Darah Pendekar 18
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
"Kita kemana, adik Lian?" tanya Bwee Hong. Karena tidak melihat seorangpun penjaga. Pek Lian berbisik memberitahukan rencananya,
"Kita harus dapat cepat meninggalkan pulau ini sebelum ketahuan. Kita naik perahu dan mencari Istana Laut dimana tinggal Si Rajawali Lautan!"
"Kau tahu juga?"
"Aku tadi ikut mendengarkan cerita lamsiauw-ong. Tapi kita harus mempunyai seorang petunjuk jalan. Kita tawan seorang anggauta bajak dan memaksanya membawa kita kesana. Nah, mari ikuti aku, enci, dan berhati-hatilah. Sekali ketahuan dan kita dikepung, akan sukar sekali meloloskan diri."
Dengan Pek Lian menjadi petunjuk jalan didepan karena Pek Lian sudah mulai mengenal tempat itu, mereka menuju kebelakang gedung besar itu, ditempat sunyi dari mana Pek Lian tadi datang dan bersembunyi. Mereka berdua mendekam dibalik pohon dalam taman batu karang, pohon buatan dari batu karang pula dan menanti. Tak lama kemudian rombongan penjaga meronda lewat dan kedua orang gadis itu membiarkan mereka lewat tanpa mengganggu. Setelah keadaan sunyi kembali dan aman, barulah Pek Lian mengajak Bwee Hong melanjutkan perjalanan. Dengan berindap-indap dan hati-hati, mereka menyelinap dan menyusup, menuju kepantai. Untung bagi mereka bahwa pantai itu gelap dan malam hanya diterangi bintang saja. Dipantai itu terdapat banyak perahu dan terdapat pula beberapa orang anggauta bajak yang hilir-mudik, dan ada pula yang bertugas menjaga pantai.
"Enci, kita harus dapat menangkap seorang"
"Lian-moi, sekarang giliranku. Engkau sudah terlalu banyak bekerja, dan aku hanya menyusahkan saja. Sekarang biarkan aku yang turun tangan menangkap seorang bajak." Pek Lian mengangguk. Sudah tentu saja ia percaya akan kemampuan Bwee Hong dan kalau ia menolak permintaan itu, mungkin saja Bwee Hong akan tersinggung dan merasa tidak percaya.
"Baiklah, enci Hong, asal engkau berhati-hati saja. Aku menanti disini," bisiknya kembali. Bwee Hong mengangguk dan tak lama kemudian dara itu berkelebat lenyap. Diam-diam Pek Lian merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Bwee Hong terutama sekali amat unggul dalam ilmu ginkangnya.
Ia sendiri kalah jauh dibandingkan dengan Bwee Hong walaupun ia sendiri telah menerima gemblengan dari Huang-ho suhiap (Empat Pendekar Huang-ho) bahkan kemudian diperdalam oleh bimbingan Liu-twako atau Liu-taihiap. Akan tetapi kalau diingat bahwa Bwee Hong mewarisi ilmu keturunan dari mendiang Sin-yok-ong, maka kehebatan ginkangnya itu memang tidaklah mengherankan. Betapapun juga, Pek Lian merasa tidak enak kalau membiarkan sahabatnya itu bekerja tanpa perlindungannya, maka diam-diam iapun membayangi. Ia melihat Bwee Hong telah berada diujung pantai, agaknya mendekati dua orang penjaga yang terpencil. Dara itu mengambil dua potong batu karang sebesar kepalan tangan, kemudian mengayun tangannya kekanan kiri. Terdengarlah dua suara berisik berturut-turut dikanan kiri tempat itu.
"Eh, apa itu?" terdengar dua orang penjaga bertanya kaget dan merekapun lalu bangkit berdiri dan berpencar kekanan kiri, hendak memeriksa apa gerangan yang menimbulkan bunyi berisik tadi. Setelah jarak antara mereka cukup jauh, tiba-tiba Bwee Hong meloncat kedepan dan sebelum orang itu sempat berteriak, ia sudah merobohkannya dengan pukulan pada tengkuknya, menggunakan tangan miring. Orang itu roboh pingsan lalu dara cantik dan perkasa itu menyeretnya pergi ketempat semula ia meninggalkan Pek Lian. Akan tetapi, Bwee Hong merasa kaget ketika ia tidak mendapatkan lagi Pek Lian ditempat itu. Ia melemparkan tubuh orang yang pingsan itu keatas tanah dan ia sendiri lalu berdiri dan memandang kesana-sini, mencari-cari Pek Lian. Tak lama kemudian, muncullah Pek Lian dan dara ini tersenyum, menyerahkan sebatang pedang kepada Bwee Hong.
"Ih, engkau membuatku gelisah, adik Lian. kemana saja engkau pergi dan dari mana kau mendapatkan pedang ini?" Sambil berbisik Pek Lian menceritakan bahwa ketika melihat Bwee Hong merobohkan seorang diantara dua penjaga, ia berpendapat bahwa kalau penjaga kedua tidak dirobohkan pula, tentu penjaga itu akan kehilangan kawannya dan menjadi curiga.
"Karena itu, aku merobohkannya, dan kini dia tersembunyi dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terikat, mulutnyapun kusumbat. Selain itu, juga pedangnya ini tentu berguna bagimu. Aku sendiri sudah mengambil pedang dari gudang senjata. Mari kita kerjakan tawanan itu, enci!" Bwee Hong menerima pedang dan semakin kagum. Sungguh seorang dara muda yang cerdas sekali, pikirnya. Ia sendiri sama sekali tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu dan kalau tidak bersama Pek Lian, mungkin perbuatannya menawan seorang bajak ini akan cepat ketahuan dan hal ini tentu akan membahayakan sekali. Maka iapun menyerahkan segala sesuatu selanjutnya kepada Pek Lian, juga ketika "mengerjakan" tawanan itu. Dengan beberapa kali tepukan, Pek Lian menyadarkan tawanan itu, akan tetapi begitu orang itu membuka mata, ujung pedang ditangan Pek Lian telah menempel dilehernya.
"Engkau tentu belum ingin mati, bukan?" bisiknya dengan suara penuh ancaman. Orang itu terkejut sekali, apa lagi ketika merasa betapa lehernya sakit tertusuk benda tajam.
"Belum, ampunkan aku " bisiknya.
"Baik, kamipun tidak ingin membunuhmu. kami hanya ingin engkau membantu kami melarikan diri dari sini. Kalau sampai kami berhasil lolos dengan selamat, engkau akan kami ampuni dan tidak kami bunuh. Mengerti?" Bajak itu mengangguk dan matanya terbelalak ketakutan.
"Ampun... aku mempunyai anak isteri, ampunkan aku dan aku akan berusaha membantu ji-wi lihiap (nona pendekar berdua)."
"Bagus! Nah, sekarang kita harus dapat menggunakan sebuah perahu untuk melarikan diri. Hayo bawa kami mendapatkan sebuah perahu yang baik. Awas, jangan sampai ketahuan kawan-kawanmu, karena kalau ketahuan, terpaksa aku akan membunuhmu lebih dulu sebelum kami mengamuk dan membasmi mereka semua!"
"Baik, saya tidak berani menipumu, nona, saya masih ingin hidup."
"Kalau begitu, mari kita kesana," Pek Lian menunjuk kekiri, ketempat yang nampaknya sunyi untuk mencari perahu disana.
"Tidak, disana berbahaya."
"Mengapa?" Pek Lian menghardik.
"Di sana sunyi tidak nampak penjaga dan kulihat ada beberapa buah perahu disana." Ia merasa curiga.
