Darah Pendekar 16
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Harap saudara suka meninggalkan meja ini agar dapat dipakai oleh orang lain. Lihat saja sendiri, tamu begini banyak dan tempat menjadi kurang. Tentu saudara tidak ingin menyusahkan aku, bukan?" Sejak tadi, Seng Kun tentu saja sudah merasa tidak suka kepada mereka itu. Akan tetapi dia datang bukan untuk mencari keributan atau memancing perkelahian, melainkan untuk melakukan penyelidikan. Dia sedang melaksanakan tugas yang amat penting, jauh lebih penting dari pada urusan yang menyangkut perasaan pribadi. Maka, biarpun dia merasa tidak senang dan penasaran sekali karena dia diusir dengan halus, namun dia mengangguk dan sambil mengerutkan alis menahan rasa jengkel diapun bangkit berdiri. Dirogohnya saku bajunya untuk, membayar harga makanan dan minuman, akan tetapi pemilik warung yang merasa bahwa dia telah mengusir tamu, cepat menggerakkan tangan menolak.
"Tak usah bayar..., engkau sudah baik sekali mau meninggalkan tempat ini"
Kalau menurut perasaannya, tentu saja Seng Kun menjadi semakin penasaran dan tentu dia akan memaksa dan membayar harga makanan dan minuman. Bukan wataknya untuk merugikan lain orang. Akan tetapi dia teringat bahwa kalau dia melakukan hal ini, maka tentu akan menimbulkan kecurigaan. Harga diri tidak pantas dipegang terlalu tinggi oleh seorang petani sederhana. Maka diapun tersenyum dan memaksakan diri untuk mengucapkan terimakasih, lalu pergilah dia keluar. Dengan sikap sambil lalu dan tidak acuh, juga santai seperti seorang petani yang kecapaian, Seng Kun yang keluar dari rumah makan itu lalu duduk diatas bangku butut yang berada diluar warung. Diemper itu telah duduk pemuda kusir gerobak yang tadi datang mengirim arak.
Pemuda itu memandangnya dan mereka saling pandang. Seng Kun maklum bahwa pemuda ini bukan seorang diantara para gerombolan itu, maka diapun tersenyum dan mengangguk. Pemuda itu, seperti telah dikenal oleh Pek Lian dari tempat persembunyiannya, memang benar adalah A-hai, pemuda aneh yang pernah dijumpai gadis itu beberapa kali. Biarpun A-hai sedang menderita penyakit yang aneh, namun perasaannya masih peka dan diapun agaknya dapat merasakan bahwa petani setengah tua yang duduk tak jauh darinya itu adalah seorang baik-baik, tidak seperti para tamu yang berdatangan disitu, yang kelihatan bengis-bengis dan jahat-jahat. Maka diapun balas mengangguk dan tersenyum kepada petani yang dianggapnya ramah itu.
"Banyak sekali tamu malam ini," kata Seng Kun sambil lalu, menoleh kedalam dimana para tamu memenuhi semua meja dan mereka itu bercakap-cakap dan bersendau-gurau secara kasar sekali.
"Ya," A-hai mengangguk.
"Amat banyak dan ramai." Mendengar jawaban singkat dengan suara tenang ini, Seng Kun memandang dan memperhatikan. Pemuda ini sungguh tampan, pikirnya, dan memiliki bentuk tubuh yang begitu kokoh membayangkan tenaga besar. Seorang pemuda yang bertulang baik sekali dan diapun menjadi tertarik.
"Saudara juga tamu?" tanyanya. A-hai menggeleng kepala.
"Bukan, saya pembawa arak untuk warung ini. Itu gerobakku." Dia menunjuk kearah gerobak dan Seng Kun memandang guci-guci arak yang berjajar dihalaman warung, tak jauh dari tempat mereka berdua duduk.
Kini agaknya sudah tidak ada lagi tamu baru yang datang, akan tetapi warung itu telah penuh sesak, bahkan banyak diantara mereka yang tidak kebagian bangku sehingga mereka hanya bercakap-cakap dan minum arak sambil berdiri saja. Mereka mulai kelihatan tidak sabar, agaknya ada orang yang mereka nanti-nantikan dan yang belum juga muncul. Beberapa orang yang tidak kebagian tempat duduk, menjadi tidak sabar dan merekapun keluar dari warung itu, berjalan-jalan hilir-mudik dipelataran warung sambil mengomel. Mereka semua membawa cawan penuh arak yang mereka minum sambil menanti diluar. Dua orang laki-laki kasar yang pakaiannya kumal dan berbau busuk karena tak pernah diganti dan dicuci, berkali-kali terendam keringat, mendekati Seng Kun dan A-hai yang sedang duduk mengobrol diemper warung.
"Sudah terlalu lama kalian duduk disini, sekarang giliran kami. Hayo berikan bangku-bangku itu kepada kamil" bentak seorang diantara mereka. Seng Kun maklum bahwa melayani orang-orang seperti ini sama artinya dengan membuat keributan, maka diapun bangkit berdiri, akan tetapi A-hai kelihatan tak senang hati dan mengerutkan alisnya, memandang dengan mata terbelalak dan marah.
"Pergi kau! Mau apa melotot?" bentak orang kedua dan diapun sudah memegang lengan A-hai dan menarik pemuda itu dari atas bangkunya. A-hai terhuyung dan hendak marah, akan tetapi tangannya sudah dipegang oleh Seng Kun yang menariknya dengan halus menjauhi bangku-bangku itu.
"Ah, terlalu lama duduk juga melelahkan pinggang, mari kita jalan-jalan saja," kata Seng Kun dan A-hai yang sudah mengepal tinju itu dapat disabarkan. Mereka berjalan menjauhi orang-orang itu dan berdiri dibawah pohon disudut halaman.
"Mereka itu semua bukan orang baik-baik!" kata A-hai.
"Ssstt, perlu apa mencari keributan dengan mereka?" Seng Kun berbisik.
"Hanya akan merugikan diri sendiri saja."
"Orang-orang macam itu tentu hanya akan menimbulkan kekacauan, hanya, akan melakukan kejahatan saja."
"Saudara yang baik, apalah engkau mengenal mereka? Siapakah mereka itu dan mengapa malam ini mereka berkumpul ditempat ini?" A-hai memandang kepada petani itu sejenak, lalu menggeleng kepalanya.
"Aku sama sekali tidak tahu, malah tadinya aku mengira engkau yang tahu dan mengenal mereka." Seng Kun menggeleng kepala.
"Eh, kenapa engkau menyangka bahwa aku mengenal mereka?" tanyanya.
"Entahlah, karena engkau kelihatan begitu cerdik." Seng Kun mengerutkan alisnya. Pemuda ini, yang kelihatan bodoh dan jujur, ternyata memiliki pandang mata yang tajam sehingga agaknya seperti sudah menduga bahwa dia bukanlah seorang petani biasa! Begitu burukkah penyamaranku, pikir Seng Kun dengan hati khawatir juga. Apakah orang lain juga akan menduga seperti pemuda ini? kalau begitu, gagallah penyamarannya ini.
"Heii...! Jangan ambil arakku...!!" Tiba-tiba A-hai melompat dan berlari kedepan. Seng Kun terkejut memandang dan melihat seorang di antara para tamu itu mengambil sebuah guci arak, membuka tutupnya dan menuangkan arak dari guci itu kedalam cawannya yang telah kosong. A-hai berlari mendekat dan hendak merampas guci araknya, akan tetapi penjahat itu tertawa dan menggerakkan kaki menendang. Sebuah tendangan yang sembarangan saja, bukan tendangan seorang ahli silat tinggi, akan tetapi akibatnya, tubuh A-hai terjengkang setelah terdengar suara berdebuk karena perutnya tertendang.
