Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 15


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




   Pek-lui-kong dan Kim-i-ciangkun bernapsu sekali untuk mengalahkan dua maling itu, maka merekapun sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan, mendesak dua orang lawan yang hanya melakukan perlawanan dengan sikap ragu-ragu itu. Karena terdesak dan tersudut, akhirnya iblis itu kembali menjejakkan kakinya dan tubuhnya sudah melayang keatas, kearah loteng tingkat tiga. Memang tidak ada lain jalan baginya. Ketika dia sudah tersudut kepinggir loteng, hanya ada dua pilihan, yaitu meloncat kebawah lagi atau meloncat keatas. Dibawah sudah menanti ratusan pengawal yang siap dengan anak panah dan yang sudah mengepung pagoda kuil itu. Maka diapun meloncat keatas dan melihat ini, temannya si maling wamta juga mempergunakan ginkangnya yang hebat untuk menyusul dengan loncatan keatas.

   Melihat betapa dua orang lawannya berloncatan keatas, tentu saja Pek-lui-kong yang sudah merasa "menang angin" itu tidak mau melepaskannya dan diapun meloncat keatas, mengejar, diikuti oleh Kim-i-ciangkun yang berbesar hati karena adanya Pek-lui-kong disampingnya. Kini terjadi kejar-kejaran dan juga perkelahian sengit ditingkat tiga. Agaknya dua orang maling itu hendak mengandalkan ginkang mereka karena mereka hanya sebentar saja menghadapi lawan lalu cepat berloncatan lagi ketingkat yang lebih tinggi. Dua orang jagoan Istana itu terus mengejar dan terjadilah perkelahian seru diatas loteng keempat. Semua orang yang menonton dibawah dapat mengikuti semua kejar-kejaran dan perkelahian itu dengan jelas. Para anggauta pasukan bersorak-sorak menjagoi komandan mereka.

   Kini Pek Lian dan dua orang temannya dapat melihat bahwa Pek-lui-kong benar-benar dapat mendesak si iblis pria dengan pukulan-pukulan saktinya! Iblis itu nampak kewalahan sekali. Akan tetapi, sebaliknya, Kim-i-ciangkun juga nampak terdesak oleh iblis wanita itu. Terutama sekali karena dia kalah cepat dalam bergerak, dan kalah panjang napasnya membuat panglima ini terdesak dan napasnya mulai terengah-engah. Melihat ini, para perajurit yang dibawah dan tidak dapat membantu itu lalu melepas anak panah keatas. Mereka tahu bahwa dengan pakaian pengawalnya, komandan mereka tidak akan terlukai oleh anak panah. Kembali terjadi keheranan dalam hati Pek Lian. Ia tahu bahwa iblis Si Raja Kelelawar memiliki jubah yang dapat menahan segala macarn senjata tajam. Akan tetapi iblis ini agaknya tidak berani mengandalkan jubahnya, atau dia tidak memakai jubah pusakanya itu.

   Iblis itu dan teman wanita nya harus mengelak kesana-sini dan menjadi kewalahan ketika dihujani anak panah dari bawah, maka mereka berdua lalu meloncat lagi ketingkat lima. Disini anak panah tidak lagi dapat mencapai mereka karena terhalang langkan melintang ditepinya. Pek-lui-kong dan Kim-i-ciangkun terus mengejar. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat ditingkat lima. Agaknya si maling wanita itu menjadi marah karena terdesak dam tersudut. Ia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melesat dengan luar biasa cepatnya menyambut Kim-i-ciangkun yaag sudah mengejar ketingkat lima. Komandan itu maklum bahwa lawannya melakukan serangan yang berbahaya, maka diapun cepat mengerahkan tenaga untuk menangkis. Akan tetapi, agaknya dia kurang cepat dan tahu-tahu sebuah pukulan telah mengenai pundak kirinya.

   "Dess!" Kim-i-ciangkun mengeluh dan terpelanting, roboh dan ketika dia hendak bangkit lagi, dia menyeringai karena pundaknya terasa nyeri sampai kedada, bahkan lengan kirinya tidak dapat digerakkan, amat nyeri rasanya kalau digerakkan!

   Tentu saja dia menjadi terkejut dan maklum bahwa dia tidak mungkin dapat maju untuk bertanding lagi. Sementara itu, melihat pembantunya roboh, Pek-lui-kong menjadi marah dan sepak terjangnya menjadi semakin hebat. Dia kini dikeroyok dua oleh lawannya. Akan tetapi, dia tidak merasa gentar, bahkan kini mengeluarkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu tenaga pukulan Pusaran pasir Maut. Begitu dia melancarkan pukulan ini, angin puyuh bertiup dan hawa dingin terasa melanda tubuh kedua orang lawannya! Seketika butiran-butiran keringat dan air hujan yang membasahi tubuh kedua lawan itu menjadi beku! Keduanya menggigil kedinginan dan menjadi gelagapan. Cepat mereka mengerahkan sinkang untuk memunahkan pengaruh luar biasa dari pukulan Pusaran Pasir Maut itu. Si cebol mengeluarkan suara ketawa menyeramkan.

   "Hayo, keluarkan ilmu-ilmu andalanmu yang terkenal itu!" bentaknya kepada iblis yang tinggi dan yang disangkanya Raja Kelelawar itu.

   "Sudah kutunggu sejak tadi. Kenapa tidak kau keluarkan ilmu-ilmumu? Orang bilang, ginkangmu tidak ada keduanya didunia ini, tidak tahunya Cuma sebegitu saja!" Kembali si cebol tertawa mengejek. Kemudian dia memasang kuda-kuda dengan tubuh yang sudah cebol itu direndahkan, kedua tangannya bergerak cepat sekali diselatar tubuhnya, makin lama makin cepat.

   "Hayo, majulah!" bentaknya dan kini dua lengannya sudah sukar diikuti pandang mata, biar oleh seorang ahli silat tinggi sekalipun. Seolah-olah kedua lengan itu kini nampak menjadi ratusan atau ribuan banyaknya, membentuk bayang bayang dan sukar dilihat dengan nyata yang manakah lengan aselinya dan dimana adanya kedua lengan itu disatu saat. Itulah ilmu sakti yang luar biasa, Ilmu Silat Soa-hu-lian (Teratai Danau Pasir)! Iblis itu nampak terkejut, sepasang matanya terbelalak, nampak jerih dan putus asa.

   "Koko, awas!" Maling wanita memperingatkan dengan suara halus. Mereka berdua cepat bersatu untuk menghadapi si cebol yang benar-benar amat menggiriskan ilmunya. Biarpun dikeroyok dua, namun tetap saja dia mampu mendesak lawan. Kedua tangan yang berobah menjadi banyak sekali saking cepat gerakannya itu, mengeluarkan angin berputar menyambar-nyambar dan membawa hawa dingin. Butir-butiran air hujan yang jatuh disekitar tempat itu, terkena sambaran angin dingin ini menjadi beku dan berjatuhan mengeluarkan bunyi seperti batu! Ho Pek Lian, Pek In dan Ang In juga sudah tiba ditingkat kelima itu.