"Jangan salah duga, nona. Disana ada penjaga-penjaga tersembunyi, memang disengaja karena semua pelarian tentu akan mencari perahu disana. Tidak, mari kita mencari kesana." Orang itupun menunjuk kekanan, arah sebaliknya dari yang dikehendaki Pek Lian. Sebelah kanan itu nampak ramai oleh hilir-mudiknya para anggauta bajak. Tentu saja dia dan Bwee Hong meragu. Melihat keraguan mereka, bajak yang sudah tertawan itu berkata,
"Tentu ji-wi mengetahui bahwa sekali saya menipu, ji-wi akan membunuh saya. Marilah, saya tidak menipu, saya masih sayang nyawa." Pek Lian dan Bwee Hong menurut, akan tetapi mereka tidak pernah melepaskan pedang yang selalu siap untuk menyerang bajak ini kalau-kalau dia mengkhianati mereka.
Akan tetapi, setelah melalui jalan berliku-liku, akhirnya bajak itu dapat menemukan sebuah perahu dan tidak ada seorangpun penjaga disitu. Cepat dia melepaskan tali perahu dan mereka bertiga lalu naik kedalam perahu dan mereka bertiga bekerja-sama mendayung perahu itu meninggalkan pantai. Karena langit mulai penuh dengan awan hitam, dan cahaya bintang-bintang dilangit yang sudah muram itu kini menjadi semakin gelap, maka hal ini amat menguntungkan mereka yang sedang berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba bajak itu mengeluarkan seruan kaget dan nampak panik. Sungguh tidak kebetulan sekali, dari depan datang meluncur empat buah perahu bajak yang baru saja pulang! Tentu saja hal ini sama sekali tidak disangka-sangkanya.
"Celaka, kita ketahuan!" katanya dan diapun mendayung perahu itu dengan sepenuh tenaga. Dan memang benar. Dari perahu-perahu itu terdengar bentakan-bentakan dan perahu-perahu itupun lalu memutar haluan dan melakukan pengejaran! Melihat ulah si bajak yang mati-matian mendayung perahu itu, Pek Lian dan Bwee Hong maklum bahwa bajak itu tidak mengkhianati mereka dan memang pertemuan dengan perahu-perahu bajak itu merupakan hal yang tidak disangka-sangka dan diluar perhitungan, maka mereka berduapun lalu membantu bajak itu mendayung perahu menambah lajunya perahu yang hanya terdorong oleh sedikit angin pada layar terkembang yang hanya kecil itu. Akan tetapi, begitu mendapat bantuan dua orang dara perkasa itu, perahu kecil melaju lebih cepat dan empat buah perahu bajak yang lebih besar dengan layar yang lebih lebar itu tertinggal.
Mereka berteriak-teriak dan kini merekapun mengerahkan anak-buah bajak untuk mendayung sehingga kembali jarak diantara mereka tidak begitu jauh. Kalau pengejaran itu terjadi didarat, tentu Pek Lian dan Bwee Hong takkan merasa gentar. Mereka berdua dapat melarikan diri lebih cepat, dan kalau perlu harus bertanding sekalipun, mereka tidak takut menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih bajak-bajak ini. Akan tetapi, mereka berada diatas perahu-perahu ditengah lautan, daerah yang asing bagi mereka dan kalau sampai mereka dapat disusul, tentu keadaan mereka berbahaya sekali. Para bajak itu tentu saja lebih mahir menjalankan perahu dan lebih mahir pula berkelahi dalam air kalau sampai perahu itu digulingkan. Maka Pek Lian dan Bwee Hong lalu mati-matian mengerahkan tenaga untuk mendayung perahu kecil itu.
"Cepatan! Cepatan lagi! Ah, untung ji-wi sungguh hebat dapat mendayung begini kuat... ah, kita dapat meninggalkan mereka!" Bajak itu terengah-engah memuji karena memang dia kagum sekali terhadap dua orang gadis ini.
(Lanjut ke Jilid 13)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 13
Sementara itu, langit makin gelap karena berkumpulnya awan-awan mendung dan tiba-tiba perahu mereka terguncang keras dan terayun tinggi, mengejutkan Pek Lian dan Bwee Hong.
"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada bajaik itu.
"Alih, sungguh nasib kita yang buruk. Agaknya sebentar lagi badai akan mengamuk dan ini tidak kalah bahayanya dari pada pengejaran mereka itu! Cepat bantu saya menurunkan layar, nona. Cepat sebelum badai melanda kita!" Karena maklum akan kemahiran bajak itu menangani perahu, Pek Lian dan Bwee Hong cepat membantunya dengan membuta dan memang benar sekali, air laut bergelombang hebat dan angin menderu kencang.
Kalau layar masih terpasang, entah apa akan jadinya dengan perahu kecil itu! Mereka bertiga kini mengemudikan perahu dan berusaha menguasainya dengan kekuatan dayung mereka, agar perahu itu tetap berada diatas puncak ombak-ombak yang mengalun ganas. Empat buah perahu bajak yang melakukan pengejaran tadipun tahu akan bahaya dan mereka sudah sejak tadi putar haluan meninggalkan perahu kecil yang ditelan badai itu. Semalam suntuk tiga orang dalam perahu kecil itu berjuang melawan badai lautan yang mengga-nas. Demikian hebatnya hempasan badai sehingga tiang layarpun patah! Kalau saja tidak ada Bwee Hong yang cepat menangkis tiang itu dengan lengannya yang kecil dan berkulit halus, tentu tiang itu akan menimpa kepala bajak itu.
"Krekkk!" Tiang sebesar paha itu patah ketika bertemu dengan lengan Bwee Hong sehingga bajak laut itu menjadi semakin kagum.
Mereka terus mempertahankan perahu mereka agar tidak sampai terbalik sampai mereka hampir kehabisan tenaga dan napas. Mereka tidak tahu lagi dimana mereka berada. Sekeliling mereka hanya ada air mengganas, bahkan diantara mereka nampak puncak-puncak ombak dengan lidah-lidah yang terjulur dari sana-sini seolah-olah hendak menelan mereka. Mereka tentu telah terseret jauh sekali. Untung bagi mereka, pada keesokan harinya, bersama dengan munculnya matahari diufuk timur, badai mereda dan air laut menjadi tenang kembali. Mereka bertiga, dibawah pimpinan si anggauta bajak yang lebih paham akan perahu, mulai beru-saha memperbaiki perahu sedapat mungkin. Untung bahwa mereka berjuang dengan gigih sehingga dayung dayung tetap berada ditangan mereka, bahkan gulungan layar dan tiang yang patah tidak sampai lenyap terbawa air.
"Memang bulan ini merupakan permulaan musim banyak topan dan badai. Tidak saya kira bahwa malam ini mulainya. Perahu-perahu tadi adalah perahu terakhir yang berani berlayar ketengah laut. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada nelayan yang berani berlayar mencari ikan terlalu jauh, bahkan kamipun lebih banyak berdiam dipulau, menanti lewatnya musim badai." Dua orang dara perkasa itu tidak menanggapi omongan ini, diam-diam mereka bersyukur bahwa mereka dapat lobos dari lubang jarum, bolos dari ancaman maut yang mengerikan ditelan badai. Dan bagaimanapun juga, anggauta bajak ini sudah berjasa, karena tanpa adanya orang ini, mereka berdua belum tentu akan mampu mempertahankan perahu kecil itu.
Pek Lian agak paham tentang perahu dan lautan, sedangkan Bwee Hong baru saja belajar mengenal air dan perahu setelah pergi bersamanya. Mereka berdua kini sibuk membersihkan pakaian mereka yang basah dan kotor. Melihat betapa dua orang nona itu tidak menanggapi ucapannya, bajak itupun berdiam diri dan melanjutkan pekerjaannya memperbaiki perahunya yang rusak diamuk badai. Dua orang gadis itu saling pandang. Bajak laut ini bagaimanapun juga menarik hati mereka. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, agak kurus dan kulit mukanya kehitaman karena terlalu banyak dibakar matahari. Yang menarik adalah sikapnya yang sama sekali berbeda dengan penjahat pada umumnya. Tidak kurang ajar pandang matanya, tidak kasar bicaranya dan tidak ugal-ugalan sikapnya.
