Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 14


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 14




   Kembali Ai Yin menanduk, ia memang genit dan manja, juga lincah, akan tetapi sekali ini dalam urusan cinta, ia berubah menjadi pemalu! Ia menggeleng kepala.

   "Aku tidak tahu, enci. Aku memang kagum padanya, dan suka padanya, dan segala hal pada dirinya menarik hatiku, membuat aku selalu ingat dan kadang tak dapat tidur........"

   Bi Lan tersenyum. Itu tandanya cinta, walaupun mungkin cinta remaja! "Nona, apakah engkau mengharapkan nasihat dariku?"

   Ai Yin mengangkat muka dan memandang Bi Lan dengan mata penuh harap.

   "Benar sekali, enci Lan. Aku sedang bingung dan ragu, bagaimana baiknya menghadapi urusan ini?"

   "Pernahkah dia secara terang-terangan menyatakan bahwa dia cinta padamu, nona?"

   "Terang- terangan memang belum, akan tetapi gerak-geriknya, sinar matanya, suaranya, pujian-pujiannya, semua itu sudah jelas. Agaknya diapun merasa ragu dan bimbang, takut untuk mengatakannya."

   "Hem, kalau begitu, kautunggu saja sampai ia berkata terus terang, nona. Dia seorang gagah,kurasa dia akan berani berterus terang kalau memang dia cinta padamu. Dan kalau dia sudah menyatakan cintanya, jawablah saja bahwa kalau benar dia mencintamu, dia harus berani melamarmu kepada orang tuamu."

   "Aih, mana dia berani, enci?"

   "Biar itu menjadi ujian baginya, nona. Kalau memang dia mencintamu, kenapa tidak berani! Jangankan hanya melamar kepada orang tuamu, kalau dia benar mencinta, biar menyeberangi lautan api umpamanya, tentu akan dia lakukan. Bukankah begitu?"

   Wajah gadis itu berseri-seri. Betapa senangnya kalau mempunyai seorang calon suami yang demikian besar cintanya sampai mau menyeberangi lautan api! Setelah bicara dengan Bi Lan, makin besar rasa hati Ai Yin dan diapun kini tidak ragu-ragu lagi, sudah bertekad untuk menerima cinta kasih pemuda itu.

   Kalau saja Bi Lan tahu! Kalau saja ia mengenal siapa sebenarnya Siauw Can atau Can Hong San. Tentu ia akan dengan tegas mencegah puteri bangsawan itu tergelincir dan terjebak ke dalam perangkap!

   Beberapa bulan kemudian. Seperti yang dinasehatkan Bi Lan, ketika pada suatu hari Siauw Can memberanikan diri mengaku cintanya kepada Ai Yin, gadis bangsawan itu menjawab bahwa untuk membuktikan cintanya, Siauw Can harus melamarnya pada ayahnya!

   Siauw Can terbelalak mendengar ini dan dia nampak gelisah."Akan tetapi, bagaimana mungkin itu, nona? Bagaimana aku akan berani melamarmu? Ayahmu adalah Pangeran Tua, majikanku, dan aku sendiri sebatangkara, tiada orang tua lagi. Aku tidak mempunyai wakil dan........."

   "Cukup alasan itu, toako!" Li Ai Yin memotong marah."Kau bilang bahwa engkau mencintaku. Akan tetapi baru kusuruh mengajukan pinangan saja engkau tidak berani! Bagaimana aku dapat mempercayaimu?" kata Ai Yin yang segera pergi meninggalkan pemuda itu.

   Siauw Can termenung dan menjadi serba salah. Tadinya dia ingin memikat dulu gadis bangsawan itu sampai menjadi kekasihnya, baru perlahahan-lahan mengatur perjodohan. Siapa kira, gadis ini langsung saja minta dibuktikan cintanya dengan mengajukan lamaran! Sekarang menjadi serba salah. Tidak memenuhi permintaan Ai Yin tentu gadis itu akan marah dan menganggap cintanya hanya pura-pura. Memenuhi permintaan, dia merasa takut! Karena bingung, diapun lari menjumpai Poa Kiu dan minta nasihat rekan yang lebih tua itu.

   Mendengar keterangan Siauw Can, Poa Kiu yang kurus bongkok mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk.

   "Hemm, jadi nona Ai Yin jatuh cinta padamu dan minta agar ia dilamar? Betapa baik nasibmu, Siauw Can. Baiklah, aku akan menjadi walimu dan akan kuajukan lamaran kepada Pangeran. Mudah-mudahan saja beliau dapat menerima pinanganmu."

   "Akan tetapi kuharap paman berhati-hati, jangan sampai beliau marah kepada kita......" kata Siauw Can dengan lega walaupun kekhawatirannya masih membuatnya gelisah.

   Demikianlah, dengan hati-hati Poa Kiu menghadap Pangeran Li Siu Ti dan melaporkan tentang hubungan asmara antara Siauw Can dan Ai Yin, dan tentang keinginan hati Siauw Can untuk mengajukan pinangan, akan tetapi pemuda itu takut-takut.

   Pangeran Tua Li Siu Ti tidak marah. Dia memang suka kepada pemuda itu, akan tetapi menerima seorang pemuda biasa sebagai mantu merupakan hal yang harus diimbali dengan jasa yang besar di pihak Siauw Can. Maka, diapun mengajukan syarat, bahwa apabila Siauw Can berhasil membunuh atau setidaknya melukai Pangeran Mahkota Li Si Bin, barulah dia akan menerima pinangan pemuda itu.

   Mendengar ini, Siauw Can segera mencari akal dan mengatur siasat, dibantu oleh Poa Kiu yang mengharapkan bahwa apabila kelak Siauw Can menjadi mantu Pangeran Li Siu Ti, tentu pemuda itu tidak akan melupakan jasanya dan diapun akan ikut terangkat naik derajat dan kedudukannya.

   Bi Lan sama sekali tidak tahu akan persekutuan yang dikepalai Pangeran Tua Li Siu Ti.

   Baginya, pangeran itu adalah adik kaisar yang berkedudukan tinggi karena menjadi penasihat kaisar. Sama sekali ia tidak pernah bermimpi bahwa pangeran itu mempunyai cita-cita untuk kelak menjadi kaisar dan untuk cita-cita ini, dia sanggup melakukan apa saja.

   Apa lagi karena hubungannya dengan Ai Yin amat akrabnya, sedangkan gadis bangsawan itu biarpun genit dan manja, dinilainya seorang yang berbudi baik, bahkan amat sayang dan hormat kepada Pangeran Mahkota. Ia tidak tahu betapa cita-cita Pangeran Tua Li Siu Ti itu bahkan mengancam dirinya, karena ia dekat dengan Pangeran Li Si Bin dan dapat keluar masuk istana setiap hari tanpa dicurigai dan dengan bebas pula.

   Pada suatu hari, ketika seperti biasa ia berada di istana untuk melaksanakan tugasnya melatih silat kepada para dayang, seorang pengawal memberi tahu kepadanya bahwa ada dua orang perajurit pengawal dari istana Pangeran Tua datang minta bertemu dengannya untuk menyampaikan berita yang amat penting.

   Tentu saja Bi Lan menjadi heran mendengar ini. akan tetapi ia cepat keluar untuk menemui dua orang perajurit itu. Mereka nampak gugup dan ketakutan, dan begitu bertemu dengan Bi Lan, seorang di antara mereka berkata dengan cemas.

   "Celaka, Kwa-lihiap! Nona kecil Lan Lan telah hilang.........!"

   Sepasang mata itu terbelalak."Apa? Bukankah ia diasuh oleh Cu-ma?"

   "Kami dapatkan Cu-ma duduk di bangku taman dalam keadaan tak sadar, dan nona kecil tidak ada. Sudah kami cari kemana-mana tidak berhasil."

   Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Bi Lan segera berlari meninggalkan pintu gerbang istana, membuat para penjaga di pintu gerbang terheran-heran dan tentu saja mereka segera bertanya kepada dua orang perajurit yang datang dari istana Pangeran Tua itu. Dua orang perajurit inipun menceritakan tentang hilangnya Lan Lan, puteri Kwa Bi Lan.