   Mereka berloncatan dan kini menonton pertandingan hebat itu dari jarak yang agak jauh. Biarpun demikian, mereka masih merasa betapa hawa dingin melanda tubuh mereka, terdorong oleh angin pukulan si cebol, membuat mereka menggigil. Sepasang iblis itu telah terdesak hebat. Mereka tidak dapat lari lagi. Terpaksa melawan dari pada mati konyol. Akan tetapi, gerakan si cebol benar-benar membuat mereka bingung. Ketika Pek-lui-kong mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya bergerak cepat, sepasang maling itu menangkis dan akibatnya hebat sekali. Kedok yang dipakai oleh maling pria itu terenggut lepas, sedangkan maling wanita yang terkena sambaran tangan pada pundaknya itu, menjerit dan tubuhnya terlempar jauh keatas, ketingkat paling atas! Pada saat itu, dari tingkat paling atas terdengar suara halus menegur,

   "Siapa berkelahi dibawah?" Dan muncullah seorang kakek pendeta keserambi tingkat teratas itu. Ketika dia melihat sesosok tubuh terlempar dari bawah, cepat dia mengulurkan tangan dan menangkap dengan mencengkeram punggung baju tubuh itu. Dan ketika dia melihat bahwa wanita yang berpakaian hitam itu terluka parah, dia lalu merebahkannya diatas lantai. Pada saat itu berkelebat bayangan hitam dan ternyata maling pria tadi, yang terhindar dari pukulan akan tetapi kedoknya copot itu, telah meloncat dan menyusul maling wanita yang terpukul dan terlempar keatas. Tak lama kemudian, si cebol juga sudah meloncat keatas dan melihat betapa lawannya berjongkok menghampiri dan memeriksa tubuh kawannya yang terluka, Pek-lui-kong sudah melangkah maju untuk melakukan pukulan maut pula. Pada saat itu, terdengarlah teriakan Ho Pek Lian,

   "Tahan!! Dia bukan Raja Kelelawar!!"

   "Ehhh??" Tentu saja Pek-lui-kong menjadi terkejut, juga, kecewa karena tadinya dia sudah merasa girang dan bangga bahwa dia mampu menandingi bahkan mendesak dan nyaris merobohkan iblis yang dikenal dengan nama si Raja Kelelawar itu!

   Akan tetapi, kini puteri Menteri Ho itu mengatakan bahwa orang itu bukanlah si Raja Kelelawar! Tentu saja dia terkejut dan kecewa. Dia menengok dan melihat bahwa Ho Pek Lian, Pek In dan Ang In juga sudah tiba ditempat itu. Sementara itu, iblis yang sedang berjongkok memeriksa kawannya yang terluka, terkejut melihat si cebol telah mengejarnya, maka diapun meloncat dan siap menghadapi serbuan lawan yang amat tangguh itu. Pada saat itu, ada suara gemuruh angin pukulan melanda dirinya, dari samping. Karena dia tadi memperhatikan kearah si cebol, dia tidak tahu bahwa disampingnya ada seorang lawan lain, maka kini diapun cepat mengangkat tangannya menangkis.

   "Bresss!" Maling itu terdorong kebelakang oleh tenaga yang amat hebat. Celaka, pikirnya. Ada seorang lagi yang memiliki ilmu sedemikian hebatnya. Kesempatan untuk meloloskan diri bersama kawannya sungguh menjadi semakin tipis lagi. Cepat dia mengangkat muka memandang dan ternyata orang yang melepaskan pukulan sakti yang amat hebat itu adalah seorang nenek! Memang, sesungguhnya penyerang itu adalah Siang Houw Nio-nio yang juga baru keluar dari ruangan dalam ditingkat tertinggi, bersama dengan kakek pendeta itu. Nenek ini memang sedang berada disitu, dan melihat ada orang berpakaian hitam yang dikejar oleh si cebol, iapun sudah dapat menduga bahwa tentu dua orang berpakaian hitam itulah yang dikabarkan menjadi pengacau yang sering muncul dikompleks Istana, maka iapun segera mengirim pukulan tadi.

   "Adikku sabar dulu jangan sembarangan turun tangan!" Pendeta tua yang bukan lain adalah Bu Hong Sengin itu berkata halus. Pendeta itu sedang memeriksa maling wanita yang terluka. Ketika Pek Lian tadi melihat maling pria yang terenggut kedoknya, segera ia dapat mengenal pria muda yang tampan itu. Maka iapun cepat mengejar keatas dan kini ia menghampiri maling pria yang ternyata merupakan seorang pemuda tampan yang jangkung, usianya dua puluh tahun lebih.

   "Bu-taihiap...!" serunya.

   Pemuda itu memang Bu Seng Kun, yang dikenal oleh Pek Lian sebagai putera Bu Kek Siang keturunan murid Sin-yok-ong si Tabib Sakti itu. Seperti telah diceritakan dibagian depan dari kisah ini, setelah Bu Kek Siang tewas, barulah Bu Seng Kun dan adiknya, Bu Bwee Hong, mengetahui dari surat peninggalan kakek itu bahwa mereka sesungguhnya bukan putera dan puteri Bu Kek Siang, melainkan cucu keponakan pendekar itu. Ayah kandung mereka adalah seorang pangeran yang bernama Pangeran Chu Sin yang ditawan oleh pasukan pemerintah, sedangkan ibu mereka yang She Bu, keponakan dari Bu Kek Siang, telah tewas. Jadi, mereka itu adalah Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong dan mereka berdua meninggalkan tempat tinggal mereka untuk pergi mencari ayah mereka yang lenyap setelah ditawan oleh pasukan pemerintah! Melihat Pek Lian, pemuda itu segera mengenalnya.

   "Ah, kiranya Ho-siocia berada disini?" Dia memberi hormat dan menoleh kearah maling wanita yang rebah terluka.

   "Dan dia adalah adikku." Lalu dengan sedih dia mendekati adiknya, mengeluarkan sebutir pel dan berkata,

   "Kau cepat telan pel ini." Dibukanya topeng adiknya dan dimasukkannya pel itu kemulut adiknya. Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya yang bersembunyi dibalik kedok hitam itu adalah wajah yang luar biasa cantiknya!

   "Enci Hong!" Pek Lian cepat berlutut dan memegang tangan dara cantik yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Gadis yang terluka itu setelah menelan pel dari kakaknya, dapat bernapas agak longgar dan iapun tersenyum melihat Pek Lian.

   "Anak nakal, engkau disini dan ikut mengeroyok kami pula?" katanya dan senyumnya membuat semua orang seolah-olah melihat bulan bersinar penuh, demikian manis dan cemerlangnya wajah itu.

   "Ah, enci, mana aku tahu bahwa butaihiap dan engkau? Kenapa... ah, kenapa?" tanya Pek Lian yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu, Siang Houw Nio-nio sudah bertanya kepadanya,

   "Nona Ho, siapakah sesungguhnya mereka ini?"

   "Lo-cianpwe, mereka ini adalah kakak-beradik she Bu, yaitu Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong. Mereka ini adalah keturunan dan ahli waris dari Sin-yok-ong, putera dan puteri dari mendiang pendekar besar Bu Kek Siang cucu murid Sin-yok-ong Lo-cianpwe"

   "Hemm! " Tiba-tiba pendeta Bu Hong Sengin berseru dan diapun memberi isyarat kepada nenek Siang Houw Nio-nio, lalu berkata,

   "Mari kita semua bicara didalam. Ternyata dua orang muda ini adalah orang-orang sendiri. Dan nona ini perlu istirahat dari lukanya"

   Yang ikut masuk adalah selain kakek pendeta itu sendiri, Siang Houw Nio-nio dan dua orang muridnya, Pek Lian, kakak-beradik she Bu itu, dan Pek-lui-kong Tong Giak. Kim-i-ciangkun lalu keluar dan memerintahkan semua pasukan untuk mengundurkan diri dan merawat mereka yang menderita luka dalam perkelahian tadi. Suasana menjadi hening dan tenang kembali setelah tadi terjadi keributan yang menggegerkan itu. Biarpun pukulan dari si cebol itu amat hebat, namun berkat sinkangnya yang kuat, Bwee Hong tidak sampai terancam maut. Apa lagi ia telah menelan pel mujijat dari kakaknya, bahkan Pek-lui-kong sendiripun lalu memberi obat luka yang khusus untuk melawan bekas pukulannya kepada gadis itu. Maka nona itu dapat ikut bercakap-cakap, walaupun ia harus duduk dengan punggung diganjal bantal dan kaki dilonjorkan, dijaga oleh kakaknya, dan oleh Pek Lian.

