Memburu Iblis 9
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 9
"Laut Timur lebih dari seribu lie jauhnya dari kota Soh-ciu. Sedangkan kita tadi rasanya belum lebih dari sepuluh lie dihanyutkan air. Jadi kita ini masih berada di daerah Kang Lam juga. Cuma tepatnya dimana, aku tak tahu..."
"Sepuluh lie dari Soh-ciu...? Ah, kalau begitu kita ini kira-kira berada di bawah lahan pertanian orang-orang suku Wei itu, koko? sepuluh lie sebelah timur kota Soh-ciu adalah daerah orang-orang suku Wei," tukas Tui Lan agak bersemangat.
"Mungkin juga. Siapa tahu kita sekarang berada di bawah perkampungan suku Wei itu malah?" Liu Yang Kun menyahut sambil tersenyum. Tui Lan juga tersenyum mendengar kelakar itu. Berkurang ketegangan dan ketakutan yang mengeram di dalam hatinya. Tapi perutnya sebaliknya lantas terasa lapar sekarang. Liu Yang Kun mendengar juga suara berkeruyuk di dalam perut isterinya itu.
"Kau lapar? Baiklah...! Kau tunggulah di sini! Ikatkan tali yang membelit pinggangmu itu ke batu karang! Aku akan mencari ikan di bawah sana, sekalian menyelidiki gua ini. Nah! Aku pergi dulu. Kau jangan kemana mana!" perintahnya kepada isterinya.
"Koko, hati hati...!" pesan wanita itu bersungguh-sungguh.
"Jangan khawatir! Dengan pek-houw ciang tidak sukar bagiku untuk menuruni langit-langit gua ini." Liu Yang Kun lalu mengerahkan seluruh tenaga sakti Liong-cu i-kangnya, sehingga matanya seolah-olah menyala di dalam kegelapan. Lalu seperti seekor ular yang menjalar ia merayap turun ke dasar gua itu. Dan semakin ke bawah, dinding gua itu semakin licin akibat percikan air terjun yang bertebaran kemana-mana.
(Lanjut ke Jilid 09)
Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 09
"Sungguh menakutkan!" sesampainya di bawah Liu Yang Kun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdesah ngeri. Matanya memandang lobang kecil di atas langit-langit dimana isterinya tadi berada.
Lalu matanya menurutkan aliran air terjun yang jatuh ke dalam kedung atau sumur luas di dasar gua itu, sebelum akhirnya "tumpah" ke sungai yang mengalir di lorong gua itu. Liu Yang Kun lalu melangkah mengikuti aliran sungai itu, yang menerobos lorong gua gelap yang panjang seolah-olah tak berujung. Dan kali ini sungai itu tidak sebesar atau selebar sungai yang ada di dalam guanya itu. Sungai itu hanya selebar sembilan atau sepuluh tombak saja, sehingga tepian sungai di seberang kelihatan dari tempatnya, walaupun hanya remang-remang. Ternyata suasana di dalam gua itu agak berbeda dengan gua dimana ia tinggal dulu. Di sini tampak lebih hidup dan lebih lapang udaranya. Tentu ada lobang-lobang udara, walau sangat kecil sekalipun, yang menghubungkan gua itu dengan permukaan tanah.
Di tepian sungai itu Liu Yang Kun banyak menjumpai jamur-jamur atau lumut-lumut yang beraneka warna. Dan rata-rata tumbuh-tumbuhan itu tampak bercahaya di dalam kegelapan. Ada yang bersinar kebiru-biruan, kemerah-merahan, kekuning-kuningan atau kehijauan. Sehingga dari jauh tumbuh-tumbuhan itu tampak indah, tapi juga sangat menakutkan. Rasanya di dalam kegelapan itu banyak mata setan dan hantu yang sedang mengintai. Untunglah dengan Liong-cu-i kangnya yang maha dahsyat itu mata Liu Yang Kun mampu menembus kegelapan bagaikan mata kucing di malam hari, sehingga dengan mudah ia mengetahui bahwa cahaya-cahaya yang gemerlapan itu tidak lain hanyalah daun-daun jamur saja. Lapat-lapat Liu Yang Kun mencium bau amis pula, sehingga tiba-tiba ia teringat akan perut isterinya yang lapar.
"Ah, benar. Aku harus berburu ikan dulu..." katanya kepada dirinya sendiri.
"Sungai ini tentu banyak ikannya, karena telah kucium baunya yang amis." Tapi bukan main herannya pemuda itu! Telah satu lie lebih ia menyusuri anak sungai tersebut, namun tak seekor ikanpun yang dapat ditangkapnya. Memang banyak ikan yang dijumpainya, tapi tak seekorpun yang layak ia tangkap. Semuanya masih kecil-kecil. Paling besar hanya sama dengan ibu jari tangannya, sehingga tidak sampai hati pemuda itu mengambilnya.
"Heran! Apakah ikan-ikan itu tahu kalau hendak kutangkap, sehingga mereka buru-buru bersembunyi ke dalam lobang perlindungannya?" Liu Yang Kun mengeluh. Karena ingin mencarikan makanan bagi isterinya, maka Liu Yang Kun nekad meneruskan langkahnya. Kadang-kadang ia menyusuri tepian sungai, tapi sering kali ia juga terpaksa berlompatan di atas batu-batu yang berserakan di antara air sungai itu pula. Namun sampai dua lie lagi jauhnya ia tetap belum menjumpai ikan yang patut ia ambil. Terpaksa karena tak ingin mencemaskan hati isterinya, ia pulang lagi seraya menangkap belasan ekor ikan ikan kecil tersebut.
"Lumayan buat pengisi perut..." gumamnya perlahan.
"Kokooooooooo...!" Tiba-tiba telinga Liu Yang Kun seperti mendengar lapat-lapat suara jeritan isterinya. Pemuda itu lalu berhenti dan memasang telinganya baik-baik. Otomatis urat-urat di seluruh tubuhnya menegang. Liong-cu i-kang mengalir dengan sendirinya.
"Kokooooooo... oh!" sekali lagi terdengar suara jeritan Tui Lan bergaung dan menggema di dalam lorong gua itu. Kontan ikan yang dipegang oleh pemuda itu dibuang begitu saja. Dan dengan Bu-eng hwe-teng yang telah dikuasainya pemuda itu melesat kembali ke tempat isterinya. Tubuhnya melayang demikian cepatnya, sehingga sepintas lalu seperti seekor kelelawar yang terbang melayang-layang di dalam kegelapan. Sebentar saja pemuda itu telah tiba di pinggir air terjun itu kembali. Namun kedatangannya segera disambut oleh desis kemarahan seekor ular raksasa, yang kelihatannya sedang penasaran karena tak bisa meraih tubuh Tui Lan yang berada di langit-langit gua itu.
Ular itu hampir sepaha orang besarnya. Warnanya hijau kehitaman, dengan sisiknya yang besar-besar dan tampak keras sekali. Panjangnya mungkin lebih dari sepuluh tombak, sementara kepalanya juga hampir sebesar buah kelapa muda pula. Ular itu menggeliat dan meronta kesana-kemari. Mengaduk dan berkubang di dalam air kedung itu, kemudian sesekali kepalanya yang menganga itu meluncur ke atas, melawan arus air terjun untuk meraih Tui Lan. Namun segala usahanya selalu gagal. Lobang air terjun Itu terlalu tinggi baginya. Air kedung tampak berhamburan kemana-mana. Sementara bau amis yang sangat luar biasa tercium dengan amat kuatnya, sehingga Liu Yang Kun menjadi pusing karenanya. Tapi dengan sekuat tenaga pemuda itu bertahan agar tidak menjadi pingsan oleh bau amis tersebut.
"Lan-moi...???" pemuda itu berteriak memanggil isterinya. Tak ada jawaban.
"Lan-moiii...!?" sekali lagi Liu Yang Kun berseru. Tidak ada jawaban pula. Sebaliknya ular raksasa itu justru mendengar teriakannya malah! Sambil berdesis dan menyemburkan uap kehijauan dari dalam mulutnya, ular itu berbalik menyerang Liu Yang Kun! Taringnya yang besar lancip itu menyambar dengan gesitnya.
"Whuuuuuuuuuuuss...!" Bau amis yang amat memuakkan meniup ke arah Liu Yang Kun, membuat pemuda itu hampir muntah karenanya.
