Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 17


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 17




   "Kalau begitu, aku mau ikut!" gadis itu berkata dan suaranya seperti bersorak gembira.

   "Aku ingin melihat Pulau Hiu. Apakah disana banyak ikan hiunya?"

   "Banyak, nona!" jawab seorang di antara mereka.

   "Ada hiu berkaki dua......"

   "Hiu berkaki dua?" gadis itu terbelalak dan semua orang tertawa.

   "Aih, temanku ini hanya berkelakar, nona," kata si cicak kering.

   "Yang dia maksudkan adalah hiu yang mempunyai sirip besar-besar dan gemuk."

   Gadis itu bertepuk tangan.

   "Aku suka sekali sirip hiu! Enak sekali, apalagi kalau dimasak dengan jahe!"

   Ia menjulurkan lidahnya yang merah segar, menjilati bibir bawah. Enam orang itu menelan ludah dan kalamenjing mereka naik turun. Saking terpesona penuh gairah, mereka sampai tidak merasa aneh bahwa gadis pantai ini pernah makan makanan sirip hiu yang hanya menjadi makanan para hartawan kaya karena mahalnya.

   "Mari kita berangkat nona. Jangan sampai engkau nanti kemalaman kalau pulang." kata si cicak kering sambil menggandeng tangan gadis itu. Gadis jelita itu tidak menolak,dan ia tersenyum-senyum melihat enam orang itu mendorong perahu ke air.

   Tak lama kemudian, ia sudah duduk di perahu yang didayung enam orang itu ke tengah, melewati gelombang besar. Dapat dibayangkan betapa gembiranya enam orang itu melihat korban mereka menyerah sedemikian mudahnya. Terlalu mudah! Dan gadis itu terlalu cantik untuk membuat mereka dapat menahan diri. Mulailah mereka mengeluarkan kata-kata tidak senonoh, bahkan si cicak kering yang menjadi pimpinan, kini melepaskan dayung karena perahu itu mulai didorong layar yang sudah dikembangkan dan diapun duduk di dekat nona itu, merapat.

   "Nona manis, siapakah namamu?" Tanya si cicak kering, mukanya sedemikian dekatnya sehingga gadis itu mengerutkan alisnya, karena dari mulut si cicak kering itu mengeluar kan bau busuk seperti bangkai.

   "Ihh, kalau bicara jangan dekat-dekat!" gadis itu menegur dan menggeser pinggulnya menjauh.

   "Heh-heh-heh, aku tidak akan mengganggumu, nona manis. Engkau akan kami hadiah kan kepada kongcu, akan tetapi sebelum tiba di pulau, kita duduk merapat begini kan hangat dan lebih enak?"

   Mendengar ucapan itu, lima rekannya tertawa bergelak.

   "Kalau bicara dekat-dekat kenapa sih, manis?"

   Gadis itu menggunakan tangan menutupi hidungnya.

   "Mulutmu bau bangkai!"

   Meledak lima orang itu tertawa, dan si cicak kering terbelalak, mukanya berubah merah sekali. Belum pernah selama hidupnya dia menerima penghinaan seperti itu, apalagi dari seorang gadis muda!

   "Nona, mulutmu lancang sekali, untuk itu kau harus dihukum. Hayo kau cium aku dengan mulutmu itu pada mulutku. Kalau engkau tidak mau, kami tidak akan membawamu kepada majikan kami, melainkan akan kami makan sendiri di perahu ini, kemudian engkau akan kami lemparkan ke air agar menjadi makanan hiu!"

   Berkata demikian, si cicak kering menjulurkan kedua tangannya merangkul gadis itu dan hendak memaksakan ciuman. Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara tawa nyaring, ia bangkit berdiri dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, ia telah menyambar kedua tangan si cicak kering yang hendak menangkapnya dan sekali ia membuat gerakan melontarkan tubuh si cicak kering itu terlempar ke atas tiang layar!

   Si cicak kering berteriak kaget dan ketakutan, akan tetapi dia dapat menjangkau ujung tiang layar dan memeluk tiang itu dengan era-erat, sehingga dari bawah dia kelihatan seperti seekor kera! Melihat ini, lima orang rekannya terbelalak, akan tetapi gadis itu, seperti seorang anak kecil yang nakal, menghampiri tiang layar dan dengan tangan kirinya ia mendorong dan mengguncang tiang layar itu.

   Sungguh hebat, tiang itu terguncang keras dan tubuh si cicak kering tentu saja ikut terguncang keras dan akhirnya dia tidak dapat bertahan lagi, tubuhnya terlepas dari ujung tiang layar dan terlempar ke luar perahu.

   "Byurr.......!" tubuhnya ditelan gelombang lautan.

   Kini kelima orang anak buah Pulau Hiu itu terkejut dan juga marah. Barulah mereka menyadari bahwa gadis yang kelihatan bloon ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga kuat. Mereka serentak menyerang untuk menangkap dan meringkus. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa, gadis itu kini menggerakkan kaki tangannya dan lima orang itu disambar tamparan dan tendangan,tubuh mereka terlempar keluar perahu dan satu demi satu tercebur ke dalam lautan!

   "He-he-he-he, kiranya kalian hanya tikus-tikus lautan!" Gadis itu bertepuk tangan dengan girang, lalu memegang kemudi layar, hendak mengarahkan perahu untuk meluncur kembali ke pantai yang sudah nampak jauh dari situ. Akan tetapi, tiba-tiba perahu itu terguncang lalu miring dan rebah, layarnya menyentuh air! Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak menjadi kaget atau takut, bahkan ia tertawa.

   "Heh-heh, kalian hendak main-main di air, ya? Boleh, boleh!" dan iapun meloncat dari perahu yang miring itu ke dalam air.

   Enam orang itu adalah anak buah Pulau Hiu, bajak-bajak laut yang tentu saja merupakan ahli- ahli renang yang pandai. Melihat gadis itu berani meloncat ke air, hati mereka girang sekali. Terutama si cicak kering yang ingin membalas dendam, tubuhnya meluncur cepat ke arah gadis itu.

   Ingin ia menangkap, meringkus dan menyeret gadis itu ke dalam air agar kehabisan napas dan menyerah. Akan tetapi, ketika dia tiba di dekat gadis dan menerkam, tiba-tiba saja gadis itu lenyap. Persis seperti ketika diterkam di darat tadi. Hanya bedanya, kalau tadi gadis itu menggunakan gerakan kilat meloncat ke atas menghindar dari terkaman enam orang, kini ia menyelam ke bawah dan lenyap!

   Dan tiba-tiba si cicak kering terbelalak, akan tetapi dia tidak sempat berteriak karena tubuhnya sudah lenyap terseret ke bawah seperti diseret ikan hiu. Memang tadinya diapun menyangka demikian ketika tiba-tiba kedua kakinya ada yang menangkap dan dia terseret ke bawah.

   Akan tetapi di dalam air dia melihat bahwa yang menangkap kakinya adalah gadis tadi! Gadis itu ternyata dapat bergerak seperti ikan di dalam air, rambutnya terlepas dari sanggul dan kini riap-riapan. Sungguh ia seperti dongeng ikan duyung yang membuat si cicak kering merasa ngeri.

   Dicobanya untuk melepaskan kedua kakinya, namun sia-sia dan dia terpaksa harus menahan pernapasannya. Tentu saja dia kuat menahan napas di air karena terlatih, akan tetapi ternyata dia terus diseret ke bawah dan batas waktunya sudah melampaui ketahannya. Gadis itu seolah-olah berubah menjadi ikan yang tidak perlu bernapas di permukaan air!

   Mulailah si cicak kering gelagapan. Dia masih melihat tubuh teman-temannya meluncur dan mengejarnya, tentu hendak menolongnya. Akan tetapi gadis itu tiba-tiba menyeret nya naik ke atas sampai kepalanya tersembul di atas. Si cicak kering megap-megap, seperti ikan yang dilempar ke darat, dadanya seperti akan pecah rasanya dan pada saat itu tubuhnya sudah terayun dan diputar- putar seperti gasing!