"Paman, sudah berapa lamakah engkau menjadi bajak laut?" Akhirnya Pek Lian bertanya setelah selesai membereskan pakaian dan rambutnya. Orang itu mengangkat mukanya memandang, agaknya terkejut mendengar dirinya disebut paman.
"Sudah lama juga, nona. Belasan tahun sudah."
"Mengapa engkau menjadi bajak laut? Dan engkau tidak seperti bajak laut yang kasar itu."
"Nona, tidak semua anak-buah lamsiauw-ongya berasal dari penjahat. lamsiauw-ongya sendiri bukan berasal dari penjahat, bahkan masih ada darah bangsawan dalam tubuhnya. Kami menganggap pembajakan dilaut ini sebagai pekerjaan, bukan sebagai kejahatan. Kami tidak pernah mengganggu para nelayan, baik dilautan maupun dipantai."
"Huh, membajak masih dikatakan bukan kejahatan? Lalu apa saja yang dinamakan kejahatan kalau merampok barang orang dengan kekerasan tidak dianggap kejahatan?" Bwee Hong berkata dengan suara mengejek. Bajak itu menarik napas panjang.
"Entahlah, nona, saya sendiripun tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi, sebelum saya menjadi anggauta bajak dan mengabdi kepada Siauw-ong-ya, saya pernah hidup sebagai anak keluarga petani. Saya melihat kejahatan-kejahatan yang lebih ganas dan kejam dilakukan oleh para tuan tanah dan para pejabat terhadap keluarga petani miskin yang tidak mempunyai tanah, yang hanya mengandalkan tenaga dan cucuran keringat mereka untuk dapat makan setiap hari. Membajak memang merampas milik orang lain, akan tetapi setidaknya kami memberi kesempatan yang sama kepada pemilik barang untuk mempertahankan barang-barangnya. Akan tetpi, para tuan tanah dan pejabat didusun-dusun itu seperti lintah yang menghisap darah para keluarga petani, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada para petani untuk dapat memperjuangkan hak dan nasibnya. Saya melihat mereka itu jauh lebih kejam dan jahat dari pada bajak!" Anggauta bajak itu berhenti sebentar dan dua orang dara itu termenung karena merekapun pernah mendengar tentang kesewenang-wenangan mereka yang mengandalkan kekayaan atau kekuasaan mereka.
"Kemudian, dari dusun saya pernah pindah kekota dan hidup sebagai buruh kasar. Dan disanapun saya menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa, dilakukan oleh semua orang kepada orang lain dalam memperebutkan uang dan kekuasaan. ji-wi lihiap, harap maafkan saya. Akan tetapi sesungguhnya, katakanlah bahwa pembajakan merupakan kejahatan, namun kejahatan yang sifatnya terbuka, tidak seperti kejahatan orang-orang itu yang melakukan kejahatan secara gelap dan terselubungi bahkan kadang-kadang kejahatan mereka dilindungi oleh hukum."
Dua orang dara itu kembali saling pandang. Mereka mendengar akan kekejaman-kekejaman para pembesar bahkan kekejaman yang dilakukan Kaisar. Bukankah semua itupun merupakan kejahatan, bahkan amat besar, jauh lebih besar dari pada kejahatan para bajak laut ini yang hanya mempergunakan kesempatan dan mengandalkan tenaga mereka untuk merampas barang orang, dan kadang-kadang kalau pihak pemilik barang lebih kuat, mereka akan mati konyol? Kata-kata bajak yang sederhana itu sama sekali bukan merupakan pembelaan diri seorang penjahat,
Bukan untuk membenarkan perbuatannya, melainkan timbul karena kepahitan melihat kenyataan yang terjadi didalam dunia ramai yang sopan. Dan kepahitan-kepahitan macam ini sering kali mendorong orang untuk menjadi penjahat secara berterang! Pek Lian teringat akan para pendekar yang berkumpul digunung-gunung dan lembah-lembah sungai. Bukankah mereka itu melakukan gerakan menentang pemerintah karena kepahitan itu, dan bukankah merekapun dicap sebagai pemberontak-pemberontak, yaitu golongan yang dianggap paling rendah dan paling berdosa, lebih rendah dari pada perampok atau bajak? Dan bukankah kalau perlu para pendekar yang memberontak itupun akan melakukan perampokan-perampokan dan pembajakan-pembajakan untuk menentang pemerintah? Sampai disini jalan pikirannya, Pek Lian menjadi bingung.
"Dimanakah kita sekarang, paman?" tanyanya dan suaranya kini lebih ramah, tidak seperti suara orang terhadap musuh yang ditawan, melainkan suara orang terhadap teman seperjalanan, bahkan teman senasib. Setelah mengalami ancaman badai seperti yang telah terjadi semalam, orang-orang yang bersama-sama mengalaminya terdorong untuk menjadi lebih erat dan akrab. Mendengar pertanyaan itu, si bajak laut agaknya baru sadar dan diapun memandang kekanan kiri sambil berkata,
"Aih, kita sudah terseret jauh ketimur oleh badai semalam, nona. Dan kita harus berhati-hati daerah ini agaknya telah dekat dengan" bajak laut itu berhenti bicara dan mukanya berobah pucat sekali ketika tiba-tiba terdengar suara bising yang gemeresak disertai suara melengking dan mengiang seperti suara suling yang ditiup secara aneh sekali, makin lama makin nyaring. Sikip bajak laut itu menjadi semakin aneh. Tubuhnya menggigil dan matanya beringas, memandang kekanan kiri dengan sikap yang amat ketakutan. Melihat ini, tentu saja dua orang dara itu menjadi terkejut dan khawatir juga.
"Paman, ada apakah?" Pek Lian bertanya.
"Nona cepat cepat belokkan arah pe rahu! Itulah yang kumaksudkan yang kutakuti suara itu"
"Ah, daerah ini termasuk daerah Siluman Lautan! Itu adalah suara pintu masuk sarang mereka. Pusaran Maut! Dalam jarak selemparan batu, tidak ada benda atau mahluk yang mampu terlepas dari daya sedotnya. Mari kita menghindar cepat, nona!" Tentu saja Pek Lian tidaklah setakut orang itu. Bukan hanya karena ia lebih tabah dan sudah terlalu sering menghadapi ancaman bahaya dengan mata terbuka, akan tetapi juga karena ia belum mengenal tempat ini dan karenanya ia tidak begitu percaya akan keterangan orang itu. Akan tetapi tiba-tiba ia dan Bwee Hong melihat dikejauhan ada kabut tebal membubung tinggi berbentuk tiang layar yang luar biasa besarnya dan mengeluarkan suara gemuruh. Dua orang dara itu menjadi terkejut dan gentar juga, mulai percaya akan keterangan bajak laut itu.
Jangan-jangan keterangan itu tidak bohong! Mereka lalu cepat-cepat membantu untuk memutar haluan perahu mereka. Bajak laut itu berhasil memperbaiki perahu dan memasang tiang layar darurat, lalu mereka memasang layar sedapatnya. Layar itu tertiup angin dan perahupun meluncur menjauhi tempat yang berbahaya itu sampai akhirnya kabut itu tidak nampak lagi dan suara gemuruhpun tidak lagi terdengar oleh mereka. Perahu mereka meluncur kearah utara ketika mereka menghindarkan diri dari kabut mengerikan tadi dan tiba-tiba dari jauh nampak sebuah perahu besar yang berlayar menuju keselatan. Karena perahu itu masih terlampau jauh untuk dapat dilihat dari atas geladak, bajak laut itu lalu memanjat tiang layar dan melindungi kedua mata dari sinar matahari untuk mempelajari keadaan perahu dari jauh itu.