"Ha-ha-ha! Lihat tikus ini berguling-gulingan!!" Penjahat itu tertawa bergelak, disusul suara ketawa teman-temannya yang sudah berdatangan.
"Hayo siapa yang ingin tambah arak?" Enam orang lain yang berada diluar warung itu berdatangan dan mereka mengulurkan cawan-cawan kosong mereka untuk diisi oleh orang yang memegang guci arak.
"Itu arakku! Jangan kalian mencuri sembarangan saja!" A-hai sudah bangkit lagi dan menyerbu, hendak merampas guci. Akan tetapi, beberapa buah kepalan menyambutnya dan orang-orang itu kini menjadi marah karena dimaki mencuri. A-hai lalu dihajar dan dijadikan bulan-bulanan pukulan dan tendangan kaki mereka. Terdengar suara berdebukan dan A-hai jatuh bangun menjadi korban pukulan-pukulan keras. Biarpun dia sedang menyamar dan tidak berniat untuk memancing keributan, akan tetapi melihat pemuda yang amat disukanya karena dianggap jujur dan polos, juga bertulang bersih itu, Seng Kun tidak dapat menahan diri lagi.
"Heii, jangan pukuli orang yang tidak berdosa!" bentaknya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang ketempat dimana A-hai dihajar dan begitu dia menggerakkan kaki tangannya, tujuh orang pengeroyok itu terlempar kekanan kiri dan mereka mengaduh-aduh. Seng Kun lalu menarik bangun A-hai yang memandang kepadanya dengan wajah berseri, walaupun pipinya bengkak dan matanya menghitam.
"Haa, sudah kuduga, engkau seorang yang lihai, paman petani!" serunya. Akan tetapi, teriakan-teriakan itu memancing munculnya para penjahat dari dalam warung dan melihat keributan itu, mereka segera serentak menyerbu dan mengeroyok Seng Kun dan A-hai. Seng Kun tentu saja menyambut mereka dan para pengeroyok segera menjadi kaget mendapat kenyataan betapa petani setengah tua itu benar-benar amat lihai. Akan tetapi, pemuda tukang gerobak itu tidak merupakan lawan berat sehingga kini mereka mengeroyok Seng Kun sedangkan empat orang pertama masih menghajar A-hai yang melawan sedapatnya sambil memaki-maki.
"Kalian manusia-manusia jahat! Kalian iblis-iblis berwajah manusia!" Pemuda ini hanya bergerak sembarangan saja, sama sekali tidak menurut gerakan ilmu silat dan karena empat orang pengeroyoknya adalah orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi dan juga semua memiliki ilmu silat, maka A-hai menjadi bulan-bulanan pukulan. Akan tetapi pemuda ini memiliki tubuh yang kuat sehingga biarpun sudah dipukuli jatuh bangun, dia tetap terus bangkit dan melawan lagi.
Melihat pemuda itu dihajar dan dipukuli, Seng Kun yang dikeroyok oleh banyak orang itu membantu dan mencoba untuk melindunginya. Karena ini, maka dia sendiri menerima beberapa kali pukulan yang cukup keras. Ketika, melihat terjadinya keributan itu, dari tempat sembunyinya, Pek Lian dan Bwee Hong tentu saja menjadi terkejut. Bwee Hong yang melihat kakaknya dikeroyok banyak sekali orang jahat, segera meloncat maju, sedangkan Pek Lian yang melihat A-hai dipukuli orang, juga tidak mungkin dapat berdiam diri dan gadis itupun sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Dua orang gadis ini lalu menyerbu dan mengamuk. Para penjahat itu terkejut sekali melihat munculnya dua orang wanita petani yang demikian lihainya.
Mereka pun sadar bahwa petani setengah tua dan dua orang wanita petani ini tentulah pihak musuh yang datang melakukan penyelidikan, maka merekapun kini mengurung dan menyerang mati-matian mempergunakan senjata mereka. Jumlah pengeroyok ada tiga puluh orang lebih dan mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan pengalaman berkelahi yang matang, apa lagi mereka itu adalah penjahat-penjahat yang kejam dan sudah biasa membunuh orang. Melihat kehebatan petani setengah tua itu, Jai-hwa Toat-beng-kwi, penjahat cabul berusia tiga puluh lima tahun yang berwajah ganteng dan berpakaian mewah pesolek itu lalu meloncat kedepan, begitu menerjang, dia sudah menggunakan huncwe emasnya untuk menotok kearah leher Seng Kun.
Melihat meluncurnya sinar emas dibawah sinar lampu yang kini dibantu obor itu. Seng Kun maklum bahwa penyerangnya tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok lainnya. Diapun cepat melangkah mundur sambil mengelak dan menggerakkan lengan kanan untuk menangkis huncwe emas itu. Akan tetapi, Si Cabul sudah menarik kembali huncwenya dan dengan gerakan cepat sudah menggerakkan senjata istimewa itu yang meluncur kearah muka Seng Kun, didahului oleh percikan api tembakau dari hunewe yang menyambar kearah mata. Inilah keistimewaan huncwe itu! Seng Kun maklum akan bahayanya serangan kilat itu, maka diapun lalu meniup kedepan untuk menghalau percikan api tembakau, lalu membuang diri kebelakang, menyelinap kebawah dan dengan gerakan indah namun kuat, tangannya sudah menusuk perut lawan dengan jari-jari tangan terbuka.
"Wuiiuuttt!" Tusukan tangan yang kuatnya melebihi golok itu dapat dihindarkan pula oleh Jai-hwa Toat-beng-kwi yang diam-diam juga merasa kaget. Kiranya petani ini benar-benar bukan lawan ringan! Diapun mempercepat gerakan huncwenya dan kini mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi petani yang lihai itu, dibantu pula oleh beberapa orang penjahat yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Sementara itu, dua orang wanita yang pertama kali datang kewarung itu bersama Si Cabul yang amat mirip satu sama lain, sudah mencabut pedang dan menyambut Bwee Hong karena mereka melihat betapa wanita petani ini gerakannya amat sigap dan cepat.
Bwee Hong tahu pula bahwa dua orang wanita ini cukup lihai, maka iapun sudah mencabut pedang yang disembunyikan dibalik baju, menyambut dan menyerang mereka dengan sengit. Terjadi pula pertandingan seru diantara mereka dan dua orang wanita itu juga dibantu oleh beberapa orang penjahat yang mempergunakan senjata mereka untuk mengurung Bwee Hong. Pek Lian meloncat dan hendak menolong A-hai yang masih menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan empat orang jahat itu, akan tetapi iapun disambut oleh banyak orang yang mengurung dan mengeroyoknya. Pek Lian membentak marah, mencabut pula pedangnya dan mengamuklah gadis ini. Daerah yang sunyi itu kini menjadi medan perkelahian yang amat seru.
Akan tetapi, kepandaian tiga orang pendekar muda ini agaknya terlalu kuat bagi para penjahat itu. Terutama sekali kakak-beradik bangsawan she Chu itu, biarpun dipihak kaum sesat terdapat Si Cabul dan dua orang wanita berpedang, namun tetap saja mereka itu kewalahan menghadapi pengamukan Seng Kun dan Bwee Hong. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini adalah keturunan dari datuk sakti Sin-yok-ong dan mereka memiliki gerakan yang amat cepat. Juga Ho Pek Lian merupakan seorang dara yang-gagah perkasa. Ia memiliki dasar ilmu silat tinggi yang baik, dan selama beberapa bulan ini ia telah digembleng oleh pengalaman-pengalaman hebat, bertemu dengan orang-orang sakti dan semua pengalaman ini membuatnya menjadi masak dan ilmunya juga menjadi semakin mantap. Pedangnya membentuk gulungan sinar yang membuat para pengeroyoknya kewalahan.
