Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 25


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 25




   "Kim-ji, katakan saja, engkau hendak ikut ayahmu pulang ataukah engkau akan tinggal bersama dia selamanya? Jawab!" Yap Kim kebingungan. Selama dia berkelana bersama Kelabang Hijau, dia merasakan kehidupan yang lain. Dia merasa bebas dan tidak ada ikatan apapun, tidak ada penghalang-penghalang berupa peraturan-peraturan dan pantangan-pantangan, hidup bebas seperti burung diudara, melakukan apa saja yang dibisikkan oleh hatinya, bicara apa saja yang dikehendaki hatinya. Akan tetapi, sejak kecil dia digembleng oleh ayahnya untuk menjadi pendekar dan dia tahu bahwa jawabannya ini akan merupakan keputusan. Dan bagaimanapun senangnya hidup seperti ketika dia berkelana dengan kelabang Hijau, tidak mungkin dia dapat melepaskan ayahnya begitu saja.

   "Aku ikut bersama ayah," jawabnya lirih.

   "Kalau begitu, mari kita pergi dari neraka ini!" kata Yap-lojin.

   "Silahkan naik keperahu kami, Lo-cianpwe," kata Siok Eng dan semua orang naik kedalam perahu besar itu. Dayung digerakkan, layar dipasang dan perahu itu meninggalkan pantai pulau diiringi suara ketawa bergelak-gelak oleh Kelabang Hijau yang berdiri dipantai dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan dipinggang. Tak seorangpun diatas perahu itu melihat betapa kedua mata kakek pendek gendut itu menjadi basah ketika dia melihat Yap Kim ikut terbawa pergi oleh perahu itu. Perahu itu melaju dengan cepatnya. Layar terkembang penuh didorong angin. Semua orang merasa lega hatinya. Ho Pek Lian bergidik, merasa ngeri hatinya.

   "Ih, aku tidak mau lagi pergi ke pulau-pulau itu. Benar-benar mengerikan sekali! Heii, kenapa gatal amat?" Iapun menggaruk punggung tangannya dan melihat bercak-bercak putih. Teriakannya disusul oleh teriakan Siok Eng dan Bwee Hong.

   "Celaka, ini racun lebah putih itu!" seru Siok Eng.

   "Saya... saya kedinginan" kata seorang anggauta Tai-bong-pai kepada Siok Eng.

   "Saya juga, nona" kata yang kedua dan disusul oleh yang ketiga. Muka mereka pucat kehijauan dan tubuh mereka menggigil.

   "Hemm, itu tentu pukulan Si Kelabang Hijau, pukulan beracun kelabang hijau!" kata pula Siok Eng.

   "Hemm, kakiku juga terasa panas dan gatal gatal!" Kiong Lee juga berkata dan ketika dia menyingkap celananya, kakinya nampak ada totol-totol merah.

   "Gigitan semut merah!" seru Siok Eng.

   "Racunnya juga jahat sekali!" Semua orang kebingungan, akan tetapi Yap-lo-jin tetap tenang dan tiba-tiba dia bertanya kepada Pek Lian dan Siok Eng,

   "Bukankah kalian masih mempunyai obat penawar racun cairan kuning dari Ban-kwi-to itu?"

   "Aihh, benar! Kenapa kita lupakan obat itu, adik Eng?" teriak Pek Lian yang memegang lengan Siok Eng. Puteri ketua Tai-bong-pai inipun menjadi girang dan cepat mengeluarkan sisa obat cairan kuning yang diambilnya dari kamar tetok-ci itu.

