Pendekar Pedang Pelangi 9
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 9
Bahkan beberapa saat kemudian tubuh kembar itu ganti menyerang dengan gesitnya. Masing-masing dari tubuh kembar itu berkelebatan mengurung Liu Wan dan Kwe Tek Hun. Memang mentakjubkan, masing-masing seperti memiliki nyawa sendiri-sendiri. Maka terjadilah sebuah pertempuran seru, aneh dan membingungkan! Seru, karena ilmu-ilmu yang mereka keluarkan adalah ilmu yang jarang ada duanya di dunia persilatan. Tapi aneh dan membingungkan karena salah seorang di antaranya cuma bentuk semu atau bentuk tipuan yang sebenarnya tidak ada. Hanya karena kehebatan ilmu sihir Mo Goat saja hal itu bisa terjadi. Yang benar-benar repot adalah Liu Wan. Tanpa disadarinya pemuda itu berkelahi melawan bentuk Mo Goat yang palsu. Maka ilmu silatnya yang dahsyat dan menggiriskan itu menjadi percuma saja.
Dia seperti bertempur dengan sebuah bayangan yang bisa dilihat, tapi tak dapat disentuhnya. Thian-lui-khong-ciangnya yang meledak-ledak seperti halilin tar itu tidak bisa menghancurkan tubuh lawannya. Paling-paling tubuh lawannya itu seperti bergoyang-goyang mau hilang bila terkena pukulannya. Sementara itu Kwe Tek Hun yang kebetulan berhadapan dengan Mo Goat asli, benar-benar harus mengerahkan segala kemampuannya. Lawannya yang masih amat muda itu ternyata menyimpan ilmu yang luar biasa tingginya. Ilmu silat keluarganya yang selama ini tak pernah memperoleh lawan, sekarang benar-benar ketemu batunya. Tenaga sakti Pai-hud-sinkang dan ilmu meringankan tubuh Pek- in-ginkang, yang selama ini ditakuti orang sama sekali tak berdaya mengungguli tenaga dalam dan kelincahan lawannya. Dalam segala hal gadis cantik itu ternyata berada di atasnya.
Hanya langkah ajaib Ban-seng-po Lian-hoan saja yang akhirnya masih bisa menolong Kwe Tek Hun dari kehancuran. Dalam keadaan terpojok, langkah ajaib itu ternyata masih mampu menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi dengan demikian akhir dari pertempuran itu sudah bisa diduga. Cepat atau lambat Kwe Tek Hun maupun Liu Wan mesti mengakui keunggulan lawannya. Dan hal itu berarti saat kematian mereka telah tiba Mo Goat yang kejam dan amat benci kepada orang Han itu tentu akan membunuh mereka. Walaupun tidak dapat mengikuti irama pertempuran tersebut, namun Tio Ciu In dapat juga merasakan kesulitan kawan-kawannya. Tapi karena kepandaian sendiri masih terlampau rendah, maka tak mungkin bisa menolong mereka. Matahari belum terlampau tinggi. Sinarnya yang hangat masih menerobos lobang jendela, menebarkan kehangatan di udara pagi yang dingin itu. Tio Ciu In memang tidak merasa kedinginan karena pertempuran itu justru membuatnya gerah dan cemas.
* * *
Lain halnya dengan Tio Siau In, yang pada saat itu sedang duduk merenung sendirian di rumah tabib di tepi laut itu. Walau di depan perapian, gadis itu masih kedinginan. Matahari memang bersinar terang di tepi laut itu. Tapi karena angin laut. berhembus sangat kencang, maka panasnya seolah-olah selalu terguncang pergi terbawa angin. Bahkan hembusan angin yang amat kuat itu justru melemparkan butiran-butiran air ke daratan. Dinginnya bukan alang kepalang. Tio Siau In melipat kakinya yang dingin di depan perapian. Gadis centil yang biasanya selalu bersikap lincah itu kini hanya merenung diam tak bergerak. Matanya yang berbulu lentik itu menatap kosong ke dalam api, seakan-akan lidah api yang menjilat-jilat ke atas itu amat mengasyikkannya.
Tio Siau In memang sedang melamun. Berbagai peristiwa menegangkan yang dialaminya sejak dia meninggalkan rumah berkelebat satu persatu di depan matanya. Semenjak gurunya memerintahkan dia dan kakaknya ke kota Hang-ciu untuk mencari pemuda bertato "Naga" di badannya, hingga peristiwa menegangkan yang terjadi di dalam rumah makan itu tadi malam. Semula Tio Siau In memang tidak menyukai tugas itu. Tugas >ang dianggapnya terlalu mengada-ada dan kurang masuk akal. Tugas yang diberikan atas dasar ramalan-ramalan yang belum tentu benar. Tapi kejadian demi kejadian yang secara tak sengaja dilihatnya, membuat Tio Siau In berbalik pikiran. Sekarang gadis itu berubah menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang ada di balik cerita tentang pemuda bertato naga itu? Mengapa kelihatannya setiap orang mempunyai kepentingan dengan pemuda bertato naga tersebut?
Bahkan sekarang di dekat Tio Siau In sendiri ada seorang pemuda yang juga memiliki tato naga di dadanya. Mungkinkah pemuda ini yang dimaksudkan oleh gurunya itu? Tak terasa Tio Siau In melirik ke pintu kamar yang ada di belakangnya. Di dalam kamar itu A Liong beristirahat. Sejak meminum obat penyembuh luka dalam, pemuda itu langsung tertidur dengan nyenyaknya. Tio Siau In menarik napas panjang. Matanya kembali terhunjam ke dalam perapian. Kejadian yang mendebarkan hatinya semalam kembali di pelupuk matanya. Kejadian yang sangat membekas di dalam hatinya, yang membuka mata batinnya akan sifat-sifat manusia. Keculasan, keserakahan, kekejaman dan tipu daya demi kepentingan pribadi. Tadi malam, ketika mereka memasuki perairan teluk kecil itu, Su Hiat Hong meminta kepada Tio Siau In untuk meminggirkan sampannya.
Berbeda dengan pantai di sekitarnya, pantai di teluk kecil tersebut memiliki hamparan pasir yang landai, sehingga Tio Siau In mudah membawanya ke daratan. Rumah bekas tabib kerajaan itu didirikan di atas tiang-tiang yang cukup tinggi dari tanah. Mungkin dimaksudkan untuk menghindari air pasang atau binatang-binatang melata yang banyak berada di tempat itu. Setiap pintu keluar dipasangi tangga ke bawah. Sementara di kanan kiri bangunan tersebut ditanami pohon-pohon besar untuk melindungi rumah itu dari angin laut dan terik matahari. Rumah itu tidak begitu besar. Mungkin hanya terdiri dari tiga atau empat Kamar saja. Dan dinding bagian belakang rumah itu menempel pada tebing curam yang memagari ceruk sempit tersebut, sungguh sebuah rumah yang aneh dan antik.
"Rupanya Tong Kiat Teng belum tidur Mungkin dia masih bekerja di kamar obatnya, atau mungkiri dia sedang membaca di kamar tidurnya. Kita jangan sampai mengagetkannya." Su Hiat Hong berkata pelan ketika melihat jendela rumah itu terbuka lebar. Sinar lampu dari dalam ruang panggung itu menyorot keluar.
"Lalu... apa yang harus kulakukan, Paman? Apakah aku harus naik dan mengetuk pintunya?" Tio Siau In bertanya.
"Ya! Tapi lebih baik kita pergi ke sana bersama-sama. Coba, kau tolong pemuda ini agar bisa berjalan ke rumah itu!" Su Hiat Hong yang masih lemah itu meminta kepada Tio Siau In. Tio Siau In lalu memapah A Liong turun dari sampan, kemudian membantunya berjalan melewati hamparan pasir di tepian pantai tersebut. Su Hiat Hong sambil mendekap dadanya yang sakit melangkah di belakang mereka.
