Darah Pendekar 2
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Teecu sendiri juga bukan seorang yang suka berkhianat, bukan pula seorang yang berjiwa pemberontak dan tidak setia kepada negara dan bangsa. Kita yang menamakan diri pendekar dan patriot, memang mencinta negara dan bangsa dan rela mati demi membela nusa dan bangsa. Akan tetapi, kalau negara dipimpin oleh seorang Kaisar yang lalim dan jahat, kalau bangsa ditindas demi kepuasan nafsu Kaisar lalim, apakah kita juga harus bersetia kepada Kaisar seperti itu? Bukankah kalau kita setia kepada Kaisar lalim, berarti kitapun membantu Kaisar untuk menindas bangsa sendiri, untuk membawa negara keambang kehancuran? Lihat, betapa banyaknya rakyat terbunuh, ratusan ribu, jutaan, untuk membangun Tembok Besar. Dan pembakaran kitab-kitab itu! Apakah semua itu harus dibiarkan saja?"
"Tentu saja tidak, nona!" kata Pek-bin-houw.
"Dan buktinya, Ho-taijin yang mulia sudah bertindak, memprotes Kaisar!"
"Dan akibatnya, dia sendiri ditangkap!" nona itu berseru marah.
"Dan semua keluarga ayah, bibi, paman, keponakan-keponakan, bahkan pelayan-pelayan, semua ditangkapi dan dijebloskan tahanan!"
"Itulah yang dinamakan membela kebenaran, nona. Ayahmu bukan setia kepada Kaisar, melainkan kepada nusa dan bangsa, kepada kebenaran. Demi kebenaran, ayahmu berani menentang Kaisar dan berani menghadapi hukuman. Kami mengerti, dengan perbuatannya itu, ayahmu ingin menyadarkan Kaisar akan kelalimannya!"
"Benarkah Kaisar akan sadar? Aku tidak percaya akan hal ini. Kaisar telah lalim, dan untuk itu, siapa lagi kalau bukan kita kaum pendekar yang bergerak untuk membebaskan rakyat dari kelalimannya? Ini bukan pemberontakan terhadap negara dan bangsa, melainkan pemberontakan terhadap penguasa lalim yang akan menyeret negara dan bangsa kelembah kehancuran!" Empat orang gurunya mengangguk-angguk dan diam-diam mereka merasa bangga akan semangat murid mereka itu.
"Ucapanmu benar, nona. Pengorbanan ayahmu tidak akan sia-sia, mata para pendekar akan lebih terbuka dan akan makin banyaklah orang gagah yang menentang Kaisar yang lalim. Akan tetapi, urusan ini bukan urusan kecil, oleh karena itu kita semua harus menyerahkan segala urusan ini dibawah pimpinan Liu-toako (kakak Liu)."
Mereka melanjutkan perjalanan dan kini empat orang pendekar itu bercakap-cakap tentang kelihaian orang-orang yang mereka temui dalam pertempuran siang tadi. Pek Lian mendengarkan percakapan mereka dengan hati tertarik, karena didalam hatinya iapun merasa kagum akan kepandaian Pek-lui-kong dan terheran-heran akan perobahan pada diri kusir muda yang tiba-tiba saja menjadi gila dan setelah gila ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga si pendek Pek-lui-kong sendiri sampai tidak mampu menandinginya!
"Kepandaian Pek-lui-kong yang lihai itu tidak perlu diherankan lagi," antara lain Kim-suipoa yang lebih berpengalaman sebagai pedagang yang suka merantau dari pada saudara-saudaranya berkata,
"Dia adalah murid dari Soa-hu-pai tingkat tinggi, tentu saja ilmunya hebat bukan main dan masih baiklah kalau kita berempat tadi masih mampu menandinginya dan tidak sampai tewas ditangannya."
"Suhu, teecu rasakan tadi pukulannya mengandung hawa yang berputaran seperti angin puyuh, dan juga terasa dingin bukan main. Pukulan apakah itu?" Pek Lian sejenak melupakan kedukaannya karena ditangkapnya ayahnya dan mengajukan pertanyaan itu.
"Itulah pukulan yang disebut Pukulan Pusaran Pasir Maut!" jawab Kim-suipoa sambil bergidik.
"Pukulan itu merupakan inti dari ilmu Perkumpulan Danau Pasir itu. Aku hanya mengetahui sedikit saja, nona, akan tetapi perlu juga kau dengarkan agar kelak dapat berhati-hati kalau bertemu dengan tokoh dari Soa-hu-pai itu. Danau itu sebetulnya kini lebih tepat disebut rawa berpasir yang terletak disebuah puncak, merupakan kawah yang sudah mati, dan mirip sebuah danau, akan tetapi bukan air yang berada didanau itu, melainkan pasir. Pasir ini amat panas, kadang-kadang mengepulkan asap yang panas dan berbau keras. Dan dalamnya pasir ini tak pernah ada yang dapat mengukurnya, mungkin saja tak dapat diukur selamanya. Selain amat dalam dan juga amat panas, pasir ini mempunyai sifat yang mengerikan, yaitu dapat bergerak menyedot segala sesuatu yang terjatuh disitu. Biar binatang yang kuat seperti harimau sekalipun, sekali terjatuh kedalam pasir, jangan harap akan dapat keluar lagi karena tersedot terus sampai lenyap tanpa meninggalkan bekas."
"Ih, mengerikan...!" kata Pek Lian, membayangkan betapa mengerikan kalau sampai ia terjatuh kedalam kubangan pasir itu.
"Dan hasil ilmu dari tempat itupun mengerikan," kata lagi Kim-suipoa.
"Tokoh yang menemukan ilmu itu kemudian mendirikan partai Soa-hu-pai berjuluk Kim-mou Sai-ong, seorang pendeta berambut keemasan yang amat terkenal abad lalu, Dan ilmu itu bertingkat-tingkat. Kabarnya hanya Kim-mou Sai-ong seoranglah yang dapat mencapai tingkat ketiga belas. Ilmu itu luar biasa sukarnya dan mempelajarinya harus dengan taruhan nyawa, maka jaranglah ada murid yang mencapai tingkat tinggi. Kabarnya, guru dari Pek-lui-kong itu sendiripun hanya mencapai tingkat kesepuluh! Akan tetapi, melihat ilmu si pendek itu, sungguh aku heran sekali entah tingkat berapa sekarang telah dicapainya"
"Bagaimana sih mempelajarinya, suhu?" tanya Pek Lian, tertarik.
"Akupun hanya mendengar beritanya saja, nona. Karena danau pasir itu luas sekali dan Kim-mou Sai-ong kebetulan bertapa ditempat itu, pertapa yang sakti ini lalu mencari daya upaya untuk dapat menanggulangi bahaya dari danau pasir ini. Dia lalu menciptakan ilmu yang didasarkan untuk mengatasi kehebatan pasir itu. Dengan latihan sinkang diatas pasir itu, Kim-mou Sai-ong berhasil menemukan tenaga sinkang yang kekuatannya menolak daya sedot pasir itu. Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang itu kalau sudah mampu menolak daya sedot seperti itu. Selain ini, juga untuk melawan panasnya pasir ketika berlatih diatas pasir, diapun berhasil membuat hawa sinkangnya menjadi dingin untuk menahan panas. Oleh karena itu, setelah ilmunya yang dinamakan Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut itu sempurna, ilmu itu mengandung hawa yang memutar dan mendorong untuk melawan sedotan itu, dan juga mengandung hawa dingin yang dapat mematikan lawan."
Perjalanan mereka kini tiba ditepi Sungai Yang-ce-kiang yang amat lebar. Disitu sudah menanti beberapa orang teman mereka yang sudah mempersiapkan perahu-perahu untuk mereka. Maka perjalanan dilanjutkan dengan naik beberapa buah perahu. Akan tetapi Pek Lian tidak mau naik perahu.
