Darah Pendekar 38
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 38
"Crakkkk! Aduuuhhhh!" Tombak jangkar itu membabat lengan kiri Cui Hiang sebatas pundaknya dan lengan itu putus seketika! Tubuh Cui Hiang terguling pingsan. Potongan lengan kecil itu terlempar dan melayang, tepat mengenai muka A-hai! Darah berceceran mengenai sebagian pakaian, leher dan dagunya.
"Uhh... uhhh!" A-hai terbelalak dan tiba-tiba dia merasa betapa darahnya bergolak. Matanya terbelalak memandang kearah Cui Hiang yang menggeletak pingsan dan darah menyembur-nyembur dari luka menganga dipundaknya. Rasa haru, kasihan dan kemarahan membuat darah ditubuhnya mendidih, makin lama makin hebat sehingga dia merasa matanya menjadi kabur, kepalanya berdenyut-denyut dan pening, akan tetapi dia tetap menyadari dirinya. Tubuhnya menggigil menahan aliran darahnya yang seperti membanjir, seperti air bah melanda turun karena bendungannya jebol. A-hai masih tetap sadar, bahkan kini dia sadar bahwa dia akan kumat seperti yang sering diceritakan oleh kawan-kawannya kepadanya. Teringat akan ini, yaitu bahwa dia akan kumat, dia merasa ngeri dan bingung juga, maka dia menoleh kepada Bwee Hong sambil berkata,
"Nona Hong, ahhh aku badanku ini seperti akan terbang melayang rasanya" Sejak tadi Bwee Hong memang telah mengetahui akan keadaan A-hai. Dilihatnya tubuh pemuda itu menggetar hebat dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga.
Bwee Hong maklum bahwa A-hai mengalami guncangan hebat yang membuat saluran darahnya membobolkan semua perintang, yang akan membuatnya kumat. Akan tetapi berkat pertolongan Seng Kun, pemuda itu akan tetap sadar walaupun dalam keadaan kumat. Dan dara inipun ingat akan penjelasan kakaknya bahwa pada saat kumat seperti itulah terbuka kesempatan untuk menggali dan mengorek masa lalu A-hai, karena saat itu A-hai seperti berpijak kembali kepada alam aselinya. Dan biasanya, waktu dalam keadaan seperti itu tidaklah lama. apabila gejolak darahnya sudah normal kembali, dia akan kembali dalam keadaan semula, yaitu sebagian besar masa lalunya terlupa sama sekali. kesempatan yang baik sekali. Akan tetapi, gadis cilik itupun harus ditolong sekarang juga. Inilah yang paling perlu, dan juga pihak musuh harus dibasmi lebih dulu.
"A-hai, cepat bereskan pasukan jahat itu!" teriaknya dan iapun cepat meloncat kedepan, menyambar tubuh Cui Hiang yang pingsan dan membawanya ketempat aman, lalu tanpa memperdulikan apa-apa lagi, dijaga oleh Siok Eng, Bwee Hong mulai mengobati Cui Hiang, menghentikan darah yang keluar lalu membubuh obat pencegah rasa nyeri dan membalut luka itu dengan kain bersih yang dirobeknya dari bajunya sendiri. Sejenak A-hai ternanar dan membiarkan kepalanya yang pening itu menjadi ringan, barulah dia meloncat kedepan dan menghadapi Sanhek-houw yang sudah berkelahi lagi melawan kakek jubah hitam.
"Iblis keji!" dia memaki dengan suara menggeledek,
"Siuuuuttt!" Tangannya bergerak menampar kearah Sanhek-houw yang sudah kewalahan menghadapi kakek jubah hitam, walaupun dia dibantu oleh para pembantunya yang juga lihai dan yang jumlah semua anak-buahnya lebih dari lima puluh orang itu. Melihat serangan ini, Sanhek-houw cepat menangkis dengan rantai bajanya yang menyambar ganas kearah lengan A-hai. Akan tetapi, A-hai tidak perduli, agaknya yakin akan kekuatan tangannya sendiri.
"Plakk!" Tangan A-hai bertemu dengan tombak jangkar diujung rantai baja dan akibatnya, rantai itu terpental dan tombak jangkar hampir menghantam kepala pemiliknya!
"Uhh!" Sanhek-houw berseru kaget dan meloncat mundur. Lima orang temannya menubruk kedepan untuk menolong pemimpin mereka ketika melihat A-hai hendak menyerang lagi. Mereka menggunakan tombak panjang menyerang A-hai sedangkan Sanhek-houw memperbaiki posisinya yang tadi terhuyung karena terkejut.
Terdengar suara lantang ketika A-hai menyambut pengeroyokan. Tombak dan pedang beterbangan dan dua orang pengeroyok kena ditangkapnya, lalu dibanting sehingga tewas seketika. Sementara itu, Siok Eng juga sudah meloncat kedalam gelanggang perkelahian dan sepak-terjangnya sungguh menggiriskan. Gadis ini berkelebatan, kedua tangannya menyebar maut dengan gerakan aneh dan juga luar biasa ganasnya. Dari tubuhnya keluar bau dupa harum yang menyeramkan. Menjatuhkan kakek jubah hitam yang amat lihai dan yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya itu saja sudah sukar sekali, kini muncul orang-orang muda yang lihai. Tentu saja Sanhek-houw menjadi gentar. Apa lagi melihat betapa diantara lima puluh orang lebih anak-buahnya, kini tinggal setengahnya lagi, dari mereka inipun sudah kelihatan gentar dan semangat mereka menurun.
Kalau dilanjutkan semua anak-buahnya akan terbasmi dan dia sendiripun tidak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan orang-orang lihai ini. Maka, seperti biasa menjadi watak orang-orang yang licik, kejam dan pengecut, Sanhek-houw lalu meloncat dan melarikan diri. Setelah dia memberi perintah agar anak-buahnya mundur. Pasukan yang sudah kocar-kacir itu kini melarikan diri dengan kacau-balau. Kakek berjubah hitam itu tidak mengejar. Dan pemuda yang tadi bertempur disampingnya, yang sebenarnya tidak begitu tinggi kepandaiannya dan selalu dilindungi oleh kakek jubah hitam, kini juga berdiri mengamati tiga orang yang baru muncul. A-hai makin lama semakin lemas, kehilangan tenaga karena dia kembali kedalam keadaan semula sebelum kumat. Mukanya yang tadinya merah sekali itu perlahan-lahan menjadi pucat, peluhnya berleleran dilehernya.
Setelah darah ditubuhnya berjalan normal, ingatannyapun kembali seperti semula dan dia berdiri agak termangu-mangu, merasa seperti orang baru sadar dari mimpi akan tetapi lupa lagi apa yang diimpikan itu. Kakek jubah hitam itu mengamati mereka dengan sinar mata penuh takjub. Sungguh tak disangkanya dia bertemu dengan tiga orang muda yang begini aneh dan hebat. Gadis baju putih yang mukanya pucat itu tadi menyerang para pengeroyok dengan jurus pukulan ampuh dari Tai-bong-pai. Dia mengenal pukulan itu, dan mengenal pula bau dupa harum yang keluar dari tubuh Siok Eng. jelaslah bahwa dara yang masih muda ini telah menguasai ilmu dari Tai-bong-pai dengan amat baiknya. Dan gadis kedua yang cantik jelita itupun dapat melakukan perawatan dan pengobatan yang amat baik terhadap anak perempuan yang buntung lengannya.
Caranya menghentikan darah, caranya menotok, mengobati dan membalut, semua membuktikan bahwa gadis ini adalah seorang ahli ilmu pengobatan yang mengagumkan. Kemudian pemuda tinggi tegap ini! Bukan main! Dia sendiri adalah seorang "golongan atas" akan tetapi harus diakui bahwa dia sama sekali tidak mengenal ilmu pukulan yang diperlihatkan oleh pemuda itu ketika mengamuk tadi. Akan tetapi, kakek berjubah hitam ini menjadi semakin heran dan terkejut ketika dia melihat gadis cantik jelita yang menyelesaikan pengobatannya terhadap anak perempuan itu kini bangkit berdiri, dan ketika memandang kepadanya, gadis itu terbelalak dan pandang matanya terhadap dirinya penuh kemarahan dan kebencian! Apa lagi ketika Bwee Hong melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepadanya sambil berkata marah,
"Kau... kau... pembunuh keluarga kakekku!"