Tiba-tiba terdengar suara mengaum seperti auman singa dan disambut oleh dua kali auman harimau. Suara ini menggetarkan suasana yang hiruk-pikuk oleh perkelahian ditempat itu. semua orang tertegun dan Pek Lian segera mengerti bahwa bahaya besar muncul karena ia tahu siapa orangnya yang datang. Mungkin orang inilah yang dinanti-nanti oleh para penjahat itu. Sanhek-houw Si Harimau Gunung telah muncul! Juga Bwee Hong dan Seng Kun cepat meloncat kebelakang dan memandang. Seorang kakek tinggi besar yang mengenakan jubah kulit harimau berdiri dengan gagahnya, dan dibelakangnya nampak dua ekor harimau kumbang. Ketika tiba ditempat itu tadi, Sanhek-houw sudah tahu bahwa petani yang berkelahi melawan Si Cabul bersama beberapa orang temannya itulah yang paling lihai diantara mereka yang dikeroyok oleh anak-buahnya,
Maka diapun tanpa banyak cakap lagi lalu menerjang kedepan dan menyerang Seng Kun. Tangannya diulur kedepan dengan jari-jari tangan terbuka membentuk cakar harimau dan Seng Kun cepat meloncat kebelakang untuk menghindarkan cakaran-cakaran yang amat kuat itu. Itulah Umu Silat Houw-jiauw-kun (Ilmu Cakar Harimau) akan tetapi yang berbeda dengan ilmu silat harimau lainnya. Gerakan orang ini amat kuat dan ganas! Dengan hati-hati Seng Kun lalu balas menyerang dan segera terjadi perkelahian yang amat seru diantara mereka. Melihat bahwa lawan yang tangguh itu kini telah dihadapi oleh Sanhek-houw yang merupakan tokoh yang lebih tinggi tingkatnya dari padanya, Si Cabul lalu tersenyum-senyum menghampiri Bwee Hong.
"Ih, wanita petani kotor ternyata pandai juga berkelahi. Sayang kau sudah agak tua, kalau masih muda tentu akan menjadi penghibur yang menarik!" Sambil berkata demikian, Si Cabul sudah mencolek kearah dada Bwee Hong.
"Plakk!" Bwee Hong menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya, Si Cabul itu terdorong kebelakang. Jai-hwa Toat-beng-kwi menjadi marah dan diapun menyerang dengan huncwenya, dibantu pula oleh dua orang wanita berpedang. Kini Bwee Hong menghadapi lawan yang jauh lebih lihai dari pada tadi. maka iapun memutar pedangnya dan melawan dengan mati-matian. Akan tetapi, pada saat Seng Kun mengerahkan semua kepandaiannya untuk dapat mengalahkan Sanhek-houw yang sudah dibantu pula oleh beberapa orang anak-buahnya, tiba-tiba saja terdengar suara tinggi seperti suara wanita, akan tetapi suara itu mengandung getaran khikang yang kuat.
"Ha-ha-ha, apakah Harimau Gunung sudah kehilangan sebagian giginya maka menghadapi seorang petani saja sudah kewalahan?" Dari dalam kegelapan malam, muncullah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya gendut pendek, perutnya besar seperti perut kerbau bunting, dan tangan kanannya memanggul sebuah senjata yang kelihatannya sederhana saja, yaitu sebatang toya besar seperti alu yang terbuat dari pada baja putih. Akan tetapi, melihat munculnya orang ini, Pek Liari terkejut sekali karena ia mengenal orang ini sebagai Sin-go Mo Kai Ci. Julukannya Sin-go (Buaya Sakti), Raja dari segala bajak sungai dan menjadi rekan dari Harimau Gunung. Inilah dua diantara Sam-ok {Tiga Jahat) yang menjadi pembantu-pembantu utama Si Raja Kelelawar!
"Buaya hina, dari pada banyak mulut, tidakkah lebih baik cepat membantuku menundukkan musuh ini? Dia bukan petani biasa, tentu mata-mata pihak musuh!" kata Sanhek-houw sambil mencoba untuk mendesak lawan. Namun, Seng Kun yang juga sejak tadi munculnya Harimau Gunung ini sudah mainkan sebatang pedang, menahan serangannya dengan baik dan membalas dengan serangan kilat yang nyaris merobek ujung jubah harimaunya. Buaya Sakti tertawa bergelak dan begitu tubuhnya yang bundar itu bergerak, toya putihnya sudah diputar dan diapun terjun kedalam perkelahian itu membantu rekannya. Melawan Harimau gunung saja sudah merupakan hal yang cukup berat bagi Seng Kun. Kini ditambah munculnya Sin-go Mo Kai Ci yang memiliki tingkat yang seimbang dengan rekannya, maka tentu saja Seng Kun menjadi repot sekali.
Apa lagi karena corak permainan silat dan gaya permainan senjata pendatang baru ini jauh berbeda, membuat mereka berdua itu merupakan kombinasi yang sulit untuk dilawan. Biarpun Seng Kun melawan mati-matian, namun akhirnya sebuah hantaman toya dari Buaya Sakti itu mengenai punggungnya dengan amat kerasnya. Untung bahwa Seng Kun memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, maka hantaman itu tidak sampai mematahkan tulang punggungnya, hanya membuatnya terpelanting saja. Akan tetapi, banyak orang menubruk dan meringkusnya sehingga Seng Kun tidak mampu berkutik lagi. Dia telah tertawan! Melihat ini, Bwee Hong menjadi marah. Akan tetapi Pek Lian yang melihat betapa sia-sia kaku mereka melawan dan akhirnya mereka berduapun tentu akan roboh tewas atau tertawan, cepat mendekati Bwee Hong.
"Enci Hong, mari kita lari!"
"Tapi... tapi... kunko"
"Kita bicarakan nanti. Lekas, ikut aku!" Dan Pek Lian lalu menarik tangannya. Bwee Hong adalah seorang gadis yang cukup cerdas. Biarpun ia merasa khawatir sekali akan nasib kakaknya, akan tetapi iapun tahu apa yang dimaksudkan oleh Pek Lian. Kalau mereka berdua selamat, setidaknya mereka akan mampu untuk memikirkan usaha agar dapat menyelamatkan Seng Kun. Sebaliknya, kalau mereka berdua nekat dan melawan, lalu merekapun tertawan, habislah sudah semua harapan untuk dapat lolos! Dua orang wanita itu meloncat dan melarikan diri dalam gelap.
"Kejar!" teriak Harimau Gunung dan Buaya Sakti dengan penasaran, dan merekapun ikut lari mengejar. Akan tetapi, dua orang gadis itu memang dapat bergerak cepat sekali, dan pula, kegelapan malam menolong mereka sehingga akhirnya para pengejar itu terpaksa kembali kewarung dengan tangan hampa. Setelah melihat tidak ada pihak musuh yang mengejar, kedua orang dara itu berhenti dan Bwee Hong segera mencela Pek Lian,
"Adik Lian, bagaimanakah engkau ini? Kakakku tertawan dan engkau malah memaksaku melarikan diri! Memang aku tahu bahwa kita tidak dapat selamat dan tidak dapat menolongnya, akan tetapi, melarikan diri selagi kakakku tertawan, sungguh membuat aku merasa berduka dan malu. Apa yang akan dipikir oleh kakakku?"
