Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 23


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 23




   "Itu sangat berbahaya, enci Lian. Siapa tahu dia masih berada diatas, sedangkan untuk kembali kita tidak mengenal alat rahasianya dari atas. Apa lagi kalau disanapun masih terdapat pintu-pintu rahasia seperti ini."

   "Habis bagaimana? Tinggal disini kita menjadi seperti tikus-tikus itu, tidak dapat keluar."

   "Mari kita kesana saja." Siok Eng menunjuk kearah lubang terowongan yang paling lebar. Mereka berjalan dengan hati-hati sekali dan bersikap waspada.

   Tiba-tiba keduanya menghentikan langkah dan mepet didinding terowongan. Seorang diantara delapan anak-buah yang tadi berkumpul sedang berjalan membawa sebuah keranjang yang nampaknya berat. Orang itu bermuka putih pucat dan dia membelok kekiri lalu menuruni anak tangga. Didasar tangga itu terdapat sebuah ruangan berpintu baja. Dua orang dara perkasa itu mengikutinya dan mengintai ketika orang itu berdiri didepan pintu baja. Si muka putih mencabut setangkai obor yang terpasang diatas pintu baja dan pintu itupun terbuka secara otomatis. Ketika pintu terbuka, hampir saja dua orang dara itu mengeluarkan teriakan kaget dan jijik. Dibalik pintu baja itu terdapat sebuah guha yang luas dan disitu berkumpul tikus berbulu putih yang mungkin ribuan ekor banyaknya! Orang bermuka putih itu melontarkan isi keranjang besar kedalam.

   Tikus-tikus putih berebutan sambil mengeluarkan suara bercicit riuh rendah. Sebentar saja isi keranjang itupun habis dan agaknya tidak mencukupi. Tikus-tikus yang tidak mendapat bagian kelihatan menjadi buas dan marah. Mereka menyerbu kearah pintu. Melihat ini, Pek Lian menangkap lengan Siok Eng dan mencengkeramnya dengan hati penuh kengerian. Kalau bukan puteri ketua Tai-bong-pai yang dicengkeramnya, tentu lengan itu akan terluka! Akan tetapi, dengan tenang saja si muka putih itu mencabut keluar sebuah tabung bambu besar lalu mengeluarkan isi tabung yang berupa bubuk putih. Tercium bau yang keras ketika bubuk putih itu digenggamnya dan aneh sekali, tikus-tikus yang tadinya buas menyerbu kedepan itu, seketika undur kembali ketakutan dan kembali ketempat masing-masing. Si muka putih menyeringai gembira.

   "Nah, begitu baru anak-anak baik namanya. Nanti aku akan kembali membawa makanan lebih banyak lagi." Kakek itu lalu menutupkan kembali pintu baja dengan mengembalikan obor ditempat semula, lalu diapun pergilah dari situ. Ketika orang itu lewat, dua orang dara cepat bersembunyi didalam lubang-lubang dan celah-celah batu. ketika orang itu datang dekat, dia lalu memandang kekanan kiri, cuping hidungnya kembang kempis. Akan tetapi dia lalu menciumi tangannya yang tadi menggenggam obat bubuk dan dia menggeleng kepala lalu lewat pergi.

   "Aih, orang-orang disini mempunyai penciuman yang peka sekali, enci. Untung dia tidak menemukan kita. Mari kita ikuti dia!" Dengan hati-hati dua orang dara itu membayangi si muka putih. Ketika tiba dipersimpangan jalan terowongan, muncul berturut-turut tujuh orang anak-buah yang lain dan mereka semua juga memegang tabung bambu besar berisi obat bubuk putih yang merupakan obat yang ditakuti tikus itu.

   Mereka mengumpulkan tabung-tabung itu dan dua orang diantara mereka lalu membawa tabung-tabung itu kesebuah ruangan besar setelah melalui jalan berbelak-belok. Agaknya dua orang ini bertugas untuk mengumpulkan dan menyimpan tabung-tabung itu, karena isinya merupakan barang yang amat penting bagi mereka dan tidak boleh sampai terjatuh ketangan musuh. Bubuk putih itu merupakan senjata ampuh untuk mengusir tikus-tikus liar. Ada dua buah pintu diruangan itu, dan mereka berdua itu lalu membuka pintu hijau, menyimpan tabung itu kedalam sebuah kamar dibalik pintu hijau. Kemudian merekapun pergi melalui jalan terowongan disebelah kiri, meninggalkan dua orang nona yang membayangi mereka. Setelah dua orang kakek itu pergi, Siok Eng berbisik,

   "Kita perlu sekali dengan bubuk putih itu. Kita harus mengambil yang cukup untuk dipergunakan kalau perlu." Pek Lian mengangguk dan mereka lalu berindap-indap menghampiri pintu hijau, membuka daun pintu yang tidak dipasangi alat rahasia. Siok Eng yang sebagai puteri ketua Tai-bong-pai amat ahli tentang racun, mengambil bubuk putih, membungkusnya dengan saputangan dan Pek Lian melakukan hal yang sama. Kemudian mereka berunding sambil bisik-bisik.

   "Sekarang lihat baik-baik pintu merah itu, enci Lian. Diatasnya ada tulisan yang melarang orang masuk. Kurasa itu menandakan bahwa didalam kamar dibalik pintu merah itu tentu ada rahasianya yang penting. Kita masuk kesitu!"

   "Tapi bagaimana kalau didalamnya menanti jebakan-jebakan atau orang-orang yang sudah siap? Bukankah itu berarti kita seperti ular-ular mencari penggebuk?"

   "Kita harus berani menghadapi resiko itu. kurasa tulisan itu ditujukan kepada para anak-buah dan ini berarti bahwa hanya orang-orang penting seperti ketuanya sendiri saja yang boleh masuk. Dan mustahil kalau jalan untuk sang ketua dipasangi jebakan. Mari, ikuti aku." Mereka berdua mendorong pintu merah yang terbuka dengan mudah. Keduanya tertegun. Dibalik pintu itu terdapat sebuah kamar yang indah dan didekat dindingnya terdapat sebuah tempat tidur yang besar.

   "Ehh!" Pek Lian menahan seruannya dan menghampiri meja, lalu mengambil benda yang ternyata adalah sebuah cincin. Cincin ayahnya! Cincin stempel tanda kebesaran Menteri Ho!

   "Cincin apakah itu, enci?"

   "Cincin ayahku! Ah, benar! Tentu ayah terbawa oleh perahu yang sekarang berlabuh disini! Ayahku berada disini!" Pek Lian merasa gembira sekali dan matanya berkilat-kilat. Ia menyimpan cincin itu disaku bajunya sebelah dalam.

   "Hemm, obat ini penting sekali," kata Siok Eng dan iapun mengambil sebuah botol dari dalam lemari kecil didekat tempat tidur. Ia mengenal obat cair berwarna kuning itu, apa lagi diluar botol ada tulisannya kecil yang menyatakan bahwa itulah obat penawar segala macam racun!

   "Aku sudah membawa obat penawar, akan tetapi siapa tahu obat ini ada gunanya," katanya sambil menyimpan botol kecil itu. Mereka memeriksa kamar indah itu. Tiba-tiba Pek Lian melihat sekilat cahaya dibalik lemari.

   "Eng-moi, lihat. Ada sinar dari belakang lemari. Ini berarti bahwa dibelakang lemari itu tentu ada ruangan lain. Mari kita geser!" Mereka bekerja-sama menggeser lemari itu dan setelah tergeser mereka melihat adanya sebuah lorong yang menuju keatas. Akan tetapi lorong ini kemudian terpecah menjadi dua. Mereka lalu memilih yang kiri. Dengan hati-hati mereka melangkah, takut kalau-kalau ada jebakan rahasia didepan. Lorong itu berakhir dengan sebuah pintu dan ketika mereka membuka dan mengintai, mereka melihat bahwa diluar daun pintu itu terdapat sebuah taman yang indah, dengan kolam renang ditengah-tengah dan pada saat itu terdapat belasan orang wanita cantik yang sedang mandi sambil bersendau-gurau.

