Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 22


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 22




   Mereka suka bergaul dan berdekatan, bahkan bermesraan dan bermain cinta dengan pria dan hal ini sama sekali tidak mereka sengaja, dan bukan timbul dari watak yang buruk atau cabul. Sama sekali tidak, karena memang demikianlah keadaan batin mereka. Mereka kagum melihat sifat jantan, mereka akan merasa bahagia kalau dikasihi oleh seorang pria yang jantan. Mereka tidak suka berdekatan dengan wanita sebagai kekasih, kecuali hanya sebagai teman, bahkan ada yang merasa muak kalau memikirkan bahwa mereka harus berkasih sayang dengan seorang wanita. Keadaan seperti ini dapat terjadi karena kesalahan keadaan jasmaniah yang mempengaruhi batin, akan tetapi juga mungkin diperkuat oleh keadaan lingkungan hidupnya diwaktu kecil sehingga batin yang mempengaruhi jasmani.

   Memang, antara badan dan batin selalu terjadi isi-mengisi, saling mempengaruhi. Karena sifatnya inilah maka Si Kelabang Hijau itu sering kali meninggalkan Pulau Selaksa Setan dan merantau sampai jauh keseluruh pelosok dunia, dan sering mendekati pria-pria yang tampan dan gagah. Karena watak ini pula maka tokoh sesat ini pernah menjadi sahabat dari Yap Kim, putera kandung dari ketua Thian-kiam-pang yaitu Yap Cu Kiat, murid dari mendiang Sin-kun butek yang sakti. Kalau saja Pek Lian dan Siok Eng sudah tahu akan sifat dan watak seorang laki-laki seperti cengyakang, tentu mereka akan segera pergi dan tidak sudi untuk nonton terus. Akan tetapi karena mereka belum tahu dan tidak mengerti, maka keinginan tahu membuat mereka bertahan untuk menyaksikan adegan yang mereka anggap aneh dan luar biasa itu.

   Mereka melihat betapa kakek itu membujuk-bujuk dan berusaha untuk memegang tangan si pemuda yang berulang kali mengelak dengan menarik tangannya dan dengan halus minta agar kakek itu jangan melanjutkan sikapnya yang ganjil. Tiba-tiba dua orang dara itu terkejut melihat berkelebatnya bayangan dua orang yang dengan cepat sekali melayang masuk dari pintu dan tahu-tahu disitu telah berdiri dua orang wanita yang nampaknya masih muda, tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya dan wajah mereka serupa benar. Sepasang wanita kembar, hal ini mudah dilihat dari dandanan pakaian, gelung rambut, perhiasan dan wajah mereka yang serupa benar. Pakaian mereka itu ketat membayangkan dada, perut dan paha yang menonjol.

   Mereka berdiri dengan kaki agak terpentang, tangan kiri bertolak pinggang, dan sikap mereka genit bukan main. Mereka berdiri seperti pohon cemara tertiup angin saja, pinggul mereka agak bergoyang-goyang, mulut mereka yang digincu merah tebal itu tersenyum merekah, alis mereka bergerak-gerak diangkat-angkat, dan mata mereka itu melirik-lirik genit kearah si pemuda yang kebetulan berdiri membelakangi jendela dan menghadap kearah dua orang wanita itu. Dua orang dara yang berada diluar jendela itu memandang penuh perhatian, agak terkejut melihat munculnya dua orang wanita yang demikian cepat gerakannya tanpa mengeluarkan sedikitpun suara itu. Biarpun dua orang wanita itu masuk kekamar tanpa menimbulkan suara, namun kakek gendut yang tadinya berdiri dalam usahanya merayu si pemuda, kini tiba-tiba duduk kembali dan tanpa menoleh diapun berkata,

   "Suci berdua kenapa malam-malam begini berkunjung kedaerahku? Apakah kalau ada keperluan tidak bisa datang disiang hari?" Dari nada suaranya, jelas bahwa dia merasa marah dan terganggu, dan biarpun mulutnya tersenyum, akan tetapi wajahnya masam. Mendengar ucapan si gendut itu, Siok Eng menempelkan bibirnya didekat telinga kawannya dan berbisik,

   "Mereka itu orang ketiga dan keempat dari iblis-iblis Ban-kwi-to. Mereka kembar dan pandai beralih rupa. Kelakuan mereka sangat tersohor buruknya, segala hal yang kotor-kotor mereka lakukan!" Suara bisikan Siok Eng mengandung rasa jijik. Dua orang wanita itu mencibirkan bibir mereka mendengar pertanyaan cengyakang tadi dengan sikap yang penuh kegenitan dan ejekan, lalu seorang diantara mereka berkata, suaranya nyaring dan genit,

   "Huh! Kami kesini cuma ingin melihat apakah engkau sudah kembali kerumah. Lupakah engkau bahwa esok pagi adalah hari perayaan wafatnya guru kita yang kesepuluh? Toa-suheng mengharapkan agar semua orang dari Ban-kwi-to hadir ditempat toa-suheng." Sambil berkata demikian, wanita itu dan saudara kembarnya tiada hentinya menatap kearah wajah pemuda yang duduk berhadapan dengan cengyakang itu lirak-lirik dan senyum simpul penuh daya pikat.

   "Aku sudah kembali sejak kemarin!" Kakek gendut itu mendengus dengan suara tak senang.

   "Aku telah datang, sekarang kalian pergilah. Kita bisa berkelahi kalau kalian tidak mau segera pergi dan jangan ganggu aku!" Pek Lian yang mengintai dan mendengarkan diluar jendela, merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin hari wafat seorang guru malah dirayakan, bukan berkabung malah berpesta? Dan bukankah mereka itu saudara-saudara seperguruan, segolongan pula, sebagai saudara-saudara yang sama-sama menjadi penghuni Ban-kwi-to, akan tetapi kenapa sikap mereka satu sama lain begitu tidak bersahabat dan bahkan seperti bermusuhan saja? Pek Lian lupa bahwa mereka itu adalah golongan hitam, kaum sesat, bahkan tokoh-tokoh besarnya yang sudah tidak lagi mengindahkan segala macam aturan dan sopan-santun dan mengeluarkan semua isi hati melalui mulut tanpa disaring lagi.

   Merekapun sudah tidak sudi lagi untuk bermanis muka. Apa lagi hanya terhadap saudara seperguruan, bahkan terhadap guru sendiripun mereka sudah tidak mau lagi bersopan-santun atau menggunakan tata cara manusia beradab. Mereka tidak perduli terhadap orang-orang lain. Golongan mereka hanya mengenal pamrih seenaknya untuk diri sendiri. Yang ada hanya kepentingan diri pribadi, lahir batin. Dan menghadapi orang lain, yang ada hanya dua perasaan, yaitu berani atau takut. Kalau mereka berani, nah, segala hal bisa saja mereka lakukan, sampai yang paling kurang ajar, yang paling kejam, sadis dan tidak tahu aturan sekalipun. Akan tetapi kalau mereka merasa kalah dan takut, mereka tidak malu-malu untuk melakukan segala macam kecurangan atau melarikan diri.