"Eh eh nanti dulu!" Kakek berjubah hitam itu berseru kaget ketika tiba-tiba Bwee Hong menyerangnya kalang-kabut. Bwee Hong tidak perduli dan terus menyerang, menggunakan jurus-jurus simpanan dan setiap pukulan tangannya merupakan pukulan maut. Dan si kakek jubah hitam semakin tercengang mengenal jurus-jurus pukulan ini sebagai jurus-jurus pukulan perguruannya sendiri!
"Tahan! Tahan!" teriaknya sambil mengelak kesana-sini. Bwee Hong yang hatinya dipenuhi dendam dan kebencian itu, tentu saja tidak mau berhenti dan terus menyerang kakek berjubah hitam yang diketahuinya tentu seorang tokoh besar Liong-i-pang itu, melihat dari gambar naga yang samar-samar nampak dijubah hitamnya.
Karena Bwee Hong mendesak terus, kakek itu yang ternyata adalah Ouwyang Kwan Ek ketua Liong-i-pang, terpaksa turun tangan, membalas serangan gadis yang masih terhitung cucu murid keponakan itu. Menghadapi serangan susiok-couwnya, tentu saja Bwee Hong tidak dapat bertahan dan ia segera terkena totokan dan terkulai lemas diatas tanah. Tiba-tiba terdengar suara menggeram dahsyat. A-hai yang tadinya sudah "loyo" itu setelah melihat Bwee Hong dirobohkan orang, secara mendadak menjadi kumat kembali! Badannya tergetar hebat dan matanya mencorong mengawasi dara yang disayangi dan dihormati, yang kini terkulai lemas keatas tanah dalam keadaan tertotok. kemudian dia berteriak dengan lengking nyaring dan diapun menerjang kakek itu dengan pukulan dahsyat. Siok Eng juga menerjang maju, menyerang kakek jubah hitam.
"Eh, nanti dulu!" Kakek jubah hitam yang sudah mengenal kehebatan dua orang muda ini, cepat meloncat kebelakang dan menghindarkan serangan mereka yang amat berbahaya.
Tubuhnya berkelebatan cepat bagaikan terbang dan Siok Eng sampai menjadi bingung karena tubuh kakek yang diserangnya itu tiba-tiba saja menghilang, tahu-tahu muncul dibelakang dan setiap kali diserang dapat menghilang saking cepatnya kakek itu bergerak dan mengelak. Akan tetapi, kakek jubah hitam yang seperti para ahli silat lain kalau sudah menghadapi pertandingan lalu kumat keinginan tahunya untuk mengukur dan menguji kepandaian lawan, menjadi terkejut. Dua orang lawannya itu, biarpun masih muda, ternyata memang telah memiliki kepandaian yang tinggi dan aneh. Dia bergembira memperoleh kesempatan menguji ilmu dari Tai-bong-pai dan berkesempatan pula untuk menyelidiki dan mengenal ilmu aneh dari pemuda itu.
"Hyeeeehhhh!" Suara yang dikeluarkan oleh A-hai itu demikian hebat getarannya sehingga mengguncangkan perasaan kakek Ouwyang Kwan Ek, dan gerakan pemuda itu membuat dia lebih kaget lagi.
Dia menggunakah Pek-in Ginkang atau Ginkang Awan. Putih yang membuat tubuhnya ringan dan dapat bergerak cepat, dan dengan langkah ajaib Ilmu Silat Kim-hong-kun dari perguruan Tabib Sakti, dia menghindarkan diri dari pukulan-pukulan kedua orang muda itu. Akan tetapi, sambil berteriak tadi, tahu-tahu tubuh A-hai melengkung dan dengan gerakan aneh sekali, tubuhnya sudah melingkar kesamping dan meluncur cepat memotong jalan! Seolah-olah dengan gerakan ini A-hai telah tahu kemana arah dari langkah ajaibnya sehingga memotong jalan kakek itu sehingga tubuh mereka kini saling bertentangan dan hampir bertubrukan. Kakek itu terkejut sekali, apa lagi ketika melihat betapa pemuda itu mendorongkan kedua telapak tangannya dengan hantaman dahsyat.
(Lanjut ke Jilid 27)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 27
Tidak ada jalan lagi untuk menghindarkan tabrakan atau benturan itu dan satu-satunya jalan hanya menyambut hantaman pemuda itu karena kalau dia melempar tubuh kesamping, dia akan terancam oleh gadis Tai-bong-pai itu dan hal ini akan lebih berbahaya lagi. Terpaksa dia lalu mengerahkan tenaga sakti Pai-hud-ciang (Tangan Menyembah Buddha) dan kedua tangannya didorongkan kedepan dengan gerakan seperti menyembah, menyambut dua telapak tangan A-hai. Akan tetapi, kembali kakek itu terkejut ketika dalam sekejap mata melihat dua warna kabut merah dan putih membungkus badan pemuda itu, yang kanan merah dan yang kiri putih. Benturan dua pasang tangan itu tak terelakkan lagi.
"Blarrrrr!!" Ouwyang Kwan Ek, kakek tua renta berusia tujuh puluh tahun itu adalah murid kedua dari datuk sakti Bu-Eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan), dan dia adalah ketua dari Liong-i-pang yang terkenal. Akan tetapi, pertemuan tenaga melalui telapak tangan melawan pemuda itu membuat dia terhuyung kesamping sampai beberapa langkah dan apabila tangannya tidak cepat memegang ujung sebuah batu besar yang berdiri disitu, agaknya dia tentu akan terjatuh!
Sebaliknya, tubuh pemuda itu terpental keatas, akan tetapi tubuh itu dapat berpoksai (bersalto) sampai tiga kali dengan indahnya diudara, kemudian tubuh itu meluncur kebawah, hinggap diatas sebuah batu dengan ringannya. Kabut yang menyelimuti tubuhnya tidak nampak lagi, matanya mencorong dan tidak ada tanda-tanda bahwa dia terguncang oleh pertemuan tenaga tadi. Tentu saja hal ini membuat Ouwyang Kwan Ek terkejut setengah mati. Dia tadi sudah amat khawatir akan akibat pertemuan tenaga itu. Dia sendiri merasakan akibatnya, membuat dia hampir terbanting jatuh dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu tidak akan mampu bertahan dan akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang parah. Akan tetapi ternyata pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh.
"Gila" pikirnya penuh takjub.
"Anak ini benar-benar mempunyai kekuatan seperti iblis. Siapakah orang ini dan dari perguruan mana?"
A-hai sudah siap untuk mengadu kekuatan melawan kakek jubah hitam, sedangkan Siok Eng yang menyaksikan adu tenaga yang amat hebat tadipun berdiri termangu-mangu, semakin takjub melihat keadaan A-hai. Dara ini maklum bahwa kakek jubah hitam itu lihai bukan main, jauh lebih tinggi ilmu kepandaiannya dibandingkan dengan ia sendiri. Akan tetapi, bentrokan tenaga sinkang antara kakek itu dan A-hai nampaknya membuktikan bahwa pemuda aneh itu ternyata lebih unggul! Pada saat suasana sudah menegangkan karena semua menduga bahwa tentu akan terjadi perkelahian yang lebih hebat lagi antara kakek berjubah hitam itu dengan A-hai, tiba-tiba laki-laki muda yang menjadi teman kakek jubah hitam yang tadi selalu dilindunginya, kini melangkah maju dan berseru nyaring,
"Tahan! Siapakah kalian? Kenapa setelah tadi menolong kami, sekarang berbalik kalian menyerang kami? Apakah maksud kalian? Inilah aku, putera mahkota! apabila kalian mencari putera mahkota, inilah aku. Apakah kalian orang-orang yang ingin mencari hadiah bagi kepalaku?" Semua orang terdiam dan terkejut. Kakek jubah hitam cepat memperingatkan,
"Pangeran, harap paduka berhati-hati!" Dianggapnya pangeran yang membuka rahasianya itu amat sembrono karena pihak Istana sudah menyebar orang-orangnya untuk mencarinya, tentu bukan dengan maksud baik karena pangeran mahkota ini tentu saja akan menjadi penghalang bagi mereka yang sudah mengangkat Kaisar baru setelah mereka berusaha menyingkirkan pangeran mahkota ini ke garis depan.