"Harap suhu sekalian dan saudara-saudara semua melanjutkan perjalanan dengan perahu," katanya kepada empat orsng suhunya.
"Teecu lebih senang mengambil jalan darat naik kuda, karena teecu ingin menghibur hati dengan melihat pemandangan alam yang indah."
"Ah, jalan darat lebih berbahaya dari pada jalan air, nona," kata Sin-kauw yang masih lemah oleh luka-lukanya.
"Teecu tidak takut, suhu."
"Kalau begitu, biarlah aku menemani nona Ho mengambil jalan darat," kata Hek-coa.
"Tidak, Ular Hitam, engkau lebih ditakuti para bajak, maka sebaiknya kalau engkau menemani Si Monyet Sakti yang terluka itu mengambil jalan air. Biarlah aku dan Harimau Muka Putih yang menemani murid kita mengambil jalan darat," kata Kim-suipoa yang merupakan orang tertua dan juga menjadi pemimpin setelah Ho Pek Lian yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka seperti yang telah ditentukan oleh Liu-toako. Si Ular Hitam tidak membantah, lalu dia bersama teman-temannya menggunakan perahu-perahu itu, mendayung perahu ketengah dan sebentar saja perahu-perahu itu telah menghilang disuatu tikungan. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw lalu mengajak murid mereka melanjutkan perjalanan.
"Matahari telah mulai condong ke barat, sebaiknya kalau kita mempercepat perjalanan agar dapat melewati hutan didepan, nona. Hutan ini tidak kita kenal, dan kalau sudah melewati hutan barulah kita sampai disebuah dusun nelayan dimana kita boleh beristirahat."
"Baiklah, suhu." Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki hutan. Akan tetapi, jalan setapak yang dilalui oleh kuda mereka itu makin lama makin menjauhi sungai dan akhirnya sungai tidak nampak sama sekali karena jalan itu terhalang oleh tebing-tebing dan batu-batu besar ditepi sungai. Akhirnya mereka sama sekali terputus dari sungai dan berada ditengah-tengah hutan yang amat liar dan gelap. Sementara itu, cuaca menjadi semakin gelap.
Mereka melanjutkan perjalanan, akan tetapi kegelapan malam membuat mereka tersesat jauh kedalam hutan, makin menjauhi jalan setapak dan akhirnya mereka terpaksa menghentikan kuda karena mereka tidak tahu lagi mana jalan yang benar. Tiga orang itu adalah pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak takut berada didalam hutan itu. Mereka tidak takut terhadap binatang buas, juga tidak takut akan orang jahat. Betapapun juga, mereka merasa tidak enak kalau harus melewatkan malam didalam hutan lebat yang tanahnya lembab dan hawanya dingin itu. Pek-bin-houw lalu memanjat pohon besar sampai ke Puncaknya dan dari situ dia mencari-cari dengan pandang matanya. Akhirnya, disebelah kirinya, ditempat yang agak meninggi, dia melihat sinar api kecil yang tak lama kemudian lalu padam. Cepat dia turun kembali dan berkata,
"Di sebelah sana kulihat ada sinar api. Mungkin ada rumah orang." Kim-suipoa menjadi girang.
"Bagus, sebaiknya kalau kita tuntun saja kuda kita, lebih mudah mencari jalan kalau begitu." Demikianlah, dibawah penerangan bulan yang baru saja muncul, dan dengan hati-hati sekali, mereka lalu berjalan sambil menuntun kuda. Pek-bin-houw didepan karena dialah yang melihat api tadi dan dia yang selalu mengingat-ingat dimana letak api yang dilihatnya tadi. Pek Lian ditengah sedangkan Kim-suipoa dibelakang. Mereka sudah berjalan selama dua jam, namun belum juga melihat ada rumah orang. Yang ada hanyalah pohon-pohon raksasa dan tanah yang penuh dengan alang-alang, rumput dan tumbuh-tumbuhan liar. Akan tetapi, jalan mulai mendaki dan Pek-bin-houw berseru,
"Agaknya kita tidak salah jalan. Api itu memang berada ditempat yang agak tinggi." Dan makin menanjak jaian itu, makin berkuranglah pohon-pohon besar, terganti padang rumput sehingga tiga orang itu menjadi lapang pula. Akan tetapi mereka masih belum tahu jalan mana yang menuju kearah jalan setapak yang akan membawa mereka kembali ketepi sungai. Dan selagi mereka mencari-cari, tiba-tiba Pek Lian yang masih remaja dan penglihatannya lebih tajam dibandingkan dengan dua orang gurunya, berseru lirih,
"Nah, disana itu ada rumah!" Dua orang gurunya cepat menengok dan mengerutkan alis untuk dapat memandang lebih jelas dan merekapun dapat melihat bayangan remang-remang dibawah sinar bulan. Merekapun merasa gembira dan cepat tiga orang ini menuntun kuda mereka menuju kearah bayangan rumah itu yang ternyata masih cukup jauh. Setelah tiba dipekarangan rumah, mereka menambatkan kuda mereka pada pohon didepan rumah, kemudian merekapun menuju kepintu depan. Rumah itu besar sekali, besar dan menakutkan karena gelap dan rumah itu kuno. Suasana menyeramkan meliputi rumah besar yang gelap itu. Tidak nampak penerangan sedikitpun sehingga Pek-bin-houw menyatakan bahwa mungkin bukan ini rumah yang dilihatnya dari atas pohon dalam hutan, karena dari atas tadi ia melihat sinar penerangan walaupun hanya sebentar.
"Rumah siapapun juga, ada penghuninya atau tidak, cukup lumayan untuk kita mengaso malam ini, dari pada dihutan yang lembab dan dingin," kata Kim-suipoa dan mereka lalu mengetuk pintu.
Pek Lian memandang kekanan kiri. Rumah itu terpencil, tidak terdapat rumah lain disekeliling tempat itu. Padang rumput yang luas dengan beberapa batang pohon disana-sini. Ketukan pintu mereka tak terjawab dan Pek-bin-houw mendorong daun pintu. Terdengar bunyi berkriyet ketika daun pintu itu terbuka dengan mudahnya. Kiranya memang tidak terkunci. Mereka lalu memasuki daun pintu itu. Mereka tidak banyak cakap karena biarpun tempat itu sedemikian sunyinya namun mereka bertiga merasa seolah-olah ada banyak orang mengintai mereka dari empat penjuru. Maka ketiganya memasuki rumah itu dengan sikap yang waspada, siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Ditempat yang angker seperti ini, tidak akan mengherankan mereka kalau tiba-tiba ada bahaya mengancam.
Biarpun rumah itu nampak kosong dan tidak berpenerangan, namun ketika mereka masuk, mereka melihat kebersihan dalam rumah, dan perabot-perabot rumah sederhana. Hal ini menunjuk kan bahwa rumah itu sebenarnya bukan kosong, tentu ada penghuninya atau setidaknya baru saja ditinggalkan para penghuninya. Mereka berjalan terus dengan hati-hati, memasuki lorong dalam rumah. Dikanan kiri lorong itu terdapat kamar-kamar yang berderet dan semua kamarnva tertutup. Mereka terus kebelakang dimama terdapat pekarangan belakang yang merupakan sebuab taman. Disamping taman terdapat bangunan kamar-kamar. Namun, seperti juga dibangunan induk didepan, dibagian belakang Minim nampak sunyi dan kosong. Sinar bulan yang menerangi tempat itu menambah kesunyian dan keseraman tempt itu.