"Kakakmu tentu akan membenarkan tindakan kita ini, enci. Pihak musuh begitu banyak dan diantaranya banyak terdapat orang lihai. Sedangkan kakakmu saja tertawan, apa lagi kita. Belum lagi kalau sampai pimpinan mereka datang, yaitu Si Raja Kelelawar. Sungguh habislah kita! Sekarang kita berdua masih selamat. Apa kau kira akupun akan diam saja melihat kakakmu dan A-hai ditawan orang? Kita dapat membayangi mereka dan melihat keadaan selanjutnya. Kalau memang bahaya mengancam mereka, kita boleh turun tangan dan mengadu nyawa!"
Bwee Hong yang kebingungan karena memikirkan kakaknya itu hanya mengangguk dengan lesu dan selanjutnya ia akan menurut saja kepada sahabatnya ini. Biarpun tingkat kepandaian silatnya masih lebih lihai dari pada Pek Lian, namun harus diakuinya bahwa ia kalah wibawa, dan juga kalah pengalaman. Hal ini adalah karena Pek Lian telah mewakili gurunya untuk memimpin para pendekar. Pandangannya lebih luas dan ia tidak bertindak menurutkan perasaan belaka, melainkan bertindak dengan perhitungan sebagai layaknya seorang yang berjiwa pemimpin. Sementara itu, Sanhek-houw dan Sin-go Mo Kai Ci yang memimpin pertemuan itu, nampak tergesa-gesa membagi-bagi tugas kepada para anak-buahnya, kemudian terdengar dia berkata,
"Munculnya gangguan ini merobah acara. Kita harus cepat pergi meninggalkan tempat ini. Tidak aman setelah diketahui orang lain." Pertemuan itupun bubaran dan dua orang yang ditawan itu, A-hai dan Seng Kun, dibawa pergi sebagai tawanan oleh dua orang tokoh sesat itu, ditotok dan dibelenggu kemudian dilempar didalam pedati milik A-hai yang tadi dipergunakan untuk mengangkat arak. Melihat betapa dua orang itu dibawa pergi oleh Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti, Pek Lian dan Bwee Hong lalu membayangi gerobak itu.
Mereka berdua tidak berani sembarangan turun tangan karena maklum bahwa keselamatan A-hai dan Seng Kun terancam jika mereka dengan sembrono melakukan penyergapan. Apa lagi karena dua orang tokoh sesat itu masih dikawal oleh para pembantunya yang lihai. Sampai beberapa hari lamanya dua orang gadis itu membayangi kereta atau gerobak dua orang tokoh sesat yang menawan A-hai dan Seng Kun. Mereka melihat betapa kedua orang tawanan itu diperlakukan dengan cukup baik, masih dibelenggu akan tetapi setiap kali rombongan berhenti untuk makan, keduanya mendapatkan hidangan secukupnya. Hal ini melegakan hati Bwee Hong dan Pek Lian yang mendapat kenyataan bahwa agaknya para penjahat tidak berniat membunuh dua orang tawanan itu.
Dan memang sesungguhnya demikianlah. setelah berhasil menawan A-hai dan Seng Kun, Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti memperhatikan Seng Kun dan melarang anak-buah mereka untuk membunuh atau melukainya. Juga A-hai yang telah dibela oleh petani itu mendapatkan perlakuan yang cukup baik walaupun kedua orang tawanan itu selalu dibelenggu. Hal ini adalah karena Harimau Gunung merasa curiga melihat kelihaian petani itu dan menduga bahwa petani itu tentulah seorang tokoh pembantu yang cukup tinggi kedudukannya dari Si Petani Laut, seorang diantara Raja-Raja lautan. Ciri khas dari para tokoh bajak lautan ini adalah pakaian mereka yang seperti pakaian petani, walaupun pekerjaan mereka adalah perampok-perampok dilautan alias bajak-bajak laut!
Kabarnya, Si Petani Laut berasal dari keluarga petani, maka setelah menjadi seorang diantara jagoan-jagoan atau bahkan Raja-Raja kecil yang menguasai lautan timur, dia tetap berpakaian petani bahkan mengharuskan para pembantunya berpakaian seperti petani! Dan karena Si Petani Laut juga termasuk tangan kanan atau juga sekutu dari Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur), maka Si Harimau Gunung menduga bahwa petani yang tertawan itu adalah seorang utusan dari kelompok bajak laut. Seperti kita ketahui, Sam-ok atau Si Tiga Jahat adalah Tung-hai-tiauw Si Rajawali Lautan Timur, Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, dan Sanhek-houw Si Harimau Gunung. Merekalah yang disebut Raja-Raja diwilayah dan daerah masing-masing, yaitu Raja lautan, Raja sungai-sungai dan Raja daratan.
Dua diantara mereka, yaitu Si Buaya Sakti dan Si Harimau Gunung telah menakluk terhadap Raja Kelelawar. Kemudian Raja Kelelawar yang merupakan datuk tertinggi diantara kaum sesat itu mengutus dua orang pembantunya ini untuk menghubungi Si Rajawali Laut. Demikianlah, karena menduga bahwa Seng Kun adalah tokoh sesat lautan yang menjadi anak-buah Si Rajawali Laut, maka Harimau Gunung dan Buaya Sakti tidak mau bertindak lancang. Bahkan mereka menganggap bahwa Seng Kun dapat menjadi semacam sandera agar mereka dapat dengan mudah menghubungi rekan yang kadang-kadang menjadi saingan dan musuh itu. Harimau Gunung dan Buaya Sakti sendiripun tadinya sering kali bentrok dan bersaing. Hanya kini setelah muncul Raja Kelelawar,
Mereka menjadi akur dan tidak berani bentrok, karena sama-sama menjadi pembantu dari atasan mereka yang baru, yang amat mereka takuti, yaitu Raja Kelelawar. Ketika rombongan itu tiba ditepi lautan disebelah timur Kotaraja, menghadapi Teluk pohai yang luas, rombongan yang mengawal kedua orang Raja penjahat itu segera menyediakan sebuah perahu layar besar. Kemudian, dikawal oleh belasan orang saja. Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti membawa dua orang tawanan naik perahu yang berlayar kearah timur laut. Ketika itu, hari masih amat pagi akan tetapi matahari telah meninggalkan permukaan laut dan membakar seluruh permukaan air dengan cahayanya yang masih belum terlalu panas, masih keemasan. Perahu layar besar yang membawa dua orang tawanan itu membentuk sebuah bayangan memanjang diatas permukaan air yang merah tembaga.
Angin laut pagi itu lembut saja, namun cukup membuat perahu itu melaju karena layar terkembang yang lebar itu menangkap banyak angin yang mendorong perahu. Sunyi sekali, karena perahu-perahu nelayan yang terapung disana-sini sedang tenang, menanti datangnya rombongan ikan yang biasanya muncul setelah sinar matahari menjadi keperakan. Para nelayan duduk didalam perahu masing-masing, memandang kearah perahu besar yang lewat melaju, tidak merasa curiga atau heran karena memang sering terdapat perahu-perahu besar lalu-lalang diperairan itu, baik perahu-perahu pedagang maupun perahu-perahu pelancong. Merekapun tidak khawatir kalau-kalau ada perahu bajak laut, karena mereka semua berada dalam "perlindungan" Raja-Raja bajak laut dengan cara membayar "pajak penghasilan" setelah mereka pulang membawa hasil penangkapan ikan mereka nanti.