Bwee Hong yang masih rebah dalam keadaan tertotok, tak mampu bergerak atau bicara, hanya memandang dengan hati tegang dan cemas, memandang kearah A-hai yang ia tahu berada dalam keadaan kumat kembali. Kini A-hai yang biarpun dalam keadaan kumat itu masih sadar, ketika mendengar bahwa dia berhadapan dengan pangeran mahkota, agaknya mampu bersikap waras dan tidak menuruti dorongan ilmu yang seperti akan membuatnya meledak-ledak itu. Dengan sikap tenang dan penuh wibawa, A-hai melangkah maju menghadapi kakek jubah hitam yang kini sudah berdiri berdampingan dengan sang pangeran mahkota. Sikapnya hormat dan lemah lembut, suaranya dalam dan serius, sungguh berbeda dengan sikap dan suaranya yang biasa setiap hari.
"Kami adalah perantau-perantau yang kesasar sampai ditempat ini. Namaku adalah Thian Hai. Dua orang nona ini adalah sahabat-sahabat baikku. Kenapa Lo-cianpwe menyerang dan menjatuhkan sahabatku itu?" Ouwyang Kwan Ek adalah seorang datuk besar, ketua Liong-i-pang pula. Tentu saja diapun bersikap agak tinggi, tidak mau mengaku salah, apa lagi karena dia memang tidak merasa bersalah.
"Hemm, orang muda yang lihai. Nona itulah yang menyerangku, dan aku hanya mempertahankan diri saja." A-hai mengerutkan alisnya, agaknya tidak puas dengan jawaban itu. Akan tetapi sang pangeran yang melihat betapa suasana dapat menjadi gawat lagi, lalu melerai.
"Sudahlah, tidak perlu diributkan siapa yang bersalah dalam hal ini. Agaknya telah terjadi kesalahfahaman diantara kita. Lo-cianpwe, harap suka membebaskan nona itu lebih dulu." Ouwyang Kwan Ek menghampiri Bwee Hong dan sekali menotok kearah pundak nona itu, Bwee Hong sudah pulih kembali. Siok Eng memandang kagum. Tadi ia sudah berusaha membebaskan totokan itu, akan tetapi tanpa hasil. Tahulah ia bahwa totokan kakek itu merupakan ilmu istimewa yang hanya dimiliki oleh perguruan kakek itu, demikian pula cara membebaskannya. Setelah membebaskan totokannya, Ouw yang Kwan Ek lalu memandang kepada Bwee Hong dan berkata,
"Jadi engkaukah seorang diantara dua anak angkat, juga murid mendiang Bu Kek Siang? Ketahuilah bahwa mendiang Bu Kek Siang adalah murid keponakanku sendiri. Dia murid suheng ku"
"Aku sudah tahu!" jawab Bwee Hong dengan suara keras dan sedikitpun ia tidak menaruh hormat walaupun ia tahu bahwa ia berhadapan dengan susiok-couwnya. Kakek didepannya ini adalah adik seperguruan dari kakek gurunya! "Dan aku tahu pula bahwa kakekku, juga guruku atau ayah angkatku, tewas ditangan murid-muridmu, tewas bersama isterinya. Padahal dia adalah murid keponakanmu sendiri!"
"Dan ketika itu aku sedang diobati oleh keluarga Bu, dan aku menjadi saksinya bahwa kedua Lo-cianpwe yang menjadi penolongku itu tewas oleh tangan-tangan jahat orang-orang Liong-i-pang!" kata Siok Eng. Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang.
"Aaah, dunia menjadi kacau-balau, kesemuanya oleh ulah manusia yang didorong oleh keserakahan, oleh keinginan untuk senang sendiri yang menimbulkan permusuhan, dendam-mendendam, balas-membalas, bunuh-membunuh! Ahhh, anak yang baik, agaknya engkau hanya tahu ujungnya akan tetapi tidak tahu pangkalnya. Tahu akibatnya tidak tahu sebab-sebabnya. Pertikaian diantara sesama perguruan kita agaknya sudah demikian berlarut-larut dan sudah terjadi sejak lama sekali sebelum kau lahir. Engkau begitu membenci aku dan murid-muridku, karena engkau belum mengetahui persoalan yang sebenarnya. Aku juga merasa heran mengapa kakekmu yang juga menjadi ayah angkat dan gurumu itu tidak menjelaskan persoalan yang sebenarnya kepadamu dan kepada kakakmu. Kalau tidak salah, engkau berdua dengan seorang kakakmu, bukan?"
Bwee Hong diam saja, tidak menjawab, hanya mendengarkan sambil menatap wajah kakek jubah hitam itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak meneliti kebenaran omongan kakek itu. Iapun tadi sudah melirik kearah A-hai dan melihat betapa pemuda yang bernama Thian Hai ini sekarang telah kembali kedunia keduanya, membuat dia agak ketololan dan pemuda itupun ikut mendengarkan. Demikian pula Siok Eng yang maklum bahwa urusan ini adalah urusan antara keluarga seperguruan, tidak berani banyak mencampuri dan hanya mendengarkan. Juga sang pangeran yang menghendaki agar mereka itu tidak lagi saling serang, ikut pula mendengarkan. Dengan sabar Ouwyang Kwan Ek lalu bercerita, suaranya tegas dan disingkat, terbuka dan jelas. Bwee Hong diam mendengarkan, akan tetapi hatinya masih panas oleh dendam.
"Dahulu, lima puluh tahun lebih yang lalu, mendiang suhu Bu-Eng Sin-yok-ong memberi pelajaran kepada kami bertiga sebagai murid-muridnya. Suhu memberikan ilmu-ilmunya kepada kami, sesuai dengan bakat kami yang berbeda-beda pula. Mendiang suhengku suka bertapa dan mengasingkan diri, dan sesuai dengan bakatnya, suheng menerima pelajaran khusus tentang lweekang yang kemudian diturunkan kepada puteranya, yaitu Bu Kek Siang. Sayang suheng Bu Cian telah meninggal" Sejenak kakek itu terhenti dan nampak berduka sekali. Akan tetapi dia menghela napas panjang menenteramkan hatinya lalu melanjutkan,
"Aku sebagai murid kedua suka belajar ilmu silat, maka akupun diberi pelajaran khusus dalam ilmu silat. Sedangkan suteku yang bernama Kam Song Ki yang bertubuh kecil dan gesit menerima warisan ilmu ginkang yang khas. Dengan demikian, kami bertiga menerima ilmu-ilmu keistimewaan masing-masing, suheng mahir dalam sinkang, aku sendiri mahir dalam ilmu silat, dan sute mahir dalam ginkang,"
"Akupun sudah mendengar akan hal itu," kata Bwee Hong penasaran.
"Akan tetapi kenapa engkau masih juga tidak mau menerima dengan hati rela? Mendiang sucouw sudah membagi-bagi semua ilmunya dengan adil, akan tetapi kenapa engkau masih hendak merebut hak orang lain?" Kakek itu mengangguk-angguk.
"Aku mengerti mengapa engkau penasaran. Dan itulah yang membuat aku terheran-heran. Kenapa kakekmu, Bu Kek Siang itu, tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya sehingga terjadi kesalahfahaman ini? Apakah dia ingin agar kita saling bermusuhan dan berbunuh-bunuhan terus?"
