Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 10


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




   "Hemm, kalau begitu engkau merasa takut dan ngeri? Engkau lebih suka melihat keadaan menjadi semakin buruk dari pada kehilangan nyawamu untuk negara? Inikah ucapan Wakil Perdana Menteri Kang yang terkenal setia dan berbudi itu?"

   "Bukan begitu, tuan puteri..."

   Akan tetapi pembesar ini tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dari para pengawal dan penjaga yang berlarian kedalam gedung, dikejar oleh lebah-lebah berbisa. Bahkan diruangan depan gedung itu, terdapat beberapa orang pengawal yang jatuh bergelimpangan dan sekarat. Dua orang gadis bertusuk konde batu giok sudah meloncat kedalam dan dengan singkat menceritakan kepada nenek itu tentang pengamukan suami-isteri dari Ban-kwi-to yang mempergunakan lebah-lebah berbisa untuk merobohkan banyak sekali pengawal. Mendengar keterangan dua orang pengawal pribadi yang juga menjadi murid-murid kesayangannya itu, Siang Houw Nio-nio menjadi marah sekali. Dikibaskannya lengan bajunya.

   "Pek-ji! Ang-ji! Apakah menghadapi iblis Ban-kwi-to saja kalian tidak mampu mengatasinya dan perlu menggangguku?" bentaknya penasaran. Biasanya, kedua orang muridnya ini sudah dapat mengatasi segala persoalan yang timbul, karena itu ia sudah menaruh kepercayaan besar dan bahkan mengangkat mereka menjadi pengawal-pengawal pribadinya agar ia tidak usah turun tangan sendiri kalau timbul persoalan. Tentu saja ia merasa penasaran dan marah melihat kedua orang murid yang diandalkannya ini sekarang menjadi kacau hanya oleh amukan dua orang iblis Ban-kwi-to saja.

   "Maaf, subo, sebetulnya teecu berdua tidak akan kalah kalau saja mereka itu mempergunakan ilmu silat biasa. Akan tetapi mereka melepaskan lebah yang ratusan ekor banyaknya, lebah berbisa yang mengerikan sehingga sudah banyak perajurit yang roboh dan keracunan. Teecu berdua kewalahan untuk mengusirnya." Mendengar laporan muridnya yang berbaju putih yang diberi nama panggilan Pek In (Awan Putih) sedangkan yang berbaju merah disebut Ang In (Awan Merah), Siang Houw Nio-nio mengerutkan alisnya.

   "Lebah berbisa...? Apakah berwarna putih dan yang kena sengatannya terus kejang-kejang karena panas yang hebat dan berkelojotan, lalu kulit para korban juga menjadi putih?"

   "Benar, subo," kata Ang In.

   "Hemm, tentu lebah beracun dari pohon-pohon arak diSin-kiang yang amat berbahaya. Dalam waktu tiga jam kalau tidak diberi obat penawarnya, luka sengatan itu akan menjadi busuk dan sukar ditolong lagi. Menteri Kang, apakah engkau mempunyai arak yang tua, keras dan wangi? Cepat keluarkan dan bawa kesini. Suruh semua orang membawa obor, karena hanya dengan api sajalah lebah-lebah itu dapat diusir dan mereka sangat suka kepada arak wangi dan keras. Cepat!"

   Wakil Perdana Menteri Kang lalu memberi perintah kepada pengawal pribadinya dan tak lama kemudian nenek bangsawan itu telah menuangkan arak wangi kedalam guci arak yang indah buatannya, kuno dan nyeni. la membawa keluar guci arak itu dan meletakkannya diruangan depan. Dan terjadilah keanehan. Bau arak yang harum itu agaknya menarik lebah-lebah putih itu yang beterbangan dengan cepatnya menuju keguci arak itu dan sebentar saja semua lebah mengerumuni guci dan mengeroyok arak harum itu seperti semut-semut mengerumuni gula.

   Setelah semua lebah berkumpul disitu, Siang Houw Nio-nio lalu menyingsingkan lengan bajunya dan dengan kedua tangannya ia meraup lebah-lebah itu dan memasukkannya kedalam sebuah botol besar, kemudian iapun keluar membawa botol terisi lebah-lebah putih itu. Di halaman depan, suami-isteri iblis itu masih seperti orang gila, berjongkok dan tertawa terpingkal-pingkal melihat para korban yang berkelojotan diatas tanah. Memang ada lucunya melihat muka yang tertarik-tarik itu dan kaki tangan yang kejang-kejang, akan tetapi bagi orang biasa, tentu rasa ngeri dan kasihan akan mengusir semua bagian yang lucu.

   "Heh-heh-heh, lihat hidungnya! Heh-heh, hidungnya jadi bengkok!" kata nenek itu sambil terpingkal-pingkal.

   "Dan yang sana itu, kakinya menendang-nendang, ha-ha, agaknya dia mimpi belajar ilmu tendangan baru yang sakti, ha-ha-ha!" suaminya juga tertawa bergelak melihat tingkah laku seorang korban lain.

   "Hemm, kiranya tak salah dugaanku. Imkan Siang-mo yang datang mengacau, sungguh berani mati sekali!" nenek bangsawan itu berkata. Suami-isteri itu terkejut dan cepat melompat berdiri, berdampingan menghadapi nenek itu, memandang heran bahwa ada seorang yang mengenal julukan mereka ditempat ini. Akan tetapi ketika mereka melihat nenek yang berpakaian indah dan bersikap penuh wibawa itu, mereka berdua saling pandang dan nampak terkejut, lalu dengan sikap canggung keduanya menjura kearah nenek itu.

   "Bagaimana toanio dapat mengenal Imkan Siang-mo?" tanya nenek itu dengan suara parau. Siang Houw Nio-nio tersenyum.

   "Memang baru sekarang aku dengan sial bertemu dengan kalian, akan tetapi siapakah yang tidak pernah mendengar nama kalian sebagai tokoh-tokoh Ban-kwi-to? Kalian mempunyai ciri-ciri badan yang mudah dikenal. Imkan Siang-mo, Sepasang Iblis dari akhirat, juga suami-isteri Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li."

   "Engkau mengenal kami, lalu mau apa?" tiba-tiba nenek iblis itu menantang. Siang Houw Nio-nio tetap tersenyum dengan tenang.

   "Lihat, tidak kenalkah kalian kepada lebah-lebah ini lagi?" Melihat betapa lebah-lebah putih itu berada didalam botol yang dipegang oleh si nenek sakti, suami-isteri itu menjadi marah sekali.

   "Kembalikan lebah-lebahku!" bentak Hoan Mo-li, nenek gendut itu sambil menyerang, diturut pula oleh suaminya.

   Lebah-lebah itu adalah binatang-binatang peliharaan mereka yang menjadi sahabat-sahabat baik dan bahkan merupakan senjata mereka yang terampuh dalam menghadapi lawan tangguh, dan mereka memperoleh lebah-lebah itu dengan amat sukar, bahkan dengan taruhan nyawa. Belum lagi waktu yang dipergunakan untuk menjinakkan mereka yang membutuhkan ketelitian, kesabaran dan juga mengandung bahaya. Oleh karena itu, melihat betapa lebah-lebah itu berada ditangan nenek bangsawan itu, tentu saja mereka menjadi marah dan menyerang dengan dahsyat dan mati-matian. Akan tetapi, suami-isteri yang mempunyai pukulan-pukulan beracun itu sekarang seolah-olah ketemu gurunya. Pada hakekatnya, dasar ilmu silat dari tokoh-tokoh Ban-kwi-to ini tidaklah terlalu tinggi.