   Dan untuk kepentingan pribadi, segala cara dihalalkan, menipu, membokong, bahkan membunuh kawan sendiri sekalipun. Pendeknya, mereka hidup tanpa adanya suatu ketertiban apapun, tiada bedanya dengan kehidupan binatang-binatang liar didalam hutan dan hukum satu-satunya bagi mereka hanyalah hukum rimba raya, yaitu siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar dan harus dipatuhi dan ditaati. Seperti yang telah diterangkan oleh Siok Eng kepada Pek Lian, kakek gundul gendut itu memang benar berjuluk cengyakang atau Thian-te Tok-ong dan merupakan tokoh kelima dari Ban-kwi-to. Terdapat tujuh orang tokoh Ban-kwi-to yang merupakan saudara-saudara seperguruan, juga merupakan saudara segolongan yang tinggal dike pulauan setan itu. Orang pertama terkenal dengan julukan Tikus Beracun Bumi, yang kedua berjuluk Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi),

   Orang ketiga dan keempat adalah dua orang wanita kembar yang masing-masing bernama Jeng-bin Samni (Nyonya ke Tiga Bermuka Seribu), dan Jeng-bin sunio (Nyonya ke Empat Bermuka seribu). Mereka ini dikenal dengan julukan Jeng-bin (Muka Seribu) karena kepandaian mereka beralih rupa, walaupun mereka masih memiliki banyak macam keahlian lagi. cengyakang atau Thian-te-Tok-ong adalah tokoh yang kelima. Tokoh keenam dan ketujuh adalah suami-isteri Imkan Siang-mo, yaitu Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, kakek dan nenek yang selalu menggunakan gerobak itu. Mendengar ucapan adik seperguruan mereka yang kasar dan menantang itu, Jeng-bin Siang-kwi, yaitu sebutan bagi mereka berdua, hanya senyum-senyum saja dan tidak kelihatan marah. Tentu saja senyum itu bukan ditujukan kepada cengyakang, melainkan kepada pemuda itu yang kelihatan duduk dengan gelisah.

   "Hi-hi-hik, pantas saja engkau tidak mau muncul-muncul biarpun sudah kembali kemari... kiranya engkau telah memperoleh seorang korban baru yang ganteng!" kata Jeng-bin sunio.

   "Pergi kalian!" Tiba-tiba si gundul gendut itu mencelat dari kursinya. Gerakannya demikian cepatnya, tidak sesuai dengan tubuhnya yang gendut pendek, dan tahu-tahu dia sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya, langsung saja menyerang kedua orang wanita itu dengan pukulan yang mengandung angin dahsyat. Akan tetapi, dua orang wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan segera mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan tak kalah cepat dan hebatnya. Angin pukulan menyambar-nyambar dan dua orang gadis yang mengintai diluar jendela itu mencium bau amis, tanda bahwa pukulan-pukulan tiga orang yang saling hantam itu mengandung hawa beracun yang jahat sekali. Siok Eng menarik tangan Pek Lian, diajak pergi menjauhi tempat itu. Setelah jauh, dara ini menarik napas panjang.

   "Betapa ganas dan kejinya mereka itu. Mari kita segera mencari Hek-kui-hwa itu, enci Lian. Tak perlu kita mencampuri mereka yang berengsek itu."

   "Ke mana kita mencari, adik Eng?" Aku harus mencarinya. Bunga itu hanya dapat tumbuh ditempat terbuka, tidak boleh terlindung oleh benda atau tumbuh-tumbuhan lainnya, harus sepenuhnya menerima sinar matahari dan bulan, dan terpisah dari tanam-tanaman lain. Bunga mawar hitam atau setan hitam itu bentuknya seperti mawar biasa, hanya tidak berbau sama sekali, warnanya hitam legam dan daunnya putih."

   "Mari kubantu engkau mencarinya, Eng-moi," kata Pek Lian dan mereka segera mulai mencari-cari dipulau itu. Akan tetapi mereka tidak berhasil, apa lagi menemukan bunga itu, bahkan tidak menemukan daerah terbuka seperti yang dimaksudkan oleh Siok Eng tadi.

   "Sungguh heran, kenapa pulau ini demikian kecil? Dan bangunannya juga hanya ada sebuah itu. Dimana para penghuninya yang lain?" Pek Lian berkata dengan hati kecewa karena kegagalan mereka menemukan, bunga yang dicari sahabatnya itu. Enci Lian, Ban-kwi-to bukan terdiri dari sebuah pulau saja, melainkan terdiri dari lima buah pulau yang berpencar akan tetapi juga saling berdekatan. Tiap pulau dihuni oleh seorang tokoh, kecuali si kembar itu dan sepasang suami-isteri yang masing-masing keduanya mendiami sebuah pulau. kau lihatlah diseberang sana itu."

   "Ah, engkau benar! Itu adalah sebuah pulau yang lain. Akan tetapi, bagaimana kita dapat menyeberang kesana? Apakah kita harus mengambil perahu kita? Tentu bunga itu berada dipulau yang lain, tidak mungkin disini."

   "Agaknya benar, enci. Akan tetapi karena kita tidak tahu persis dimana tumbuhnya bunga itu, terpaksa kita harus mencarinya disemua pulau. Hanya, kita harus berhati-hati sekali. Sungguh aneh, bagaimana dua orang wanita kembar tadi dapat datang kesini? Tidak nampak adanya perahu mereka." Tiba-tiba mereka mfelihat bayangan berkelebat keluar dari rumah cengyakang dan mereka berdua cepat menyelinap bersembunyi. Tak lama kemudian, nampaklah dua orang wanita kembar itu berjalan lewat lalu berhenti tak jauh dari tempat persembunyian mereka.

   "Bangsat gundul keparat jahanam!" terdengar seorang diantara mereka memaki-maki sambil mengacungkan tinju kearah rumah cengyakang.

   "Anjing banci disambar geledek kamu!" Orang kedua memaki pula dan keduanya lalu memaki-maki dengan kata-kata yang jorok dan cabul. A-gaknya mereka itu merasa mendongkol dan penasaran, yang hendak mereka lampiaskan dengan caci maki dan sumpah-serapah mereka terhadap kakek gundul gendut itu.

   "Sialan! Bocah gundul itu telah mencapai titik kesempurnaan dalam menyerap Ilmu Racun kelabang Hijau yang lihai itu," kata Jeng-bin Sam-nio dengan suara penasaran.

   "Benar, sungguh jahanam! Tak kusangka dalam pengembaraannya dia dapat meningkatkan ilmunya sampai ketitik mendekati kesempurnaan. Lihat ini! Kantongku racun bunglon merah menjadi tawar terkena ilmunya ludah inti racun kelabang hijau. Sialan! Untung aku selalu dapat menghindari semburan ludahnya!"

   "Ludahnya yang bacin itu sungguh berbahaya," kata orang kedua.

   "Sayang kita tidak membawa alat-alat rias kita. Hemm, ingin aku tahu, mana yang lebih hebat, ludah bacinnya ataukah bedak-bedak harum kita!"

   "Biarlah lain kali kita coba lagi. Hatiku penasaran kalau sampai kalah oleh adik seperguruan kita."

   "Eh, ngomong-ngomong, pemuda tadi tampan benar, ya? Dan kelihatan jantan. Sayang, sudah lebih dulu disekap oleh si gundul gila itu '!"

   "Aih, sudahlah! Kita sendiri kan sudah mempunyai simpanan yang tidak mengecewakan," kata. yang lain sambil tersenyum genit sekali.

   "Tidak rugi kita main kucing-kucingan dengan perahu Si Harimau Gunung."

   "Sayang mereka belum mau tunduk..."

   "Akhirnya akan tunduk juga, dan ingat, yang sukar ditundukkan itu sekali tunduk, waahhh hebat deh!" Mereka berdua cekikikan seperti kuntianak dan dua orang gadis yang mendengarkan dalam tempat persembunyian mereka menjadi muak. Pek Lian dan Siok Eng melihat betapa kedua orang wanita kembar itu memasuki sebuah rumpun bambu kuning.

   Sampai lama mereka tidak muncul kembali dan keadaan begitu sunyi senyap. Dua orang dara itu menjadi curiga lalu dengan hati-hati merekapun memasuki rumpun bambu itu. Ternyata ditengah-tengah rumpun bambu itu terdapat sebuah lubang besar yang masuk kedalam tanah. Ketika mereka memeriksa, ternyata lubang itu adalah terowongan didalam tanah yang agaknya lewat dibawah laut! Dua orang dara yang gagah perkasa itu dengan hati-hati sekali mengikuti terowongan itu. Jalannya gelap dan menurun sekali, akan tetapi mereka berdua adalah dua orang dara gemblengan yang berilmu tinggi, maka mereka tidak merasa takut. Mereka merasa yakin bahwa dua orang wanita kembar itu tentu mengambil jalan ini dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah jalan yang menghubungkan satu dengan lain pulau.