"Oouuuhh...! Tak kusangka tempat ini ada penunggunya.Makanya sungai itu tak ada ikannya. Hmmh, aku berani bertaruh ular ini tentu sangat beracun sekali.
Hanya karena aku sendiri juga beracun, maka racunnya tak kuasa membunuh aku. Coba kalau orang lain yang datang kesini. Menginjak lantai gua atau terkena percikan air kedung itupun kukira sudah akan menjadi mayat akibatnya." Liu Yang Kun bergumam sambil mengelakkan serangan ular itu. Namun saat-saat selanjutnya Liu Yang Kun tak bisa mengelak terus-menerus. Ular yang sudah menjadi marah itu berdesis panjang dan menyemburkan uap beracun semakin banyak. Ekornya yang sangat kuat sebesar lengan orang dewasa itu menyambar kian kemari, sementara air kedung itu bagai diaduk dan dihamburkan ke segala penjuru. Sebaliknya, Liu Yang Kun yang sangat cemas akan keadaan Tui Lan itu juga mengerahkan segala kemampuannya. Tiba-tiba kulit tubuhnya yang telanjang itu berubah menjadi kekuning-kuningan pula. Tampak licin dan beracun!
Sementara bibirnya juga mengeluarkan suara berdesis pula yang tak kalah dahsyatnya. Matanya juga mencorong di kegelapan itu, menyaingi mata ular tersebut. Dan tenaganya yang telah terisi dengan Liong-cu i-kang itu benar-benar sangat mengerikan dipandang mata. Meskipun demikian ular raksasa itu ternyata juga sangat alot kulitnya dan sangat dahsyat pula tenaganya. Ketika sekali waktu Liu Yang Kun tak mampu lagi mengelakkan sabetan ekornya, sehingga pemuda itu terpaksa menangkisnya dengan pukulan Pat-hong-sin-ciangnya yang maha hebat, maka sebuah letupan nyaring yang mengatasi bisingnya air terjun terdengar sangat memekakkan telinga. Liu Yang Kun terlempar menabrak dinding gua, sehingga beberapa potong batu tampak terlepas dari tempatnya. Namun sebaliknya, ular raksasa itupun tampaknya juga menderita pula oleh pukulan Liu Yang Kun.
Ular itu mendesis-desis seraya menggeliat kesana-kemari seperti orang kesakitan. Malahan dari mulutnya tampak menetes pula air liurnya. Liu Yang Kun ingin menggunakan kesempatan itu untuk menengok isterinya. Dengan tangkas kakinya meloncat mengerahkan Bu-eng Hwe-tengnya. Sekali loncat ia bermaksud mencapai dinding gua yang tertinggi, untuk kemudian dengan Pek-houw-ciangnya dia mau merayap ke tempat isterinya berada. Tapi ular raksasa yang kesakitan itu tampaknya telah benar-benar marah. Dengan ngawur ular itu menyabetkan ekornya kesana-kemari. Dan secara kebetulan memotong jalur yang hendak dilalui Liu Yang Kun malah! Maka tak dapat dielakkan lagi mereka terpaksa mengadu kekuatan lagi! Dan kali ini Liu Yang Kun mempergunakan kedua belah kepalannya.
"Dhiiiiegh!!" Ular raksasa itu seperti mengeluarkan suara kesakitan. Nadanya seperti suara seekor ayam jantan yang sedang disembelih. Sementara di lain pihak juga terdengar suara keluhan tertahan pula dari mulut Liu Yang Kun. Pemuda itu terlempar ke tengah-tengah gua dan... tercebur ke dalam 'kubangan ular" yang sangat dalam itu! Air yang sedang bergejolak dan berdebur dengan hebat itu tentu saja sangat menyulitkan Liu Yang Kun untuk berenang.
Tubuh pemuda itu segera terayun kesana-kemari dipermainkan oleh air. Padahal moncong ular raksasa telah memburunya pula. Maka tiada jalan lain lagi bagi Liu Yang Kun selain mencari pegangan pada tubuh ular itu sendiri. Sebab kalau tidak demikian ia tentu akan tenggelam ke dasar kedung tersebut. Atau lebih celaka lagi, tubuhnya akan segera disantap oleh moncong ular raksasa itu! Demikianlah, sekenanya pemuda itu meraih tubuh ular itu. Dan ternyata ia mendapatkan bagian perut yang bersisik besar-besar dan kuat. Lalu sambil menahan napas pemuda itu memeluk dengan kuatnya sehingga ular itu merasa kesakitan dibuatnya. Akibatnya ular itu lantas meronta dan menggeliat semakin hebat, hingga Liu Yang Kun terpaksa timbul tenggelam di dalam air, menurutkan gerakan ular raksasa tersebut.
Dan sesekali ia menghantam tubuh ular itu sekuat tenaganya. Namun ular raksasa itu memang sangat kuat dan tangguh luar biasa. Pukulan Liu Yang Kun yang dapat menghancurkan batu karang itu ternyata tak bisa berbuat banyak terhadap kulit ular itu. Ular tersebut hanya merasa kesakitan saja, lain tidak! Dan ular yang marah itu berusaha membelit dan menggigit tubuh Liu Yang Kun. Tapi dengan ilmu Kim-coa ih-hoatnya yang hebat, Liu Yang Kun selalu bisa meloloskan dirinya. Ternyata dengan ilmu tersebut tubuh Liu Yang Kun tak bedanya dengan tubuh lawannya. Sama-sama liat, lentur dan licin luar biasa, dengan demikian pertempuran itu benar-benar menjadi ramai bukan main.
"Bagaimana aku harus membunuhnya? Pukulanku yang penuh lweekang itu tak dirasakannya sama sekali. Senjata aku tak punya..." pemuda itu berpikir keras. Liu Yang Kun mencoba memukul kepala lawannya. Tapi tak pernah mengenainya. Hal itu ternyata sangat sulit lakukan. Selain ia sendiri selalu terombang-ambing kesana-kemari, kepala ular tersebut juga luar biasa gesitnya, sehingga pukulannya selalu meleset.
"Gila! Apa akal...? Sebentar lagi aku tentu akan kehabisan napas," pemuda itu menggeram cemas. Tiba-tiba pemuda itu memperoleh akal.
"Ah! Kata orang kelemahan ular itu ada pada kepalanya. Kalau aku bisa merayapi tubuhnya ini sampai ke atas kemudian menghajar matanya, hmm"" katanya gembira.
Kemudian pemuda itu me laksanakan niatnya. Sedikit demi sedikit ia merayap ke atas, mendekati kepala ular itu. Namun niatnya tersebut ternyata tidak mudah dilakukan. Selain selalu bergerak kesana-kemari, kulit ular itu benar-benar licin sekali. Belum sabetan ekor dan patukan gigi taringnya yang sangat berbahaya itu! Be lum pula semburan asap hijaunya yang amat beracun itu! Akhirnya, meskipun sangat sulit dan harus mengerahkan segala kemampuannya, pemuda itu dapat juga mencapai kepala binatang tersebut. Tapi untuk itu Liu Yang Kun juga harus menderita luka di beberapa bagian tubuhnya. Punggung dan pahanya sobek akibat sabetan ekor ular tersebut, padahal pemuda itu juga telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Belum barut-barut di bagian tubuhnya yang lain akibat bergesekan dengan batu-batu atau dinding gua yang tajam. Kini binatang itu tidak bisa mengigit atau menyerang Liu Yang Kun dengan mulut atau taringnya. Sebaliknya pemuda itu dengan mudah menghantam atau menendang mulutnya. Mula-mula Liu Yang Kun menjejak taring ular itu dengan tumit sepatunya sehingga taring binatang itu patah dan mengucurkan darah yang banyak. Lalu ketika binatang yang kesakitan itu berusaha membalasnya dengan sabetan ekornya Liu Yang Kun segera mengelak seraya mencocok kedua mata ular tersebut dengan jarinya.
"Croooot...!" Kedua biji mata ular itu pecah dan menyemburkan darah pula! Namun betapa terkejutnya Liu Yang Kun, ketika dalam kesakitannya ular raksasa tersebut secara mendadak membenamkan kepalanya ke dalam air.