   Kedua orang dara itu dapat menduga bahwa tempat ini tentu merupakan tempat tinggal para isteri atau selir pemilik pulau. Mereka tidak berani memasuki taman, menutupkan kembali daun pintu itu dan kembali sampai dilorong bercabang, lalu kini mengambil lorong yang kanan. Dan tidak lama mereka tiba diakhir lorong ini yang merupakan sebuah halaman terkurung pagar besi dan ditengah halaman itu tumbuh sebuah pohon bunga yang luar biasa. Daun-daunnya putih dan bunganya hitam mengkilat! Itulah bunga yang dicari-cari oleh Siok Eng! Melihat bunga ini, Siok Eng melompat kegirangan, hampir ia bersorak dan seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah mainan yang sudah lama diinginkannya, ia menghampiri pohon bunga itu.

   "Hati-hati, enci, kau jangan memegang bunga ini," katanya dan ia sendiri lalu mengeluarkan sebuah botol berisi cairan berwarna kuning, kemudian menggunakan cairan itu untuk melumuri semua bagian kedua lengannya dan jari-jari tangannya. Setelah itu, barulah ia memetik beberapa kuntum bunga hitam dan disimpannya baik-baik kedalam guci kecil yang sudah ada airnya.

   "Aih, benar kata ayahku dan tidak sia-sialah perjalananku yang jauh dan berbahaya ini," kata Siok Eng sambil tersenyum manis.

   "Dan engkau juga berjasa atas hasil yang kuperoleh ini, enci. Terimakasih!"

   "Adik Eng, bukan engkau yang harus berterimakasih, melainkan aku. Sekarang, bagaimana kita akan dapat keluar dari lubang tikus ini? Ingat, selama kita belum dapat meninggalkan pulau ini, belum berarti bahwa kita berhasil."

   "Engkau benar, cici. Lebih baik kita mengambil jalan lewat taman itu. Andaikata kita ketahuan, lebih baik kita melayani musuh ditempat terbuka dari pada didalam terowongan ini. Kalau mereka menutup saja pintu rahasia terowongan ini, berarti kita akan terkubur hidup-hidup dan menjadi santapan tikus-tikus menjijikkan itu!" Membayangkan ini, Pek Lian sendiri bergidik.

   "Marilah, Eng-moi!'" Diingatkan tentang tikus-tikus itu, kedua orang dara ini lalu bersicepat menuju kedaun pintu yang berada diakhir terowongan kiri. Mereka membuka daun pintu dan ternyata para wanita cantik tadi sudah selesai mandi dan tidak ada orangnya dan disitu mereka melihat banyak pakaian wanita yang indah-indah. Kiranya itu adalah sebuah kamar pakaian yang serba lengkap.

   "Adik Eng, aku mempunyai gagasan baik. bagaimana kalau kita menyamar saja sebagai seorang diantara wanita-wanita itu? Dengan demikian, setidaknya memudahkan kita untuk mencari jalan keluar."

   "Bagus, enci Lian. Gagasanmu itu baik sekali!" kata Siok Eng sambil tertawa girang. Keduanya lalu memilih pakaian yang cocok untuk ukuran tubuh mereka dan sambil cekikikan seperti dua orang anak nakal, mereka lalu berdandan. Dan karena keduanya memang cantik jelita, tentu saja setelah berdandan, mereka nampak makin menarik sehingga keduanya saling memuji.

   "Wah, adik Eng, kalau melihat engkau, agaknya wanita-wanita itu takkan terpakai lagi oleh majikan pulau! Engkau cantik seperti bidadari!"

   "Aih, tidak menang dibandingkan denganmu, enci. Pakaian itu pantas benar kau pakai!" Akan tetapi, tiba-tiba mereka waspada dan saling pandang ketika ada langkah kaki menuju kekamar itu. Pek Lian berkedip, lalu ia membuka pintu dan dengan suara berwibawa menegur,

   "Siapa berani menganggu kami?" Kiranya yang datang adalah seorang penjaga dan dibentak demikian, dia kelihatan ketakutan dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut.

   "Maaf, saya tidak tahu bahwa ji-wi (kalian berdua) berada disini. Saya diperintahkan oleh tocu (majikan pulau) untuk minta kepada dua orang hujin dari puri ini sebagai wakil para hujin lain untuk menerima tamu." Pek Lian mengerutkan alisnya. Sebagai seorang pemimpin ia memiliki kecerdikan dan ia sudah dapat menduga apa yang terjadi, maka iapun mengambil sikap angkuh dan bertanya dengan lagak seorang nyonya besar bertanya kepada pelayannya.

   "Masa hanya kami berdua? Siapakah tamu-tamunya?"

   "Bukan hanya ji-wi hujin (kedua nyonya) yang diharapkan hadir. Setiap puri diwakili oleh dua orang, jadi dari empat puri berjumlah delapan orang. Adapun yang menjadi tamu-tamunya banyak sekali. Ada orang-orang Mongol, ada orang-orang kang-ouw, dan ada seorang datuk dari utara bersama murid-muridnya. Delapan orang hujin dari empat puri diminta mengatur dan mengepalai para pelayan untuk menghormat para tamu." Karena penjaga itu bicara sambil berlutut maka dua orang dara itu sempat untuk saling pandang dan Siok Eng memberi tanda setuju dengan mengangguk sedikit kepada temannya. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Menolak berarti membuka rahasia. Mereka akan menerima saja dan nanti akan dicari jalan terbaik kalau sudah tiba saatnya yang gawat. Apa lagi mendengar nama julukan datuk utara itu, membuat hati Pek Lian tertarik.

   "Apakah kau maksudkan datuk utara itu adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang?" tanyanya. Pertanyaan yang tepat ini tidak mengherankan hati si penjaga. Sebagai isteri atau selir majikannya, tidak aneh kalau wanita cantik ini tahu akan nama tokoh-tokoh dunia persilatan. Maka diapun mengangguk.

   "Benar dugaan hujin yang mulia." Tentu saja Pek Lian menjadi girang bukan main. Bagaimanapun juga, Yap-lojin adalah seorang pendekar besar dan hal ini dapat diartikan bahwa mereka berdua mempunyai seorang kawan dalam sarang iblis ini. Apa lagi kalau Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkat Yap-lojin berada disitu. Pemuda perkasa itu sudah pasti tidak akan membiarkan ia dan Siok Eng celaka dan bantuannya sangat boleh diharapkan dan diandalkan. besarlah hati Pek Lian mendengar bahwa Yap-lojin dan murid-muridnya, para pendekar Thian-kiam-pang itu, berada pula dipulau iblis ini. Dua orang dara itu lalu mengikuti si pengawal dan akhirnya terkumpul delapan orang "nyonya" bersama mereka. Tentu saja para selir itu memandang kepada mereka dengan heran karena tidak mengenal mereka.

   Akan tetapi, karena mereka menghadapi tugas penting dan mereka sudah terbiasa dengan adanya muka-muka baru dikalangan mereka, yaitu selir-selir baru yang diambil oleh Tikus Beracun, merekapun tidak banyak bertanya, hanya memandang dengan alis berkerut seperti pandang mata seorang wanita terhadap madu baru yang dianggap saingan. Dengan iringan pengawal, mereka lalu menuju kependapa dimana telah berkumpul para tamu. Karena pakaian mereka serupa, maka kehadiran dua orang dara diantara para selir ini tidak terlalu menyolok dan sekelebatan mereka itu tidak ada bedanya dengan yang lain. Di ruangan pendapa itu terdapat lebih dari lima puluh orang tamu. Dengan bantuan pelayan-pelayan yang juga cantik-cantik akan tetapi pakaian mereka lebih sederhana, delapan orang selir ini lalu melayani para tamu, menyuguhkan hidangan-hidangan dan minuman-minuman.