   Segera tersebarlah berita itu dari mulut ke mulut dan sebentar saja berita itu sampai ke telinga Pangeran Mahkota Li Si Bin. Pangeran yang menaruh perhatian kepada Bi Lan ini merasa khawatir dan diapun segera bergegas pergi berkunjung ke istana Pangeran Tua.

   Sementara itu, bagaikan terbang cepatnya, tanpa memperdulikan orang-orang yang dijumpai dalam perjalanan, yang memandang dengan heran dan kaget ketika mereka melihat bayangan berkelebat saking cepatnya dan tak lama kemudian ia sudah tiba di istana Pangeran Tua.

   Ia disambut oleh para penjaga dan pelayan, dan segera ia diantar ke kamar Cu-ma, wanita pengasuh yang biasanya mengasuh Lan Lan setiap kali ia pergi ke istana kaisar.

   Mereka telah mengangkat tubuh Cu dan membaringkannya ke dalam kamar pelayan itu sendiri. Bi lan segera memeriksa dan melihat Cu-ma berada dalam keadaan tidak dapat bergerak dan tak dapat berbicara. Ia telah ditotok secara lihai! Bi Lan cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh Cu-ma dan akhirnya wanita setengah tua itu dapat bergerak dan menangis.

   "Cu-ma, apa yang telah terjadi? Di mana Lan Lan?" Bi Lan bertanya, suaranya tegas dan keras."Hentikan tangismu dan ceritakan yang jelas!"

   Sambil menahan tangis dan masih nampak gugup, Cu-ma bercerita bahwa tadi seperti biasa, setelah Bi Lan berangkat ke istana, ia mengajak Lan Lan bermain di dalam taman bunga. Kebetulan musim bunga telah tiba dan taman istana itu indah sekali. Bunga beraneka warna dan bentuk sedang mekar dan keharuman semerbak di taman itu. Cu-ma membiarkan Lan Lan bermain-main di atas rumput dan dia mengawasi sambil duduk di atas bangku.

   "Saya tidak tahu apa yang terjadi, lihiap. Tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan sebe lum saya dapat berbuat sesuatu, tubuh saya tak dapat digerakkan lagi dan saya tidak da pat mengeluarkan suara. Akan tetapi saya masih dapat melihat betapa bayangan itu me nyambar tubuh nona kecil Lan Lan dan membawanya pergi seperti terbang cepatnya."

   Pada saat itu, Ai Yin datang berlari memasuki kamar itu dan ia duduk di tepi pembaringan Cu-ma, memegang tangan Bi Lan dan wajah gadis ini pun tegang.

   "Aku juga ikut mencari kemana- mana, akan tetapi tidak berhasil, enci Bi Lan." katanya dengan wajah cemas.

   "Tenanglah, nona, dan biar aku mencari keterangan dulu dari Cu-ma," kata Bi Lan. Iapun merasa gelisah, akan tetapi sikapnya tenang."Cu-ma, bagaimana bentuk wajah dan tubuh bayangan itu?"

   "Saya tidak sempat melihat wajahnya, lihiap. Pakaiannya serba hitam, dan saya yang tidak mampu bergerak, hanya sempat melihat tubuh belakangnya saja. Rambutnya dibungkus kain kepala warna hitam pula, dan bentuk tubuhnya sedang."

   "Laki-laki atau wanita melihat bentuk tubuhnya itu?"

   "Bentuk tubuh itu sedang saja, bisa laki laki dan bisa juga wanita."

   "Dia tidak mengeluarkan kata-kata?"

   "Tidak, Lihiap."

   "Apakah Lan Lan tidak menangis ketika dilarikan orang itu?"

   "Saya tidak mendengar nona kecil menangis. Semua berlangsung demikian cepatnya....."

   Cuma menangis lagi.

   "Enci Lan, siapa kira-kira yang berani menculik Lan Lan? Apakah engkau mempunyai musuh?" Bi Lan hanya menggeleng kepalanya dan tiba-tiba ia bertanya kepada gadis bangsawan itu.

   "Nona, di mana kakak misanku Siauw Can?" Dalam keadaaan seperti itu, semua orang patut dicurigai,pikir Bi Lan. Ia tidak mempunyai alasan untuk mencurigai Siauw Can, akan tetapi kenapa pemuda itu tidak nampak, padahal seluruh isi rumah nampak bingung karena lenyapnya Lan Lan diculik orang.

   "Dia? Sejak pagi tadi dia pergi mengawal ayah keluar rumah. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan diculik orang. Juga ayah belum tahu karena mereka belum pulang. Enci Lan, kau harus dapat menemukan kembali Lan Lan dan menangkap penjahat yang menculiknya!"

   Sebelum Bi lan menjawab, terdengar suara gaduh para pelayan yang berlutut memberi hormat dan muncullah Pangeran Li Si Bin."Bi Lan, kami mendengar putrimu diculik orang! Apa yang sesungguhnya terjadi?" tanya pangeran itu.

   Bi Lan tidak kehilangan ketenangannya dan bersama Ai Yin ia memberi hormat kepada pangeran itu."Kakanda Pangeran, paduka harus menolong Lan Lan......." Ai Yin segera berkata.

   "Tenanglah, Ai Yin dan biarkan Bi Lan menceritakan apa yang terjadi," kata pangeran itu dengan sikap tenang dan dia sudah duduk di sebuah kursi dalam kamar pelayan itu.

   Bi Lan menceritakan semua yang terjadi dengan sejelasnya kepada Pangeran Li Si Bin. Setelah mendengar apa yang terjadi, pangeran itu menjadi marah sekali."Jangan khawatir, Bi Lan.

   Sekarang juga aku akan mengerahkan seluruh pasukan keamanan untuk mencari anakmu itu dan engkau boleh menghentikan dulu tugasmu mengajar di istana dan mencari anakmu sampai dapat."

   Pangeran itu lalu meninggalkan istana Pangeran Tua memanggil panglimanya dan memerin tahkan agar panglima itu mengerahkan pasukan mencari anak yang hilang itu.

   Segera para perajurit berjaga di semua pintu gerbang, melakukan pencarian dan pengge ledahan, bahkan menangkapi orang-orang yang dicurigai. Belum pernah terjadi keributan seperti itu hanya karena hilangnya seorang anak kecil, yang melibatkan seluruh perajurit pasukan keamanan!

   Bi Lan sendiri tidak tinggal diam. Ia mencari ke mana-mana, namun tidak menemukan jejak Lan Lan. Akhirnya ia termenung di dalam kamarnya seorang diri saja. Mulailah ia menduga bahwa besar sekali kemungkinan kini Lan Lan berada bersama ayah ibunya!

   Ayah dan ibu Lan Lan, Si Han Beng dan Bu Giok Cu, adalah sepasang suami isteri pendekar yang amat lihai, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali. Siapa lagi yang akan menculik Lan Lan kalau bukan mereka? Mungkin ibu anak itu yang datang untuk mengambil kembali puterinya.

   Kalau benar mereka yang datang mengambil kembali puteri mereka, iapun tidak dapat berbuat sesuatu. Kalau dulu ia mampu melarikan Lan Lan hal itu hanya karena suami isteri itu tidak tahu dan suami isteri itu tentu saja tidak berani sembarangan mengejarnya karena takut kalau ia melaksanakannya ancamannya, yaitu akan membunuh Lan Lan kalau mereka mengejar.

   Bi Lan menarik napas panjang. Ia telah terlanjur cinta kepada anak itu dan dianggapnya sebagai anak sendiri. Bahkan kepada Pangeran Mahkota saja ia mengakui Lan Lan sebagai puterinya. Biarpun kini Pangeran Li Si Bin yang mempunyai kekuasaan besar itu membantunya, tidak mungkin kalau ia minta bantuan pangeran itu untuk merampas Lan Lan dari ayah ibunya sendiri! Hal itu berarti ia harus membuka rahasianya bahwa selama ini ia membohongi semua orang, membohongi sang pangeran bahwa Lan Lan bukan anaknya sendiri melainkan anak curian!

   Lewat tengah hari, Pangeran Tua Li Siu Ti dan para pengawal yang dipimpin Siauw Can pulang. Begitu mendengar tentang terculiknya Lan Lan, Siauw Can segera mencari Bi Lan di kamarnya.

   "Lan-moi, apa yang telah terjadi? Aku mendengar Lan Lan diculik orang! Benarkah ini?"