   "Nah, sekarang ceritakanlah semua," kata pendeta tua itu dengan suara halus.

   "Kalau kalian benar putera dan puteri dari pendekar Bu Kek Siang, lalu mengapa kalian datang kesini seperti dua orang maling? Ceritakan sejujurnya, karena hanya itulah yang akan menerangkan duduknya perkara dan akan dapat membebaskan kalian dari kecurigaan dan hukuman." Kakak-beradik itu saling pandang, kemudian Bu Seng Kun bercerita dengan singkat namun jelas,

   "Kami berdua mengunjungi kompleks Istana seperti dua orang pencuri, sesungguhnya bukan dengan iktikad buruk. Kami sedang melakukan penyelidikan untuk mencari seseorang yang dahulu pernah tinggal dikompleks Istana. Kami tidak tahu apakah dia masih hidup, akan tetapi kami tahu bahwa dia pernah menjadi seorang bangsawan disini. Akhirnya, setelah mencari selama beberapa hari, kami menemukan Istananya dan kami mengunjunginya, tentu saja dengan diam-diam karena tak mungkin kami dapat berkunjung dengan terang-terangan..." Siang Houw Nio-nio yang sejak tadi memandang tajam penuh perhatian, merasa berhak untuk bertanya karena yang dikunjungi kedua orang muda ini adalah rumahnya yang diberikan kepada dua orang muridnya.

   "Siapakah bangsawan yang kalian cari itu?"

   "Dia seorang pangeran, namanya Chu Sin" Kalau nenek Siang Houw Nio-nio dan kakek Bu Hong Sengin terkejut, maka mereka tidak memperlihatkan perasaan ini pada wajah mereka yang tetap tenang saja itu. Bahkan, nenek Siang Houw Nio-nio lalu bertanya cepat,

   "Lalu mengapa kalian mendatangi gedung itu, memasuki ruangan penyimpan abu leluhur dan bersembahyang disana?"

   "Kami hendak bersembahyang kepada arwah leluhur dari Pangeran Chu Sin" Pek Lian, Pek in, Ang In dan juga Pek-lui-kong Tong Ciak mendengarkan dengan heran karena mereka tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan Pangeran Chu Sin itu. Akan tetapi, kini kakek Bu Hong Sengin bertanya, dan suaranya agak gemetar,

   "Mengapa kalian menyembahyangi leluhur Pangeran Chu Sin?" Kembali kakak-beradik itu saling pandang, lalu Seng Kun menarik napas panjang. Tidak ada jalan lain untuk menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud buruk, yaitu hanya dengan membuka rahasia mereka.

   "Beliau adalah ayah kandung kami, maka leluhur beliau berarti leluhur kami pula..." Sebelum nenek Siang Houw Nio-nio yang terkejut sekali itu sempat bicara dan hanya memandang kepada kakak sepupunya dengan melongo, kakek pendeta itu sudah bertanya lagi,

   "Bagaimana baru sekarang kalian datang mencari ayah kandung kalian disini?"

   "Kami mendengar akan rahasia tentang ayah kandung kami itu baru saja setelah ayah... eh, setelah paman kakek kami Bu Kek Siang meninggal, melalui surat wasiat peninggalannya. Kakek Bu suami-isteri meninggal dunia dan begitu kami tahu akan riwayat ayah kandung kami, lalu kami datang ke kompleks Istana untuk mencarinya." Pendeta itu menarik napas panjang dan memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti, kemudian dia menunduk dan sungguh mengherankan hati semua orang yang hadir kecuali Siang Houw Nio-nio ketika nampak beberapa butir air mata turun dari sepasang mata itu.

   "Seng Kun, Bwee Kong, akulah orangnya yang memberi nama-nama kepada kalian itu karena akulah Pangeran Chu Sin yang kalian cari-cari." Seng Kun terperanjat dan memandang kepada kakek itu dengan mata terbelalak, akan tetapi ia didahului oleh adiknya yang sudah menjerit,

   "Ayah!!" Dan gadis itu sudah turun dari kursi tempat ia bersandar dan menjatuhkan diri berlutut didepan kaki Bu Hong Sengin. Juga Seng Kun cepat menjatuhkan diri berlutut. Suasana menjadi sunyi dan mengharukan sekali, yang terdengar hanya isak tangis Bwee Hong. Sambil duduk, kakek itu lalu meraih pundak. Suasana menjadi semakin mengharukan. Akan tetapi, agaknya kakek itu telah dapat menguasai hatinya dengan mudah.

   "Seng Kun, Bwee Hong, kalian adalah anak-anak kandungku. Duduklah dan tenangkan hatimu, biar aku menceritakan semua riwayat kita agar mereka yang menyaksikan pertemuan antara kita ini dapat mengerti duduknya perkara. Kurasa hanya bibi kalian Siang Houw Nio-nio sajalah yang tahu akan rahasiaku ini."
(Lanjut ke Jilid 11)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 11
Sambil menyusut air mata karena girang dan terharu, dua orang muda itu lalu duduk kembali dan tentu saja kini pandang mata mereka terhadap kakek pendeta itu berobah sebagai pandangan anak terhadap ayahnya. Bu Hong Sengin lalu bercerita secara singkat. Diwaktu mudanya, dia belajar ilmu silat dan juga ilmu Agama To.

   Ayahnya, seorang pangeran tua, menghendaki agar dia menjadi seorang panglima. Akan tetapi, biarpun telah mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dan membuatnya lihai sekali, Pangeran Chu Sin lebih suka memperdalam Agama To dan lebih suka berkelana diantara rakyat. Apa lagi karena pangeran ini memiliki pandangan yang berbeda dengan keluarga Istana. Dia melihat penindasan yang dilakukan oleh Istana terhadap rakyat. Dia melihat kemewahan yang berlimpah-limpah dikalangan Istana dan melihat kesengsaraan yang memilukan dikalangan rakyat. Hal inilah yang membuat dia enggan untuk menyumbangkkan tenaganya membantu Istana. Ayahnya marah sekali dan dia dianggap sebagai pemberontak atau penentang keluarga Istana. Kemudian ayahnya minta bantuan pasukan dan para pembesar untuk mencarinya.

   Akan tetapi, Pangeran Chu Sin yang sudah bertekad tidak mau pulang itu melarikan diri dan merantau sampai jauh dan sampai bertahun-tahun. Bahkan didalam pelariannya ini dia bertemu dengan seorang gadis kang-ouw dengan siapa dia saling jatuh cinta. Kemudian dia menikah dengan gadis she Bu itu, lalu suami-isteri ini mengasingkan diri kegunung, hidup tenteram dan bahagia sampai terlahirlah Seng Kun dan Bwee Hong. Akan tetapi, pada suatu hari, para penyelidik dari Istana dapat menemukan jejaknya dan tempat tinggal mereka diserbu. Biarpun Pangeran Chu Sin dan isterinya mengamuk dan melawan, namun jumlah pasukan amat banyak dan setelah melihat isterinya tewas dalam pengamukan itu, Pangeran Chu Sin menjadi lemas dan menyerah dengan syarat bahwa kedua orang anaknya tidak diganggu.

   "Demikianlah, anak-anakku dan kalian yang menjadi saksi pertemuan ini," kakek itu menutup ceritanya.

   "Ketika itu, Seng Kun baru berusia tiga tahun dan Bwee Hong berusia satu tahun. Aku menyerahkan diri dan ditangkap. Kedua orang anak ini benar tidak diganggu dan dipelihara oleh paman Bu Kek Siang, yaitu paman dari isteriku. Aku dibawa ke Istana dan karena aku tetap tidak mau memegang pangkat untuk membantu pemerintah, aku dipenjarakan dan ayahku sampai meninggal karena sakit dan menyesal. Bertahun-tahun aku berada didalam penjara dimana aku memperdalam ilmu silat dan ilmu agama. Akhirnya, aku dibebaskan dan menjadi pendeta dikuil ini, bahkan kemudian diangkat menjadi kepala kuil dan penasihat Kaisar seperti sekarang."