"Berbunuh-bunuhan? Apa maksudmu?" Bwee Hong bertanya sambil mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
"Apakah kakekmu atau ayah angkatmu itu tidak pernah bercerita bagaimana dia memperoleh kitab wasiat ilmu pengobatan itu?"
"Tentu saja kitab itu diwarisinya dari sucouw!" jawab Bwee Hong cepat karena ia tak mungkin dapat berpikir lain.
"Memang, akan tetapi kitab itu bukan hanya diwariskan kepada seorang murid saja! Mendiang suhu dahulu merupakan datuk nomor satu didunia. Keahliannya dalam ilmu sinkang telah diwariskan kepada suheng, keahliannya dalam ilmu silat diwariskan kepadaku dan keahliannya dalam ginkang kepada sute. Disamping semua ilmu itu, suhu yang berjuluk Tabib Sakti Tanpa Bayangan itu juga memiliki keahlian dalam ilmu pengobatan. Suhu adalah seorang yang bijaksana dan adil. Maka kelebihan satu ilmu ini, yang dianggap amat berguna bagi semua muridnya, akan diberikan kepada tiga muridnya. Semua muridnya diberi kesempatan untuk belajar. Sebelum meninggal dunia, suhu meninggalkan sebuah kitab ilmu pengobatan dan beliau memesan agar semua muridnya mempelajari kitab itu secara bergilir. Dengan keras beliau melarang murid yang hendak mempertahankan ilmu itu untuk diri sendiri. Maka, kitab itu diserahkan kepada suheng dengan pesan sesudah sepuluh tahun dipelajari, harus diserahkan kepadaku untuk kupelajari selama sepuluh tahun, baru Kemudian kuserahkan kepada sute. Akan tetapi ternyata suheng yang pendiam itu menjadi serakah! Setelah sepuluh tahun, buku itu tidak diserahkan kepadaku. Aku memperingatkannya dan mencelanya, namun dia tetap tidak mau memberikan. Kami bercekcok dan akhirnya berkelahi. Akan tetapi aku tidak mampu menandingi tenaga saktinya yang hebat itu. Demikianlah, aku selalu belajar dengan tekun dan sekali-kali aku datang untuk minta kitab itu yang berakhir dengan perkelahian dan aku selalu berada dipihak yang kalah. Melihat kami berdua selalu cekcok dan berkelahi, sute menjadi tidak senang dan diapun pergi menjauhkan diri sampai sekarang tidak pernah kembali. Sudah empat puluh tahun dia pergi"
Kerut diantara alis Bwee Hong makin mendalam. Benarkah cerita kakek ini? Benarkah kakek gurunya yang bernama Bu Cian, ayah Bu Kek Siang, demikian serakah? Akan tetapi ia tidak menyela lagi, melainkan memandang kakek itu dan sinar matanya menuntut dilanjutkannya cerita itu.
"Karena bertahun-tahun usahaku minta kitab itu gagal dan aku selalu dikalahkan oleh suheng, aku patah semangat, mengasingkan diri dan memperdalam ilmu silat, juga menerima murid-murid dan mendidik putera tunggalku, mendirikan perkumpulan Liong-i-pang dan tidak mau lagi mengganggu suheng dengan urusan kitab itu. Akan tetapi setelah puteraku dewasa, pada suatu hari dia pergi tanpa pamit. Agaknya dia yang tahu akan peristiwa kekeluargaan perguruan itu telah pergi seorang diri mendatangi suheng dan mohon keadilan, meminta kitab itu. Agaknya, menghadapi keponakannya, suheng yang biasanya keras hati itu menjadi lunak, hatinya terharu dan kitab ilmu pengobatan itu diserahkan oleh suheng kepada puteraku. Puteraku girang bukan main dan pergi membawa kitab itu. Akan tetapi"
Kakek itu berhenti lagi dan kini wajahnya diliputi kedukaan hebat, mukanya diangkat menengadah memandang langit dan matanya menjadi basah! Tentu saja Bwee Hong terkejut sekali melihat ini dan iapun mulai percaya akan cerita kakek yang sebenarnya masih susiok-couwnya sendiri ini.
"Lalu... lalu bagaimana?" tanyanya, suaranya juga lunak.
"Suheng juga mempunyai putera, yaitu Bu Kek Siang. Diwaktu mudanya, Bu Kek Siang berwatak keras berangasan. Agaknya dia tidak rela bahwa kitab pusaka ilmu pengobatan itu, yang sudah puluhan tahun dianggap sebagai pusaka perguruan ayahnya, jatuh ketangan orang lain. Dia menghadang perjalanan anakku, dan kitab itu dimintanya. Tentu saja puteraku tidak mau memberikannya dan terjadilah perebutan dan perkelahian. Keduanya terluka, akan tetapi karena Bu Kek Siang mewarisi ilmu sinkang, tenaga dalamnya lebih kuat dan luka dalam yang diderita anakku amat parah. Ketika bertemu denganku, keadaannya tak tertolong lagi" Bwee Hong menahan napas. Tak pernah disangkanya bahwa riwayat perguruannya demikian hebat, terdapat perebutan dan permusuhan yang memalukan diantara saudara-saudara seperguruan sendiri.
"Dia... Dia mati?" tanyanya, suaranya berbisik Kakek itu memandang kepadanya, tersenyum pahit dan mengangguk.
"Dia mati dan tentu saja aku marah sekali. Urusan kitab, sudah kupendam dan aku tidak berniat merampasnya dari tangan suheng lagi. Akan tetapi sekali ini adalah urusan matinya putera tunggalku! Aku datang kepadanya dan minta pertanggungan jawabnya atas perbuatan puteranya, yaitu Bu Kek Siang. Suheng amat sedih. Dia merasa menyesal sekali dengan terjadinya peristiwa itu dan sadar bahwa semua itu timbul karena keserakahannya sendiri. Akan tetapi dia amat menyayangi putera tunggalnya itu dan tidak tega untuk menghukumnya. Kemudian, melihat puteraku yang sudah hampir mati itu kubawa didepannya dan kini puteraku menghembuskan napas terakhir didepan hidungnya, suheng lalu membunuh diri untuk menebus kesalahan puteranya! Dan dia berpesan sebelum menghembuskan napas terakhir, minta kepadaku agar permusuhan dan dendam-mendendam itu dihabiskan sampai disitu saja. Pada saat itu aku amat berduka atas kematian puteraku, juga tersentuh oleh pengorbanan suhengku, maka akupun mengangguk dan menuruti pesannya. Aku tidak memperdulikan lagi urusan kitab, dan membawa pergi jenazah puteraku."
Bwee Hong merasa betapa bulu tengkuknya meremang mendengar cerita ini. Kalau saja kakaknya ikut mendengarkan! Pandangannya terhadap kakek jubah hitam yang sudah banyak menderita tekanan batin itu kini berobah. Ia percaya akan kebenaran cerita ini, karena apa perlunya kakek ini membohong dan bercerita begitu panjang lebar kepadanya? Kakek itu menarik napas panjang.
"Sayang sungguh sayang agaknya Thian tidak menghendaki urusan itu berhenti sampai disitu saja...! Kalau aku sudah dapat menerima keadaan, tidak demikian dengan murid-muridku. Mereka itu mendendam atas kematian suheng mereka dan diam-diam mereka berusaha menuntut balas, atau setidaknya berusaha untuk merampas kitab ilmu pengobatan itu. Beberapa kali usaha mereka gagal dan aku memberi hukuman kepada mereka. Akan tetapi mereka itu nekat terus sampai akhirnya Bu Kek Siang menjauhi pembalasan mereka dan menyembunyikan diri. Hingga belasan tahun kemudian murid-muridku itu menemukan tempat persembunyiannya dan terjadilah peristiwa yang kau alami itu." Kakek itu menghentikan ceritanya dan memandang kepada Bwee Hong dengan mata sedih sekali.