"He, Paman... Lihatlah! Di sana ada perahu!" tiba-tiba Tio Siau Iri yang secara tak sengaja memandang ke laut berdesah perlahan. Tangannya menuding ke sebuah perahu yang ditambat di antara bongkalan batu karang besar di luar pantai.
"Haaah...? Nanti dulu, Nona! Jangan-jangan itu perahu orang-orang Hun tadi! Awas...! Mari kita mencari tempat persembunyian yang aman!"
"Bagaimana dengan sampan kita?"
"Biarkan saja. Takkan kelihatan dari rumah itu. Kalaupun diketemukan oleh orang-orang itu, paling-paling juga dikira kepunyaan Tong Kiat Teng. Ayoh, cepat!" A Liong sama sekali tak berkata apa-apa ketika dibawa bersembunyi di semak-semak yang tumbuh di pinggiran tebing ceruk itu. Pemuda yang masih tampak kesakitan itu menurut saja ketika dituntun Tio Siau In ke balik perdu. Beberapa saat lamanya mereka menunggu di tempat itu. Tapi tak seorangpun tampak keluar atau terdengar suaranya. Rumah itu kelihatan sepi-sepi saja, Su Hiat Hong menjadi curiga. Benarkah yang datang itu rombongan orang-orang Hun? Kalau benar mereka, apa maksud mereka datang ke rumah Tong Kiat Teng ini? Mengapa rumah itu tampak tenang-tenang saja? Apakah mereka sudah saling mengenal?
"Nona...?" Akhirnya Su Hiat Hong tak tahan lagi menunggu lebih lama.
"Mari kita mendekat ke rumah itu! Kita bergeser perlahan-lahan melalui semak-semak ini, lalu kita mendekam di bawah kolong rumah. Beranikah kau?" Tio Siau In tersenyum.
"Seharusnya aku yang bertanya kepada Paman. Dengan keadaan Paman dan A Liong ini, apakah bisa merangkak sampai ke sana?"
"A Liong...? Bagaimana? kau tinggal di sini atau ikut kami ke rumah itu...?" Su Hiat Hong bertanya kepada A Liong, pemuda itu menengadah kepalanya. Meskipun pucat namun pandangannya kelihatan tegar dan bersemangat.
"Aku ikut!" jawab pemuda itu tegas.
"Baiklah! Tapi kita harus berhati-hati benar! Langkah kita tidak boleh mengeluarkan suara sama sekali. Sekali kita ketahuan oleh orang-orang Hun itu, matilah kita! Bagaimana, Nona?" Tio Siau In mengangguk. Bagaimanapun juga gadis cantik itu sudah membulatkan tekadnya untuk menyelidiki masalah pemuda bertato naga ini. Apalagi dia juga sudah bersedia untuk memberi pertolongan kepada Su Hiat Hong dan A Liong. Tidak enak rasanya membiarkan mereka menempuh bahaya sendirian.
Mereka lalu merangkak perlahan-lahan mendekati rumah panggung itu. Su Hiat Hong paling depan, A Liong di tengah dan Tio Siau In di belakang sendiri. Semakin dekat dengan rumah itu perasaan mereka menjadi semakin tegang. Apalagi lapat-lapat mereka mulai mendengar suara percakapan orang di dalam rumah itu. Dua puluh langkah dari bangunan rumah itu Su Hiat Hong berhenti. Perwira kerajaan itu teringat akan kebiasaan pimpinan orang Hun yang bersembunyi dalam gelap. Ditelitinya lebih dulu tempat di sekeliling rumah tersebut, kalau-kalau ada orang di sana. Setelah yakin tak ada bahaya yang mengancam mereka, Su Hiat Hong baru merangkak lagi. Suara percakapan itu semakin jelas terdengar. Apalagi ketika mereka telah sampai di bawah kolong rumah tersebut. Mereka mencari tempat yang terlindung di antara bebatuan yang berserakan di bawah bangunan itu.
"Nah, sudah habis waktu yang kita berikan kepada Tabib Tua itu! Bawa dia ke sini!" tiba-tiba terdengar suara menggeledek di dalam rumah itu.
"Baik,. Goanswe! Prajurit, bawa orang tua itu ke mari!" Hampir saja Su Hiat Hong berseru kaget. Untunglah telapak tangannya cepat membungkam mulutnya sendiri. Tentu saja Tio Siau In menjadi terheran-heran melihat ulahnya. Gadis itu mendekatkan mulutnya ke telinga Su Hiat Hong.
"Ada apa. Paman? Mengapa kau tampak kaget sekali? Apakah Paman Telah mengenal suara itu?" Su Hiat Hong mengangguk, namun ia menaruh jari telunjuknya di depan bibir. Terdengar suara kaki dari bagian belakang diatas lantai papan rumah itu, terdengar suara ribut sebentar. Kemudian terdengar suara langkah lagi, namun kali ini terdiri dari dua orang, di mana yang seorang langkahnya terdengar lemah dan agak di seret.
"Inilah dia, Goanswe!"
"Bagus! Nah, Tong Kiat Teng... waktu berfikir yang kami berikan telah habis. Bagaimana pendapatmu? Apakah kau sudah mau berterus-terang kepadaku?"
"Maaf, Goanswe... aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu di mana anak-anak itu sekarang."
"Bangsat! Kau memang keras kepala! Apakah kau sudah tidak ingin hidup lagi?"
"Goanswe...? Apalagi yang aku harus katakan kepadamu? Aku sudah mengatakan semuanya. Memang akulah yang menyelamatkan anak-anak itu dari kobaran api yang mengamuk di Istana Pangeran Liu Yang Kun. Dan aku pulalah yang membawa mereka keluar dari Kotaraja. Tapi luka-lukaku ketika aku menerobos kobaran api itu selalu mengganggu perjalananku. Aku tak tahan lagi, sehingga ditengah jalan aku terpaksa menitipkan mereka pada seseorang. Celakanya, karena saat itu aku dalam keadaan sakit dan kalut pikiran, maka aku telah lupa kepada siapa aku telah menitipkan anak-anak itu."
"Bohong...! kau memang keras kepala! kau tak mau berterus terang kepadaku! kau tentu telah menyembunyikan mereka di suatu tempat...! Hmmh!"
"Aku tidak membohong, Goanswe. Selama lima belas tahun ini aku juga sia-sia mencari jejak anak-anak itu. Bagaikan orang gila aku mencari mereka kemana-mana. Seluruh negeri ini hampir telah kujelajahi semuanya, tapi aku tetap tidak menemukan mereka. Aku sudah berputus asa. Aku merasa berdosa kepada Pangeran Liu yang kun. Itulah sebabnya aku mengasingkan diri di tempat ini."
"Huh, kau memang benar-benar keras kepala, Kiat Teng! Rupanya kau memang sudah tidak menyayangi jiwamu lagi. Baiklah, tanpa bantuanmupun aku tentu dapat menemukan anak-anak itu. Masih banyak jalan untuk menemukan mereka, walaupun untuk itu akan jatuh korban jiwa. Aku tidak peduli. Jangankan cuma ribuan jiwa, kalau aku harus membantai setiap anak yang seusia merekapun akan aku laksanakan juga!"
Ucapan Au-yang Goanswe itu benar-benar mengejutkan Tong Kiat Teng. Bahkan juga mengagetkan Su Hiat Hong yang bersembunyi di kolong rumah itu. sungguh keji sekali hati Jenderal Au-yang yang telah diselimuti dendam itu. Tak terasa Su Hiat Hong menoleh ke belakang, mencari Tio Siau In dan A Liong. Tapi yang tampak cuma Siau In saja. A Liong tidak berada di tempatnya. Tentu saja keduanya semakin kaget. Tio Siau In menjadi cemas sekali. Hampir saja mulutnya berteriak memanggil. Untung tidak jadi, karena tiba-tiba saja pemuda itu muncul dari celah-celah besar di sampingnya.
"Batu besar ini dapat bergeser. Ada lubang di bawahnya. Aku tadi menemukannya secara tak sengaja. Nona, marilah kita bersembunyi di sini. Di dalam ada ruangan yang lebar." pemuda itu memberi keterangan dengan kalimat pendek-pendek seperti orang yang terengah-engah. Lupa bahwa mereka sedang bersembunyi.