   Semua orang yang keracunan diberi obat ini dan sungguh amat luar biasa sekali! Agaknya memang obat itu khusus dibuat oleh tetok-ci untuk melawan segala macam racun yang ada di Ban-kwi-to, karena begitu memakai obat ini, semua orang sembuh. Bahkan Chu Seng Kun dan A-hai juga sembuh dari kehilangan ingatan mereka, walaupun tubuh mereka, terutama Seng Kun, masih terasa lemah! Begitu keduanya diberi minum obat ini, kedua orang pemuda ini segera tertidur pulas setengah pingsan, demikian pula yang lain-lain karena kerasnya obat itu bekerja. Orang terakhir yang siuman dari pingsannya adalah A-hai dan Seng Kun Akan tetapi karena A-hai memang sudah lebih dulu linglung, maka ketika sadar diapun masih tetap lupa segala, kecuali Pek Lian dan Bwee Hong! Begitu melihat Pek Lian, dia tersenyum dan cepat bangkit berdiri, memandang dengan wajah berseri.

   "Engkau nona Pek Lian!" katanya girang. Pek Lian juga memandang dengan tersenyum manis.

   "A-hai, engkau sudah sembuh!" Akan tetapi A-hai memandang kesekeliling dan ketika dia melihat Bwee Hong, terdengar seruan heran dan kaget dikerongkongannya dan diapun melangkah maju menghampiri gadis ini, memandang bengong lalu berkata bingung,

   "Nona... nona?" Bwee Hong tersenyum, mengangguk.

   "Namaku Chu Bwee Hong."

   "Chu Bwee Hong, Chu Bwee Hong"

   A-hai berulang-ulang menyebut nama itu lirih-lirih seperti seorang anak kecil sedang menghafal tiga buah huruf baru. Semua orang memandang kepadanya dengan hati kasihan sekali, akan tetapi, sungguh Pek Lian merasa heran kepada diri sendiri mengapa sikap A-hai itu mendatangkan rasa tidak enak dihatinya! Ia merasa seolah-olah tidak diperdulikan lagi oleh A-hai dan pemuda itu kini duduk dekat Bwee Hong seperti seekor anjing yang tidak mau jauh dari majikannya! Ia merasa iri ataukah cemburu? Ia sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, ia merasa betapa hatinya tidak sedap. Seng Kun sadar paling akhir karena dialah yang paling banyak terkena racun dari Ke pulauan Ban-kwi-to. Begitu sadar dia bangkit duduk dan terheran-heran melihat semua orang berkumpul didalam perahu, merubungnya. Akan tetapi, wajahnya berseri gembira ketika dia melihat adiknya.

   "Hong-moi!"

   "Koko!" Dara yang cantik jelita itu membiarkan dirinya dirangkul oleh kakaknya.

   "Nona Ho! Dan engkau saudara A-hai! Syukurlah kalian juga selamat!" kata Seng Kun. Akan tetapi dia melihat Yap-lojin, Kiong-Lee dan juga Siok Eng. Alisnya berkerut memandang Yap-lojin dan Kiong Lee yang tak dikenalnya.

   "Koko, ini adalah Yap-Lo-cianpwe, ketua Thian-kiam-pang dan ini adalah saudara Yap Kiong Lee, putera beliau. Mereka berdua telah menyelamatkan aku dari ancaman bahaya tenggelam dilautan."

   "Ah, sungguh besar budi ji-wi yang telah menyelamatkan nyawa adikku," kata Seng Kun yang cepat-cepat menjura dengan hormat. Tentu saja Yap-lojin dan muridnya cepat membalas penghormatan itu. Pada saat itu, terdengar suara halus,

   "In-kong, kami menghaturkan selamat dan hormat." Seng Kun memandang dan dia melihat seorang gadis cantik bersama semua anak-buah perahu yang terdiri dari wanita-wanita cantik, berlutut didepannya! Seng Kun mengerutkan alisnya dan dia tidak ingat lagi kepada gadis cantik itu.

   "Koko, ia adalah Kwa Siok Eng, puteri dari ketua Tai-bong-pai yang pernah kita obati dahulu itu."