"Demikianlah ceritaku selengkapnya, nona. Dendam... Dendam balas-membalas! Apakah sekarang engkau dan kakakmu hendak melanjutkan lingkaran dendam itu? Engkau dan kakakmu membunuh aku atau muridku, kemudian kelak anak mereka akan mencarimu untuk membalas dendam lagi, disambung oleh keturunanmu yang kembali membalas dendam kepada keturunan mereka. Begitukah yang kau kehendaki? Ah, betapa menyedihkan!" Kakek itu menundukkan mukanya.
Bwee Hong tak dapat bicara. Hatinya tersentuh. Tak mungkin dunia ini terdapat kedamaian dan ketenteraman selama hati selalu diracuni dendam dan kebencian. Mula-mula sekali kakek guru Bu Cian yang memulainya, dengan keserakahannya tidak mau membagi-bagi ilmu pengobatan seperti pesan mendiang Bu-Eng Sin-yok-ong. Kemudian, ayah angkatnya, Bu Kek Siang yang membunuh putera kesayangan kakek ini. Akibatnya, murid-murid kakek ini datang membalas dendam. Kalau menurut cerita ini, pihak kakeknyalah yang menjadi biang keladi permusuhan. Akan tetapi benarkah cerita yang baru didengarnya dari kakek jubah hitam itu? Agaknya Ouwyang Kwan Ek dapat menduga keraguan hati Bwee Hong.
"Kalau engkau tidak percaya akan kebenaran ceritaku, engkau boleh bertanya kepada tokoh-tokoh tua dunia persilatan yang kini masih hidup dan yang mengetahui peristiwa keributan dalam perguruan kita itu. Diantara mereka adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang dan Siang Houw Nio-nio pengawal Kaisar."
"Kata-katanya itu benar belaka" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari balik batu besar. Semua orang menengok dan nampak seorang kakek dan seorang nenek keluar dari balik batu. Mereka adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang bersama isterinya, yaitu Siang Houw Nio-nio! Melihat Siang Houw Nio-nio, Bwee Hong cepat memberi hormat.
"Dia tidak membohong dan memang semua itu telah terjadi pada keturunan Bu-Eng Sin-yok-ong, sungguh patut disesalkan sekali," kata pula nenek Siang Houw Nio-nio kepada Bwee Hong.
"Akupun menjadi saksi akan kebenaran cerita susiok-couwmu itu, nona Chu. Karena itu, semua permusuhan antara keluarga perguruan sendiri yang tiada gunanya itu seyogianya dihadapi dengan kesadaran dan kebesaran hati sehingga dapat berakhir." Yap-lojin juga berkata.
"Kalau memang demikian riwayatnya, sayapun tidak akan melanjutkan dendam yang tiada gunanya ini, Lo-cianpwe," kata Bwee Hong menunduk. Yap-lojin dan isterinya lalu memberi hormat sambil bermuka sedih kepada pangeran mahkota. Siang Houw Nio-nio menjatuhkan dirinya berlutut dan berkata,
"Pangeran, hal-hal yang hebat terjadi tanpa saya mampu menolong, dosa saya besar sekali..." Pangeran mahkota cepat-cepat mengangkat bangun wanita itu yang masih terhitung nenek sendiri karena mendiang ayahnya adalah keponakan nenek ini.
"Harap jangan bersikap demikian, Nio-nio. Bukan salahmu, bukan salahku, bukan salah kita semua. Segala hal yang terjadi adalah kehendak Thian." Ketika Ouwyang Kwan Ek yang merasa amat takjub kepada A-hai mencari pemuda itu untuk diajak bicara dan berkenalan lebih dekat, ternyata pemuda itu kini telah bersikap biasa, bahkan nampak bodoh. A-hai telah duduk mendekati Cui Hiang yang buntung lengan kirinya itu. Cui Hiang menangis, bukan menangis karena nyeri melainkan karena kematian keluarganya. Memang luka dipundaknya yang kehilangan lengan kiri itu terasa nyeri, akan tetapi berkat pengobatan Bwee Hong, tidaklah begitu hebat dibandingkan dengan rasa nyeri dihatinya. A-hai merangkulnya dan menghiburnya dengan terharu.
"Adik kecil, kita sama-sama yatim piatu, seorang diri saja didunia ini, tiada sanak saudara lagi. Maukah engkau bersama-sama dengan aku?"
Dengan terharu Cui Hiang mengangguk. Air matanya bercucuran, sebentar menoleh kearah jenazah keluarganya, kemudian menoleh kearah lengan yang menggeletak diatas tanah, Ia merasa seolah-olah lengannya yang buntung itu, yang kini merupakan sepotong lengan yang menggeletak tak bergerak dan pucat diatas tanah, seperti sebuah mayat pula. Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia menghampiri potongan lengannya sendiri itu, diambilnya dengan tangan kanan, lalu dibungkusnya kedalam baju luarnya, semua ini dilakukan dengan agak sukar karena hanya menggunakan satu tangan saja, lalu bungkusan lengan kiri itu dipeluknya dengan lengan kanan. Semua orang memandang dengan terharu dan merasa bergidik, akan tetapi tidak ada yang bertanya karena merasa kasihan dan tidak mau menyinggung hati anak perempuan itu.
Bagaimanakah pangeran mahkota muncul ditempat itu dan bersama dengan Ouwyang Kwan Ek, ketua Liong-i-pang? Seperti pernah diceritakan dibagian depan, pangeran mahkota telah disingkirkan oleh komplotan Perdana Menteri Li Sn dan kepala thaikam Chao Kao, dikirim ke garis depan untuk membantu Jenderal Beng Tian memimpin pasukan menghadapi para pemberontak. Pada mulanya, pasukan pemerintah ini bertugas disepanjang Tembok Besar melawan bangsa nomad Hun (Siung Nu), akan tetapi kemudian pindah ke barat untuk menghadapi pemberontakan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu.
Karena pasukan itu tidak mendapat bantuan lagi dari pusat, seolah-olah dibiarkan saja, maka pasukan pemerintah ini terus terdesak mundur oleh kaum pemberontak. Pangeran mahkota yang bukan seorang ahli perang dan hanya maju memimpin pasukan atas desakan Istana, menjadi putus asa dan dia menyerahkan sisa pasukannya kepada Jenderal Beng Tian. Dia sendiri lalu melakukan perjalanan pulang keselatan. Akan tetapi, ditengah perjalanan dia mendengar tentang kematian Kaisar dan tentang penggantian yang dilakukan pada waktu dia tidak ada dan yang diangkat menjadi Kaisar adalah adiknya, putera Kaisar yang kedua. Tahulah pangeran mahkota bahwa terjadi pengkhianatan dan kecurangan, akan tetapi setelah lama berada diluar Istana, ikut bertempur bersama Jenderal Beng Tian, pangeran ini telah terbuka matanya.
Dia melihat kebobrokan pemerintahan ayahnya, melihat betapa rusaknya pemerintah akibat kelaliman para pejabat tinggi yang mempengaruhi ayahnya. Setelah matanya terbuka, dia merasa malu dan jijik, bahkan tidak mempunyai minat untuk menjadi Kaisar, seperti orang yang jijik melihat sesuatu yang penuh kekotoran diserahkan kepadanya untuk diurus. Ngeri dia kalau harus bekerja dibantu oleh orang-orang yang demikian jahat, licin dan curangnya. Maka, mendengar bahwa adiknya yang naik tahta, diapun tidak menjadi penasaran. Akan tetapi, para pendekar yang tahu bahwa sang pangeran hendak kembali ke Kotaraja, memperingatkannya bahwa Kaisar baru dikuasai oleh pejabat-pejabat lalim, telah mengirim jagoan-jagoan untuk mencari putera mahkota ini,
Setelah Kaisar baru mengirim utusan ke garis depan untuk menangkapnya mendengar bahwa pangeran itu telah pergi meninggalkan pasukan. Kini pangeran dicari oleh jagoan-jagoan Istana, maka sang pangeran lalu menyembunyikan diri. Untung dia bertemu dengan kakek Ouwyang Kwan Ek yang kemudian melindunginya. Sementara itu, Siang Houw Nio-nio merupakan tokoh yang paling tidak setuju akan adanya penggantian Kaisar oleh pangeran kedua itu. Iapun dapat menduga bahwa surat wasiat Kaisar lama telah dipalsukan. Akan tetapi apa dayanya seorang wanita yang pangkatnya hanya pengawal pribadi Kaisar yang sudah mati, walaupun ia masih terhitung bibi dari Kaisar itu sendiri?