"Celaka...!" Liu Yang Kun berteriak tertahan, tapi tangannya tak berani melepaskan pelukannya. Takut terbenam. Sebaliknya pemuda itu berharap agar ular itu lekas lekas mengangkat kepalanya kembali. Tapi harapan itu tampaknya sia sia. Ular yang kesakitan itu kelihatannya lebih suka membenamkan dirinya dari pada berada di atas permukaan air. Liu Yang Kun menjadi gelisah dan cemas sekali. Di dalam kecemasannya pemuda itu menggigit sekenanya di bagian kepala ular itu, dengan harapan ular itu akan meronta-ronta dan membawanya kembali ke permukaan air.
Tak sengaja Liu Yang Kun menggigit daging pipih di atas kepala ular itu. Darah segera membanjir keluar memenuhi mulutnya. Karena tak bisa bernapas, ia terpaksa menelan saja darah yang membanjir ke dalam mulutnya itu. Demikian banyak darah yang ia telan sehingga perutnya menjadi kembung. Tapi ketidak-sengajaannya itu ternyata telah membawa hasil baik. Tiba-tiba saja ular raksasa itu menjadi lemas dan tak bisa berkutik. Agaknya memang daging pipih itulah letak kelemahannya. Sekali saja ular raksasa itu meronta. Kepalanya dihentakkan kuat-kuat, sehingga terlempar ke permukaan air, dan untuk selanjutnya terbanting ke lantai gua dalam keadaan tewas. Liu Yang Kun cepat meloncat turun dengan napas lega. Dengan dada terengah-engah ia memandang ular raksasa yang telah mati.
"Kurang ajar! Hampir saja aku mati kehabisan napas. Hmmh... aduh!"
Tiba-tiba pemuda itu mencengkeram perutnya sendiri. Wajahnya menunjukkan rasa kesakitan yang hebat. Saking hebatnya pemuda itu tak kuasa untuk berdiri lagi. Ia berguling-guling di lantai gua. Keringat membanjir keluar dari badannya bercampur dengan air kedung yang telah membasahinya. Warna kulitnya yang kekuning-kuningan itu mendadak berubah menjadi kehijauan seperti warna kulit ular tadi. Dan badannya yang dingin itu mendadak juga berubah menjadi panas tak terkira. Begitu panasnya sehingga air dan keringat yang mengalir di atas kulitnya itu menguap dan menjadi kering karenanya. Di dalam kegelisahan pemuda itu mengerahkan Liong-cu-l-kangnya yang bersifat dingin untuk melawan rasa panas tersebut. Namun sekali lagi pemuda itu menjadi kaget bukan kepalang. Tiba tiba saja badannya yang panas itu berubah menjadi dingin dengan mendadak.
Begitu dinginnya sehingga giginya saling beradu satu sama lain, sementara tubuhnya sampai menggigil dengan hebatnya. Akhirnya Liu Yang Kun tak tahan menanggungnya. Seluruh sendi-sendi tubuhnya terasa kaku dan sukar digerakkan lagi, sehingga rubuhnya menjadi kaku dan sakit bukan ma in. Karena tak bisa bertahan lagi maka akhirnya ia menjadi pingsan. Anehnya, begitu ia pingsan, serangan hawa dingin itupun lantas menghilang pula. Ternyata Tui Lan yang berada di mulut air terjun itu juga pingsan pula seperti halnya suaminya. Saking ngeri dan takutnya tadi, Tui Lan menjadi pingsan di atas batu tersebut. Dan sekarang setelah pertempuran antara suaminya dengan ular raksasa itu selesai ia s iuman kembali. Namun ketika ia melongok ke bawah, serentak mulutnya menjerit!
"Kokoooooo...???!" pekiknya kuat-kuat, lalu melompat ke bawah begitu saja. Melihat suaminya menggeletak mandi darah, sementara didekatnya tergolek tubuh ular raksasa yang amat menakutkannya itu, kontan Tui Lan lupa segala-galanya, lupa kepada keselamatannya sendiri. Lupa bahwa langit-langit gua itu sangat tinggi. Dan lupa bahwa ia bisa mati bila ia nanti salah mendaratkan tubuhnya. Yang ada di dalam pikiran dan hati wanita itu hanyalah keadaan Liu Yang Kun, suaminya.
"Byuuuuuuuuur...!" Tubuh Tui Lan jatuh persis dalam kedung itu. Airpun lantas muncrat tinggi ke udara. Dan tubuh wanita itupun lantas menghilang ditelan air yang dalam. Namun beberapa saat kemudian tubuh itu kembali muncul pula ke pemukaan air, lalu bergegas berenang ke tepian. Begitu keluar dari dalam air, wanita itu buru-buru berlari ke tempat suaminya menggeletak. Sekilas matanya melirik ke arah ular yang telah mati itu.
"Kokooo...!" jeritnya keras seraya menubruk tubuh suaminya yang terbujur dingin dan kaku itu.
"Jangan tinggalkan aku! Akupun tak mau hidup tanpa engkau...!" Untuk kedua kalinya wanita itu pingsan kembali. Tapi sekarang bukan disebabkan karena ketakutannya terhadap ular raksasa itu, tapi disebabkan karena kecemasan dan kegelisahannya melihat suaminya terbaring diam di lantai gua seakan-akan telah mati itu. Dan entah berapa lamanya mereka pingsan itu. Ketika Liu Yang Kun siuman lebih dahulu, ia menjadi kaget sekali menyaksikan isterinya telah berada di atas dadanya. Pingsan lagi!
"Hei! Lan-moi, bangunlah... Kau kenapakah?" pemuda itu berdesah gugup seraya mengguncang-guncang isterinya.
"Uuuuh?" Tui Lan mengeluh menggeliat, kemudian membuka matanya. Tiba-tiba ia tersentak bangun. Mulutnya menjerit ketakutan,
"Koko, jangan tinggalkan aku...!" Liu Yang Kun cepat memeluknya. Pemuda itu tahu bahwa isterinya belum sadar betul. Pikiran isterinya itu masih dipenuhi bayang-bayang mengerikan itu.
"Lan-moi... Jangan takut! Aku tidak apa-apa. Lihatlah...!" bujuknya perlahan. Tui Lan menatap suaminya. Air matanya meleleh turun, membasahi pipinya. Lalu dengan perasaan gembira dan bahagia bukan main ia memeluk Liu Yang Kun.
"Koko...!" jeritnya lirih. Liu Yang Kun sangat terharu. Dipeluknya kepala mungil itu, dan diciuminya rambutnya.
"Tenanglah, moi-moi! kita berdua selamat tak kurang suatu apa. Hmmmh, bagaimana kau turun dari atas tadi? Merayap seperti aku pula?" Kepala mungil itu menggeleng didalam pelukan suaminya.
"Lhoh...? Lalu bagaimana kau melakukannya?" Liu Yang Kun bertanya heran.
"Aku... aku terjun ke dalam kedung itu." Tui Lan menjawab dengan muka merah.
"Terjun...? Kenapa kau lakukan itu? Bukankah itu sangat berbahaya sekali? Bagaimanakah kalau airnya dangkal? Kakimu bisa patah, bukan?"
"Aku sudah tidak peduli lagi! Melihat kau menggeletak mandi darah, aku pun lantas tak memikirkan nyawaku lagi..." Tui Lan menjawab pula seraya menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Liu Yang Kun tercengang. Sekejap ia tak bisa berkata apa-apa. Hatinya sungguh sangat terharu mendengar ucapan isterinya itu.
"Ah, betapa besar perhatianmu kepadaku..." akhirnya ia berbisik sambil membelai rambut Tui Lan. Mereka lalu berdiam diri pula untuk beberapa saat lamanya. Masing-masing merasakan betapa dalamnya cinta kasih mereka. Mereka baru melepaskan pelukan mereka, ketika secara tak sengaja Tui Lan meraba luka di punggung Liu Yang Kun.
"Oh, lukamu...?" desah wanita itu cemas.
"Ah... tak apa-apa. Sebentar juga akan sembuh sendiri." Liu Yang Kun menenangkan hati isterinya.