"Kita mengaso dikamar sana..." Kim-suipoa menunjuk kekamar disudut sebelah belakang akan tetapi tiba-tiba dari dalam kamar yang berada disudut paling kiri terdengar suara wanita, suaranya halus agak parau, pantasnya suara seorang wanita tua.
"Hong-ji, kulihat hanya tiga orang tamu kita malam ini, benarkah?"
"Benar, ibu. Mungkin masih ada yang lain diluar, tapi koko belum bergerak!" jawaban yang terdengar dari gubuk didekat kolam ikan ditaman itu amatlah merdunya, jauh berbeda dan bahkan menjadi kebalikan dari suara wanita pertama. Mendengar dua suara yang tiba-tiba ini, tentu saja Pek Lian dan dua orang gurunya menjadi terkejut dan mereka bertiga sudah menghentikan langkah dan memandang kearah suara itu dengan penuh perhatian.
Suara pertama datang dari dalam sebuah kamar, dan ketika mereka mencari kearah suara merdu yang datang dari gubuk ditengah taman itu, nampaklah oleh mereka bayangan seorang wanita yang tinggi ramping sedang berdiri dan bersandar pada tiang gubuk tadi. Melihat ini, dan mendengar percakapan tadi, ketiganya merasa tak enak dan malu sekali karena mereka maklum bahwa dua orang yang bersuara itu tentulah fihak nyonya rumah. Maka, cepat Kim-suipoa mengajak Pek-bin-houw dan Pek Lian untuk pergi menghampiri wanita yang berada digubuk itu dan setelah dekat, dibawah sinar bulan mereka dapat melihat bahwa orang ini adalah seorang gadis yang tubuhnya ramping sekali dan garis-garis wajahnya membayangkan kecantikan. Sebagai wakil rombongannya, Kim-suipoa lalu menjura, diikuti oleh Pek-bin-houw dan Pek Lian, lalu pendekar ini berkata dengan suara penuh hormat,
"Kami mohon maaf sebesanya kepada kouw-nio (nona) atas kelancangan kami bertiga memasuki rumah ini tanpa ijin. Kami adalah tiga orang yang sesat jalan ingin berteduh melewatkan malam dan karena kami mengira bahwa rumah ini kosong maka kami berani memasukinya." Wanita yang memiliki suara merdu itu berkata, suaranya masih merdu dan enak didengar walaupun mengandung kemarahan,
"Hemm, banyak sekali srigala yang berkedok domba selama tiga hari orang-orang jahat berkeliaran disini, membuat kami banyak pusing. Siapakah yang dapat percaya omongan kalian?" Mendengar jawaban ini Ho Pek Lian mengerutkan alisnya. Ia sendiri adalah seorang wanita yang halus wataknya, berpendidikan sebagai puteri seorang Menteri kebudayaan walaupun sejak kecil ia mempelajari ilmu silat tinggi. Maka, melihat betapa tadi gurunya bersikap hormat dan kini wanita itu sebaliknya bersikap kasar, iapun merasa tidak senang.
"Hemm, jangan sembarangan menuduh orang!" Akan tetapi sebelum Pek Lian dapat melanjutkan kemarahannya, tiba-tiba terdengar suara nyaring sekali, didahului siulan panjang yang terdengar dari jauh. Suara nyaring itu terdengar dari atas genteng,
"Hong-moi, awas mereka datang lagi!" Mendengar suara ini, gadis yang bersuara merdu itu keluar dari gubuk dan diam-diam Pek Lian memandang dengan kagum bukan main. Gadis yang bersuara merdu itu ternyata memiliki kecantikan yang sama indahnya dengan suaranya. Amat cantik jelita dan manis, dan hal ini mudah dilihat biarpun hanya dengan penerangan sinar bulan saja. Sementara itu, dengan tiba-tiba, seolah-olah muncul dari tiada, disitu telah berdiri seorang wanita tua berusia lebih dari lima puluh tahun, dan ternyata ialah pemilik suara parau tadi karena dengan sikap sembarangan wanita ini berkata kepada mereka bertiga,
"Kalau sam-wi (kalian bertiga) memang tidak berniat jahat, lekaslah pergi dari sini agar selamat!" Setelah berkata demikian, wanita itu bersama puterinya lalu pergi kedalam rumah. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw yang sudah banyak pengalamannya didunia kang-ouw, maklum bahwa mereka memasuki rumah keluarga yang agaknya sedang menanti datangnya musuh-musuh mereka, maka karena dia tidak ingin terlibat dengan urusan orang lain, Kim-suipoa lalu mengajak Pek-bin-houw dan Pek Lian untuk cepat keluar dari tempat itu.
"Mari kita cepat pergi, tidak ada gunanya kita berdiam lebih lama disini." Mereka bertiga lalu bergegas keluar, akan tetapi ketika mereka tiba dipintu depan, mereka berhenti. Dari jauh mereka melihat datangnya tiga orang laki-laki yang rambutnya riap-riapan, tiga orang ini semua memakai jubah seperti jubah pendeta, dua diantara mereka berjubah hijau sedangkan orang ketiga berjubah biru.
Di bagian dada dari jubah mereka itu terdapat lukisan seekor naga. Ketika tiga orang itu, yang berjubah biru ditengah sedangkan yang berjubah hijau berada dikanan kirinya, tiba didepan pintu pekarangan, tiba-tiba nampak ada dua bayangan orang berkelebat melayang turun dari atas genteng dan ternyata mereka itu adalah seorang kakek berusia hampir enam puluh tahun, berjenggot panjang, dan seorang pemuda tampan gagah bertubuh jangkung tegap. Begitu kedua pasang kaki itu menyentuh tanah, keduanya berdiri dengan tegak, disebelah depan Kim-suipoa dan dua orang temannya, menghadapi tiga orang berambut riap-riapan itu. Orang yang berjubah biru itu cepat menjura kearah kakek berjenggot panjang, diikuti oleh dua orang berjubah hijau dan terdengarlah suaranya yang bernada kasar,
"Selamat berjumpa, supek, kami bertiga datang menghadap!" Kim-suipoa, Pek-bin-houw dan Pek Lian merasa serba salah.
Mereka tidak sengaja memasuki rumah orang, dan tidak sengaja pula mereka menjadi saksi pertemuan dua fihak yang agaknya diliputi ketegangan. Oleh karena itu, atas isyarat Kim-suipoa, mereka bertiga lalu melangkah maju, lalu ketiganya menjura sebagai penghormatan kearah kakek berjenggot dan pemuda tampan karena mereka menduga bahwa tentu keduanya itu yang menjadi tuan rumah. Kakek berjenggot itu hanya mengangguk sebagai balasan, akan tetapi pandang matanya masih terus ditujukan kearah tiga orang laki-laki berambut riap-riapan itu. Melihat ini, Kim-suipoa dan dua orang temannya lalu melanjutkan langkah mereka, bermaksud untuk pergi mengambil kuda mereka dan meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ketika mereka hendak melewati tiga orang berambut riap-riapan itu, si baju biru membentak, suaranya kasar dan keras sekali,
"Berhenti...!!" Sebelum Kim-suipoa dan teman-temannya menjawab, si baju biru itu lalu menghadapi kakek jenggot panjang dan berkata,
"Supek, seorangpun tidak boleh meninggalkan halaman ini sebelum tuntutan kami yang kemarin itu supek penuhi dan berikan kepada kami!" Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi pemuda jangkung disebelahnya yang menjawab, suaranya dingin,
"Mereka adalah orang luar, tidak ada sangkut-pautnya dengan kita!"
"Biar orang luar biar setan, sebelum tuntutan kami dipenuhi, tidak boleh keluar dari tempat ini dalam keadaan bernyawa!" bentak si jubah biru dengan nada suara, keras dan tegas. Mendengar ucapan ini, Ho Pek Lian sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dara ini telah mencabut pedangnya. Terdengar suara berdesing dan nampak sinar berkilau ketika sinar bulan menimpa pedang yang tajam itu.