Karena merasa tidak suka akan tetapi juga tidak berdaya, ia hanya memprotes yang akhirnya hanya membuat ia ditahan dan dijebloskan kedalam penjara. seperti diceritakan dibagian depan, Pek In dan Ang In, dua orang murid Siang Houw Nio-nio, berhasil lolos dan melaporkan hal itu kepada Yap-lojin. Kakek ini segera terbang ke Kotaraja dan hanya dengan susah payah dan mengandalkan kepandaiannya dan bantuan para pendekar di Kotaraja sajalah akhirnya Yap-lojin berhasil membebaskan isterinya. Akan tetapi mereka menjadi buruan pemerintah, dan mereka harus cepat-cepat pergi karena kini Istana memiliki jagoan-jagoan dari kaum sesat yang dipimpin oleh Panglima Kelelawar Hitam! Setelah mendengar para pendekar itu saling menceritakan pengalamannya, putera mahkota menarik napas panjang.
"Aih, betapa bobroknya keadaan di Istana, baru sekarang aku menyadari. Kiranya sejak lahir aku sudah berada didalam dunia yang mewah dan mulia namun penuh dengan kebobrokan!"
Dia makin tidak bernafsu lagi untuk kembali ke Istana, apa lagi untuk memperebutkan kedudukan Kaisar. Dia akan membantu gerakan para pejuang dan semua itu dilakukan bukan untuk memperebutkan kedudukan, melainkan untuk membantu melenyapkan kekuasaan sewenang-wenang dan jahat yang menguasai negara dan rakyat. Tiba giliran Bwee Hong untuk menceritakan pengalamannya didepan Ouwyang Kwan Ek. Yap-lojin, Siang Houw Nio-nio, dan sang pangeran itu. Ia menceritakan tentang tugas dari Kaisar yang dipikul kakaknya, tugas mencari Menteri Ho yang ternyata gagal karena Menteri Ho yang setia itu keburu dibunuh oleh para penjahat kaki tangan Menteri lalim. Kemudian, kakaknya hendak ke Kotaraja untuk melaporkan hasil tugasnya itu. Akan tetapi dia malah ditawan oleh kaki tangan Kaisar baru yang dipimpin oleh Kelelawar Hitam atau Raja Kelelawar.
"Padahal, Kun-koko yang sudah melihat sendiri keadaan pasukan para pendekar yang dipimpin oleh Liu-Bengcu, ingin pula melaporkan ke Kotaraja tentang kesalah-pahaman antara pemerintah dan pasukan itu. Liu-Bengcu bermaksud membersihkan negara dari para pengkhianat dan penjual bangsa, akan tetapi oleh pemerintah malah dimusuhi dan dicap sebagai pemberontak," katanya.
"Tentu saja!" kata Siang Houw Nio-nio.
"Pemerintah sudah dikuasai oleh para pengkhianat itu sendiri, tentu saja Liu-Bengcu dimusuhi!" Yap-lojin menarik napas panjang.
"Kaisar boneka diangkat, kekuasaan berada ditangan pembesar-pembesar lalim dan korup, malah kaum sesat yang dipimpin Raja iblis seperti Raja Kelelawar diangkat sebagai panglima dan perwira-perwira. Aih, adakah yang lebih gila dari pada ini?"
"Menteri-Menteri dan pejabat-pejabat yang jujur dipenjarakan atau dibunuh," Siang Houw Nio-nio berkata lagi.
"Setan-setan dan iblis-iblis berkeliaran di Istana, menguasai negara, jenderal Beng Tian seorang diri dibiarkan mati-matian menahan majunya para pemberontak yang melanda negara seperti air bah, sedangkan mereka yang di Istana hanya bersenang-senang belaka. Padahal, pasukan Liu-Bengcu sudah mendesak dari selatan dan timur, sedangkan pasukan Chu Siang Yu mendesak dari barat."
"Kami berdua tidak berdaya. Kami sendiri menjadi buronan, terpaksa meninggalkan Kotaraja," sambung Yap-lojin.
"Di tengah jalan kami sudah berpapasan dengan sebagian pasukan Jenderal Beng Tian yang kalah berperang. Mereka mundur untuk mempertahankan benteng terakhir, yaitu Kotaraja sendiri. Kotaraja sudah terhimpit dari empat jurusan, tak tertolong lagi!"
"Ah, apa akan jadinya dengan negara kita? Apakah akan terjatuh ketangan pemberontak dan terobek-robek dipakai berebutan?" Sang pangeran ikut bicara, suaranya sedih. Semua orang terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak seorangpun nampak gembira, walaupun kesedihan yang membayang diwajah A-hai dan Cui Hiang berbeda dengan kesedihan orang-orang lain itu.
Bagaimanapun juga, orang-orang yang masih setia kepada negara ini masih mempunyai sisa keinginan untuk dapat menyelamatkan negara dari pada bencana, kalau mungkin. Akan tetapi sampai lama mereka tidak dapat melihat jalan yang baik. Kekuatan pasukan yang dapat diharapkan hanyalah tinggal satu-satunya pasukan Jenderal Beng Tian yang sudah mengalami pukulan berkali-kali dan semakin menipis, baik jumlah maupun semangatnya itu. Pasukan-pasukan para kepala daerah sudah jatuh ketangan para pemberontak dan banyak pula pasukan-pasukan kecil yang bertugas diluar Kotaraja, kalau tidak dihancurkan oleh para pemberontak, juga menyeberang dan bergabung dengan para pemberontak. Menteri-Menteri dan para pejabat yang jujur sudah dihalau dari kedudukan mereka. Apa lagi yang dapat dilakukan? Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang.
"Pangeran, agaknya tidak terdapat jalan yang baik untuk menolong negara pada waktu seperti sekarang ini. Andaikata kita mampu menghalau para pemberontak, tetap saja kita harus menghadapi para pengkhianat yang sudah bercokol dan mencengkeram Istana. Dan melawan kekuasaan mereka, selain membutuhkan kekuatan besar, juga berarti menentang kekuasaan yang ada, sama dengan memberontak pula. Sebaiknya kita bergabung saja dengan sisa pasukan Jenderal Beng Tian. Kita bawa sisa pasukan menghindar dan menyusun kekuatan baru. Biarlah para pengkhianat itu menghadapi pasukan pemberontak dan biarlah para pemberontak yang menggulingkan mereka. Kelak apabila kekuatan kita sudah cukup, kita gempur kembali pasukan pemberontak itu. Kiranya hanya inilah satu-satunya jalan."
Sang pangeran dan semua orang mengangguk membenarkan. Kemudian mereka bubaran. Tiga orang Lo-cianpwe itu akan mengawal sang pangeran bergabung kepada pasukan Jenderal Beng Tian yang sudah mundur ke benteng Kotaraja. Sedangkan Bwee Hong, Siok Eng, dan A-hai yang mengajak Cui Hiang yang masih perlu perawatan Bwee Hong dan yang sejak saat itu tidak mau berpisah dari A-hai, hendak melanjutkan perjalanan mereka ke Kotaraja untuk mencari Seng Kun. Sebelum berpisah, mereka beramai-ramai mengubur semua jenazah dan Cui Hiang diberi kesempatan untuk menyembahyangi makam keluarganya. Anak kecil ini meratap dan menangis, membuat terharu semua orang karena selain kehilangan ayah-bunda dan adiknya, juga anak perempuan ini kehilangan lengan kirinya. Sebelum meninggalkan orang-orang muda itu, nenek Siang Houw Nio-nio berkata kepada Bwee Hong,
"Nona Chu, kalau engkau mencari kakakmu, janganlah mencari di Kotaraja, akan tetapi carilah dibenteng kuno diluar pintu gerbang Kotaraja sebelah selatan. Semua tawanan pemerintah dikumpulkan disana." Bwee Hong mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Keterangan ini amat penting karena mencari seorang tawanan di Kotaraja memang tidak mudah, apa lagi Kotaraja kini dikuasai oleh kekuatan kaum sesat yang lihai.