   Bi Lan mengamati wajah pemuda itu dan ia mengangguk,

   "Pagi tadi, ketika aku sedang berada di istana, dan Lan Lan diasuh Cu-ma di taman, ada bayangan orang menotok roboh Cu-ma dan membawa lari Lan Lan."

   "Ah, keparat! Kalau aku berada di rumah, tak mungkin hal ini terjadi! Akan kubekuk leher penculik jahanam itu, Lan-moi. Percayalah, aku akan mencari dan menemukan kembali anakmu!"

   Bi Lan menggeleng kepala dan menghela napas.

   "Sudah kucari ke mana-mana akan tetapi tidak ada jejaknya, Can-toako. Bahkan Pangeran Mahkota juga sudah mengerahkan pasukan untuk mencarinya. Penculik itu agaknya lihai sekali. Dia dan Lan Lan seperti menghilang saja......"

   Wajah Bi Lan nampak berduka sekali karena ia hampir yakin bahwa Lan Lan tentu diambil kembali oleh orang tuanya dan kalau hal itu terjadi, berarti kehilangan Lan Lan untuk selamanya. Dan tiba-tiba saja ia merasa amat kesepian. Melihat wanita itu hampir menangis, Siauw Can menghiburnya.

   "Aku akan membantumu, Lan-moi. Betapapun lihainya, kalau engkau dan aku maju bersama, mustahil kita tidak akan mampu mengalahkannya merebut kembali anakmu."

   Pada saat itu Pangeran Tua Li Siu Ti datang dan berada di luar kamar Bi Lan. Wanita itu cepat keluar dan memberi hormat.

   "Aku ikut merasa menyesal sekali mendengar anakmu diculik orang, Bi Lan. Ah, kalau tahu akan muncul bencana, tentu aku tidak mengajak Siauw Can pergi hingga dia berada di rumah dan akan mampu mencegah terjadinya penculikan itu. Para penjaga yang tidak becus itu! Akan kuhukum mereka yang bertugas pagi tadi. Mereka lalai sehingga tidak tahu ada penjahat masuk dan menculik anakmu!"

   "Harap paduka tidak menyalahkan para penjaga, Pangeran. Penculik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga tidak akan sukar baginya untuk menyelinap masuk dan melarikan Lan Lan keluar tanpa diketahui para penjaga. Dari cara dia menotok Cu-ma, dan betapa dia mampu bersembunyi dan meloloskan diri dari pengejaran dan pencarian pasukan keamanan yang dikerahkan Pangeran Mahkota, saya tahu bahwa dia lihai bukan main," kata Bi Lan yang tidak ingin para penjaga disalahkan.

   Karena andaikata ia sendiri menjadi penculiknya, iapun akan mampu melakukan hal itu tanpa diketahui para penjaga.

   Sekarang ia sama sekali tidak dapat mencurigai Siauw Can. Sudah jelas dari penjelasan Pangeran Li Siu Ti bahwa ketika peristiwa terjadi, Siauw Can sedang mengawal dan menemani pangeran itu. Akan tetapi agaknya memang tidak perlu mencurigai orang lain. Ia hampir yakin bahwa pelaku penculikan itu pasti orang tua Lan Lan sendiri.

   Hanya mereka yang berkepentingan untuk merampas kembali Lan Lan. Kalau orang lain, untuk apa menculik Lan Lan, menempuh bahaya besar menculik anak kecil dari Istana Pangeran Tua.

   Kini hati Bi Lan sudah mulai tenang. Kalau yang menculik Lan Lan itu orang tua anak itu sendrri, ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan Lan Lan. Akan tetapi, makin dikenang, semakin sedih hatinya dan ia merasa kehilangan.

   Malam ini ia tidak mampu tidur, gelisah di atas pembaringan, apa lagi kalau ia melihat pembaringan yang ditidurinya itu kosong, tidak nampak lagi Lan Lan yang lucu di sebelahnya.

   Bunyi lirih di atas kamarnya membuat ia waspada. Ketika ada benda putih meluncur dari atas langit-langit kamar, ia cepat bangkit, mengenakan sepatu dan membuka jendela, lalu melihat keluar, langsung saja ia melayang ke arah atas genteng untuk mencari orang yang meluncurkan benda ke dalam kamarnya. Akan tetapi setelah berada di atas genting, ia tidak melihat bayangan seorangpun.

   Betapa cepat gerakan orang itu. Ia mandang ke sekeliling, sunyi dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Atap istana itu sunyi lengang, dan bintang-bintang berkeredepan di angkasa. Sayang tidak dapat ditanya, karena pasti bintang-bintang itu tadi tahu siapa yang berada di atas kamarnya. Ia membetulkan letak genteng yang dibuka orang, lalu teringat akan benda putih yang dilemparkan ke dalam kamarnya dan ia meloncat turun, kembali ke dalam kamarnya tanpa menimbulkan kegaduhan.

   Setelah memasuki kamarnya, Bi Lan menyalakan lampu penerangan sehingga kamarnya menjadi terang. Ia melihat sebuah bungkusan di atas lantai. Kertas putih yang ada tulisannya membungkus suatu, kecil saja, setengah kepalan tangannya, dengan hati-hati ia mengambil bungkusan itu.

   Bungkusan diatur sedemikian rupa sehingga tanpa membukanya, ia dapat membaca tulisan di kertas pembungkusnya.

   "Kalau dalam waktu tiga hari Putera Mahkota belum juga tewas dengan racun ini, Lan Lan akan dikembalikan sebagai mayat!" Bi Lan terbelalak, kedua tangannya menggigil. Ia meletakkan bungkusan itu ke atas meja.

   Memandanginya dengan jijik seperti memandang seekor ular berbisa yang amat berba haya. Lan Lan ternyata diculik orang yang hendak memaksanya membunuh Pangeran Li Si Bin dengan racun dalam bungkusan itu!

   Jelas bahwa ini tentu ada hubungannya dengan bekas thai-kam gendut yang pernah mencoba untuk meracuni putera mahkota. Dan thai-kam itu membunuh diri, maka yang berdiri di belakangnya, yang menyuruhnya meracuni putera mahkota, tentulah orang yang amat ditakutinya.

   Dan kini agaknya orang yang menginginkan kematian pangeran Li Si Bin itu hendak mempergunakan ia untuk membunuhnya. Dengan cara yang teramat keji dan licik, yaitu menculik Lan Lan dan mengancam nyawa anak itu yang harus ditukar dengan nyawa Pangeran Li Si Bini.! Ini merupakan pemerasan yang teramat hina dan kotor.

   Dengan jari-jari tangan gemetar Bi Lan membuka bungkusan dan benar saja, di dalamnya terdapat bubuk putih yang sama sekali tidak berbau akan tetapi ia dapat menduga bahwa tentu benda itu merupakan racun yang amat berbahaya. Ia membungkusnya kembali, lalu duduk termenung memandangi bungkusan racun itu. Ia menjadi bingung dan panik. Ia dihadapkan pada ancaman yang amat merisaukan hatinya. Ia harus memilih. Berat mana? Li Si Bin atau Lan Lan? Tentu saja ia tidak ingin melihat keduanya terbunuh, ia mencinta Lan Lan, menganggap anak itu seperti anaknya sendiri.

   Akan tetapi ia juga............mencinta Pangeran Li Si Bin! Ia bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk kedua orang ini. Dan sekarang, ia diharuskan memilih antara keduanya. Membunuh Pangeran Li Si Bin atau melihat Lan Lan dibunuh!"Jahanam keparat busuk!"

   Bi Lan menepuk ujng meja di depannya sehingga remuk dan ia bangkit, mengepal tinju. Kalau saja penculik Lan Lan itu berada di situ, tentu akan diserangnya, diremukkan kepalanya, dipatahkan tulang lehernya! Karena tidak ada orang yang dapat ia jadikan sasaran kemarahannya, BI Lan lalu melempar diri ke atas pembaringan dan menangis.!