   Tentu saja peristiwa geger mengejar maling itu berakhir dalam suasana gembira karena pertemuan antara ayah dan kedua orang anaknya itu. Yang tahu akan rahasia itu hanyalah Siang Houw Nio-nio seorang, karena memang Bu Hong Sengin selama ini merahasiakan nama mudanya.

   Orang-orang yang tidak mengenalnya diwaktu kecil tentu tidak ada yang tahu bahwa diwaktu mudanya, ketua kuil itu bernama Pangeran Chu Sin. Siang Houw Nio-nio tentu saja tahu akan hal ini karena kakek itu adalah saudara sepupunya yang dikenalnya sejak kecil, bahkan iapun tahu akan petualangan kakek itu diwaktu mudanya. Hanya saja, nenek inipun sama sekali tidak tahu bahwa kakak misannya itu, yang menjadi tosu yang dihormati, ternyata diwaktu mudanya ketika bertualang telah menikah, bahkan mempunyai dua orang anak! Tentu, saja peristiwa yang menggembirakan itu disambut oleh Siang Houw Nio-nio dan Pek-lui-kong Tong Ciak yang segera menghaturkan selamat kepada Bu Hong Sengin. Dan dua orang muda-mudi yang berbahagia itupun diterima dengan senang hati oleh Siang Houw Nio-nio, Pek In dan Ang In untuk tinggal di Istana itu,

   Karena mereka berdua itulah yang sesungguhnya berhak atas rumah nenek moyang mereka itu. Dengan hati rela Siang Houw Nio-nio dan kedua orang muridnya menyerahkan kembali gedung Istana mungil itu kembali kepada yang berhak dan kakak-beradik she Chu itu tinggal di Istana itu sebagai tuan dan nona rumah! Akan tetapi karena Seng Kun dan Bwee Hong sejak kecil dididik dengan keras, mereka menjadi orang-orang sederhana yang tidak menjadi angkuh dengan perobahan dalam kehidupan mereka itu. Mereka sendiri yang membujuk agar Pek In dan Ang In bersama para dayang untuk terus tinggal di Istana itu, para dayang itu tetap bekerja disitu dan kedua orang murid Siang Houw Nio-nio itu tinggal disitu sebagai sahabat-sahabat baik,

   Bahkan dapat dibilang masih merupakan kerabat mereka karena bukankah nenek Siang Houw Nio-nio itu adalah bibi mereka sendiri? Dan mereka semua segera dapat menjadi akrab, karena memang didalam batin orang-orang muda ini terdapat watak pendekar yang gagah perkasa sehingga mereka itu sudah memiliki persamaan dalam selera. Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong telah dibawa menghadap Kaisar oleh ayah mereka. Kaisar sendiri menjadi tertegun dan heran, akan tetapi juga merasa gembira bahwa Bu Hong Sengin ternyata mempunyai dua orang anak yang demikian cakap dan gagahnya. Atas persetujuan Kaisar pula maka Seng Kun dan Bwee Hong secara sah menjadi ahli waris Istana nenek moyang mereka, dan Kaisar lalu memberikan sebuah Istana lain untuk Siang Houw Nio-nio dan murid-muridnya.

   Beberapa hari kemudian, Chu Bwee Hong yang menjadi nona rumah itu menerima kunjungan Pek In dan Ang In, sedangkan Pek Lian memang untuk sementara menjadi tamunya yang amat disayangnya. Empat orang gadis yang cantik-cantik ini duduk diserambi depan. Dari tempat mereka duduk bercakap-cakap nampak bunga-bunga yang sedang mekar. Musim semi sudah tua, akan tetapi bunga-bunga ditaman itu malah mekar semua sehingga suasana menjadi amat indah dan segarnya dipagi hari itu. Mereka berempat bercakap-cakap sambil menghadapi hidangan teh hangat dan kueh-kueh. Chu Bwee Hong nampak cantik jelita bukan main. Apa lagi dalam pandang mata kaum pria, sedangkan Pek Lian, Pek In dan Ang In sendiri diam-diam kagum bukan main.

   Wajahnya demikian cemerlang, dengan garis-garis yang hampir sempurna, kulit mukanya halus licin dan seolah-olah mengeluarkan kehangatan dan kesegaran yang mempesona. Rambutnya hitam gemuk, dengan anak-anak rambut yang berjuntai dari dahi, bahkan sinom yang tumbuh didepan telinga itu melengkung kebawah seperti lukisan seniman yang pandai. Alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis, padahal dara ini tidak pernah mempergu-nakan alat penghitam alis. Sepasang matanya begitu bening dan tajam, kini sinarnya mengandung kebahagiaan dan kegembiraan, tentu karena pertemuannya dengan ayah kandungnya. Ia sudah sembuh sama sekali dari akibat pukulan Pek-lui-kong dan nampak segar dari sepasang bibirnya yang merah membasah, merekah seperti sekuntum bunga mawar diselimuti embun pagi itu.

   Juga kedua pipinya, yang menonjol dibawah mata, kemerahan seperti buah tomat masak. Hidungnya kecil mancung, cupingnya dapat bergerak lembut dan lucu menambah kemanisan wajahnya. Memang, Bwee Hong adalah seorang dara yang cantik jelita dan manis. Pek Lian dan kedua orang murid Siang Houw Nio-nio itupun merupakan dara-dara yang cantik, terutama sekali Pek Lian yang memiliki kecantikan yang khas, dengan mukanya yang agak lonjong, dagu meruncing halus, hidung mancung dan mata yang lebar dan tajam, kecantikan yang mengandung kegagahan, keberanian dan penuh dengan gairah dan semangat hidup. Akan tetapi, kecantikan Bwee Hong memang luar biasa sekali sehingga nampak menonjol diantara mereka. Empat orang gadis itu bercakap-cakap dengan gembira sekali, terbawa oleh suasana segar dipagi hari itu.

   "Aku dan Kun-koko sudah lebih dari sepuluh hari berkeliaran didaerah Istana ini," terdengar Bwee Hong bercerita mengenang kembali semua pengalamannya yang menyeramkan.

   "Kami berusaha mencari ayah yang belum pernah kami kenal, hanya bermodalkan pesan terakhir mendiang kakek Bu Kek Siang itu."

   "Engkau sungguh beruntung, enci Hong," kata Pek Lian.

   "Kalian mengunjungi tempat yang amat berbahaya dan terjaga kuat, menyelidiki sampai berhasil menemukan rumah keluarga nenek moyang ayahmu tanpa menemukan kesukaran." Bwee Hong tersenyum manis dan mengangguk.

   "Memang kami beruntung sekali. Ketika kami berdua tiba disini, jagoan-jagoan Istana kebetulan sekali sedang bertugas keluar. Andaikata pada waktu itu di Istana terdapat Beng-goanswe, atau Tong-ciangkun, atau bibi Siang Houw Nio-nio, sudah pasti kami berdua akan tertangkap basah. Betapapun juga, beberapa hari yang lalu kami pernah kepergok oleh Kim-i-ciangkun sehingga terjadi geger. Untung kami masih dapat meloloskan diri.

   "Bagaimanapun juga, kami merasa amat kagum akan kepandaian nona Chu," kata Pek In memuji.

   "Kim-i-ciangkun yang amat lihai dengan pukulan apinya itu masih dapat nona kalahkan, sungguh sukar dapat dipercaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Nona yang begini muda dan cantik jelita dan lembut, mampu mengalahkan seorang jagoan tangguh seperti dia. Bukan main!"

   "Apa lagi kakakmu itu, nona. Masih semuda itu sudah mampu melayani jagoan Istana nomor satu seperti Tong-ciangkun sampai begitu lama. Sungguh luar biasa sekali, agaknya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Yap-suheng kami."