   Dara itu masih memegang kedua kakinya dan kini tubuhnya diputar di atas air, seolah-olah tubuhnya itu hanya seringan sepotong kayu saja. Kemudian gadis itu melepaskan pegangan pada kedua kakinya dan tubuh si cicak kering melayang sampai amat jauh, jatuh terbanting ke air lagi dalam keadaan nanar dan hampir pingsan.

   Kini kelima orang itupun mengeroyok. Terjadi perkelahian di air yang tidak seimbang dan tidak lama. Gadis itu sungguh luar biasa, mampu bergerak di air seperti ikan, sukar ditangkap. Sebaliknya tamparan-tamparannya membuat lima orang itu gelagapan, bahkan ada yang pingsan dan tenggelam.

   Akhirnya, para pengeroyok itu tidak ada yang berani mendekat, sibuk hendak menolong teman yang pingsan tenggelam. Gadis itu sendiri sambil terkekeh lalu menyambar sebatang dayung yang terapung, memukul ke arah tiang layar perahu. Terdengar suara keras dan tiang itupun patah!

   Kemudian, dengan tenaga yang luar biasa, ia membalikkan perahu dan meloncat ke dalam perahu, mendayung perahu itu ke pantai meninggalkan enam orang yang masih terapung-apung dipermainkan gelombang lautan. Mereka dapat mendengar suara tawa merdu gadis itu, akan tetapi bagi pendengaran mereka, sama sekali tidak merdu menyenangkan, melainkan mengerikan. Mereka merasa seolah-olah baru berjumpa dengan iblis lautan yang amat ganas!

   Setelah tiba di pantai, gadis itu menyeret perahu hijau ke darat. Tiba-tiba nampak sesosok bayangan putih berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita yang berpakaian serba putih dari sutera halus. Wanita ini sudah berumur enampuluh tahun lebih, akan tetapi ia masih langsing, sehingga orang akan mengira bahwa usianya baru sekitar empatpuluh tahun saja. Ia berdiri tegak memandang kepada gadis itu yang kini menghadapi wanita itu sambil tersenyum gembira.

   "Subo, aku mendapatkan sebuah perahu milik enam orang yang kutinggalkan di sana," katanya sambil menunjuk ke tengah lautan.

   Wanita itu mengerutkan alisnya. Ia cantik akan tetapi sikapnya dingin, bahkan wajahnya seperti diliputi mendung, tidak secerah wajah muridnya. Kalau ada orang kangouw melihatnya, tentu orang itu akan terkejut ketakutan, karena wanita itu bukanlah wanita sembarangan.

   Ia adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai dan berwatak aneh, tidak berpihak kepada yang baik maupun yang buruk. Bukan golongan putih, maupun hitam, pendekar maupun penjahat. Ia terkenal sebagai datuk di timur, dan di sepanjang pantai, namanya sudah banyak dikenal orang kangouw, dan ditakuti, walaupun ia jarang mau mencampuri urusan orang kangouw di daerah itu. Wanita ini bukan lain adalah Tung-hai Mo-li (Iblis betina laut Timur) Bhok Sui Lan! Dan gadis jelita yang lincah dan ugal-ugalan itu bukan lain adalah Cin Cin atau Kam Cin.

   Seperti kita ketahui, empat belas tahun yang lalu, ketika ia berusia lima tahun, Cin Cin mengalami malapetaka. Ayah kandungnya, yaitu Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang, tewas ketika Cian Bu Ong mengutus para pembantunya menyerbu.

   Kemudian Cin Cin atau nama lengkapnya Kam Cin dikirim ke dusun Hong-cun, tempat tinggal Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng, agar menjadi murid pendekar itu. Ia diantarkan oleh susiok (paman gurunya) bernama Lai Kun. Akan tetapi dalam perjalanan,

   Lai Kun menyeleweng, menjual murid keponakan itu kepada seorang mucikari! Cin Cin yang ayahnya telah tewas dan ibunya dilarikan penyerbu dusun mereka, jatuh ke tangan mucikari. Kemudian, setelah beberapa tahun lamanya tinggal di situ dan dipelihara oleh sang mucikari untuk dipersiapkan menjadi seorang pelacur, Cin Cin melarikan diri, dikejar oleh para jagoan rumah pelesir itu dan akhirnya Cin Cin ditolong oleh Tung-hai Mo-li yang membunuh semua pengejar itu, kemudian mengambil Cin Cin sebagai muridnya.

   Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mengajak Cin Cin ke pantai Laut Kuning dan menurunkan semua kepandaiannya kepada murid tersayang itu. Bahkan ilmu di air ia ajarkan, sehingga Cin Cin kini telah menjadi seorang dara berusia sembilanbelas tahun yang amat lihai, baik ilmu silatnya, tenaga sin-kangnya dan ilmunya bermain di air.

   Cin Cin cantik manis, jelita dan menggairahkan. Akan tetapi selain ilmu-ilmu yang ia warisi dari Tung-hai Mo-li, ia juga mewarisi wataknya yang aneh! Watak yang acuh terhadap orang lain, hidup seenaknya, semaunya, tidak terikat oleh segala macam norma dan peraturan umum!

   Bahkan seperti juga subonya Cin Cin jarang bergaul dengan orang lain. Para gadis di pedusunan pantai yang dijumpainya dan dikenalinya, tak lama kemudian menghindar karena mereka semua merasa takut dan segan kepada Cin Cin, bukan hanya karena Cin Cin berwatak aneh, akan tetapi juga karena gadis ini memiliki kelihaian yang menggiriskan hati.

   Pernah ada tiga pemuda dusun yang jatuh hati kepadanya, memperlihatkan sikap manis dan seperti biasa, tiga orang pemuda itu memperlihatkan sikap berani, merayu dan memikat. Bagi gadis lain, kalau memang ia tidak suka, tentu ia akan menolak dan menghindar saja.

   Akan tetapi Cin Cin tidak sama dengan gadis-gadis lain. Ia merasa diremehkan, marah dan iapun mematahkan kaki tangan tiga orang pemuda itu dan meninggalkan mereka merintih-rintih di tepi jalan!

   Bukan hanya satu kali itu Cin Cin menghajar laki-laki yang terlalu berani dan dianggapnya kurang ajar kepadanya. Ada pula yang tewas karena laki-laki itu tidak sopan dan berusaha merangkulnya. Sekali tangan Cin Cin menampar dan mengenai pelipisnya, laki-laki itu roboh dan nyawanya melayang!

   Akan tetapi, kalau ia tidak marah dan hatinya sedang gembira, Cin Cin dapat bersikap ramah kepada siapa saja. Ia memang pada dasarnya memiliki watak lincah jenaka dan gembira, hanya menjadi aneh karena dididik oleh seorang datuk wanita yang aneh.

   Dan selama ini, Cin Cin tidak pernah lupa bahwa ia adalah puteri ketua Hek-houw-pang yang tewas di tangan orang-orang yang menyerbu perkampungan Hek-houw-pang, bahkan ibunya diculik oleh penyerbu.

   Diam-diam ia sudah mengambil keputusan bahwa akan dicarinya pembunuh ayahnya dan penculik ibunya, dan ia hanya menanti ijin dari subonya. Biarpun wataknya ugal-ugalan, keras dan berani, namun terhadap subonya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, Cin Cin bersikap lembut, taat dan menyayang.

   Hal ini bukan saja karena ia berhutang budi, dan karena gurunya memang menyayang kepadanya, dan bersikap baik saja, akan tetapi terutama sekali karena ia tahu benar bahwa subonya adalah seorang wanita yang menderita kesengsaraan batin yang hebat.

   Ia sendiri tidak tahu mengapa, karena subonya tidak pernah mau bercerita dan mengatakan belum waktunya bercerita, akan tetapi seringkali ia melihat subonya dengan diam-diam sedang menangis dan merintih sampai semalam suntuk!

   Dan ia tahu pula bahwa subonya tidak mempunyai keluarga seorangpun, hidup sebatang kara dan agaknya tidak pernah menikah atau sudah cerai. Maka, ia merasa iba kepada subonya, dan karena perasaan inilah ia ingin membalas budi subonya dengan menyenangkan hatinya, yaitu dengan jalan mentaati semua perintahnya.