"Tapi... hei? Ulaaaaar...!" tiba-tiba Tui Lan menjerit kaget. Jari telunjuknya teracung ke arah belakang suaminya. Liu Yang Kun cepat membalikkan tubuhnya. Dan matanya segera terbelalak lebar. Di belakangnya tampak belasan ekor ular, besar dan kecil, berbaris berjejer-jejer menghadap ke arahnya. Tidak cuma itu saja. Ternyata di kanan kiri mereka juga banyak pula yang lain. Dan ketika mereka memandang lebih teliti lagi agak jauh dari barisan pertama ternyata masih ada beberapa lapis barisan pula lagi. Begitu banyaknya ular itu, sehingga rasa-rasanya semua ular di dunia ini telah berkumpul semuanya di gua itu.
"Ah! Ini... eh, dari mana datangnya ular sebanyak ini?" Liu Yang Kun agak gugup juga melihat ular sebanyak itu. Memang sungguh mengherankan sekali. Ular itu berbaris dengan rapi. bersap-sap banyaknya, dan ratusan pula jumlahnya.
Namun demikian tak seekorpun diantara mereka yang bergerak keluar dari barisan mereka. Mereka tampak sangat jinak sekali. Malahan tampak ketakutan sekali malah. Seperti para pesakitan yang sedang berkumpul menunggu keputusan hukumannya. Karena ular-ular itu tampaknya memang tak bermaksud jelek kepada mereka, maka Tui Lan dan Liu Yang Kun menjadi tenang juga akhirnya. Dicobanya bergerak mendekati mereka. Dan keduanya jadi tercengang. Ular-ular itu segera menyibak, meskipun masih tetap dalam barisan masing-masing. Dan ketika Liu Yang Kun mencoba lebih jauh lagi menerobos ke dalam barisan itu, ternyata ular-ular itu juga terus menyibak pula. Ular-ular itu benar-benar amat patuh dan takut kepada mereka berdua. Tanpa terasa Liu Yang Kun saling berpandangan dengan isterinya.
"Heran. Ada apa sebenarnya? Mengapa mereka sangat takut sekali kepada kita...?" Liu Yang Kun bertanya kepada isterinya. Tapi Tui Lan juga menggelengkan kepalanya.
"Entahlah, koko... akupun tidak mengerti. Apakah... karena kau telah membunuh ular raksasa itu? Eh, benar!" Tiba-tiba Tui Lan seperti ingat akan sesuatu hal.
"Ada apa, Lan-moi?"
"Ular raksasa itu!" Tui Lan menjawab singkat. Wajahnya berseri-seri.
"UIar raksasa...?" Liu Yang Kun mengulang ucapan isterinya dengan nada bingung.
"Ah, kau ini? Pelupa benar. Baru kemarin kita membacanya. Masa kau sudah lupa pula? Wah!" Tui Lan mengomel.
"Sudahlah! Jangan buat aku semakin bingung! Katakanlah lekas...!" Liu Yang Kun mendesak dengan suara penasaran pula. Matanya menatap isterinya semakin tidak mengerti. Tui Lan terpaksa tersenyum. Sekali lagi matanya memandang ke arah ratusan ular yang mengelilinginya itu. Lalu ia kembali menatap wajah suaminya lagi.
"Koko...! Masa kau sudah lupa pada keterangan di dalam buku Im-Yang Tok-keng itu? Menurut Giok-bin Tok-ong di daerah Kang Lam ini ada sebuah kerajaan ular, yang pusatnya berada di daerah tempat tinggal Suku Wei. Oleh karena itu, kalau kita sekarang memang benar-benar berada di bawah perkampungan orang-orang suku Wei itu, maka... disinilah letak pusat kerajaan itu. Dan ular raksasa yang telah kau bunuh itu tentulah Ceng-liong-ong (Raja Naga Hijau), raja dari segala macam ular ini..."
"Jadi...?"
"Yah! Karena kau telah membunuh rajanya, maka merekapun lalu takluk pula kepadamu. Untuk membuktikannya, cobalah kau memanggil dengan isyarat tangan kepada salah seekor dari ular-ular ini"!" Tui Lan menerangkan.
Liu Yang Kun menurut. Ia menunjuk seekor ular belang yang tampak berbahaya dan ganas di barisan nomer empat. Kemudian jari-jarinya ditarik dan menuding ke tanah di depan kakinya. Aneh! Tiba-tiba saja ular itu benar-benar bergerak meninggalkan barisannya. Dengan ragu-ragu dan takut-takut ular yang terkenal ganas itu menjalar mendekati suami-isteri itu, lalu tergolek diam di depan kaki Liu Yang Kun. Binatang itu seolah-olah menunggu perintah yang akan diucapkan oleh rajanya. Sekarang giliran Liu Yang Kun yang kebingungan malah! Pemuda itu merasa seperti sedang bermimpi dan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Matanya hanya menatap bengong ke arah ular belang itu. Tui Lan tersenyum saja melihat kebingungan suaminya itu. Ia menjadi terlalu gembira karena dugaannya tentang ular tersebut ternyata benar.
"Tak usah bingung, koko. Dia hanya seekor binatang. Kau diamkan pun dia takkan marah. Biarlah untuk sementara dia berada di situ."
"Ya..., tapi...??"
"Sudahlah! Marilah kita sekarang memeriksa bangkai Ceng-Iiong-ong itu saja. Kalau catatan Giok-bin Tok-ong itu benar, maka kita akan mendapatkan Po-tok-cu yang lain..." Tui Lan menyahut seraya menepuk punggung suaminya.
"Po-tok-cu yang lain?" Liu Yang Kun bertanya semakin tak mengerti.
"Ya! Marilah kita lihat!" Tui Lan menjawab, lalu menarik lengan suaminya.
"Di dalam bukunya Giok bin Tok-ong menulis bahwa ia pernah bertemu dan berkelahi dengan raja ular itu di perkampungan orang-orang Suku Wei. Dan Giok-bin Tok-ong berhasil membunuhnya serta mengambil mutiara pusaka yang ada dalam daging kepala ular itu. Namun orang-orang dari Suku Wei menyangsikan kalau ular raksasa yang dibunuh oleh Giok-bin Tok-ong tersebut Ceng liong ong, sebab menurut dongeng nenek-moyang, Raja Ular itu berwarna hijau kehitaman, bukan berwarna kekuningan seperti yang telah dibunuh oleh Giok-bin Tok-ong itu."
"Lalu...?"
"Tentu saja Giok-bin Tok-ong menjadi marah dan merasa dihina. Orang-orang Suku Wei yang tidak percaya kepadanya lalu dibunuhnya pula, kemudian pergi dari tempat itu."
"Ohhhh!" Liu Yang Kun berdesah mendengar kekejaman iblis tua itu.
"Tapi... melihat ular raksasa yang baru saja kau bunuh itu, aku lantas membenarkan kesangsian orang-orang suku Wei itu. Inilah raja ular Ceng-liong-ong yang sebenarnya..." Tui Lan berkata lagi.
"Lalu ular yang dibunuh oleh Giok-bin Tok-ong itu?"
"Mungkin betinanya...! Kau lihat Ceng-liong-ong itu tadi? Betapa ia kelihatan sangat marah dan berusaha meraih aku di lobang atap gua itu? Agaknya ia mencium Po-tok-cu betinanya yang ada di tanganku ini." Kedua suami-isteri itu telah berada di dekat bangkai ular raksasa itu. Hati hati Tui Lan meraba kepala ular tersebut. Ketika tangannya menyentuh daging pipih itu. Tiba-tiba ia menjadi kaget. Darah masih mengalir tak henti-hentinya dari luka akibat gigitan di tempat itu.
"Kau yang menggigitnya?" Tui Lan bertanya. Liu Yang mengangguk.
"Kau sungguh beruntung. Luka inilah yang membunuh ular raksasa ini. Di sini pulalah Po-tok-cu dari ular raksasa ini berada. Tanpa bisa melukai tempat ini engkau takkan dapat membunuhnya. Sebab di sinilah letak kelemahan jenis ular ini," wanita itu menerangkan. Dengan sangat hati-hati Tui Lan lalu menyobek daging pipih itu dan mencari mutiara pusakanya.
"Nah, betul bukan kataku? Lihatlah...!" katanya kemudian sambil memperlihatkan sebutir mutiara kecil yang baru saja ia keluarkan dari kepala ular itu. Liu Yang Kun cepat menerima 'mutiara' itu dan memandangnya dengan takjub. Mutiara itu bersinar gemerlapan di dalam kegelapan.