   Pek Lian mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia menemukan orang yang dicarinya. Mereka duduk dideretan depan. Seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluhan tahun, berpakaian putih-putih dengan jenggot putih panjang, sikapnya gagah. Disebelahnya duduk seorang pemuda perkasa berusia tiga puluh tahun lebih, juga mengenakan pakaian serba putih dengan pedang dipunggung. Disebelah kiri kakek itu duduk seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya, berpakaian hitam dari sutera sehingga kulit leher dan tangannya nampak semakin putih mulus. Hampir semua mata para tamu pria, baik tua maupun muda, tiada hentinya mengerling kearah gadis yang luar biasa cantiknya ini.

   Melihat tiga orang ini, Pek Lian hampir berteriak kegirangan. Tidak saja ia mengenal Yap-lojin dan Yap Kiong Lee, akan tetapi juga ia mengenal gadis berpakaian sutera hitam itu karena gadis itu bukan lain adalah Bu Bwee Hong atau lebih tepat lagi bermarga Chu, karena gadis ini adalah anak kandung dari Pangeran Chu Sin! disamping rasa girang yang luar biasa melihat bekas teman seperjalanan ini ternyata masih hidup, juga timbul rasa herannya bagaimana gadis yang terbawa hanyut oleh gelombang lautan dan terpisah darinya itu tahu-tahu berada disitu bersama Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang dan murid pertamanya. Juga Siok Eng merasa girang bukan main ketika ia mengenal Bwee Hong, puteri dari keluarga Bu yang telah menolongnya, bahkan telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan nyawa suami-isteri Bu dan terbukanya putera mereka, kakak dari Bwee Hong.

   Akan tetapi, tiga orang itu sama sekali tidak mengenal Pek Lian dan Siok Eng yang tidak mudah dibedakan dari selir-selir tuan rumah yang lain. Baru setelah Pek Lian melayani meja mereka dan sengaja menginjak kaki Bwee Hong, nona cantik jelita ini mengangkat muka memandang dan sinar mata mereka bertemu. Pek Lian berkedip dan memberi isyarat kepada Bwee Hong agar tidak mengeluarkan suara. Bwee Hong terkejut dan girang bukan main ketika mengenal Pek Lian, akan tetapi melihat isyarat itu, ia tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang bengong. Apa lagi ketika Bwee Hong mengenal pula Siok Eng sebagai gadis Tai-bong-pai yang pernah diobati oleh ayah-bundanya, ia terheran-heran dan juga amat girang.

   "Enci, kalian bertiga harus menelan pel ini untuk menjaga diri terhadap racun," bisik Siok Eng sambil memberikan tiga butir pel kepada Bwee Hong, akan tetapi gadis cantik jelita itu tersenyum.

   "Jangan khawatir, adik yang baik. Kami telah minum obat penawar racun," jawabnya dengan bisikan lirih. Siok Eng mengangguk dan iapun merasa tenang karena ia percaya bahwa nona cantik ini adalah puteri seorang datuk yang menjadi keturunan Sin-yok-ong, Si Raja Tabib Sakti. Tentu saja dara ini seorang ahli pengobatan yang tidak takut akan segala macam racun! Adapun Yap-lojin dan putera angkatnya yang belum begitu akrab dengan Pek Liari, tidak mengenal nona ini.

   Baru setelah Bwee Hong berbisik-bisik kepada ketua Thian-kiam-pang itu, Yap-lojin mengerutkan alisnya. Dia teringat kepada gadis yang menjadi tawanan isterinya, Siang Houw Nio-nio. Akan tetapi dia diam saja, hanya merasa heran apa lagi yang dikerjakan oleh gadis pemberani itu ditempat seperti ini. Pek Lian dan Siok Eng juga tidak sempat bicara dengan Bwee Hong karena pada saat itu muncul tuan runyah, yaitu Tikus Beracun Bumi! Para tamu bangkit dani tempat duduk mereka untuk menghormati tuan rumah yang terkenal sebagai datuk pertama dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to! karena para tamu bangkit berdiri, Siok Eng dan Pek Lian merasa aman, mereka tertutup oleh para tamu sehingga tuan rumah yang bertubuh pendek kecil itu tidak dapat melihat mereka. Te-tok-ci atau Tikus Beracun Bumi itu ternyata memliliki tubuh yang sama sekali tidak serem seperti namanya.

   Kakek ini usianya sekitar enam puluh lima tahun, tubuhnya pendek kecil nampak lemah, mengenakan pakaian mewah seperti seorang bangsawan saja. Mukanya kecil sempit dan panjang kemuka, memang dari samping wajahnya memiliki bentuk seperti muka tikus. Disebelah kanannya berjalan laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang juga bertubuh kecil pendek. Itulah Siauw-thian-ci, putera tunggal Tikus Beracun Bumi, yaitu pria kecil pendek kejam, yang pernah dilihat oleh Pek Lian dan Siok Eng didalam terowongan bawah tanah itu. Setelah tiba ditempat duduk yang dipersiapkan untuknya, yaitu diantara kursi para tamu kehor-matan, tuan rumah yang pendek ini lalu berdiri diatas tangga, menjura keempat penjuru dan suaranya lantang ditujukan kepada semua tamu yang bangkit berdiri ketika dia datang.

   "Cu-wi sekalian, selamat datang dan silahkan duduk! Semua dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang kami suguhkan!"

   Setelah berkata demikian dia bersama Siauw-thian-ci duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, kemudian tanpa banyak cakap lagi ayah dan anak ini lalu makan-minum dengan lahapnya, sama sekali tidak memperdulikan kanan kiri lagi! Dan lucunya, biarpun diatas semua meja tamu telah tersedia hidangan yang nampaknya lezat dan mewah, namun tidak ada seorangpun yang berani menyentuhnya, apa lagi makan! Hal inipun tidak mengherankan, karena siapakah yang akan berani menyentuh hidangan yang disuguhkan oleh datuk sesat ahli racun yang paling kejam dan berbahaya didunia ini? Selain itu, agaknya para tamu yang sebagian besar terdiri dari tokoh-tokoh sesat itu memang sudah tahu akan adegan yang sudah diatur ini dan agaknya sikap tuan rumah itu memang ditujukan kepada para tamu yang bukan segolongan dengan mereka, terutama sekali ditujukan kepada ketua Thian-kiam-pang.

   Maka, para tokoh sesat yang hadir hanya tersenyum-senyum saja menonton pertunjukan yang mereka anggap sebagai lelu-con yang menarik. Mereka tersenyum-senyum geli dan gembira melihat aksi tetok-ci dan Siauw-thian-ci. Akan tetapi, bagi manusia sopan pada umumnya, aksi ayah dan anak itu sungguh memuakkan, menjijikkan dan juga memanaskan perut! Mana ada pihak tuan rumah makan-minum seenak perutnya sendiri tanpa memperdulikan para tamu, bahkan mereka makan-minum dengan lahap, berdahak dan kadang-kadang meludahkan tulang-tulang ikan kekanan kiri. Setengah jam lamanya para tamu disuguhi tontonan ini dan seperti orang baru tahu bahwa para tamu tidak ada yang makan hidangan diatas meja depan mereka, terdengar tetok-ci tertawa dan bicara dengan puteranya.