   Pantas saja dua orang wanita kembar tadi tidak menggunakan perahu. Kiranya mereka datang ke pulau daerah Si Kelabang Hijau melalui sebuah terowongan bawah laut. Ketika dua orang dara itu muncul dipulau yang lain, kiranya mereka itu tiba disebuah ruangan kecil disudut taman, merupakan pondok kecil yang mungil. Cepat mereka meloncat keluar dan bersembunyi, meneliti keadaan sekeliling. Bulan tua telah condong ke barat, akan tetapi bintang-bintang dilangit masih nampak terang. Tentu telah jauh lewat tengah malam. Dan agaknya semua orang yang berada dipulau ini sudah tidur. Tidak terdengar suara orang, tidak nampak seorangpun penjaga. Agaknya para penghuni ke pulauan ini sudah begitu percaya akan keadaan tempat tinggal mereka yang penuh dengan racun sehingga orang luar yang berani memasuki daerah mereka tentu akan mati sendiri terkena racun.

   Dengan adanya racun-racun yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan, dalam gigitan binatang-binatang kecil, bahkan dalam udara, maka tidak diperlukan lagi penjaga. Orang luar tentu akan tewas kalau memasuki daerah ke pulauan Ban-kwi-to ini. Ketika dengan hati-hati Siok Eng dan Pek Lian mulai mencari-cari bunga Hek-kui-hwa, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan pulau ini jauh sekali bedanya dengan pulau milik Si kelabang Hijau yang baru saja mereka tinggalkan. Pulau kecil milik wanita kembar ini penuh dengan taman bunga-bunga yang indah, keadaannya terawat dan bersih apik, tidak seperti keadaan pulau milik Si Kelabang Hijau yang penuh pohon belukar dan awut-awutan. Akan tetapi, biarpun disitu terdapat banyak sekali bunga beraneka macam dan warna, dua orang dara itu tidak berhasil menemukan bunga mawar hitam berdaun putih.

   "Sungguh heran! Sedemikian banyaknya bunga-bunga disini, akan tetapi bunga yang kau cari itu tidak ada! Adik Eng, tidak kelirukah keterangan yang kau dapat mengenai Hek-kui-hwa itu?" Pek Lian berkata dengan nada suara meragu.

   "Tidak, enci Lian. Memang, menurut keterangan ayah, bunga itu langka sekali dan ayahpun tidak dapat memastikan apakah bunga itu ditanam dipulau-pulau ini. Hanya satu hal adalah pasti, yaitu bunga Hek-kui-hwa itu berada dalam kekuasaan Tujuh Iblis dari Pulau Selaksa Setan ini. Entah dimana mereka sembunyikan. Aku harus menemukannya. Heii, awas, enci Lian! jangan kau sentuh bunga-bunga itu. Biarpun kelihatannya begitu bersih dan indah, akan tetapi bunga itu beracun. Bunga-bunga ini memang ditanam untuk memelihara dan mendapatkan racun-racunnya.

   "Ssttt, itu ada perahu datang. Cepat sembunyi!" Mereka menyelinap lagi kebalik semak-semak beberapa rumpun alang-alang yang ditanam sebagai penghias dan pagar taman. Tiba-tiba bumi disekitar tempat itu tergetar ketika seorang raksasa melangkahkan kakinya. Berdentam-dentam bunyinya, seolah-olah bumi ditimpa oleh benda yang amat berat setiap kali raksasa itu membanting kakinya. Anehnya, dia agaknya sengaja membanting kakinya ketika melangkah memasuki taman! Rambutnya gimbal dan kotor, matanya lebar dan membelalak.

   Jubah dan pakaiannya terbuat dari kain kotak-kotak yang dibelit-belitkan ditubuhnya. Bagian dadanya terbuka dan nampak betapa dada itu penuh bulu tebal. Mulutnya lebar dan seperti nampak ada taring diantara giginya yang besar-besar. Raksasa ini sungguh tinggi besar, tingginya tidak kurang dari dua meter, bahkan lebih. Ada suara seperti ngorok ketika dia melangkah memasuki taman. Ketika raksasa itu tiba didekat tempat dua orang dara itu bersembunyi, tiba-tiba saja dia menghentikan langkahnya. Dua orang dara itu mencium bau amis yang menusuk hidung, membuat mereka hampir saja muntah-muntah. Dan raksasa itupun mengembang-kempisikan hidungnya. mulutnya menyeringai buas, matanya yang besar itu melotot dan mengamat-amati sekelilingnya, dan air liurnya menetes-netes dari ujung bibirnya,

   "Heh-heh.. bau daging segar! Daging lunak! Hemm, alangkah sedapnya!" Matanya jelalatan kekanan kiri, mencari-cari. Tentu saja dua orang dara itu seketika mandi keringat dingin! Mereka bukan penakut, bahkan Siok Eng telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi bagaimanapun juga, mereka itu hanyalah dua orang gadis remaja dan keadaan manusia raksasa itu memang sungguh amat menyeramkan. Apa lagi dalam perjalanan mereka dengan perahu, Siok Eng sudah pernah menceritakan kepada Pek Lian bahwa orang kedua dari Tujuh Iblis ini, yang berjuluk Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) kabarnya suka makan daging manusia.

   Biarpun seluruh urat syaraf mereka sudah menegang dan bersiap siaga, akan tetapi ketika raksasa itu melangkah mendekati tempat mereka bersembunyi, mereka merasa tubuh mereka panas dingin! Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa cekikikan yang nyaring dari arah gedung ditengah pulau. Suara cekikikan yang penuh kegenitan, terkekeh-kekeh dibuat-buat. Mendengar suara itu, si raksasa berhenti melangkah dan menoleh kearah gedung. Agaknya suara itu mengingatkan dia akan maksud kedatangannya ke pulau itu. Mendadak dia lari tunggang-langgang menuju kearah gedung. Tanah yang diinjaknya ketika dia berlari itu tergetar seperti gempa bumi dan dua orang dara itu bernapas lega.

   "Mari kita pergi!" Siok Eng menarik tangan Pek Lian. Sekali ini, Pek Lian yang biasanya berwibawa dan memimpin karena ia adalah seorang patriot di lembah, menurut saja karena ia maklum betapa berbahayanya tempat itu dan bahwa Siok Eng lebih tahu dari pada ia sendiri mengenai ke pulauan setan itu. Siok Eng mengajak Pek Lian menggunakan perahu milik Tiat-siang-kwi itu. Ia ingin mencari bunga Hek-kui-hoa dipulau ketiga setelah gagal mencari dikedua pulau pertama.

   Mereka mendayung perahu itu dengan cepat. Didepan nampak dua buah pulau kecil berdampingan. Dari jauh, kedua pulau itu nampak gersang tidak ditumbuhi pohon sama sekali. Ketika mereka mendekat, maka mereka melihat bahwa pulau yang satu terdiri dari batu-batu dan pasir melulu. Menurut pengetahuan Siok Eng, pulau ini adalah tempat tinggal si raksasa, orang kedua dari tujuh iblis. Kabarnya, entah berapa ratus orang yang menjadi korban iblis raksasa ini ditempat itu, tulang-tulangnya berserakan dan terpendam dalam batu-batu dan pasir. Adapun pulau yang kedua terdiri dari rawa-rawa dan ditengah rawa nampak sebuah gubuk besar yang berdiri diatas tiang-tiang dari kayu yang tahan air. Itulah tempat tinggal suami isteri Imkan Siang-mo (Sepasang Iblis Neraka ), yaitu kakek dan nenek yang selalu bergerobak dan tak tahu malu itu.