Didarat telah menanti kaki tangan para Raja bajak yang akan menentukan besar kecilnya pajak itu disesuaikan dengan hasil pekerjaan mereka semalam, atau sehari. Dengan pembayaran pajak seperti itu, keselamatan mereka terjamin dan mereka dapat bekerja dengan tenang. Pungutan liar semacam ini terdapat dimanapun juga dan dijaman apapun juga. Pungutan liar ini tercipta oleh kesempatan mengeduk keuntungan yang banyak dimiliki oleh mereka yang mempunyai banyak kekuasaan, oleh mereka yang mempunyai wewenang. Dengan kekuasaan atau wewenang yang ada pada mereka, maka terbukalah kesempatan untuk memeras. Kekuasaan atau wewenang itu bisa saja timbul dari kedudukan atau dari kekuatan. Kedudukan dan kekuatan itu dijadikan modal untuk memeras atau mencari keuntungan dengan jalan memeras.
Para nelayan itu tanpa mereka sadari telah diperas. Mereka merasa "Dilindungi" oleh para bajak, dan untuk itu mereka mau menyerahkan sebagian dari pada hasil keringat mereka. Dilindungi dari siapa? Tentu saja dari gangguan, dan biasanya, yang mengganggu adalah para bajak itu sendiri. Berarti, kalau tidak mau menyogok, akan diganggu! Perbuatan para bajak laut ini tiada bedanya dengan perbuatan para pejabat yang juga akan "mengganggu" dengan menggunakan kekuasaan dan wewenang mereka apabila mereka tidak disogok. Pungutan liar memang akibat disalah-gunakannya wewenang dan kekuasaan. Akan tetapi, sumber pokoknya terletak dalam batin seseorang itu sendiri. Kedudukan tinggi sebagai pejabat tidak mempunyai kecondongan kc arah perbuatan baik atau buruk tertentu.
Kedudukan itu diperlukan untuk mengatur orang banyak, dan untuk pekerjaan ini dia telah menerima upah. Jadi sepenuhnya tergantung kepada seseorang itu sendiri, mau dijadikan apakah kedudukannya itu! Dapat saja dijadikan modal untuk memeras, akan tetapi dapat pula dijadikan alat untuk menertibkan dan mengatur, yang pertama adalah untuk kesenangan diri sendiri sedangkan yang kedua adalah untuk kesenangan orang-orang lain, atau setidaknya untuk memenuhi tugas yang telah dibebankan keatas pundaknya dengan imbalan upah yang semestinya. Demikian pula dengan kekuatan yang ada pada diri seseorang, dapat saja kekuatan itu dipakai untuk menindas demi memenuhi kesenangan diri pribadi, dapat juga dipakai untuk melindungi orang-orang lain dari pada ancaman kejahatan yang mengandalkan kekuatan.
Jadi, sumber pokok dari perbuatan pungutan liar itu, seperti dari penyelewengan-penyelewengan hidup yang lain, terletak dalam batin masing-masing. Tanpa adanya kesadaran batin, segala usaha untuk memberantasnya hanya akan berhasil untuk sementara saja. Dengan kekerasan, mungkin saja perbuatan sesat dapat dihentikan, akan tetapi penghentian ini hanya lahiriah, hanya bersifat sementara karena borok didalam batin itu masih belum sembuh. Kalau penjagaannya kurang ketat, maka borok itu akan kambuh lagi dan perbuatan sesat itu akan tendang, mungkin lebih hebat dari pada yang sudah. Sebaliknya, kalau batinnya sudah sembuh dari pada bibit penyakit itu, tanpa pengekangan sekalipun, perbuatan sesat itu takkan muncul. Ketika Pek Lian dan Bwee Hong melihat persiapan para penjahat itu, Pek Lian segera dapat menduga bahwa dua orang tawanan itu akan dibawa pergi berlayar.
Maka dengan cepat iapun mencari perahu yang disewanya dari seorang nelayan. ketika perahu besar itu mengembangkan layar, Pek Lian dan Bwee Hong juga sudah mendayung perahu dan tak lama kemudian perahu kecil mereka pun berlayar mengikuti perahu besar. Dengan adanya banyak perahu nelayan disekitar tempat itu, maka tentu saja perbuatan dua orang wanita ini tidak menarik perhatian, juga tidak dicurigai oleh para penjahat itu. Dua orang gadis itu telah menanggalkan penyamaran mereka begitu perahu kecil mereka bergerak. Kini tidak perlu lagi menyamar karena mereka bukan sedang melakukan tugas menyelidik dan membantu Seng Kun, melainkan sedang menghadapi para penjahat secara langsung. Tidak perlu lagi mereka menyamar. Perahu kecil mereka meluncur cepat ketika mereka memasang layar.
Untung bagi mereka bahwa Pek Lian tidak asing dengan pelayaran dan Bwee Hong ternyata juga merupakan seorang gadis yang dapat belajar dengan cepat. Kekuatan dalam mereka berkat latihan membuat mereka dapat bertahan terhadap guncangan dan goyangan perahu mereka ketika dipermainkan oleh air laut yang mulai bergelombang. Bersama meningginya matahari, gelombangpun semakin membesar. Hal inilah yang membuat mereka tertinggal oleh perahu besar didepan. Perahu besar itu tidak begitu payah melawan gelombang seperti perahu kecil dua orang dara perkasa ini. Menjelang tengah hari, mereka berdua kehilangan perahu besar didepan! Tentu saja mereka menjadi bingung dan biarpun mereka berusaha untuk mengejar, namun gelombang laut yang besar itu membuat perahu mereka terombang-ambing.
"Ah, celaka perahu itu telah meninggalkan kita! Aih, bagaimana ini, adik Lian! Bagaimana dengan Kun-koko!" Bwee Hong meratap dan hampir saja ia menangis. Bwee Hong sama sekali bukan seorang gadis lemah. Bahkan dalam hal ilmu silat, ia masih lebih lihai dari pada Pek Lian. Akan tetapi, ia amat sayang kepada kakaknya. Kini kakaknyalah satu-satunya keluarga terdekat didunia ini baginya. Ayah kandungnya, yang baru saja dijumpainya, telah merupakan orang yang jauh dari batinnya. Bukan hanya karena sejak kecil terpisah, melainkan juga karena ayahnya itu telah menjadi seorang pendeta di Istana dan sudah tidak mau tahu akan urusan keluarga lagi. Keluarga Bu yang mengasuh ia dan kakaknya sejak kecil, sudah tewas. Didunia ini ia hanya mempunyai seorang saja, yaitu Seng Kun dan sekarang kakaknya itu dilarikan penjahat.
"Tenangkan hatimu, enci Hong. Dalain keadaan seperti sekarang ini, yang penting sekali bagi kita adalah ketenangan. Kita tidak boleh panik dan putus asa. Arah perahu mereka menuju kearah timur laut dan lihatlah, bukankah didepan sana itu terdapat gugusan pulau-pulau yang nampak lapat-lapat dari sini? Tentu kesanalah mereka menuju dan perahu mereka lenyap karena pandangan kita terhalang oleh gelombang. Kita menuju kearah itu, pasti kita akan bertemu lagi dengan mereka." Melihat sikap Pek Lian yang tangkas dan pandang mata yang penuh semangat itu, Bwee Hong terhibur dan merasa malu. Dirangkulnya temannya itu dan sejenak ia memejamkan mata sambil bersandar pada pundak sahabatnya yang memiliki watak amat kuat itu. Sahabatnya inipun menderita. Ayahnya juga dilarikan penjahat, akan tetapi Pek Lian masih mampu menghibur dan membesarkan hatinya!
"Maafkan aku, Lian-moi. Aku telah bersikap cengeng seperti anak kecil. Mari, kita lanjutkan pelayaran kita. Ombak-ombak ganas ini harus kita lawan dan atasi!" didalam suara dara cantik jelita ini terkandung ketabahan dan ketekadan besar sehingga Pek Lian tersenyum,
"Bagus! Mari kita bekerja keras!" Demikianlah, kedua orang gadis itu bersitegang dengan gelombang lautan, memperebutkan perahu dan nyawa mereka. Ombak-ombak besar itu seolah-olah merupakan jangkauan tangan maut yang hendak menelan dan menghempaskan perahu, sedangkan mereka berdua dengan kedua tangan yang berjari kecil mungil halus itu mengerahkan tenaga untuk menahan perahu mereka agar jangan tenggelam!