"Itu perahu asing dan membawa banyak perajurit asing!" akhirnya dia berkata kepada dua orang pendekar wanita yang berada diatas geladak.
"Ah, apakah mereka itu pasukan Jepang, jagoan-jagoan samurai?" tanya Pek Lian yang teringat akan pengalamannya bertemu dengan perahu Jepang.
"Bukan, nona. Kalau tidak salah mereka itu tentulah orang-orang dari daerah utara, jauh diluar tembok besar. Lebih baik kita menghindar saja, jangan sampai bertemu dengan mereka yang sebentar lagi tentu akan berpapasan dengan perahu kita."
Akan tetapi, agaknya para penumpang perahu besar itu sudah melihat mereka dan memang benar, perahu dari depan itu memotong jalan! Dan kini nampak ada beberapa orang yang berada dipuncak tiang layar mengamati perahu kecil yang ditumpangi Pek Lian dan Bwee Hong. Tidak ada kesempatan untuk menghindar lagi dan jelaslah bagi dua orang nona itu bahwa perahu besar dari depan itu memang sengaja memotong jalan perahu kecil mereka! Dan bajak laut itu sibuk untuk berusaha menghindarkan perahunya ditabrak perahu besar itu. Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap dengan pedang ditangan, berdiri digeladak perahu kecil dan memandang marah. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari perahu besar dan muncullah beberapa orang yang segera meluncurkan anak panah kearah perahu kecil.
"Keparat! Mereka menyerang dengan anak panah!" teriak Pek Lian dan bersama Bwee Hong ia segera memutar pedang untuk meruntuhkan semua anak panah yang menyambar. Akan tetapi, sungguh kasihan sekali nasib bajak laut itu. Sebatang anak panah menembus dadanya. Dia berteriak keras dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu, tercebur kedalam lautan.
"Manusia-manusia jahanam!" Bwee Hong juga memaki marah.
Kini perahu kecil itu sudah dekat sekali dan nampak orang-orang tinggi besar yang menuding-nuding kearah mereka, wajah mereka menyeringai dan pandang mata mereka kurang ajar. Terdengar pula teriakan-teriakan mereka untuk menawan dua orang nona cantik itu hidup-hidup! Bahkan dua orang diantara mereka dengan tidak sabar telah meloncat turun keperahu kecil. Tubuh mereka yang besar dan loncatan mereka yang kasar membuat perahu kecil hampir terguling, akan tetapi dua batang pedang berkelebat dan tubuh kedua orang kasar itu sudah terguling kedalam lautan dengan mandi darah. Pek Lian dan Bwee Hong sudah menjadi marah sekali karena mereka tadi diserang anak panah yang mengakibatkan bajak laut itu tewas. Karena mereka maklum bahwa perahu kecil mereka bukan merupakan tempat yang tepat untuk berkelahi, Pek Lian berseru,
"Enci Hong, kita naik dan serbu!" Dua orang dara perkasa itu lalu meloncat keatas perahu besar dan kembali, seperti pernah mereka lakukan diperahu orang-orang Jepang, mereka mengamuk. Mereka segera dikeroyok oleh belasan orang perajurit asing yang merasa terkejut karena sama sekali tidak mengira bahwa dua orang wanita penumpang perahu kecil itu selain cantik jelita, juga memiliki kepandaian sedemikian hebatnya. Dan kini Pek Lian dan Bwee Hong sudah marah sekali. Pedang mereka berkelebatan dahsyat dan diantara para pengeroyok sudah ada enam orang yang roboh terluka oleh sambaran pedang mereka.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang laki-laki yang berpakaian preman, tidak seperti para pengeroyok yang berpakaian seragam. Dua orang ini mempunyai rambut, jenggot dan kumis yang lebat namun berwarna agak keputih-putihan, dan muka mereka merah kekanak-kanakan. Tubuh mereka tinggi besar akan tetapi mata mereka kecil. Begitu kedua orang ini membentak, semua pengeroyok mundur dengan sikap hormat dan kini dua orang laki-laki tinggi besar itulah yang menerjang dan menghadapi Pek Lian dan Bwee Hong. Mereka berdua tidak bersen-jata, akan tetapi dua pasang tangan telanjang itu berani menangkis pedang dan setiap kali tangan mereka bertemu dengan pedang, terdengar suara nyaring dan pedang ditangan kedua orang dara itu terpental seolah-olah bertemu dengan benda-benda keras yang amat kuat!
Tentu saja Pek Lian dan Bwee Hong terkejut dan mereka mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan semua tenaga mereka. Dan agaknya mereka berdua itu hanya lebih unggul dalam hal kecepatan saja, akan tetapi kalah tenaga dan semua kecepatan mereka tertumbuk kepada kekebalan dua orang tinggi besar ini! Bwee Hong dan Pek Lian terdesak hebat dan mereka terpisah. Pek Lian didesak sampai terpaksa menggunakan kecepatan gerakannya lari kesana-sini dan 'mengelak dari pukulan-pukulan yang amat kuat dari lawannya. Ia berloncatan dan masuk kelorong-lorong bilik perahu besar itu, terus dikejar dan didesak oleh lawannya. Ketika gadis ini meloncat lagi untuk menghindar dan hampir menabrak pintu sebuah bilik, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki menegur dari dalam bilik itu.
"Hei, siapa ribut-ribut diluar itu? Pergi dan jangan ganggu aku! Aku tidak sudi dibujuk lagi!" Lalu terdengar suara seperti pukulan dan suara orang itu tidak terdengar lagi. Pek Lian tertegun dan matanya terbelalak, mukanya pucat sekali dan pada saat itu, pukulan lawannya menyambar. Untung bahwa ia masih sempat membuang diri kebelakang sehingga ia terhuyung dan hampir jatuh, akan tetapi selamat dari pukulan dahsyat yang datang pada saat ia tertegun dan terkejut itu. Jantungnya masih berdebar kencang, bukan karena ia hampir saja terkena hantaman lawan, melainkan karena suara itu! Suara itu adalah suara ayahnya! Tidak salah lagi! Ia mengenal benar suara ayahnya! Akan tetapi mana mungkin? Ayahnya diperahu orang asing ini?
"Wuuuttt... krakkkk!" Pedangnya menyambar kearah lawan dan ketika lawan mengelak, ia melanjutkan pedang itu menyambar pintu sehingga pintu bilik itu roboh. Akan tetapi didalam bilik dari mana tadi terdengar suara ayahnya, tidak nampak seorangpun. Ia melihat pintu belakang dalam bilik itu telah terbuka lebar. Karena perhatiannya terpecah, tentu saja Pek Lian menjadi semakin terdesak. Kembali lawan yang amat tangguh itu menerjang dengan tendangan kakinya yang besar, kuat dan berat. Pek Lian meloncat kebelakang dan hampir terjatuh oleh tambang yang melintang dibelakangnya. Ketika ia berdiri lagi, ternyata ia telah berada ditepi perahu!
"Lian-moi, hati-hati!" Terdengar suara Bwee Hong. Nona yang memiliki ilmu lebih lihai dari pada Pek Lian inipun terdesak, akan tetapi dengan kecepatan gerakan tubuhnya, Bwee Hong dapat berloncatan dan seperti mempermainkan lawan yang terlalu lamban untuk dapat mengikuti gerak-geriknya.