   "Ha-ha-ha, dunia penuh penakut dan pengecut, anakku yang gagah! Lihat, tidak ada yang berani menyentuh hidangan diatas meja. hehehe, siapa yang makan-minum hidangan itu dan tidak mampus mendadak, aku sungguh kagum padanya dan akan kuangkat saudara!" Ucapan ini sungguh merupakan ejekan menghina yang sepatutnya hanya diucapkan orang gila. Seorang tamu yang usianya baru tiga puluh tahun lebih dan berwatak berangasan, dari golongan sesat yang agaknya belum paham akan sikap tuan rumah dan. Dia merasa tersinggung, bangkit dari tempat duduknya. Dia tidak berani menentang tuan rumah, akan tetapi merasa tidak senang dengan sikap itu dan diapun melangkah pergi hendak meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi, beberapa orang pengawal, anak-buah Si Tikus Beracun, sudah menghadangnya dengan tombak melintang.

   "Sicu hendak pergi kemana? Sebelum tocu selesai makan-minum, tidak ada yang boleh pergi kecuali seijin tocu!"

   "Apa?" Laki-laki bermuka hitam itu melotot.

   "Aku Tiat-pi Hek-kwi (Setan Hitam Lengan besi), datang dan pergi tidak pernah diatur orang lain. Aturan gila mana ini?" Dia hendak memaksa pergi dan ketika tiga orang pengawal itu tetap menghadang, dia menggunakan kedua lengannya untuk mendorong dan tiga orang pengawal itupun terjengkang. Ternyata Setan Hitam Lengan Besi ini memang memiliki sepasang lengan yang kuat sekali. Si Tikus Beracun yang sedang asik makan minum itu menoleh dan sepasang matanya yang kecil itu menyipit, akan tetapi mengeluarkan sinar berkilat. Marahlah dia melihat ada orang berani bersikap menentangnya.

   "Cuhh!" Dia meludah keatas lantai yang sudah, kotor dengan ludah dan tulang-tulang ikan itu.

   "Bunuh orang itu!" teriaknya bengis. Tiga orang kepala pengawal berloncatan datang dan mereka memegang alat semprotan dari bambu. Begitu mereka menggerakkan alat itu, ada benda cair yang amat lembut dan beruap menyambar kearah Si Setan Hitam dari tiga jurusan.

   Tentu saja orang itu berusaha mengelak dan mtelawan, namun begitu uap mengenai tubuhnya, dia menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya dan pakaian yang terkena uap itu hancur dan melepuh, seperti terbakar dan orang itupun tak dapat menahan lagi rasa nyerinya. Dia terguling dan berkelojotan diatas lantai, sekarat dan tewas seketika! Semua tamu memandang dengan muka pucat dan mereka bergidik. Akan tetapi, Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang yang melihat ini menjadi marah sekali. Mukanya berobah merah dan diapun bangkit berdiri, diikuti oleh Yap Kiong Lee dan Chu Bwee Hong. Bagaimanapun juga, sebagai seorang tamu Yap-lojin tidak sudi mencampuri urusan orang, apa lagi urusan antara Setan Hitam dan tuan rumah yang keduanya adalah orang-orang golongan sesat. Dengan sikap hormat namun gagah. Yap-lojin menjura kearah Tikus Beracun dan suaranya terdengar lantang.

   "Te-tok-ci, aku datang kesini untuk berjumpa dengan seorang diantara penghuni Ban-kwi-to, yaitu Thian-te Tok-ong atau yang juga dikenal sebagai cengyakang. Aku ingin bertanya kepadanya tentang puteraku!" Yang ditanyakan Yap-lojin adalah tokoh kelima dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to. yaitu si gendut pendek yang berjuluk Thian-te Tok-ong (Raja Racun Bumi Langit) atau juga terkenal dengan sebutan cengyakang (Kelabang Hijau) karena dia suka mengumpulkan kelabang beracun.

   Seperti telah diceritakan dibagian depan, tokoh sesat ini nampak gulang-gulung dengan Yap Kim, putera kandung Yap Cu Kiat atau Yap-lojin itu yang kini lenyap dan sedang dicari oleh ayahnya dan suhengnya. Tentu saja Tikus Beracun sudah tahu akan hal ini dan memang sejak tadi semua adegan yang disuguhkan disitu hanya untuk memancing keturunan datuk utara ini. Sekarang, melihat tamu yang dianggap musuh besar ini sudah bangkit dan mengeluarkan suara, pihak tuan rumah menemukan alasan untuk turun tangan, seperti yang telah dilakukannya terhadap Setan Hitam tadi. Pada saat itu, mulut Si Tikus Beracun penuh makanan. Dia mengangkat muka memandang kearah Yap-lojin, lalu dia memuntahkan makanan itu keatas lantai dan menudingkan telunjuknya kearah kakek itu sambil membentak,

   "Bunuh juga orang itu!!" Tiga orang kepala pengawal itu sudah mengu-rung Yap-lojin dan dua orang muda itu, kemudian tanpa menanti perintah kedua kalinya lagi, tiga orang yang memang mempunyai hobby membunuh orang itu menyemprotkan alat semprot mereka yang mengandung racun amat jahat itu. Akan tetapi, karena tadi mereka sudah menjaga diri dengan minum obat penolak racun yang diberikan oleh Bwee Hong, mereka tidak takut terhadap racun itu, dan untuk menjaga pakaian mereka, tiga orang ini lalu menggerakkan kedua tangan dikibaskan kedepan.

   Bahkan Yap Kiong Lee sudah mengerahkan tenaga Thian-hui Khong-ciang yang luar biasa, itu, yang menjadi ilmu keturunan dari datuk utara Sin-kun butek. Akibatnya luar biasa hebatnya karena tiga orang itu terjengkang dan tidak dapat bangkit kembali, napas mereka empas-empis dan muka mereka pucat, tubuh terasa lumpuh kehilangan tenaga! Gegerlah ruangan itu ketika para anak-buah Tikus Beracun maju mengeroyok. Bahkan Tikus beracun sudah berteriak-teriak minta bantuan para tamu. Para tamu yang sebagian besar adalah tokoh-tokoh kaum sesat itu dan menjadi sekutu Tujuh Iblis Ban-kwi-to tentu saja berpihak kepada Tikus Beracun dan terjadilah pengeroyokan atas diri tiga orang itu. Namun, mereka bukanlah orang-orang sembarangan! Nona Chu Bwee Hong adalah keturunan dari datuk selatan Sin-yok-ong yang memiliki ilmu silat luar biasa tingginya.

   Yap-lojin adalah ketua Thian-kiam-pang yang merupakan keturunan datuk utara Sin-kun butek yang amat lihai, sedangkan Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkatnya, telah sedemikian maju dalam ilmunya sehingga tidak jauh selisihnya dengan ilmu kakek itu sendiri! Inilah sebabnya yang membuat para orang sesat itu seperti air bah membentur batu karang yang kokoh kuat. Bwee Hong mengandalkan ginkangnya yang istimewa. Tubuhnya berkelebatan seperti terbang saja diantara pengeroyokan banyak orang. Tidak ada sebuahpun senjata mampu menyentuhnya dan ia membagi-bagi pukulan dan tendangan secepat kilat. Dengan ginkang keturunan datuk selatan Sin-yok-ong yang luar biasa, yaitu yang dinamakan Pek-in Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh Awan Putih), tubuhnya berkelebatan seperti kilat dan Ilmu Silat Kim-hong-kun (Silat Burung Hong Emas) membingungkan para pengeroyoknya.

   Yap-lojin bersikap tenang-tenang saja menghadapi semua pengeroyokan. Kakek ini hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya dan ujung jubahnya yang lebar itu mendatangkan angin keras, membuat para pengeroyoknya terpelanting atau terdorong mundur. Akan tetapi, sepak terjang Yap Kiong Lee lebih hebat lagi. Pemuda ini mengamuk dan kedua tangannya bergetar menimbulkan suara gemuruh seperti angin ribut. Itulah Hong-i Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Angin Badai) yang hebat, disertai penggunaan tenaga sakti Thian-hui Khong-ciang yang mengeluarkan suara ledakan seperti petir dan menghancurkan benda-benda disekitarnya. Semua orang terkejut ketakutan dan menjauhkan diri, tidak kuat menahan pukulan-pukulan sakti ketiga orang itu. Semua orang menjadi kagum sekali, bahkan si kakek Yap-lojin juga diam-diam amat kagum terhadap murid ini.