   "Eng-moi, pulau yang mana harus kita darati lebih dulu?" tanya Pek Lian, melihat betapa kawannya itu hanya membawa perahu mereka berputar-putar tak menentu.

   "Kita terus saja, enci Lian. Pulau-pulau ini adalah tempat tinggal Tiat-siang-kui dan Sepasang Iblis Neraka, yaitu orang kedua, keenam dan ketujuh dari Tujuh Iblis. Melihat keadaan kedua pulau ini, juga melihat macamnya raksasa itu, tak mungkin dia yang menanam atau menyimpan Hek-kui-hwa. Juga suami-isteri itu jarang berada dirumah, selalu mengembara dan pulaunya terdiri dari rawa-rawa pula, kiranya tidak mungkin berada disana itu."

   "Lalu bagaimana? kemana kita harus mencari?"

   "Enci Lian, ke pulauan mereka hanya ada lima buah. Yang empat telah kita ketahui dan agaknya bunga itu tidak berada disitu. Tinggal sebuah pulau lagi yang menjadi tempat tinggal tokoh pertama dari mereka, yaitu tetok-ci (Tikus Beracun Bumi). kesanalah kita menuju." Pek Lian menutup mulut menahan ketawanya.

   "Sudah banyak kita melihat orang aneh. Ingin aku melihat bagaimana macamnya yang berjuluk Tikus Beracun itu. Apakah mukanya seperti tikus?" Siok Eng tersenyum geli.

   "Mungkin saja. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Akan tetapi ayah bilang bahwa dia mempunyai koleksi banyak macam tikus yang aneh-aneh dan buas. Tikus-tikus itu dibuat beracun dan mereka ditempatkan diterowongan-terowongan yang banyak terdapat dipulau tempat tinggalnya." Pek Lian bergidik. Diantara binatang-binatang kecil, tikus merupakan binatang yang menjijikkan baginya. Apa lagi kalau jumlahnya banyak, dan beracun lagi.

   "Mudah-mudahan aku tidak harus berhadapan dengan tikus-tikus lebih baik aku melawan tetok-ci itu sendiri," katanya.

   "Lebih baik kalau bisa jangan, enci. Kepandaian iblis itu paling lihai dan diapun kabarnya paling kejam diantara Tujuh Iblis."

   "Aku sungguh merasa heran, adik Eng. Engkau sudah tahu betapa lihainya Tuiuh Iblis dan betapa besarnya bahayanya mengunjungi Ban-kwi-to, akan tetapi mengapa engkau lakukan juga petualangan ini? Apakah engkau tidak takut sedikitpun juga?" Siok Eng tersenyum dan wajahnya yang pucat itu nampak manis sekali kalau tersenyum.

   "Enci, engkau tidak tahu. Kami orang-orang Tai-bong-pai mengutamakan kegagahan. Aku sendiri lebih menghargai kegagahan dari pada nyawa, maka untuk mematangkan ilmuku, biar harus menempuh bahaya yang mengancam nyawa sekalipun, akan kujalani tanpa rasa takut sedikitpun." Dan kini sepasang mata yang bening itu mengeluarkan sinar yang dingin dan menyeramkan sehingga Pek Lian tidak mau bertanya lagi. Ia teringat akan cerita-cerita yang pernah didengarnya bahwa Tai-bong-pai adalah golongan yang termasuk sesat dan hitam. Heran ia membayangkan bahwa seorang gadis yang begini ramah dan lemah lembut, begini cantik jelita, adalah puteri dari ketua Tai-bong-pai!

   Padahal, nama Tai-bong-pai didunia persilatan tidak kalah seram dan menakutkannya dibandingkan dengan nama Pulau Selaksa Setan ini! Teringat ini, Pek Lian bergidik dan baru ia teringat bahwa dara yang menjadi kawan akrabnya ini sebenarnya datang dari dunia yang sama sekali berlainan dengan dunianya sendiri. Ia teringat bahwa Tai-bong-pai adalah golongan yang ahli dalam hal racun, mungkin tidak kalah keji dan berbahayanya dibandingkan dengan Tujuh Iblis penghuni ke pulauan ini. Akhirnya mereka melihat pulau terakhir, sebuah pulau yang bulat dan berbentuk sebuah bukit kecil. Pulau ini banyak ditumbuhi pohon-pohon seperti pohon cemara yang kecil dan tinggi. Pada waktu itu, fajar telah menyingsing. Langit timur seperti terbakar, kemerahan oleh sinar matahari yang telah mendahului sang Raja siang.

   Udara sejuk dan angkasa cerah. Indah dan nyaman, sungguh berlawanan dengan bahaya yang mengancam dipulau itu yang nampaknya begitu hening dan menyenangkan. Mereka mendarat dengan hati-hati, memilih celah-celah dimana terdapat semak-semak belukar. Baru saja mereka menarik perahu kepinggir dan melangkahkan kaki, hampir saja Pek Lian menjerit ketika tiba-tiba muncul seekor tikus berbulu hitam yang besarnya seperti kucing bunting. Tikus ini muncul didekat kakinya, hampir terinjak. hebatnya, tikus itu tidak melarikan diri, bahkan berhenti dan melotot kearah Pek Lian, dan bibirnya ditarik keatas, menyeringai memperlihatkan giginya seperti seekor harimau kalau marah. Sikapnya seakan-akan hendak menyerang, dan bulu dibagian lehernya tegak, sedikitpun dia tidak kelihatan takut menghadapi manusia!

   "Ssttt! Hushhhhttt!" Pek Lian mencoba mengusirnya dengan desisan suara. Akan tetapi tikus itu bukannya takut malah meruncingkan moncongnya dan mengeluarkan bunyi menguik tajam, kepalanya diangkat dan lagaknya siap untuk menyerang.

   "Sudahlah, enci, lebih baik jangan kita usik dia. Mari kita pergi kedalam pulau," kata Siok Eng yang merasa ngeri juga melihat ada tikus sebesar itu yang berani melawan manusia.

   "Hei, awas, Eng-moi! Lihat dibelakangmu dan itu juga disebelah kananmu. Awas!" Tiba-tiba Pek Lian berseru dan Siok Eng hampir meloncat saking kagetnya. Ternyata kini bermunculan tikus-tikus hitam yang besar-besar, seperti mengepung mereka dan tikus-tikus itu nampak menyeringai dan mengeluarkan bunyi, siap tempur! Beberapa ekor lagi nampak datang dengan sikap mengancam.

   "Wah, wah... hiiih, jijik aku. Mari kita cepat pergi, enci Lian!" kata Siok Eng yang sudah menyambar tangan Pek Lian dan kedua orang nona itu sudah berloncatan pergi menjauhi tikus-tikus yang melotot marah itu. Dengan bulu tengkuk meremang keduanya sudah berlari cepat mengelilingi pulau. Mereka mencari-cari bunga mawar hitam diantara semua tanaman yang tumbuh dipulau dan mereka sengaja menjauhi bangunan-bangunan rumah yang nampak berdiri ditengah-tengah pulau. Akan tetapi sekian jauhnya mereka belum juga berhasil menemukan apa yang mereka cari dan akhirnya mereka tiba dipantai yang landai dan penuh pasir. Dan tiba-tiba mereka menyelinap dan bersembunyi dibalik batu karang. Mereka melihat banyak perahu besar kecil berlabuh ditempat itu. Bermacam-macam perahu yang agaknya datang dari tempat asing yang jauh.

   "Aihh, banyak benar tamu yang datang berkunjung ke pulau ini, enci," kata Siok Eng dengan suara mengandung keheranan.