   Sejak kematian suaminya, baru sekarang ia menangis dalam arti kata yang sesungguhnya. Menangis karena ia merasa betapa nelangsa hatinya, betapa sunyi hidupnya, betapa ia membutuhkan seorang yang dekat dengannya, yang mencintanya dan dicintanya. Ia tadinya sudah mendapatkan cinta itu dalam diri Lan Lan, akan tetapi kini pada saat ia menemukan lagi cinta yang lebih sempurna, dalam diri putera mahkota, kedua orang yang amat dicintanya itu terancam bahaya maut.

   Seorang di antara mereka harus mati. Dan lebih hebat lagi, mati di tangannya! Apa yang harus ia lakukan? Tiga hari tidaklah lama dan bagaimana ia dapat mengatasi keadaan ini! Hampir saja ia menengok kepada Siauw Can, akan tetapi mengingat perbuatan Siauw Can kepadanya di malam itu, ia bergidik. Jangan-jangan kalau dimintai tolong, Siauw Can bahkan akan mengajukan syarat yang membuat ia akan menjadi semakin bingung, dan belum tentu Siauw Can akan mampu menolongnya. Apakah demi keselamatan Lan Lan ia harus membunuh putera mahkota dengan racun itu? Ah, tidak, tidak!!

   "Aduh, pangeran, apa yang harus hamba lakukan..........!?"

   Bi Lan menangis di depan Pangeran Li Si Bin yang memandang dengan mata terbelalak kepada wanita yang berlutut di depan kakinya itu. Sikap seperti itu sungguh tak pernah dapat dibayangkannya. Bi Lan yang biasanya demikian gagah perkasa, kini menangis dan berlutut di depan kakinya seperti seorang wanita lemah yang cengeng.!

   Akan tetapi timbul kekhawatiran juga di hati pangeran ini. Kalau sampai seorang wanita gagah perkasa seperti Bi Lan bersikap selemah itu tentu ada sebab yang amat hebat.

   "Bi Lan, tenanglah dan ceritakan, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang biasanya gagah perkasa bersikap selemah ini?"

   "Silakan paduka membacanya sendiri, pangeran."

   Bi Lan menyerahkan bungkusan itu dengan tangan gemetar kepada Putera Mahkota.

   Pangeran Li Si Bin yang masih merasa heran itu menerima bungkusan dan membaca tulisannya. Wajahnya berubah agak pucat dan dia menaruh bungkusan itu ke atas meja, lalu memandang kepada wanita yang masih berlutut dengan muka ditundukkan, masih terisak menangis itu.

   "Bi Lan, engkau tentu amat mencinta Lan Lan, puterimu itu, bukan?" Bi Lan mengangkat mukanya yang pucat dan air mata masih mengalir membasahi kedua pipinya.

   "Pangeran,sungguhpun Lan Lan hanya anak angkat hamba, namun hamba mencintanya seperti anak kandung hamba sendiri."

   Pangeran itu membelalakkan mata. Ini kenyataan baru yang mencengangkan hatinya tentang wanita ini.

   "Anak angkat? Jadi ia bukan anak kandung Rajawali Sakti, mendiang suamimu?"

   Bi Lan menggeleng kepala,"Ia adalah anak angkat hamba, pangeran. Akan tetapi hamba mencintainya dan hamba siap mempertaruhkan nyawa hamba untuk menyelamatkannya."

   "Hemm, kalau begitu, Bi Lan, kenapa engkau membawa surat dan racun ini kepadaku? Untuk menyelamatkan anak angkatmu itu, kenapa tidak kau lakukan saja perintah dalam surat itu.?"

   "Pangeran...........aihhh, pangeran..., kenapa paduka berkata demikian? Hamba diharuskan membunuh paduka dengan racun? Lebih baik hamba yang mati!"

   Pangeran Li Si Bin memandang dengan mulut tersenyum dan wajah berseri, pandang matanya lembut dan mesra.

   "Bi Lan, engkau mempertaruhkan nyawamu untuk keselamatan Lan Lan karena engkau mencintanya, lalu engkau lebih baik mati daripada membunuhku untuk menyelamatkan Lan Lan. Apakah ini berarti bahwa engkaupun cinta padaku?"

   Dalam kebingungan dan kegelisahannya, Bi Lan tersipu.

   "Pangeran, mana hamba...berani...?" Ia tergagap dan pada saat itu Pangeran Li Si Bin sudah membungkuk, merangkul pundaknya dan menariknya bangkit berdiri, lalu pangeran itu mendekap wajahnya dalam rangkulan. Bi Lan menyerah saja dan sejenak ia menangis di dada pangeran itu. Pangeran Li Si Bin membiarkannya sejenak, lalu dituntunnya Bi Lan dan disuruhnya duduk di kursi berhadapan dengan dia.

   "Duduklah, dan tenangkan hatimu. Sejak bertemu, akupun sudah amat kagum kepadamu, dan sejak engkau menyelamatkan aku dari racun yang disuguhkan bekas thai-kam itu, aku sudah jatuh cinta padamu, Bi Lan. Nah, setelah kita mengetahui perasaan hati masing-masing, mari kita bicara tentang Lan Lan dan ancaman si penculik. Jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk menyelamatkan puterimu itu."

   Pangeran Li Si Bin mengajak Bi Lan memasuki kamar yang aman, tidak akan terdengar orang lain percakapan mereka dan di tempat ini mereka berbicara dengan serius.

   Bi Lan mendengarkan siasat yang diatur oleh pangeran itu. Pangeran Li Si Bin adalah seorang panglima, seorang ahli siasat yang pandai, maka menghadapi ancaman surat itupun dia bersikap tenang dan dingin, dan menemukan cara untuk menanggulangi dan mengatasinya.

   Hati Bi Lan lega bukan main setelah ia keluar dari istana pada sore hari itu. Bukan saja ia telah mendapatkan ketenangan karena siasat yang diatur oleh putera mahkota, akan tetapi juga ada sinar kebahagiaan di pancaran matanya, karena pengakuan putera mahkota yang juga mencintanya!

   Suasana di istana tercekam kegelisahan. Betapa tidak? Putra mahkota, juga panglima besar, Pangeran Li Si Bin, jatuh sakit parah.! Sambil berbisik-bisik semua penghuni istana membicarakannya. Terpetik berita dari tabib yang menangani perawatan putera mahkota bahwa pangeran itu telah keracunan hebat dan sukar disembuhkan.

   Bahkan Kaisar dan permaisuri, juga para selir menjadi gelisah. Hanya tiga orang saja yang tahu bahwa putera mahkota hanya pura- pura sakit! Memang, dia pucat sekali dan nampak sakit berat, akan tetapi semua itu akibat obat yang diberikan tabib kepadanya.

   Hanya Pangeran Li Si Bin, Bi Lan, dan sang tabib kepercayaan sajalah, yang tahu bahwa putera mahkota sebenarnya tidak menderita penyakit apapun juga. Dia sehat-sehat saja. Akan tetapi selain mereka bertiga, semua orang percaya bahwa putera mahkota sakit berat, keracunan dan bahkan agaknya tidak dapat disembuhkan lagi!

   Pada malam hari ke tiga, ketika Pangeran Li Si Bin rebah seperti orang pingsan, dengan muka pucat sekali, ditunggui tabib yang tidak memperkenankan orang lain mendekat, masuklah seorang thai-kam yang berlutut di ambang pintu itu.

   Tabib Song yang tua dan terkenal pandai itu mengerutkan alisnya dan memandang thai-kam itu."Hemm, mau apa engkau masuk ke sini? Jangan mengganggu sang pangeran!"

   "Maafkan hamba, Tabib Mulia," kata thai-kam (orang kebiri) itu dengan suara gemetar,"Hamba diutus oleh Permaisuri untuk menengok keadaan Putera Mahkota."

   "Keadaannya gawat dan jangan diganggu!" kata pula tabib itu dan di ambang pintu, para pengawal sudah siap dengan tombak dan pedang mereka untuk mengusir thai-kam itu kalau menerima perintah dari tabib.

   Dalam keadaan seperti itu, kaisar sendiri yang memberi kekuasaan sepenuhnya kepada tabib untuk menjaga dan merawat putera mahkota, dan siapapun harus tunduk kepada sang tabib.

   "Maafkan hamba........akan tetapi Sang Permaisuri mengutus hamba untuk melihat keadaan Pangeran dan menanyakan bagaimana keadaannya, apakah masih ada harapan........ampun, hamba hanya utusan........"