"Hei, siapa di luar...? Beng Ciangkun tangkap orang yang bersembunyi di luar itu!" sekonyong-konyong Goanswe yang ada di dalam rumah itu berseru keras. Muka Su Hiat Hong menjadi pucat seperti kapur. Kehadiran mereka bertiga telah diketahui orang itu. Satu-satunya jalan hanya menyelamatkan anak-anak muda itu.
"Nona, cepatlah kau ikut A Liong masuk ke dalam lubang itu! Biarlah kutemui mereka sendirian. Cepat..." Su Hiat Hong cepat berbisik di telinga Tio Siau In.
"Paman sendiri bagaimana?" Tio Siau In ragu-ragu.
"Jangan khawatir aku kenal mereka! Cepat!" Bersamaan dengan melompatnya Tio Siau In ke dalam lobang batu, yang kemudian menutup perlahan-lahan, beberapa orang perajurit kerajaan tampak berloncatan keluar dari dalam rumah panggung tersebut. Seorang perwira setengah baya cepat mendekati persembunyian Su Hiat Hong. Empat orang perajurit mengikuti di belakangnya.
"Selamat bertemu, Beng Ciangkun...!" Su Hiat Hong menyapa perwira itu dengan ramah.
"Kau...? Ah, Su Ciangkun rupanya! Bagaimana kau bisa sampai berada di tempat ini? Di mana Lim Ciangkun?" orang yang disebut Beng Ciangkun tersebut berseru kaget. Suaranya bernada curiga dan berkesan menyelidik, sama sekali tidak terasa ramah atau gembira.
"Beng Ciangkun, siapa dia? Mengapa tidak segera kau bawa ke dalam?"
"Su Ciangkun, mari kita masuk...! Au-yang Goanswe memanggilmu!" Beng Ciangkun berkata pelan, Su Hiat Hong tak berani menolak. Beng Ciangkun yang bernama Beng Cun itu memiliki kepandaian yang tinggi, karena dia adalah tangan kanan Au-yang Goanswe. Perlahan-lahan, dengan menahan rasa sakit Su Hiat Hong menaiki tangga rumah.
"Apakah kau sakit, Su Ciangkun?" Beng Cun bertanya keheranan.
"Ya...! Nanti kuceritakan semuanya..." Begitu memasuki ruangan Su Hiat Hong terperanjat. Tong Kiat Teng, sahabatnya itu, benar-benar mengenaskan sekali keadaannya. Tubuh yang kurus itu tidak mengenakan baju sama sekali. Wajahnya, kulit punggungnya, lengannya, semuanya terdapat bekas luka siksaan.
"Tong Kiat Teng, kau kenapa? Siapakah yang telah menyiksamu?"
"Ah, Su Hiat Hong... Kau?" Tong Kiat Teng menyapa lemah. Su Hiat Hong cepat melangkah maju, namun dengan cepat Au-yang Goanswe yang bertubuh tinggi besar dan berusia lima puluhan tahun itu menghadangnya. Sama sekali tidak ada kesan ramah atau bersahabat dari jenderal yang menjadi atasannya itu. Bahkan jenderal itu seperti memusuhinya, suatu hal yang benar-benar tidak dipahami oleh Su Hiat Hong. Bahkan Su Hiat Hong menjadi kaget ketika pimpinannya itu membentak marah!
"Su Hiat Hong! Di mana Lim Kok Liang dan yang lain-lainnya? Mengapa engkau tiba-tiba berada di tempat yang terasing ini? Apakah kau memata-matai aku?" Su Hiat Hong menjadi kaget meskipun dia telah mencium sesuatu yang tidak beres pada pimpinannya itu, tapi ia juga belum bisa mengetahuinya dengan pasti. Dan terus terang dia juga tidak berani menduga-duga, berprasangka yang bukan-bukan terhadap atasannya itu. Dia memang menjadi kaget ketika mendengar niat jenderal itu untuk membasmi semua anak keturunan Pangeran Liu yang kun, tetapi tidak memahami apa sebenarnja terselip di balik maksud dan tujuan Au-yang Goanswe itu, ia tidak berani menanyakannya.
"Goanswe...! Tugas yang Goanswe berikan kepada kami itu ternyata penuh aral dan rintangan. Tak seorangpun di antara kami yang mampu melaksanakan tugas itu dengan baik. Bahkan mereka telah menjadi korban. Semuanya telah tewas di tangan para pengacau yang tidak menyetujui diadakannya "Perlombaan Mengangkat Arca" itu. Tinggal aku seorang yang masih hidup. Lim Kok Liang, Ong Ci Kin. Kwa Sing, Gui Ciangkun, semuanya telah gugur di tangan gerombolan suku bangsa Hun..." Su Hiat Hong melapor seolah-olah tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap pimpinannya. Namun Au-yang Goanswe seperti tidak mengacuhkan laporan Su Hiat Hong. Bahkan jenderal itu juga seperti tidak mempedulikan kematian-kematian anak buahnya.
"Persetan dengan kematian teman-temanmu! Aku tidak peduli! Sekarang katakan terus terang kepadaku! Mengapa kau sampai di tempat ini? Bukankah kau kutugaskan di kota Hang-ciu? Lekas jawab!" jenderal itu menggeram keras.
"Goanswe, aku sungguh tidak mengerti apa yang Goanswe maksudkan..."
"Bohong! kau tidak perlu bersandiwara lagi di depanku. kau tentu sudah tahu, atau setidak-tidaknya telah bercuriga kepadaku, sehingga kau tidak pergi melaksanakan perintahku, tapi selalu menguntit dan memata-matai semua kegiatanku. Benar tidak...?"
(Lanjut ke Jilid 09)
Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 09
Su Hiat Hong tidak menjawab. Ia memang pernah mengutarakan kecurigaannya kepada Lim Kok Liang, bahwa pihak kerajaan menangani masalah "Perlombaan Mengangkat Arca" benar-benar terasa aneh baginya. Tapi karena waktu itu Lim Kok Liang juga tidak bisa menebak apa yang terselip di balik keanehan tersebut, maka mereka terpaksa melakukan saja apa yang ditugaskan kepada mereka. Dan kini secara kebetulan ia mulai bisa melihat rahasia keanehan itu. Namun tampaknya diapun tak bisa melihatnya sampai tuntas. Au-yang Goanswe, yang kelihatannya merupakan tokoh utama di balik tabir keanehan tersebut, tentu tidak akan melepaskan dirinya. Au-yang Goanswe tentu tidak ingin rahasianya diketahui orang luar.
"Nah, Su Hiat Hong! Ternyata kau tidak berani menjawab pertanyaanku! Itu berarti kau memang telah mengetahui rahasia sepak terjangku selama ini! Dan kau tampaknya hampir berhasil mengungkapkannya! Hmm, tapi jangan berharap kau bisa menggagalkan rencanaku! Aku akan membunuhmu! Aku tidak peduli, apakah sudah memberi laporan kepada Kong sun Goanswe atau belum, karena aku yakin kau belum bisa memperoleh bukti yang kuat untuk menjatuhkan aku...!" Su Hiat Hong menarik napas panjang. Hatinya semakin tergelitik untuk mengetahui rahasia keterlibatan Au-yang Goanswe di dalam masalah "Perlombaan Mengangkat Arca" yang aneh itu. Begitu inginnya perwira itu menguak tabir rahasia tersebut, sehingga ia tidak peduli pula akan tuduhan Au-yang Goanswe tentang dirinya.
"Sebentar lagi tentu aku akan dibunuhnya untuk menutupi rahasianya. Namun demikian aku sungguh akan merasa puas apabila telah mengetahui rahasia "Perlombaan Mengangkat Arca" itu." perwira itu berkata di dalam hatinya. Oleh karena itu dengan perasaan yang semakin tabah dan pasrah, Su Hiat Hong menentang pandangan mata Au-yang Goanswe.