   "Lihat perahu-perahu itu, ada yang berbendera asing pula. Yang kiri itu kelihatannya seperti bendera orang-orang Mongol." Pek Lian mengangguk.

   "Tak salah lagi, itu memang bendera Mongol. Dan yang dikanan itu, perahu bercat kuning itu. Bukankah orang-orangnya memakai pakaian seragam perajurit pemerintah? Hemm, apakah tempat ini diserbu pasukan pemerintah?"

   "Ah, kurasa tidak, enci. Lihat saja perahu Mongol itu. Disana juga terdapat pasukan asing dan mereka nampak bersahabat dengan pasukan pemerintah. Hemm, ada apa pula ini? Padahal, antara pasukan pemerintah dan para Raja kecil Mongol selalu terjadi permusuhan. Mengapa kini kedua pihak nampak rukun dan bersama-sama berada disini? Tidak nampak tanda-tanda pertempuran dan mereka itu agaknya datang kesini dengan baik-baik" Pek Lian sebagai puteri Menteri dan juga pemimpin pasukan patriot, sedikit banyak tahu akan hal itu, maka iapun berkata dengan alis berkerut,

   "Sungguh membingungkan. Kedua pasukan itu nampak bersahabat, padahal diperbatasan utara antara kedua pasukan selalu terjadi pertempuran. Tentu ada hal-hal yang aneh dan tidak beres disini." Karena matahari mulai bersinar dan ditempat itu terdapat demikian banyaknya orang, dua orang dara itu lalu bersembunyi diantara pohon-pohon yang tumbuh disepanjang pantai itu. Ketika melihat sebatang pohon besar yang daunnya lebat, keduanya lalu naik keatas bersembunyi didalam pohon itu, diantara daun-daun yang lebat.

   Karena mereka telah memakai olesan obat anti racun, maka mereka tidak takut menghadapi serangan binatang-binatang kecil. Dari tempat persembunyian ini mereka memandang kearah pantai dimana terdapat perahu-perahu dan para perajurit itu. Tiba-tiba jantung Pek Lian berdebar tegang ketika ia melihat sebuah perahu besar yang baru saia meninggalkan pulau itu. Perahu besar itu berbendera asing dan ia mengenalnya sebagai perahu dimana ia dan Bwee Hong pernah berkelahi melawan para penumpang perahu, dan dimana ia pernah mendengar suara ayahnya. Akan tetapi perahu itu agaknya baru saja meninggalkan pulau sehingga hati Pek Lian menjadi kecewa sekali. Ingin ia dapat menyelidiki keadaan perahu itu, untuk melihat apakah benar ayahnya berada diperahu besar itu.

   Di tempat persembunyian ini, mereka berdua merasa aman, danat melepaskan lelah sambil mengatur rencana selanjutnya dalam usaha mereka mencari Hek-kui-hwa. Tiba-tiba terdengar suara banyak orang. Mereka cepat menoleh dan dari arah tengah pulau nampak belasan orang berbondong-bondong menuju kepantai. Pakaian mereka itu aneh-aneh dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang dari dunia persilatan. Diantara mereka terdapat orang-orang yang dari pakaiannya mudah diduga bersuku Bangsa Mancu dan Mongol. Semua orang membawa senjata dan sikap mereka gembira sekali ketika mereka menuju keperahu-perahu itu. Dibelakang mereka nampak belasan orang pula yang agaknya merupakan rombongan tuan rumah, sikap mereka seperti mengantar tamu itu menuju keperahu-perahu mereka. Mereka berjalan beriringan sambil tertawa-tawa gembira.
(Lanjut ke Jilid 16)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 16
Dengan penuh perhatian dua orang gadis itu memandang kearah mereka. Kini matahari telah membuat mereka dapat meneliti wajah orang-orang itu dengan jelas. Yang berjalan paling depan didalam rombongan tuan rumah adalah seorang laki-laki pendek kecil yang pakaiannya mewah sekali. Orang ini mempunyai sepasang mata yang kecil dan dalam, akan tetapi mata itu berkilat-kilat penuh kecerdikan dan kelicikan.

   Dari gerak-gerik dan pandang matanya saja mudah diduga bahwa orang ini tentu lihai sekali. Rombongan tuan rumah itu mengantar para tamunya sampai mereka semua naik keperahu masing-masing dan perahu-perahu itu berlayar meninggalkan pulau. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Siok Eng dan Pek Lian ketika melihat rombongan tuan rumah itu kini menuju kearah pohon tempat mereka bersembunyi. Biarpun pohon itu besar dan daunnya lebat, akan tetapi kalau orang-orang itu berada dibawah pohon, tentu mereka berdua akan ketahuan.

   "Adik Eng, lihat, ada lubang besar dibatang pohon ini!" Tiba-tiba Pek Lian berkata sambil menuding kebawah. Memang benar. Pohon itu memiliki batang yang amat besar, sebesar pelukan tiga empat orang dewasa dan kini setelah Pek Lian menyingkap daun-daun yang rimbun, nampak ada lubang besar tepat ditengah-tengah batang pohon itu.

   "Bagus, kita bersembunyi saja didalamnya!" kata Siok Eng yang mendahului Pek Lian memasuki lubang itu. Pek Lian mengikuti dan ternyata lubang itu memang cukup besar untuk mereka masuki berdua. Akan tetapi, ternyata lubang itu terus menembus kebawah, merupakan terowongan gelap yang terus kedalam tanah! Kiranya, itu merupakan sebuah jalan rahasia pula! Tentu saja keduanya yang takut ketahuan itu menjadi heran dan girang, lalu melanjutkan perjalanan mereka melalui terowongan. Dibawah tanah, mereka dapat berjalan sambil merunduk, akan tetapi cuacanya menjadi semakin gelap sehingga mereka harus meraba-raba keatas dan kedepan agar kepala mereka tidak terbentur dan kaki mereka tidak terjeblos. Karena makin lama lorong terowongan itu menjadi semakin dalam dan gelap, Pek Lian merasa khawatir juga.

   "Eng-moi, apakah tidak sebaiknya kita kembali saja? Guha ini gelap menyeramkan dan kita tidak mengenalnya sama sekali, tidak tahu kemana terowongan ini menuju. Bagaimana kalau terowongan ini runtuh dan jalannya terputus? Kita tentu akan terkubur hidup-hidup disini, kita akan megap-megap kehabisan napas, seperti tikus-tikus tertimbun... aiiihhhh!" Pek Lian menjerit saking ngerinya ketika tiba-tiba saja kakinya menginjak seekor tikus besar yang menggigit betisnya! Untung bahwa betisnya telah diolesi obat penawar dan juga dilindungi kaos kaki dan ia tadi mengerahkan sinkang sehingga tidak sampai terluka. Sekali ia menggerakkan kaki menginjak, terdengar bunyi...

   "Cieeettt prakkk...!" dan tikus itu mati dengan kepala dan tubuh pecah, isi tubuhnya dan darahnya muncrat kemana-mana. Tercium bau wangi bercampur amis yang memuakkan.

   "Ihhh! Adik Eng, sungguh menjijikkan..." Pek Lian berseru.

   "Aku... aku menginjak tikus dan kuinjak ia sampai lumat!"

   "Hihhh... mengerikan...!" Siok Eng juga bergidik jijik, akan tetapi ia segera menguatkan batinnya.

   "Akan tetapi terowongan ini agaknya sudah biasa dimasuki orang. Coba raba, tanahnya begini bersih dan kering dan terowongan ini agaknya menuju ketengah pula. Siapa tahu ini merupakan jalan rahasia yang akan membawa kita ketempat Si Tikus Beracun?"

   "Tapi... tapi... tikus-tikusnya" Pek Lian bergidik. Ia masih merasa ngeri membayangkan tikus-tikus besar yang pernah menghadang mereka dan membayangkan tikus yang diinjaknya pecah tadi.