"Ah, bagaimana kau tahu tentang mutiara ini?" sambil menimang-nimang mutiara tersebut Liu Yang Kun bertanya kepada isterinya.
"Aku hanya menduganya saja. Ular yang usianya lebih dari se ratus tahun biasanya memiliki kristal seperti ini di dalam kantung racunnya. Kalau betinanya saja punya, apalagi yang jantan."
"Lalu... apa yang harus kita perbuat dengan benda ini?" Tui Lan tersenyum.
"Hei, mengapa bingung-bingung? Tentu saja benda itu menjadi milikmu. Itulah rejekimu...! Dan ini juga menjadi pertanda bahwa kita berdua memang berjodoh. Aku memiliki Po-tok-cu Betina, kau memiliki Po-tok-cu Jantan! Dan... ingat-ingatlah, kau sekarang adalah Raja Ular!"
"Hah? Maksudmu...?" Liu Yang Kun tersentak kaget.
"Lihatlah di sekeliling kita! Ular-ular itu sekarang sangat patuh kepadamu. Apa yang kau perintahkan, tentu akan mereka lakukan tanpa membantah sedikitpun. Apalagi dengan Po-tok-cu Jantan di tanganmu itu, mereka akan ketakutan setengah mati kepadamu."
"Ooooohh...!?"
"Coba kau perintahkan kepada mereka untuk bubar dan kembali ke tempat masing-masing!" Tui Lan berkata kepada suaminya. Karena sudah percaya se ratus persen kepada isterinya, maka Liu Yang Kun pun segera melakukan apa yang dikatakan isterinya itu. Dan memang betul juga, ular-ular itu segera beranjak pergi pula. Mereka meninggalkan tempat tersebut secara berurutan. Dari baris yang pertama atau yang terdepan, terus diikuti oleh baris yang kedua, ketiga dan seterusnya. Masing-masing barisan dipimpin oleh seekor ular besi yang tampaknya sangat ganas dan berwibawa. Akhirnya tempat tersebut menjadi sepi kembali. Ular-ular itu telah menyelinap pergi ke liang mereka masing masing.
"Tahulah aku sekarang, mengapa ada udara segar di dalam gua tertutup seperti ini. Ternyata banyak sekali liang-liang ular yang menembus ke permukaan tanah sana." Liu Yang Kun bergumam seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya! Dan kalau benar apa yang dituliskan Giok-bin Tok-ong di dalam bukunya, maka Ceng-liong-ong dan betinanya itu tentu punya jalan tersendiri pula untuk keluar ke atas tanah." Tui Lan mengiyakan perkataan suaminya.
"Tapi jalan itu tentu saja takkan cukup untuk manusia seperti kita. Salah-salah kita nanti malah terjebak di dalam lobang sempit, di mana kita tak bisa maju ataupun mundur lagi." Liu Yang Kun yang dapat menebak arah perkataan isterinya itu segera menyahut dengan suara ngeri.
"Ah...!" Tui Lan berdesah pula. Ngeri. Oleh karena itu ia segera mengalihkan pembicaraan mereka.
"Koko...! Bagaimana kalau kita mengambil kulit Ceng-liong-ong ini untuk baju kita! Hmm, dari pada telanjang begini?" katanya perlahan.
"Bagaimana kita harus mengeringkannya?"
"Mudah saja. Kita membikin obor lagi." sahut Tui Lan dengan cepat.
"Tapi kita sulit mencari ikan disini. Aku sudah tiga lie jauhnya menyusuri sungai ini, tapi tak seekor ikanpun yang layak kutangkap. Bagaimana kita harus membuat minyak itu?"
"Tiga lie? Oh...? Kau sudah berjalan tiga lie jauhnya? Begitu panjangnya lorong gua ini?" Tui Lan menegaskan dengan wajah terheran-heran.
"Ya, benar. Dalam jarak itupun gua ini belum buntu pula. Tampaknya masih jauh lagi malah."
"Dan siapa tahu ada pula lorong lorongnya yang menembus ke permukaan tanah?" Tui Lan menyambung dengan penuh harapan.
"Ya, siapa tahu...?" Liu Yang Kun berkata pula dengan suara gembira. Lalu sambungnya lagi.
"Namun demikian kita juga harus menyimpan kantong udara itu baik-baik. Siapa tahu pula kita masih harus menyelam lagi?" Tiba-tiba Tui Lan tersentak.
"Hah benar! Kantong itu masih kutinggalkan diatas sana ketika terjun tadi. Ohhh...!" Serunya khawatir.
"Jangan takut! Aku akan mengambilnya. Tunggulah sebentar disini!" suaminya bergegas menyahut. Demikianlah, hari itu mereka menguliti tubuh ular raksasa tersebut dengan pedang pendek Tui Lan. Tapi hampir saja mereka memperoleh kesulitan untuk memotong kulit ular itu, karena ternyata sisik-sisik ular tersebut benar-benar keras sekali. Pedang yang amat tajam itu sama sekali tak kuasa menembus atau mengirisnya. Terpaksa Liu Yang Kun merobeknya dari dalam, yaitu dari mulutnya. Lalu mengambil bagian lehernya, karena kulit di tempat itu sisiknya lembut, tipis dan amat kuat.
"Hei, koko! Ternyata daging ular ini banyak sekali lemaknya. Mengapa kita tidak membuat minyak dari lemak ini saja? Dan... sekaligus memakan dagingnya pula?" tiba-tiba Tui Lan berseru girang.
"Ah, kau benar. Mengapa tidak..?" Liu Yang Kun menyahut dengan gembira pula. Lalu dengan cekatan Liu Yang Kun membuat obor. Mula-mula diambilnya empat buah tulang rusuk ular raksasa dan dilobanginya. Kemudian diambilnya pula sepotong kain dari tali yang mereka pintal dari bekas-bekas pakaian mereka itu untuk sumbunya. Oleh karena belum ada apinya, maka Liu Yang Kun terpaksa menggosok-gosokkan lemak ular tersebut ke dinding gua untuk mendapatkan minyaknya.
"Wah... kita harus mengeringkan sumbunya terlebih dahulu. Kain itu masih basah terkena air tadi." Liu Yang Kun bergumam sendiri ketika sudah mendapatkan minyak yang agak lumayan banyaknya. Begitulah, akhirnya kedua orang suami-isteri itu dapat menyalakan untuk membakar daging dan mengeringkan kulit ular itu. Sehingga, keesokan harinya mereka bisa melanjutkan perjalanan mereka dengan penutup badan dari kulit ular itu pula. Malah Tui Lan sempat pula membawa beberapa potong daging untuk bekal mereka.
"Heran! Hari ini tubuhku terasa ringan dan nyaman luar biasa. Kenapa ya...?" sambil melangkah Liu Yang Kun berseru. Sebentar-sebentar kaki tangannya ia gerakkan ke kanan dan kiri seperti orang berolah raga. Tui Lan mengerling genit.
"Tentu saja. Habis sekarang tak pernah kambuh lagi penyakitnya," sahutnya cepat seraya tersenyum penuh arti. Wajah Liu Yang Kun menjadi kemerah-merahan. Namun demikian, dipandangnya juga air muka isterinya yang cantik itu dengan perasaan terima kasih.
"Ya. Karena sekarang sudah ada kau disampingku, maka penyakitku tak pernah kambuh lagi," katanya perlahan. Mereka berjalan terus menyusuri sungai itu. Kadang-kadang mereka mengerahkan juga Bu-eng Hwe-teng mereka,apabila lorong gua itu menjadi lapang atau datar. Tapi sering kali pula mereka harus berendam atau berenang di dalam air apabila sungai itu melalui lorong sempit. Namun demikian masih untung bagi mereka, karena permukaan air sungai tersebut tidak tertutup oleh langit-langit gua. Karena tidak dapat mengetahui siang atau malam, maka mereka hanya beristirahat jika sudah merasa lelah. Namun demikian setelah berhari-hari mereka menempuh perjalanan itu, mereka tidak juga melihat ujung dari lorong gua tersebut. Rasa-rasanya lorong itu memang takkan terputus sampai di Laut Timur nanti.