"Baiklah, Goanswe. Aku memang sudah bercuriga dengan tugas-tugas yang kau berikan selama ini. Banyak keanehan dan kejanggalan yang kulihat di dalam melaksanakan tugas itu. Akan tetapi secara jujur juga kukatakan bahwa aku belum dapat menebak apa yang terselip di balik kejanggalan-kejanggalan itu. Aku baru mulai memahami setelah mendengar ucapan-ucapan Goanswe kepada Tong Kiat Teng tadi. Walaupun demikian aku tetap belum bisa menguak maksud dan tujuan Goanswe yang sebenarnya di dalam masalah ini. Nah, Goanswe... sebentar lagi kau akan membunuhku dan aku... sama sekali tidak akan melawan. Namun sebelum aku mati, bolehkah aku mengetahui serba sedikit semua rahasia itu? Biarlah aku mati dengan tenang dan tidak membawa rasa penasaran ke alam baka..."
"Hahahaha...! Boleh! Boleh! kau boleh mendengarnya agar arwahmu tidak penasaran nanti." Au-yang Goanswe tertawa gembira sambil mengawasi para pembantunya yang berdiri mengelilinginya. Semuanya juga ikut tertawa puas. Termasuk Beng Ciangkun yang menangkap Su Hiat Hong tadi. Sementara itu di dalam lubang persembunyiannya A Liong dan Tio Siau In meraba-raba di dalam gelap. Lubang sempit seperti liang tikus itu ternyata terus memanjang dan berbelok kesana-kemari, sehingga akhirnya mencapai sebuah tangga yang menuju ke atas.
"Nah, kita sudah hampir sampai di tempat itu." A Liong berbisik.
"Tangga ini akan membawa kita ke ruangan belakang dari rumah itu tadi."
"Hei, mengapa bisa demikian? Bukankah lubang terowongan ini berada di dalam tanah? Bagaimana bisa berhubungan dengan ruangan yang ada di dalam rumah itu?" Tio Siau In berbisik pula dengan heran.
"Mudah saja, Cici. Bukankah bagian belakang rumah itu menempel pada dinding tebing? Nah, tentu saja lubang rahasia ini dibuat seperti liang tikus yang melubangi tanah, kemudian terus naik ke atas tebing, sampai di dinding bagian belakang rumah yang menempel tebing tersebut." A Liong yang tadi tampak lemah tak bertenaga itu kini sudah kelihatan lebih kuat dan sehat. Memang sungguh mengagumkan sekali ketahanan tubuh pemuda itu. Benar-benar sesuai dengan perawakannya yang kekar. Tio Siau In mengangguk-angguk sambil tersenyum. Sayang liang itu gelap sekali keadaannya. Kalau tidak, tentu akan tampak betapa cantiknya gadis itu bila tersenyum. Mereka lalu menaiki tangga kecil dan sempit itu. Dan benar juga ucapan A Liong tadi, mereka tiba di sebuah ruangan yang lebih lega. Tapi tempat yang disebut ruangan oleh A Liong itu sebenarnya tak lebih dari sebuah gua kecil dan sempit.
"A Liong...!" Tio Siau In berbisik.
"Bagaimana kau bisa mengatakan gua sempit ini sebagai ruangan belakang rumah itu?" Pemuda itu tidak menjawab, tapi segera bergeser ke dinding gua yang berada di depan mereka. Tangannya meraba-raba kesana-kemari, seakan-akan pemuda itu sudah paham keadaan gua tersebut dan kini sedang mencari sesuatu di tempat itu. Tiba-tiba sebuah lubang sebesar perut kerbau terbuka di depan mereka. A Liong masuk ke dalam, diikuti oleh Tio Siau In. Pemuda itu memberi isyarat agar Tio Siau In berhati-hati.
"Cici, lihatlah...! Bukankah ruang sempit ini berada di bagian belakang rumah itu? Coba kau intip melalui celah-celah kayu ini!" A Liong berbisik perlahan.
Tio Siau In mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Ruang sebesar kandang ayam itu memang berdindingkan kayu seperti halnya dinding rumah tabib itu. Lantainyapun juga terbuat dari balok-balok kayu besar. Berkas-berkas sinar lampu masuk dari sela-sela dindingnya, sehingga ruang sempit itu tidak gelap lagi. Lapat-lapat terdengar suara orang bercakap-cakap di luar ruang sempit tersebut. A Liong mengintip melalui sela-sela kayu, sehingga Tio Siau Inpun menjadi ikut-ikutan pula untuk mengintip. Betapa kagetnya Tio Siau In. Di sebelah luar dari ruang sempit tersebut ternyata adalah ruang tengah milik Tong Kiat Teng. Di dalam ruangan itu tampak beberapa orang prajurit berjaga-jaga. Mereka mengelilingi seorang lelaki tua berseragam perwira tinggi, yang saat itu sedang membentak-bentak Su Hiat Hong!
"Hiat Hong...! kau tahu siapa sebenarnya Beng Ciangkun di sebelahku ini? Ketahuilah, dia adalah keponakan Beng Tian almarhum. Hmm, kau ingat tidak nama Jendral Beng Tian, Panglima Besar tangan kanan Chin si Hong-te itu?" Su Hiat Hong tampak merenung sebentar, kemudian mengangguk.
"Ya, aku ingat. Dia adalah Panglima Besar Kerajaan pada zaman Dinasti Chin, pada saat Kaisar Chin si Hong-te berkuasa. Dia gugur ketika menghadapi pasukan pemberontak yang dipimpin oleh mendiang Kaisar Liu Pang."
"Bagus ternyata otakmu masih encer. Nah, apakah kau juga tahu siapa yang telah membunuh jenderal besar itu?" Au-yang Goanswe mendesak lagi. Su Hiat Hong menghela napas pendek. Ia tak tahu kemana arah tujuan pertanyaan itu.
"Aku tidak mengetahuinya, Goanswe. Bagaimana orang bisa memastikan siapa yang membunuh di dalam peperangan besar seperti itu? Aku memang pernah mendengar beberapa cerita tentang jenderal besar itu, tapi belum yakin tentang kebenarannya."
"Kau tidak usah ragu-ragu. Cerita yang tersebar di antara kita itu memang benar. Jenderal Beng Tian terbunuh oleh tangan Liu Pang dan para pembantunya!" dengan suara geram Au-yang Goanswe menggertak. Su Hiat Hong terdiam.
"Lalu... apa hubungannya antara Jenderal Beng Tian itu dengan peristiwa yang terjadi sekarang ini?" sesaat kemudian Su Hiat Hong mengajukan pertanyaan. Au-yang Goanswe tertawa dingin lagi.
"Banyak sekali hubungannya! kau tahu siapa aku sebenarnya...? Aku sebenarnya bukan bermarga Au-yang seperti kalian kenal selama ini. Namaku yang sesungguhnya adalah Beng Han. Aku adalah putera bungsu Jenderal Beng Tian itu. Nah, Hiat Hong... sekarang kau tentu sudah mulai dapat meraba, apa yang sedang kukerjakan saat ini!" Su Hiat Hong benar-benar terperanjat mendengar pengakuan Au-yang Goanswe tersebut. Dan otomatis ia menjadi sadar bahwa selama ini ia dan Lim Kok Liang, bahkan juga para perwira yang lain, telah terperangkap dalam jebakan Au-yang Goanswe. Putera bungsu Jenderal Beng Tian itu tampaknya telah menyimpan dendam di dalam hatinya dan sekarang bangkit untuk melampiaskan dendam kesumatnya itu. Dan tentu saja yang dituju adalah anak keturunan Kaisar Liu Pang. Bergidik hati Su Hiat Hong memikirkan hal itu.
"Jangan-jangan lenyapnya Pangeran Liu yang kun dan terbakar musnahnya Istana Putera Mahkota itu juga hasil perbuatan Au-yang Goanswe pula." perwira pasukan rahasia itu bergumam di dalam hatinya.
"Tampaknya Au-yang Goanswe ingin menuntut balas atas kematian Jendral Beng Tian itu..." Su Hiat Hong akhirnya mengatakan juga dugaannya itu. Au-yang Goanswe tersenyum puas. Kepalanya yang besar dan berambut tebal itu juga mengangguk-angguk.