   "Adik Eng, aku bukan takut mati, akan tetapi... siapa tahu terowongan ini penuh dengan tikus beribu-ribu banyaknya? Hiihh, kalau harus berhadapan dengan ribuan tikus, sebelum apa-apa aku mungkin sudah akan mati lemas karena jijik...!"

   "Baiklah, enci Lian, mari kita kembali saja. Eh, awas, ada orang datang!" Siok Eng berkata lirih dan menarik tangan kawannya, diajak bersembunyi mepet didinding terowongan, lalu mundur kebagian yang berbelok. Tak lama kemudian, laki-laki pendek kecil yang tadi mereka lihat diluar, lewat diterowongan itu. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga laki-laki itu tidak melihat dua orang gadis yang mepet didinding. Tangan kanan laki-laki ini memegang sebatang cambuk. Setelah melewati tempat persembunyian dua orang dara itu sampai beberapa langkah, tiba-tiba dia berhenti dan hidungnya mendengus-dengus.

   "Hemm, ada bau asing ditempat ini! Apa yang dibawa anak-anak itu kesini?" terdengar dia menggerutu.
Tentu saja hati kedua orang dara itu berdebar tegang. Apakah jejak mereka telah diketahui? Bukan main tajamnya daya cium manusia ini. apakah dia ini yang berjuluk tetok-ci, orang pertama dari Ban-kwi-to? Akan tetapi menurut keterangan yang diperoleh Siok Eng, Tikus Beracun itu sudah berusia enam puluh tahun lebih, sedangkan orang pendek kecil ini usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pada saat orang itu dengan penuh keraguan hendak berbalik dan dua orang dara itu sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan, tiba-tiba terdengar suara riuh mencicit dari depan sana. Demikian gaduh dan riuh suara itu, suara dari mungkin ratusan ekor tikus yang bercuitan, sehingga orang pendek kecil itu tidak jadi kembali.

   "Kurang ajar! Ada apakah dengan anak-anak setan itu?" gerutunya dengan suara geram. Dia meloncat kedepan dan tubuhnya meluncur dengan cepatnya. Dua orang gadis itu memandang kedepan dan tiba-tiba nampak cahaya terang didepan, seolah-olah ada pintu yang dibuka. Mereka berdua menjadi tertarik dan karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari tempat itu, merekapun tidak jadi kembali, khawatir bertemu dengan orang-orang yang baru masuk, dan merekapun lalu berindap-indap melangkah maju dengan hati-hati. Kini terowongan menjadi tidak segelap tadi, remang-re-mang dan mereka dapat melihat kedepan.

   "Ah, didepan itu terang benar, agaknya kita menuju kelubang keluar, Eng-moi," kata Pek Lian dengan suara berbisik gembira. Ia merogoh saku hendak mengambil saputangan untuk menghapus keringatnya, akan tetapi ternyata kantongnya kosong.

   Agaknya saputangannya itu terjatuh ketika ia menginjak tikus tadi. Mereka berjalan terus kedepan, kearah sinar terang. Akan tetapi ternyata mereka kecelik. Sinar terang itu sama sekali bukan datang dari lubang keluar, melainkan dari sebuah lampu minyak yang besar sekali, yang berdiri diatas meja batu. Ditempat ini, terowongan menjadi besar dan membentuk sebuah ruangan yang luas penuh dengan batu-batu besar berserakan. Dan diruangan luas ini, terdapat pintu-pintu terowongan lain yang semuanya berjumlah delapan buah termasuk, terowongan dari mana mereka datang. Tentu saja dua orang dara itu menjadi bingung sekali. Tidak nampak laki-laki kecil pendek tadi, dan mereka berdua tidak tahu kemana mereka harus pergi, mulut terowongan mana yang harus mereka ambil untuk dapat keluar dari tempat itu.

   "Wah, enci Lian, sungguh aku menyesal sekali telah membawamu kesini. Agaknya kita akan benar-benar terkubur hidup-hidup disini,"

   "Jangan sesalkan hal itu, adik Eng. Kalau bukan engkau yang menolong, bukankah aku juga sudah mati ditelan lautan? Sekarang kita belum mati, tidak boleh putus asa, walaupun aku aku seperti mendapat firasat bahwa kita telah memasuki tempat yang sangat mengerikan." Bayangan tikus yang diinjaknya tadi masih membuat nona ini bergidik ngeri dan jijik.

   "Bagus, enci. Engkau telah membangkitkan semangatku kembali. Kita memang tidak boleh putus asa dan kita hadapi bersama segala bahaya yang mungkin menimpa kita. Akan tetapi karena kita kehilangan jejak orang tadi, mari kita cari sendiri saja jalan keluar secara untung-untungan."

   "Lalu mulut terowongan mana yang harus kita pilih, Eng-moi?"

   "Aku yakin bahwa satu diantara mulut-mulut terowongan itu tentu menuju ke Istana tetok-ci. Karena kita baru saja keluar dari mulut terowongan yang dikanan, maka untuk menuju ketengah pulau tentu harus mengambil jalan yang bertentangan, yaitu yang berada dilari. Akan tetapi, disebelah kiri terdapat tiga buah mulut terowongan yang harus kita pilih salah satunya. Enci Lian, berkali-kali engkau lolos dari cengkeraman maut, itu tandanya bahwa nasibmu masih baik. Oleh karena itu, biar aku membonceng nasib baikmu itu dan engkaulah yang memilih satu diantara tiga pintu terowongan itu." Pek Lian tersenyum...

   "Mudah-mudahan saja nasibku akan selalu mujur dan tidak salah memilih terowongan ini. Bagaimanapun juga, andaikata salah pilih, kita masih dapat kembali kesini dan memilih yang lain lagi, bukan? Nah, mari kita memasuki lubang yang ditengah itu."

   Ternyata lubang ini tidaklah selebar yang mereka lalui tadi. Juga amat sukar dilaku karena didalamnya banyak sekali batu-batu karang yang tajam dan runcing bertonjolan dikanan kiri atas dan bawah. Mereka harus berhati-hati, kadang-kadang meloncat dan harus selalu waspada karena kalau tidak hati-hati, kepala mereka dapat tertumbuk batu diatas. Apa lagi lubang itu tidak begitu terang, hanya remang-remang. Tiba-tiba terdengar suara ledakan cambuk disebelah depan. Tentu saja dua orang gadis yang sejak tadi sudah merasa tegang dan amat berhati-hati itu, menjadi terkejut dan mereka berhenti melangkah, saling berpegang tangan dan memandang tajam kedepan.

   "Enci Lian, itu dia! Kiranya masuk juga keterowongan ini," bisik Siok Eng.

   Mereka bergerak dengan hati-hati menuju kedepan. Dari depan ada angin bertiup lembut dan mereka menutupi hidung. Angin itu membawa bau yang menyengat hidung karena amis dan busuk. Tibalah mereka disebuah ruangan yang luas dan pada dinding-dinding ruangan itu terdapat beberapa buah lampu minyak yang terang. Ketika dengan hati-hati mereka mengintai keruangan itu, mereka bergidik dengan hati ngeri. Diatas lantai, ditengah-tengah ruangan itu nampak bangkai ratusan ekor tikus berserakan dan bertumpuk-tumpuk! Dan diantara bangkai-bangkai itu berdiri seorang laki-laki memegang cambuk yang digerak-gerakkan kekanan kiri seperti orang mengancam. Itulah laki-laki pendek kecil tadi. Pek Lian dan Siok Eng mengintai dari tempat sembunyi mereka dengan hati ngeri.