   Mendengar ucapan muridnya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mendekati perahu itu dan mengamatinya. Ketika ia melihat perahu itu bercat hijau dan ada ukiran berbentuk ikan hiu di kepala perahu, ia
(Lanjut ke Jilid 20)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20
mengerutkan alisnya.

   "Hemm, Kalau begitu tidak keliru dugaanku perahu ini milik Pulai Hiu."

   "Aihh, subo tahu? Memang benar milik Pulau Hiu, subo. enam orang pemiliknya adalah anak buah Pulau Hiu!" seru Cin Cin heran.

   Mendengar ini, Tung-hai Mo-li lalu duduk di ujung perahu yang kering, memandang ke arah lautan yang tadi ditunjuk muridnya. Tidak kelihatan apa-apa kecuali gelombang besar dan buih di puncak ombak, lalu ia menatap wajah muridnya dan berkata,

   "Cin Cin, ceritakan apa yang terjadi antara engkau dan enam orang dari Pulau Hiu itu."

   Cin Cin lalu menceritakan dengan sikap lincah jenaka tentang pertemuannya dnegan enam orang itu, betapa mereka mengajaknya ke Pulau Hiu dan betapa mereka mengganggunya sehingga ia marah dan melempar-lemparkan mereka ke air dan ia kembali membawa perahu mereka.

   Setelah Cin Cin menyelesaikan ceritanya, Tung-hai Mo-li menarik napas panjang.

   "Hemm, sejak dahulu memang orang-orang Pulau Hiu merupakan bajak-bajak laut. Aku tidak pernah mencampuri pekerjaan mereka, akan tetapi kenapa sekarang mereka berani mengganggu penduduk di daratan? Kunjungan mereka ke daerah ini sudah pasti mengan dung maksud tertentu. Agaknya tua Bangka Siangkoan Bok itu sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa anak buahnya akan bertemu dengan murid Tung-hai Mo-li!"

   "Subo, siapakah Siangkoan Bok itu? Dan orang-orang macam apakah yang menghuni Pulau Hiu? Aku mendengar mereka bicara tentang Siangkoan Kongcu, majikan muda Pulau Hiu. Agaknya subo sudah mengenal mereka."

   "Majikan Pulau Hiu bernama Siangkoan Bok, seorang kakek yang kini tentu sudah tua sekali, tidak kurang dari tujuhpuluh lima tahun usianya. Dia hidup sebagai majikan Pulau Hiu di seberang pantai daerah Shantung itu, sebagai seorang hartawan yang kaya raya, juga kekuasaannya besar karena dia menjadi datuk dari para bajak laut di Lautan Kuning. Anak buahnya banyak, di antaranya tentu saja enam orang yang kau jumpai itu. Sebetul nya Siangkoan Bok sendiri tidak melakukan pembajakan dan anak buahnya juga tidak, akan tetapi karena dia merupakan datuk bajak laut dan anak buahnya merupakan bekas para bajak, tentu saja kadang-kadang merekapun menjadi gatal tangan dan melakukan pembajakan."

   "Hemm, kiranya hanya bajak-bajak laut yang hina," Cin Cin mencibirkan bibirnya yang merah."Kalau tahu mereka bajak, tadi tentu sudah kubunuh semua. Dan siapakah yang mereka sebut Siangkoan Kongcu, subo?"

   Gurunya menggeleng kepala."Setahuku, dahulu memang ada putera Siangkoan Bok bernama Siangkon Tek. Akan tetapi dia sudah tewas. Tentu yang disebut Siangkoan Kongcu itu puteranya yang lain, karena kabarnya Siangkoan Bok mempunyai banyak isteri yang cantik, dan mungkin saja dia mempunyai banyak keturunan."

   "Hemm, aku ingin sekali berkunjung ke pulau Hiu, subo. Akan kuobrak-abrik pulau bajak itu!"

   Tung-hai Mo-li mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menatap wajah muridnya. Melihat ini, Cin Cin terkejut dan mendekati subonya, duduk di perahu dan memegang tangan subonya."Maaf, subo. Kenapa subo kelihatan marah?"

   "Engkau ini mencari gara-gara saja! Apa perlunya mencari perkara dengan pulau Hiu? Engkau mempunyai tugas lain yang jauh lebih penting!"

   Wajah Cin Cin berseri dan matanya bersinar-sinar.

   "Subo! Apakah subo maksudkan sudah tiba saatnya aku boleh melaksanakan tugasku itu? Tentu saja aku tidak akan pernah lupa. Aku akan ke dusun Ta-bun-cung, ke Hek-houw-pang dan menyelidiki siapa pembunuh ayahku, siapa pula yang menculik ibuku. Aku akan mencari ibuku, aku akan membunuh para penyerbu Ta-bun-cung itu,aku...."

   Cin Cin menghentikan ucapannya ketika melihat gurunya mengangkat tangan memberi isyarat agar ia diam. Ia melihat gurunya masih mengerutkan alis dan kelihatan tidak senang.

   "Cin Cin, engkau hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Engkau sedikitpun tidak pernah memikirkan kebutuhanku."

   Cin Cin merangkul gurunya. Memang hubungannya dengan gurunya seperti anak dengan ibunya saja, mesra dan akrab, tidak berhormat-hormat seperti murid terhadap guru lain.

   "Subo, maafkanlah aku. Tentu saja aku memikirkan, bahkan mementingkan kebutuhan subo. Katakan, apa yang dapat kulakukan untukmu, subo? Tentu perintah subo akan kulaksanakan lebih dulu, setelah itu, barulah aku akan mengurus diriku sendiri."

   "Nah, begitu baru muridku yang baik," kata Tung-hai Mo-li dan iapun merangkul leher muridnya dan mencium kedua pipinya.

   Cin Cin balas mencium dan dalam jarak dekat itu ia dapat melihat betapa wajah subonya masih amat cantik, kedua pipinya halus dan putih kemerahan tanpa bedak dan pemerah.

   "Aih, subo cantik sekali. Kenapa secantik ini subo tidak menikah?"

   Ditanya demikian, Tung-hai Mo-li melepaskan rangkulannya dan ia menarik napas panjang.

   "Inilah salah satu di antara hal yang kuminta engkau membalaskan untukku, Cin Cin. Aku hidup menderita dan tidak pernah mau mendekati pria sejak muda karena ulah seorang laki-laki!"

   Cin Cin memandang heran. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang berulah sehingga menghancurkan hati subonya? Kenapa subonya tidak membunuh saja laki-laki itu dan membiarkan dirinya tenggelam dalam duka?

   "Subo, siapakah dia dan apa yang telah dia lakukan? Ceritakan kepadaku, subo. Aku berjanji akan melaksanakan segala perintah subo dan akan kubalaskan semua sakit hati subo."

   "Ada dua orang yang kuingin engkau mencarinya dan membunuh mereka untuk aku. Dan untuk itu, dengarkan dulu ringkasan riwayat hidupku."

   Cin Cin mendengarkan penuh perhatian. Selama sepuluh tahun lebih ia hidup bersama subonya dan belum pernah ia mendengar riwayat subonya. Agaknya subonya mempunyai riwayat yang menyedihkan.

   "Ceritakan, subo," katanya lirih sambil mengamati wajah subonya. Mereka duduk di atas perahu hijau itu, di pantai yang sunyi. Matahari sudah naik agak tinggi, menyinarkan cahayanya yang hangat menggigit.

   "Mari kita duduk di bawah pohon di sana, lebih teduh di sana," kata Tung-hai Mo-li dan mereka lalu meninggalkan perahu, duduk di bawah pohon yang agak jauh dari pantai, duduk berhadapan di atas akar pohon itu yang menonjol di permukaan tanah.

   "Sejak kecil aku sudah yatim piatu," Tung-hai Mo-li memulai dengan riwayatnya. Cin Cin tertegun. Ia sendiri sudah kehilangan ayah, akan tetapi mungkin ibunya masih hidup.

   Dibandingkan dengan subonya, ia masih lebih beruntung!