Betapapun juga, Bwee Hong juga maklum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan raksasa berambut putih itu, maka ketika ia melihat Pek Lian terdesak hebat, ia cepat melompat dekat dan pada saat lawan mereka menerjang lagi, melihat mereka telah tersudut ditepi perahu, Bwee Hong berteriak nyaring dan mendorong tubuh Pek Lian keluar dari dalam perahu itu! Setelah Pek Lian terjatuh kedalam air diluar perahu, Bwee Hong sendiripun lalu meloncat keluar. Tubuh mereka diterima oleh air bergelombang dan sebentar saja terseret jauh dari perahu. Seorang ahli renang sekalipun takkan banyak dapat berdaya kalau melawan gelombang lautan, apa lagi dua orang dara itu yang kepandaian renangnya hanya amat terbatas.
Mereka berusaha untuk melawan gelombang dan untuk tidak sampai berjauhan, akan tetapi ombak menyeret mereka dan membuat mereka saling terpisah sampai jauh dan akhirnya Pek Lian tidak dapat melihat temannya itu lagi. Karena merasa khawatir, juga lelah dan tidak melihat harapan untuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman lautan luas itu, akhirnya Pek Lian tidak sadarkan diri. Tubuhnya hanyut dan dipermainkan air, dilemparkan tinggi-tinggi lalu dihempaskan kembali, ditelan dan dimuntahkan kembali! Telah banyak sekali terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang aneh dan luar biasa yang mengantar manusia kepada kematiannya atau sebaliknya yang menghindarkan manusia dari pada ancaman maut yang nampaknya sudah tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Banyak sekali orang yang tewas dalam keadaan yang tidak tersangka-sangka sama sekali, bahkan dalam keadaan jasmani yang nampaknya segar-bugar dan sehat, banyak pula yang mati secara mendadak oleh kejadian-kejadian yang aneh dalam kecelakaan-kecelakaan maupun bencana-bencana alam. Akan tetapi sebaliknya, banyak pula orang yang terancam bahaya maut, yang nampaknya sudah tidak mungkin dapat dielakkan lagi, secara aneh pula terhindar dari kematian. Orang yang menderita sakit yang sudah terlalu parah, dapat saja sembuh secara aneh dan kebetulan, atau orang yang sudah dianggap tidak ada harapan lagi untuk ditolong kemudian ternyata dapat terhindar dari maut hanya karena hal-hal yang "Kebetulan" dan sederhana.
Semua ini merupakan sesuatu yang mujijat, yang aneh dan yang diliputi rahasia yang sudah terlalu sering diselidiki orang dan hendak ditembusnya. Segala hal yang belum dimengerti selalu menimbulkan berbagai pendapat, rekaan, dan dipandang sebagai hal yang mujijat dan aneh. Padahal, segala sesuatu yang terjadi didalam alam ini adalah WAJAR, dan setiap peristiwa itu tentu ada yang menyebabkannya. Hidup dan mati merupakan rangkaian yang tak terpisahkan, merupakan suatu pertumbuhan yang wajar. Kerusakan jasmani karena usia tua yang berakhir dengan kematian adalah lumrah dan dapat dimengerti dengan adanya kemajuan dalam ilmu tentang itu.
Akan tetapi, karena manusia selalu dikuasai oleh pikiran yang menciptakan "Aku," maka si aku inilah yang mencari-cari kemana dia akan pergi setelah jasmaninya berhenti hidup, setelah tubuhnya mati. Dan bayangan bahwa "Aku" akan hilang begitu saja membuatnya merasa ngeri dan takut. Kalau memang sudah tiba saatnya sang maut datang menjemputnya, walaupun kita bersembunyi didalam lubang semut, tetap saja nyawa kita akan direnggut. Sebaliknya kalau memang belum tiba saatnya mati, ada saja yang menjadi penolong diri. Karena ketidak-pengertian tentang rahasia saat kematian, kita lalu dengan mudah saja memakai istilah nasib dan takdir! Padahal, setiap peristiwa, juga kematian, tentu terjadi karena suatu sebab tertentu. Dan sebab-sebab itu terkumpul karena ulah kita sendiri.
Oleh karena itu, dari pada mencari-cari akal untuk mengungkapkan rahasia yang tidak mungkin dipecahkan selama kita masih hidup ini, lebih bermanfaat kalau kita selagi hidup menjaga diri, mengurangi hal-hal yang dapat menjadi bertambah banyaknya sebab-sebab yang dapat mengakibatkan kematian. Menurut perhitungan dan pendapat umum, orang yang dihanyutkan ombak ditengah lautan seperti yang dialami oleh Pek Lian, tentu dianggap sudah tidak ada harapan lagi untuk selamat. namun, ternyata Pek Lian belum mati! Ketika dara perkasa ini siuman dan membuka matanya, ia mendapatkan dirinya sudah berada diatas perahu. seorang nelayan tua dengan caping lebar, nampak sedang mendayung perahunya perlahan-lahan. Pek Lian masih rebah akan tetapi matanya sudah bergerak-gerak memandang kesana-sini, alisnya berkerut ketika ia mengumpulkan ingatannya.
"Ah, untung nona kuat sekali sehingga laut tidak mampu mengalahkamnu," kakek nelayan itu berkata mengangguk-angguk, kagum melihat betapa wanita muda yang ditemukannya hanyut oleh ombak dalam keadaan pingsan itu ternyata hanya menelan sedikit saja air dan kini bahkan sudah siuman kembali. Kini Pek Lian sudah teringat sepenuhnya dan tiba-tiba ia bangkit duduk dan memandang kekanan kiri, mencari-cari.
"Lopek telah menyela-matkan aku dari lautan?" Nelayan tua itu mengangguk.
"Nona hanyut dalam keadaan pingsan. Tadinya dari jauh kusangka seekor ikan mati. Ketika melihat pakaianmu, aku cepat mendekat dan untung saja engkau tidak dihanyutkan menjauh dan dapat kuraih dan kutarik kedalam perahu."
"Ah, terimakasih atas budi pertolonganmu, lopek. Akan tetapi apakah lopek tidak melihat sahabatku?"
"Sahabatmu? Siapakah yang nona maksudkan?"
"Sahabatku, seorang gadis juga. Kami berdua terjatuh dari atas perahu! Apakah lopek tidak melihatnya?" Nelayan tua itu menggeleng kepalanya dan mukanya membayangkan rasa duka.
"Hanyut oleh gelombang seperti itu, nona, sukarlah bagi seorang manusia untuk dapat menyelamatkan diri. Nona memiliki tubuh dan semangat yang kuat dan kebetulan sekali bertemu denganku, akan tetapi sahabatmu itu ah, agaknya sukar untuk dapat diharapkan" Pek Lian menutupi mukanya dengan kedua tangan. Matikah Bwee Hong? Ia merasa berduka sekali. Mencoba untuk menolong A-hai dan Seng Kun juga belum berhasil, kini malah kehilangan Bwee Hong! Betapa buruk nasib gadis cantik jelita itu. Tak terasa lagi, dari celah-celah jari tangannya nampak air mata menetes-netes. Pek Lian adalah seorang dara yang sudah banyak digembleng oleh kekerasan hidup dan sudah mengalami banyak hal yang menyedihkan, akan tetapi mengingat dan membayangkan betapa Bwee Hong tewas dicabik-cabik ikan hiu, ia tidak dapat menahan tangisnya lagi. Nelayan tua itu merasa kasihan.
"Nona. mari kau ikut bersamaku kedaratan un. tuk memulihkan kesehatanmu. Siapa tahu, secara aneh pula sahabatmu itu juga dapat diselamatkan. Kekuasaan Thian berada dimanapun juga, nona, dan lautan inipun hanya sebagian kecil saja dari pada kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki, mungkin saja sahabatmu itu masih hidup dan selamat."