Terjadilah proses pertarungan dan perjuangan hidup yang mungkin sudah setua lautan itu sendiri atau setua sejarah manusia, antara manusia dan alam! Antara ancaman mati dan mempertahankan hidup! Proses yang sampai kini masih melanda kehidupan manusia, dan karenanya amat mengharukan. Bukankah kita inipun setiap saat dikelilingi jangkauan tangan-tangan maut? melalui penyakit, melalui kecelakaan, melalui bencana alam? Betapa mati dan hidup ini seling-menyeling, merupakan perpaduan yang serasi, yang menguasai diri kita? Kalau kita tidak membuka mata mempelajari apa sesungguhnya kehidupan ini, apakah kita lalu hanya hidup untuk menghindarkan diri dari pada jangkauan maut belaka dan akhirnya kita akan tercengkeram juga dan tunduk dibawah kekuasaan maut sebelum kita tahu apa sesungguhnya kehidupan ini?
Apakah hidup ini hanya perjuangan, kesengsaraan, kekecewaan, duka nestapa, permusuhan, segala pahit getir dengan hanya sedikit manis sekali-kali, kemudian habislah semua itu dan mati? Setelah terhindar dari rasa khawatir, baik kekhawatiran akan nasib kakaknya maupun rasa takut akan gelombang yang mengancam nyawanya, mulailah terasa oleh Bwee Hong kegairahan dan kegembiraan dalam menghadapi gelombang lautan yang mendahsyat itu. Kegembiraan yang jarang terasa olehnya, mungkin hanya terasa oleh mereka yang tahu apa artinya berdekatan dengan maut, apa artinya dapat menyelinap diantara jari-jari tangan maut yang mengancam. Saking besarnya rasa gembira ini, Bwee Hong yang membantu Pek Lian mengemudikan perahu, menjerit-jerit, suaranya ditelan angin dan gemuruh gelombang air yang saling timpa.
"Hayo, majulah! Datanglah gelombang! ha-ha, hayo serbulah, aku tidak takut padamu! Huiiii-huuu!" Perahu itu melambung tinggi lalu meluncur turun dengan kecepatan yang membuat jantung terasa copot tertinggal diudara! Namun Bwee Hong menjerit dan tertawa, sehingga Pek Lian ikut pula terseret kegembiraan itu dan kedua orang dara perkasa itupun menjerit-jerit dan tertawa-tawa, dan gelombang lautan itu berobah menjadi sahabat-sahabat yang mengajak mereka bersendau-gurau!
Setengah hari lamanya dua orang dara pendekar itu berjuang melawan amukan air laut dan tiga kali hampir saja perahu mereka terbalik. Pakaian mereka sudah basah kuyup, basah oleh air bercampur keringat mereka. Wajah mereka yang cantik itu nampak berseri, berkilau dengan cahaya kehidupan dan kesegaran, kemerahan dan sepasang mata mereka bersinar-sinar, muka mereka yang berkulit halus itu kemerahan dan agak coklat terbakar matahari. Setelah setengah hari lamanya bergurau, agaknya air laut menjadi jemu dan bosan juga dan gelombangpun tidak seganas tadi. Napas lautan yang tadinya terengah-engah itu kini menjadi tenang dan hanya tinggal sisanya saja. Tiba-tiba Pek Lian menunjuk kearah depan.
"Lihat, itu mereka!" Diantara-puncak-puncak gunung ombak dikejauhan, nampak mula-mula ujung tiang perahu layar besar dengan benderanya, kemudian nampak layarnya dan mereka berdua hampir bersorak girang mengenal bahwa memang itulah perahu yang mereka bayangi, perahu yang membawa A-hai dan Seng Kun sebagai tawanan.
Karena kini gelombang tidak terlalu mengganas lagi, badai tidak mengamuk seperti tadi dan angin bertiup tenang dan kuat, mereka lalu memasang layar besar dan perahu kecil itu melaju, seperti anak kecil berlari-larian diatas rumput-rumput ketika mereka menerjang puncak-puncak gelombang, mengejar kedepan. Matahari telah condong jauh ke barat dan cuaca sudah mulai berkurang terangnya, sinar perak telah berganti sinar lembayung yang lemah dan redup, seolah-olah matahari telah mulai mengantuk dan siap untuk beristirahat dibalik permukaan laut, seperti hendak tenggelam didalam lautan yang amat luas itu.
Dan seperti juga diwaktu munculnya pagi tadi, ketika menghilang, matahari juga bergerak amat cepatnya, tenggelam sedikit demi sedikit sampai akhirnya yang tinggal hanya sinar redup kemerahan, memancar dari balik permukaan kaki langit diatas lautan, bola mataharinya sendiri telah tenggelam dibalik ujung laut. Dua orang gadis itu tidak merasa khawatir lagi. Biarpun kegelapan malam akan melenyapkan perahu didepan dari pandang mata mereka, akan tetapi mereka percaya bahwa perahu besar itu akan memasang lampu, atau setidaknya mereka berdua sudah melihat bayangan gugusan pulau-pulau didepan. Mereka merasa yakin bahwa kesanalah perahu didepan itu menuju. Tiba-tiba, didalam keremangan senja, nampak cahaya lampu bermunculan disebelah kanan dan kiri. Perahu-perahu ini membawa penerangan yang cukup terang, menerangi air laut disekitarnya.
"Eh, eh, dari mana munculnya perahu-perahu ini dan siapakah mereka?" Pek Lian bertanya dengan heran dan juga hatinya terasa tidak enak. Kini bermunculan perahu-perahu dari kanan kiri dan melihat lampu-lampu mereka, mudah menghitung jumlahnya. Ada delapan buah perahu yang muncul, semua memakai penerangan dan dari perahu kecilnya, Pek Lian dan Bwee Hong dapat melihat bahwa diatas setiap perahu terdapat anak-buah sebanyak sepuluh orang. Dan mereka itu bersenjata lengkap.
Delapan buah perahu itu meluncur searah dengan perahu yang ditumpangi A-hai dan Seng Kun, seolah-olah mengawal perahu penjahat itu. Dan mereka itu mungkin tidak melihat perahu kecil Pek Lian yang tidak memakai lampu. Kurang lebih satu jam lamanya perahu-perahu itu berlayar menuju kearah timur laut. Tiba-tiba terdengar suara peluit ditiup berulang-ulang saling sahutan dan kedua orang dara itu melihat betapa semua perahu itu berpencar kekanan kiri dengan teratur, membentuk barisan seperti hendak menggunting dan lampu-lampu penerangan merekapun kadang-kadang padam kadang-kadang nampak, itupun hanya merupakan penerangan lampu hijau redup-redup. Karena seolah-olah ditinggalkan oleh barisan perahu itu, perahu kecil Pek Lian dan Bwee Hong kini meluncur kedepan dengan cepatnya sendirian saja menempuh kegelapan malam.
Keadaan amat mengerikan, seolah-olah setiap saat mereka akan ditelan oleh sesuatu yang telah mengancam sejak tadi. Namun, dua orang gadis itu telah memperoleh kembali ketabahan mereka dengan jalan bersendau-gurau dan bercakap-cakap, seolah-olah mereka sedang menikmati sebuah pelayaran yang amat romantis dan menggembirakan. Langit amat indah. Langit diwaktu malam hanya nampak indah kalau gelap seperti itu. Bintang-bintang nampak jelas menghias angkasa menghitam. Seperti hamparan beludru hitam yang ditaburi ratna mutu manikam yang berkilauan.