"Aku hendak keluar dari sini, ingin kulihat siapa yang akan berani melarangku!" katanya sambil melangkah maju. Si jubah biru mundur dan berkata kepada dua orang berjubah hijau,
"Bekuk bocah ini!" Dua orang berjubah hijau itu bergerak maju.
"Baik, suhu!" kata mereka dan keduanya lalu menggerakkan kedua tangan, jari-jarinya ditekuk dan dibuka seperti kuku harimau dan terdengarlah suara berkerotokan dari buku-buku jarinya.
"Nona, biarlah kami berdua menghadapi mereka," Kim-suipoa berkata dan bersama Pek binhouw diapun melangkah kedepan. Melihat dua orang suhunya sudah maju, Pek Lian lalu mundur kembali dan menyimpan pedangnya, namun pandaug matanya berapi-api ditujukan kepada si jubah biru, hatinya panas dan marah sekali. Siapapun adanya mereka, ia tidak takut untuk menghadapi nya.
"Kalian hendak melarang kami pergi dari sini. Nah, perlihatkanlah kepandaian kalian!" kata Kim-suipoa sambil tersenyum mengejek. Akan tetapi diam-diam dia dan Pek-bin-houw merasa heran sekali dengan munculnya orang-orang berambut riap-riapan yang berjubah dan jubahnya bergambar naga ini. Selama mereka malang-melintang didunia kang-ouw dan terutama didaerah lembah Huang-ho dan Yang-ce, mereka berempat telah dikenal oleh semua penjahat, akan tetapi mereka belum pernah bertemu dengan golongan seperti yang mereka hadapi sekarang ini.
Dua orang berjubah hijau itu mengeluarkan suara gerengan keras, lalu mereka menubruk seperti gerakan seekor harimau atau seperti cakar naga. Gerakan mereka cepat dan juga kuat sekali karena dari gerakan ini menyambar angin yang berhawa panas. Namun. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw bukanlah orang-orang lemah dan dengan cekatan mereka sudah mengelak dan balas menyerang dengan sama dahsyatnya. Pek-bin-houw adalah seorang pendekar yang memiliki lweekang yang amat kuat, maka begitu bergebrak selama belasan jurus, lawannya yang berkumis tebal itu beberapa kali menggereng-gereng marah karena pertemuan antara lengan mereka membuatnya kenyerian.
Sedangkan Kim-suipoa adalah seorang pendekar yang memiliki banyak macam ilmu silat dan juga memiliki gerakan yang aneh dan cepat sehingga biarpun lawannya juga amat tangguh, namun dia dapat menandingi bahkan mengatasinya. Dua orang berjubah hijau itu memang hebat sekali gerakannya dan tingkat merekapun seimbang dengan dua orang pendekar ini, namun mereka itu mulai terdesak dan melihat hal ini, si jubah biru menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa dua orang muridnya yang amat diandalkannya itu, yang kepandaiannya sudah tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, tidak mampu mengalahkan dua orang pria yang menjadi tamu tuan rumah. Dia bersiul panjang dan nyaring sekali. Dari jauh terdengarlah siulan sebagai jawabannya, dan diapun menggereng lalu menerjang kedepan untuk membantu dua orang muridnya.
"Singggg...!" Gulungan sinar terang berkelebat dan si jubah biru terpaksa melompat kesamping. Pedang ditangan Pek Lian menyambar ganas dan memaksa si jubah biru untuk menghadapi dan melawan ia, tidak dapat mengeroyok kedua orang suhunya. Si jubah biru menjadi semakin marah dan dengan gerengan dahsyat diapun balas menyerang, gerakannya seperti seekor naga marah, kedua tangannya membentuk cakar, kedua lengannya bengkok seperti dua ekor ular yang berdiri dan siap menyerang, dan kedua tangan ini melakukan serangan dengan cara mencengkeram dan menotok, kadang-kadang juga membuat gerakan hendak menangkap.
Gerakannya aneh, gesit dan terutama sekali mengandung hawa panas yang membuat Pek Lian menjadi agak kewalahan. Biarpun pedangnya telah digerakkan dengan cepat, namun selalu pedangnya bertemu dengan hawa pukulan kuat yang membuat gerakannya menyimpang. Tentu saja Pek Lian merasa terkejut dan terheran-heran sekali. Dalam waktu singkat saja dari sejak percobaan membebaskan ayahnya sampai sekarang, ia telah berjumpa dengan banyak sekali orang pandai. Mula-mula Pek-lui-kong si pendek yang lihai itu, lalu si kusir gila, dan sekarang orang-orang yang berambut riap-riapan ini ternyata lihai-lihai bukan main. Iapun menduga bahwa tentu fihak tuan rumah ini merupakan keluarga yang berilmu tinggi, apa lagi mendengar bahwa si jubah biru yang amat lihai ini menyebut kakek berjenggot panjang itu sebagai supek (uwa guru)!
Selagi ramai-ramainya mereka berkelahi, terdengar siulan nyaring dan nampak berkelebat dua bayangan orang yang begitu tiba disitu terus menggerakkan tangan kearah Pek Lian dan dua gurunya. Angin pukulan yang dahsyat dan panas sekali membuat dara dan dua orang garunya ini terkejut dan cepat meloncat jauh kebelakang. Kiranya yang datang adalah dua orang yang rambutnya riap-riapan juga, yang seorang berjubah biru dan seorang lagi berjubah coklat. Si jubah coklat ini usianya sudah enam puluh tahunan, rambutnya yang riap-riapan itu sudah setengahnya putih, matanya berkilauan dan tajam sekali, wajahnya membayangkan kekerasan hati. Dengan matanya yang tajam dia memandang kepada Pek Lian dan dua orang gurunya, lalu berkata dengan suara mengandung ejekan,
"Huh, kiranya Bu-suheng telah menjadi penakut dan mengandaikan bantuan orang luar, hehe...!"
"Bhong-sute, jangan menuduh sembarangan. Ketiga orang ini adalah tamu-tamu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan kita. Akan tetapi murid-muridmu yang tak tahu diri dan menyerang mereka."
(Lanjut ke Jilid 02)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 02
"Sudahlah," kata si baju coklat,
"Katakanlah murid-muridku salah, akan tetapi mereka inipun tidak penting. Sekarang aku ingin minta dengan cara persaudaraan yang baik kepadamu, Bu-suheng. Guruku ingin melihat pusaka yang diberikan oleh mendiang kakek guru kepada mendiang supek, ayah suheng. Kata guruku, pusaka itu hanya hendak dipinjam sebentar, setelah dipelajari akan dikembalikan kepadamu." Kakek berjenggot panjang itu menghadapi tamunya yang bersikap kasar dengan tenang. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya tenang dan halus namun lantang dan mengandung ketegasan,
"Bhong-sute, mendiang kakek guru adalah seorang sakti yang bijaksana dan adil sekali. Diantara, tiga orang muridnya, masing-masing telah diberi sebuah pusaka, Mendiang ayahku sebagai murid pertama menerima pemberian pusaka, demikian pula ji-susiok (paman guru kedua) yang menjadi gurumu, dan juga sam-susiok (paman guru ketiga), masing-masing telah menerima pemberian pusaka. Kenapa sekarang ji-susiok ingin memiliki pusaka yang telah diberikan kepada mendiang ayahku dan telah diwariskan kepadaku?"
"Tapi suhu hanya ingin meminjam sebentar, Bu-suheng."
"Sute, engkau tentu sudah tahu, dan demikian pula ji-susiok bahwa pusaka sama dengan jiwa, tidak boleh dipinjam-pinjamkan."