"Otakmu memang encer sekali. Aku memang hendak menuntut balas atas kematian orang tuaku. Dan untuk melaksanakan niatku itu aku sudah merencanakannya sejak dulu. Sejak aku masih berusia dua puluh tahun..."
"Aaah...!" Su Hiat Hong berdesah panjang.
"Jangan kaget! Aku memang tidak ingin gagal. Oleh karena itu aku selalu menyabarkan diri dan merencanakan niatku itu dengan rapi." Au-yang Goanswe berhenti sejenak untuk memperbaiki duduknya. Kemudian lanjutnya lagi.
"Mula-mula aku mengubah nama margaku, agar orang tak menghubungkan aku lagi dengan almarhum ayahku. Lalu aku memasuki bidang keprajuritan seperti Ayahku, dengan harapan suatu hari kelak aku akan memperoleh kedudukan seperti halnya Ayahku pula. Sebab hanya dengan kekuasaan dan kekuatan aku akan mampu menuntut balas kepada Liu Pang." Su Hiat Hong menatap wajah Au-yang Goanswe sebentar, lalu menunduk kembali dengan perasaan sedih dan kecewa. Sedih karena sebenarnya, setelah Au-yang Goanswe itu membeberkan rahasianya, ia tentu akan dibunuh mati agar tidak bisa bercerita kepada siapa-siapa lagi. Dan kecewa, karena dengan kematiannya itu ia tak akan mempunyai kesempatan lagi untuk memberitahukan rencana Au-yang Goanswe tersebut kepada Kong-sun Goanswe atasannya.
"Akhirnya dengan kepandaianku dan kecerdikanku aku bisa juga memperoleh kedudukan yang tinggi. Setelah itu dengan berbagai cara aku mendekati keluarga Istana. Dan jerih payahku itu akhirnya berhasil pula. Aku mendapatkan kedudukan sebagai Komandan Pasukan Pengawal Istana. Saat itu aku benar-benar sudah merasa bahwa cita-citaku tinggal melangkah satu tindak lagi. Sebagai Komandan Pasukan Pengawal Istana rasa-rasanya sangat mudah untuk melenyapkan jiwa setiap keluarga Liu Pang."
"Tapi Goanswe juga tidak berani melakukannya, karena di antara keluarga kaisar itu ada seorang yang kesaktiannya sangat ditakuti di seluruh pelosok negeri ini. Maka sebelum melaksanakan rencana itu, Goanswe lebih dulu berusaha dengan segala macam cara untuk menyingkirkan Pangeran Liu yang kun terlebih dahulu. Bukankah demikian, Goanswe?" Entahlah darimana datangnya keberanian itu, mendadak Su Hiat Hong menyela cerita Au-yang Goanswe tersebut. Ternyata jenderal itu juga tidak menjadi marah karenanya. Bahkan Au-yang Goanswe kelihatan senang dan puas menyaksikan Su Hiat Hong bisa mengikuti ceriteranya.
"Hahaha, Hiat Hong... Kau memang benar-benar cerdik. Sayang kau berada di pihak lawan, sehingga kau harus mati karenanya. Dugaanmu memang benar. Untuk berhadapan muka melawan Pangeran Liu yang kun, rasanya tak seorangpun yang mampu melakukannya di dunia ini. Tetapi jangan lupa, bahwa kesaktian itu masih bisa dikalahkan dengan kecerdikan. Aku lalu menyusup ke dalam puri Istana. Aku berusaha mengadu domba dan memecah-belah keutuhan keluarga Liu Pang itu dari dalam. Heheh, akhirnya Pangeran Liu yang kun yang maha sakti itu pergi juga dari Istana dengan sendirinya. Bahkan aku telah membuatnya menderita seumur hidupnya. Hohoho... aku sungguh-sungguh puas melihatnya."
Su Hiat Hong mengerutkan dahinya. Matanya tajam memandang kepada Au-yang Goanswe yang sedang tertawa puas menikmati keberhasilan rencananya. Su Hiat Hong tidak tahu apa yang telah diperbuat oleh jenderal itu terhadap Pangeran Liu yang kun, sehingga Pangeran Mahkota tersebut bisa pergi dari Istananya.
"Dan selanjutnya Goanswe lalu membakar Istana pribadi Pangeran Liu yang kun, bukan?" dengan berani pula Su Hiat Hong lalu melontarkan dugaannya. Tiba-tiba Au-yang Goanswe menghentikan ketawanya. Dengan nada geram ia berkata lantang.
"Tidak. Aku memang ingin menumpas keluarga Liu. Tapi tak sekalipun terlintas di dalam benakku untuk membakar Istananya. Namun demikian kejadian itu membuat hatiku terhibur juga, karena menganggap mereka telah musnah dimakan api."
"Tapi dugaan Goanswe ternyata keliru. Anak-anak Pangeran Liu yang kun ternyata masih hidup." Su Hiat Hong yang tadi mendengar pembicaraan Tong Kiat Teng dengan Au-yang Goanswe segera menyela. Jendral itu menggeram kembali.
"Ya! Semua itu karena perbuatan monyet tua ini!" katanya gemas sambil menunjuk ke arah Tong Kiat Teng.
"Monyet ini ternyata membawa anak-anak Liu yang kun itu keluar Istana, sehingga mereka terhindar dari kobaran api. Aku baru mengetahui hal itu setelah beberapa tahun kemudian."
"Goanswe lalu berusaha mencari anak anak itu?"
"Tentu saja. Aku tak ingin melepaskan seorangpun di antara mereka. Aku tidak ingin menanam kesulitan di kemudian hari. Semuanya harus dimusnahkan."
"Tapi sampai sekarang Goanswe belum juga menemukan mereka."
"Siapa bilang? Hahahaha...!" tiba-tiba Au-yang Goanswe tertawa keras.
"Sebentar juga Tong Kiat Teng akan mengatakannya...!" Diam sejenak.
"Goanswe memang hebat..." akhirnya Su Hiat Hong memuji.
"Tetapi setelah dapat menyingkirkan keluarga Pangeran Liu yang kun, mengapa kelihatannya Goanswe berhenti dan tidak melanjutkan rencana itu? Bukankah di Istana masih ada keluarga Liu yang lain? Adik-adik Pangeran Liu yang kun misalnya."
"Pangeran Liu Wan Ti maksudmu?"
"Ya, bukankah dia yang ditunjuk oleh Ibu Suri untuk menggantikan Kakaknya?" Lagi-lagi Au-yang Goanswe menggeram.
"Benar! Aku memang telah gagal melenyapkan Pangeran kecil itu. Dia keburu menghilang dari Istana sebelum aku bertindak terhadapnya. Aku curiga kepada Panglima Yap Khim. Tentu dia yang menyembunyikannya..."
"Dan... sampai sekarang Goanswe masih tetap penasaran karena belum menemukan anak keturunan Pangeran Liu yang kun maupun Pangeran Liu Wan"
"Ya! Aku memang sangat penasaran. Aku harus bisa menemukan mereka dan memusnahkannya."
"Lalu bagaimana dengan dua orang adik Pangeran Liu Wan Ti yang kini masih berada di Istana? Mengapa Goanswe tidak menyingkirkannya sekalian?"
"Anak-anak cacad itu? Hehehehe...! Mengapa aku harus mengkhawatirkan anak-anak tidak berguna itu? Tak seorangpun di dunia ini yang mau diperintah oleh manusia tidak waras."
"Kalau begitu mengapa Goanswe tidak lekas-lekas mengambil alih kekuasaan? Belum waktunya? Apakah Goanswe masih takut kepada Panglima Yap Khim?"
"Kurang ajar...! Tutup mulutmu!" hardik Au-yang Goanswe berang.
"Maaf, Goanswe."
"Hmmh...! Waktunya memang belum tiba! Panglima keparat itu memang masih memiliki kekuatan yang besar di antara anak buahnya! Dia harus dicarikan lawan yang setimpal lebih dahulu!"