Ucapan seorang yang percaya penuh akan kekuasaan Tuhan, ucapan sederhana namun dapat menyegarkan perasaan Pek Lian, dapat menumbuhkan tunas harapan dihatinya, dan sekaligus menyadarkannya bahwa berduka saja tidak ada gunanya sama sekali, bahkan hanya akan melemahkan dirinya lahir batin. Padahal, tugasnya masih banyak, masih bertumpuk. Bukan hanya mencoba untuk menolong Seng Kun dan A-hai, akan tetapi juga terutama sekali mencari ayahnya! Dan iapun teringat akan suara didalam perahu asing itu. Suara ayahnya! Maka iapun mengangguk dan menurut saja ketika diajak kembali kedaratan oleh si nelayan tua.
Yang dimaksudkan daratan oleh nelayan tua itu ternyata bukanlah daratan besar, melainkan sebuah pulau kecil yang dihuni oleh belasan orang keluarga saja, keluarga nelayan. Akan tetapi, ditempat sunyi sederhana dan miskin ini nampak pula kenyataan hidup bahwa kemiskinan lahiriah kadang-kadang menonjolkan kekayaan batiniah, sebaliknya kekayaan lahiriah kadang-kadang mendatangkan kemiskinan batiniah. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat sikap dan cara hidup orang-orang kota besar dan orang-orang didusun-dusun terpencil. Orang-orang kota sudah terbiasa hidup mewah, hidup bersaing dan memperebutkan kekayaan, bersaing dan bermusuhan, iri hati dan ketamakan, membuat mereka hidup menyendiri dan tidak mengacuhkan orang lain. Sebaliknya, kehidupan didusun-dusun terpencil, dimana orang-orang-hidup sederhana membuat mereka juga berbatin sederhana,
Tidak dijejali oleh banyak keinginan sehingga rasa persaudaraan dan kegotong-royongan menjadi tebal, lebih akrab dalam membagi suka dan duka diantara sesama manusia. Pek Lian merasakan benar hal ini ketika para nelayan miskin dipulau itu menyambutnya dengan gembira, dan ikut merasa bersyukur mendengar betapa gadis yang telah hanyut dipermainkan gelombang lautan ini masih dapat tertolong dan selamat. Dalam keadaan sederhana dan seadanya itu mereka lalu menyambut Pek Lian dengan perjamuan yang meriah, walaupun hidangan yang diberikan kepada gadis itu amatlah sederhana, terdiri dari masakan-masakan ikan laut belaka. Para penghuni pulau itu bukan hanya gembira karena kedatangan seorang nona tamu, melainkan terutama sekali melihat kembalinya kakek nelayan yang dianggap sebagai orang tertua dipulau itu dan disuka oleh semua anggauta keluarga nelayan.
Pada waktu itu, para nelayan tidak ada yang berani keluar mencari ikan karena mereka tahu bahwa banyak bajak laut berkeliaran berhubung dengan pesta besar yang diadakan tiap tiga tahun sekali oleh apa yang mereka kenal sebagai Istana Laut. Akan tetapi, kakek nelayan itu berlayar seorang diri dan sudah tiga hari belum pulang, membuat mereka merasa khawatir sekali dan untuk menyusul dan mencari, mereka tidak berani. Kini, kakek itu pulang dalam keadaan selamat, bahkan telah menyelamatkan seorang gadis cantik yang hanyut dalam gelombang lautan. Pek Lian mendengarkan mereka bercakap-cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk mengunjungi Istana Laut itu.
Ia tidak dapat mencari keterangan tentang nasib Bwee Hong, akan tetapi kedukaan ini tidak menghentikan niatnya untuk mencoba menolong A-hai dan Seng Kun yang ia duga tentu oleh kedua orang Sam-ok dibawa ke Istana Laut dimana tinggal Rajawali Lautan sebagai pucuk pimpinan para bajak. Karena maklum bahwa gadis itu baru saja lolos dari cengkeraman maut dan tubuhnya masih lemah, para nelayan tidak terlalu lama membiarkannya bergadang dan nona itu memperoleh sebuah kamar dalam rumah sederhana kakek nelayan. Ia dipersilahkan tidur. Akan tetapi, Pek Lian tidak dapat tidur pulas. Ia rebah dipembaringannya dengan gelisah, pikirannya kacau karena ia teringat kepada ayahnya yang tak diketahui dimana adanya dan yang amat membingungkan hatinya adalah ketika ia teringat suara ayahnya diatas perahu asing itu.
Selain teringat ayahnya, juga teringat kepada A-hai dan Seng Kun yang juga menjadi tawanan penjahat, dan Bwee Hong yang membuatnya amat berduka karena menduga bahwa sahabatnya itu tentu telah tewas, tenggelam atau dimakan ikan. Hatinya yang gelisah dan berduka membuat Pek Lian tidak dapat memejamkan matanya, makin keras ia berusaha untuk tidur, makin sulitlah. Akhirnya iapun bangkit dari pembaringan, turun dan keluar dari dalam kamar yang sederhana itu, terus keluar dari pondok kecil menuju kepantai laut yang mengelilingi pulau kecil itu. Bulan muda yang muncul menerangi pulau dan mendatangkan cahaya remang-remang yang indah. Ketika ia sedang asyik berjalan-jalan diatas pasir yang lunak basah, tiba-tiba ia terkejut melihat seorang manusia berpakaian serba hitam duduk bersila diatas gundukan pasir.
Sinar bulan yang tidak dihalangi awan itu membuat jubah yang juga hitam warnanya itu mengkilat seperti dilapisi perak. Seketika Pek Lian merasa kedua kakinya seperti lumpuh, jantungnya berdebar kencang dan semangatnya terbang. Orang itu adalah Si Raja Kelelawar! Ingin ia melarikan diri, akan tetapi kedua kakinya mogok. Apa lagi ketika orang itu menoleh, memandang kepadanya sambil menyeringai, matanya yang bulat tajam dan mengeluarkan sinar yang dingin dan aneh sekali itu seolah-olah mempunyai kekuatan untuk mencengkeram hatinya. Hampir saja Pek Lian jatuh pingsan saking ngeri dan takutnya. Belum pernah ia merasa takut dan ngeri seperti pada saat itu. Sebetulnya, dara perkasa ini tidak takut mati. Akan tetapi, tokoh yang menjadi Raja di Raja sekalian kaum sesat ini sungguh membuat ia merasa ngeri.
"Ke sinilah engkau, heh budak kecil!" Terdengar suara orang berpakaian hitam itu, suaranya berdesah seperti desir angin laut, dingin dan menerbangkan butiran pasir lembut. Hati Pek Lian menjadi semakin gentar. Kekerasan hatinya bermaksud untuk membangkang, namun sungguh aneh. Diluar kehendaknya, kedua kakinya bergerak dan iapun mendekat, menghampiri iblis itu. Ia tidak tahu bahwa ini juga merupakan satu diantara Ilmu kesaktian si iblis, yaitu didalam pandang mata dan suaranya terkandung kekuatan khikang yang dapat mempengaruhi semangat orang lain.
"Cepat!!" Bentakan ini seperti mempunyai daya tarik yang amat kuat sehingga Pek Lian merasa seperti ditarik kedepan atau didorong dari bela-kang, membuat ia meloncat kedepan menghampiri orang itu, dan berdiri berhadapan dengan orang itu, mukanya agak pucat dan jantungnya berdebar penuh rasa ngeri dan takut.