   "Sejak kecil sebatangkara dan merantau sebagai pengemis. Untung bertemu dengan seorang pengemis tua yang mau membimbingku. Aku mulai belajar ilmu silat dengan giat sekali. Berganti- ganti guru sampai aku dewasa. Kemudian aku bertemu dengan seorang guru yang pandai dan bersama seorang suhengku, aku belajar silat darinya. Suhengku itu bernama Can Siok dan setelah tua dia berjuluk Cui-beng Sai-kong. Akan tetapi, setelah aku dewasa dan merantau seorang diri dengan bekal kepandaian yang cukup, aku berpisah dari suheng, pada waktu guru kami meninggal dunia. Kami mengambil jalan masing-masing dan nasib membawaku ke kotaraja." Tung-hai Mo-li berhenti sebentar dan mengingat-ingat.

   "Sejak kecil subo sudah menderita," komentar Cin Cin. Lupa bahwa nasibnya sendiripun tidak lebih baik.

   "Di kotaraja itulah aku bertemu seorang pangeran. Dia gagah perkasa dan memiliki ilmu silat yang hebat. Kami saling tertarik dan akhirnya kami saling jatuh cinta....."

   Tung-hai Mo-li menghela napas panjang dan Cin Cin mengamati wajah subonya sambil tersenyum. Tentu subonya amat cantik ketika gadis, dan sudah sepantasnya kalau subonya itu jatuh cinta dengan seorang pangeran.!

   "Aih, tentu pangeran itu gagah dan tampan sekali, maka subo sampai jatuh cinta padanya," kata Cin Cin tanpa sungkan-sungkan lagi."Subo menikah....?"

   Tung-hai Mo-li tersenyum dan baru sekarang ia melihat subonya tersenyum! Bukan main manisnya kalau tersenyum, akan tetapi hanya sebentar saja karena senyum itu berubah pahit.

   "Pangeran itu mempunyai cita-cita yang amat besar. Dia adalah adik kaisar, dan ia bercita-cita kelak akan menggantikan kakaknya menjadi kaisar. Karena itu, dia tidak mau mengambil aku,seorang wanita biasa, bahkan seorang wanita kangouw menjadi isterinya yang sah! Dia harus menjaga nama, dan dia bahkan akan menikah dengan seorang puteri. Aku hanya akan dijadikan selir..."

   "Hemm, lalu bagaimana, subo?"

   "Tentu saja aku tidak sudi! Kami sudah saling bersumpah dan aku........aku telah menyerahkan diri. Dia sudah berjanji akan mengambilku sebagai isterinya, tidak tahunya hanya akan dijadikan selir. Aku tidak mau dan aku meninggalkan dia!" Wajah yang masih cantik itu nampak berduka sekali dan ia memejamkan mata.

   Cin Cin mengerutkan alisnya. Betapa besar cinta kasih subonya kepada pangeran itu, pikirnya. Buktinya, sampai sekarang, subonya sama sekali tidak mau berjalan lagi dengan pria lain!

   "Subo, apakah subo mendendam sakit hati kepada pangeran ini? Apakah aku harus mencari dia dan membalaskan sakit hati subo?" Tung-hai Mo-li membuka mata dan mengangguk.

   "Puluhan tahun aku memperdalam ilmu dengan harapan pada suatu hari, murid yang kuwarisi ilmu-ilmuku akan dapat mewakili aku untuk membalas sakit hati yang kuderita selama puluhan tahun ini, dan engkaulah orangnya yang kuharapkan akan dapat membuat aku mati dengan mata terpejam, Cin Cin."

   "Akan tetapi, subo dengan kepandaian yang subo miliki, apa sukarnya bagi subo untuk membunuh orang itu? Kenapa subo menanti sampai puluhan tahun dan membiarkan hati menderita dendam selama itu?"

   Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang.

   "Biarpun dia juga bukan orang lemah, bahkan ketika kami saling berpibu dia lebih tangguh dariku, akan tetapi aku terus dengan giat memperdalam ilmuku dan mungkin sekarang aku dapat menandingi dan mengalahkannya. Akan tetapi, aku sudah tua dan.......... aku kuatir, kalau aku berhadapan dengan dia, hatiku akan menjadi lemah dan usaha membalas dendamku tidak akan terlaksana. Oleh karena itulah aku menggemblengmu mati-matian, Cin Cin."

   "Aku akan mencari pangeran itu dan membunuhnya, subo. Siapa namanya dan dimana aku dapat mencarinya?"

   "Namanya Pangeran Cian Bu Ong, dahulu dia adik kaisar Kerjaan Sui. Akan tetapi kerajaan Sui telah jatuh dan diganti kerajaan Tang. Setelah kerajaan Sui jatuh, aku mendengar dia beberapa kali mengusahakan pemberontakan untuk mendirikan kembali kerajaan Sui, akan tetapi semua usahanya gagal. Aku telah menyelidiki dan bertanya-tanya, dan mendengar bahwa dia suka kelihatan di sepanjang lembah sungai Kuning. Ke lembah itulah engkau dapat mencarinya. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali, mukanya kemerahan. Dia sekarang kalau masih hidup tentu sudah tua pula, karena dia lebih tua setahun dariku. Sekarang usianya tentu sudah enampuluh lima tahun lebih."

   "Aku akan mencarinya, subo. Dan siapakah orang kedua yang harus kucari?"

   "Dia bukan musuh pribadiku. Akan tetapi, hatiku sakit karena dia telah membunuh suhengku, padahal dia itu adalah putera suhengku sendiri.Anak durhaka itu harus dihukum dan dibunuh. Suhengku itu amat sayang kepadaku, bahkan dialah yang lebih banyak membimbingku dahulu dan dia menganggap aku seperti adik kandungnya
sendiri. Suhengku itu bernama Can Siok dan dahulu berjuluk Cui-beng Sai-kong dan seperti telah kuceritakan tadi, sejak dewasa kami saling berpisah mengambil jalan sendiri-sendiri. Hanya sewaktu-waktu saja kami saling jumpa, aku mengunjunginya atau dia mencariku. Dia menemukan agama baru, yaitu menyembah Thian-te Kwi-ong dan dia memiliki ilmu sihir yang hebat. Suhengku mempunyai seorang putera yang bernama Can Hong San, dari isterinya yang berasal dari puteri Nepal. Dan anak durhaka itu pada suatu hari membunuh ayah kandungnya sendiri. Aku merasa sedih sekali mendengar nasib suheng dan kuminta engkau kelak mencari Can Hong San dan membunuhnya!"

   "Di mana aku dapat mencari Can Hong San itu, subo?"

   "Entahlah, aku sendiri tidak tahu dimana dia berada. Akan tetapi kau ingat saja namanya dan karena dia seorang tokoh sesat, kukira namanya dikenal oleh dunia kangouw dan engkau kelak dapat melakukan penyelidikan." Tung-hai Mo-li berhenti sebentar, lalu mengeluarkan seuntai kalung mutiara yang amat indahnya.

   "Kau bawa ini dan kalau engkau bertemu dengan Pangeran Cian Bu Ong, berikan ini kepadanya dengan pesan dariku, bahwa dia harus menukar kalung ini dengan nyawanya, seperti yang pernah dia janjikan kepadaku dahulu. Mutiara-mutiara ini kudapatkan sendiri dengan menyelam di lautan yang paling dalam, memilih yang terbaik dan menguntainya menjadi kalung untuk kuserahkan kepada pria yang kucinta itu. Dia menerima dengan gembira dan berjanji bahwa kalung itu akan disimpannya dan disayangnya seperti nyawanya sendiri. Akan tetapi, ketika dia hendak meninggalkan aku, dia mengembalikan kalung ini kepadaku................"

   Kedua mata Tung-hai Mo-li menjadi merah dan basah dengan air mata. Ia membalikkan tubuh dan membelakangi Cin Cin yang menerima kalung mutiara itu, agaknya ia tidak ingin dilihat menangis dan ketika membalikkan tubuh itu, ia menghapus air matanya.

   "Nah, itulah pesanku kepadamu, Cin Cin. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menunaikan tugas-tugas itu?" Tanya Tung-hai Mo-li yang sudah menghadapi lagi muridnya. Cin Cin mengalungkan kalung mutiara itu di lehernya.