   Yang membuat mereka berbahaya bukanlah kelihaian ilmu silat mereka, melainkan racun-racun yang mereka pergunakan itulah. Kini, berhadapan dengan Siang Houw Nio-nio yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi, mereka itu mati kutu. Puteri tua yang menjadi bibi dan juga pelindung Kaisar ini ternyata amat lihai. Ia menghadapi pengeroyokan dua orang itu hanya dengan tangan kanan saja, sedangkan tangan kirinya dipakai untuk memegang botol terisi lebah-lebah putih. Biarpun demikian, dengan langkah-langkah ajaib, ia selalu dapat menghindarkan diri dan kedua orang suami-isteri iblis itu tidak pernah mampu menyentuhnya. Sampai tiga puluh jurus lebih suami-isteri itu mendesak tanpa ada gunanya sama sekali. Tiba-tiba, Siang Houw Nio-nio yang tadi hanya ingin melihat dasar-dasar gerakan mereka dan mengukur tingkat mereka, meloncat kepinggir sambil berseru,

   "Berhenti!!" Seruannya mengandung tenaga khikang yang demikian kuatnya sehingga dua orang lawannya itu, mau atau tidak, otomatis berhenti bergerak dan memandang kepadanya dengan bengong.

   "Kita tukar lebah-lebah peliharaan kalian ini dengan obat pemunahnya untuk menyembuhkan para korban. Hayo cepat, kalau tidak, kuhancurkan lebah-lebah ini kemudian kepala kalian juga!" Ucapan nenek itu penuh wibawa dan sekali ini suami-isteri itu tidak ragu-ragu lagi. Mereka telah memperoleh bukti bahwa nenek ini tidak hanya mengeluarkan gertak sambal belaka, karena selama tiga puluh jurus lebih tadi mereka berdua memang sama sekali tidak berdaya dan kalau nenek itu benar-benar hendak membunuh mereka, agaknya hal itu bukan tidak mungkin.

   "Baik..., baik... ini obat pemunahnya, obat luar dan obat minum. Berikan kembali lebah-lebahku," kata Hoan Moli si nenek gendut. Penukaran terjadilah dan Siang Houw Nio-nio lalu memerintahkan dua orang muridnya untuk mengobati para korban. Dan benar saja, setelah diolesi obat luar dan diberi minum obat minumnya, para korban itu berhenti berkelojotan dan tak lama kemudian merekapun sembuh kembali. Sementara itu, kakek kecil kurus, Bouw Mo-ko, setelah sejak tadi memandang kepada nenek bangsawan itu, lalu berkata,

   "Benarkah kami berhadapan dengan yang mulia Siang Houw Nio-nio?" Mendengar ucapan suaminya itu, Hoan Moli juga kelihatan terkejut. Nenek bangsawan itu mengangguk dan berkata,

   "Nah, kalian boleh pergi dari sini dan jangan mencoba untuk membikin kacau dikota ini!" Bouw Mo-ko yang maklum bahwa tinggal lebih lama ditempat itu tidak menguntungkan mereka, lalu menggandeng tangan isterinya.

   "Isteriku, mari kita pergi dari sini!"

   "Nanti dulu!" Hoan Moli mengibaskan tangannya yang digandeng suaminya.

   "Siang Houw Nio-nio, perjanjian antara kita hanya mengenai tukar-menukar lebah dan obat penawarnya. Akan tetapi gadis itu adalah tawanan kami, maka kami akan membawanya kembali!" Nenek bangsawan itu menoleh kepada Pek Lian yang ditudingi oleh nenek iblis itu, lalu ia mengangkat pundaknya.

   "Tidak ada hubungannya denganku," katanya. Mendengar ini, Hoan Moli lalu menghampiri Pek Lian.

   "Anak manis, mari kau ikut dengan kami!"

   "Tidak sudi! Biar mati aku tidak akan mau menyerah!" bentak Pek Lian sambil melintangkan pedangnya, pedang yang dipungutnya dari atas tanah dihalaman itu.

   "Eh, eh, kau berani melawanku, ya?" Hoan Moli membentak dan menubruk maju. Pek Lian mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi, Bouw Mo-ko kini juga sudah maju menubruk dan Pek Lian menjadi repot sekali. Melawan seorang diantara kedua iblis itu saja ia takkan mampu menang, apa lagi kalau dikeroyok dua. Akan tetapi pada saat itu, Pek In dan Ang In sudah menerjang maju membantunya.

   "Eh, eh, bukankah gadis tawananku ini tidak termasuk perjanjian tukar-menukar lebah?" Hoan Moli mencela.

   "Kalian berjanji dengan subo, bukan dengan kami. Kami tidak terikat perjanjian!" jawab Pek In yang terus menggerakkan pedangnya, dibantu oleh Ang In dan Pek Lian. Kini dua orang suami-isteri iblis itu yang menjadi kewalahan. Untuk mempergunakan racun, mereka segan dan jerih terhadap Siang Houw Nio-nio, maka akhirnya sambil mengeluarkan seruan-seruan marah dan kecewa, keduanya meloncat keatas gerobak dan melarikan gerobak mereka itu dengan cepat meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari pintu gerbang kota besar Lok-yang. Setelah dua orang iblis itu melarikan diri, Siang Houw Nio-nio memandang kepada Pek Lian dengan sinar mata penuh selidik, kemudian bertanya,

   "Nona, siapakah engkau?" Pek Lian merasa ragu-ragu untuk menjawab. Ia tahu siapa adanya nenek ini yang masih keluarga dekat Kaisar. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang kini menjadi musuh dan tawanan pemerintah. Sebagai bibi Kaisar, tentu saja nenek inipun memusuhi keluarga Ho yang dianggap pemberontak. Melihat keraguan Pek Lian, gadis baju merah lalu berkata sebagai keterangan kepada subonya,

   "Gadis ini tentu merupakan kawan dari orang-orang Lembah Yang-ce yang memberontak. Anak-buah teecu pernah menawannya. Bukankah begitu?" tanyanya kepada Pek Lian. Pek Lian tak dapat menyangkal akan hal ini dan iapun tahu bahwa tentu wanita-wanita bertusuk konde batu giok itu telah melapor kepada pimpinan mereka ini. Maka iapun menjawab dengan suara mengejek,

   "Hemm... kiranya wanita-wanita bertusuk konde batu giok itu adalah anak-buah mu?" Pek Lian memandang kearah tusuk konde pada rambut nona baju merah itu.

   "Anak-buahmu itu sungguh kurang ajar sekali. Aku hanya pernah berjalan bersama-sama ketua lembah itu saja, dan aku lalu ditangkap! Aturan mana itu?"

   "Adik yang baik, kau maafkanlah anak-buah kami. Akan tetapi orang-orang lembah itu adalah buronan pemerintah, maka karena engkau mengenal mereka, sudah selayaknya kalau engkau dicurigai," kata Pek In si baju putih.

   "Akan tetapi, apa hubungannya dengan wanita-wanita baju sutera hitam bertusuk konde batu giok itu? Ada hak apakah mereka mencurigai orang?" Pek Lian bertanya penasaran. Gadis baju putih itu tersenyum dan kalau biasanya ia nampak gagah, kini baru terlihat jelas bahwa wajahnya manis sekali kalau tersenyum.

   "Adik, tahukah engkau siapa pembesar pemilik gedung ini? Beliau adalah Wakil Perdana Menteri Kang, dan guru kami ini, beliau adalah bibi dari Sribaginda Kaisar. Nah, kini engkau mengerti mengapa anak-buah kami mencurigai orang-orang yang menjadi teman para pemberontak, bukan?" Tentu saja Pek Lian sama sekali tidak terkejut mendengar siapa adanya pembesar dan nenek bangsawan itu karena memang ia sudah pernah mengenal dan mendengar tentang mereka. Hanya tadi ia merasa kagum bukan main menyaksikan kelihaian nenek itu ketika menghadapi Imkan Siang-mo, suami-isteri iblis yang lihai itu.