"Kenapa takut? Saat ini aku sedang tidak mempunyai minat terhadap wanita. Aku hanya ingin bertanya kepadamu. Kenapa engkau sampai ditempat ini dan dimana teman-temanmu itu? kemana perginya kakek tua murid Tabib Sakti yang menolongmu itu? Hayo jawab sejujurnya! Kalau tidak kau jawab, akan kutelanjangi kau disini dan kukubur hidup-hidup dipasir ini!" Pek Lian mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan perasaan hatinya, namun iblis itu memiliki wibawa yang sedemikian kuatnya sehingga ia tetap saja merasa betapa tubuhnya gemetar dicekam rasa ngeri dan takut. Ia tahu bahwa iblis ini dapat melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan yang kejam karena pembawaannya yang tidak seperti manusia biasa, seperti pembawaan yang dimiliki oleh orang gila. Ketika ia menjawab, suaranya juga tergagap-gagap dan Pek Lian dapat mendengar sendiri betapa suaranya gemetar ketakutan.
"Saya... aku... aku ingin mencari kawan-kawanku. Mereka dibawa oleh Si Buaya Sakti dan Harimau Gunung ketempat Si Rajawali Lautan. Tentang kakek yang membantuku dahulu itu... aku tidak tahu kemana perginya. Dia bersama ketua muda Lembah Yang-ce itu telah pergi berpisah dengan kami..."
"Hemm, sungguh berani engkau, pergi sendirian ketempat Rajawali Lautan Timur! Tapi aku senang melihat seorang gadis muda yang berani sepertimu ini. Tidak percuma ayahmu mempunyai anak seperti engkau. Eh, bagaimana dengan ayahmu? Bukankah engkau sedang mencarinya? Sudah dapat kau temukan?"
Pek Lian tertegun. Sungguh iblis yang luar biasa, yang agaknya mengetahui segala-galanya! Hatinya menjadi semakin gelisah. Jangan-jangan ayahnya terjatuh ketangan iblis ini? Begitu membayangkan bahwa ayahnya terjatuh ketangan iblis ini, sungguh aneh, semua rasa takut lenyap dari hatinya dan ia mulai dapat memandang iblis itu dengan berani, dan tubuhnya tidak lagi gemetar. Demi ayahnya, ia sanggup menghadapi dan menentang apapun juga, kalau perlu iblis inipun akan ditentangnya mati-matian. Ia sudah mengepal tinjunya. Akan tetapi iblis itu seakan-akan dapat membaca pikirannya.
"Jangan mengira yang bukan-bukan. Tidak ada persoalan antara ayahmu dan aku. Aku belum pernah bertemu dengan dia, hanya baru mendengar namanya saja. Nah, pergilah! Pakailah perahuku untuk melanjutkan usahamu, aku sendiri akan berjalan kaki saja!" Iblis itu lalu bangkit dari duduknya. Badannya jangkung besar dan begitu kedua kakinya bergerak, tubuhnya berkelebat seperti terbang saja.
Tubuh itu meluncur kearah laut tanpa menengok lagi. Pek Lian memandang dengan bengong dan matanya terbelalak ketika ia melihat betapa iblis itu terus berlari kearah laut dan ketika telah mencapai air laut, iblis itu masih terus berlari-lari diatas air laut, menempuh gelombang! dibawah kedua sepatunya terdapat sepotong bambu kurang lebih semeter panjangnya. Kini iblis itu mengembangkan kedua lengannya dan jubah panjangnya menjadi seperti layar terkembang, menggembung dan tubuhnya didorong oleh angin, meluncur secepat perahu membalap menuju ketengah lautan! Pek Lian baru menarik napas panjang setelah bayangan hitam itu lenyap. Ia menggosok mata dengan ujung lengan bajunya, merasa seperti bangun dari mimpi buruk. Matanya dikejap-kejap-kan, akan tetapi bayangan hitam itu telah lenyap.
Sunyi sekali disitu. Hanya nampak sebuah perahu kecil tergolek diatas pasir, tidak jauh dari situ dan ini menjadi bukti bahwa ia tidak mimpi, bahwa memang benar ia telah bertemu dengan Raja Kelelawar dan bahwa iblis itu telah meninggalkan perahunya, bahkan memberikan kepadanya. Pek Lian menghampiri perahu itu dan memeriksanya. Sebuah perahu kecil yang baik sekali, buatannya kuat dan bentuknya memungkinkan perahu itu dapat meluncur cepat. Juga perahu kecil ini diperlengkapi dengan dayung, layar dan juga jangkar. Hatinya menjadi girang sekali. Ia tidak tahu mengapa sikap Raja Kelelawar terhadap dirinya menjadi begitu baik, bukan saja tidak mengganggunya, bahkan meninggalkan dan memberikan sebuah perahu yang baik kepadanya dan menganjurkannya untuk mencari ayahnya. Dan ia akan mencari ayahnya besok!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia meninggalkan pulau para nelayan itu setelah mengu-capkan banyak terimakasih kepada nelayan tua yang telah menyelamatkannya. Ia menolak ketika para nelayan yang hidup sederhana dan berwatak jujur itu hendak mengantarnya. Ia bertekad untuk mencari sendiri ayahnya. Setelah perahunya meninggalkan pulau itu, ia memasang layar dan mengenangkan semua yang telah dialaminya.
Ia masih bingung mengenangkan suara ayahnya yang didengarnya didalam perahu para perajurit asing. Benarkah ayahnya berada didalam perahu itu? Kalau benar demikian, tentu amat sukar ba ginya untuk menyelamatkan ayahnya. Raksasa-raksasa berambut putih yang berada diatas perahu itu sungguh lihai bukan main. Selain itu, iapun tidak tahu kemana ia akan dapat menyusul perahu besar yang disangkanya membawa ayahnya itu. Juga ia merasa curiga kepada Si Raja Kelelawar. Iblis ini menyebut-nyebut ayahnya. Apakah hubungannya? Jangan-jangan iblis yang luar biasa lihainya dan mungkin saja melakukan segala macam perbuatan yang aneh-aneh itu benar-benar telah menguasai ayahnya atau setidaknya tahu dimana ayalmya berada. Wah, kalau benar demikian dan ia harus berhadapan dengan iblis itu, makin kecil kemungkinannya untuk dapat menyelamatkan ayahnya.
Mengingat akan semua kesukaran ini, Pek Lian termenung dan semangatnya menurun. Hampir ia menangis karena ia tidak tahu kemana ia harus pergi, kemana ia harus mencari dan disekelilingnya hanya nampak air kebiruan yang demikian luasnya. Akan tetapi dara pendekar ini mengepal tinjunya dan mengeraskan hatinya. Tidak, ia tidak boleh menangis! Ia tidak boleh patah semangat! Ia harus berbakti kepada ayahnya. Sampai mati sekalipun ia tak boleh undur selangkah, harus melanjutkan usahanya mencari dan menyelamatkan ayahnya. Akan tetapi, karena ia tidak tahu kemana harus menuju, perahu layarnya itu meluncur kedepan, kearah matahari terbit tanpa tujuan tertentu. kadang-kadang ia membelok keutara dan mencari-cari, namun sehari penuh ia tidak pernah melihat adanya perahu besar yang diperkirakan membawa ayahnya sebagai tawanan itu.
Yang dijumpainya hanya perahu-perahu nelayan, itu pun jarang sekali. Akhirnya, matahari condong ke barat dan malam menjelang tiba. Untung bagi Pek Lian malam itu bulan purnama. Ia tidak perlu menyalakan lampu perahunya. Lebih aman tidak menggunakan lampu agar tidak mudah nampak oleh perahu lain. Tiba-tiba ia melihat titik-titik terang dikejauhan. Hampir ia bersorak. Biarpun titik-titik terang itu sama sekali tidak menjamin bahwa ia akan menemukan apa yang dicarinya, akan tetapi setidaknya ada harapan dan perahunya mempunyai tujuan. Iapun mengemudikan perahunya yang didorong angin itu menuju kecahaya api didepan itu. Lampu itu kelihatan dekat saja, akan tetapi setelah ditempuh, ternyata bukan main jauhnya. Sampai hampir setengah malam, baru ia dapat mendekat dan kini nampak bahwa banyak sekali lampu bernyala memenuhi sebuah pulau kecil.