   "Kiong Lee, engkau cari adikmu, biar kuhadapi tikus-tikus ini!" kata Yap-lojin yang menduga bahwa tentu puteranya, Yap Kim, disembunyikan dipulau itu.

   "Baik, suhu!" kata Kiong Lee yang sudah mulai membuka jalan dengan menghambur-hamburkan pukulan saktinya kekiri untuk keluar dari kepungan. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lian berteriak,

   "Lo-cianpwe, puteramu tidak berada disini. Mari ikut dengan kami!" Karena teriakan ini, Kiong Lee meragu dan tidak jadi keluar dari kepungan, dan sebaliknya, Pek Lian dan Siok Eng ketahuan dan dikeroyok pula. Karena ingin mencari kawan, Pek Lian dan Siok Eng mengamuk dan mendekati Yap-loiin bertiga sehingga kini mereka berlima mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang berani menyerang terlalu dekat. Melihat kehebatan lima orang musuh ini, Tikus Beracun dan puteranya menjadi marah. Mereka sibuk berteriak-teriak memberi komando kepada para pengawal.

   "Semprotkan darah maut!"

   "Taburkan bubuk pencabut nyawa!"

   "Bakar dupa setan sebanyaknya!"

   "Serang dengan jarum kalajengking!" Para pengawal sibuk melaksanakan perintah-perintah ini, namun karena lima orang itu semua telah melumuri tubuh dengan obat anti racun, juga sudah menelan obat mujijat dari Raja Obat Sakti atau juga terkenal dengan julukan Tabib Sakti, sedangkan Pek Lian dan Siok Eng telah dilindungi obat anti racun dari Tai-bong-pai, maka semua racun yang mengerikan itu tidak dapat melukai mereka. Apa lagi dengan ilmu silat mereka yang amat hebat itu, semua senjata dan racun dapat ditolak dan yang celaka bahkan para tamu yang ikut mengeroyok. Yang terkena racun-racun itu berjatuhan dan berkelojotan sekarat dan tewas seketika dalam keadaan amat mengerikan.

   Melihat kehebatan lawan, Tikus Beracun dan puteranya lalu tiba-tiba menghilang. Mereka hendak mempersiapkan diri untuk menjebak musuh-musuh yang amat tangguh itu agar terperosok kedalam terowongan rahasia mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi mereka takkan mungkin menang kalau hanya mengandalkan ilmu silat dan pengeroyokan. Melihat mundurnya tuan rumah, para tamu yang memang sudah gentar menghadapi lima orang pendekar itu, juga banyak yang mulai menjauhkan diri sehingga pengepungan tidak begitu ketat lagi. Sementara itu, Pek Lian yang mencurigai kepergian Si Tikus Beracun dan puteranya, dengan cerdik sudah dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh tuan rumah yang licik dan amat curang itu. Tuan rumah telah menghilang, para pengawal juga mundur sehingga mereka berlima ditinggalkan diruangan depan itu.

   "Yap-Lo-cianpwe, harap hati-hati terhadap jebakan rahasia. Jangan sembarangan menginjak lantai yang mencurigakan ahhhh!!" Ia yang memperingatkan, akan tetapi ia sendiri bersama Siok Eng yang berdiri disebelahnya yang lebih dulu menjadi korban ketika lantai yang mereka pijak dan yang tadinya kokoh kuat itu tiba-tiba saja bergerak dan mereka berduapun terjeblos kebawah tanpa dapat mereka hindarkan lagi.

   "Adik Lian, awas!!" Bwee Hong berteriak dan gadis yang memiliki ginkang luar biasa hebatnya ini sudah melesat kedepan, maksudnya Untuk menolong Pek Lian dan Siok Eng, akan tetapi akibatnya ia sendiripun ikut terjeblos bersama dua orang dara itu! Melihat betapa tiga orang dara itu telah terjeblos dan lenyap kebawah, sedangkan lantai itu telah menutup kembali, Yap-lojin menyambar tangan muridnya dan berkata,

   "Mari kita keluar!" Mereka berdua meloncat dengan cepatnya, melayang untuk keluar dari pintu.

   Akan tetapi tiba-tiba dari luar menyambar puluhan batang anak panah beracun kearah mereka! Karena maklum bahwa anak panah itu berbahaya sekali, keduanya terpaksa menangkis dan meruntuhkan senjata-senjata rahasia itu dengan pukulan sakti, akan tetapi terpaksa pula mereka menurunkan kaki menginjak ambang pintu dan merekapun terjeblos kebawah karena lantai berikut pintunya juga terjeblos dalam jebakan rahasia itu! Guru dan murid ini mengerahkan sinkang dan mereka berhasil berjungkir balik, membuat poksai (salto) keatas sehingga tubuh mereka yang sudah terjeblos kebawah itu mencelat keatas lagi. Akan tetapi, kembali puluhan anak panah menyambar. Tentu saja mereka terpaksa menangkis dan tubuh mereka jatuh lagi kebawah dan lantai itupun telah tertutup kembali ketika tubuh mereka meluncur kedalam lubang yang amat gelap.

   "Kerahkan ginkang!!" Yap-lojin masih sempat memperingatkan muridnya karena dia khawatir kalau-kalau dibawah terdapat senjata-senjata runcing menyambut tubuh mereka.

   Hanya dengan pengerahan ginkang yang hebat saja mereka dapat menghindarkan maut kalau terjadi hal seperti itu dan paling banyak hanya akan mengalami sedikit luka-luka pada kaki mereka, Tentu saja Yap Kiong Lee yang sudah banyak pengalaman didunia kang-ouw itupun telah tahu akan hal ini sehingga tubuh guru dan murid itu melayang turun dengan ringan. Akan tetapi, mereka merasa lega dan juga heran karena kedua kaki mereka hinggap diatas tanah kering biasa, tidak ada senjata yang menerima tubuh mereka. Mereka telah tiba didalam sebuah terowongan, lorong dibawah tanah dan ada sinar menerangi terowongan itu dari depan dan belakang. Sebelum mereka mengambil keputusan kemana mereka akan mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan cambuk, disusul suara gemuruh dan mencicit. Suara tikus!

   Dan kini nampaklah tikus-tikus itu. Tikus-tikus itu berwarna coklat dengan kepala dan ekor berwarna putih. Kalau hanya seekor dua ekor, tentu binatang-binatang itu merupakan tikus-tikus yang menarik, mungkin bagus untuk dipelihara. Akan tetapi, yang muncul ini bukan seekor dua ekor melainkan ratusan dan tikus-tikus itu luar biasa besarnya, bukan seperti tikus biasa. Juga mereka itu nampak ganas dan liar, sambil mencicit mereka menyerbu maju, ratusan banyaknya, hampir memenuhi terowongan itu! Melihat ini, guru dan murid cepat membalikkan tubuh dan melarikan diri dari tempat itu, menjauh. Mereka mengikuti terowongan yang berbelak-belok itu dan akhirnya berhadapan dengan seorang kakek berwajah putih menyeramkan yang berdiri didepan sebuah pintu baja.