   Dan baru sekarang ia tahu bahwa pasukan wanita berpakaian sutera hitam dengan tusuk konde batu giok itu adalah anak-buah murid-murid dari Siang Houw Nio-nio jadi orang-orangnya pemerintah! Atau setidaknya adalah golongan yang membela Kaisar. Ia sendiri tidak ingin dikenal sebagai puteri Menteri Ho karena hal ini akan berbahaya sekali baginya. Maka, ketika melihat Wakil Perdana Menteri Kang keluar dan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam, Pek Lian menundukkan mukanya. Menteri Kang itu mengerutkan alisnya dan merasa seperti pernah mengenal gadis ini. akan tetapi dia lupa lagi. Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau sampai ia dikenal? Tidak ragu lagi, ia tentu akan ditangkap sebagai anggauta keluarga pemberontak. Ia harus berhati-hati dalam memberi jawaban, pikirnya dan ia tidak boleh terlalu banyak bicara.

   "Nona, siapakah engkau? Benarkah orang-orang Lembah Yang-ce itu adalah kawan-kawan mu? Ataukah engkau barangkali juga anggauta pemberontak?" kembali wanita tua itu bertanya dengan halus, namun sinar matanya seperti hendak menembus jantung Pek Lian.

   "Saya adalah seorang perantau dan kebetulan bertemu dijalan dan berkenalan dengan ketua lembah itu. Karena saya pernah ditolongnya, maka kami menjadi sahabat, akan tetapi saya bukan anggauta mereka."

   "Dimanakah sekarang sahabatmu, ketua lembah itu?" Ho Pek Lian memang tidak tahu kemana perginya Kwee Tiong Li yang ikut bersama gurunya yang baru, yaitu kakek Kam Song Ki yang lihai. Maka iapun menggeleng kepalanya dan berkata,

   "Saya tidak tahu. Kami saling berpisah tiga hari yang lalu dan saya ditawan oleh pasukan tusuk konde batu giok lalu dirampas oleh sepasang iblis itu." Wakil Perdana Menteri Kang mempersilahkan nyonya bangsawan itu untuk duduk kembali diruangan tamu melanjutkan percakapan mereka. Siang Houw Nio-nio memberi isyarat kepada dua orang muridnya,

   "Bawa ia masuk dan awasi baik-baik." Pek In dan Ang In lalu memegang kedua tangan Pek Lian dengan halus dan mengajaknya masuk keruang tamu dimana kedua orang gadis itu duduk agak jauh dibelakang nenek yang kini melanjutkan percakapan dengan Menteri Kang.

   Dua orang muridnya adalah orang-orang kepercayaan maka diperbolehkan untuk hadir. Dan nenek ini biarpun seorang bangsawan, akan tetapi sikapnya seperti orang kang-ouw, tidak begitu perduli akan segala peraturan. Bahkan ia seperti sengaja membiarkan Pek Lian ikut pula mendengar-kan, agaknya memang nenek ini ingin memancing agar Pek Lian dapat memberi keterangan lebih banyak tentang para pemberontak. Pek Lian duduk diapit-apit dua orang gadis lihai yang biarpun bersikap halus akan tetapi tetap saja merupakan pengawal-pengawal yang takkan membiarkan ia lolos. Diam-diam Pek Lian memasang telinga mendengarkan percakapan tingkat tinggi itu.

   "Menteri Kang, sekali lagi kuharapkan engkau suka memegang lagi jabatanmu dan mengurungkan niatmu untuk mengundurkan diri. Hal ini telah diputuskan oleh para penasihat Istana dalam rapat terakhir dengan Sribaginda Kaisar sendiri. Akulah yang ditugaskan datang kesini untuk menyampaikannya kepadamu." Wakil Perdana Menteri Kang mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Kalau hamba menolak, tentu paduka telah mendapat wewenang dari Sribaginda untuk memenggal kepala hamba sekeluarga, bukan? Begini, tuan puteri. Hamba siap untuk kembali, akan tetapi hamba juga siap untuk membiarkan kepalaku dipenggal sekarang juga oleh paduka." Nenek itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong menatap wajah pembesar itu.

   "Hem, apa maksudmu, Menteri Kang?"

   "Hamba siap untuk bertugas kembali, apabila syaratnya dipenuhi. Hamba mohon agar para Menteri jujur dan setia yang dipecat dan dipensiunkan agar diampuni dan ditarik kembali karena tenaga mereka amat dibutuhkan negara, termasuk sahabat hamba Menteri Ho. Menteri Ho hendaknya diampuni dari hukuman mati, keluarganya dibebaskan dan agar dia menduduki lagi jabatannya. Demikianlah, tuan puteri. Kalau permohonan hamba itu tidak dipenuhi, maka lebih baik hamba menerima untuk di..."

   "Nanti dulu, Menteri Kang!" nenek itu menyela.

   "Mana mungkin aku dapat memutuskan hal itu sekarang! Bukan wewenangku. Akan tetapi aku akan berusaha untuk menyampaikan permohonanmu kepada Sribaginda dan akan berusaha agar beliau mengabulkannya. Aku mendengar bahwa Sribaginda telah menghentikan empat orang Menteri, bahkan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang diantaranya yang kini sedang hendak menjalankan pelaksanaan hukuman matinya. Menteri itu adalah sahabat karibmu" Nenek itu menghela napas. Ia tidak tahu betapa jantung Pek Lian berdebar penuh ketegangan dan keharuan. Betapa tidak akan tergetar rasa hati gadis ini mendengar orang membicarakan ayahnya. Akan tetapi ia menguasai hatinya dan hanya menundukkan muka sambil terus mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Maaf, tuan puteri. Soalnya bukan semata-mata karena Menteri Ho adalah sahabat karib hamba. Andaikata hamba tidak mengenal dia sekalipun, tetap dia akan hamba bela karena hamba tahu bahwa dia adalah satu diantara para pembantu Sribaginda yang terbaik, paling jujur dan setia sampai ketulang-tulang sumsumnya."

   "Tapi dia berani menentang kebijaksanaan Sribaginda!" kata nenek itu penasaran.

   "Tidak, tuan puteri. Bukan menentang Sribaginda, melainkan mengingatkan beliau bahwa keputusan yang diambil beliau itu kurang tepat dan pada akhirnya hanya akan merugikan negara sendiri. Hanya Menteri-Menteri jujur sajalah yang berani mengeritik, sebagai tanda bahwa dia benar-benar setia, bukan sebangsa pejabat yang pandainya hanya menjilat-jilat, menyenangkan hati Sribaginda karena pamrih untuk mencari kedudukan dan pengaruh, pejabat macam ini sesungguhnya adalah pengkhianat, musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Kenapa justeru Menteri yang jujur dan setia yang harus ditangkap dan dihukum?"

   "Sudahlah, aku mengerti apa yang kau maksudkan. Aku akan menghadap Sribaginda dan tunggulah selama satu minggu. Aku akan datang lagi, Pek-ji, Ang-ji, mari kita pulang. Bawa nona itu sebagai kawan." Biarpun nenek itu menyebut "Kawan" namun dua orang muridnya tentu saja maklum bahwa guru mereka mencurigai nona ini yang harus dibawa sebagai seorang tawanan. Pek Lian tidak membantah. Ia dan dua orang murid Siang Houw Nio-nio itu diberi pinjaman pakaian oleh keluarga Wakil Perdana Menteri Kang untuk mengganti pakaian mereka yang tadi basah ketika mereka berkelahi melawan Imkan Siang-nio.