"Dan Goanswe telah mendapatkannya, meskipun cara yang Goanswe tempuh sangat hina. Goanswe telah mengkhianati negeri sendiri. Goanswe mengundang kekuatan asing, bersekongkol dengan Mo Tan, raja suku bangsa Hun itu untuk mengacau negeri kita. Bukankah begitu, Goanswe?" Su Hiat Hong semakin berani mengungkapkan kecurigaannya di depan Au-yang Goanswe dan sama sekali tak mempedulikan lagi keselamatannya sendiri. Benar juga. Ucapan Su Hiat Hong itu benar-benar menyinggung perasaan Au-yang Goanswe. Wajah jendral bertubuh tinggi besar itu menjadi merah padam. Kemarahannya tak bisa dikekang lagi. Tiba-tiba tangannya mencabut golok yang terselip di pinggangnya, lalu mengayunkannya ke leher Su Hiat Hong!
Su Hiat Hong berusaha sekuat tenaga untuk mengelak, namun karena luka dalamnya kembali menyengat, maka gerakannya menjadi lamban dan kaku. Golok itu tak jadi mengenai leher Su Hiat Hong, tapi menerjang bahu kanannya. Segumpal daging dan sepotong tulang bahu perwira pasukan rahasia itu terlepas dari tempatnya. Begitu tajamnya golok tersebut sehingga Su Hiat Hong hampir-hampir tak merasakannya. Baru sesaat kemudian ketika rasa nyeri terasa menggigit di tempat yang terluka itu, Su Hiat Hongmenjadi sadar bahwa lengan kanannya sudah tidak bisa digerakkan lagi. Kejadian tersebut berlangsung cepat sekali, sehingga semua orang yang berada di dalam ruangan itu baru sadar ketika semuanya telah terjadi. Tong Kiat teng yang keadaannya juga sudah payah itu baru menjerit kaget ketika sahabat-baiknya itu menggelepar di atas lantai.
"Su Hiante (Saudara Su)...?" Tabib Istana itu merintih sedih.
"Ah!" Tak terasa Tio Siau In juga menjerit lirih di tempat persembunyiannya. Walau cuma lirih, akan tetapi telinga Au-yang Goanswe yang tajam itu dapat juga menangkapnya. Hanya saja jendral yang telah haus dendam tersebut tidak bisa memastikan, dari mana jerit kecil Tio Siau In itu berasal.
"Bangsat busuk! Ternyata kau membawa kawan ke tempat ini, Hiat Hong...! Beng Ciangkun, cari orang yang mengeluarkan suara tadi!" jendral itu berseru cemas sambil mengayunkan kembali goloknya. Kali ini tak mungkin lagi dielakkan oleh Su Hiat Hong.
"Goanswe, jangan...!" Tong Kiat Teng melompat ke depan, berusaha menolong sahabatnya. Namun usaha Tong Kiat Teng itu justru membahayakan dirinya sendiri. Au-yang Goanswe yang sudah terlanjur mengayunkan goloknya itu tak mungkin menariknya kembali. Maka di lain saat bukan Su Hiat Hong yang terkena tabasan golok tajam itu, tapi justru tubuh Tong Kiat Teng yang menjadi korbannya.
"Craaaaaak!"
"Aaauggh!" Tabib tua itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjerembab menimpa badan Su Hiat Hong. Punggungnya terbelah lebar, sehingga darah segar seperti membanjir ke luar.
"Tong-heng (Saudara Tong)...?" Su Hiat Hong yang masih sadar itu terpekik kaget. Otomatis lengannya memeluk sahabatnya itu. Akan tetapi iblis tampaknya memang sudah merasuk ke dalam jiwa Au-yang Goanswe.
Bukannya terharu menyaksikan kedua orang sahabat itu saling berangkulan, tapi sebaliknya justru keganasanlah yang timbul di dalam hati Au-yang Goanswe. Sekali lagi golok yang haus darah itu berkelebat dan kali ini benar-benar mengenai leher Su Hiat Hong! Dan kepala Su Hiat Hong, perwira pasukan rahasia kerajaan yang telah banyak jasanya kepada negara itu menggelinding di atas lantai, terpisah dari tubuhnya! Kekejaman itu sungguh amat menggoncangkan pikiran Tio Siau In yang masih polos. Hampir saja gadis itu menerjang dinding pemisah tersebut dan bertarung melawan Au-yang Goanswe. Untunglah A Liong cepat memeluknya dari belakang, kemudian dengan paksa menariknya masuk ke dalam lubang gua kembali. Dan untuk mengamankan tempat itu A Liong lalu menutup kembali pintu rahasia lubang tersebut.
"Sabar, Cici... Kita takkan menang melawan mereka. Mereka berjumlah banyak serta lihai-lihai. Kita harus mempergunakan akal bila ingin menghadapi mereka..." A Liong membujuk dengan suara pelan. Sementara itu Beng Ciangkun beserta prajurit-prajuritnya mengobrak-abrik seluruh dataran sempit itu, namun usaha mereka sia-sia saja. Tak seorang manusiapun yang mereka dapatkan di tempat itu. Mereka hanya menemukan sampan yang ditinggalkan oleh Tio Siau In tadi.
"Heran...! Aku tadi juga mendengar suara itu. Tapi... di mana dia? Masakan ada hantu sepagi ini?" Beng Ciangkun menggerutu kesal. Fajar memang mulai tampak menyorot di ufuk timur. Sinarnya yang merah kekuning-kuningan itu seakan-akan menembus dari bawah permukaan air laut, sehingga air lautpun lalu ikut-ikutan berubah pula warnanya menjadi merah seperti darah.
"Bagaimana, Beng Ciangkun? kau temukan orang itu?" Au-yang Goanswe yang kemudian ikut menyusul keluar, bertanya kepada Beng Ciangkun.
"Sungguh mengherankan sekali, Goanswe. Sudah kami periksa setiap jengkal tanah di tempat ini, tapi kami tak menemukan seorang manusiapun di sini. Kami memang menemukan sampan kecil di tepian sana, tapi jejak-jejaknya sudah terhapus oleh air pasang."
"Gila! Seharusnya tidak kubunuh dulu Su Hiat Hong itu! Disiksa dulu agar mau mengatakan, berapa teman yang dibawanya ke tempat ini. Hhhh...! Jika dia memang benar-benar membawa teman dan orang itu juga ikut mendengarkan pula ceritaku tadi, kedudukanku menjadi sangat berbahaya. Sewaktu-waktu orang itu bisa menghadap Yap Tai Ciangkun (Panglima Besar Yap) di Kotaraja untuk melaporkan kegiatan kita." Beng Ciangkun melangkah maju ke depan Au-yang Goanswe.
"Kita tak perlu berkecil hati, Goanswe. Mungkin kita tadi salah dengar, sehingga menyangka ada orang lain di tempat ini. Nyatanya tidak ada. Kalaupun memang benar tadi ada orang yang mengintip dengar pembicaraan kita dan orang itu keburu bisa menyelamatkan diri, kita juga tidak perlu takut kepadanya. Dimisalkan ia melapor kepada Yap Tai Ciangkunpun kita juga tak perlu mengkhawatirkannya. Bukankah Au-yang Goanswe mempunyai hubungan yang lebih baik dengan Ibu Suri daripada hubungan Yap Tai-Ciangkun? Aku percaya bahwa Ibu Suri akan lebih mendengarkan perkataan Goanswe daripada ucapan Yap Tai Ciangkun." Tiba-tiba wajah Au-yang Goanswe yang cemas itu menjadi cerah kembali.
"Benar, kau memang benar, Beng Ciangkun! Ha haha, kau memang seorang perwiraku yang baik, sungguh beruntung aku memiliki pembantu seperti kau." Jendral itu berseru dengan gembira, kemudian katanya pula kepada para prajurit yang berkumpul di sekelilingnya.