   Kakek ini menyeringai dan tangannya bergerak mencabut obor yang tertancap diatas pintu. Tiba-tiba pintu terbuka dan ratusan, bahkan ribuan tikus putih menerobos keluar dan dengan bunyi bercicitan menyerbu kearah guru dan murid itu! Yap-lojin adalah ketua Thian-kiam-pang yang sudah sering kali menghadapi penjahat-penjahat kejam dan sudah sering menghadapi maut pula. Dan Yap Kiong Lee juga seorang pendekar yang berpengalaman. Namun belum pernah mereka menghadapi penyerbuan ribuan ekor tikus yang kelihatan buas itu, maka mereka berdua terbelalak memandang dan merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang bergidik. Mereka meloncat kebelakang dan membalikkan tubuh hendak menjauh kan diri, akan tetapi dari arah belakang, barisan tikus coklat yang tadi mengejar sudah datang, kini digiring oleh seorang kakek yang berambut coklat penuh uban sambil tertawa-tawa.

   Karena berada dijalan terowongan dan sudah terjepit dari depan dan belakang oleh dua barisan tikus, terpaksa Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berdiri tegak beradu punggung saling membelakangi, memasang kudakuda dan siap untuk membela diri menghadapi ribuan ekor tikus itu. Diam-diam mereka mengerahkan tenaga sakti Thian-hui Khong-ciang dan begitu tikus-tikus itu sudah menyerbu dekat, kedua orang guru dan murid ini lalu menggerakkan kedua tangan menyerang dan memukul kedepan. Terdengar suara gemuruh angin pukulan dahsyat menyambar kedepan dan bagaikan petir menyambar pukulan-pukulan sakti itu mengenai tikus-tikus dan batu-batu dinding. Tikus-tikus itu terpental dan darah berhamburan, debu mengepul tebal.

   "Hati-hati, Kiong Lee. Jangan sampai terowongan runtuh terkena pukulanmu!" teriak Yap-lojin memperingatkan muridnya. Dia tahu bahwa muridnya itu marah dan pukulannya mengandung tenaga dahsyat. Kalau sampai terowongan itu runtuh karena pukulan muridnya, berarti mereka akan terkubur hidup-hidup. Diam-diam guru ini amat kagum dan sayang kepada muridnya atau anak angkatnya itu. Memang Kiong Lee memiliki bakat yang luar biasa sehingga dalam usia semuda itu telah mewarisi ilmu-ilmu sakti dari perguruannya, bahkan hampir mencapai tingkat yang sama dengannya. Puluhan ekor tikus tewas dan hancur terbanting kepada dinding terowongan, dan bau yang amat amis dan busuk memenuhi udara, memusingkan kepala guru dan murid itu,

   "Suhu, tikus-tikus ini beracun!" teriak Kiong Lee.

   "Tentu saja! Lindungi hidung dengan saputangan." Mereka lalu mengeluarkan saputangan dan mengikatkan saputangan itu didepan hidung. Akan tetapi, tikus-tikus itu sungguh nekat dan liar sekali. Biarpun guru dan murid itu sekali pukul membunuh puluhan ekor, namun yang datang semakin banyak.

   Mati sepuluh datang seratus! Dan ribuan ekor masih berjubel-jubel dibelakang seperti berebut untuk dapat mengeroyok dua orang manusia yang menjadi musuh mereka itu, atau juga merupakan calon-calon mangsa mereka. Bau amis membuat mata mereka berkunang. Biarpun mereka sudah melindungi hidung dengan saputangan, tetap saja hawa beracun tikus-tikus itu membuat mereka pengap dan sukar bernapas. Memang, dengan pukulan-pukulan Thian-hui Khong-ciang, tikus-tikus itu tidak ada yang mampu mendekat, akan tetapi sampai kapan mereka akan mampu bertahan? Tikus-tikus itu tak terhitung banyaknya, dan agaknya bukan liar atau buas lagi, melainkan sudah gila dan agaknya sebelum habis sama sekali tidak akan mau mengaku kalah atau mundur. Dan tidak mungkin guru dan murid itu akan sanggup bertahan demikian lamanya sampai tikus-tikus itu habis.

   "Suhu, kita menyerbu satu jurusan saja membuka jalan darah!" Tiba-tiba Kiong Lee berkata, dan gurunya menjadi kagum dan girang. Memang benar pendapat muridnya. Kalau mereka beradu punggung, masing-masing menghadapi satu barisan tikus, berarti mereka terjepit dan harus melayani barisan itu sampai habis, yang agaknya tidak mungkin. Akan tetapi kalau mereka menyerbu satu jurusan saja, dengan kerja sama mereka, agaknya mereka masih memiliki harapan untuk dapat melepaskan diri dari himpitan maut ini.

   "Baik, aku membantumu!" Yap-lojin berseru dan diapun membalik setelah lebih dulu mengirim pukulan dahsyat yang membuat tikus-tikus didepannya itu terlempar jauh kebelakang dan menjadi kacau. Mempergunakan kesempatan ini, dia membalik dan membantu muridnya. Dengan pukulan mereka berdua, tentu saja akibatnya lebih hebat lagi. Gabungan pukulan mereka membuat tikus-tikus coklat itu seperti sekumpulan daun kering ditiup angin badai. Ratusan ekor tikus terlempar saling bertubrukan dan bertumpuk-tumpuk. Guru dan murid itu melakukan pukulan bertubi-tubi, lalu meloncat dan menggunakan tumpukan bangkai tikus untuk menjadi batu loncatan, terus melarikan diri setelah melompati barisan tikus coklat itu. Kakek penggiring tikus itupun tidak berani turun tangan menyerang, bahkan mepet didinding karena merasa gentar melihat kelihaian guru dan murid itu.

   Akan tetapi, diapun cepat membunyikan cambuknya berdetak-detak dan tikus-tikus coklat itu. Diikuti oleh tikus-tikus putih, melakukan pengejaran sambil mengeluarkan bunyi bercicitan riuh-rendah. Udara diterowongan itu penuh dengan hawa beracun dari tikus-tikus itu. Yap-lojin dan Kiong Lee merasa betapa kepala mereka pening sekali, akan tetapi mereka harus berlari terus kalau tidak ingin celaka. Tiba-tiba mereka mendengar suara Pek Lian sayup-sayup memanggil-manggil. Mereka berdua mempercepat lari mereka kedepan dan nampaklah oleh mereka tiga orang dara itu berdempetan, berdiri ketakutan disebuah ruangan luas, dikepung oleh ribuan tikus yang bermacam-macam bentuk moncongnya dan bermacam-macam pula warna bulunya.

   Ada yang hitam, ada yang kemerahan atau bintik-bintik. Tikus-tikus itu sungguh amat luar biasa banyaknya, sampai bertumpuk-tumpuk. Dan dari jarak jauh, nampak beberapa orang kakek memegang cambuk yang dengan berbagai gaya dan cara memerintahkan barisan masing-masing menyerang tiga orang dara itu. Namun, sungguh aneh. Tikus-tikus itu agaknya tidak berani menyerang, hanya memandang, mencicit dan memperlihatkan taring dengan buasnya tanpa berani maju menyerang. Tentu saja dikerumuni ribuan ekor tikus yang memperlihatkan sikap buas mengancam itu, tiga orang dara menjadi ketakutan dan jijik sekali. Agaknya merekapun sudah bosan melawan tikus-tikus yang tiada habis-habisnya itu, lelah dan muak karena hawa beracun yang berbau busuk, apek dan amis.

   "Yap-Lo-cianpwe tolonglah kami!" Pek Lian berseru ketika melihat Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berlarian datang. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa untuk menolong diri sendiri saja guru dan murid itu sudah kerepotan sekali. Kini tikus-tikus yang berada diruangan itu, begitu melihat munculnya Yap-lojin dan Kiong Lee, sudah membalikkan tubuh dan disertai suara mencicit riuh-rendah mereka semua menyerbu kearah Yap-lojin dan muridnya.