   Setelah berpamit, rombongan puteri tua itu meninggalkan Lakyang untuk kembali ke Kotaraja. Pengawal yang tadinya berjumlah empat belas orang itu masih utuh biarpun mereka telah menderita luka-luka berat yang kemudian dapat disembuhkan kembali. Tentu saja mereka masih nampak loyo. Akan tetapi, sesungguhnya tugas mereka itu lebih banyak sebagai tanda kebesaran saja dari pada benar-benar mengawal puteri tua yang amat lihai dan yang tentu saja sama sekali tidak membutuhkan pengawalan orang-orang seperti mereka. Pek Lian menung-gang kuda dibelakang kereta, diapit oleh Pek In dan Ang In. Dua orang gadis ini bersikap manis kepadanya, sama sekali tidak bersikap seperti orang yang menawannya. Pek Lian mengakui namanya, hanya she Ho itu digantinya dengan she palsu, yaitu she Sie.

   ***

   Hujan telah berhenti sama sekali sehingga para pengawal, juga Pek In, Ang In dan Pek Lian yang berada diluar kereta tidak lagi basah oleh air hujan. Nenek bangsawan itu sengaja membuka tirai kereta sehingga dari belakang, sambil naik kuda yang disediakan oleh keluarga Menteri Kang, Pek Lian dapat melihat wajah nenek itu yang duduk termenung seperti patung. Diam-diam, seperti tidak sengaja, Pek Lian memperhatikan wajah itu. Seorang wanita yang sudah tua, usianya tentu ada enam puluh lima tahun, akan tetapi masih jelas membayang bekas kecantikannya.

   Wajah itu masih putih lembut biarpun disana-sini, terutama dikanan kiri mulut dan diantara kedua mata, terdapat keriput. Alisnya diperindah dengan hiasan hitam seperti sudah lajimnya dilakukan oleh para wanita bangsawan. Mulut itu dahulu tentu indah dan penuh gairah, masih nampak jelas garis-garis lengkungnya, akan tetapi kini membayangkan sesuatu yang menyeramkan, menimbulkan sifat dingin dan juga keras. Pek Lian teringat akan cerita ayahnya tentang wanita ini, seorang bibi dalam dari Kaisar dan juga menjadi pelindung Kaisar. Biasanya wanita ini selalu berada didalam Istana, menjadi semacam pelindung tersembunyi dari Kaisar, disamping adanya pengawal-pengawal pribadi Kaisar yang dipimpin oleh Pek-lui-kong Tong Ciak si pendek cebol tokoh Soa-hu-pai itu.

   Karena nenek ini tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, maka perkenalannya dengan Menteri Ho juga hanya sepintas lalu saja, bahkan Pek Lian sendiri hanya baru mendengar namanya saja dan belum pernah berkenalan secara langsung, hanya melihatnya dari jauh. Tidak demikian dengan wakil Perdana Menteri Kang yang menjadi sahabat baik ayahnya. Ia pernah bertemu, bahkan berkenalan dengan pembesar ini, walaupun hanya merupakan pertemuan sambil lalu. Karena itulah maka pembesar itu meragu dan tidak mengenalnya tadi. Kereta itu dengan tenangnya meluncur keluar dari pintu gerbang benteng sebelah utara. Para penjaga yang mengenal kereta dengan tanda-tanda pangkatnya ini, cepat berdiri tegak memberi hormat dan kereta itu lewat dengan cepatnya, Pada saat itu, Ang In mendekati jendela kereta dan berkata kepada nenek Siang Houw Nio-nio.

   "Subo, didepan terdapat empat orang dari perkumpulan Thian-kiam-pang. Mereka juga keluar dari pintu gerbang dan juga membawa sebuah kereta." Nenek itu mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam karena alis itu buatan dengan alat penghitam.

   "Biarkan saja, kenapa ribut-ribut? Jangan perdulikan bocah-bocah ingusan itu. Pura-pura tidak melihat saja!" Jelas bahwa dalam kata-kata nenek itu terdapat kemarahan atau kemengkalan hati yang tidak senang.

   "Tapi... tapi, subo... Disana terdapat Yap-suko! Teecu... teecu..." gadis baju merah itu tergagap. Juga nona Pek In nampak gugup seperti adik seperguruannya. Melihat semua ini, Pek Lian memandang heran. Ada apakah? Ia juga melihat kereta didepan dengan beberapa orang pemuda perkasa yang mirip dengan rombongan pria yang pernah dilihatnya ketika ia masih bersama kedua orang suhunya. Orang-orang Thian-kiam-pang! Pria gagah perkasa, berbaju putih-putih membawa pedang pasangan yang panjang, sikap merekapun gagah dan jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan pendekar-pendekar perkasa.

   "Huh, kalau ada bocah itu, kenapa sih? Apakah kalian takut padanya?" nenek itu bertanya dan nampaknya semakin penasaran.

   "Lihat, apa yang dapat mereka lakukan kalau ada aku disini!" Ho Pek Lian menjadi semakin heran. Ada apakah antara nenek dan dua orang muridnya itu dengan orang-orang dari Thian-kiam-pang, sehingga dua orang gadis lihai itu nampak seperti gentar dan kehilangan keberanian mereka? Apakah orang-orang Thian-kiam-pang itu musuh-musuh mereka dan apakah mereka itu demikan lihainya sehingga dua orang gadis itu kelihatan gentar? Karena tertarik, Pek Lian agak menjauhkan kudanya dari kereta untuk dapat melihat lebih jelas kearah orang-orang Thian-kiam-pang yang berada didepan itu. Kereta didepan itu agaknya berjalan lambat-lambat sehingga hampir tersusul oleh kereta yang ditumpangi Siang Houw Nio-nio. Kini Pek Lian dapat melihat lebih jelas.

   Orang-orang dari perkumpulan Pedang Langit itu rata-rata berusia antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, kelihatan tegap dan gesit, rata-rata bersikap gagah dan membayangkan kepandaian silat yang tinggi. Setelah kereta yang berada dibelakang itu menyusul dekat, pria-pria gagah perkasa yang rata-rata berpakaian serba putih itu serentak menengok kebelakang dan kesemuanya nampak terkejut sekali dan kikuk, persis seperti sikap Pek In dan Ang In ketika melihat mereka! Jadi ada semacam rasa tidak enak, segan dan takut antara kedua rombongan itu. Kini Pek Lian teringat betapa wanita-wanita berpakaian sutera hitam yang memakai tusuk konde batu giok itupun nampaknya kikuk ketika pria-pria gagah itu bertemu dengan pimpinan wanita bertusuk konde batu giok. Empat orang pria itu meringis, senyum yang masam dan kikuk, dan mereka hampir berbareng menegur kepada dua orang gadis itu.

   "Adik Pek! Adik Ang!" Teguran yang dilakukan dalam keadaan canggung itu membuat dua orang gadis itu kelihatan makin serba salah, keduanya hanya tersenyum masam sambil sedikit mengangguk ketika mendengar sebutan itu. Padahal, melihat nada suara sebutan itu, mudah diduga bahwa hubungan antara mereka itu sesungguhnya amat dekat. Kini dua orang gadis itu hanya mengerling tajam dengan sikap takut-takut kearah jendela kereta.

   Mereka merasa lebih gugup ketika melihat betapa kereta itu, kereta para pria itu, berhenti dan pemuda yang tadi duduk dibangku kusir kini meloncat turun dan menghampiri mereka! Pemuda ini nampaknya paling muda diantara mereka berempat, akan tetapi melihat caranya memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti dan yang lain mengangguk taat, dapat diduga pula bahwa kedudukannya adalah yang paling tinggi. Tentu saja Pek In dan Ang In tahu siapa pemuda ini. Namanya Yap Kiong Lee dan biarpun usianya termuda diantara yang lain, yaitu baru tiga puluh satu atau dua tahun, akan tetapi dia adalah murid tertua atau paling lama sehingga merupakan toa-suheng dari yang lain dan tingkat ilmu silatnya juga paling tinggi. Melihat dua orang gadis itu, murid Thian-kiam-pang yang paling lihai ini tersenyum girang dan dengan langkah lebar menghampiri sambil menegur.