   "Tapi suheng kalian itu siapakah?" tanya Bwee Hong. Ia sudah pernah mencela sebutan kedua orang murid bibinya ini kepadanya yang bersikap hormat dan menyebut nona, akan tetapi kedua orang gadis itu tetap menyebutnya nona. Bagai manapun juga, Bwee Hong adalah puteri pangeran dan keponakan Siang Houw Nio-nio, maka tentu saja sudah layak kalau dihormati. Mendengar pertanyaan ini, Ang In tertawa. biarpun ia dan cicinya selalu bersikap hormat, akan tetapi keakraban mereka terhadap Bwee Hong membuat mereka seperti sahabat-sahabat biasa saja.

   "Hi-hi-hik, kalau nona hendak mengetahui, tanya saja kepada Pek-cici. Ia pacarnya...!"

   "Hushh! Siapa bilang?" Pek In berseru dengan kedua pipi berobah merah sekali. Tangannya menyambar kedepan untuk mencubit lengan adiknya, akan tetapi ribut-ribut disertai kekeh tawa ini terhenti seketika ketika mereka melihat munculnya Seng Kun dari halaman depan. Bwee Hong segera bangkit dan menyongsong kakaknya.

   "Koko, ada berita apakah? Kenapa sepagi ini engkau sudah dipanggil menghadap kedalam?" Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan adiknya, dengan sikap sopan Seng Kun lebih dulu memberi hormat dan menyapa tiga orang gadis itu yang juga cepat membalas salamnya. Kemudian mereka semua duduk menghadapi meja dan Seng Kun lalu bercerita.

   "Malam tadi Hek-ciangkun, utusan Beng-goanswe pulang. Seperti diketahui, dia diutus untuk menjemput ayah nona Ho dari penjara. Juga Beng-goanswe sudah pulang dari tempat Wakil Perdana Menteri Kang. Menteri Kang menunda keberangkatannya ke Kotaraja memenuhi panggilan Sribaginda karena... karena Hek-ciangkun telah gagal untuk membawa Menteri Ho ke Kotaraja."

   "Eh...!! Kenapa? Apa yang telah terjadi?" Pek Lian berseru kaget, mukanya berobah agak pucat. Melihat ini, Seng Kun segera menghibur.

   "Harap nona tidak menjadi gelisah. Karena ayahmu pasti tidak kurang suatu apa."

   "Akan tetapi... apa yang terjadi dengan ayah-ku?"

   "Menteri Ho telah diculik orang sebelum Hek-ciangkun tiba untuk menjemputnya. Para penjaga tidak ada yang mengetahuinya. Jeruji-jeruji baja pintu penjara itu melengkung semua sehingga tawanan dapat lolos. Memang luar biasa sekali. Hanya orang yang memiliki kekuatan luar biasa saja yang akan mampu membuat jeruji-jeruji baja yang amat tebal itu melengkung semua tanpa ada seorangpun penjaga yang mendengarnya."

   "Ahh, ayahku...!!" Pek Lian mengeluh.

   "Akan tetapi, mengapa engkau dipanggil oleh Sribaginda, koko?" tanya lagi Bwee Hong kepada kakaknya.

   "Sribaginda menjadi sangat marah. Beliau ingin mengutus seseorang yang akan dapat menemukan kembali Menteri Ho dan mengantarkannya ke Kotaraja dalam keadaan selamat. Utusan itu haruslah seorang yang belum dikenal baik oleh golongan sesat maupun oleh golongan yang menentang kembalinya para Menteri di Istana, karena kalau tugas merampas kembali Menteri Ho ini diketahui pihak lawan, sebelum beliau dapat diselamatkan, mungkin keselamatannya akan terancam. Sribaginda tidak berani mengutus Tong-ciangkun, Beng-goanswe maupun bibi Siang Houw Nio-nio yang sudah banyak dikenal. Pula, Istana perlu dijaga karena keadaan yang seperti sekarang ini sungguh mengkhawatirkan. Kemudian Sribaginda memilih aku atas petunjuk Tong-ciangkun. Hal itupun disetujui oleh ayah dan oleh bibi. Nah, disinilah aku, siap untuk berangkat melaksanakan tugas itu."

   "Aku juga akan pergi untuk mencari ayah!" Ho Pek Lian yang wajahnya pucat itu berseru, didalam suaranya terkandung kedukaan dan kegelisahan. Baru saja ia terbebas dari kedukaan ketika Sribaginda memutuskan untuk membebaskan ayahnya dan sekarang, kembali ayahnya dilanda malapetaka, diculik orang tanpa diketahui siapa penculiknya dan apa maksudnya menculik orang tua itu.

   "Aku juga ikut!" kata Bwee Hong penuh semangat.

   "Kapan kita berangkat, koko?"

   "Hari ini juga, nanti kalau matahari telah terbenam. Akan tetapi sebaiknya kalau kalian tidak usah ikut."

   "Aku harus pergi mencari ayah!" Pek Lian berseru.

   "Kalau engkau tidak mau mengajakku, aku akan pergi mencari sendiri!"

   "Dan akupun akan menemani adik Lian kalau engkau tidak mau mengajakku, koko!" sambung Bwee Hong. Seng Kun tahu akan kekerasan hati adiknya dan diapun sudah mengenal watak Pek Lian, maka dia menarik napas panjang dan mau tidak mau meluluskan juga permintaan mereka. Dia bisa melarang adiknya, akan tetapi tidak mungkin dapat melarang Ho Pek Lian yang hendak mencari ayahnya. Dan diapun tidak enak hati kalau harus melakukan perjalanan berdua saja dengan Pek Lian. Setelah bercakap-cakap beberapa lamanya, Pek In dan Ang In minta diri. Mereka khawatir kalau-kalau guru mereka mencari mereka dan mereka mengucapkan selamat jalan kepada mereka bertiga.

   "Selamat jalan, nona Ho," kata Pek In.

   "Hati-hatilah dijalan karena sekarang ini didunia banyak berkeliaran orang-orang jahat yang amat sakti."

   "Semoga engkau bisa cepat mendapatkan kembali ayahmu dalam keadaan sehat dan selamat, nona Ho," kata pula Ang In. Pek Lian mengucapkan terimakasih dan iapun segera bersiap-siap bersama Bwee Hong. Menurut petunjuk dan saran Seng Kun, mereka bertiga melakukan perjalanan sambil menyamar sebagai petani-petani.

   Pemuda ini berpendapat bahwa akan lebih mudah dan aman, menjauhkan gangguan-gangguan kalau tidak melakukan perjalanan sebagai nona-nona cantik yang berpakaian mewah. Muka mereka dilapisi bedak yang agak kehitaman, rambut mereka dibikin kusut dan diatas telinga diberi warna keputih-putihan sehingga kedua orang dara jelita ini berobah menjadi wanita-wanita petani setengah tua yang sederhana. Seng Kun sendiri juga menyamar sebagai seorang petani, lengkap dengan caping dan jenggot palsu. Setelah matahari terbenam, berangkatlah tiga orang keluarga "petani" itu meninggalkan Kotaraja. Mereka bertiga sengaja menguji penyamaran mereka dengan melewati para penjaga, akan tetapi ternyata tidak ada seorangpun yang mengenal atau mencurigai mereka. Mereka keluar dari pintu gerbang Kotaraja dan berhenti ditempat yang sepi.

   "Kemana kita akan menuju untuk memulai dengan tugas mencari ayah ini? Kita buta sama sekali dan tidak tahu dengan siapa kita berhadapan, kemana kita harus mencari," Pek Lian berkata dengan sikap bingung.

   "Benar kita sama sekali tidak tahu siapa penculiknya. Apakah para penculik itu termasuk orang-orang yang menyukai Menteri Ho ataukah justeru mereka itu yang memusuhinya? Kalau yang menculik itu para pendekar yang ingin menyelamatkan Menteri Ho dari hukuman, ahh... tugas kita menjadi ringan sekali dan keselamatan Menteri Ho tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi bagaimana kalau sebaliknya?" Bwee Hong juga mengemukakan pendapatnya.