   Kini nampak jelas oleh mereka bahwa bangkai-bangkai tikus itu terdiri dari dua macam tikus yang besar-besar, yang berbulu kemerahan dan kehitaman. Dan kini nampaklah oleh mereka bahwa disebelah kiri nampak tikus berbulu merah, ratusan banyaknya, dengan sikap ganas dan siap menyerang. Sedangkan disebelah kanan orang pendek itupun bergerombol ratusan ekor tikus hitam yang berbintik-bintik putih, semua juga menyeringai buas seperti tikus-tikus merah. Mudah diduga bahwa dua macam gerombolan tikus ini telah mengadakan perang, terbukti adanya bangkai-bangkai dua macam tikus ditempat itu. Dua gerombolan tikus yang masih hidup itu, nampak buas dan marah, siap untuk saling serang akan tetapi mereka itu kelihatan tunduk dan takut kepada si kecil pendek yang berdiri dengan cambuk ditangan, diantara mereka. Agaknya si pendek inilah yang tadi menghentikan perang antar tikus ini.

   "Bedebah busuk! Keparat jahanam! Tikus-tikus tengik yang tak tahu aturan! Kenapa kamu saling serang dan saling bunuh? Kurang ajar! berani ya kalian menyerang tanpa diperintah? Uhh, percuma saja kamu dipelihara dan diberi makan."

   "Tar-tar-tarrrr!!" Cambuknya meledak-ledak dan tikus-tikus kedua pihak itu undur ketakutan.

   "Binatang-binatang busuk, dimana pengasuh-pengasuh kalian? Ang-lojin! Hek-lojin dimana kalian? Kenapa bocah-bocah peliharaamnu kalian biarkan saling bunuh?" Gema suaranya yang mengandung tenaga khikang itu menerobos keseluruh lorong-lorong bawah tanah itu, kemudian lenyap dan suasana menjadi amat sepi.

   Dan didalami kesunyian ini tiba-tiba terdengar suara rintihan dari lubang terowongan sebelah kanan. Diruangan itu terdapat empat buah lubang terowongan. Pulau kecil yang menjadi tempat tinggal atau sarang tetok-ci atau Tikus Tanah Beracun ini memang merupakan tempat yang paling berbahaya. Dibawah tanah pulau ini penuh dengan jalur-jalur lalu lintas bawah tanah, terowongan-terowongan yang mempunyai banyak cabang dan ranting, penuh rahasia dan dipasangi alat-alat rahasia pula, bahkan disitu terdapat tikus-tikus beracun peliharaan tetok-ci. Maka, dapat dibayangkan betapa berbahayanya keadaan dipulau ini. Dari atas memang nampak sebagai sebuah pulau yang indah dan menyenang-kan, namun dibawah pulau tersembunyi jebakan-jebakan dan binatang-binatang peliharaan yang kalau dikerahkan akan merupakan pasukan yang menyeramkan dan berbahaya.

   Apa lagi kalau sampai ada musuh yang terjebak kedalam terowongan ini! Mendengar suara rintihan dari terowongan sebelah kanan ini, si pendek kecil berkelebat kekanan dan lenyap kedalam terowongan itu. Dan begitu orang itu pergi, tikus-tikus kedua pihak yang sejak tadi memang sudah siap tempur itu sudah saling berlompatan menyerang lawan dengan ganasnya. Terdengar suara hiruk-pikuk menggiriskan dan darah tikus berhamburan, udara menjadi amat busuk dan amis. Apa lagi ketika muncul seekor tikus hitam berbintik putih yang sangat besar, dua kali besarnya dari pada teman-temannya. Tikus ini menyerang dengan buas dan biarpun dikeroyok oleh lima ekor tikus merah, dia masih dapat mengungguli mereka. Darah makin banyak berhamburan dan bau amis membuat dua orang gadis yang menonton semua ini dari tempat persembunyian mereka itu hampir muntah.

   "Enci Lian, mari kita pergi" Suara Siok Eng agak menggigil karena ia merasa ngeri.

   "Kalau sampai kita yang dikeroyok ribuan atau laksaan tikus hi-hih, aku bisa jatuh pingsan karena jijik."

   Akan tetapi pada saat itu kembali terdengar bunyi cambuk meledak-ledak dan sungguh luar biasa sekali, tikus-tikus yang tadinya saling terkam, saling gigit dan saling bantai itu mendadak saja berhenti dan mereka mundur ketempat masing-masing, bersatu dengan kawan-kawannya. Tikus-tikus yang mati menambah banyak bangkai yang berserakan, sedangkan tikus-tikus yang terluka parah dengan susah payah beringsut-ingsut dan tersaruk-saruk mencoba untuk berkumpul kedalam barisan teman-temannya. Si pendek kecil itu datang lagi dan tangan kirinya menarik lengan seorang kakek yang berkulit hitam legam mengkilat. Kakek itu nampak ketakutan dan tubuhnya agak gemetar. Dia berjalan setengah diseret dan kelihatan lemah dan terhuyung seperti orang sakit.

   "Tar-tarrr!" Cambuk itu meledak diudara.

   "Jahanam-jahanam gila! Apa yang telah terjadi? Apakah dunia telah kiamat dan neraka muncul ditempat ini? Agaknya setan-setan berkeliaran dan memasuki tubuh kalian semua! Heh, Hek-lojin. Hayo katakan, apa yang telah terjadi disini? kenapa engkau sampai menderita luka dalam akibat pukulan? Dan dimana adanya Ang-lojin?" Kakek berkulit hitam itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan kelihatan semakin ketakutan! Dengan suara lirih dan gemetar, kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itupun mulai bercerita. Dia dan Ang-lojin merupakan dua diantara delapan orang penjinak atau pawang tikus-tikus liar yang menjadi kaki tangan tetok-ci.

   Tentu saja keduanya, bersama enam orang lainnya, adalah sahabat-sahabat dan rekan-rekan yang mempunyai daerah-daerah sendiri didalam dunia bawah tanah itu, mengepalai gerombolan tikus masing-masing. Akan tetapi, ketika rombongan perahu asing itu datang bertamu, muncul seorang perempuan yang menjadi pelayan disebuah diantara perahu-perahu itu. Ketika perempuan itu turun ke pulau untuk mencari air, Hek-lojin melihatnya, tertarik dan merayunya. Perempuan itu, seorang perempuan peranakan Mongol, mau menyambut dan melayani rayuannya. Akan tetapi celakanya, perempuan itu adalah seorang perempuan yang tidak puas dengan hanya seorang pria saja dan iapun melayani rayuan Ang-lojin. Tentu saja hal ini mengakibatkan cemburu dan persaingan.

   "Demikianlah, siauwya (tuan muda), kami berkelahi dan tentu saja kami berdua juga mengerahkan binatang-binatang peliharaan kamii untuk saling menyerang. Kami berdua sama-sama terluka "

   "Keparat tolol! Hanya untuk urusan perempuan saja saling gasak dengan rekan sendiri? jahanam! Hayo. katakan, dimana sekarang Ang-lojin?" Orang cebol yang galak itu membentak-ben-tak.

   "Dia dia bersama perempuan itu digudang makanan"

   "Bangsat!" Si cebol itu memaki-maki dengan segala macam makian kotor dan tubuhnya sudah berkelebat pergi lagi. Tak lama kemudian, setelah menemukan Ang-lojin yang sedang dirawat karena luka-lukanya oleh seorang perempuan Mongol, dia menyeret kedua orang itu kembali ketempat dimana Hek-lojin masih berlutut dengan takut-takut.

   Setelah tiba disitu, dengan kasar si cebol itu mendorong Ang-lojin dan perempuan itu sehingga merekapun jatuh bersimpuh dan berlutut. Pek Lian dan Siok Eng mengintai dengan jantung berdebar. Ang-lojin bermuka merah dan memang dia itu beberapa tahun lebih muda dan kelihatan ganteng apabila dibandingkan dengan Hek-lojin yang berkulit hitam legam! Pantaslah kalau perempuan itu lebih condong hatinya kepada si muka merah ini. Dan wanita itu sendiri sebenarnya bukan seorang wanita cantik. Usianya tentu sedikitnya tiga puluh lima tahun, bermuka kasar seperti orang-orang Mongol dan juga tubuhnya besar seperti pria. Akan tetapi dari pandang mata dan senyum mulutnya nampak jelas bahwa ia adalah seorang wanita yang "panas" dan besar nafsu berahinya.