   Tentu saja guru dan murid ini menyongsong mereka dengan pukulan sakti Thian-hui Khong-ciang. Kembali darah berhamburan ketika tikus-tikus itu dilanda pukulan sakti. Akan tetapi binatang-binatang itu agaknya sudah sejak tadi menahan kemarahan mereka ketika mereka secara aneh tidak berani menyerang tiga orang dara itu. Seperti sekawanan tikus kelaparan melihat daging empuk tiga orang dara yang tinggal mengganyang saja namun ada sesuatu yang melarang mereka atau membuat mereka tidak berani menyerang. Kini, mereka menumpahkan semua kemarahan dan kerakusan mereka kepada dua orang pendatang baru ini. Bagaikan air bah mereka itu menerjang datang. Tikus-tikus ini terdiri dari bermacam-macam jenis, menyerang menjadi satu, ribuan banyaknya, disertai bau busuk menyengat hidung.

   Kembali guru dan murid itu mengamuk, mengirim pukulan berantai bertubi-tubi, namun tikus-tikus itu makin banyak juga yang datang menyerbu. Bau racun bercampur bau darah dan bau kotoran mereka sungguh membuat udara disitu penuh racun. Yap-lojin adalah seorang yang sakti, juga muridnya amat gagah perkasa, dan tiga orang dara itiipun bukan orang sembarangan. Disamping ini, mereka semua sudah menelan pel anti racun yang amat mujarab. Namun, menghadapi bau yang teramat busuk ini, mereka tidak dapat bertahan lagi dan isi perut mereka meronta, lalu mereka itu muntah-muntah! Pek Lian yang memang sudah mempunyai perasaan jijik terhadap tikus, dan diantara mereka berlima itu dara inilah yang terhitung paling lemah, tidak kuat dan muntah-muntah lalu jatuh terduduk.

   Kepalanya pening bukan main. Untung tidak ada tikus yang berani menyerangnya, karena kalau terjadi hal demikian, tentu ia dan dua orang kawannya tidak akan dapat melawan dan tentu mereka akan dikeroyok dan diganyang sampai habis oleh tikus-tikus itu. Mengerikan! Syukur bahwa tidak ada seekorpun yang berani menyerang padahal begitu Yap-lojin dan muridnya muncul, semua tikus berobah ganas dan menyerang dengan buas dan berani. Mengapa demikian? Dalam kepeningannya, sambil duduk bersandar dinding terowongan itu Pek Lian merenung. Apakah karena mereka bertiga itu wanita maka tikus-tikus ini tidak berani menyerang? Ah, mustahil! Bukankah ketika pertama kali ia bertemu tikus-tikus itu bersama Siok Eng, iapun dikejar-kejar?

   Kenapa sekarang ah, kenapa ia lupa? Bukankah ia dan Siok Eng membawa bubuk putih yang mereka bungkus dengan saputangan itu? Bukankah bubuk putih itu merupakan racun anti tikus? Benar! Itulah sebabnya dan agaknya Siok Eng yang demikian gagahnya akan tetapi demikian takutnya terhadap tikus sampai lupa pula akan hal itu saking jijiknya menghadapi ribuan ekor tikus. Kesadaran akan hal ini membangkitkan semangat Pek Lian dan iapun membuka matanya. Dilihatnya kedua temannya sudah terduduk dengan lemas pula, dikanan kirinya. Ketika ia melihat kedepan, ternyata guru dan murid yang lihai itu masih mengamuk, akan tetapi mereka berdua sudah kepayahan, terhuyung-huyung dan mepet kedinding terowongan. Tenaga pukulan mereka tidaklah sedahsyat semula. Agaknya mereka mulai kehabisan tenaga atau keracunan oleh bau yang amat busuk itu.

   Pakaian guru dan murid itu yang terbuat dari sutera putih, yang semula indah dan bersih, kini sudah koyak-koyak dan berlepotan darah. Didepan kedua orang ini bertumpuk bangkai tikus dan daging-daging tikus yang hancur berserakan. Baunya amat menjijikkan dan penglihatan itu sungguh amat mengerikan. Tikus-tikus itu masih terus menyerbu, tiada habis-habisnya dan jauh dibelakang mereka nampak kakek-kakek yang menjadi pawang-pawang mereka itu memegang cambuk, mendorong anak-buah mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Tikus-tikus itu mundur setiap kali dua orang guru dan murid memukul, akan tetapi apabila mereka berdua diam, mereka menyerbu. Ada beberapa ekor telah bergantung dipakaian guru dan murid itu, mati akan tetapi mereka masih mengait pada celana. Mengerikan! Dengan tubuh lemah Pek Lian lalu mengeluarkan bungkusan bubuk putih itu sambil berbisik kepada Siok Eng,

   "Eng-moi kita lupa tidak mempergunakan bubuk anti tikus kita " Siok Eng membuka matanya. Karena sinkangnya jauh lebih kuat dibandingkan dengan Pek Lian, maka iapun cepat dapat menguasai dirinya.

   "Aih, benar, enci!" Dan iapun cepat mengeluarkan saputangan yang membungkus obat putih itu. Dengan penuh harapan mereka lalu mengambil sejumput bubuk putih dan menyebarkannya kearah tikus-tikus yang mengurung guru dan murid itu. Dan begitu bubuk putih itu disebarkan, tikus-tikus yang berada didekat bubuk putih itu mencicit ketakutan dan cepat pergi menjauh. Hal ini menggembirakan hati dua orang dara itu yang cepat berjalan sambil menyebarkan bubuk putih, membuka jalan kearah Yap-lojin dan muridnya. Bwee Hong juga sudah bangkit berdiri dan memandang dengan girang. Ia tahu apa artinya bubuk putih itu.

   "Lo-cianpwe, marilah mendekat kesini!" kata Pek Lian. Yap-lojin dan Kiong Lee juga merasa girang sekali. Melihat jalan terbuka, mereka berdua lalu berloncatan mendekat dan bersatu dengan tiga orang gadis itu didalam ruangan, sedangkan tikus-tikus itu mengurung agak jauh, tidak berani mendekat lagi dan mereka itu gelisah karena disatu pihak, para pawang mereka membujuk mereka untuk maju, akan tetapi bubuk putih itu membuat mereka ketakutan dan memaksa mereka untuk mundur menjauh. Pek Lian berangkulan dengan Bwee Hong. baru sekarang mereka, dalam keadaan sama-sama lemas, mendapat kesempatan untuk berdekatan.

   "Enci Hong, akhirnya kita dapat berkumpul dan sama-sama menempuh segala bahaya lagi!" kata Pek Lian sambil mencium pipi yang kemerahan dan halus itu dengan hidungnya. Bwee Hong membalas ciuman itu dan kedua pipinya menjadi semakin merah karena Pek Lian bersikap sedemikian terbuka, padahal disitu ada Yap-lojin dan terutama sekali Yap Kiong Lee.

   "Ah, adik Lian. Sungguh aku berterimakasih kepada Thian yang telah mempertemukan kita kembali, dan sekali ini engkau kembali telah menolongku dengan bubuk putihmu yang mujijat itu!"

   "Hi-hik, bubuk ini adalah milik mereka," katanya sambil memandang kearah para pawang.

   "Untung adik Eng yang memperingatkan sehingga kami berdua membawanya dengan saputangan."

   "Kita harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum hawa beracun ini membuat kita semua pingsan," Yap-lojin berkata.

   "Hawa beracun ini lebih berbahaya dari pada tikus-tikus itu sendiri."

   "Ke mana kita harus pergi? Lorong-lorong disini penuh rahasia dan tikus-tikus itu" Kiong Lee mengeluh. Sementara itu, para pawang sudah memberi perintah kepada tikus-tikus itu dengan bermacam gerakan, suara dan ledakan cambuk. Dan tiba-tiba terdengar suara berdesis-desis dan beberapa macam tikus jenis tertentu mengeluarkan semburan yang mengeluarkan bau yang luar biasa kerasnya, membuat ruangan itu penuh dengan hawa beracun! Lima orang itu merasakan ini dan kepeningan menyerang mereka, membuat mereka terhuyung-huyung.