"Ha-ha-ha, jiwa tidak boleh dipinjamkan akan tetapi bisa saja diambil!" Kakek berambut riap-riapan itu tertawa.
"Mendiang sucouw kita tidak adil dalam pembagian itu, demikian kata suhu. Kalau yang lain hanya diberi sebuah kitab pusaka, ternyata supek diberi dua kitab. Yang pertama adalah rahasia ilmu tenaga dalam yang merupakan inti perguruan kita, juga supek masih diberi kitab rahasia ilmu ketabiban. Padahal guruku hanya diberi rahasia ilmu silat perguruan kita dan susiok hanya diberi rahasia ilmu ginkang kakek guru yang termasyhur itu. Nah, karena itu maka guruku merasa curiga, jangan-jangan dalam kitab ilmu ketabiban itu diterangkan mengenai kelemahan-kelemahan ilmu yang lain. Ini namanya tidak adil!"
"Sute, kita golongan muda tidak tahu sama sekali akan hal itu. Pembagian itu adalah urusan orang-orang tua. Kalau ji-susiok merasa tidak adil, kenapa tidak sejak dahulu mengurusnya dengan mendiang sucouw, atau dengan mendiang ayahku?"
"Bu Kek Siang!" Si jubah coklat membentak sambil menudingkan telunjuknya kearah muka kakek jenggot panjang itu.
"Ucapanmu sungguh menghina! Dengan menyuruh suhu berurusan dengan orang-orang yang sudah mati, bukankah itu berarti engkau menyuruh suhu mati? Keparat..., pendeknya serahkan kitab itu atau terpaksa aku akan melakukan kekerasan!" Sepasang mata kakek berjenggot panjang itu berkilat karena diapun marah sekali.
"Bhong Kim Cu, jangan mengira bahwa aku takut akan ancamanmu. Sebelum tubuh ini menggeletak tanpa nyawa, jangan harap untuk mendapatkan kitab pusaka kami!"
Orang yang bernama Bhong Kim Cu itu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas dan diapun sudah menerjang kedepan, menyerang kakek berjenggot yang bernama Bu Kek Siang itu. Kakek berjenggot itupun menyambut serangan ini dengan sikap tenang dan merekapun sudah saling serang dengan hebat, masing-masing mengeluarkan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sinkang sedemikian hebatnya sehingga terasa angin menyambar-nyambar disekitar tempat itu. Sementara itu si baju biru yang baru datang bersama Bhong Kim Cu itupun sudah maju dan disambut oleh pemuda jangkung putera Bu Kek Siang dan merekapun ternyata memiliki kepandaian seimbang sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru. Ketika si baju biru yang pertama hendak maju Pek Lian membentak,
"Mari kita lanjutkan pertandingan kita!" dan iapun sudah menyambut dengan pedangnya.
Akan tetapi, tiba-tiba dua orang berbaju hijau telah menerjangnya dari kanan kiri sehingga terpaksa Pek Lian melayani pengeroyokan dua orang ini. Sedangkan si baju biru telah menerjang dan disambut oleh pengeroyokan Kim-suipoa dan Pek-bin-houw. Ternyata fihak penyerbu itu cerdik sekali. Tadinya mereka tahu bahwa kepandaian nona berpedang itu tidak banyak selisihnya dengan kepandaian dua orang pria yang menjadi tamu ditempat itu, maka untuk mengimbangi mereka, si jubah biru lalu bertukar tempat dengan dua orang muridnya. Kini, si jubah biru menandingi pengeroyokan dua orang kakek sedangkan nona itu yang dianggap lebih lihai dikeroyok oleh dua orang berjubah hijau. Terjadilah pertempuran yang amat hebat dipekarangan rumah kuno itu. Memang fihak penyerbu cerdik sekali. Setelah bertukar tempat, kini jelaslah bahwa dikeroyok oleh dua orang jubah hijau,
Pek Lian mulai terdesak Dua orang itu juga sudah mengeluarkan senjata, yaitu keduanya mempergunakan semacam cambuk baja bergigi, semacam joan-pian ak.an tetapi dibentuk mengerikan, seperti ekor ikan pihi yang panjang. Menghadapi kedua orang lawan ini, Pek Lian terdesak dan terpaksa ia memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan dua buah senjata panjang yang berbahaya itu. Sedangkan Kim-suipoa dan Pek-bin-houw sudah mainkan senjata pikulannya yang tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, akan tetapi si baju biru itu biarpun bertangan kosong, ternyata memiliki gerakan ilmu silat yang aneh dan cepat sekali. Perobahan-perobahan gerakan kedua tangannya amat hebat dan juga gerakan kedua kakinya gesit dan kadang-kadang si jubah biru ini berloncatan dan meni haritam dengan tiba-tiba secara tidak terduga-duga, membuat kedua orang pendekar itu benar-benar kewalahan.
Sebaliknya, pertandingan antara pemuda jangkung dan jubah biru yang lain amat ramai, sungguhpun perlahan-lahan si pemuda dapat mendesak lawan. Juga tuan rumah, yaitu kakek jenggot panjang yang bernama Bu Kek Siang itu mulai dapat mendesak lawan. Si jubah coklat yang bernama Bhong Kim Cu itu memang memiliki ilmu silat yang lebih hebat dari pada lawannya, lebih cekatan dan perobahan pada gerakan tangannya amat aneh dan indah sehingga dia dapat memperoleh lebih banyak kesempatan untuk melakukan serangan terhadap lawan. Namun jelaslah bahwa dalam hal tenaga dalam, dia kalah oleh tuan rumah. Setiap kali mereka bertemu lengan, tentu si jubah coklat itu terhuyung, dan dengan kelebihan tenaga dalam inilah fihak tuan rumah dapat menahan lawan.
"Manusia-manusia tak tahu malu!" Tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan ternyata seorang nenek dan seorang dara muda telah berloncatan keluar dan masing-masing membawa sebatang pedang, lalu keduanya menerjang kedalam medan pertempuran. Mereka tadi telah melihat siapa yang perlu dibantu, maka dara cantik seperti bidadari tadi telah menggunakan pedangnya membantu Pek Lian sehingga tentu saja dua orang berjubah hijau itu seketika berbalik terdesak oleh dua orang dara cantik itu.
Sedangkan nenek itupun segera menyerbu dan membantu Kim-suipoa dan Pek-bin-houw. Gerakan pedangnya juga amat kuat sehingga si jubah biru yang hanya lebih unggul sedikit saja menghadapi pengeroyokan dua orang pendekar itu, kini menjadi terdesak hebat dan terus main mundur. Melihat keadaan yang amat tidak menguntungkan ini, dimana semua anggauta fihaknya terdesak dan kalau dilanjutkan tentu akan menderita kekalahan mutlak, Bhong Kim Cu lalu mengeluarkan siulan nyaring dan meloncat mundur, diturut oleh semua muridnya dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, lima orang itupun melarikan diri dan menghilang kedalam gelap. Setelah semua lawan menghilang, kakek itu menarik napas panjang, lalu dia bersama keluarganya, yaitu isterinya, puteranya dan puterinya, menghadapi Pek Lian dan dua orang gurunya. Kakek itu menjura dan berkata dengan halus,
"Kami sekeluarga menghaturkan terimakasih atas bantuan nona dan ji-wi sicu." Tentu saja Pek Lian dan dua orang gurunya menjadi kikuk sekali dan tergopoh-gopoh mereka membalas penghormatan mereka. Kim-suipoa mewakili rombongannya berkata sambil tersenyum ramah,
"Ah, harap cuwi tidak bergurau! Mana bisa dinamakan bahwa kami membantu cuwi? Bahkan kalau tidak ada toanio dan siocia yang menolong, mungkin kami bertiga telah mati konyol Kepandaian kami bertiga disatukan ini saja masih belum dapat menyamai kelihaian putera-puteri Lo-cianpwe." Ucapan ini bukan hanya merupakan sikap merendahkan diri saja, melainkan mengandung kebenaran yang benar-benar merupakan pukulan dan kekecewaan bagi mereka bertiga. Mereka kini baru sadar dan seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa kepandaian mereka yang selama ini mereka anggap sudah cukup lihai, ternyata belum apa-apa. Berturut-turut mereka bertemu dengan orang-orang yang amat lihai, yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari pada mereka, membuat mereka merasa bodoh sekali.