   "Hei, kiranya Pek-siauwmoi dan Ang-siauwmoi! Apa kabar, adik-adik yang manja? Dari manakah" tiba-tiba dia terdiam ketika dua orang gadis itu kelihatan ketakutan dan kebingungan, memandang kearah jendela kereta dibelakang itu. Cepat dia menghentikan langkahnya dan memandang kearah jendela kereta pula, wajahnya agak berobah dan sikapnya menjadi gugup pula. Tiba-tiba terdengar suara nenek bangsawan dari dalam kereta, suaranya agak ketus,

   "Hayo, Pek-ji dan Ang-ji! Jangan layani bocah-bocah itu!" Pek In dan Ang In menjadi semakin ketakutan.

   "Yap-suheng... aku... aku..." Pek In tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menjalankan kudanya maju menjauhi pemuda itu, disusul oleh Ang In. Yap Kiong Lee juga kelihatan jerih, sambil menjura kearah kereta, diapun berkata,

   "Subo...!" Dan saudara-saudara seperguruannya juga menjura dengan hormatnya. Akan tetapi, nenek didalam kereta itu sama sekali tidak menjawab dan keretanya lewat dengan cepat mendahului kereta Thian-kiam-pang itu dan Pek Lian juga mengikuti kereta sambil melirik dengan penuh keheranan.

   Betapa anehnya semua orang ini, pikirnya. Jelaslah bahwa mereka itu saling mengenal dengan amat baiknya, apa lagi pemuda she Yap itu sudah jelas memiliki hubungan yang amat akrab dengan dua orang gadis itu. Akan tetapi mengapa mereka itu bersikap seolah-olah mereka bermusuhan atau merasa takut untuk memperlihatkan keakraban? Pek Lian melirik kebelakang ketika mereka melalui kereta orang-orang Thian-kiam-pang itu, dan ia melihat kereta itupun bergerak dengan cepatnya, melalui jalan kecil disebelah kiri dan agaknya memang hendak mengambil jalan lain agar tidak sejalan dengan nenek bangsawan. Sebentar saja kereta mereka itu lenyap, meninggalkan debu mengepul tinggi. Sementara itu, kereta nenek bangsawan jalan seenaknya seperti yang diperintahkan oleh nenek itu kepada kusirnya. Ketika kereta Siang Houw Nio-nio memasuki kota kecil disebelah timur Kotaraja, hari telah senja.

   Jarak antara kota kecil Binan dengan Kotaraja Tiangan tinggal perjalanan setengah hari saja. Akan tetapi karena nenek bangsawan itu tidak ingin melakukan perjalanan dimalam hari, ia memerintahkan agar mereka bermalam dikota kecil Binan. Dan biarpun ia seorang yang berkedudukan tinggi di Istana, namun karena ia tidak termasuk orang pemerintahan dan tidak begitu mengenal para pejabat, iapun tidak mau merepotkan pejabat kota itu dan memerintahkan dua orang muridnya untuk mencari penginapan, tentu saja hotel yang paling baik dan besar dikota itu. Hotel itu selain besar dan mempunyai banyak kamar, juga menyediakan sebuah rumah makan yang mewah. Nenek Siang Houw Nio-nio segera memasuki kamar yang disediakan untuknya dan memesan kepada Pek In dan Ang In agar untuk makan malamnya, diantar saja kedalam kamar karena ia enggan keluar.

   "Kalian boleh makan diluar dan jalan-jalan, akan tetapi jaga jangan sampai gadis itu lolos," katanya. Dua orang gadis itu menyanggupi lalu mereka mengajak Pek Lian keluar dan memasuki rumah makan itu. Sikap keduanya gembira dan terhadap Pek Lian mereka menganggap seperti seorang sahabat sendiri.

   "Adik Pek Lian, engkau tahu bahwa demi tugas, kami harus mengawasimu karena engkau dicurigai, akan tetapi percayalah bahwa kami suka kepadamu dan sedikitpun kami tidak mempunyai hati benci atau memusuhimu," demikian mereka pernah berkata sehingga didalam hatinya, Pek Lian juga suka kepada dua orang gadis yang berilmu tinggi ini. Ketika mereka memasuki rumah makan, tempat itu penuh dengan tamu-tamu yang makan-minum. Ada sebuah meja kosong disudut dan tiga orang gadis itu duduk menghadapi meja ini, tidak jauh dari meja dimana terdapat empat orang laki-laki yang menarik perhatian mereka. Dipinggang mereka ini terselip golok. Padahal, waktu itu sudah ada larangan membawa senjata. Jelaslah bahwa empat orang ini termasuk jagoan-jagoan dan dua orang diantara mereka mempunyai lengan yang dibalut, tanda bahwa mereka telah mengalami luka.

   Sikap mereka kasar-kasar dan diam-diam Pek Lian melirik penuh perhatian karena ia merasa seperti pernah melihat wajah-wajah kasar ini. Empat orang kasar itu kini menjadi semakin kasar karena mereka telah agak kebanyakan minum arak keras. Ketika mereka minta tambah arak dan pelayan datang agak terlambat, seorang diantara mereka bangkit berdiri dan menampar pelayan itu. Pelayan yang sial itu roboh terguling dengan pipi bengkak dan pingsan. Tentu saja keadaan menjadi gempar. Banyak diantara para tamu merasa tidak enak dengan adanya peristiwa ini dan mereka sudah bangkit berdiri, bermaksud meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, empat orang kasar itu bangkit berdiri, mencabut golok mereka dan mengacung-acungkannya keatas.

   "Jangan ribut! Teruskan kalian makan, siapa berani pergi akan kami bunuh!" Tentu saja para tamu menjadi semakin ketakutan. Mereka tidak jadi pergi, akan tetapi tentu saja napsu makan sudah lama terbang meninggalkan hati mereka. Para pelayan lain dengan ketakutan segera menggotong pelayan sial yang pingsan itu.

   "Harap nona suka hati-hati," bisik seorang diantara para pelayan ketika mereka lewat dekat meja tiga orang gadis itu. Ketika ada beberapa orang petugas keamanan kota memasuki rumah makan, para tamu memandang dengan penuh harapan. Tentu mereka akan menangkap empat orang yang jelas merupakan penjahat-penjahat kasar itu. Akan tetapi, empat orang itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan seorang diantara meieka mengangkat kakinya keatas meja secara menantang sekali. Dan anehnya, para petugas keamanan itu nampak ragu-ragu! Hal ini tentu saja amat mengherankan hati Pek Lian. Kota kecil ini tidak terlalu jauh dari Kotaraja, akan tetapi mengapa para penjahat ini begitu beraninya, seolah-olah menantang petugas keamanan.

   Melihat sikap mereka, Ang In hampir tidak dapat menahan hatinya, akan tetapi sucinya berkedip kepadanya dan mencegahnya turun tangan karena Pek In ingin melihat perkembangannya. Empat orang yang mabok-mabokan itu agaknya tidak memperdulikan kanan kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pek Lian untuk menggapai pelayan yang tadi membisikkan peringatan kepada mereka bertiga. Pelayan itu datang kemeja mereka dan sambil berpura-pura memesan makanan, Pek Lian berbisik dan bertanya kepada pelayan itu tentang empat orang kasar tadi. Sambil berbisik pula, dengan singkat pelayan itu lalu bercerita. Kiranya memang sudah kurang lebih sepekan ini kota kecil itu didatangi oleh penjahat-penjahat yang beraksi disekitar Kotaraja, termasuk dikota kecil itu. Ketika para petugas keamanan turun tangan bertindak, para penjahat melawan dan beberapa orang petugas tewas dalam perkelahian.