   "Mari kita pergi" Yap-lojin memimpin kelompok itu meninggalkan ruangan setelah dia menerima saputangan berisi obat bubuk putih dari Pek Lian, sedangkan Kiong Lee juga menerima saputangan berisi bubuk putih itu dari Siok Eng lalu dia berjalan dibelakang.

   Dengan senjata bubuk putih ini, mereka dapat keluar dari tempat itu. Akan tetapi keadaan mereka sudah payah, terutama sekali Pek Lian yang paling lemah sinkangnya. Kepalanya terasa pening dan ia terpaksa dipapah oleh Bwee Hong dan Siok Eng yang lebih kuat sinkang mereka. Mereka semua merasa khawatir sekali. Biarpun untuk sementara waktu, berkat khasiat bubuk putih, mereka terhindar dari maut karena tikus-tikus itu takut menyerang mereka, namun keadaan mereka begini lemah dan kalau sampai tuan rumah, Si Tikus Beracun, turun tangan, bagaimana mereka akan mampu bertahan? Pada saat yang amat gawat itu, Siok Eng teringat akan botol berisi cairan kuning yang diambilnya dari dalam kamar merah, botol yang ada tulisannya bahwa cairan kuning itu adalah obat penawar segala macam racun!

   Ia tadi sedang kebingungan, karena biarpun Tai-bong-pai merupakan perkumpulan para ahli racun, namun diantara obat-obat penawar racun yang dibawanya sebagai bekal tidak terdapat obat untuk melawan hawa beracun seperti yang dikeluarkan oleh tikus-tikus itu. Kini ia teringat akan obat dalam botol yang diperolehnya dikamar Tikus Beracun, maka dikeluarkanlah obat itu. Setelah diperiksanya, sebagai seorang ahli ia tahu bahwa obat itu dapat dipergunakan dengan cara meminumnya, atau menciumnya atau mengoleskannya. Memang benar obat penawar segala macam racun. Iapun mencobanya dan menciumnya dan seketika peningnya lenyap ketika ia mencium bau yang agak harum itu,

   "Ah, inilah obat penawarnya. Harap kalian mencium dan menyedotnya secara bergilir," katanya. Empat orang yang lain itu menjadi girang dan cepat menyedot dari botol cairan kuning itu dan memang mujarab bukan main. Mereka sembuh dan merasa tubuh mereka segar kembali. Akan tetapi, tiba-tiba Pek Lian jatuh terkulai.

   "Celaka" keluhnya "obat bius" dan dara inipun sudah jatuh pingsan! Siok Eng dan Bwee Hong terkejut, apa lagi ketika mereka berduapun tiba-tiba merasa lemas seperti dilolosi semua urat dalam tubuh. Mereka mencoba mempertahankan diri, namun terhuyung dan akhirnya jatuh pingsan pula! Terdengar suara pecut meledak-ledak dan delapan orang pawang tikus telah mengurung dan menyerang dengan cambuk-cambuk mereka.

   Yap-lojin dan Yap Kiong Lee juga merasa betapa kelemahan menyelubungi diri mereka, namun dengan pengerahan sinkang dan kemauan membaja, mereka berdua masih dapat melakukan perlawanan dan dengan pukulan-pukulan sakti, mereka berdua masih dapat menahan delapan orang itu sehingga mereka tidak berani terlalu mendekat, hanya mengandalkan cambuk-cambuk panjang mereka untuk menyerang dari jarak jauh. Akan tetapi, betapapun mereka mengerahkan tenaga mengamuk, dari dalam ada suatu daya melumpuhkan membuat guru dan murid itu menjadi bulan-bulanan patukan dan gigitan ujung cambuk delapan orang anak-buah Tikus Beracun itu. Ketika Kiong Lee terhuyung kekiri, dia disambut oleh pukulan beracun pawang tikus putih, sebuah pukulan keras yang menyambut dadanya.

   "Bukkk!!" Kiong Lee mengeluh dan terpental, kemudian terbanting kedinding ruangan itu dan jatuh terkapar dekat tubuh tiga orang dara yang sudah pingsan terlebih dulu. Pemuda ini tidak bergerak lagi. Tentu saja Yap-lojin merasa terkejut dan khawatir bukan main. Dia tidak tahu apakah muridnya tewas atau hanya pingsan oleh pukulan yang keras tadi. Dia mengamuk dan mengerahkan sinkangnya, namun tenaganya semakin lemah dan diapun terhuyung-huyung.

   "Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya sekian sajakah kelihaian Yap-lojin yang terkenal sebagai keturunan datuk utara Sin-kun butek itu? Ha-ha-ha, tidak berapa hebat! Baru kau tahu sekarang betapa lihainya para jago dari Ban-kwi-to, ha-ha!" Ini adalah suara Tikus Beracun dan dia sudah berdiri disitu bersama puteranya si Tikus Langit Kecil yang berdiri dengan sikap angkuh.

   Yap-lojin berhenti memandang dan kepalanya terasa semakin pening. Matanya menjadi kabur dan musuh-musuhnya hanya kelihatan samar-samar saja. Akan tetapi, kakek yang gagah perkasa ini tidak mau menyerah begitu saja, sedikitpun dia tidak menjadi gentar. Nyawa empat orang muda yang sudah roboh entah pingsan entah tewas itu, kalau masih ada, terletak dalam tangannya. Kalau dia jatuh, mereka semua tidak akan tertolong lagi. Dia sendiri sudah lemah bahkan untuk berdiri tegakpun sudah sukar, namun dia tidak memperlihatkan kelemahannya.

   "Hemm, kalian majulah semua!" bentaknya.

   "Tar-tar-tar-tarr!" Delapan orang pawang itu tetap tidak berani mendekatinya karena dari kedua tangannya keluar hawa pukulan yang masih ampuh.

   "Minggirlah kalian!" tiba-tiba Siauw-thian-ci membentak.

   "Biar kuhadapi tua bangka ini!" Sikap Siauw-thian-ci angkuh dan sombong karena memang matanya yang kecil sipit akan tetapi tajam itu sudah dapat melihat bahwa kakek itu sudah kehilangan tenaga saktinya dan gerakannya sudah kacau dan lemah. Kalau tidak melihat demikian, mana dia berani omong besar? Tadi dia sudah menyaksikan sendiri kehebatan ketua Thian-kiam-pang ini.

   Bahkan ayahnya sendiri tidak mampu melawan dan mengalahkannya. Melihat kelemahan kakek itu, Siauw-thian-ci dengan sikap sombongnya, untuk pamer kepada anak-buahnya, melepaskan cambuknya dan maju menyerang Yap-lojin dengan tangan kosong! Melihat ini, biarpun dia sudah lemah dan terancam, Yap-lojin tidak mau mencabut pedangnya. Kalau tadi dia tidak mencabut pedang ketika dikeroyok delapan, adalah karena untuk menghadapi cambuk-cambuk lemas itu lebih baik menggunakan kedua tangan, sekarang dia tidak mungkin dapat menggunakan pedang melihat betapa penyerangnya hanya bertangan kosong saja. Siauw-thian-ci menubruk kedepan dan mengirim pukulan kilat kearah dada Yap-lojin. kakek ini mengenal pukulan berat, maka diapun cepat menangkis karena untuk mengelak, dia sudah kurang gesit dan pandang matanya sudah kabur.

   "Dukk!" Benturan kedua lengan yang keras itu membuat tubuh Yap-lojin terhuyung dan sebelum dia mampu menguasai dirinya, Siauwthian-ci sudah menerjang lagi dengan tendangannya yang mengenai pinggang lawan.

   

Naga Beracun Eps 32 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 7 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16

Cari Blog Ini