(Lanjut ke Jilid 12)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 12
Entah berapa lamanya mereka berdua mengemudikan perahu layar mereka yang meluncur pesat kedepan sambil menikmati keindahan angkasa dan mendengarkan dendang air yang tersayat oleh moncong perahu mereka, ketika tiba-tiba keduanya terkejut melihat sinar terang lampu dari sebuah perahu besar yang meluncur berlawanan arah dengan perahu mereka.
"Cepat, belokkan perahu!" teriak Pek Lian kepada Bwee Hong yang kebetulan sedang menggantikan tugas mengemudikan perahu. Bwee Hong sudah terlatih beberapa jam lamanya, sudah gapah, akan tetapi karena terkejut dan panik, iapun bingung dan perahunya membelok terlampau keras. Hampir saja perahu itu terbalik ketika layarnya menjadi kacau.
"Dukkkkk!!" Tiba-tiba mereka merasakan guncangan keras dan ternyata perahu mereka telah menumbuk sebuah perahu lain. Kiranya dikanan kiri perahu besar yang terang itu terdapat pula dua buah perahu kecil yang agaknya mengawal perahu besar. Terdengar teriakan dan maki-makian dalam bahasa asing. Perahu besar itupun berhenti dan ramailah suara orang-orang dengan bahasa asing diatas perahu besar.
Ketika Pek Lian dan Bwee Hong dapat menenangkan hati mereka yang terguncang karena perahu mereka hampir terbalik, dengan marah mereka lalu memandang keatas, kearah perahu besar dan melihat munculnya beberapa orang diatas perahu itu, menjenguk kebawah kearah mereka. Sebuah lampu sorot ditujukan kepada mereka dan perahu kecil mereka kini bermandikan cahaya sehingga mata kedua orang dara itu menjadi silau karenanya. Orang-orang yang menjenguk kebawah itu berteriak-teriak dalam bahasa asing, agaknya marah-marah dan ada pula yang tertawa-tawa, kemudian dua buah perahu kecil dikanan kiri perahu besar mewah itu didayung maju dengan cepat dan beberapa batang dayung panjang mendorong-dorong perahu dua orang dara itu, sehingga perahu itu terguncang-guncang kekanan kiri.
"Eh, kalian ini mau apa?" bentak Pek Lian. Akan tetapi orang-orang asing yang rata-rata bertubuh pendek itu hanya menjawab sambil tertawa-tawa dan melanjutkan usaha mereka mendorong-dorong perahu dua orang dara itu, agaknya bermaksud untuk menggulingkan perahu. Sementara itu, orang-orang yang berada diatas perahu besar itu tertawa-tawa dan menggerakkan tangan, nampaknya memberi anjuran kepada para pembantu mereka yang berada didalam dua buah perahu kecil dibawah. Biarpun tidak mengerti bahasa mereka, Pek Lian dan Bwee Hong maklum bahwa orang-orang ini berusaha untuk menggulingkan perahu mereka, maka tentu saja mereka menjadi marah.
"Jahanam, kalian hendak menggulingkan perahu kami?" bentak Pek Lian marah. Akan tetapi, orang-orang diatas perahu besar itu tertawa-tawa dan menuding-nuding kearah dua orang gadis yang marah-marah itu.
"Adik Lian, mari kita hajar mereka!" kata Bwee Hong dan sekali tangannya bergerak, ia sudah menangkap sebatang dayung yang mendorong pinggir perahu dan sekali renggut, dayung itu dapat dirampasnya dan pemegang dayung berteriak ketika tubuhnya terlarik dan akhirnya dia terjungkal keluar perahu kedalam air laut!
"Jangan disini! Mari kita naik keperahu besar itu saja dan menghajar pimpinan mereka!" kata Pek Lian yang maklum bahwa kalau mereka berdua melawan didalam perahu kecil mereka, keselamatan mereka malah terancam. Kalau sampai perahu mereka itu digulingkan, tentu mereka akan celaka. Bwee Hong mengerti apa yang dimaksudkan oleh kawannya, maka iapun mengangguk dan tiba-tiba mereka berdua, menggunakan kepanikan para pengganggu yang melihat seorang kawan mereka tercebur kedalam lautan tadi, untuk mengenjot tubuh dan meloncat keatas perahu besar yang mewah itu. Ketika mereka yang berada diatas perahu besar melihat berkelebatnya dua bayangan mereka melayang keatas perahu besar, mereka tercengang dan terkejut sekali.
Tak mereka sangka bahwa dua orang penghuni perahu nelayan yang mereka permainkan itu ternyata memiliki kepandaian sehebat itu. Mereka mengeluarkan seruan kaget, apa lagi ketika melihat dua orang dara cantik telah berada diatas perahu besar mereka. Sejenak mereka semua melongo. Baru sekarang mereka dapat melihat jelas betapa cantik jelitanya dua orang penghuni perahu yang bertumbukan dengan perahu mereka tadi! Tadinya mereka mengira bahwa perahu kecil itu hanya ditumpangi dua orang nelayan dan mereka hendak menghukum dan mempermainkan mereka yang berani menghadang ditengah perjalanan. Siapa kira, penghuninya adalah dua orang dara yang demikian cantik manisnya! Maka timbullah niat buruk didalam hati mereka untuk mempermainkan dua orang dara cantik jelita ini.
"Aha, kiranya kalian adalah dua orang dewi lautan cantik jelita yang sengaja datang untuk menghibur kami? ha-ha-ha!" kata seorang diantara mereka sambil menepuk-nepuk perutnya yang gendut. Orang ini dapat bicara dalam Bahasa Han dan dimengerti oleh dua orang gadis itu, walaupun suaranya terdengar kaku dan asing. Pek Lian segera dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan orang-orang Jepang. Pernah ia melihat tamu-tamu Bangsa Jepang di Istana ayahnya ketika ayahnya masih menjadi Menteri kebudayaan. Menurut penuturan ayahnya, Bangsa Jepang adalah orang-orang pelarian dari Tiongkok dan masih seketurunan,
Bahkan berkebudayaan sama, dengan bentuk tulisan huruf yang sama pula, merupakan sekelompok suku bangsa yang telah memisahkan diri dari daratan Tiongkok dan tinggal diKe pulauan Jepang disebelah timur laut. Bangsa Jepang ini, menurut ayahnya, merupakan bangsa yang cerdik, pandai, rajin dan orang harus berhati-hati menghadapi mereka karena mereka itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya. Dua orang laki-laki pendek, si perut gendut itu dan seorang yang mukanya seperti kanak-kanak akan tetapi sepasang matanya mengandung penuh nafsu berahi, kini melangkah maju dan kedua lengan mereka yang pendek-pendek dan nampaknya ceko itu dikembangkan seolah-olah mereka hendak menangkap dua ekor ayam, ditonton oleh teman-teman mereka yang sudah berkumpul disitu dan mereka semua tertawa riuh dan gembira.
"Nona manis, mari kesini... mari kupeluk cium..." kata si gendut yang agaknya merupakan satu-satunya orang diantara mereka yang dapat berbahasa Han, sedangkan teman-temannya hanya tertawa-tawa dan berkata-kata dalam Bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh kedua orang nona itu. Setelah berkata demikian si perut gendut itu menubruk kearah Pek Lian. Gerakannya cepat dan nampaknya si perut gendut ini kuat sekali. Temannya, yang bermuka anak-anak itupun sudah mengeluarkan teriakan nyaring sambil menubruk kepada Bwee Hong. Akan tetapi Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap siaga. Pek Lian menyambut tubrukan itu dengan elakan kekiri, kemudian pada saat tubuh si perut gendut itu terdorong kedepan karena menubruk tempat kosong, kakinya sudah melayang dan menyambar kearah perut lawan.