Malam itu mereka bermalam dibekas reruntuhan rumah keluarga Cui Hiang yang telah dibakar para penjahat. Cui Hiang duduk termenung mengawasi bekas rumah dan tempat dimana ia biasa bermain-main dengan adiknya. Wajahnya pucat akan tetapi ia tidak menangis lagi. Anak ini maklum bahwa ia telah ditolong oleh orang-orang gagah dan ia merasa malu kalau selalu memperlihatkan tangisnya. Keluarganya sendiri hanyalah keluarga sederhana yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja, akan tetapi dari ayahnya ia sudah banyak mendengar tentang kegagahan para pendekar didunia kang-ouw. Ia tidak ingin mengecewakan hati orang-orang gagah, para pendekar yang telah menolongnya itu. Melihat anak perempuan itu tidak tidur melainkan duduk termenung dengan sedih. A-hai yang merasa kasihan dan suka sekali kepada Cui Hiang, mendekati dan mereka duduk diatas batu diluar bekas rumah itu.
"Cui Hiang, kenapa engkau tidak mengaso dan tidur? Kita besok akan melanjutkan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan," kata A-hai dengan suara lembut. Anak itu menggeleng kepala.
"Aku belum mengantuk dan biarlah malam ini kulewatkan untuk melihat-lihat tempat dimana aku dipelihara sampai besar dan yang akan kutinggalkan untuk selamanya."
"Anak yang baik, mari kutemani kau. Kita bicara. Siapakah nama marga keluargamu? Aku hanya tahu namamu Cui Hiang, akan tetapi tidak tahu siapa she mu."
"Keluarga yang terbasmi penjahat itu she Gan, akan tetapi aku sendiri she Pouw."
"Eh? Kenapa begitu? Bukankah engkau anak mereka?" Gadis cilik itu menggeleng kepalanya dan wajahnya menjadi muram.
"Aku hanya anak angkat mereka, akan tetapi mereka begitu baik kepadaku sehingga kuanggap mereka sebagai ayah dan ibu kandung sendiri. Aku mereka pelihara sejak bayi." A-hai mengangkat alisnya dan merasa tertarik sekali.
"Ah, sungguh tak kusangka. Maukah engkau menceritakan riwayatmu kepadaku, Cui Hiang?" Anak itu menoleh dan memandang wajah A-hai yang hanya nampak remang-remang dibawah sinar bintang-bintang dilangit dan iapun memegang tangan orang muda itu.
"Tentu saja, inkong (tuan penolong), aku suka menceritakan riwayatku kepadamu. Sekarang aku hanya mempunyai engkau seorang yang mau menolongku didunia ini" Suaranya terhenti karena haru. A-hai memecahkan keharuan itu dengan senyum dan merangkul pundaknya.
"Ihh. kenapa menyebut inkong? Tidak enak sekali sebutan itu."
"Habis aku harus menyebut apa? Kongcu? Atau taihiap?"
"Wah, wah... bisa ditertawakan semut kalau engkau menyebutku kongcu. Masa ada kongcu (tuan muda) macam aku ini. Dan taihiap (pendekar besar)? Wah, kepalaku bisa mengembung dan hidungku bisa mekar nanti. Sebut saja eh, bagaimana kalau aku menjadi kakakmu?"
"Baik, aku menyebutmu twako. Aku mendengar namamu disebut A-hai, biarlah kusebut kau Hai-twako!"
Melihat gadis cilik itu sudah pulih lagi kegembiraannya dan percakapan itu mengusir kedukaannya, A-hai lalu berkata,
"Nah, sekarang ceritakanlah riwayatmu, adikku yang manis."
"Ketika itu aku masih kecil, baru berusia tiga atau empat tahun," Cui Hiang mulai menceritakan riwayatnya.
"Kalau ayah angkatku tidak menceritakan riwayat itu kepadaku, tentu aku akan lupa dan tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Menurut cerita ayah angkatku, aku datang dibawa oleh ayahku yang terluka parah kepada mereka, keluarga Gan suami-isteri yang belum mempunyai anak. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Oleh ayahku, aku diserahkan kepada suami-isteri Gan yang sudah belasan tahun menikah tapi belum mempunyai anak. Karena lukanya yang parah akhirnya ayahku itu meninggal dunia, dan sebelum mati dia menyerahkan aku kepada suami-isteri itu dengan pesan agar suami-isteri itu membawaku bersembunyi karena ayahku dan juga aku sebagai anaknya sedang dicari-cari musuh besar yang telah melukainya." A-hai mendengarkan dengan tertarik. Tak disangkanya bahwa anak ini membawa rahasia yang demikian menarik.
"Lalu bagaimana?" tanyanya ketika anak itu kelihatan mengingat-ingat.
"Ayah dan ibu Gan amat suka kepadaku, maka aku lalu diambil anak. Dua tahun kemudian merekapun dikurniai seorang anak yang menjadi adikku. Dan mentaati pesan ayahku, keluarga kami. hidup didekat rawa sebagai penangkap ikan, karena memang keluarga Gan adalah keluarga sederhana yang miskin. Kehidupan kami sederhana namun cukup berbahagia dan ayah angkatku melatih ilmu silat sedikit-sedikit kepadaku. Akan tetapi, siapa kira akan datang malapetaka yang menewaskan mereka sekeluarga, kecuali aku" Gadis cilik itu menahan kesedihannya dan memandang kearah pundak kirinya yang tak berlengan lagi itu. A-hai merangkulnya.
"Sudahlah, sebagai gantinya kan ada aku yang menjadi kakakmu! Biarlah aku menggantikan mereka, menggantikan ayahmu, ibumu, saudaramu!" Cui Hiang memandang wajah yang tampan itu,
"Hai-twako, mungkin engkau bisa menggantikan ayah angkatku, akan tetapi mana mungkin engkau menggantikan tempat ibu angkatku dan adikku laki-laki yang masih kecil?" katanya sambil tersenyum.
"Siapa bilang tidak bisa?" A-hai lalu bangkit berdiri dan bergaya sebagai seorang wanita, berlenggak-lenggok dan mukanya dimanis-maniskan lalu bicara dengan suara dikecilkan,
"Cui Hiang, anakku yang baik, apakah engkau sudah makan?" Melihat gaya itu, Cui Hiang tertawa geli dan lupa akan kedukaannya. A-hai menghentikan gayanya dan tertawa pula.
"Nah, apakah tidak pantas aku menjadi ibumu? Sekarang menjadi adikmu." Dan diapun bergaya lagi, dengan sikap kekanak-kanakan sehingga nampak lucu seperti monyet menari. Suaranya dibikin pelo seperti suara anak kecil,
"Enci Hiang sekalang aku minta endong, minta endong huhuh" Dan dia pura-pura mau menangis seperti anak kecil yang manja. Melihat ini, tawa Cui Hiang makin geli. Giranglah hati A-hai dan diapun bernyanyi, seperti nyanyian anak-anak akan tetapi kata-katanya sungguh bukan kata-kata yang pantas dinyanyikan anak kecil.
"Apa yang terjadipun terjadilah dewa dan iblis tak dapat mencegahnya tawa dan tangis tak dapat merobohnya! Akan tetapi sama-sama menggerakkan mulut mengapa menangis dan tidak tertawa saja? Tangis mengeruhkan hati dan pikiran tawa menjernihkannya! Tangis mengundang kesedihan tawa mendatangkan kegembiraan! Tangis memperburuk muka tawa mempercantiknya! Hentikan tangis, hayo tertawa!!" Dan keduanya lalu tertawa-tawa dengan bebas, merasa betapa rongga dada menjadi longgar dan langit penuh bintang nampak indah berseri. Akan tetapi, tawa juga mendatangkan lelah.