"Sekarang kami mohon diri dan maafkanlah kalau kami bertiga tanpa sengaja telah mengganggu cuwi," kata pula Kim-suipoa dan mereka bertiga lalu menjura dan berpamit.
"Ah, malam telah mulai larut dan bulan bersembunyi dibalik awan, malam akan gelap. Sebaiknya kalau sam-wi bermalam saja disini untuk malam ini," kata kakek Bu Kek Siang dengan ramah.
"Maaf, kami tidak ingin mengganggu Lo-cianpwe lebih lama lagi," kini Pek-bin-houw berkata.
"Tidak ada yang mengganggu. Kalian boleh bermalam disini, kecuali kalau kalian merasa takut akan ancaman lawan terhadap tempat ini, tentu kami tidak dapat menahan kalian " kata nenek itu pula. Pek Lian mengerutkan alisnya dan ia menjawab,
"Biarpun kami tidak mempunyai kepandaian, namun kami tidak takut akan ancaman orang jahat! Kami dapat melawan sampai titik darah terakhir untuk menentang kejahatan!" Kakek berjenggot itu tersenyum menyaksikan semangat nona ini, dan pemuda jangkung itupun lalu berkata,
"Maafkan kalau tadi kami semua merasa curiga kepada nona dan paman berdua. Akan tetapi, sekarang kami tahu bahwa paman berdua adalah Kim-suipoa dan Pek-bin-houw, dua orang pendekar terkenal disepanjang lembah Huang-ho dan Yang-ce itu, bukan?" Dua orang itu terkejut dan menjura.
"Ah, sungguh pengetahuan kami dangkal bukan main, Taihiap telah mengenal kami, sebaliknya kami sama sekali tidak pernah menduga akan bertemu dengan orang-orang sakti yang sama sekali belum pernah kami kenal namanya. Maaf, maaf" kata Kim-suipoa.
"Masuklah dan jadilah tamu kami untuk malam ini, dan kami akan memperkenalkan diri," kata kakek Bu Kek Siang dengan ramah. Kini tiga orang itu tidak berani menolak lagi, apa lagi ketika dara yang cantik jelita dan manis sekali itu segera menggandeng tangan Pek Lian dan berkata dengan manis,
"Enci, engkau gagah sekali, aku suka padamu!" Pek Lian juga tersenyum dan balas merangkul.
"Ah, tidak ada setengahnya kepandaianmu, adik yang manis." Merekapun beramai-ramai memasuki rumah itu dan dibawah penerangan beberapa buah lilin, karena keluarga itu tidak berani membuat terlalu banyak penerangan, tiga orang tamu ini lalu dijamu dengan makanan malam sederhana. Namun, kesederhanaan jamuan dan sikap fihak tuan rumah yang amat ramah itu cukup menggembirakan para tamu itu dan sebentar saja mereka telah berkenalan dengan akrab sekali.
Terutama sekali Pek Lian yang segera menjadi sahabat baik dari dara yang bernama Bu Bwee Hong itu. Dalam percakapan mereka, Bu Seng Kun, pemuda jangkung itu, mewakili keluarganya menceritakan keadaan keluarga Bu. Ayahnya bernama Bu Kek Siang, seorang pewaris ilmu tinggi sekali namun yang tidak suka akan ketenaran nama sehingga sampai bertahun-tahun mereka sekeluarga itu tinggal dirumah kuno ditempat sunyi ini, tanpa mencampuri urusan dunia karena menurut ayahnya, dunia sedang kacau dan negeri dikuasai oleh orang-orang yang suka menindas rakyat demi mencapai keinginan mereka untuk menyenangkan diri mereka sendiri. Seperti juga suaminya, nyonya Bu pandai ilmu silat pula, terutama memiliki ginkang yang mengagumkan.
Suami-isteri pendekar yang mengasingkan diri ini mempunyai dua orang anak, yaitu Bu Seng Kun yang kini telah berusia dua puluh tahun dan Bu Bwee Hong yang cantik jelita dan manis seperti bidadari itu, yang telah berusia delapan belas tahun. Mereka berdua mewarisi ilmu-ilmu silat ayah mereka, dan juga ilmu ketabiban. Biarpun mereka berdua tinggal didalam hutan dan hanya berhubungan dengan penghuni dusun disekitarnya, dan jarang pergi mengunjungi kota, namun keduanya terdidik baik sekali dalam hal kesusasteraan oleh ayah mereka sendiri. Dirumah gedung yang kuno dan besar itu, mereka mempergunakan tenaga beberapa orang dusun sebagai pelayan, akan tetapi semenjak datang gangguan-gangguan itu beberapa hari yang lalu, semua pelayan disuruh pulang kedusun agar mereka itu tidak ketakutan dan tidak perlu terancam bahaya karena keluarga mereka.
"Kalau boleh kami mengetahui, keluarga Lo-cianpwe ini dari perguruan manakah?" Kim-suipoa memberanikan diri bertanya sedangkan yang lain-lain yang juga hadir disitu hanya mendengarkan saja. Pek Lian duduk didekat Bwee Hong dan mereka itu nampak akrab sekali. Kakek Bu Kek Siang menarik napas panjang.
"Biarpun kami tidak pernah memperkenalkan diri, namun agaknya sam-wi pernah mendengar nama kakek guruku. Kurang lebih seratus tahun yang lalu, didunia persilatan terdapat dua orang tokoh yang dianggap sebagai datuk golongan pendekar atau golongan putih, dan dua orang datuk golongan hitam atau kaum sesat. Apakah ji-wi sicu mengenal nama mereka itu?" tanyanya kepada Kim-suipoa dan Pek-bin-houw. Dua orang ini saling pandang dan cepat mengangguk.
"Kalau kami tidak salah, dua orang datuk golongan putih itu adalah Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti) yang dipuja sebagai datuk diselatan, dan kedua adalah Sin-kun butek (Tangan Sakti Tanpa Tanding) yang menjadi datuk diutara. Sedangkan dua orang datuk kaum sesat itu kalau tidak salah adalah Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Roh) yang mendirikan Tai-bong-pai, dan yang kedua adalah Kim-mou Sai-ong (Raja Singa Bulu Emas) pendiri dari Soa-hu-pai. Benarkah?" Kakek itu mengangguk-angguk dan mengacungkan jempolnya.
"Ternyata ji-wi mempunyai pengetahuan yang cukup luas. Nah, agaknya, jarang ada yang tahu karena memang murid-murid beliau tidak pernah menonjolkan diri. Akan tetapi, mendiang Sin-yok-ong mempunyai tiga orang murid. Yang pertama adalah mendiang ayahku, dan masih ada dua orang lagi, yaitu ji-susiok (paman guru kedua) dan sam-susiok (paman guru ketiga). Nah, mereka yang datang tadi adalah murid-murid atau para pengikut dari ji-susiok."
"Ah...!" Kim-suipoa berseni kaget dan heran.