   "Ahhh!" Seng Kun teringat dan kedua mukanya menjadi merah. Dia bukan hanya merasa jengah teringat kepada dara yang hampir mati, yang diobati olehnya dan oleh ayah-bundanya yang ternyata kemudian hanyalah paman kakeknya suami-isteri, dan pengobatan itulah yang mengakibatkan matinya dua orang tua itu. Dia merasa jengah mengingat betapa gadis ini dahulu telanjang bulat didepan matanya ketika diobati, akan tetapi disamping rasa malu-malu ini, juga dia teringat akan kematian paman kakek dan isterinya itu, yang sudah dianggapnya sebagai orang tua sendiri.

   "In-kong (tuan penolong), perkenankanlah saya menghaturkan terimakasih atas pertolongan inkong dahulu, yang inkong lakukan dengan pengorbanan yang teramat besar." Seng Kun menggerakkan tangan menolak.

   "Sudahlah, nona, harap jangan memakai banyak peraturan dan sungkan-sungkan. Kita berada diantara teman sendiri dan sudah seharusnyalah kalau selagi hidup kita saling bantu-membantu." Sikap yang sederhana dan halus dari pemuda ini mendatangkan rasa kagum dalam hati Yap-lojin dan muridnya, apa lagi mengingat bahwa pemuda inilah ahli waris utama dari ilmu-ilmu sakti yang dimiliki oleh mendiang Raja Tabib Sakti! Kalau semua orang ikut terharu menyaksikan adegan ini, adalah A-hai yang bersikap tidak perduli, bahkan seperti orang bingung dia hanya duduk memandang wajah Bwee Hong yang cantik jelita itu, membuat Bwee Hong kadang-kadang tersipu malu, akan tetapi membuat hati Pek Lian merasa semakin tidak enak saja. Malam itu lewat tanpa peristiwa yang berarti. Perahu mereka melaju, cepat sekali menuju ke barat, kearah daratan besar.

   Karena lautan cukup tenang dan angin kuat, perahu mereka dapat melaju dengan amat cepatnya. Setelah berlayar sehari lagi, menjelang senja mereka sudah dapat melihat daratan besar, merupakan garis hitam dibarat. Tentu saja hati mereka merasa gembira setelah lama mereka merantau dilautan ganas dan diantara pulau-pulau yang mengerikan. Hanya dua orang yang nampak tidak gembira, yaitu Yap Kim dan Pek Lian. Agaknya pemuda putera tunggal ketua Thian-kiam-pang itu merasa kehilangan kebebas-annya setelah dia kembali ke "Dunia sopan" dimana dia terikat oleh peraturan-peraturan, tidak seperti ketika dia berada didunianya Si Kelabang Hijau yang serba bebas. Sedangkan Pek Lian merasa gelisah memikirkan ayahnya yang juga belum dapat ditemukan, walaupun ia telah berkumpul kembali dengan Seng Kun dan Bwee Hong.

   "Heiiii! Perahu besar didepan!" Tiba-tiba terdengar teriakan wanita penjaga diatas. Semua orang keluar dari bilik dan memandang kedepan. Benar saja, remang-remang nampak sebuah perahu besar didepan, bahkan kini perahu besar itu mulai menyalakan lampu lampunya yang cuku banyak.

   "Eh, itu perahu Mongol yang dipimpin orang-orang bermuka merah dan berambut putih itu!" Tiba-tiba Pek Lian berseru.

   "Benar sekali, adik Lian!" seru Bwee Hong.

   "Dimana engkau mendengar suara ayahmu itu, nona Ho?" tanya Seng Kun dengan hati tertarik. Dia sudah mendengar dari Pek Lian dan Bwee Hong tentang pengalaman mereka ketika berpisah darinya.

   "Kalau begitu, kita harus menolong Menteri Ho!" kata Yap-lojin yang juga berjiwa gagah dan sudah lama kagum kepada Menteri itu. Sejak dahulu dia memang tidak suka kepada keluarga Kaisar, dan inilah sebabnya mengapa dia sampai cekcok dengan isterinya karena isterinya, bibi dari Kaisar, mengajaknya menghambakan diri kepada Kaisar. Sejak dahulu Yap-lojin berpihak kepada para pendekar dan orang gagah yang menentang kelaliman, maka kini mendengar bahwa mungkin Menteri Ho yang dikaguminya itu tertawan musuh dan berada diperahu besar didepan, timbul semangatnya untuk menolong Menteri itu.