   "Biarlah kita menggantungkan diri kepada nasib dan kewaspadaan kita. Mari kita menuju kedusun didepan sana, siapa tahu disuatu tempat kita akan bertemu dengan petunjuk," jawab Seng Kun dan mereka lalu menuju kedusun yang sudah nampak dari situ. Sebuah dusun yang tidak begitu jauh dari Kotaraja.

   Senja telah tiba ketika mereka memasuki dusun itu dan mereka lalu memasuki sebuah kedai teh yang berada ditepi dusun. Seng Kun mengajak dua orang gadis itu singgah karena dia tertarik sekali melihat betapa warung itu penuh dengan tamu. Padahal biasanya, kedai teh yang menjual makanan tentu hanya dikunjungi orang diwaktu pagi atau siang saja. Seolah-olah ada terjadi sesuatu disitu dan hal inilah yang menarik perhatiannya. Karena dibagian dalam telah penuh, mereka bertiga duduk dimeja yang terdapat dihalaman kedai. Kemunculan tiga orang ini tidak menarik perhatian karena mereka dianggap tiga orang dari keluarga petani biasa saja dan banyak pula disitu terdapat petani-petani sederhana. Dihalaman depan itupun telah duduk beberapa orang tamu yang bercakap-cakap. Ketika pelayan datang mengantar teh dan bak-pao yang mereka pesan, secara sambil lalu Seng Kun berkata,

   "Wah, tamunya banyak sekali, berarti banyak rezeki!" Pelayan itu menaruh teh dan makanan diatas meja dan tertawa senang.

   "Memang benar, dan kedatangan kalian bertigapun merupakan rezeki kalian. Ketahuilah bahwa setelah diumumkan oleh pemerintah bahwa Menteri Ho dan para Menteri lainnya diampuni, juga Menteri Kang kabarnya hendak bertugas kembali, kami merasa seperti kejatuhan bulan saking girangnya. Majikan kami telah mengatakan kepada para langganan bahwa pada hari ini kami mengundang semua orang untuk mengadakan pesta untuk bersyukur atas kurnia Kaisar terhadap Menteri Ho dan Menteri Kang yang kami cinta dan hormati. Jadi, kalian bertigapun kami anggap sebagai tamu dan... ha-ha, tentu saja mendapatkan minuman dan makanan gratis!"

   Pelayan itu meninggalkan mereka sambil tertawa gembira, dan menghampiri meja lain. Suasana disitu memang seperti orang dalam pesta. Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan Pek Lian menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kedua matanya yang menjadi merah dan basah. Dengan kekuatan batinnya ia dapat membendung tangisnya. Setelah diusapnya air matanya dengan ujung baju tanpa ada yang melihatnya kecuali dua orang kawan yang duduk didepannya, iapun mengangkat muka.

   "Kenapa kau menangis?" Bwce Hong berbisik.

   "Ayahmu demikian disuka dan dipuja orang! Lihat itu didalam, hampir segala lapisan masyarakat begitu gembira menyambut berita dibebaskannya ayahmu."

   "Benar, nona. Semestinya nona gembira dan berbahagia mempunyai seorang ayah yang demikian disuka orang," kata Seng Kun menyambung ucapan adiknya. Pek Lian menghela napas panjang dan balas berbisik,

   "Semestinya demikian, akan tetapi mereka itu tidak tahu kalau orang yang mereka rayakan kebebasannya itu kini sama sekali tidak bebas lagi, bahkan tidak diketahui hidup matinya." Diingatkan akan hal ini, kakak-beradik itupun menjadi prihatin dan diam saja. Suasana didalam kedai itu benar-benar gembira dan terdengarlah orang-orang didalam ruangan itu bersorak-sorak dan berteriak,

   "Hidup Menteri Ho! Hidup Menteri Ho!" Seorang laki-laki yang berjenggot tebal naik keatas sebuah kursi sambil mengisyaratkan dengan kedua tangan keatas agar semua orang suka memperhatikannya. Keadaan menjadi hening dan laki-laki itupun berkata dengan suara yang lantang,

   "Saudara-saudara, marilah kita bergembira merayakan kebebasan para tokoh pembela rakyat dari kecurangan musuh-musuh rakyat. Menteri Ho mendapat pengampunan Kaisar dan Wakil Perdana Menteri Kang kembali akan memimpin kita. Negeri akan menjadi tenteram dan damai seperti semula, dan kita akan hidup tenang dan terbebas dari pada penindasan!" Semua orang bersorak-sorak. Bwee Hong mengerutkan alisnya dan berkata kepada kakaknya dan Pek Lian,

   "Orang itu sungguh lancang dan berani. Tempat ini dekat sekali dengan Kotaraja. Kalau kaki tangan para Menteri korup yang memusuhi Menteri Ho dan menentang keputusan Kaisar mendengar, bukankah akan terjadi keributan dan mungkin orang itu takkan diampuni?" Akan tetapi ketika Bwee Hong memandang kepada Pek Lian, ia terkejut dan berbisik,

   "Adik Lian, ada apakah? Engkau melihat siapa?"

   "Ssttt... hati-hatilah kalian disini terdapat pengunjung lain, seorang anak-buah dari Raja Kelelawar..."

   "Ehh? dimana?" tanya kakak-beradik itu dengan kekagetan yang ditekan.

   "Sstt... lihat disudut halaman sebelah kanan," kata Pek Lian tanpa memandang kearah orang yang ditunjuknya. Kakak-beradik itupun memandang secara sepintas lalu saja dan mereka melihat adanya seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, berwajah ganteng dengan pakaian yang indah mewah. Pria itu tersenyum-senyum, wajahnya selalu berseri dan berlagak, tangannya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas yang kadang-kadang diisapnya. Seng Kun dan Bwee Hong tidak mengenal pria itu, akan tetapi tentu saja Pek Lian mengenalnya karena orang itu bukan lain adalah Jai-hwa Toat-beng-kwi, satu diantara tokoh sesat yang dahulu pernah menghadiri pertemuan rahasia pemunculan Raja Kelelawar.

   Itulah penjahat cabul yang lihai sekali, dan yang menjadi anak-buah Sanhek-houw si Harimau Gunung, pembantu utama Raja Kelelawar. Sebagai anak-buah Sanhek-houw, tentu saja penjahat cabul ini juga menjadi kaki tangan Raja Kelelawar. Mendengar bahwa pria itu adalah anak-buah Raja Kelelawar, tentu saja Seng Kun menjadi curiga. Dia tidak mempunyai pegangan untuk mengikuti jejak penculik Menteri Ho, maka setiap petunjuk penting baginya. Dan kalau ada anak-buah Raja Kelelawar disitu, belum tentu penjahat ini tidak akan dapat memberi petunjuk. Peristiwa-peristiwa kejahatan harus diselidiki diantara penjahat, pikirnya. Oleh karena itu, Seng Kun diam-diam memperhatikan pria tampan pesolek itu. Ketika melihat laki-laki itu bangkit berdiri dan pergi, diapun segera mengajak dua orang gadis itu untuk membayanginya.

   "Akan tetapi itu berbahaya sekali," bisik Pek Lian.

   "Dia amat lihai, dan siapa tahu dia akan menemui kawan-kawan si Raja Kelelawar yang lain?"