"Maaf, Lo-cianpwe. Kiranya keluarga Lo-cianpwe adalah keluarga yang mewarisi ilmu dari seorang yang terpandai diantara empat tokoh besar itu seperti yang pernah saya dengar dari guru saya. Akan tetapi, Lo-cianpwe Sin-yok-ong terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang budiman, dan kami tidak heran melihat Lo-cianpwe sebagai keturunan beliau. Hanya anehnya, mengapa para murid-murid dari ji-susiok lociannwe tadi seperti itu sikapnya seolah-olah maaf, seolah-olah mereka itu dari golongan sesat saja?" Kembali kakek itu menarik napas panjang.
"Nyatanya memang demikianlah. Mereka berjumlah tiga puluh orang, termasuk ji-susiok. Ji-susiok sendiri berjubah hitam, mempunyai dua orang murid berjubah coklat, dan setiap orang murid itu mempunyai masing-masing dua orang murid berjubah biru, yang berjubah biru masing-masing mempunyai dua orang murid berjubah hijau dan yang berjubah hijau masing-masing mempunyai dua orang murid berjubah kuning. Jadi jumlah keseluruhannya tiga puluh satu yang merupakan tenaga inti dari perguruan ji-susiok. Para pelayan dan penjaga adalah orang-orang biasa yang tidak termasuk murid perguruan itu."
"Tapi, kalau Lo-cianpwe Sin-yok-ong terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang budiman, bagaimana muridnya."
"Tak perlu diherankan, sicu. Apakah seorang guru itu dapat menentukan watak atau cara hidup muridnya, apa lagi kalau guru itu sudah meninggal dunia? Tidak. Watak dan cara hidup seseorang hanya ditentukan oleh si orang itu sendiri, dan mungkin saja keadaan sekelilingnya amat mempengaruhinya. Oleh karena itu, kami lebih senang tinggal ditempat sunyi, bergaul dengan kembang-kembang, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang hutan. Atau paling banyak kami bergaul dengan orang-orang gunung dan dusun yang masih bersih dan polos batinnya." Dua orang pendekar itu mengangguk dengan penuh kekaguman.
"Lo-cianpwe adalah pewaris dari mendiang Raja Tabib Sakti, sungguh kami merasa berbahagia sekali dapat kesempatan berjumpa dengan Lo-cianpwe sekeluarga," kata Pek-bin-houw.
"Tidak biasa kami memperkenalkan diri, dan kalau kami menceritakan keadaan kami kepada sam-wi, adalah karena sam-wi telah mendengar akan semua urusan tadi. Harap sam-wi suka menyimpan rahasia kami ini dan tidak menceritakan kepada orang-orang luar, karena kami tidak suka akan banyak urusan." Para tamu itu menyatakan kesanggupannya dan fihak tuan rumah lalu mempersilahkan para tamunya beristirahat didalam kamar tamu yang banyak terdapat dalam rumah besar itu. Akan tetapi Pek Lian menolak dan berkata,
"Bagaimana kami dapat tidur kalau keluarga tuan rumah terancam bahaya? Tidak, saya akan bergadang dan ikut menjaga kalau-kalau ada fihak penjahat yang berani datang lagi. Sungguh tidak enak kalau selagi kami tidur, fihak tuan rumah sibuk menghadapi serbuan lagi."
"Wah, enci, kami jadi merepotkan engkau saja, bukankah kau datang untuk beristirahat dan bukan untuk berjaga?" Bwee Hong mencela sambil tertawa.
"Tapi sekarang kita sudah berkenalan dan tak dapat dikatakan tamu orang luar. Biarlah aku akan menemanimu dan kalau ada bahaya, biarpun aku bodoh, aku akan menyumbangkan tenagaku dan aku tidak takut mati ditangan penjahat untuk membela kebenaran!" Ucapan ini juga sambil tertawa, akan tetapi pandang mata yang tajam dari kakek berjenggot itu dapat menyelami hati dara itu dan diam-diam dia merasa kagum.
"Bagus, engkau sungguh seorang berdarah pendekar, nona. Baiklah kalau begitu, akan tetapi kami belum banyak mendengar tentang dirimu. Ceritakanlah sedikit tentang keluargamu." Ditanya demikian, tiba-tiba Pek Lian menundukkan mukanya dan wajahnya yang tadinya bersemangat dan terang itu menjadi muram dan sampai lama ia tidak mampu menjawab. Terbayanglah kembali ia kepada ayahnya dan hatinya menjadi berduka sekali. Tak dapat ditahannya lagi, kedua matanya menjadi basah dan ia menahan turunnya air mata dengan memejamkan kedua matanya. Melihat ini, Bu Kek Siang mengerutkan alisnya. Baru saja dia kagum menyaksikan kegagahan dan semangat dara ini dan sekarang dia harus melihatnya menjadi wanita yang cengeng! Dia merasa kecewa dan mengira bahwa dia telah salah menilai orang. Sementara itu, Kim-suipoa lalu berkata dengan suaranya yang ramah,
"Lo-cianpwe, harap maafkan nona Ho yang dilanda kedukaan. Agaknya sukar baginya untuk menceritakan keadaannya dan karena kita telah saling berkenalan, kiranya tidak ada salahnya kalau saya menceritakan keadaannya. Bolehkah, Ho-siocia?"
"Silahkan, suhu..." kata Pek Lian dengan suara lirih dan gemetar. Semua anggauta tuan rumah heran mendengar betapa Kim-suipoa menyebut nona kepada dara itu dan sebaliknya dara itu menyebut suhu. Kim-suipoa lalu menceritakan keadaan keluarga Ho yang mengalami bencana ditangan Kaisar itu. Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang duda, dalam arti kata, isterinya yang pertama, yaitu ibu Pek Lian, telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit.
Kini Menteri Ho tinggal bersama dua orang selirnya, dua orang adik perempuan dan seorang ipar bersama para keponakan dan pelayan-pelayan. Ketika Menteri Ho terkena musibah itu, seluruh keluarganya ditangkap dan dijebloskan penjara, dan hanya Ho Pek Lian seoranglah yang berhasil meloloskan dirinya. Kemudian Kim-suipoa menceritakan usaha mereka untuk membebaskan Menteri Ho dan betapa mereka bertanding melawan seorang tokoh dari Soa-hu-pai yang berjuluk Pek-lui-kong, dan betapa dalam keadaan hampir berhasil, Menteri Ho sendiri yang mencegah mereka dan menyuruh mereka pergi. Betapa kemudian mereka bertiga yang menuju ke puncak Awan Biru di Fu-niu-san, mengambil jalan darat dan kemalaman serta tersesat sampai ketempat itu.
"Penasaran...!!" Tiba-tiba terdengar Bu Seng Kun menghantamkan tangan kanan ketelapak tangan kiri sendiri sehingga mengeluarkan bunyi keras dan mengejutkan semua orang. Pemuda ini bangkit berdiri, wajahnya yang tampan itu kelihatan merah padam.
"Bagaimana negara dan bangsa kita dipimpin oleh seorang Kaisar yang begitu laknat? Kami sudah mendengar tentang ratusan ribu rakyat yang dipaksa membangun Tembok Besar dan ratusan ribu orang tewas. Kini Kaisar malah membakari kitab-kitab Nabi Khong Cu dan membunuhi para sasterawan! Sungguh, nama besar Menteri Ho yang membela kaum sasterawan dan berani menentang Kaisar sampai berkorban keluarga patut dijunjung tinggi, akan tetapi mengapa membiarkan diri mati penasaran?" Dia duduk kembali dan berkata dengan marah,
"Kelaliman, dari siapapun juga datangnya, harus ditentang!' Sunyi dan hening sejenak setelah pemuda itu mengeluarkan perasaannya melalui kata-kata keras. Kemudian terdengar suara kakek Bu Kek Siang yang halus, mendinginkan suasana yang panas itu,
"Seribu kepala seribu pendapat dan seribu hati seribu selera! Seng Kun, engkau harus dapat menghargai pendapat dan selera lain orang. Karena engkau masih muda dan berdarah panas maka engkau tidak dapat mengerti mengapa Menteri Ho yang budiman itu menolak puterinya menyelamatkannya. Kalau beliau dipaksa dan dibebaskan, hal itu hanya akan menghancurkan hati beliau dan beliau akan merasa terhina sekali."