"Koko...! Sudah berapa jauhkah kita berjalan di dalam lorong ini? Rasanya aku sudah sangat lelah dan bosan melihat dinding-dinding batu ini," pada suatu hari Tui Lan mengeluh setelah hampir sebulan mereka menempuh perjalanan itu. Perut gadis itu sudah kelihatan menonjol ke depan, meskipun belum begitu besar. Mendengar keluhan itu Liu Yang Kun lalu memeluk isterinya. Dengan penuh kasih sayang dituntunnya wanita itu ke sebuah batu untuk beristirahat. Dan sekejap matanya melirik ke arah perut yang telah mulai membesar itu.
"Menurut perhitunganku, kita te lah berjalan hampir sebulan lamanya. Kalau dalam sehari rata-rata kita menempuh dua puluh atau tiga puluh lie, maka kita sudah berjalan kira-kira lima ratusan lie lebih jauhnya. Dan kalau perkiraanku itu benar, maka kita sudah mendekati Pegunungan Wu-yi atau Wu-yi-san. Sayangnya, di dalam tanah begini kita tak tahu, apakah kita lurus menuju ke arah timur atau berbelok ke arah utara atau selatan." pemuda itu memberi keterangan kepada isterinya.
"Pegunungan Wu-yi? Ah, kalau begitu... masih berapa jauh lagi kita sampai di Laut Timur nanti?" Tui Lan bertanya tanpa semangat.
"Ah, moi-moi... bersabarlah! K ita sudah melalui saat-saat yang sulit berbulan-bulan lamanya. Lalu apa artinya waktu yang tinggal beberapa saat lagi ini...!" Liu Yang Kun berusaha membesarkan hati isterinya.
"Taruh kata perjalanan ini masih berlangsung sebulan lagi. Hmm... apa artinya sebulan itu bila dibandingkan dengan penderitaan kita yang berbulan-bulan itu? Apakah engkau hendak menyerah setelah tujuan berada di depan mata?"
"Koko, maafkanlah aku..." tiba-tiba Tui Lan berdesah seraya menubruk pangkuan suaminya.
"Tak apalah. Akupun bisa memahami perasaanmu. Kadang-kadang aku sendiri juga merasa bosan dan berputus asa pula. Tapi perasaan tersebut segera hilang bila kuingat kau dan anak kita. Nah, kau sudah tidak merasa lelah Iagi bukan? Marilah kita meneruskan perjalanan kita...!" Mereka saling berpandangan, beribu-ribu macam perkataan yang tak terucapkan di dalam pandangan itu, tapi mereka berdua seolah-olah telah saling mengerti dan memahami artinya, lalu sambil tersenyum dan saling bergandengan tangan mereka melangkah meneruskan perjalanan mereka.
"Koko... Agaknya benar juga dugaanmu itu. Tampaknya kita memang telah berada di bawah Pegunungan Wu-yi. Lihatlah! Dinding-dinding gua di sini telah bercampur dengan kapur, sehingga air yang menetes dari atas membentuk karang-karang lancip yang beraneka-warna. Sungguh indah sekali!" Liu Yang Kun menjadi lega melihat kegembiraan isterinya. Di dalam hati ia memang mengakui bahwa perjalanan itu betul-betul sangat membosankan, sehingga lambat laun mereka menjadi jenuh juga.
"Kita beristirahat dulu di tempat ini? Rasanya tempat yang indah ini sangat cocok juga untuk berlatih silat. Maukah kau belajar Kim-liong Sin-kun sekarang?" Liu Yang Kun yang ingin menciptakan suasana baru itu berusaha memancing perhatian isterinya. Benar juga. Mendengar tawaran suaminya itu Tui Lan menjadi bersemangat kembali. Wajahnya tampak berseri-seri, sehingga kecantikannya menjadi semakin mempesonakan. Liu Yang Kun sampai melongo menyaksikannya.
"Moi-moi... kau sungguh cantik sekali!" ia memuji tak habis-habisnya. Tui Lan melengos manja.
"Ah, koko...! Bukankah engkau telah berhasil memilikinya?" Liu Yang Kun segera memeluknya.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar. Aku memang seorang lelaki yang amat beruntung..." Demikianlah, untuk beberapa lamanya mereka berhenti di tempat itu. Liu Yang Kun mengajari Kim-liong Sin-kun yang hebat itu kepada Tui Lan. Karena jurus-jurusnya banyak mempergunakan perisai mantel pusaka, maka Liu Yang Kun lalu menggunakan kulit ular mereka sebagai gantinya. Setelah merasa jenuh pula di tempat itu, maka merekapun lalu berlatih sambil meneruskan perjalanan mereka. Tui Lan memang seorang wanita yang amat cerdas sehingga apa yang diberi oleh suaminya dengan cepat dipahami pula. Sejurus demi sejurus ilmu Kim-liong Sin-kun warisan Bit-bo-ong almarhum itu ditekuninya. Melalui petunjuk suaminya, yang telah lebih dahulu memahami ilmu tersebut, dia berusaha keras untuk mencernakannya di dalam dirinya.
"Koko, tampaknya ilmu ini sangat mengandalkan keampuhan mantel pusaka itu. Tanpa mantel itu ilmu Kim-liong sin-kun ini menjadi tidak begitu berguna lagi kelihatannya..." pada suatu hari Tui Lan mengatakan pendapatnya.
"Kau salah...!" Suaminya cepat menjawab.
"Tampaknya memang begitu. Tapi sebenarnya tidak. Anggapan seperti itu akan segera hilang bila kau telah benar-benar mendalaminya. Sebab sepintas lalu ilmu itu tampaknya memang selalu mengandalkan 'kekebalan' mantel pusaka itu. Namun bila kau telah meyakinkannya dengan sempurna, sehingga kau telah bisa mengambil intisari ilmunya, maka kau akan mengetahui bahwa seluruh gerakan di dalam ilmu tersebut hanyalah merupakan pelengkap saja dari keampuhannya. Karena inti dari ilmu tersebut sebenarnya bukan pada gerak lahiriahnya, namun pada... kekuatan batin pemiliknya!"
"Maksudmu...?" Tui Lan bertanya tak mengerti.
"Maksudku, di dalam puncak kesempurnaannya ilmu itu lebih bertumpu pada keampuhan batin yang dilandasi kekuatan tenaga sakti pemiliknya, dari pada kehebatan gerak jurusnya! Dan... begitu pula halnya dengan ilmu Bu-eng Hwe-teng dan Pat-hong Sin-ciang itu!" Liu Yang Kun meneruskan keterangannya. Tui Lan masih tetap melongo memandang suaminya. Dia tetap belum bisa menangkap maksud perkataan itu.
"Koko! Aku tetap belum mengerti. Katakanlah yang jelas! Jangan berteka-teki seperti itu...?" katanya penasaran. Liu Yang Kun mendekat, lalu merangkul pundak Tui Lan. Bibirnya tersenyum.
"Aku tidak berteka-teki, isteriku. Aku berkata apa adanya. Ilmu warisan Bit-bo-ong ini memang lain dari pada yang lain..."
"Dari mana kau tahu? Apakah dari dalam buku-buku itu juga? Tapi rasanya aku tak pernah melihat atau membacanya?" Tui Lan masih tetap ngotot dan penasaran.
"Bukan dari buku-buku itu. Dan bukan dari mana-mana pula. Aku mendapatkan pengertian itu dari hasil renunganku sendiri. Di dalam kegelapan, kesepian, kesunyian serta kejenuhan di dalam gua kita dulu, ternyata perasaanku menjadi bertambah peka. Ilmu Lin-cui-sui-hoat yang pernah kuceritakan dulu, rasa-rasanya menjadi bertambah terang di dalam hatiku. Aku lantas seperti mendapat petunjuk tentang rahasia dan inti-sari dari ilmu-ilmu warisan Bit-bo-ong tersebut. Dan agaknya... inilah bagian dari lembaran-lembaran yang disobek oleh Hoa-san Lojin itu."
"Koko... aku semakin tak mengerti kata-katamu." Tui Lan menyahut kesal dan hampir menangis.
"Marilah aku terangkan sekali lagi agar lebih jelas. Kau tadi mengatakan bahwa ilmu Kim liong Sin-kun itu terlalu mengandalkan mantel pusaka. Tanpa mantel itu ilmu Kim-liong Sin-kun menjadi berkurang kegunaannya. Begitu, bukan?"