   Dan thai-kam itu merangkak mendekat. Tabib yang sudah menjalankan siasat seperti yang diatur oleh putera mahkota sendiri membiarkan thai-kam itu mendekat dan membiarkan thai-kam itu mengangkat muka memandang kepada sang pangeran yang rebah terlentang seperti mayat.

   "Hemm, kalau begitu laporkan kepada Hong houw (Permaisuri) bahwa keadaan Putera Mahkota amat gawat. Lihat saja, wajahnya semakin pucat dan kebiruan, itu tanda bahwa racunnya masih bekerja dan biarpun aku sudah berusaha memberi obat penawar, tetap saja hawa beracun itu tidak dapat diusir semua. Ludahnya berwarna hitam dan matanya merah, napasnya terengah. Laporkan kepada Sang Permaisuri bahwa agaknya putera mahkota tidak dapat tertolong lagi, mungkin tinggal satu dua hari lagi........"

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Thai kam itu menahan tangisnya, lalu mengundurkan diri dari kamar itu. Dia terisak ketika keluar dan melewati penjaga yanq mengawal di luar pintu kamar, sehingga semua orang menganggap dia seorang thai-kam yang setia dan mencitai putera mahkota sehingga tidak dapat menahan kesedihannya ketika menjenguk dan melihat keadaan sang pangeran yang sedang sakit payah itu.

   Mulai malam itu, tiada seorangpun diperbolehkan memasuki kamar itu yang selalu ditutup, dengan alasan bahwa keadaan penyakit sang pangeran sudah terlalu gawat, sehingga sama sekali tidak boleh diganggu. Hanya tabib itu saja yang diperbolehkan menjaga di dalam kamar, sedangkan di luar kamar, penjagaan pengawal diperketat.

   Sementara itu, Bi Lan setiap hari menangis di istana Pangeran Li Siu Ti. Pangeran Tua inipun hanya pada hari pertama putera mahkota jatuh sakit saja diperbolehkan menengok. Siauw Can beberapa kali datang untuk menghibur Bi Lan dan bertanya mengapa wanita itu demikian berduka.

   Dengan singkat Bi Lan berkata,"Bagaimana aku tidak akan berduka? Lan Lan diculik penjahat, dan kini Putera Mahkota yang kuharapkan dapat membantuku mencari Lan Lan, jatuh sakit........."

   Bi Lan menangis sambil menundukkan mukanya dan ia tidak melihat betapa Siauw Can tersenyum puas."Masih ada aku di sini, Lan-moi. Akulah yang akan membantumu mencari Lan Lan sampai dapat."

   "Kalau benar begitu, pergilah dan cari Lan Lan, bukan bicara saja di sini. Pergi dan jangan ganggu aku."

   Siauw Can meninggalkannya dan Bi Lan cepat menghentikan tangisnya. Ia hanya menangis kalau ada orang lain melihatnya, karena tangisnya ini hanya merupakan pelaksanaan siasat yang diatur oleh putera mahkota. Sekarang sudah hari ke tiga dan ia harus siap-siaga karena orang yang menculik Lan Lan tentu akan mengembalikan Lan Lan setelah mendengar bahwa sang pangeran menderita sakit keracunan hebat.

   Tidak sukar baginya untuk menangis, karena bagaimanapun juga ia memang bersedih karena Lan Lan diculik. Dan sekarnag ia sudah siap siaga untuk menangkap penculik itu kalau Lan Lan dikembalikan.

   Akan tetapi, sampai malam tiba, tidak ada berita dari penculik itu. Bi Lan sudah hampir putus asa ketika tiba-tiba ia mendengar suara Lan Lan memanggilnya dari arah belakang, dari taman.

   "Ibu.......! Ibu........!"

   "Lan Lan..........!!"

   Bi Lan meloncat keluar dari kamarnya dan seperti terbang memasuki taman. Benar saja, ia menemukan Lan Lan di tengah taman, dalam keadaan sehat.! Ia menyambar tubuh Lan Lan, dipondongnya dan didekapnya, diciuminya dan kembali Bi Lan tak dapat menahan banjirnya air mata, air mata kebahagiaan. Ia sendiri merasa heran mengapa setelah ia jatuh cinta, begini mudah ia menangis! Ia membawa Lan Lan ke kamarnya, menutup pintu kamar dan dengan lembut dan penuh rasa sayang, ia menanyai Lan Lan kemana saja ia pergi selama tiga hari itu.

   Lan Lan adalah seorang anak yang usianya baru tiga tahun, masih belum dapat memberi keterangan dengan jelas. Ia hanya mengatakan bahwa ia ditempatkan dalam sebuah kamar, diberi banyak barang-barang mainan, dilayani oleh seorang laki laki yang baik hati.

   Bi Lan tentu saja tidak dapat mengharapkan keterangan jelas siapa penculik anak itu, dan tentu anak itu ditotok ketika diculik dan dikembalikan sehingga tidak tahu apa-apa. Dengan hati-hati Bi Lan menjaga Lan Lan malam itu di kamarnya dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah memondong Lan Lan keluar dari istana Pangeran Tua, menuju ke istana kaisar.!

   Karena ia dikenal baik sebagai guru silat yang melatih para dayang di istana, dengan mudah ia diperbolehkan masuk dan langsung saja Bi Lan menju ke kamar di mana Putera Mahkota"dirawat" oleh tabib. Dan dapat dibayangkan betapa gembiranya hati Pangeran Li Si Bin ketika melihat Bi Lan datang sambil memondong Lan Lan yang dalam keadaan sehat dan selamat!

   Dan berakhirlah "penyakit" putera mahkota itu pada hari itu juga. Seluruh penghuni istana menjadi gembira bukan main. Demikian pula kaisar ketika mendengari bahwa puteranya telah sembuh sama sekali. Yang mendapatkan jasa besar adalah Tabib Song tentu saja. Dia dianggap berjasa telah dapat mengobati dan menyembuhkan putera mahkota!

   Pada hari itu juga. Bi Lan ditahan di istana atas kehendak putera mahkota. Dengan alasan bahwa Bi Lan diangkat menjadi pengawal pribadi Putera Mahkota, maka wanita itu bersama puterinya tidak perlu lagi kembali ke istana Pangera Tua, bahkan barang-barangnya lalu diminta agar diantar ke istana! Bukan itu saja.

   Bahkan tak lama kemudian Putera Mahkota secara berterang mengangkat Bi Lan menjadi selirnya, merangkap pengawal pribadi! Karena ibunya menjadi selir pangeran, tentu saja dengan sendirinya Lan Lan juga menjadi seorang"puteri"!

   "Tabib Song keparat itu!"

   Pangeran Li Siu Ti mondar-mandir di dalam kamarnya, kadang mengepal tinju dan wajahnya.muram. Hatinya kecewa bukan main mendengar bahwa Putera Mahkota telah sembuh dari sakitnya.
(Lanjut ke Jilid 17)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
"Bagaimana mungkin.? Padahal, menurut keterangan thai kam Ciu, keadaan pangeran Li Si Bin sudah parah sekali, sudah sekarat. Bagaimana tiba-tiba dapat menjadi sembuh?"

   Poa Kiu dan Siauw Can yang berada di kamar itu, saling pandang dan mereka berdua juga merasa kecewa dan heran. Mereka sudah mengembalikan Lan Lan kepada Bi Lan karena mereka sudah merasa yakin bahwa putera mahkota pasti akan mati. Mereka menganggap bahwa Bi Lan terpaksa harus mentaati bunyi surat, yaitu meracuni Pangeran Li Si Bin untuk menyelamatkan nyawa Lan Lan. Mereka sudah percaya sepenuhnya bahwa usaha itu berhasil dan kini tahu-tahu pangeran itu sembuh, dan Bi Lan ditarik ke istana menjadi pengawal pribadi.!

   "Jangan-jangan adik misanmu itu yang berkhianat," kata Pangeran Tua kepada Siauw Can atau Can Hong San."Buktinya. Putera Mahkota tidak tewas dan setelah Lan Lan dikembalikan, ia segera membawa Lan Lan ke istana dan diangkat menjadi pengawal pribadi."