   "Subo, aku berjanji akan mencari dan membunuh Pangeran Cian Bu Ong dan Can Hong San!" katanya dengan penuh semangat.

   Tung-hai Mo-li bangkit berdiri, wajahnya nampak lega dan berseri. Ia lalu melepaskan tali pengikat sarung pedangnya dari punggungnya, menyerahkan pedang dan sarungnya itu kepada Cin Cin.

   "Nah, kau terimalah Koai-liong-kiam ini, Cin Cin. Aku ingin engkau membunuh mereka dengan pedang ini. Akan tetapi jangan sekali-kali mengurangi kewaspadaan, Cin Cin. Dua orang itu bukan merupakan lawan yang ringan. Akan tetapi aku yakin bahwa kalau engkau menggunakan pedang ini dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaianmu, engkau akan berhasil."

   "Baiklah subo. Aku akan melaksanakan perintah subo dan mudah-mudahan saja aku akan berhasil dan tidak mengecewakan subo."

   "Aku percaya padamu, Cin Cin, dan berhati-hatilah. Engkau tentu masih ingat akan nama para tokoh di dunia persilatan yang pernah kuceritakan kepadamu. Jangan memandang rendah lawan,dan jangan mencari perkara. Bersikaplah seperti murid terkasih seorang datuk, tidak seperti perempuan petualang yang mengandalkan kepandaian lalu bersikap congkak dan menyebar bibit permusuhan dimana-mana."

   Cin Cin merangkul gurunya,"Aku mengerti subo. Dan kapan aku harus berangkat?"

   "Hari ini juga. Mari kita pulang, engkau cepat berkemas dan hari ini juga meninggalkan rumah kita."

   
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka lalu bergandengan tangan menuju ke sebuah rumah yang berdiri terpencil di luar dusun nelayan, tak jauh dari pantai. Mereka jalan bergandengan tangan seperti kakak beradik saja, tidak seperti guru dan murid dan melihat dari belakang, takkan ada yang menduga bahwa seorang di antara mereka adalah seorang wanita yang usianya sudah enam puluh tahun lebih!

   "Berhasil atau tidak, dalam waktu setahun engkau sudah harus kembali ke sini," demikian pesan Tung-hai Mo-li ketika mengantar muridnya pergi sampai ke luar daerah perbukitan di sepanjang pantai itu.

   Ketika gadis itu dengan pedang di pinggang dan buntalan pakaian di pundak meninggal kannya, Tung-hai Mo-li termenung, betapa semangatnya seperti terbawa pergi, ia mencintai gadis itu seperti anaknya sendiri.

   Cin Cin yang melangkah dengan cepat juga tidak ingin terlihat menangis oleh gurunya. Ketika ia meninggalkan gurunya, ia merasa begitu sedih dan kasihan kepada gurunya yang amat disayangnya itu.

   Biarpun gurunya seorang datuk, namun terhadap dirinya, Tung-hai Mo-li amat baik dan menyayangnya, maka dianggapnya gurunya seperti pengganti orang tuanya. Bagaimanapun juga, ia masih ingat bahwa ia adalah puteri ketua Hek-houw-pang, perkumpulan orang-orang gagah, maka tentu saja ia tidak boleh menjadi seorang yang jahat.

   Gadis itu melangkah tanpa menoleh lagi, menuju ke utara, ke sungai Huang-ho (Sungai Kuning). Untuk mencari Pangeran Cian Bu Ong, subonya hanya memberitahu bahwa bekas pangeran itu tinggal di lembah Sungai Kuning.

   Dusun Ta-bun-cung sekarang nampak ramai dan makmur. Hal ini adalah berkat perkumpulan Hek-houw-pang yang kini telah berdiri kembali setelah dihancurkan oleh para penyerbu utusan Pangeran Cian Bu Ong kurang lebih empatbelas tahun yang lalu.

   Ketika malam itu terjadi penyerbuan, banyak tokoh Hek-houw-pang yang tewas. Ketika itu ketuanya, Kam Seng Hin, tewas. Juga sutenya yang bernama The Ci Kok, disamping banyak lagi anggota Hek-houw-pang.

   Bahkan kakek Coa Song, sesepuh Hek-houw-pang, meninggal dunia karena kaget dan berduka melihat hancurnya Hek-houw-pang.

   Cucunya yang sudah lama meninggalkan Hek-houw-pang, yaitu Coa Siang Lee, yang kebetulan berada di situ ketika perkumpulan itu diserbu, juga tewas pula ketika membela Hek-houw-pang.

   Lebih hebat lagi, isteri ketua Kam Seng Hin, yaitu Coa Liu Hwa diculik penjahat, demikian pula isteri Coa Siang Lee, yaitu Sim Lan Ci, lenyap bersama puteranya Coa Thian Ki.

   Keluarga Hek-houw-pang cerai berai tidak keruan, bahkan sejak terjadi penyerbuan malam itu sampai matinya kakek Coa Song, Hek-houw-pang boleh dibilang telah mati. Para anggotanya tidak berani lagi bergerak,apalagi karena sudah tidak ada yang memimpin.

   Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, muncullah Lai Kun, seorang di antara para sute dari mendiang ketua Hek-houw-pang. Lai Kun adalah sute termuda dari Kam Seng Hin dan dialah yang mendapat tugas untuk mengantar Kam Cin, puteri ketua itu ke Hong-cun, agar puteri ketua itu menjadi murid Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning.

   Dia bercerita kepada para rekannya bahwa di sepanjang jalan Kam Cin atau Cin CIn menangis, menyatakan tidak mau pergi ke Hong-cun, akan tetapi mengajak paman gurunya itu untuk mencari ibunya yang hilang diculik penyerbu.

   "Aku dapat mencegah ia lari dan membujuknya. Akan tetapi pada suatu malam, kami diserbu gerombolan perampok. Ketika aku melawan pengeroyokan perampok itulah Cin Cin melarikan diri dan lenyap. Aku sudah mencari sampai berbulan-bulan tanpa hasil, akhirnya aku pulang," demikian Lai Kun bercerita. Tentu saja cerita itu bohong, karena seperti yang kita ketahui, dia telah menjual Cin Cin ke rumah pelacuran!

   Sebagai saudara muda ketua Hek-houw-pang yang sudah tewas, Lai Kun berhak menggantikannya. Dia berusaha mengumpulkan para anggota Hek-houw-pang, kemudian perlahan-lahan dia memimpin para anggotanya untuk membangun kembali Hek-houw-pang.

   Dia berhasil mengumpulkan kurang lebih limapuluh orang, dan mulai mendirikan perusahaan pengawalan barang dengan bendera Hek-houw-pang. Mulailah perkumpulan itu berkembang dan mendapat kepercayaan.

   Apalagi ketika pejabat daerah melapor ke kotaraja tentang Hek-houw-pang, perkumpulan yang dengan gigih membela pemerintah Tang, sehingga dibasmi oleh anak buah pemberontak Pangeran Cian Bu Ong, maka peristiwa itu masuk dalam catatan petugas di istana.

   Ketika Pangeran Li Si Bin, tujuh tahun kemudian menggantikan kedudukan ayahnya menjadi kasisar Tang Tai Cung, dia memeriksa semua catatan itu dan mendengar tentang Hek-how-pang, kaisar inipun segera mengambil kebijaksanaan.

   Kaisar berkenan memberi hadiah kepada Hek-houw-pang, melalui pembesar daerah dan Hek- houw-pang menerima bangunan baru yang besar di Ta-bun-cung, juga menerima hadiah kereta untuk pekerjaan mengawal barang, disamping dua losin ekor kuda pilihan, uang dan terutama sekali, nama baik.

   Peristiwa itu membuat nama Hek-houw-pang semakin terkenal dan dipercaya pedagang. Siapa yang tidak percaya kepada perkumpulan yang telah mendapat pengakuan dan hadiah dari kaisar sendiri?

   Demikianlah, dusun Ta-bun-cung ikut menjadi makmur berkat perkembangan Hek-houw-pang. Dan Lai Kun, ketua baru Hek-houw-pang, berusaha keras untuk membuat perkumpulan itu semakin maju. Dia kini menjadi seorang ketua yang terhormat dan terkenal.