"Dan... Kalian semua adalah prajurit-prajurit pilihan, yang sengaja kupilih serta kukumpulkan karena kalian semua sebenarnya adalah anak keturunan marga Beng yang besar, meskipun di kehidupan sehari-hari kalian telah menyembunyikan marga kalian seperti halnya aku, tapi jiwa kita tetap mendambakan kejayaan marga kita seperti dahulu, oleh karena itu kita semua harus berusaha sekuat tenaga agar cita-cita kita itu bisa terwujud, kalian harus tetap mentaati sumpah kita bersama, untuk tetap merahasiakan gerakan-gerakan yang telah kita lakukan sehingga rencana dan cita-cita kita itu berhasil, mengerti?"
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami mengerti, Goanswe...!" prajurit-prajurit itu menjawab serentak.
"Nah, hari sudah siang, mari kita pergi...!"
"Bagaimana dengan mayat Su Hiat Hong dan Tong Kiat Teng, Goangswe?" Beng Ciangkun bertanya.
"Ah, biarkan saja mereka disana, tempat ini tak mungkin didatangi orang, biarlah mayat mereka membusuk dengan sendirinya." Demikianlah, sebentar kemudian prajurit-prajurit kerajaan itu telah pergi meninggalkan teluk kecil tersebut, mereka berlayar dengan perahu mereka ke selatanm menuju ke kota Hang-ciu, ternyata di tengah lautan mereka sudah dinantikan tiga buah perahu besar yang sarat dengan prajurit berserta perlengkapannya. Au-yang Goangswe yang sangat dipercaya serta mempunyai hubungan erat dengan Ibu Suri itu memang banyak mendapatkan kekuasaan istimewa di kalangan prajurit. Setelah yakin bahwa Au-yang Goangswe dan anak buahnya telah pergi, A Liong dan Tio Siau In lalu keluar dari lubang persembunyian mereka. Bergegas mereka naik ke rumah Tong Kiat Teng untuk -menjenguk mayat Su Hiat Hong yang mengenaskan.
"Ah, Paman... Kematianmu sungguh menyedihkan. Dibunuh oleh atasanmu sendiri yung tamak dan tak berperikemanusiaan. Alangkah malangnya nasibmu..." Tio Siau In menyesali kematian perwira yang baru dikenalnya itu.
"Sudahlah, Cici. Marilah kita kuburkan jenazah mereka...!" A Liong berkata perlahan. Tio Siau ln menoleh. Matanya menatap pemuda tanggung yang bertubuh tinggi dan kekar itu. Hampir saja gadis itu menjerit. Setelah berada di tempat terang, barulah terlihat betapa pakaian yang dikenakan A Liong itu telah compang-camping. Bahkan bajunya nyaris hancur sama sekali.
"Iiih! A Liong, carilah pakaian seadanya di rumah ini! Jangan telanjang begitu...!" gadis itu memekik lirih. Mukanya agak merah. A Liong tertawa. Bagi pemuda itu tanpa baju sudah biasa baginya. Sebagai gelandangan yang kadang-kadang cuma hidup dari belas kasihan orang, A Liong sudah terbiasa mengenakan pakaian yang tidak utuh. Tapi karena sekarang sedang berdekatan dengan gadis terhormat seperti Tio Siau In, maka A Liong menurut saja ketika disuruh mencari pakaian yang pantas. Sebentar saja pemuda itu sudah kembali lagi dengan pakaian yang utuh dan bersih. Namun karena pakaian yang dikenakan itu milik Tong Kiat Teng yang kurus, maka baju dan celana tersebut menjadi kelihatan kekecilan untuk Aliong.
"Nah, aku sudah berpakaian sekarang. , Tampan juga, ya... cici?" Dengan senyum riang A Liong melucu di depan Tio Siau ln. Tio Siau In tersenyum pula melihat kepolosan sikap pemuda tanggung itu.
"Ya, kau memang cukup tampan. Sayang terlalu lemah." Tio Siau In menggoda.
"Ah, belum tentu, sekarang aku memang masih lemah. Tapi lihat lima tahun lagi, aku akan menjadi pendekar yang gagah perkasa." Tio Siau In terpaksa tidak bisa menahan senyumnya yang lebar. Pemuda tanggung di depannya itu benar-benar sangat menggelikan.
"Lima tahun...? Wah, cepat benar! Lalu di mana kau akan belajar silat secepat itu?" Tiba-tiba pemuda itu bersikap serius.
"Uh, apa Cici lupa... bahwa untuk menuntut kesaktian ada tiga tempat untuk di pilih. Coba Cici dengarkan pantun ini..."
Menjadi pendekar gagah perkasa,
Ada tiga jalan untuk mencapainya!
Pertama di puncak gunung Hoa-san!
Kedua di tengah Gurun Gobi!
Dan terakhir di lembah Tak Berwarna!
"Nah, Cici tentu pernah mendengar pantun itu bukan?" A Liong mengakhiri pantunnya dengan nada yakin dan bersemangat.
"Oh... itu! Lalu kau hendak belajar ke mana? ke Gunung Hoa-san, ke Gurun Gobi atau ke Lembah Tak Berwarna?" dengan suara menggoda Tio Siau In bertanya. Tapi A Liong tak memperdulikan godaan Tio Siau In. Dengan suara tetap bersemangat pemuda itu menjawab lantang.
"Aku tak ingin yang nomer dua atau nomer tiga, Cici. Aku ingin menjadi pendekar nomer satu. Oleh karena itu aku akan ke puncak Gunung Hoa-san!"
"Apakah kau kuat mendaki gunung yang tinggi itu? Bukankah kau sedang terluka dalam?"
"Ah, Aku sudah sembuh sekarang! Lihat...!" A Liong berseru gembira sambil memperagakan otot-otot lengannya yang membengkak kencang. Namun tiba-tiba mulutnya meringis, tangannya yang bergaya itu segera turun memegangi dadanya. Tio Siau In terkejut.
"Eh, kenapa kau...?" tenyanya cemas.
"Wah, Cici... dadaku sakit lagi." dengan suara kikuk dan malu A Liong menjawab. Tio Siau In tertawa kecil
"Nah... apa kataku tadi? kau belum sembuh benar dari luka dalammu. Keadaanmu memang cepat menjadi baik karena tubuhmu sangat kuat dan sehat. Tapi kau belum boleh mempergunakan tenaga terlalu berat. Sekarang beristirahat sajalah, biar aku yang menguburkan mayat-mayat ini!"
"Wah, tidak bisa! Mana boleh aku membiarkan Cici bekerja sendirian! Aku harus membantumu! Ayoh...!" A Liong tetap memaksa juga. Terpaksa Tio Siau In tak tega untuk melarang lagi.
"Baiklah! Tapi setelah selesai menguburkan mayat-mayat ini, kau harus minum obat! Nanti kita mencarinya di almari obat Tong Kiat Teng. Dia tentu banyak menyimpan obat-obatan..."
"Tapi bagaimana kita bisa memilih obat yang cocok untuk penyakitku? Jangan-jangan kita malah salah obat nanti?" A Liong kurang setuju. Tio Siau In mencibirkan bibirnya yang tipis kemerah-merahan.
"Nah, ketahuan satu lagi! Ternyata selain lemah kau juga bodoh pula! Huh!" Tiba-tiba wajah A Liong menjadi cemberut.
"Wah, jangan menghina... cici! Mengapa aku kau katakan bodoh pula?" katanya penasaran. Tio Siau In membalikkan tubuhnya. Sambil bertolak pinggang gadis lincah itu mengawasi A Liong.
"Habis, soal begitu saja kau sudah bingung. Bagaimana aku tidak mengatakan kau bodoh? Ketahuilah, di manapun juga setiap tabib atau tukang obat tentu memberi tanda atau keterangan pada setiap jenis obat yang disimpannya. Mereka itu juga tak ingin salah ambil obat. Tahu...?" sergahnya dengan nada menggurui. Raut muka A Liong yang kokoh keras itu perlahan-lahan menunduk.
"Ya, kau benar... cici. Dalam hal tulis menulis aku memang tak mengerti." pemuda itu berdesah sedih. Sekonyong-konyong Tio Siau In tertawa.