   "Saya kira tidak demikian, pangeran." kata Hong San."Banyak saksinya bahwa putera mahkota benar-benar keracunan, bahkan banyak yang melihat dia sakit payah, hampir mati. Tentu tabib sial itu telah menemukan obat penawar yang amat mujarab. Tentang diangkatnya Bi Lan menjadi pengawal pribadi, hal itupun tidak aneh. Pangeran Li Si Bin agaknya suka kepada Bi Lan dan sudah lama Bi Lan telah diberi tugas untuk melatih para dayang."

   "Keterangan Siauw Can memang benar, pangeran. Kalau saja tabib Song tidak menemukan obat yang ampuh, tentu usaha itu berhasil baik dan tentu sekarang putera mahkota telah tewas. Bagaimanapun juga, Siauw Can telah membuat jasa dan dapat dikatakan bahwa tugasnya mengusahakan kematian Pangeran Li Si Bin telah dilaksanakan dengan baik."

   Pangeran Tua Li Siu Ti mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. Dia tahu apa maksud ucapan kedua orang pembantu utamanya itu. Tentu mengenai hubungan pembantu muda yang tampan dan pandai ini dengan puterinya, Ai Yin.

   "Aku mengerti, dan akupun tidak akan menyalahi janji. Agaknya engkau dengan Ai Yln sudah saling mencinta, Siauw Can. Baiklah, engkau akan kujodohkan dengan Ai Yin dan pertunangannya akan segera diumumkan setelah engkau berhasil dengan sebuah tugas lagi yang amat penting, akan tetapi tidak begitu sukar bagimu."

   Di dalam hatinya, Can Hong San merasa gembira sekali, akan tetapi juga mendongkol, tercapai cita-citanya menjadi mantu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar! Akan tetapi kembali dia diserahi tugas, itulah yang membuat dia mendongkol.

   "Harap paduka katakan saja, apa tugas itu.Akan saya laksanakan dengan baik, pangeran."

   "Engkau harus cepat menyingkirkan thai-kam Ciu. Dia harus mati secepatnya!"

   "Akan tetapi, kenapa, pangeran? Bukankah ia telah berhasil diselundupkan dan amat berguna bagi paduka sebagai mata-mata di sana?" tanya Poa Kiu terkejut, karena dia yang mengusulkan diselundupkannya thai-kam itu ke istana.

   "Saya mengerti maksud paduka." kata Hong San, sambil menoleh kepada Poa Kiu dengan senyum memandang rendah."Paman Poa, lupakah paman bahwa kita menyuruh thai-kam Ciu untuk menyelidiki keadaan Pangeran Li Si Bin pada hari ketiga? Dia berhasil melihat keadaan putera mahkota, dan siapa tahu, perbuatannya itu akan dilaporkan oleh Tabib Song dan Putera Mahkota akan merasa curiga kepadanya. Padahnal, dialah satu-tunya orang yang mengetahui rahasia kita dan dapat membocorkannya."

   "Akan tetapi, tidak mungkin dia mengkhianati kita," kata pula Poa Kiu."Siauw Can benar," kata Pangeran Tua."Poa Kiu, lupakah engkau akan kamar siksaan dimana setiap orang, betapapun kuat dan setianya, akan mengakui segala perbuatannya kalau dia disiksa? Kurasa thai-kam Ciu tidak terkecuali. Kalau dia dicurigai, lalu ditangkap dan disiksa, pasti dia tidak tahan dan akan mengaku, membongkar semua rahasia kita."

   Wajah Poa Kiu menjadi pucat."Kalau begitu......... kalau begitu..........."

   "Jangan khawatir, Paman Poa. Aku akan menghabisinya sekarang juga. Serahkan saja urusan ini kepadaku, pasti beres!"

   Senanglah hati Pangeran Tua Li Siu Ti,

   "Jangan sekarang, Siauw Can. Kita harus menunggu sampai keadaan menjadi tenang. Tunggu tiga empat hari, setelah semua tenang baru engkau turun tangan melenyapkan thai-kam Ciu. Dan setelan tugas itu berhasil, pertunanganmu dengan Ai Yin akan kurayakan."

   Bukan main senangnya hati Can Hong San. Dia segera menemui Li Ai Yin dan pada malam itu dia berhasil mengajak Ai Yin bicara berdua saja di dalam taman.

   "Yin-moi," sejak Ai Yin menyambut cintanya Hong San selalu menyebutnya Yin moi (dinda Yin) dan hanya menyebut nona kalau berada di depan keluarga pangeran tua itu."Mulai hari ini, kita telah bertunangan!" Dia lalu menceritakan janji ayah gadis itu.

   Ai Yin tersenyum senang dan membiarkan ke dua tangannya dipegang oleh pemuda yang dikaguminya itu."Kenapa terjadi perubahan yang tiba tiba ini, Can ko? Bukankah ayah masih prihatin dengan peristiwa di istana, dimana kakanda pangeran mahkota hampir saja tewas keracunan? Dan Lan Lan juga menjadi korban penculikan, untung sudah dikembali kan. Kemudian, kepergian enci Bi Lan yang demikian tiba-tiba, pindah ke istana. Semua ini membuat aku bingung. Akan tetapi ayah malah hendak membuat pesta pertunangan."

   "Aih, jadi engkau sudah tahu?" tanya Hong San gembira.

   Gadis itu mengangguk dan mengerling manja."Tentu saja. Kaukira ayah akan merahasiakan ? Dia sudah memberitahukan dan menanyakan kepadaku, minta persetujuanku untuk ditunangkan denganmu."

   "Dan bagaimana jawabanmu, Yin-moi?"

   Wajah itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan senyumnya genit manja, tangannya mencubit lengan Hong San.

   "Kaukira bagaimana jawabanku?"

   "Ha, tentu jawabanmu begini............!"

   Hong San lalu maju merangkul dan mencium puteri pangeran itu. Ai Yin tertawa manja dan malu, akan tetapi karena ia sudah mendengar sendiri betapa ayahnya menyetujui pemuda ini menjadi calon suaminya, iapun tidak menolak. Akan tetapi ketika Hong San berbuat terlalu berani, iapun mendorong muka pemuda itu.

   "Hemm, apa yang kaulakukan ini.!"

   Can Hang San adalan putera mendiang Cui beng Sai-kong dan biarpun tidak sekuat mendiang ayahnya, dia telah menquasai ilmu sihir. Melihat betapa gadis bangsawan itu menolaknya, diapun merasa penasaran. Kalau saja dia tidak ditolak Bi Lan, tentu diapun tidak bermaksud untuk menggauli Li Ai Yin sebelum mereka menjadi suami isteri, karena dia ingin menjadi mantu pangeran secara terhormat.

   Akan tetapi, dia telah dikecewakan Bi Lan, maka gejolak nafsunya hendak dia puaskan dengan gadis bangsawan yang oleh ayahnya telah diserahkan kepadanya itu. Dia memeganq kedua pundak gadis itu dengan lembut, menatap wajahnya dengan tajam dan suaranya mengandung getaran kuat.

   "Li Ai Yin, pandanglah aku baik-baik! Lihatlah betapa besar kasihku kepadamu dan engkau akan menyerah, tunduk dan menuruti semua kemauanku. Aku cinta padamu, Ai Yin dan engkaupun cinta padaku................"

   Ai Yin terbelalak, kemudian iapun menjadi lemas dan iapun bertekuk lutut dan tidak terdapat perlawanan sedikitpun lagi dalam hatinya. Ia menurut saja segala kehendak Hong San yang terus merayunya, menurut dan menyerah saja ketika ia digandeng dan dituntun memasuki kamarnya.

   Empat hari kemudian. Masih dalam rangka siasat Pangeran Li Si Bin, keadaan di istana seolah-olah telah tenang kembali.

   Tidak ada bekas ketegangan sebagai akibat sakitnya putera mahkota yang kabarnya keracunan hebat itu. Sang pangeran melarang siapa saja bicara tentang hal itu, dan Bi Lan juga tidak memperlihatkan kecurigaan apapun.

   Wanita itu secara resmi diangkat menjadi pengawal pribadi putera mahkota sehingga tidak ada seorangpun yang menduga hal yang bukan- bukan kalau melihat wanita cantik dan perkasa ini berduaan saja dengan putera mahkota, bercakap-cakap dengan akrab sekali.