   Hal ini membuat para komandan marah dan diadakanlah pembersihan terhadap para penjahat. Akan tetapi, ketika diadakan pembersihan pada siang harinya, maka pada malam harinya, terjadilah pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap para komandan yang memimpin pembersihan. Dan disetiap tempat dimana perwira itu dibunuh, terdapat sebuah bendera kecil berdasar hitam dengan gambar harimau berwarna kuning. Dipinggang harimau itu melilit sebuah rantai yang kedua ujung nya bermata tombak. Mendengar penuturan itu, Pek Lian menahan kagetnya. Bukankah gambar yang dilukiskan itu merupakan tanda dari Sanhek-houw (Harimau Gunung Hitam), Raja kaum perampok dan begal, copet dan maling, yang merupakan seorang diantara Sam-ok (Tiga Jahat)?

   "Hemm, mengherankan sekali," kata Ang In.

   "Apakah tidak ada pasukan penjaga keamanan dari Kotaraja?" tanyanya kemudian. Pelayan itu sambil berbisik melanjutkan ceritanya. Agaknya dia termasuk orang yang suka dengan kabar angin, dan suka bercerita pula, agaknya bangga karena dia dapat menceritakan semua itu.

   Menurut kabar, oleh penguasa kota telah dilaporkan ke Kotaraja, akan tetapi sampai hari itu belum ada hasilnya. Para penjahat itu nampaknya semakin berani. Beberapa kali terjadi perkelahian antara para penjahat dan para penjaga yang dibantu oleh pendekar-pendekar yang kebetulan lewat disitu dan yang membela rakyat dari ancaman para penjahat. Hampir setiap hari. terjadi pembunuhan. Baru, kemarin terjadi pertempuran sengit antara para penjahat dengan beberapa orang pendekar dari kunlun-pai. Para penjahat melarikan diri sambil membawa teman-teman mereka yang terluka karena lima orang pendekar kunlun-pai itu lihai sekali. Akan tetapi, kemudian muncul seorang laki-laki tinggi besar yang berjubah kulit harimau. Laki-laki tinggi besar ini selalu diikuti oleh dua ekor harimau kumbang dan lima orang pendekar kunlun-pai itu tewas semua ditangan Raja penjahat ini!

   "Dan mereka itu..." kata si pelayan sambil melirik kearah empat orang yang duduk dimeja sambil tertawa-tawa itu.

   "Adalah sebagian dari penjahat-penjahat yang melarikan diri karena kalah oleh pendekar-pendekar kunlun-pai" Mendengar penuturan itu, Pek Lian mengepal tangannya dibawah meja dan tanpa disadarinya lagi iapun berkata gemas,

   "Hemm, orang-orang si Raja Kelelawar sudah mulai merajalela!" Setelah mengeluarkan kata-kata itu dan melihat betapa dua orang gadis itu memandangnya dengan aneh, barulah Pek Lian terkejut sendiri.

   "Adik Pek Lian sudah mengenal Raja Kelelawar dan pengikut-pengikutnya?" tanya Pek In sambil memandang tajam.

   "Ah, tidak..." kata Pek Lian yang sudah menyadari bahwa ia tadi terdorong oleh perasaannya dan kelepasan bicara.

   "Aku hanya mendengar berita angin saja bahwa kini kaum hitam telah bersatu dan dipimpin oleh seorang Raja penjahat besar yang bernama Raja Kelelawar. Raja ini kabarnya dibantu oleh dua orang pimpinan penjahat yang berjuluk Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti." Gadis baju merah mengangguk-angguk.

   "Memang berita itu benar. Anak-buah yang kami kirim ketempat pertemuan itu juga melaporkan demikian. Kiranya engkaupun sudah mendengar akan berita menghebohkan itu." Ang In tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu terdengar suara berisik derap kaki kuda diluar restoran. Pelayan yang datang mengantar hidangan kemeja tiga orang gadis itu, menjadi pucat ketika menaruh mangkok-mangkok diatas meja.

   "Celaka... mereka... mereka datang lagi...!" Dan setelah menaruh masakan-masakan panas diatas meja, pelayan itu bergegas pergi meninggalkan ruangan dan bersembunyi dibagian belakang restoran bersama teman-temannya. Empat orang kasar itu kini semakin mabok dan semakin ugal-ugalan. Kata-kata mereka kasar dan juga jorok dan cabul, apa lagi setelah kini mereka melihat adanya tiga orang wanita cantik tidak jauh dari meja mereka. Kata-kata mereka mulai menyindir dan mengenai tiga orang wanita itu sehingga wajah ketiga orang gadis itu menjadi merah karena marahnya.

   "Ha-ha-ha, A-tung, gadis-gadis disini memang berani-berani. Lihat saja, banyaknya gadis yang datang mendekati kita kemanapun kita berada. ha-ha-ha...!"

   "Memang rejeki kita sedang besar. Tapi, kita berempat sedangkan yang ada hanya tiga, harus diundi!"

   "Aku ingin yang paling muda!"

   "Kalau aku yang lebih tua, karena tentu lebih berpengalaman dan lebih menyenangkan." Ang In sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh oleh sucinya yang melarangnya untuk menanggapi orang-orang kasar itu.

   Pek In lebih hati-hati dari pada sumoinya, ia selalu ingat bahwa mereka berada dalam tugas dan mereka tidak sepatutnya kalau melibatkan diri dengan urusan pribadi. Mereka hanya akan bergerak kalau ada perintah dari subo yang juga menjadi majikan mereka. Kalau mereka menimbulkan keributan karena urusan pribadi, tentu mereka akan menerima teguran dari subo mereka. Akan tetapi, empat orang kasar itu agaknya tidak tahu gelagat dan mereka itu makin menjadi-jadi kurang ajarnya. Apa lagi ketika Pek Lian yang merasa marah karena dirinya dibicarakan secara jorok itu, melirik dengan sinar mata berapi. Seorang diantara mereka, yang berkumis tebal, bangkit dan dengan langkah sempoyongan menghampiri meja tiga orang gadis yang sedang mulai makan itu.

   "Ha-ha-ha, nona manis, jangan jual mahal. Mari makan bersama kami" Dan diapun mengulurkan tangannya hendak meraba dada Pek Lian. Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan, kemarahan hatinya. Disambarnya mangkok kuah bakso panas dan sekali ia menggerakkan tangan "byuurrr" kuah panas itu menyiram muka yang berkumis tebal itu.

   "Aduuhhh... auphh... panas, panas...!" Dia menjerit-jerit, kulit mukanya terbakar, matanya kemasukan kuah yang banyak mericanya, terasa pedas dan perih. Tiga orang kawannya terkejut dan marah sekali, meloncat sambil, mencabut golok mereka. Suasana menjadi panik karena para tamu sudah menjadi ketakutan. Akan tetapi, sebelum empat orang kasar itu sempat turun tangan, terdengar bentakan yang amat nyaring,

   "Tahan! Jangan mengganggu wanita!!" Kiranya yang membentak dan yang kini telah berdiri disitu adalah Yap Kiong Lee, murid kepala dari ketua Thian-kiam-pang itu. Tiga orang sutenya dengan sikap tenang berdiri dibelakangnya. Kiranya derap kaki kuda tadi adalah kuda dan kereta mereka. Empat orang kasar itu adalah penjahat-penjahat yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Apa lagi sekarang, sepeiti diceritakan oleh pelayan tadi dan diketahui pula oleh tiga orang gadis, mereka sedang berbesar hati karena banyak kawan mereka merajalela disitu, dan mereka merasa dilindungi oleh Raja mereka, Si Harimau Gunung! Mengandalkan semua ini, tentu saja mereka tidak merasa gentar menghadapi empat orang pria muda ini.

   "Keparat jahanam! Berani engkau hendak mencampuri urusan kami?" bentak pimpinan gerombolan empat orang penjahat itu yang kepalanya botak kelimis sambil menudingkan goloknya kearah muka Yap Kiong Lee. Pemuda ini tersenyum tenang saja.