"Hei, A Liong! kemana semangatmu tadi? Mengapa mendadak kau menjadi loyo begitu? Mengapa kau tidak mengeluarkan pantunmu lagi? Ayo, bersemangat! Ilmu membaca dan menulis juga bisa dipelajari...!" Gadis itu meledek untuk menggubah semangat A Liong. Benar juga, air muka pemuda kekar itu menjadi cerah kembali.
"Wah, kau sungguh hebat sekali, cici! Aku senang kepadamu! kau pintar, ceria dan selalu percaya diri, Eh, siapakah namamu Cici? kau tadi sudah mengatakannya belum? Aku sampai lupa lagi..." Tio Siau In memonyongkan mulutnya yang lancip.
"Uh, enak aja tanya-tanya nama orang, memang hendak kau bawa kemana namaku?" A Liong menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya... tidak di bawa kemana-mana sih, Cici, kau ini bagaimana sih...? Ditanya namanya saja, marah."
"Habis, caramu bertanya juga ngawur!"
"Ngawur? Ngawur gimana...? A Liong semakin bingung.
"Sudahlah! Tak usah tanya-tanya nama segala!" Tio Siau In cemberut, lalu membalikkan tubuhnya membelakangi A Liong.
"Baiklah...! Bialah aku tak usah tahu nama Cici." Akhirnya A Liong mengalah, tapi kemudian disambungnya pula dengan senyum di kulum.
"Biarlah kalau nanti bertemu di jalanan aku akan berteriak memanggilnya, hei... cici Pelit! Cici Pemarah!" Tubuh mungil itu kontan berbalik menghadapi A Liong, tapi sekarang mata itu tidak berpendar-pendar indah lagi, mata itu berubah seperti mata harimau betina yang sedang kehilangan anaknya.
"Apa katamu...? kau sebut aku... pelit?... pemarah? Begitu...?" A Liong meringis, pura-pura ketakutan.
"Habis, aku harus memanggil apa? Bukankah Cici memang pelit dan pemarah? Buktinya, ditanya namanya saja tidak boleh. Bahkan mara-marah pula. Yaaa, sudah...! Aku akan berteriak memanggilnya, hei... cici Ayu! Cici Ayu! Begitu! Nah, boleh tidak...?"
"Panggil aku... siau In! Bodoh!" akhirnya Tio Siau In menjadi kesal sendiri menghadapi pemuda konyol seperti A Liong itu. Selesai berkata gadis itu berbalik dan tidak memperdulikan A Liong lagi. Tanpa rasa takut ataupun jijik gadis itu membenahi mayat Su Hiat Hong dan Tong Kiat Teng. Kepala yang terpisah itu diambilnya, kemudian dijadikan satu dengan badannya. Lalu kedua mayat itu masing-masing dibungkus dengan kain seadanya yang ada di dalam rumah itu, agar darah atau anggota tubuh lainnya tidak berceceran kemana-mana.
"Sungguh kejam! Orang itu benar-benar berhati Iblis!" gadis itu bergumam di dalam hati. Sementara itu seperti orang gendeng (linglung), A Liong masih termangu-mangu di tempatnya. Matanya tak lepas dari wajah Tio Siau In yang sedang sibuk membenahi mayat-mayat itu, tapi pikirannya tampak melayang-layang entah ke mana.
"Siau In, hemm... cici Siau In?" gumamnya tak jelas.
"Akan kuukir nama ini di dalam otakku, agar tidak sampai lupa..." Selesai membungkus mayat-mayat itu, Tio Siau In bermaksud membawa keluar. Tapi serentak mendengar igauan A Liong, hatinya menjadi tergelitik lagi.
"Dasar bodoh, ya tetap bodoh! Masa mengukir nama di dalam otak? Mengukir nama itu di dalam hati! Tahu?" semprotnya lantang. A Liong tersentak kaget. Tapi selanjutnya dengan tenang pemuda itu menjawab seenaknya. Bahkan nada omongannya masih tampak kekanak-kanakan.
"Wah, Cici ini bagaimana... sih? Kalau sepasang kekasih yang sedang bercintaan, nama itu memang diukir di dalam hati. Tapi kalau hanya teman biasa seperti kita ini, nama itu cuma diukir di dalam otak."
"Hush, omonganmu semakin melantur...!" Tio Siau In membentak.
"Hei aku tidak melantur. Aku memang benar-benar mengukir nama Cici di dalam otakku. Besuk kalau aku sudah dewasa dan menjadi pendekar gagah perkasa, aku akan benar-benar mencari Cici Siau In."
"Mau apa kau mencariku?" Tio Siau In bertanya heran. Tapi dengan wajah ketolol-tololan A Liong menggelengkan kepalanya.
"Wah, mana aku tahu? Bukankah waktunya masih lama? Tentu saja aku tak bisa memikirkannya sekarang, dong...."
"Ah, sudahlah! Bicaramu semakin menjengkelkan! Ayoh, kita kuburkan mayat ini!" Tio Siau In memotong perkataan A Liong dengan kesal. A Liong tertawa. Dengan gesit pemuda itu membantu Tio Siau In mengeluarkan kedua mayat itu ke halaman. Sama sekali tidak kelihatan kalau dia masih menderita luka dalam. Sambil bekerja masih saja pemuda itu mengganggu Tio Siau In dengan ucapan-ucapannya yang polos dan menggelikan.
"Cici, kau jangan marah, ya...? Kasihanilah aku. Sejak kecil aku menjadi gelandangan. Hidup terlunta-lunta, dari kota ke kota mencari sesuap nasi dan belas kasihan orang. Tampaknya saja selalu berkeliaran di tempat ramai, namun hatiku selalu merasa kesepian dan sunyi. Tak seorang pun selama ini yang memperhatikanku. Rasanya aku ini seperti sampah, yang selalu dihindari dan disingkirkan. Oleh karena itu hatiku benar-benar tersentuh melihat perhatianmu padaku tadi malam. Cici seorang gadis dari kalangan baik-baik dan terhormat, ternyata mau menolong aku, menuntun aku, bahkan mau memapah aku, seorang pemuda gelandangan yang kotor dan hina. Aku keenakan. Padahal sebenarnya sakitku sudah tidak begitu terasa lagi. Sudah sembuh. Malah... sudah bisa berjalan sendiri. Tetapi aku tidak ingin kehilangan rasa haru dan nikmat itu...."
"Huh, jadi malam tadi kau menipuku, ya? Ih, enaknya...!"
"Habis aku tak mempunyai... orang tua atau kakak yang bisa menggandeng tanganku, menuntun langkahku, atau mengajakku bercanda. Maka kesempatan yang membahagiakan itu tentu saja takkan kulewatkan, hehe. Bahkan kalau tidak merasa kasihan kepada Cici, rasanya aku ingin menjadi lumpuh saja biar kau gendong."
"Ih, enaknya...!" Tio Siau In mencibir. Mereka bercakap-cakap sambil bekerja. Untunglah tanah di tempat itu sangat empuk sehingga sebentar saja mereka telah selesai menguburkan mayat Su Hiat Hong dan Tong Kiat Teng. Setelah membersihkan tangan dan kaki, mereka lalu mencari obat yang cocok untuk A Liong. Benar saja, semua obat yang tersimpan di dalam almari obat Tong Kiat Teng dibubuhi tulisan dan keterangan, sehingga dengan mudah Tio Siau In memilihnya. Semula A Liong masih tetap ragu-ragu, tapi karena didesak! terus oleh Tio Siau In, terpaksa pemuda itu meminumnya. Ternyata habis meminum obat A Liong merasa mengantuk sekali.
"Uuuuuuuhh...?!" Tiba-tiba Tio Siau In tersentak dari lamunannya. Bergegas gadis cantik itu menjenguk ke dalam kamar A Liong. Hampir saja mereka bertabrakan di depan pintu, karena pemuda itu dengan tergesa-gesa juga berlari keluar.
Memburu Iblis Eps 4 Memburu Iblis Eps 8 Memburu Iblis Eps 11