   "Kita kejar perahu didepan!" katanya penuh semangat dan sikapnya ini tentu saja menggirangkan hati Seng Kun, Bwee Hong, dan Pek Lian yang memang bertugas untuk menyelamatkan Menteri Ho. Layar cadangan dipasang dan perahu melaju cepat menyusul perahu besar didepan.

   "Ayah, aku mendengar bahwa orang-orang dari utara itu bukan orang Mongol asli dan mereka adalah ahli-ahli dilautan. Kulihat perahu besar itu tentu kuat sekali dan banyak anak-buahnya. Perahu kecil kita dengan tenaga kita yang sedikit ini mana dapat menang? Pula, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain dan menanam permusuhan dengan mereka?" Yap Kim berkata. Mendengar ucapan putera kandungnya ini, sepasang mata Yap-lojin melotot.

   "Apakah engkau tidak tahu siapa adanya Menteri Ho itu? Dia adalah seorang patriot besar, seorang Menteri yang setia dan bersih, jujur, berani menentang kelaliman Kaisar dan pembela rakyat jelata. Dan kau bilang mencampuri urusan orang lain kalau kita kini hendak menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya yang menawannya? Sungguh ucapan yang tolol sekali. Tolol!" Yap Kini menarik napas panjang.

   "Maaf, ayah. Bukan maksudku untuk bersikap pengecut dan tentu aku akan membantu ayah dengan taruhan nyawa. Hanya kupikir, bodoh sekali dan sama sekali bukan gagah kalau nekat menyerbu lawan yang jauh lebih kuat. Dan agaknya didunia ini terlalu banyak terjadi permusuhan karena pencampur-tanganan pihak ketiga." Sang ayah tidak membantah lagi walaupun amat marah karena ketika itu, perahu mereka telah berdekatan dengan perahu besar didepan yang agaknya juga memperlambat pelayaran dan menanti mereka. Dan tiba-tiba saja, para perajurit diatas perahu besar itu bersorak-sorak dan menghujankan anak panah kearah perahu para pendekar!

   Bukan anak panah biasa, melainkan anak panah yang membawa api! Jarak mereka sudah terlam-pau dekat untuk serangan anak panah, akan tetapi masih terlampau jauh untuk meloncat dan menyerbu, maka para pendekar sibuk menangkis anak panah yang datang seperti hujan itu. Melihat A-hai sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis, Bwee Hong sudah memutar pedangnya melindungi pemuda ini yang kelihatan ketakutan dan bingung. Para anak-buah perahu sibuk memadamkan kebakaran-kebakaran yang diakibatkan anak panah api itu, dan karena kesibukan ini, maka beberapa orang diantara mereka roboh terkena anak panah. Keadaan menjadi kalut, apa lagi ketika kebakaran makin menghebat dan layar sudah termakan api, juga tiang layar dan perahu itupun mulai terbakar!

   Sukar meloncat keperahu musuh yang memang sengaja menjauh itu, maka tiada pilihan lain, para pendekar itu berloncatan keair yang gelap! Pek Lian gelagapan. Didalam hatin ya ia mengeluh. Kenapa ia harus terlempar keair lautan lagi? Apakah sudah menjadi nasibnya untuk mati dilautan? Ia menggerakkan kaki tangannya berusaha berenang kearah perahu besar dimana diduga ayahnya berada. Ia ingin naik keperahu besar itu dan mengamuk, kalau perlu mati demi membela ayahnya. Akan tetapi, perahu besar itu setelah melihat perahu kecil terbakar, lalu cepat menjauhkan diri dan terdengar sorak-sorai para perajurit itu yang merasa memperoleh kemenangan besar. Pek Lian tidak mampu mengejar perahu itu dan ia hampir kehabisan tenaga dipermainkan gelombang. Tiba-tiba terdengar seruan,

   "Adik Lian, kesinilah!" Remang-remang dilihatnya Bwee Hong dan dua orang lain diatas atap perahu mereka. Atap ini masih utuh, akan tetapi perahunya entah lenyap kemana, juga entah kemana perginya orang-orang lain. Pek Lian mengerahkan sisa tenaganya dan akhirnya terengah-engah ia berhasil mencapai atap perahu itu dan dibantu oleh Bwee Hong dan dua orang itu yang ternyata adalah Seng Kun dan A-hai, iapun naik dan terkapar diatas papan dalam keadaan setengah pingsan.