   "Mengganggu wanita ditempat umum bukanlah urusan pribadi, melainkan urusan umum karena kalian telah mengacaukan orang lain ditempat umum, Sebaliknya kalian berempat pergi saja dari sini dan jangan membuat gaduh."

   "Keparat!" Si botak itu dengan marahnya membacok dengan goloknya kearah leher pemuda she Yap. Namun, dengan amat mudahnya, pemuda she Yap ini miringkan kepala dan golok itu lewat didekat lehernya tanpa menyentuhnya sedikitpun juga. Hanya seorang ahli silat tinggi sajalah yang dapat mengelak seperti itu, sedikit saja dan membiarkan senjata lawan lewat dekat. Karena gerakan yang sedikit inilah yang memungkinkan dia dapat cepat pula melakukan serangan balasan. Akan tetapi agaknya pemuda itu sabar sekali dan tahu bahwa dia hanya menghadapi orang-orang kasar. Dia tidak membalas dan pada saat itu, dua orang sutenya sudah maju.

   "Toa-suheng, biarkan kami yang maju menghajar bajingan-bajingan kecil ini!" Dua orang sutenya itu lebih tua beberapa tahun dari pada Kiong Lee, akan tetapi mereka menyebut suheng, bahkan toa-suheng atau kakak seperguruan terbesar karena memang pemuda inilah yang pertama kali menjadi murid ketua Thian-kiam-pang. Yap Kiong Lee segera mundur dan dua orang sutenya maju. Empat orang kasar itu tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan golok mereka.

   Akan tetapi, dua orang murid Thian-kiam-pang yang maju ini adalah murid-murid kepala, murid-murid pilihan yang sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dengan kedua tangan kosong saja mereka menghadapi empat orang bergolok itu dan membagi-bagi pukulan dengan enaknya, membuat empat orang kasar itu jatuh bangun dan akhirnya mereka memperlihatkan warna aselinya, yaitu pengecut-pengecut yang beraninya hanya main keroyok, menindas yang lemah dan kalau bertemu tanding yang lebih kuat, mereka itu berlumba melarikan diri! Yap Kiong Lee melirik kekanan kiri untuk melihat apakah guru dari dua orang gadis yang dikenalnya itu berada disitu. Setelah merasa yakin bahwa nenek yang ditakutinya itu tidak berada disitu, wajahnya menjadi cerah dan diapun bersama tiga orang sutenya cepat menghampiri meja Pek In dan Ang In.

   "Suheng, apa kabar? Subo berada dikamarnya. Marilah!" Pek In mempersilahkan pemuda itu dan mereka berempat lalu mengambil tempat duduk dan bercakap-cakap dengan amat akrabnya dengan Pek In dan Ang In.

   "Sebetulnya, Yap-suheng dari manakah? Kelihatan tergesa-gesa sekali. Dan bagaimana kabarnya dengan Kim-suheng? Kenapa dia tidak kelihatan bersamamu? Biasanya, Kim-suheng yang bandel itu tidak pernah berpisah denganmu," kata Pek In dan ketika ia menyebutkan "Kim-suheng," ia melirik kepada sumoinya, Ang In. Mendengar pertanyaan Pek In ini, mendadak sikap empat orang gagah itu berobah dan mereka kelihatan berduka dan menundukkan mukanya.

   Terutama sekali Yap Kiong Lee, pemuda ini menundukkan muka dan matanya menjadi basah. Teringatlah pemuda itu akan semua keadaannya yang membuatnya berduka sekali pada saat itu, setelah mendengar pertanyaan Pek In tentang adiknya. Ya, Yap Kim adalah adiknya. Dia sendiri adalah seorang anak yatim piatu yang sejak kecil telah diambil murid, kemudian bahkan diangkat anak oleh gurunya sendiri, yaitu seorang pendekar terkenal yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan kemudian menjadi ketua Thian-kiam-pang. Gurunya itu she Yap dan biasanya orang hanya mengenal sebagai Yap-taihiap saja, dan setelah tua dikenal sebagai Yap-lojin yang disegani orang. Nama lengkapnya adalah Yap Cu Kiat. Karena suhunya itu tadinya tidak mempunyai keturunan maka diapun diangkat anak oleh Yap Cu Kiat.

   Dua tahun kemudian, ketika dia berusia delapan tahun, isteri suhunya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Yap Kim karena ketika isterinya mengandung, suhunya pernah bermimpi isterinya melahirkan sebuah boneka emas! Yap Kiong Lee sendiri amat sayang kepada adiknya ini. Dialah yang menggendongnya, dialah yang mengajaknya bermain-main sejak Yap Kim kecil dan setelah adiknya itu dewasa, mereka menjadi akrab dan rukun sekali, saling menyayang. Takkan ada orang yang menyangka bahwa mereka itu sesungguhnya hanyalah saudara angkat saja. Kiong Lee sangat menyayang adiknya itu dan memang Kim-ji, demikian sebutannya, amat dimanjakan oleh semua orang sehingga sejak kecil anak itu menjadi bandel dan nakal bukan main. Dan kini, diingatkan oleh pertanyaan Pek In, hati Kiong Lee seperti ditusuk karena dia teringat kepada adiknya.

   "Ahh... dia... Kim-te terluka parah" Akhirnya dia dapat mengeluarkan kata-kata yang penuh kegelisahan.

   "Terluka parah...??" Ang In bertanya dan mukanya berobah pucat.

   "Apa yang terjadi dengan dia?"

   "Dia dilukai oleh Si Raja Kelelawar! Lukanya parah sekali... entah bisa sembuh atau tidak..." Suara Kiong Lee gemetar penuh kegelisahan.

   "Apanya yang terluka? Dan... Dimanakah dia sekarang?" Kembali nona Ang In bertanya, hampir menangis. Melihat semua ini, Pek Lian dapat menduga bahwa nona Ang yang gagah ini agaknya ada hati terhadap pemuda bernama Yap Kim yang terluka parah itu.

   "Sebenarnya, bagaimanakah dia sampai dapat terluka oleh si Raja Kelelawar?" Nona Pek In memotong karena dengan hati terharu iapun merasa gelisah mendengar cerita itu dan ingin sekali tahu apa yang telah terjadi. Kiong Lee menarik napas panjang dan mengepal tangannya.

   "Kalau diingat sungguh membuat hatiku menyesal sekali. Tanpa diketahui oleh suhu, Kim-te mengajakku menonton pertemuan yang diadakan oleh kaum sesat itu. Akan tetapi karena ada larangan dari suhu, maka akupun tidak mau, Tidak kusangka sama sekali bahwa dengan nekat adik Kim pergi sendiri! Mendengar bahwa Kim-te pergi seorang diri, suhu lalu memanggilku dan menyuruhku mencari dan mengajaknya pulang. Aku mengajak beberapa orang suteku untuk menyusul Kim-te, akan tetapi setibanya ditempat pertemuan itu, ternyata sudah terlambat. Orang-orang sudah bubaran dan pertemuan itu telah lewat. Kami berpencar untuk mencari Kim-te. Kalian tentu sudah tahu bahwa biarpun Kim-te sangat berbakat dalam ilmu silat, namun watak nakalnya sukar untuk dirobah. Apa lagi setelah subo pergi meninggalkan suhu, anak itu makin sukar diurus." Yap Kiong Lee menarik napas panjang, nampak berduka sekali.

   "Akan tetapi bukankah dia amat penurut kepadamu, Yap-suheng?"

   "Memang dia amat patuh kepadaku karena sejak kecil akulah yang mengasuhnya, melindungi dan mengajarnya ilmu silat yang diberikan oleh suhu dan subo."

   "Yap-suheng memang sangat berbudi, aku dan adik Ang juga sejak kecil selalu menyusahkanmu," kata Pek In lirih.