"Ngekkk! Aughhh... auhhh...!" Si perut gendut itu membungkuk-bungkuk sambil mendekap perut gendutnya dengan kedua tangan, meringis-ringis karena dia merasa perutnya mulas seketika,
Begitu mulasnya sampai dia terhuyung-huyung lari ke kakus dan terdengar suara memberebet dari tubuh belakangnya! Si muka kanak-kanak yang menubruk Bwee Hong mengalami nasib lebih buruk lagi dibandingkan dengan si perut gendut yang menjadi mulas perutnya sehingga isinya menuntut keluar itu. Bwee Hong menyambut tubrukan lawannya dengan marah. Ia memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, dan si muka kanak-kanak itu tadinya sudah merasa yakin bahwa kedua lengannya akan dapat memeluk nona yang cantik jelita itu. Akan tetapi, pada detik terakhir, tahu-tahu tubuh nona itu hilang begitu saja dan sebelum dia dapat melihat dimana adanya nona itu, tiba-tiba kaki nona itu menyambar dari samping dan menyambar dadanya.
"Desss...!" Tendangan itu keras sekali. Tubuhnya yang pendek itu terjengkang dan si muka kanak-kanak itu roboh dan pingsan, mukanya seperti seorang anak kecil sedang tidur dengan nyenyak dan tenteramnya! Tentu saja peristiwa ini membuat semua orang terkejut dan sekaligus juga sadar bahwa dua orang dara yang hendak mereka permainkan itu ternyata adalah dua orang wanita yang memiliki kepandaian lihai! Mereka bukan hanya terkejut, akan tetapi juga merasa penasaran sekali melihat dua orang teman mereka dirobohkan, dan dengan muka berubah merah cemberut, lenyap semua kegembiraan tadi,
Belasan orang anak-buah perahu layar itu mengurung Pek Lian dan Bwee Hong! Tentu saja dua orang dara perkasa itupun siap-siap untuk menghadapi pengeroyokan. Orang-orang yang sebagian bertubuh katai itu mengurung makin ketat. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan dalam Bahasa Jepang. Bentakan itu halus, akan tetapi mengandung wibawa yang sedemikian hebatnya terhadap orang-orang itu karena mereka semua terkejut seperti diserang ular dan mereka semua serentak mundur, lalu berdiri tegak dan memandang dengan penuh ketaatan dan kehormatan kepada seorang laki-laki yang berpakaian indah bersikap agung, yang baru muncul dari dalam bilik perahu besar itu diiringkan oleh empat orang yang pakaiannya warna-warni dan menyolok sekali.
Empat orang ini bertubuh pendek gempal dan nampaknya kokoh kuat, dipinggang mereka tergantung pedang panjang melengkung yang ujungnya terseret diatas lantai perahu! Perahu layar besar mewah itu adalah milik laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang baru muncul ini. Dia seorang Pangeran Jepang yang melakukan pelayaran menuju kedaratan Tiongkok untuk mengunjungi Kaisar dengan membawa banyak barang-barang berharga yang akan dihadiahkan kepada Kaisar. Empat orang pengawalnya adalah jagoan-jagoan samurai. Ketika sang pangeran ini mendengar suara ribut-ribut diluar dan setelah dia keluar melihat dua orang dara cantik dikurung oleh anak-buah perahu, dia menjadi tertarik sekali dan menyuruh para anak-buahnya mundur.
Dia sendiri memandang kepada dua orang nona cantik itu, maklum bahwa mereka tentulah dua orang dara berbangsa Han dan melihat sikap mereka, tentulah dua orang nona ini merupakan dua orang wanita petualang yang memiliki ilmu kepandaian silat. Sudah banyak sang pangeran ini mendengar tentang ahli-ahli silat diTiongkok, dan tentang pendekar-pendekar wanita. Hatinya tertarik sekali, terutama kepada Pek Lian yang dianggapnya memiliki sifat kegagahan yang amat mengagumkan hatinya disamping kecantikannya. Maka, kalau dia dapat menawan dua orang dara ini, tentu akan menjadi suatu kebanggaan baginya kalau pulang kelak, sebagai hasil perjalanan jauh ini yang paling menyenangkan dan mengesankan hatinya.
Diantara para selirnya, tidak terdapat seorang pendekar wanita dan betapa akan bangga hatinya memiliki selir yang selain cantik juga berkepandaian silat tinggi seperti dua orang dara ini. Maka, dengan senyumnya yang khas, senyum seorang Pangeran Jepang yang hanya merupakan gerakan bibir terbuka saja, seperti topeng tersenyum, pangeran itu melangkah maju menghadapi Pek Lian dan Bwee Hong, lalu mengangguk dengan sikap ramah. sebelum meninggalkan negerinya untuk menghadap Kaisar Tiongkok, tentu saja pangeran ini lebih dulu telah mempelajari bahasa dari negara yang hendak dikunjunginya, dan kini dia berkata dengan suara dan sikap halus, kata-katanya teratur rapi seperti kata-kata seorang yang menguasai bahasa asing melalui pelajaran, bukan karena praktek.
"Harap nona berdua sudi memaafkan kekasaran orang-orang kami. Akan tetapi mereka itu menentang nona berdua karena perahu nona menumbuk perahu kami."
"Hemm, dalam hal ini perahu siapa yang menumbuk perahu siapa? Agar tidak menuduh yang bukan-bukan dan sembarangan saja!" bantah Pek Lian sambil memandang kepada laki-laki itu dengan penuh perhatian.
Juga Bwee Hong memandang dengan heran. Laki-laki itu berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, pakaiannya dari sutera halus dengan potongan aneh-aneh. Wajah orang itu dapat dikatakan tampan dan berwibawa, dengan jenggot yang dicukur dengan bentuk aneh pula. Rambutnya digelung keatas dengan hiasan beberapa batang tusuk konde kemala, akan tetapi dahi yang teramat luas itu jelas merupakan dahi buatan, yaitu sebagian besar dari rambut diatas dahi itu dicukur sehingga dahi kelihatan tinggi dan luas! Diam-diam dua orang dara itu merasa geli dan juga heran. Laki-laki ini termasuk tinggi diantara teman-temannya, setinggi Pek Lian, sedangkan yang lain-lain itu jauh lebih pendek. Pangeran itu menarik napas panjang.
"Kami sudah menerima laporan dan ternyata bahwa perahu nona tidak memakai lampu. Jadi, tabrakan ini jelas sekali terjadi karena kelalaian nona." Pek Lian tidak dapat membantah. Bagaimanapun juga, ucapan itu memang benar, perahunya tidak mempunyai lampu penerangan sehingga kalau orang-orang ini menabrak perahunya, mereka tidak dapat terlalu disalahkan.
"Memang perahuku tidak mempunyai penerangan. Lalu, setelah terjadi tabrakan, apakah sudah sepatutnya kalau anak-buahmu hendak menggulingkan perahuku? Aturan mana itu?" kata Pek Lian marah.
"Itupun hanya akibat dari pada tabrakan perahu, nona. Dan nona sudah merasa betapa kesalahan berada dipihak nona karena tidak adanya lampu penerangan. Kemudian nona malah naik kesini dan merobohkan dua orang kami." Pek Lian menjadi marah. Dia menegakkan kepalanya dan memandang tajam.
Pendekar Tanpa Bayangan Eps 9 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16