   "Justeru itu kebetulan sekali. Siapa tahu para penjahat itu menculik ayahmu, nona? Dan setidaknya, mungkin mereka itu tahu siapa penculik yang kita cari." Mendengar jawaban Seng Kun ini, Pek Lian terpaksa lalu mengikutinya karena iapun ingin sekali dapat cepat menemukan ayahnya. Akan tetapi setelah tiba ditempat sunyi, si penjahat cabul itu mengerahkan ginkang dan berlari cepat sekali. Seng Kun dan Bwee Hong juga berlari cepat mengejar sehingga terpaksa Pek Lian yang tingkat ginkangnya paling rendah itu harus mengerahkan seluruh tenaganya sampai ia terengah-engah. Baiknya orang yang dibayangi itu tidak mengambil jalan hutan karena cuaca sudah mulai gelap. Penjahat itu mengambil jalan melalui semak-semak dan padang ilalang sehingga mereka bertiga dapat membayanginya dari jauh dengan mudah tanpa bahaya kehilangan dia.

   Setelah tiba dijalan besar lagi, penjahat itu menuju kesebuah rumah yang berdiri terpencil ditempat sunyi, ditepi jalan yang membelah padang ilalang itu. Ternyata bahwa rumah itu adalah sebuah kedai minuman yang biasa, dipakai untuk tempat peristirahatan dan persinggahan para pedagang yang akan memasuki Kotaraja. Di setiap sudut kedai itu dipasangi lampu besar sehingga keadaan disekitarnya menjadi terang. Kedai itu nampak sunyi dan ketika orang yang dibayanginya itu menuju kekedai minuman itu, Seng Kun dan dua orang gadis Itu berhenti dan mengintai dari tempat gelap, tidak jauh dari kedai. Mereka melihat bahwa dikedai Itu hanya terdapat dua orang tamu wanita muda yang wajahnya mirip satu sama lain. Mereka itu segera dihampiri oleh penjahat cabul dan bercakap-cakap lirih. Melihat sikap mereka, agaknya mereka sedang menantikan datangnya orang lain.

   "Harap kalian suka bersembunyi dulu disini. Aku akan mengambil jalan memutar dan pergi kewarung itu sebagai tamu yang kemalaman dan ingin minum untuk mencoba mendengarkan percakapan mereka dan kita melihat perkembangannya nanti," kata Seng Kun kepada dua orang gadis itu.

   "Baik, akan tetapi engkau berhati-hatilah, koko," kata adiknya. Ketika Seng Kun tiba dikedai itu dari arah lain, dia disambut oleh pelayan dan tanpa menarik perhatian dan sambil lalu dia lalu duduk dimeja yang tidak berjauhan dengan meja penjahat cabul bersama dua orang wanita itu. Akan tetapi, mereka sudah berhenti berbicara, atau agaknya mereka memang tidak ingin percakapan mereka terdengar orang lain, maka mereka menghentikan percakapan dan memperhatikan petani setengah tua yang baru datang itu. Ketika melihat bahwa petani itu hanya seorang petani sederhana yang kehausan, mereka kelihatan lega. Dan pada saat itu, Seng Kun melihat munculnya sebuah gerobak yang ditarik oleh seekor kuda dan dikusiri seorang pemuda.

   "Heii, A-piang! Kenapa arakmu sangat terlambat?" pemilik warung yang setengah tua dan agak gemuk itu keluar dari kedainya dan menghampiri gerobak yang berhenti dipekarangan kedai.

   "Sudah dua hari persediaan arakku yang baik habis. Tamu-tamuku sudah mengomel!" Pemilik kedai itu menegur, kemudian dia melihat pemuda yang turun dari tempat kusir dan tertegun.

   "Eh, siapa engkau?"

   "Lo-pek, A-piang berhalangan datang karena dia jatuh sakit, itulah sebabnya pengiriman arak menjadi terlambat dan sekarang aku yang disuruh menggantikannya mengantarkan pesananmu." Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan dengan kaku, agaknya merupakan pekerjaan yang tidak biasa baginya, dia mulai menurunkan guci-guci arak dari gerobaknya.

   Pemilik kedai sejenak termangu, akan tetapi lalu mengangguk-angguk dan mulai menghitung guci-guci arak yang diturunkan itu, membuka tutup beberapa buah guci, mencium bau arak yang terhembus keluar dan mengangguk-angguk puas. Siapapun kusirnya, bukan hal yang penting baginya. Yang penting, araknya bagus! Seng Kun yang duduk tak jauh dari meja penjahat cabul, mendengarkan akan tetapi mengambil sikap tidak perduli dan mengeluh memijati kedua kakinya seperti orang yang kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh. Sementara itu, ketegangan hebat terjadi dalam diri Pek Lian. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar-debar keras, darahnya berdenyut kencang. Bwee Hong sendiri sampai terkejut ketika merasa betapa lengannya dicengkeram orang.

   "Eh, eh, kau kenapa?" bisiknya kepada Pek Lian.

   "Enci Hong... aku mengenal pemuda kusir pedati itu!" suara Pek Lian terdengar tergetar.

   "Ehemm..., begitukah?" Matanya yang bening itu melirik kearah kawannya dan mulutnya yang indah itu tersenyum penuh arti.

   "Dia memang seorang pemuda yang ganteng dan gagah, pantas kalau menjadi kenalan baikmu." Seketika muka Pek Lian menjadi merah sekali.

   "Ih, kau jahat, enci Hong! Siapa bilang dia tampan dan gagah? Aku kan cuma bilang kalau aku mengenal dia. Perkara dia ganteng atau bopeng, siapa perduli?"

   "Wah-wah, kenapa jadi marah-marah? Aku juga cuma bergurau! Maafkan, ya?" Bwee Hong yang berada dekat sekali dengan. Pek Lian itu mendekatkan mukanya dan mencium pipi temannya.

   Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siapa sih dia? Putera seorang pedagang arak?" tanya Bwee Hong, suaranya kini sungguh-sungguh.

   "Entahlah, aku sendiri tidak tahu benar siapa dia itu. Dia sangat baik, akan tetapi wataknya sangat aneh. Mungkin... mungkin dia itu berpenyakit gila!"

   "Lhoh...?!" Dara cantik itu tertegun.

   "Benar, enci, aku tidak bergurau. Sudah tiga kali aku bertemu dengan dia dan selalu dia menolong dan menyelamatkan aku. Pertama ketika kami serombongan menghadang iring-iringan kereta yang membawa ayahku. Pemuda itu yang menjadi kusir keretanya. kedua ketika kami dikejar oleh Beng-goanswe, pemuda itu menjadi pelayan dikuil. Dan sekarang... dia menjadi penjual arak." Pek Lian memandang dan jantungnya berdebar aneh. Rasanya, ingin ia keluar dan berlari menghampiri pemuda itu. Tadipun, hampir ia berteriak memanggil nama A-hai! Rasa girang yang aneh dan luar biasa menyelinap didalam hatinya ketika ia melihat A-hai. Padahal, selama ini, jarang ia teringat kepada pemuda itu.

   "Hemm, kalau begitu dia mencurigakan," kata Bwee Hong yang kini juga memandang penuh perhatian melihat pemuda itu menurun-nurunkan guci arak.

   "Engkau belum mendengar semua, enci. kau lihat langkahnya itu? Seperti seorang biasa yang sama sekali tidak mengenal ilmu silat, bukan? Nah, itulah keadaannya kalau dia sedang waras, seorang pemuda biasa yang baik hati dan lemah, yaitu tidak tahu ilmu silat walaupun dia boleh jadi memiliki tenaga dasar yang amat kuat. Akan tetapi jangan ditanya kalau dia menjadi kumat! Dia seperti menjadi gila, menangis dan marah-marah, akan tetapi juga seketika dia menjadi seorang yang sakti. Bahkan Tong-ciangkun sendiri, jagoan nomor satu di Istana itu, terpaksa mundur ketika beradu tangan dengan dia."

   "Wah! Benarkah itu? Kalau begitu, betapa lihainya dia!" Nona cantik itu terkejut sekali dan kini pandang matanya terhadap pemuda kusir itu berobah, menjadi kagum dan juga penuh keheranan. Kalau bukan Pek Lian yang bicara, tentu ia akan mentertawakan. Dari gerak-geriknya ketika menurunkan guci-guci arak itu, jelas terlihat bahwa pemuda kusir itu tidak pandai ilmu silat dan agaknya tidak tahu bagaimana mempergunakan tenaga dalam.