   "Hemm, adik Pek, engkau tahu apa? Sejak kecil aku sudah yatim piatu. Suhu memungut dan memeliharaku, bahkan mengangkatku sebagai anak. Setelah aku berusia delapan tahun, baru adik Kim terlahir. Budi suhu dan subo yang dilimpahkan kepadaku, sampai matipun takkan dapat kubalas, maka apa artinya membimbing kalian yang menjadi murid-murid tersayang dari subo?"

   "Lalu bagaimana dengan Kim-suheng?" tanya Ang In.

   "Baiklah, kulanjutkan ceritaku. Dari seorang pengunjung pertemuan itu, kami mendengar bahwa ada seorang pemuda yang berpakaian putih dan bersenjata siang-kiam (pedang pasangan) tampak bersama seorang gemuk pendek berkelahi melawan kelompok orang berjubah naga dilereng bukit sebelah selatan. Kami segera mengejar kesana. Akan tetapi terlambat. Perkelahian telah selesai dan kedua pihak sama-sama terluka dan kedua pihak telah pergi. Yang membuat kami khawatir adalah ketika kami melihat dari bekas-bekas pertempuran bahwa kawan Kim-sute yang pendek itu adalah seorang tokoh pulau terlarang atau Pulau Ban-kwi-to. Kalau benar seperti kata orang yang menyaksikan itu, orang yang gemuk pendek itu tentulah cengyakang (Kelabang Hijau) tokoh penting dari Ban-kwi-to."

   "Lalu bagaimana?" Ang In mendesak, khawatir sekali.

   Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kami mengikuti jejaknya. Disebuah dusun kami menemukan Kim-sute terluka parah dirumah seorang petani, dirawat oleh seorang pendekar tua yang tidak mau menyebutkan namanya. Menurut pengakuannya, adik Kim telah berkelahi melawan penjahat-penjahat yang dipimpin oleh Raja bajak, kemudian datanglah Raja Kelelawar dan Kim-sute dilukainya. Untung ada pendekar tua itu yang lewat dan menolongnya."

   "Lalu kemana perginya si Kelabang Hijau itu?" tanya Pek In.

   "Entahlah, Kim-sute sendiripun tidak tahu karena setelah terpukul, dia pingsan."

   "Dimana adanya Kim-suheng sekarang?" Ang In bertanya, wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat.

   "Di dalam kereta, dijaga oleh Ngo-sute."

   "Aku ingin menengok Kim-suheng!" Ang In cepat bangkit berdiri dan semua orangpun bangkit hendak mengikutinya. Akan tetapi, sebelum mereka meninggalkan meja itu, tiba-tiba terdengar suara halus.

   "Hemm... kalian mau kemana?" Semua orang terkejut karena mengenal suara ini dan ketika mereka membalikkan tubuh, ternyata Siang Houw Nio-nio telah berdiri disitu! Yap Kiong Lee terkejut dan jerih, cepat-cepat dia dan ketiga orang sutenya menjatuhkan diri berlutut sambil berkata takut-takut,

   "Subo...!" Akan tetapi wanita bangsawan itu tidak mengacuhkan mereka melainkan memandang kepada kedua orang muridnya yang nampak ketakutan, dan wanita tua itu nampak marah.

   "Kenapa kalian tetap bergaul dengan murid-murid tua bangka itu? Apakah engkau ingin mengikuti mereka dan memusuhi aku?" didalam ucapan ini terkandung kepahitan yang amat mendalam sehingga dua orang gadis itu menjadi bingung dan tidak mampu menjawab. Melihat ini, Yap Kiong Lee mengangkat muka dan berkata,

   "Subo... teeculah yang..."

   "Diam kau!" bentak wanita bangsawan itu dengan suara keras, membuat Pek In menjadi semakin pucat.
Peristiwa ini diam-diam sejak tadi diikuti oleh Ho Pek Lian. Jiwa pendekarnya bergolak. Ia melihat ketidak-adilan dan merasa tidak senang dengan sikap nenek bangsawan itu yang dianggapnya terlalu menekan kepada orang-orang muda yang dikaguminya itu. Tanpa dapat menahan gelora hatinya, Pek Lian sudah melangkah kedepan dan dengan jari telunjuk menuding kepada nenek bangsawan itu, ia berkata marah,

   "Haii, apa-apaan ini? Main gertak main kasar! Lihat dulu masalahnya baru marah-marah, itu baru adil namanya!"

   "Anak kecil, engkau tahu apa!" bentak nenek itu dan tangannya melayang, menampar kearah pipi Pek Lian. Tentu saja nona ini tidak membiarkan pipinya ditampar dan iapun sudah cepat meloncat kebelakang dan baiknya nenek itu agaknyapun bukan menyerang dengan sungguh-sungguh hanya untuk melampiaskan kemengkalan hatinya saja sehingga tidak melanjutkan serangannya.

   Dan pada saat itu, terdengarlah suara ribut-ribut diluar. Yap Kiong Lee melihat empat orang laki-laki jahat yang tadi dihajar oleh dua orang sutenya, maka diapun cepat meloncat keluar. Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang tinggi besar bermantel kulit harimau yang melangkah masuk. Laki-laki tinggi besar ini tidak menghindar atau mihggir, akan tetapi malah memasang kuda-kuda dan menggerakkan sikunya kedepan, menyerang kearah tulang rusuk pemuda baju putih itu. Mereka sudah berada dalam jarak dekat sekali dan serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, akan tetapi ternyata pemuda she Yap ini amat lihai, tenang dan tidak kehilangan akal.

   Dia maklum bahwa kalau dia mengadu tenaga, dia akan kalah posisi dan kalau orang itu bertenaga besar seperti nampaknya, dia akan menderita rugi. Dan pintu itu terlalu sempit untuk dapat menerobos keluar, apa lagi karena lubang pintu telah dijaga oleh sepasang lengan yang panjang dan kuat dari orang itu, disamping adanya dua ekor harimau hitam yang berdiri dikanan kiri orang itu, dengan rantai leher yang ujungnya dipegang oleh dua orang di. antara empat penjahat yang tadi mengganggu Pek Lian. Dalam beberapa detik saja, Yap Kiong Lee telah memperoleh akal yang amat cerdik. Kakinya yang sedang melangkah tadi dilanjutkan dengan tendangan kearah selangkang si tinggi besar dan dia bersikap seolah-olah dia memang hendak mengadu tenaga.

   Melihat ini, orang tinggi besar itu menyeringai dan tubuhnya sedikit membungkuk untuk menangkis tendangan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap melakukan serangan dengan siku. Akan tetapi tiba-tiba Kiong Lee menarik kembali kakinya dan mengenjot badan dengan menekankan kaki pada lantai, tangannya menampar siku yang menyerang rusuknya, meminjam tenaga lawan untuk mengayun tubuhnya meluncur keatas diantara kepala lawan dan daun pintu seperti seekor burung lolos dari pintu kurungan yang terbuka sedikit saja. Kemudian, tubuhnya yang meluncur keluar itu membuat salto yang amat manisnya sehingga dia dapat turun diluar pintu dengan lunak. Semua orang melongo dan memandang kagum. Bahkan nenek Siang Houw Nio-nio sendiri merasa kagum dan memuji ketangkasan dan kecerdikan pemuda itu.

   "Berani... bagus sekali... anak ini sungguh semakin lihai saja!" Kalau semua orang memandang kagum sekali, tiga orang gadis itupun bersorak karena gembiranya. Pek In dan Ang In sampai lupa kepada subonya yang marah-marah. Mereka terbawa oleh sikap Pek Lian yang bersorak memuji sehingga merekapun ikut pula bersorak. Baru setelah mereka melihat subo mereka memandang kepada mereka dengan mata melotot, mereka sadar dan tangan yang sedang bertepuk itupun terhenti ditengah jalan.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 9 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 9 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5

Cari Blog Ini