"Ya!" Tui Lan menjawab seret.
"Nah! Itu anggapan yang salah! Itu berarti kau hanya memandang kulitnya saja. Kau tidak akan berkata demikian bila kau sudah benar-benar mendalami inti sari ilmu tersebut. Seperti telah kukatakan tadi, ilmu warisan Bit-bo-ong itu lebih bersifat batiniah dari pada lahiriahnya. Dalam puncak emampuannya ilmu itu akan bisa menguasai lawan tanpa menggerakkan jurus-jurusnya. Dalam puncak kesempurnaannya pemilik ilmu Kim-liong Sin-kun itu akan dapat menguasai pikiran dan batin lawannya, tanpa harus melakukan gerakan-gerakan jurusnya. Seperti halnya seorang ahli sihir yang sudah mahir, dia tidak perlu lagi menggerakkan mulut atau anggota badannya yang lain. Karena semua gerakan itu hanya dilakukan oleh tukang sihir rendahan untuk mengelabui lawan, sekaligus untuk mengumpulkan atau menumbuhkan konsentrasinya sendiri."
"Jadi...?" Tui Lan mendesak hampir tak percaya mendengar kehebatan ilmu yang dipelajarinya itu.
"Begitu pula halnya dengan ilmu warisan Bit-bo-ong tersebut. Inti dari pada ilmu itu juga terletak pada "kekuatan batin" pemiliknya. Sedangkan jurus-jurus yang kita pelajari itu hanya merupakan gerakan atau alat untuk membantu mengumpulkan konsentrasi kita saja, sekaligus juga untuk menjebak dan mengelabuhi lawan, sehingga lawan dapat kita kuasai jiwa raganya. Singkatnya, ilmu warisan Bit-bo-ong itu bertumpu pada kekuatan batin untuk menguasai lawan seperti halnya ilmu sihir yang sangat mengerikan itu. Itulah mungkin sebabnya Hoa-san Lojin mengingatkan bahwa ilmu itu sangat berbahaya..."
"Lalu... bagaimanakah dengan Bu-eng Hwe-teng itu?"
"Sama saja dengan kedua ilmu yang lain itu. Dengan kekuatan batin kita, kita akan dapat membuat tubuh kita jadi seringan kapas. Hembusan angin betapa lembutnyapun akan dapat menerbangkan tubuh kita seperti halnya daun kering yang tertiup angin."
"Demikian dahsyatnya...? Dan engkau...engkau sudah seperti itu pula?" Tui Lan berseru gagap. Tapi Liu Yang Kun cepat menggelengkan kepalanya.
"Belum. Aku belum sampai di sana. Namun aku telah melangkah ke tingkatan itu. Tunggu saja. Pada suatu saat aku tentu dapat mencapainya juga," katanya yakin.
"Bukan main! Koko... kau benar-benar hebat sekali!"
"Ah! Itu semua juga karena engkau pula..." Liu Yang Kun menghela napas seraya merangkul pundak isterinya. Matanya memancarkan rasa kasih yang tak terhingga.
"Dan... akupun percaya pula, moi-moi, kaupun akan bisa pula mencapai tingkatan itu."
"Tidak koko. Aku tak mungkin dapat mencapainya. Otakku tak sejernih pikiranmu. Perasaanku juga tidak setajam perasaanmu. Paling-paling aku hanya akan mengerti kulitnya saja. Aku cuma manusia biasa. Tidak mempunyai kelebihan-kelebihan seperti kau. Meskipun kau telah menjelaskannya secara panjang lebar tentang rahasia itu, namun aku tetap belum bisa melihatnya juga. Ibarat seorang yang tak tahu jalan telah kautunjukkan tujuanku, namun masih tetap tak tahu jalannya pula."
"Ah, belum tentu. Kau jangan buru-buru berkata demikian..." Tui Lan menarik napas panjang dan tidak menanggapi ucapan suaminya, sebaliknya dia segera bangun berdiri dan menuntut kepada Liu Yang Kun.
"Koko..! Maukah kau memperlihatkan kehebatan Kim-liong Sin kun itu kepadaku? Hmmm... maksudku, setelah ilmu itu menginjak ke tingkat yang kau ceritakan itu?"
"Baiklah...!" Liu Yang Kun terpaksa menyetujuinya.
"Kita sekalian berlatih pula, karena kedahsyatan ilmu itu hanya dapat dirasakan oleh orang yang sedang menghadapinya. Tapi karena kau belum begitu mahir dengan Kim-liong Sin-kun, sebaiknya kita menggunakan Pat-hong Sin-ciang saja. Bagaimana...?"
"Hanya dapat dirasakan oleh orang yang sedang menghadapinya? Mengapa begitu?" Tui Lan memotong.
"Hei? Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kedahsyatan ilmu warisan Bit-bo-ong itu terletak pada 'keampuhan batin" pemiliknya? Bagaimana orang lain akan dapat merasakannya bila dalam pertempuran itu yang kuserang dan kutuju hanya engkau saja?" Liu Yang Kun mengomel sambil tertawa.
"Oh... jadi orang lain tidak bisa merasakan keistimewaan dan kedahsyatan ilmu itu?"
"Benar. Orang lain hanya dapat melihat gerakan-gerakan dari jurus-jurus yang kukeluarkan saja. Mungkin mereka malah akan mencemoohkan jurus-jurus yang tidak ada keistimewaannya itu."
"Ooooohhh...!" Tui Lan berdesah sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hei? Kau jadi ingin melihat keampuhan Pat-hong Sin-ciang, tidak?" tiba-tiba Liu Yang Kun mengingatkan.
"Eh, ya... ya! Marilah...!" Tui Lan tersentak kaget. Keduanya lalu memasang kuda-kuda. Tui Lan yang sudah mahir dan menguasai Pat-hong Sin-ciang itu segera mengerahkan lweekangnya. Tenaga sakti Pat-hong-sinkangnya ia salurkan sepenuhnya ke seluruh tubuhnya. Kemudian sambil menggeram lirih ia menyerang suaminya. Tangan kanannya terjulur lurus ke depan dalam jurus Kai-thian-chuo-hong atau Membuka Langit Menangkap Angin, yaitu jurus ke delapan dari Pat-hong Sin-ciang.
"Bagus!" Liu Yang Kun berseru memuji. Pemuda itu cepat mengelak. Kakinya melangkah ke kiri, kemudian tubuhnya berputar ke depan, sehingga angin pukulan isterinya yang keras dan kuat itu lewat di sampingnya. Lalu dengan separuh tenaga ia balas menghantam punggung Tui Lan yang tak terlindung. Seperti yang dilakukan isterinya dia juga mempergunakan jurus Kai-thian-chuo-hong pula. Cuma pada gerakan yang terakhir ia segera menyusuli dengan jurus ke sembilan, yaitu Hoan-hong-pan-san atau Memindahkan Gunung Menukar Angin.
Demikianlah, untuk beberapa waktu lamanya Liu Yang Kun sengaja melayani isterinya tanpa mengerahkan "kekuatan batin" seperti yang dikatakannya itu. Ia memainkan jurus-jurus Pat-hong Sin-ciang dengan baik. Semakin lama semakin kuat dan gesit, sehingga Tui Lan terpaksa mengerahkan segala kemampuannya pula. Apalagi ketika ia mulai mengerahkan Bu-eng Hwe-teng serta tenaga sakti Liong-cu i-kangnya. Tui Lan mulai berkeringat dan bermandikan peluh. Akhirnya Tui Lan benar-benar kehabisan napas. Meskipun dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya, namun dia tetap tak bisa menandingi kekuatan Liong-cu i-kang yang seolah-olah tak terbatas itu. Padahal sebenarnya Liu Yang Kun belum mengeluarkan separuh dari tenaga sakti Liong-cu i-kangnya itu.