"Aku lapar!" Cui Hiang berkata.
"Sama!" kata pula A-hai dan merekapun tertawa lagi.
"Di kebun belakang ada tanaman ubi, biar kuambilkan dan kita bakar," kata pula Cui Hiang dan anak inipun berlari menuju keladang dibelakang reruntuhan rumah. Ia melupakan kesedihannya, bahkan melupakan hilangnya lengan kiri ketika dengan tangan kanannya ia mencari dan mendapatkan beberapa batang ubi yang segera dibawanya kepada A-hai sambil berlari-lari. Mereka lalu membuat api unggun dan membakar ubi itu lalu sama-sama makan ubi. Lezat rasanya makan ubi bakar sewaktu perut lapar dan hati masih diliputi kegembiraan yang timbul karena percakapan tadi. Kalau pada saat itu Bwee Hong melihat keadaan A-hai, tentu ia akan merasa terheran-heran. Belum pernah A-hai memperlihatkan sikap seperti itu, pandai bermain-main dengan anak kecil, pandai menghibur dan pandai pula melucu!
"Eh, Cui Hiang, siapakah ayah kandungmu itu? Engkau belum memberitahukan namanya kepadaku," tiba-tiba A-hai teringat dan bertanya. mereka duduk menghadapi api unggun, merasa hangat dan nyaman sehabis makan ubi dan minum air.
"Menurut ayah angkatku, namanya adalah Pouw Hong!"
"Pouw... Pouw... Hong? Pouw Hong, hemm, aku seperti pernah mengenal nama itu." A-hai mengerutkan alisnya dan mengerahkan ingatannya. Wajah Cui Hiang berseri.
"Twako, engkau mengenal mendiang ayah kandungku itu?"
"Entahlah, akan tetapi... aku benar-benar merasa seperti pernah mendengar nama itu, tidak asing bagiku" Pada saat itu, Bwee Hong keluar dari dalam rumah yang sebagian besar sudah terbakar. Melihat A-hai dan Cui Hiang duduk bercakap-cakap dekat api unggun, Bwee Hong menghampiri.
"A-hai, malam ini aku harus melanjutkan pengobatan atas dirimu," gadis itu berkata. A-hai memandang ragu.
"Akan tetapi nona, saudara Seng Kun tidak ada..."
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak mengapa, A-hai. Aku sudah tahu bagaimana cara pengobatannya. Kalau tidak dilanjutkan, walaupun hanya tusukan jarum di bagian yang penting-penting saja, aku khawatir kalau keadaanmu tidak menjadi semakin baik. Pengobatan pokok dilanjutkan kelak kalau kita sudah berkumpul kembali dengan Kun-koko."
A-hai tidak membantah lagi dan merekapun memasuki bekas rumah keluarga Gan yang sudah porak-poranda itu. A-hai rebah diatas lantai yang sudah dibersihkan. Dibawah penerangan api yang dijaga oleh Siok Eng dan Cui Hiang. Bwee Hong mulai dengan pengobatan itu, dengan penusukan jarum-jarum dibeberapa tempat, dipelipis, tengkuk dan pundak. Mendapatkan pengobatan itu, A-hai merasa tubuhnya enak dan nyaman, maka diapun segera tertidur dengan nyenyaknya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu bangun tidur, A-hai sudah cepat-cepat mencari Cui Hiang. Bwee Hong dan Siok Eng sedang mandi dipancuran, dan Cui Hiang sedang duduk melamun seorang diri ditepi rawa, memandang ketengah rawa yang menjadi sumber nafkah keluarga Gan selama ini.
"Hei, baru apa engkau? Melamun disini!" tegurnya dan begitu melihat A-hai, wajah gadis cilik itupun berseri dan wajah yang tadinya muram menjadi terang seperti segumpal awan tipis tertiup angin. A-hai lalu duduk diatas rumput disebelah Cui Hiang.
"Malam tadi aku bermimpi dan aku bertemu dengan ayah kandungmu...!" Cui Hiang tersenyum dan menyangka bahwa A-hai menggodanya.
"Ah, mana mungkin bertemu dengan orang yang belum kau kenal dalam mimpi, Hai-twako?"
"Benar! Aku teringat sekarang. Dia selalu bersama denganku. Tidak salah lagi, agaknya kami pernah bersahabat karib, bahkan dia juga tinggal dirumahku. Rumah pesanggrahan kecil mungil didekat sungai, dimana terdapat air terjun yang indah itu" Cui Hiang tetap kurang percaya dan tersenyum seperti mentertawakan orang yang menggoda dan membohonginya ini. Melihat ini, A-hai berkata,
"Engkau masih tidak percaya kepadaku? Nah, bukankah ayahmu itu tubuhnya pendek bulat dan kepalanya kecil? Dan kakinya agak timpang dan bengkok? Maaf" Cui Hiang terbelalak memandang wajah A-hai.
"Eh... be... benar" katanya.
"Aku masih ingat bahwa ayahku itu memang bertubuh pendek bulat... akan tetapi aku tidak ingat lagi wajahnya. Ketika itu aku baru berusia tiga empat tahun..."
"Ha-ha, itulah!" kata A-hai dengan gembira,
"Jelas bahwa aku bersahabat karib dengan ayah kandungmu itu. Nah, kalau begitu engkau sebut saja paman kepadaku, anggap saja aku adik ayah kandungmu!" Cui Hiang juga menjadi gembira dan mengangguk taat.
"Baiklah, paman."
"Nah, mari kita mandi."
"Di pancuran belakang rumah"
"Aku sudah tahu. Dua orang nona itupun tadi mandi disana." Mereka lalu berlari-lari kecil menuju kepancuran. Bwee Hong dan Siok Eng sudah selesai mandi. Seperti biasa, sebelum mandi pagi, Cui Hiang berlatih silat.
"Ayah angkatku selalu mengharuskan aku berlatih silat sebelum mandi pagi," katanya.
"Dan aku ingin mencoba apakah dengan satu tangan saja aku masih bisa berlatih silat." Akan tetapi saat itu didalam suara Cui Hiang tidak terkandung kesedihan dan iapun segera bersilat dengan sebelah tangan. Tentu saja kaku gerakannya, karena dibagian gerakan tangan kiri, ia harus berhenti sebentar dan hanya membayangkan saja tangannya itu bergerak, memukul, menangkis atau mencengkeram. A-hai diam-diam mengamati gerakan anak itu dan hatinya terharu. Tanpa disadarinya, kini dia dapat meneliti ilmu silat dengan baiknya seolah-olah dia seorang ahli silat yang pandai! diluar kesadarannya bahwa telah terjadi perobahan lagi pada ingatannya, A-hai berdiri dan mendekati Cui Hiang yang sedang berlatih itu.
"Cui Hiang, langkahmu itu lemah dan gerakan tangan kananmu itupun salah. Wah, ilmu silatmu itu hanya baik untuk pamer saja, hanya kelihatannya saja bagus akan tetapi tidak ada gunanya untuk menghadapi lawan. Mari sini, kuajari engkau Ilmu silat yang lebih berguna bagimu." Karena menduga bahwa penolongnya ini seorang ahli, seorang pendekar yang berilmu tinggi seperti juga dua orang gadis pendekar tu, Cui Hiang menjadi girang sekali. Memang tadi ia berlatih silat dengan suatu niat dihatinya, yaitu untuk memancing perhatian A-hai karena ia sudah berniat minta diajari ilmu silat. Ia harus pandai ilmu silat agar kelak ia dapat membalas kepada orang yang membuntungi lengan kirinya. Ia sudah tahu dari Siok Eng siapa orang itu. Sanhek-houw Si Harimau Gunung!
Pendekar Tanpa Bayangan Eps 2 Naga Beracun Eps 34 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 12