Akan tetapi ketika perahu makin mendekat, ribuan lampu itu makin berkurang, lenyap dan yang nampak hanya tinggal sebuah lampu yang tinggi dan terang, yang terdapat ditengah-tengah pulau. Tadinya Pek Lian merasa heran. Akan tetapi setelah perahunya dekat dengan pulau itu, mengertilah ia mengapa lampu-lampu itu lenyap. Kiranya pulau itu tepinya tidak landai, melainkan merupakan tebing yang curam seperti dinding tembok yang amat tinggi. Tentu saja ketika perahunya masih jauh dari pulau itu, ia dapat melihat semua lampu yang berada diatas pulau, akan tetapi setelah dekat, lampu-lampu itu terhalang oleh tebing yang tinggi, kecuali sebuah lampu besar yang agaknya berada ditempat paling tinggi ditengah pulau itu.
Melihat pulau yang tebingnya tinggi itu, Pek Lian menjadi bingung. Bagaimana mungkin mendarat dan memasuki pulau? Tebing itu amat curam, sedikitnya ada lima puluh meter tingginya. Hanya burung bersayap sajalah yang kiranya akan dapat mendarat ke pulau itu. Pek Lian mengelilingi pulau dengan perahunya, menggulung layar dan mendayung dengan perlahan, mencari-cari jalan masuk atau tempat mendarat yang tepat, atau hendak melihat dimana para penghuni pulau mendaratkan perahu mereka. Terdengar suara orang-orang bersorak-sorai dipulau itu, terdengar dari atas dalangnya suara sorakan. Agaknya para penghuni pulau itu sedang berpesta-pora atau bersuka ria. Ketika perahu Pek Lian tiba dibagian timur pulau dan dara ini sedang mencari-cari tempat pendaratan, tiba-tiba ia melihat berkelap-kelipnya banyak lampu yang datang dari arah laut menuju ke pulau itu.
Ia cepat mendayung perahunya, bersembunyi dibalik batu karang menonjol dan mengintai. Beberapa buah perahu datang mendekati pulau. Karena tidak mengenal tempat apa adanya pulau ini dan siapa pula orang-orang dalam perahu itu, Pek Lian merasa lebih aman kalau menyembunyikan diri lebih dulu. Kiranya perahu-perahu itupun dihias dengan meriah, digantungi lampu teng warna-warni, suasana pesta nampak diperahu-perahu itu. Pek Lian mengintai dengan penuh perhatian dan karena perahu-perahu itu mempunyai banyak lampu yang cukup terang, maka dia dapat melihat kesibukan-kesibukan disitu. Diatas perahu paling depan nampak berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus dengan kumis tikus, pakaiannya mewah seperti seorang pembesar kerajaan saja. Terdengar orang meniup terompet tanduk dan perahu-perahu itu merapat ketebing.
Ketika Pek Lian memandang kearah tempat itu, nampaklah olehnya sebuah lubang besar ditebing itu, persis diatas permukaan laut, seperti mulut raksasa. Didalam lubang itu berserakan batu-batu besar kecil dan disela-selanya mengalir air bening kelaut. Itu adalah sebuah muara sungai bawah tanah yang menembus ketebing itu dan ternyata muara inilah yang agaknya menjadi pintu menuju ke pulau! Satu-satunya pintu yang aneh sekali. Para penghuni perahu berlompatan memasuki lubang. Diam-diam Pek Lian mendayung perahunya sambil bersembunyi dibalik batu karang dan kini ia memandang penuh perhatian. Setelah dekat, baru ia melihat bahwa dimulut lubang terowongan itu terdapat ukiran huruf-huruf ditebing yang licin mengkilap. Jantung gadis itu berdebar tegang ketika ia membaca tulisan huruf-huruf besar itu.
Hai Ong Kong Hu (Istana Raja Lautan)! Kiranya disinilah tempat tinggal Si Rajawali Lautan Timur, datuk atau Raja para bajak itu! Akan tetapi mengapa tidak ada penjagaan sama sekali? Apakah semua sedang berpesta-pora dipulau itu seperti yang dapat didengarnya dari luar pulau? Pek Lian menanti sampai semua orang dalam perahu-perahu itu memasuki lubang dan mereka meninggalkan perahu-perahu mereka yang melepas jangkar didekat tebing. Perahu-perahu itu bergoyang-goyang akan tetapi tidak sampai membentur tebing, tertahan oleh tali-tali kuat yang dihubungkan dengan jangkar yang dilepas didasar laut. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang akan dapat melihatnya, Pek Lian lalu menambatkan perahunya pada batu karang dipinggir tebing yang terlindung, kemudian berindap-indap dia berloncatan dari batu karang lain menghampiri lubang.
Dengan hati-hati iapun memasuki terowongan itu. Dengan penuh kewaspadaan, ia berloncatan keatas batu-batu dan ternyata terowongan itu berbelok-belok mendaki. Ia terus mengikuti terowongan itu dan akhirnya sampailah ia kemulut terowongan diatas pulau. Terowongan itu tiba ditepi sebuah telaga kecil dan agaknya terowongan itu merupakan jalan air untuk pembu-angan air dari telaga. Dengan berindap-indap, Pek Lian mengintai keluar dari lubang yang merupakan mulut terowoagan itu. Ia melihat bahwa dimulut terowongan itu terdapat sepuluh lebih penjaga. Akan tetapi, seperti semua orang yang berada dipulau itu, para penjaga inipun asyik bersorak-sorak dan menonton perlumbaan yang diadakan diatas telaga, menjagoi sampan yang dikemudikan oleh kawan-kawan mereka.
Ternyata diatas telaga itu diadakan perlumbaan perahu sampan yang luar biasa ramainya. Semua orang menonton, ditepi telaga penuh orang dan yang berada dibelakang mencari tempat yang agak tinggi untuk dapat menyaksikan perlumbaan perahu itu. Para penjaga ini yang berada dimulut terowongan, mendapatkan tempat yang tinggi sehingga mereka dapat menyaksikan perlumbaan itu dengan jelas, walaupun dari tempat yang agak jauh. Agaknya seluruh penghuni pulau itu dan juga semua penjaga dan para tamu, berkumpul ditepi telaga itu. Karena keadaan yang berjejal-jejal ini, laki-laki dan wanita, walaupun jauh lebih banyak prianya ketimbang wanitanya, maka kehadiran Pek Lian tidak begitu menarik perhatian. Apa lagi waktu itu masih malam dan mulut terowongan itu masih gelap, demikian pula tempat dimana semua orang menonton itu.
Hanya ditepi telaga terdapat penerangan yang beraneka warna, dan juga pada sampan-sampan yang melakukan perlumbaan itu terdapat lampu-lampu yang mengenakan kap dengan warna dan tulisan tertentu sehingga mereka itu dapat dikenal dari jauh oleh teman-teman mereka yang menjagoi mereka. Pertempuran adu kepandaian antara tiga orang Raja lautan yang diadakan tiap tiga tahun sekali, selalu diawali dengan tontonan yang amat menarik ini, yaitu lumba perahu. Perlumbaan ini diikuti oleh semua perkumpulan bajak laut yang tergabung dibawah bendera tokoh yang dianggap sebagai Raja Lautan dan yang berhak mendiami Istana Raja Lautan selama tiga tahun. Pada saat itu, yang menjadi Raja Lautan adalah Rajawali Lautan Timur. Perkumpulan-perkumpulan ini adalah anak-buah Lain-siauw-ong si Raja Muda Selatan, kemudian Petani Lautan, dan beberapa perkumpulan kecil lainnya.
Harta Karun Kerajaan Sung Eps 5 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 4 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5