   Dan sejak dia menjadi ketua Hek-houw-pang, Lai Kun menikah dan kini mempunyai dua orang anak laki-laki berusia sepuluh dan delapan tahun.

   Dia hidup terhormat, kecukupan, berbahagia dengan keluarga. Kalaupun kadang-kadang dia teringat kepada Cin Cin dan diam-diam dia menyesali perbuatannya, dia cepat mengusir kenangan itu sebagai sebuah mimpi buruk yang amat mengganggunya.

   Tak seorangpun tahu akan peristiwa itu dan Cin Cin sudah dianggap lenyap atau mati oleh semua anggota Hek-houw-pang, walaupun kadang-kadang Lai Kun termenung dan ada perasaan khawatir apabila dia teringat kepada Cin Cin.

   Empat belas tahun telah lewat sejak peristiwa pembasmian Hek-houw-pang dan kini dusun Ta- bun-cung sudah berubah banyak. Banyak terdapat toko dan kedai makan minum dan para penghuninya yang dahulu sebagian besar hanyalah petani-petani miskin yang pakaian dan rumahnya butut, kini pakaian mereka jauh lebih baik, karena penghasilan mereka baik.

   Perdaganganpun mulai ramai dan semua orang memuji ketua Hek-houw-pang yang kini dipanggil Lai-pangcu (Ketua Lai). Bahkan Lai Kun diangkat sebagai ketua atau kepala dusun Ta-bun-cung oleh penduduk.

   Pada suatu senja, Lai-pangcu bersama isterinya, seorang wanita penghuni dusun itu juga yang berwajah cantik, duduk minum-minum sambil menikmati makan kecil di serambi depan. Dua orang putera mereka sehat-sehat dan sebagai putera ketua Hek-houw-pang, tentu saja dua orang anak laki-laki itu dilatih ilmu silat.

   Akan tetapi karena ayah mereka menghendaki agar kelak mereka dapat menduduki pangkat, keduanya juga diharuskan mempelajari ilmu baca tulis secara mendalam. Untuk itu, Lai-pangcu sengaja mendatangkan seorang sasterawan dari kota untuk mengajar kedua orang puteranya.

   Hari mulai gelap dan seorang pelayan menyalakan lampu-lampu di rumah, juga lampu tembok yang berada di serambi depan, di mana keluarga itu sedang minum teh. Pelayan itu tidak berani berlama di situ, setelah menyalakan lampu segera ia masuk kembali karena tidak ingin mengganggu majikannya sekeluarga yang sedang santai.

   Isteri Lai Kun seorang wanita yang lembut dan kedua puteranya juga merupakan anak-anak yang pandai dan patuh. Lai Kun merasa berbahagia sekali. Dia kini telah berusia limapuluh empat, tubuhnya yang dahulu kurus itu kini telah berubah gemuk, sehingga hidungnya yang dulu nampak besar karena mukanya kurus, sekarang kelihatan serasi.

   "Ayah, ada tamu....................!" seorang puteranya menuding ke pintu pagar.

   Lai Kun dan isterinya memandang dan benar saja, di dalam cuaca yang remang-remang itu nampak seorang wanita yang bertubuh ramping memasuki pekarangan lewat pintu pagar dan kini melangkah dengan tenang menghampiri serambi di mana mereka duduk. Lai Kun cepat bangkit, dikuti isterinya.

   "Lai-suheng ( Kakak seperguruan Lai )".." wanita itu berkata lembut, berdiri di bawah serambi.

   Kalau saja cuaca tidak remang-remang, tentu akan nampak betapa wajah Lai Kun seketika menjadi pucat sekali. Tentu saja dia segera mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Coa Liu Hwa. Isteri mendiang suhengnya, Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang dan yang membuat dia gelisah adalah karena mengingat bahwa wanita itu adalah ibu kandung Cin Cin. Segera ia mengambil keputusan nekat. Sekali melompat, dia telah berada di pekarangan, di depan wanita itu.

   "Siapa kau! Aku tidak mempunyai sumoi sepertimu!" katanya galak.

   "Suheng, benarkah engkau tidak mengenal aku?" Tanya wanita itu mendekat.

   "Ah, engkau tentu penjahat yang mengaku-aku saudara. enyahlah dari sini!" teriak Lai Kun dan dia sudah menerjang dengan pukulan ke arah leher Coa Liu Hwa!

   Pukulannya keras karena ketua Hek-houw-pang ini ingin sekali pukul merobohkan orang yang dianggapnya berbahaya itu.

   "Ihh"".!" Coa Liu Hwa menggeser kakinya dengan tenang, tangan kirinya menangkis.

   "Dukk!" tangan Lai Kun terpental, membuat ketua Hek-houw-pang ini terkejut bukan main.

   Akan tetapi ia mengirim pukulan lagi bertubi-tubi. Agaknya dia berusaha keras untuk merobohkan lawan dengan serangkaian pukulan. Dia ingat benar bahwa sumoinya atau puteri gurunya ini dahulu kalah jauh dalam hal ilmu silat, apalagi tenaga darinya.

   Maka dia merasa yakin bahwa serangkaian pukulan yang dilakukan ini pasti akan merobohkan Coa Liu Hwa, karena dia menggunakan jurus dari ilmu silat Hek-houw-pang yang paling diandalkan dan ampuh.

   Akan tetapi, wanita itu dengan sigapnya menangkis dan mengelak, gerakannya ringan dan mantap, kemudian pada menjelang akhir rangkaian serangan itu, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu meluncur dan jari tangannya menotok pada pundaknya.

   Lai Kun hanya merasa tubuhnya kesemutan dan tidak mampu bergerak lagi. Dia telah ditotok secara luar biasa oleh sumoinya yang dahulu kalah jauh olehnya itu!

   Coa Liu Hwa tersenyum dan dengan sikap ramah ia lalu menepuk-nepuk pundak Lai kun.

   "Lai-suheng, pandanglah baik-baik siapa aku? Mustahil engkau sudah lupa padaku?"

   Begitu pundaknya ditepuk-tepuk Lai Kun dapat bergerak lagi! Dia terbelalak dan maklum bahwa sumoinya tidak berniat buruk terhadap dirinya, bahkan tidak ingin membikin malu.

   Pada saat itu, isterinya sudah menghampiri dan menegur suaminya.

   "Kenapa engkau marah-marah dan menyambut tamu dengan serangan? Biarkan ia bicara dan memperkenal kan diri, menceritakan apa keperluannya mengunjungi kita."

   Liu Hwa memandang kepada wanita itu, lalu kepada dua orang anak laki-laki yang masih duduk di kursi.

   "Aih, bukankah engkau ini Ci Nio, puteri kusir Ci Hoat? Ci Nio, tidak ingat lagikah engkau padaku?" Isteri Lai Kun yang bernama Ci Nio itu mengamati, kemudian dengan kaget dan gembira dia berseru.

   "Bukankah engkau bibi Coa Liu Hwa?" Kepada suaminya ia berteriak."Ini bibi Coa Liu Hwa, ibu Cin Cin!"

   Tentu saja Lai Kun sudah tahu. Karena dia mengenal Liu Hwa, maka dia tadi menyerang nya. Dia teringat akan perbuatannya terhadap puteri wanita ini. Dia telah menjual Cin Cin kepada rumah pelesir, dan karena takut dan mengira kedatangan bekas sumoinya ini tentu akan menuntut, maka dia tadi mendahului dengan serangkaian serangan. Kini, melihat betapa sumoinya telah menjadi orang yang lihai, diapun pura-pura baru mengenalnya.

   "Aih, kiranya Coa-sumoi..........!" teriaknya, matanya memancarkan keheranan."Silakan,sumoi, silakan duduk....... ." Lai-pangcu tampak gugup . Liu Hwa tersenyum.

   "Nanti dulu, aku tidak sendirian!"katanya dan ia menoleh, lalu mengangkat lengan kiri ke atas memberi isyarat. Tak lama kemudian, dari luar pagar muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Laki-laki itu berusia enampuluh tahun, namun masih nampak gagah, bertubuh tinggi besar dan tegap, mukanya dihias cambang bauk yang rapi.