"Heh-heh...heh-heh, koko! Mengapa aku belum merasakannya juga? Manakah kekuatan batin yang Kau katakan itu? Heh-heh..." di dalam kelelahannya Tui Lan menegur suaminya. Liu Yang Kun tertawa seraya meloncat mundur. Namun ketika Tui Lan hendak mengejarnya, tiba-tiba tubuh pemuda itu telah melesat ke depan kembali. Hanya bedanya kali ini Tui Lan merasakan adanya hawa dingin yang sangat aneh menyusup ke dalam tulang sumsumnya. Malahan tidak Cuma itu saja. Tiba-tiba saja gadis itu merasakan perubahan yang aneh pula pada wajah suaminya. Mata itu mendadak seperti memiliki perbawa yang mengerikan dan menakutkan sehingga mendadak pula ia tak berani menatapnya. Selain itu secara tiba-tiba pula ia seperti kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Hatinya menjadi gemetar ketakutan.
Dan selanjutnya ia seperti tak kuasa untuk mengelakkan serangan suaminya. Telapak tangan itu berhenti hanya setengah dim saja dari dada Tui Lan. Sementara wanita itu seperti tertegun dan tak ada usaha untuk mengelak sama sekali. Dan wanita itu baru tergagap sadar dan melompat menghindar ketika suaminya menegurnya. Selanjutnya mereka lalu terlibat dalam pertempuran lagi. Namun hal itu ternyata tidak berlangsung lama pula. Bagaikan orang yang kehilangan akal tiba-tiba Tui Lan telah berbuat kesalahan lagi. Tanpa tahu sebab-sebabnya mendadak ia menjadi bingung dan lupa segalanya. Ia lupa kepada gerakan ilmu silatnya sendiri, sehingga ia menjadi bingung harus berbuat bagaimana untuk mengelakkan serangan suaminya. Maka sekali lagi jari-jari suaminya telah berhenti beberapa centi saja dari ubun-ubunnya.
"Nah, bagaimana moi-moi... Kau sudah mengaku kalah?" Liu Yang Kun menggoda seraya menarik tangannya.
"Eh...oh? Ini... ini..." seperti orang yang baru bangun dari tidurnya Tui Lan tergagap-gagap sambil mengawasi kedua tangan dan kakinya.
"Hmm, kenapa?" dengan tenang suaminya bertanya dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Eh, koko... tiba-tiba saja aku lupa pada ilmu silatku sendiri. Mengapa... mengapa aku ini?" Tui Lan berseru khawatir. Liu Yang Kun tersenyum memandang isterinya.
"Hmm, apakah yang kau rasakan tadi, moi-moi?" tanyanya.
"Entahlah. Tiba-tiba saja kau sangat menakutkan. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Tubuhku gemetar. Dan... dan aku menjadi tidak yakin atas kemampuanku sendiri. Aku menjadi... menjadi ketakutan. Lantas... lantas aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan..." bercerita Tui Lan dengan suara cemas.
"Hahaha...!" Liu Yang Kun tertawa.
"Koko! Mengapa kau malah mentertawakanku?" Tui Lan berseru mendongkol.
"Hei! Apakah kau belum merasakan juga?" Liu Yang Kun balik bertanya. Tui Lan tertegun.
"Maksudmu...kau telah mempergunakan 'kekuatan batin' itu?" desahnya hampir tak bersuara. Liu Yang Kun mengangguk.
"Ya, benar. Aku telah mengerahkan seluruh tenaga dalam melalui sorot mataku untuk menguasai jiwa dan semangatmu. Karena engkau tidak menyangka dan berjaga jaga sebelumnya, maka dengan mudah aku bisa menguasaimu," katanya dengan suara tenang.
"Ohh! Kalau begitu ilmu itu memang benar-benar mengerikan." Tui Lan berdesah dengan suara ngeri. Keduanya lalu berdiam diri. Masing-masing tenggelam di dalam lamunan mereka sendiri. Tapi beberapa saat kemudian Tui Lan menatap wajah suaminya.
"Hmm... ada apa, moi-moi?" Liu Yang Kun cepat bertanya kepada isterinya.
"Koko...! Dapat kubayangkan betapa dahsyat dan mengerikan orang yang bergelar Bit-bo-ong itu semasa hidupnya. Tapi, kalau iImunya demikian tinggi, mengapa ia sampai dikalahkan oleh Sin-kun Bu-tek almarhum?"
"Ah, tampaknya kau pernah mendengar pula cerita tentang tokoh-tokoh sakti yang hidup pada se ratus tahun yang lalu," suaminya menjawab.
"Bit-bo-ong memang dikalahkan oleh Sin-kun Bu-Tek setelah mereka bertempur sehari penuh. Tapi kekalahan itu sebenarnya tidak akan terjadi bila pada waktu itu Bit-bo-ong masih segar bugar dan tidak sedang terluka."
"Masih segar bugar dan tidak sedang terluka? Apa maksudmu?"
"Menurut cerita atau kisah lain yang pernah kudengar pula, sebelum bertempur dengan Sin-kun Bu-tek, Bit-bo-ong telah dimarahi dan dihajar oleh suhengnya sendiri hingga terluka dalam."
"Suhengnya? Siapakah suheng dari Bit-bo-ong itu?"
"Suheng dari Bit-bo-ong adalah Souw Lojin (Kakek Souw), yaitu seorang pelukis, penyair dan jago silat sakti yang hidup di Gunung Hoa-san. Kakek itu tidak menyukai sepak terjang suteenya yang jahat dan suka membuat onar di dunia kang-ouw itu."
"Kakek Souw...? Ah, kalau begitu kakek itu tentulah Hoa-san Lo jin yang menyobek lembaran-lembaran terakhir dari buku warisan Bit-bo-ong itu." Tui Lan memotong.
"Ya, aku mempunyai dugaan demikian pula." Liu Yang Kun mengiyakan. Keduanya berdiam diri lagi. Namun tidak lama, karena sesaat kemudian Tui Lan telah membuka suara kembali.
"Eh, koko...! Omong-omong, ada hubungan apakah antara kakek Souw itu dengan "sastrawan" yang disebut-sebut dalam Buku Rahasia itu?"
"Kau maksudkan... tokoh nomor satu yang tinggal di puncak Gunung Hoa san itu?" Tui Lan mengangguk.
"Ya...!" jawabnya cepat.
"Entahlah. Mungkin memang ada hubungan keluarga atau hubungan perguruan pula. Tapi yang jelas sastrawan bukan kakek Souw yang hidup pada zaman se ratus tahun lalu. Karena tak mungkin orang bisa hidup selama dua ratus tahun, bukan?" Tui Lan kembali mengangguk angguk menyetujui pendapat suaminya.
"Ah, kalau kita tidak tersekap di dalam gua ini kita tentu dapat menanyakan masalah ini kepada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai..." Liu Yang Kun berdesah seraya menghela napas panjang. Liu Yang Kun memandang wajah isterinya.
"Hmmh! Bukankah pendekar itu adalah keturunan langsung dari kakek Souw? Dia tentu tahu siapa 'sastrawan' itu, karena dialah yang paling paham tentang silsilah keluarganya," jawabnya sambil tersenyum.
"Ooooh...!" Tui Lan ikut tersenyum pula.
"Eh... mengapa tidak kita tanyakan kepada Souw Lian Cu saja?" Liu Yang Kun terperanjat, kemudian wajahnya menjadi kemerah-merahan. Bibirnya tersenyum kecut, sementara sekilas matanya tampak menerawang jauh.
"Ah, kau ini ada-ada saja. Masakan masih merasa cemburu juga ditempat seperti ini?" akhirnya ia menjawab getir.
"Hmm, siapa tahu kau masih memikirkannya?" Tui Lan masih juga menggoda.
"Ah, sudahlah! Jangan memikirkan yang bukan-bukan!Marilah kita meneruskan perjalanan ini!" Liu Yang Kun berkata dan menarik lengan isterinya. Demikianlah mereka meneruskan perjalanan mereka sambil memperdalam ilmu silat mereka. Dan bila merasa lelah dan menemukan tempat yang baik, mereka lalu berhenti dan beristirahat untuk beberapa hari lamanya. Sehingga tak terasa sebulanpun sudah berlalu pula. Sungguh beruntung bagi pasangan suami-isteri itu bahwa selama ini sungai tersebut selalu mengalir melalui lorong-lorong gua yang cukup luas, sehingga mereka tak perlu bersusah-payah berenang ataupun menyelam seperti yang mereka lakukan dahulu.
Pendekar Penyebar Maut Eps 27 Pendekar Penyebar Maut Eps 54 Pendekar Penyebar Maut Eps 6