"Tapi...!" Pek Lian yang merasa cocok dengan pendapat Seng Kun tadi hendak membantah, akan tetapi lengannya disentuh oleh gurunya.
"Nona, ayahmu yang mulia itu adalah seorang patriot sejati, seorang pendekar besar yang didalam bidangnya sendiri telah berbakti kepada negara dan bangsa, sama sekali bukan kepada Kaisar lalim. Beliau sengaja menentang Kaisar, sengaja membiarkan dirinya ditangkap agar semua mata para pendekar terbuka. Beliau memberi contoh untuk melawan Kaisar dengan taruhan nyawa. Beliau juga memberontak kepada Kaisar, akan tetapi bukan dengan cara kasar dari orang-orang golongan bu (silat) seperti kita. Beliau menentang dan memberontak dengan cara halus, akan tetapi hasilnya tidak kalah besarnya. Kaisar akan nampak semakin buruk dalam pandangan kaum patriot sehingga hal itu akan menambah kekuatan mereka yang menentang Kaisar. Ayahmu memiliki kegagahan dan keberanian menentang maut, lebih besar dari pada kita menentang maut dengan pedang ditangan! Aku amat menghormatinya, nona."
Setelah mengenal Pek Lian sebagai puteri Menteri Ho dan dua orang guru nona itu sebagai para pendekar patriot yang membantu Liu Pang, Bengcu yang amat terkenal dan dihormati oleh semua orang gagah itu, hubungan antara tamu dan tuan rumah menjadi semakin akrab. Mereka lalu melakukan penjagaan dan perondaan dilakukan secara bergilir. Pek Lian bersama Bwee Hong berada didalam kamar nona rumah itu, bercakap-cakap dan kemudian mereka mengaso dengan duduk bersila dan melakukan siulian. Bagi orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat tinggi seperti mereka, tidak tidurpun tidak menjadi persoalan dan mereka cukup duduk bersila membiarkan tubuh mereka dan pikiran mereka beristirahat,
Namun kesadaran mereka masih ada dan biarpun mereka seperti dalam keadaan tidur, namun sedikit perobahan keadaan saja sudah cukup untuk membuat mereka sadar. Mereka tetap waspada. Kakek Bu bersama isterinya juga beristirahat didalam kamar mereka. Kim-suipoa duduk bersila seorang diri diruangan tengah, sikapnya penuh kewaspadaan. Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun tadinya juga berjaga disitu, akan tetapi mereka berdua lalu melakukan perondaan disekitar tempat itu dengan hati-hati dan waspada sekali. Sambil meronda, Pek-bin-houw yang merasa amat tertarik oleh keluarga yang menjadi pewaris ilmu dari tokoh datuk yang hidup seabad yang lalu, yaitu Sin-yok-ong itu, mengajak si pemuda untuk membicarakan soal perguruannya.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya pernah mendengar bahwa seabad yang lalu, nama Sin-yok-ong merupakan nama yang amat hebat dan terkenal diseluruh dunia sebagai tokoh yang paling lihai diantara datuk-datuk lainnya yang pernah ada."
"Menurut keterangan ayah memang ada benarnya demikian. Akan tetapi sesungguhnya ilmu silat empat orang datuk itu, dua dari golongan putih dan dua dari golongan hitam, berimbang tingkatnya. Hanya karena sucouw Sin-yok-ong itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hampir dikatakan sempurna, maka beliau mempunyai kelebihan dari pada yang lain, dan agaknya itulah kemenangannya. Sayang bahwa kami sekeluarga tidak mewarisi ginkang yang hebat itu," kata Bu Seng Kun.
"Menurut kata-kata Bhong Kim Cu si jubah coklat itu, keluargamu menerima dua macam ilmu, taihiap." Bu Seng Kun menarik napas panjang.
"Menurut penuturan ayah, diantara tiga orang murid beliau, tidak ada yang memiliki bakat hebat seperti beliau sehingga tidak ada yang dapat menguasai semua ilmu dari sucouw Sin-yok-ong itu. Maka agar adil, sucouw lalu membagi bagi ilmunya, disesuaikan dengan bakat masing-masing. Kakekku, sebagai murid pertama, menerima pusaka tentang latihan tenaga dalam. Murid kedua menerima kitab pusaka tentang ilmu-ilmu silat dari sucouw dan rahasia-rahasianya, sedangkan murid yang termuda menerima kitab pusaka tentang ilmu ginkang beliau yang hebat itu."
"Sayang bahwa kepandaian yang hebat dari mendiang Sin-yok-ong harus dibagi-bagi seperti itu. Akan tetapi keluarga taihiap selain menerima pusaka, tentang Iweekang, juga memperoleh pusaka ilmu pengobatan."
"Benar, akan tetapi justeru ilmu ini sekarang akan dijadikan rebutan dan karenanya memecah-belah persaudaraan seperguruan," kata si pemuda dengan suara menyesal sekali.
"Lalu dimanakah murid termuda yang ahli ginkang itu kini?" Pek-bin-houw merasa amat tertarik.
"Entahlah, sejak kakekku meninggal beliau tidak pernah terdengar lagi berada dimana. Ilmu ginkangnya, menurut ayah, amat hebat, bahkan tidak kalah hebatnya dengan ilmu ginkang yang pernah dimiliki oleh sucouw Sin-yok-ong sendiri."
"Ah, bukan main! Saya kira didunia ini tidak ada lagi orang yang dapat menyamai kesempurnaan ginkang dari Sin-yok-ong seperti yang pernah saya dengar dari guru saya."
"Paman keliru," bantah Bu Seng Kun.
"Pada jaman sucouw itu, masih ada seorang lagi dari golongan hitam yang malang-melintang diutara dan selatan. Dia ini memiliki ginkang yang boleh dibilang setingkat dengan sucouw, biarpun ilmu silatnya tidak setinggi tingkat keempat orang datuk itu. Tokoh ini amat terkenal, terutama didunia kang-ouw, dikalangan liok-lim dan bahkan ditakuti oleh pemerintah pada waktu itu. Nama julukannya adalah Bit-bo-ong (Raja Kelelawar)."
"Ah, saya pernah mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Seperti dalam dongeng saja dan tidak saya sangka bahwa benar-benar ada orangnya. Kabarnya, tokoh ini menguasai semua golongan hitam, baik dari para pencopet paling kecil sampai maling, perampok, tukang tadah, penjudi dan tempat pelacuran semua dikuasainya. Katanya ilmu silatnya juga hebat sekali. Dia dijuluki Raja Kelelawar karena keluarnya hanya dimalam hari, tidak pernah keluar disiang hari. Benarkah itu?"
"Kabarnya demikian menurut cerita ayah. Yang sungguh menyedihkan, kalau dulu sucouw amat terpandang sebagai datuk para pendekar sedangkan Raja Kelelawar sekalipun tidak berani main-main didepannya. Akan tetapi murid-muridnya membuat perguruan menjadi terpecah-belah, dan sekarang malah paman kakek guru kedua mengirim murid-muridnya untuk memaksa ayah menyerahkan kitab pusaka yang menjadi hak milik ayah. Sungguh membikin hati penasaran dan menyesal sekali. Mengapa bermusuhan antara saudara seperguruan sendiri sehingga hanya menimbulkan kelemahan diantara saudara sendiri?"
Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16 Naga Beracun Eps 32 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 2