   "Lai-suheng, ini adalah.......... suamiku, namanya Lie Koan Tek!" Liu Hwa memperkenal kan, lalu kepada suaminya ia berkata,"Ini adalah su-heng Lai Kun yang sekarang menjadi pang-cu baru dari Hek-houw-pang. Dan mereka adalah.....anak dan isterimu bukan, suheng?"

   Lai Kun mengangguk-angguk dan cepat dia dan isterinya membalas penghormatan suami Liu Hwa.

   "Saudara........Lie Koan Tek......... aku seperti "........pernah mendengar nama itu"." kata Lai Kun yang masih gugup dan tegang hatinya.

   Liu Hwa tersenyum mengangguk," Suamiku adalah Lie Koan Tek yang kaumaksudkan itu, suheng, tokoh Siau-lim-pai yang terkenal."

   "Ah, maaf, maaf.! Kami bersikap kurang hormat"." kata Lai Kun, gentar bukan main.

   Kini tahulah dia mengapa tadi dia kalah oleh sumoinya yang dahulu dia yakin tidak akan mampu menandinginya. Kiranya sumoinya telah menjadi isteri pendekar yang terkenal itu.!

   "Harap jangan sungkan, Lai pangcu," kata Lie Koan Tek.

   "Mari, silakan duduk. Aku harus memberi tahu kepada semua anggota Hek-houw-pang.Kedatanganmu harus disambut meriah, sumoi."

   "Jangan, suheng! Aku datang bukan untuk itu, melainkan ada keperluan pribadi," kata Liu Hwa dan ia bersama suaminya lalu mengambil tempat duduk."Aku memang sengaja datang di malam hari begini agar tidak perlu kalian ramai-ramai menyambut dan setelah mendapat keterangan yang kuperlukan darimu, aku akan segera pergi dari sini.."

   "Keperluan pribadi apakah, sumoi? Katakanlah, tentu kani akan membantumu sekuat tenaga."

   Dalam hatinya tentu saja Lai Kun sudah dapat menduga apa yang akan ditanyakan wanita itu,akan tetapi dia pura-pura bertanya dan diam-diam dia bersiap mengatur jawaban.

   "Aku hanya ingin bertanya padamu tentang anakku Cin Cin. Bukankah Lai-suheng yang dulu mengantarnya untuk berguru kepada toa-ko (Kakak) Si Han Beng, Naga Sakti Sungai Kuning di dusun Hong-Cun?"

   Kalau saja Lai Kun belum siap dan belum memperhitungkan bahwa tamunya tentu akan bertanya demikian, mungkin dia akan terkejut dan bingung karena akan merasa ditodong dengan pertanyaan itu. Akan tetapi dia bersikap tenang. Tidak ada orang tahu tentang peristiwa antara dia dan Cin Cin itu, dan ketika dia pulang dahulu, dia sudah mencerita kan kepada semua orang tentang Cin Cin. Kini dengan sikap tenang dia menghela napas panjang.

   "Sudah sejak dahulu aku mengkhawatirkan bahwa pada suatu hari, engkau akan bertanya seperti ini kepadaku, sumoi, dan aku terpaksa harus menjawab dan memberitahukan berita yang tidak menyenangkan kepadamu."

   "Lai-suheng, apa yang terjadi? Ceritakanlah!" desak Liu Hwa, wajahnya berubah dan hatinya merasa tidak enak.

   "Seperti sudah berulang kali kuceritakan pada semua anggota Hek-houw-pang, aku mentaati pesan mendiang suhu Coa Song untuk mengantar Cin Cin ke Hong-cun.Perjala nan kami tadinya lancar walaupun di sepan jang perjalanan Cin Cin rewel tidak mau diajak ke Hong-cun, akan tetapi mendesak aku agar mencarimu, sumoi. Aku tidak tahu harus mencarimu ke mana, maka aku membujuknya mengatakan bahwa kami akan mencarimu. Tentu saja aku terus menuju ke Hong-cun. Akan tetapi, di dalam perjalanan itu, kami dihadang gerombolan perampok. Aku melakukan perlawanan mati-matian dan akhirnya berhasil merobohkan beberapa orang perampok dan lainnya melarikan diri. Akan tetapi Cin Cin yang tadinya menonton di bawah pohon, tahu-tahu telah lenyap. Tentu ia melarikan diri karena memang tidak mau kuajak ke Hong-cun dan sempatan itu agaknya ia pergunakan untuk melarikan diri. Aku mencarinya sampai berbulan-bulan, namun sayang, aku tidak dapat menemukan jejaknya. Terpaksa, dengan hati sedih aku kembali ke sini dan menceritakan hal itu kepada para anggota Hek-houw-pang."

   Sejak tadi Liu Hwa tidak pernah mengganggu cerita Lai Kun, hanya mendengarkan saja dengan hati yang sedih. Selama ini, sejak menjadi isteri Lie Koan Tek dan hidup berbaha gia dengan suaminya yang amat menyayanginya, ia menghibur hatinya dengan anggapan bahwa tentu puterinya, Kam Cin, telah menjadi murid Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan menjadi seorang gadis yang pandai. Siapa kira, mendengar cerita Lai Kun, semua angan-angannya itu membuyar, diganti kedukaan dan kekhawatiran.

   "Cin Cin anakku......." Liu Hwa mengeluh, akan tetapi ia mengeraskan hatimya dan tidak menangis, apa lagi ketika merasa betapa tangannya di pegang suaminya.

   "Sumoi, maafkan aku telah gagal mengantar Cin Cin ke Hong-cun......." kata Lai Kun, nada suaranya menyesal.

   "Bukan salahmu, suheng. Akan tetapi, katakan siapa perampok itu, atau siapa pemimpinnya."

   "Aku tidak tahu, mereka tidak memperkenalkan nama, sumoi."

   "Hemm, kalau begitu, di mana terjadinya?"

   Menghadapi pertanyaan tiba-tiba ini, Lai Kun agak terkejut dan dengan suara ragu dia menjawab. ."Di.....kota........eh, Lok-yang," ya di Lok-yang."

   Hampir saja dalam kegugupannya dia menyebut kota Ji-goan, di mana Cin Cin dia jual ke rumah pelesir! Untung dia teringat dan masih sempat menyebut Lok-yang, kota besar di seberang sungai Kuning sebelah selatan.

   Liu Hwa bangkit berdiri dan berkata kepada suaminya."Mari kita pergi," dan kepada Lai Kun ia berkata,"Lai-suheng, kami akan pergi. Terima kasih atas keteranganmu. Mudah-mudahan engkau akan baik-baik menjaga Hek-houw-pang, jangan sampai ada anak buah yang melakukan penyelewengan. Aku sudah mendengar semua tentang Hek-houw-pang yang menerima anugerah dari kaisar, dan aku berterima kasih kepadamu atas pimpinanmu yang baik."

   "Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah? Apakah engkau dan suamimu tidak tinggal saja di sini dan membantu Hek-houw-pang?" kata Lai Kun.

   "Terima kasih, suheng. Aku tidak mungkin tinggal di sini, aku harus ikut suamiku. Nah, selamat tinggal." Liu Hwa dan suaminya memberi hormat yang dibalas oleh Lai Kun dan isterinya, kemudian mereka berdua melangkah keluar dan menghilang di kegelapan malam.

   Sampai lama Lai Kun berdiri tertegun, memandang ke dalam kegelapan, ke arah mereka pergi dan pikirannya melamun jauh. Timbul penyesalan besar dalam hatinya kalau ia teringat akan perbuatan nya menjual Cin Cin kepada rumah pelesir dahulu. Kenapa tadi dia menyebut Lokyang? Lok-yang dekat dengan Ji-goan, dan bagaimana kalau Liu Hwa melakukan penyelidikan ke sana dan bertemu Cin Cin? Lai Kun menyesal bukan main.

   Pada dasarnya dia bukan orang jahat. Kalau dulu dia menjual Cin Cin adalah karena Cin Cin rewel dan membuat perjalanan itu melelahkan. Juga dia teringat pada Sui Su. pelacur yang mampu menghiburnya ketika hatinya sedang risau. Dia bukan berniat jahat terhadap Cin Cin, melainkan dia ingin terbebas dari keadaan yang menjengkelkan hatinya.