   Tadinya memang putera mahkota hanya menginginkan Bi Lan menjadi pengawal pribadinya, akan tetapi karena masing-masing mengetahui akan isi hatinya, tahu bahwa mereka saling mengagumi dan saling mencinta, maka tidaklah mengherankan kalau kemudian putera mahkota akan mengangkat Bi Lan menjadi seorang selir terkasih.

   Bi Lan tahu diri. Ia hanya seorang wanita biasa, bahkan seorang janda yang sudah yatim piatu. Dibandingkan dengan putera mahkota, ia bagaikan seekor burung gagak bersanding dengan burung Hong. Oleh karena itu, dengan hati penuh penyerahan, penuh pengabdian dan cinta kasih, ia menyerahkan diri dengan segala kerendahan hatinya, rela untuk dijadikan selir merangkap pengawal pribadi.

   Karena tugasnya sebagai pengawal inilah, ia jauh lebih dekat dan lebih sering berdekatan dengan putera mahkota dibandingkan selir lainnya, kemudian. Dan iapun sudah merasa berbahagia sekali kalau berada di dekat pria yang dijunjungnya dan dicintanya itu.

   Menjadi kelanjutan siasat mereka kalau Bi Lan bersikap seolah sudah melupakan peristiwa penculikan puterinya dan jatuh sakitnya putera mahkota. Akan tetapi sesungguhnya, ia tidak pernah lengah sebentarpun. Ia selalu waspada dan memperhatikan setiap orang yang berada di dalam istana, memperhatikan setiap kejadian yang sekecil apapun, dan diam-diam mencurigai setiap orang.!

   Ketekunan dan ketelitiannya itu akhirnya berhasil.

   Pada suatu malam, secara sembunyi Bi lan meronda ke bagian belakang daerah keputren. Ia sudah diceritakan oleh putera mahkota tentang sikap thai-kam Ciu yang dahulu diutus permaisuri untuk menengoknya ketika dia sakit atau lebih tepat berpura-pura sakit.

   Malam ini, Bi Lan sengaja mencari thai-kam itu untuk menyelidiki keadaan dirinya. Sore tadi ia melihat thai-kam itu seperti orang gelisah, wajahnya pucat, rambut dan pakaiannya kusut dan ketika berjumpa dengannya, orang itu menunduk, pura-pura tidak melihat dan tampak gugup.

   Ketika ia menyelinap mendekati tempat tinggal para thai-kam, tiba-tiba ia melihat thai-kam Ciu membuka pintu dan keluar menuju ke taman dengan sikap hati-hati sekali. Bi Lan membayangi dari jauh agar jangan sampai terlihat.

   Karena inilah, maka ketika memasuki taman, ia kehilangan bayangan thai-kam Ciu. Selagi ia kebingungan, mencari-cari kemana perginya orang yang dicurigainya itu, tiba-tiba ia mendengar suara oranq mengaduh-aduh dan suara sambaran senjata tajam berdesing.

   Cepat Bi Lan melompat dan lari ke arah suara itu dan ia masih sempat melihat seseorang diserang orang lain dengan sebatang pedang. Orang yang diserang itu agaknya sudah terluka, akan tetapi masih berusaha mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ketika Bi Lan muncul, penyerang itu berhasil menusukkan pedangnya lagi dan orang itupun roboh.

   "Heiii, tahan senjata!." bentak Bi Lan dan si penyerang itu agaknya terkejut, menarik kembali pedangnya dan meloncat jauh, lenyap dalam kegelapan malam. Sinar lampu penerangan taman itu agak jauh dan sinarnya hanya remang-remang saja mencapai tempat itu, namun cukup bagi Bi Lan untuk melihat bahwa korban itu berpakaian sebagai seorang thai-kam dan ketika ia berjongkok untuk memeriksanya, ia terkejut ketika mengenalnya sebagai thai-kam Ciu yang dicurigai oleh putera mahkota!

   Orang itu sudah payah, luka tusukan pedang membuat tubuhnya berlepotan darah dan napasnya tinggal satu-satu. Ia harus bertindak cepat sebelum terlambat. Ditotoknya beberapa bagian tubuh orang itu dan iapun bertanya.

   "Cepat katakan siapa pembunuhmu dan apa hubungannya dengan penculik anakku dan musuh putera mahkota!"

   Karena totokan-totokan itu, thai-kam Ciu dapat mengerahkan tenaga terakhir dan dengan suara penuh penyesalan dan rasa penasaran, diapun berkata,

   "Semua diatur oleh Pangeran Tua.......dibantu Poa Kiu dan Siauw Can........" kemudian bibirnya hanya bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara dan tak lama kemudian diapun terkulai, tewas.

   Akan tetapi keterangan itu sudah cukup bagi Bi Lan. Keterangan yang membuat kedua kakinya gemetar dan tubuhnya lemas, yang membuat ia sampai lama tidak mampu bangkit berdiri, termangu-mangu. Pangeran Tua Li Siu Ti? Dan Siauw Can..........?

   Kini mengertilah ia, walaupun ia masih terkejut karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa semua peristiwa itu diatur oleh orang-orang yang selama ini dianggapnya baik dan dipercaya sepenuhnya. Yang membuat hatinya sakit seperti ditusuk adalah Siauw Can..

   Pemuda yang dianggapnya sebagai seorang pendekar itu, bahkan yang pernah dikagumi dan dicintanya, telah nenculik Lan Lan dan hendak memaksanya untuk membunuh putera mahkota! Ia dapat menduga bahwa tentu Siauw Can diperalat oleh Pangeran Tua, akan tetapi kenapa pemuda yang katanya mencintanya itu mau melakukan perbuatan keji dengan menculik Lan Lan dan memaksanya membunuh putera mahkota, sungguh membuatnya penasaran bukan main.

   Ingin rasanya saat itu juga ia lari mencari Siauw Can atau Can Hong San untuk memaki dan menyerangnya. Akan tetapi ia teringat bahwa pemuda itu adalah seorang lawan yang amat tangguh, apalagi tentu dia akan dibantu oleh anak buah Pangeran Tua. Tidak, urusan ini terlalu besar untuk ia tangani sendiri. Cepat ia meninggalkan taman dan malam itu juga ia mencari Pangeran Li Si Bin.

   Pangeran Li Si Bin tidak terkejut mendengar laporan Bi Lan. Memang pangeran ini pernah mempunyai kecurigaan terhadap pamannya, Pangeran Tua, hanya karena belum ada bukti maka dia tidak dapat melakukan sesuatu.

   Kini tahulah dia akan rahasia itu dan pada malam itu juga dia memanggil para panglima yang membantunya dan pasukan khusus dikerahkan. Tanpa membuang waktu lagi Pangeran Li Si Bin sendiri, dibantu para panglimanya dan tidak ketinggalan Bi Lan sendiri, lalu menyerbu ke istana Pangeran Tua Li Siu Ti.

   Gegerlah di kota raja. Terjadi pertempuran yang hanya pendek saja karena Pangeran Li Siu Ti sama sekali tidak mengira bahwa malam itu akan terjadi penyerbuan besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan istimewa yang dipimpin sendiri oleh putera mahkota!

   Dan penyerbuan itupun sudah direstui kaisar yang malam itu juga mendengar laporan puteranya. Mereka yang berani melakuka perlawanan segera dibabat roboh dan yang lain cepat melempar senjata dan menjatuhkan diri berlutut.

   Pangeran Li Siu Ti sekeluarga ditangkap. Akan tetapi, dengan hati yang lega Bi Lan mendengar bahwa Ai Yin lolos dari penangkapan. Disamping kelegaan hatinya, juga ia merasa penasaran karena Can Hong San juga lolos.

   Kiranya pemuda inilah yang melarikan Ai Yin dan Bi Lan dapat menduga bahwa bayangan yang dilihatnya membunuh thai-kam Ciu tentulah Can Hong San. Pemuda itu tentu sudah merasa khawatir melihat perbuatannya ketahuan, sudah dapat menduga bahwa mungkin saja Bi Lan akan melapor dan thaikam Ciu membuka rahasia.

   Hong San tentu sudah dapat menduga kemungkinan datangnya serbuan dari putera mahkota, maka begitu tiba di istana Pangeran Tua, dia segera mengajak Ai Yin pergi dan tidak lupa membawa barang-barang berharga dari istana itu.