   Buktinya dia menurunkan guci-gu-ci arak itu mengandalkan tenaga otot saja. Ia sendiri bersama dengan kakaknya yang lihai pernah berhadapan mengeroyok si cebol Tong-ciangkun. Dan akhirnya mereka berdua harus mengakui kelihaian si cebol itu. Dan sekarang ia mendengar bahwa pemuda kusir itu mampu membuat si cebol terdorong mundur? Betapa mustahilnya hal ini. Kini dengan tajam sepasang mata yang indah bening itu memandang kearah wajah si pemuda kusir. Mata seorang ahli silat dan ahli pengobatan, menilai dan memeriksa. Kini ia melihat bahwa perawakan pemuda itu memang tepat apabila menjadi seorang ahli silat yang tangguh. Tapi gerakan-gerakan pemuda itu sungguh tidak meyakinkan.

   "Enci, engkau adalah keturunan Sin-yok-ong dan gurumu adalah seorang ahli pengobatan yang paling hebat didunia. Tahukah engkau penyakit apa yang membuat orang kadang-kadang mengamuk dan kadang-kadang waras, kemudian lupa diri sama sekali seperti pemuda itu? Bisakah engkau atau kakakmu mengobati dan menyembuhkan pemuda itu?"

   "Entahlah, tidak mudah dikatakan begitu saja. Harus lebih dulu memeriksanya dengan teliti. Akan tetapi, kalau penyakit gila itu akibat rusaknya syaraf-syarafnya, atau karena guncangan jiwanya, memang tidak mudah menyembuhkannya." Jawaban ini meragukan dan mengecewakan hati Pek Lian. Betapa akan bahagia rasa hatinya kalau ia dapat melihat A-hai disembuhkan sama sekali dari penyakit lupa diri dan gila itu. Biarpun dia tidak akan pernah bisa menjadi sakti kembali karena sudah tidak dapat kumat gilanya, namun pemuda itu tidak akan menderita seperti itu. keadaan lalu menjadi sunyi, Pek Lian tenggelam kedalam lamunannya membayangkan nasib A-hai, sedangkan Bwee Hong masih terkesan akan cerita tentang pemuda aneh itu. Mereka berdua memandang kearah kedai itu.

   A-hai, pemuda itu, setelah selesai menurunkan semua guci arak, agaknya menanti pembayaran dan untuk itu dia melepaskan lelahnya sambil duduk didekat lampu minyak yang tergantung diatas. Pemilik warung itu sedang membereskan barang-barang dagangannya yang baru diterimanya itu, dibantu pelayan mengangkut guci-guci arak itu kedalam kedai, langsung kegudang yang berada dibagian belakang. Mata pemuda itu menyapu kearah warung, meneliti setiap wajah untuk melihat kalau-kalau ada yang dikenalnya. Tiba-tiba kesunyian malam itu dipecahkan oleh suara derap kaki kuda yang datang kearah kedai itu. Semua orang menoleh kearah datangnya suara derap kaki kuda. Dibawah remangnya sinar bintang-bintang dilangit, nampak serombongan penunggang kuda yang menuju kekedai itu.

   Yang terdepan adalah dua orang laki-laki gemuk pendek berjenggot lebat yang mukanya hampir mirip satu sama lain. Dipinggang mereka tergantung sepasang golok pendek. Dibelakang mereka terdapat sepuluh orang yang agaknya adalah anak-buahnya, semua bersenjata dan lagak mereka kasar dan bengis, jelas membayangkan bahwa mereka bukanlah golongan orang baik-baik melainkan lebih pantas kalau digolongkan orang-orang yang biasa mengandalkan kekuasaan melakukan kekerasan dan kekejaman untuk memaksakan kehendak mereka. Dari tempat persembunyiannya, Pek Lian dan Bwee Hong yang merupakan dua orang dara perkasa dan sudah banyak mengenal orang-orang dari dunia hitam, maklum bahwa rombongan ini tentu merupakan gerombolan kaum sesat yang jahat. Maka merekapun bersikap waspada karena agaknya ditempat itu datang banyak gerombolan jahat.

   "Ha-ha-ha, kalian memang gesit, agaknya telah tiba lebih dulu dari pada kami!" dua orang laki-laki gemuk pendek itu berteriak dari punggung kuda ketika mereka melihat Jai-hwa Toat-beng-kwi si Penjahat Cabul dan dua orang wanita itu.

   "Mana kawan-kawan yang lain, apakah belum ada yang datang?" Dua belas orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan dua orang gendut itu segera menghampiri Jai-hwa Toat-beng-kwi yang menjawab pertanyaan mereka tadi,

   "Baru kami yang datang. Duduklah dulu sambil menanti kedatangan teman-teman yang lain." Dua orang pemimpin rombongan itu memandang kekanan kiri dan ketika mereka melihat Bu Seng Kun yang menyamar sebagai seorang petani setengah tua, seorang diantara mereka menggerakkan kepala dengan dagu menunjuk kearah petani itu sambil bertanya kepada Si Cabul,

   "Temanmukah dia?" Si Cabul melirik kearah Seng Kun lalu menggeleng kepala dengan sikap tak acuh. Tadi ketika petani itu masuk, dia telah melakukan penyelidikan dan keadaan petani itu tidak mencurigakan.

   "Bukan, dia hanya tamu biasa yang kelaparan dan kehausan." Mereka lalu bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik, kadang-kadang kalau mereka hanya bersendau-gurau, suara mereka keras dan mereka tertawa-tawa sehingga Seng Kun yang berada dimeja lain, juga dua orang dara pendekar yang mengintai, mengerti bahwa bisikan-bisikan itu adalah percakapan penting yang menyangkut urusan mereka pada waktu itu. Malam itu nampak semakin menegangkan karena tiga orang pendekar itu seperti merasakan adanya suatu ancaman, sesuatu yang akan meledak dan yang akan terjadi. Tidak percuma saja para penjahat berkumpul ditempat itu pada malam hari itu. Pasti ada apa-apanya dan agaknya urusan itu tentu penting sekali. Apa lagi ketika mereka melihat datangnya orang yang semakin banyak.

   Seluruhnya terdiri dari orang-orang yang bersikap galak, bertampang serem dan bertingkah kasar. Dari sikap mereka, diantaranya banyak yang saling mengenal dan pertemuan itu mendatangkan kegembiraan diantara mereka. Seng Kun dapat menduga bahwa memang pertemuan itu sudah direncanakan dan golongan hitam itu tentu datang berkumpul atas panggilan atau perintah pimpinan mereka untuk merencanakan sesuatu yang penting. Maka diapun merasa beruntung sekali dapat secara kebetulan hadir disitu. Sayangnya, diantara mereka itu tidak ada seorangpun yang membocorkan rahasia urusan atau rencana mereka itu. Warung itu menjadi penuh dan orang-orang baru masih saja berdatangan. Melihat keadaan ini, pemilik warung itu merasa khawatir juga. Seorang bermuka hitam brewok yang matanya lebar dan bengis, berteriak,

   "Heii, tukang warung! dimana kami harus duduk? Engkau bisa menyediakan bangku untuk petani busuk, apakah tidak dapat melayani, kami dengan baik?" Mata yang lebar itu melotot kearah Seng Kun yang menyamai sebagai petani setengah tua dan yang duduk dengan tenangnya itu. Pemilik warung melihat gelagat tidak baik. Karena dia melihat bahwa petani itu telah selesai makan-minum, maka bergegas dia menghampiri Seng Kun dan berkata dengan suara lunak dan membujuk,

   

Naga Beracun Eps 14 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 4 Naga Beracun Eps 25

Cari Blog Ini