   Nafsu daya rendah adalah setan yanq selalu mempengaruhi hati akal pikiran kita. Nafsu daya rendah yang diikut-sertakan kepada kita ketika kita dilahirkan sebagai manusia, pada hakekatnya diberikan sebagai anugerah, agar dapat membantu kita dalam kehidupan kita sebagai manusia di dunia. Akan tetapi, daya rendah berusaha sekuatnya untuk menguasai kita, menjadi nafsu yang mencengkeram dan memutar balikkan keadaan sehingga bukan lagi kita menjadi majikan dan daya rendah menjadi hamba atau alat, sebaliknya kita yang menjadi budak, diperalat oleh nafsu.

   Setan ini memang licik bukan main sehingga akal pikiran kita dibikin buta. Kadang kesadaran dalam diri, hati nurani kita, memperingatkan kita akan suatu perbuatan yang tidak baik, tidak benar. Namun nafsu daya rendah yang memperoleh keuntungan dari perbuatan itu, yaitu untuk melampiaskan kehendak nafsu, dengan cerdiknya menjadi pokrol untuk membela perbuatan itu,untuk membenarkan perbuatan itu.

   Bisikan-bisikan berupa alasan-alasan yang nampaknya tepat dan kuat dihembuskan nafsu ke dalam pertim bangan kita bahwa perbuatan itu benar atau tidak salah, atau kesalahan terpaksa dan sebagainya lagi. Tidak ada seorangpun manusia yang benar-benar TIDAK TAHU, bahwa perbuatannya jahat dan tidak benar, namun dia tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mencegah perbuatannya sendiri!

   Demikian kuatnya nafsu mencengkeram kita. Setiap pencuri pasti tahu bahwa mencuri itu tidak baik. Setiap pembunuh pasti tahu bahwa membunuh itu berdosa besar, dan masih banyak macam kejahatan di dunia ini yang dilakukan orang, dan semua orang yang melakukannya pasti tahu bahwa perbuatannya itu tidak baik, tidak benar atau berdosa, namun tetap saja dilakukannya! Kenapa demikian? Karena nafsu telah menceng keram seluruh dirinya, hati akal pikirannya, sehingga suara hati nurani menjadi lemah, tenggelam ke dalam suara setan yang membela dan membenarkan perbuatan itu dengan seribu satu macam alasan.

   Setiap orang pasti merasakan hal ini. Penyesalan selalu datang kalau akibat buruk datang menimpa. Dan setan membisikkan lagi cara-cara untuk menyelamatkan diri, dengan cara apapun juga.! Banyak di antara kita yang mendengar bisikan hati nuraninya sendiri dan menyesali perbuatannya, ingin menaklukkan nafsu-nafsunya. Namun selalu saja gagal.

   Mengapa demikian? Karena YANG INGIN menaklukkan nafsu itu bukan lain adalah NAFSU ITU SENDIRI! Yang ingin bertobat karena perbuatan dosa adalah si pembuat dosa itu sendiri, dengan dasar bahwa perbua tannya itu mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan dia ingin terbebas dari malapetaka itu. Perbuatan dosa itu dilakukan karena dorongan nafsu ingin senang,dan penyesalan, lalu keinginan bertobat itupun didorong nafsu yang ingin senang karena terhindar dari akibat yang tidak menyenangkan.!

   Lingkaran setan ini terjadi setiap hari dan setiap saat dalam diri kita. Maka, terjadilah pengulangan. Hari ini berbuat salah, besok menyesal dan bertobat. Besok lalu berbuat salah lagi, bertobat dan menyesal lagi. Demikian seterusnya karena lingkaran setan itu berputar terus. Nafsu tidak mungkin dimatikan, tidak mungkin dibuang dari diri kita, karena kalau hal itu dilakukan, kita akan mati, atau kita tidak akan menjadi manusia lagi. Nafsu daya rendah mutlak perlu bagi kehidupan kita, seperti api pada motor, seperti kuda pada kereta. Segala kemajuan hidup duniawi adalah karena jasa nafsu yang bekerja sama dengan hati akal pikiran. Namun, segala macam kejahatan yang kita lakukan pun akibat dorongan nafsu daya rendah.

   Lalu kalau begitu bagaimana? Nafsu penting bagi kehidupan kita, akan tetapi nafsu juga menyeret kita ke dalam perbuatan dosa! Hidup ini baru sesuai dengan kodratnya kalau nafsu menjadi alat kita, bukan kita menjadi alat nafsu. Nafsu harus kembali kepada tempat, kedudukan dan fungsinya yang semula, yaitu menjadi budak atau alat kita!

   Tapi bagaimana? Kalau usaha kita menundukkan nafsu juga merupakan usaha nafsu, lalu siapa ang akan dapat mengembalikan nafsu pada tempatnya semula? Hanya Yang Menciptakannya! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur itu, membebaskan kita dari cengkeraman nafsu. Dan kekuasaan Tuhan bekerja kalau kita menyerah dengan seluruh jiwa raga kita, menyerah dengan penuh keikhlasan, ketawakalan, kesabaran. Tuhan Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.

   Tuhan mengetahui apa yang yang terbaik untuk kita. Tuhan mengetahui apa yang berada di dalam lubuk hati kita. Kalau kita menyerah dengan seluruh jiwa raga kita, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja mutlak! Dan tidak ada hal yang tidak mungkin bagi kekuasaan Tuhan.

   Menyerah! Kata yang sederhana, mudah diucapkan dan mudah dimengerti. Namun, tidaklah begitu mudah untuk dilaksanakan. Kalau penyerahan itu masih merupakan penyerahan dari hati akal pikiran, maka di situ terkandung nafsu dan penyerahan seperti itu sudah pasti berpamrih pula! Menyerah agar begini agar begitu, pendeknya agar mendapatkan keuntungan atau kesenangan, agar menghindarkan kerugian atau kesusahan. Ini bukan penyerahan namanya,melainkan usaha nafsu untuk mendapatkan sesuatu, dan penyerahan hanya dijadikan alat atau cara saja.

   Dan kalau nafsu yang berusaha, maka pasti syaitan yang datang. Penyerahan dalam hal ini adalah penyerahan tanpa pamrih tertentu. Penyerahan berarti mati di depan Tuhan, dan kekuasaan Tuhan yang membangkitkan kita kembali. Sebagai manusia lain, bukan pula budak syaitan nafsu, melain kan hamba Tuhan! Kalau sudah begini, maka tidak ada masalah lagi, karena apapun yang terjadi pada diri kita, sudah dikehendaki Tuhan dan tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tidak akan ada keluhan keluar dari batin kita, yang ada hanyalah puji syukur kepadaNya.

   Penyesalan yang dirasakan Lai Kun hanya penyesalan karena kini dia merasakan akibat dari perbuatannya, yang menimbulkan perasaan takut. Penyesalan macam ini seperti orang yang memberi kompres dingin kepada luka untuk menghilangkan rasa nyeri akibat luka itu, tanpa dapat menyembuhkan luka itu sendiri.

   Lai Kun tidak berani mengakui kesalahannya terhadap siapapun, terhadap isterinya tidak, apalagi terhadap Coa Liu Hwa ibu Cin Cin. Dia menyimpannya sebagai rahasia pribadinya, dan justru inilah yang membuat dia selalu merasa gelisah. Andaikata di depan Liu Hwa dia berani berterus terang mengakui kesalahannya, dengan siap menanggung segala akibat daripada perbuatannya,bertanggung jawab, maka tentu kegelisahannya tidak akan ada lagi.

   Gadis yang cantik jelita itu berdiri di tepi sungai Kuning yang luas seperti anak lautan. Perutnya terasa lapar sekali dan ketika ia berdiri di tempat sunyi itu sambil termenung, agak kesal karena tidak nampak perumahan di situ, apalagi penjual makanan, ia melihat meluncurnya beberapa ekor ikan bersisik kuning dan merah di tepi sungai.

   

Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 1 Si Bayangan Iblis Eps 12 Pedang Naga Hitam Eps 5

Cari Blog Ini