentu saja Hek-kui mengelak dengan mudah. Bahkan Hantu Hitam itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk menambah kekuatan ilmu mereka. Chin Tong Sia semakin sulit bergerak. Pemuda itu seperti berenang dalam lumpur yang kenyal. Dan dalam keadaan yang sulit itu tiba-tiba matanya terbelalak. Dilihatnya kepala Hek-kui, Ci-kui dan Ui-kui berubah menjadi kepala singa yang menakutkan.

   "Ah, aku tidak boleh terpengaruh. Mereka cuma menciptakan bentuk-bentuk semu. Tidak mungkin seorang manusia berkepala singa. Mereka hanya mau mengelabuhi penglihatanku. Mereka ingin mempengaruhi perasaanku." Sambil bertempur Chin Tong Sia mencoba melawan pengaruh aneh itu dengan segala kemampuannya. Tetapi semakin dilawan, pengaruh aneh itu menjadi semakin kuat mencekam pikiran dan perasaannya. Bahkan ia semakin menjadi bingung pula ketika lawannya mulai berputar mengelilinginya. Ketiga orang berkepala singa itu tiba-tiba menjadi banyak sekali. Mereka berputaran di sekitarnya.

   

Memburu Iblis Eps 9 Memburu Iblis Eps 17 Memburu Iblis Eps 29

Cari Blog Ini