   Ketika Ai Yin mendesak dan minta keterangan kepadanya, Can Hong San tidak mau mengaku dan setengah memaksa gadis yang telah ditunangkan dengannya itu meninggalkan istana secepatnya, bahkan malam itu juga mereka kabur keluar dari pintu gerbang kotaraja, menunggang dua ekor kuda pilihan.

   Keluarga Pangeran Tua Li Siu Ti ditangkap dan dipenjara, kemudian setelah diadili, pangeran itu dijatuhi hukuman mati sedangkan keluarganya dihukum buang.

   Setelah terjadi peristiwa itu, Bi Lan makin disayang dan dipercaya oleh Pangeran Li Si Bin dan iapun menyerah dengan senang hati ketika putera mahkota itu mengangkatnya sebagai selir terkasih dan terpercaya.

   Dengan sendirinya Lan Lan yang kini diaku sebagai puteri sang pangeran dengan nama menjadi Li Hong Lan, mendapat perlakuan sebagai seorang puteri dan pendidikan dan perawatannya diserahkan kepada para ahli yang di istana bertugas untuk mendidik para puteri yang masih kecil.

   Anak laki-laki itu berusia kurang lebih duabelas tahun, namun tubuhnya tinggi tegap seperti orang dewasa saja. Juga wajahnya yang tampan itu nampak dewasa, dengan mata yang tajam mencorong penuh pengertian, mulut yang membayangkan keteguhan hati dan ketabahan.

   Kalauada ahli silat melihatnya pada saat dia berlatih itu, tentu ahli silat itu akan terkagum-kagum. Anak berusia duabelas tahun itu berlatih silat di atas bambu-bambu runcing yang ditanam di tanah setinggi satu meter. Kedua kakinya bertelanjang dan dengan kedua kaki bertelanjang itu dia bersilat di atas bambu-bambu yang runcing.

   Gerakannya demikian gesit dan tangkas, kedua kakinya yang melangkah ke kanan kiri, depan belakang, bahkan kadang melompati sebatang bambu runcing dan hinggap di atas bambu runcing berikutnya, tak pernah meleset.

   Orang akan merasa ngeri karena sekali terpeleset, anak itu akan terjatuh dan bambu-bambu runcing akan menyambut perut dan dadanya atau punggungnya. Dan mengingat betapa kedua kaki telanjang itu berloncatan di atas bambu-bambu runcing, sungguh mengerikan dan sekaligus mengagumkan.

   Tak jauh dari situ, di bawah pohon yang tumbuh di belakang sebuah pondok baru, duduk seorang pria tua yang tinggi besar bermuka kemerahan dan jenggotnya panjang.

   Pria berusia sekitar limapuluhdelapan tahun itu masih nampak gagah dan berwibawa. Dari wajah dan sikapnya mudah diduga bahwa dia bukan orang sembarangan. Dia mengelus jenggotnya dan mulutnya tersenyum, kepalanya mengangguk-angguk melihat kelincahan anak laki-laki remaja yang berlatih silat itu.

   Dari gerakan-gerakannya saja, jelas nampak bahwa anak itu memang memiliki bakat yang besar sekali. Gerakannya demikian lentur dan indah, tidak kaku dan setiap gerakan mengandung tenaga yang tepat penggunaannya, tidak berlebihan juga tidak lemah.

   Pria tinggi besar itu adalah bekas Pangeran Cian Bu Ong! Selama beberapa tahun ini, semenjak Kerajaan Sui jatuh diganti Kerajaan Tang, kurang lebih sembilan tahun yang lalu, Cian Bu Ong berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Sui yang telah jatuh.

   Namun semua usahanya gagal, bahkan dia yang oleh Kerajaan Tang dianggap pemberon tak, menjadi orang buruan. Hidupnya tidak aman, karena dia dikejar-kejar oleh pasukan Tang. Terutama sekali karena yang menjadi panglima adalah putera mahkota sendiri, yaitu Pangeran Li Si Bin yang amat cerdik dan pandai, Cian Bu Ong harus menjadi pelarian yang tidak dapat tinggal terlalu lama di suatu tempat.

   Setelah dia bertemu dengan Sim Lan Ci yang kemudian menjadi isterinya, barulah dia menghentikan usahanya untuk memberontak. Namun, bersama Sim Lan Ci dan putera janda itu, Coa Thian Ki, dan juga puterinya sendiri, Cian Kui Eng, dia harus selalu berpindah-pindah tempat tinggal, khawatir kalau jejaknya ditemukan para penyelidik Kerajaan Tang.

   Cian Bu Ong menganggap Thian Ki sebagai puteranya sendiri. Dia amat mencinta Sim Lan Ci yang telah menjadi isterinya dan dia sayang pula kepada Thian Ki karena dia tidak mempunyai anak laki-laki.

   Anaknya yang tunggal dengan isteri pertama yang tewas oleh pasukan Tang adalah seorang perempuan, yaitu Cian Kui Eng yang kini berusia sebelas tahun.

   Cian Bu Ong menggembleng kedua orang anak itu, bahkan dia lebih tekun mengajarkan ilmu-ilmunya kepada Thian Ki, karena selain anak ini memiliki bakat yang lebih besar dibandingkan Kui Eng, akan tetapi juga bekas pangeran itu memiliki cita-cita tinggi terhadap Thia Ki.

   Dia mengharapkan anak tiri yang sudah dianggap anaknya sendiri itu kelak dapat menjadi orang besar, kalau mungkin di kalangan pemerintahan, kalau tidakpun menjadi tokoh besar di dunia persilatan, agar dapat mengangkat kembali namanya yang telah jatuh bersama runtuhnya Kerajaan Sui.

   Baru setelah panglima besar dan putera mahkota, yaitu Pangeran Li Si Bin yang menjadi tokoh utama Kerajaan Tang menggantikan ayahnya dan menjadi kaisar (tahun 627) Cian Bu Ong dapat hidup tenang bersama isterinya dan kedua orang anaknya, di sebuah dusun kecil yang terletak di tempat yang amat indah pemandangan alamnya, yaitu di tepi Sungai Huang-ho, di kaki Kim San (Bukit Emas).

   Setelah Pangeran Li Si Bin menjadi kaisar dan berjuluk Tang Tai Cung, kaisar ini lebih banyak memperhatikan urusan pemerintahan, tidak lagi memikirkan pemberontak- pemberontak buronan yang sudah kehilangan pasukan, seperti halnya Cian Bu Ong yang dianggap tidak berbahaya lagi.

   Di dusun Ke-cung itu, yang penduduknya hanya puluhan keluarga saja dan semua adalah petani dan nelayan sederhana, Cian Bu Ong mendirikan sebuah rumah besar dan hidup tenang dan tenteram bersama Sim Lan Ci dan kedua orang anak mereka, yaitu Thian Ki dan Kui Eng.

   Pada pagi hari itu, Thian Ki sudah berlatih silat di bawah pengawasan Cian Bu Ong, ayah tirinya, juga gurunya. Dulu, ketika dia masih hidup bersama ayah kandungnya, mendiang Coa Siang Lee, ayah dan ibunya selalu menekankan perasaan tidak suka akan ilmu silat dan penggunaan kekerasan sehingga biarpun dia menjadi anak suami isteri yang pandai ilmu silat, Thian Ki sendiri tidak pernah mempelajari ilmu silat.

   Akan tetapi, tanpa diketahui ayah ibunya, neneknya, yaitu Lo Nikouw yang dahulu terkenal dengan julukan Ban-tok Mo-li, telah menggembleng tubuhnya dengan ramuan racun, sehingga tanpa disadarinya sendiri, Thian Ki telah menjadi seorang tok-tong (anak beracun). Di luar kehendaknya sendiri, dia telah melakukan hal-hal yang akan menggemparkan dunia kangouw kalau diketahui orang, yaitu dia telah membunuh atau lebih tepat lagi menyebabkan kematian tokoh-tokoh kangouw yang amat lihai seperti Kui bwe Houw Gan Lui, si golok gergaji Thio Ki Lok, pegulat Turki Gulana.

   

Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 11 Pedang Naga Hitam Eps 1 Si Bayangan Iblis Eps 13

Cari Blog Ini