   "Hek-lojin dan Ang-lojin, bagaimana sekarang? Kalau kalian sudah menyadari kesalahan, minta maaf kepadaku dan saling memaafkan, melupakan semua permusuhan, baru aku akan memberi ampun. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menghukum kalian!" bentak si cebol yang sudah nampak marah sekali. Hek-lojin dan Ang-lojin yang masih berlutut itu lalu berkata, hampir berbareng.

   "Harap siauwya sudi memaafkan saya."

   "Bagus, sekarang kalian berjabat tangan dan saling melupakan semua kesalahan masing-masing." Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian mereka mengulurkan tangan dan saling berpegangan dan pada saat itu juga habislah semua permusuhan dan dendam diantara mereka karena mereka sadar bahwa permusuhan antara mereka hanya akan mencelakakan diri mereka sendiri.

   Tiba-tiba si cebol tertawa. Dua orang dara yang menonton semua itu, mengkirik. Si cebol ini sungguh mengerikan. Baru saja maki-maki dan marah-marah, tiba-tiba dapat tertawa segembira itu. Dan tiba-tiba si cebol sudah menubruk kedepan dan menangkap perempuan itu. Tentu saja perempuan itu menjerit kaget, akan tetapi si cebol sudah membenamkan mukanya pada leher perempuan itu! Terdengar jerit melengking mengerikan. Pek Lian dan Siok Eng memandang dengan muka pucat. Mereka mengira bahwa si cebol itu melakukan hal yang kurang ajar dan cabul, mencium leher perempuan itu. Akan tetapi ketika mereka melihat darah bercucuran, tahulah mereka bahwa si cebol bukannya mencium, melainkan menggigit putus urat darah dileher perempuan itu!

   Hampir saja Pek Lian meloncat kedepan, akan tetapi Siok Eng sudah memegang lengannya dan mencegahnya. Kini sambil tertawa, si cebol melepaskan gigitannya dan perempuan itu kelihatan terbelalak dan terhuyung, lehernya mengucurkan darah seperti pancuran karena urat darah dilehernya putus. Si cebol menggerakkan cambuknya, terdengar suara meledak dan tubuh perempuan itu terlempar kedaerah gerombolan tikus. Dan terjadilah pemandangan yang amat mengerikan hati dua orang dara itu. Tikus-tikus yang tadinya saling serang itu kini beramai-ramai menyerang tubuh perempuan yang sudah terluka lehernya itu. Hanya sebentar saja perempuan itu meronta-ronta dan menjerit-jerit. Suaranya hilang dan tubuhnya berhenti meronta, mengejang sedikit lalu terdiam, dan dalam waktu singkat saja semua daging tubuhnya habis, tinggal tulang-tulangnya saja!

   Dan dua orang kakek itu hanya memandang dingin saja kepada bekas kekasih mereka yang terbunuh dalam keadaan yang demikian mengerikan. Pek Lian hampir pingsan. Ia memejamkan matanya dan dipeluk oleh Siok Eng. Agaknya, dara yang lebih muda ini lebih tabah menghadapi penyiksaan yang demikian sadis tadi. Hal ini tidak aneh karena gadis itu adalah seorang puteri Tai-bong-pai, perkumpulan yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai perkumpulan iblis juga. Kini si cebol duduk diatas batu karang bundar ditengah-tengah ruangan itu. Tidak ada bangkai tikus lagi disitu karena semua telah habis "Disikat" tikus-tikus yang liar tadi. Agaknya mereka telah menerima perintah atau ijin dari pamong atau pawang masing-masing dan mereka bukan hanya makan daging perempuan Mongol itu, melainkan juga bangkai-bangkai tikus yang berserakan itu mereka ganyang beramai-ramai.

   Kemudian tikus-tikus itupun pergi dan ruangan itu kembali bersih, bahkan darah yang tadinya berceceran dimana-mana telah bersih dijilati tikus-tikus itu. Yang ada hanya tinggal tulang-tulang besar tubuh perempuan itu yang tidak dapat dihabiskan atau ditelan oleh tikus-tikus itu. Si cebol meraih keatas dimana tergantung sebuah genta besar, lalu memukulnya. Terdengar suara nyaring yang bergemuruh dan gemanya membalik dari semua penjuru. Tak lama kemudian, panggilan ini telah mendapat sambutan dan terdengar suitan-suitan dari lorong-lorong itu. Dan muncullah enam orang lain yang rata-rata memiliki tampang yang menyeramkan. Bersama Ang-lojin dan Hek-lojin, mereka berdiri mengelilingi batu dimana si cebol yang mereka sebut siauwya itu duduk. Si cebol memandang kepada mereka semua, seorang demi seorang, dengan pandang mata tajam penuh wibawa.

   "Dengarlah kalian semua! Ayah amat sibuk dan tidak ingin diganggu, maka kalian harus tidak menimbulkan keributan. Hari ini ayah menerima banyak tamu. Akan tetapi ketahuilah, Selain kawan-kawan ayah dari dunia kang-ouw dan liok-lim yang berkunjung untuk bersahabat dan minta sesuatu dari ayah, ada pula seorang jago silat bekas musuh ayah yang datang untuk suatu keperluan yang belum kita ketahui. Karena itu, ayah menyuruhku menghubungi kalian agar kalian bersiap-siap dan berhati-hati. Semua peliharaan harus dipersiapkan agar sewaktu-waktu dibutuhkan, dapat segera dipergunakan. Periksa alat rahasia yang menghubungkan tempat ini dengan Istana. Dan ingat baik-baik. Musuh yang datang sekarang ini bukanlah sembarang orang, akan tetapi dia adalah keturunan seorang datuk dari utara. Bukan mustahil kalau ayah sendiri tidak akan mampu menundukkan. Maka kita harus bersiap-siap, kalau terpaksa dia akan kujebak kedalam terowongan."

   Setelah selesai menyampaikan berita penting itu, yang disambut oleh delapan orang pembantu yang mengangguk-angguk, si cebol yang ternyata adalah putera dari tetok-ci itu meloncat kearah meja batu dimana terdapat sebuah lampu minyak. Meja itu didorongnya kesamping sampai miring. Tiba-tiba diatas langit-langit ruangan itu terbuka sebuah lubang kecil dan secepat kilat si cebol sudah meloncat dan menerobos keluar keatas.

   Tak lama kemudian meja itu tegak kembali seperti semula dan lubang diatas itupun tertutup kembali oleh sebongkah batu karang besar. Si cebol itu adalah putera tetok-ci dan dia memakai julukan Siauw-thian-ci (Tikus Langit Kecil)! Agaknya, dalam hal julukan, dia tidak mau kalah oleh ayahnya yang berjuluk Tikus Beracun Bumi. Dia berjuluk Tikus Langit! Hanya ditambah Kecil karena tentu saja dia tidak berani melampaui ayahnya. Dan semua anak-buah Tikus Beracun menyebut siauwya (tuan muda). Setelah Siauw-thian-ci pergi, delapan orang itupun meninggalkan ruangan itu, kembali ketempat tugas masing-masing. Sampai lama Pek Lian dan Siok Eng belum berani bergerak, sampai mereka merasa yakin benar bahwa tidak ada lagi orang yang kembali ketempat itu.

   "Kemana sekarang, Eng-moi? Menerobos lewat lubang langit-langit seperti dia tadi?"

   

Naga Beracun Eps 17 Naga Beracun Eps 35 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 7

Cari Blog Ini