   "Nona Pek Lian! Nona Pek Lian!!" Suara itu terdengar sayup-sayup, seperti panggilan orang dari jauh, dan ia mengenal benar suara itu, karena selama ini, suara itu hampir selalu terngiang didalam telinganya. Suara A-hai!

   Pek Lian merasa seolah-olah ia terbawa oleh air, hanyut diatas perahu kecil, makin jauh meninggalkan A-hai yang juga berada diatas perahu lain dengan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Bwee Hong! Dan A-hai memanggil-manggilnya. Ah, betapa ingin hatinya menjawab panggilan itu, dan betapa inginnya untuk dekat dengan pemuda yang sejak semula telah menimbulkan rasa iba dan suka bercampur kagum didalam hatinya. Akan tetapi, kini A-hai bersama dengan Bwee Hong dalam sebuah perahu dan ia tahu betapa akrab hubungan antara mereka. Ia tidak ingin menjadi penghalang, tidak ingin menyaingi Bwee Hong! Maka iapun tidak menjawab dan membiarkan perahunya hanyut makin jauh meninggalkan A-hai. Hatinya seperti ditusuk rasanya dan tak tertahankan lagi, iapun menangis terisak-isak! Padahal, tidak mudah bagi pendekar wanita ini untuk menangis!

   "Nona Pek Lian!" Kembali terdengar seruan A-hai, sekali ini suaranya terdengar amat dekat.

   "Adik Lian, engkau kenapakah?" Tiba-tiba terdengar suara Bwee Hong, juga dekat sekali. Pek Lian membuka kedua matanya dan melihat betapa A-hai dan Bwee Hong berlutut didekatnya, mengguncang-guncang tubuhnya yang basah kuyup dan kedinginan itu. Ia masih terpengaruh mimpi tadi, mengira bahwa mereka berdua berhasil mengejarnya dan kini berada diatas perahunya dan berusaha menghiburnya. Keramahan mereka bahkan menambah perih pada luka dihatinya, maka iapun menggerakkan kedua lengannya menolak dengan halus dan berkata dengan nada suara sedih,

   "Biarkan aku-sendiri... ah, biarkan aku sendiri dalam kemalanganku... huhuhuuhhh" Dan iapun terisak menangis karena ia segera teringat akan ayahnya dan merasa betapa sengsara hidupnya. Seng Kun memberi isyarat kepada adiknya dan A-hai untuk membiarkan dara itu menangis. pemuda ini dapat menduga apa yang menyebabkan Pek Lian berduka, tentu karena teringat akan ayahnya, pikirnya. Tentu saja dia tidak dapat menduga lebih mendalam dari pada itu. Setelah tangis Pek Lian agak mereda, diapun menghibur.

   "Nona Ho, harap engkau dapat menenangkan hatimu. Bagaimanapun juga, aku tidak akan berhenti berusaha untuk menemukan kembali ayahmu. Hal itu merupakan tugasku, perintah dari Sribaginda Kaisar sendiri." Pek Lian sadar akan kelemahannya. Iapun bangkit duduk, menyusut air matanya, memandang dengan sinar mata bersyukur kepada Chu Seng Kun dan menarik napas panjang.

   "Harap kalian maafkan kelemahanku tadi," katanya kepada Bwee Hong, sedangkan A-hai diam saja, memandang bingung karena dia tidak mengerti urusan. Perahu istimewa mereka itu dipermainkan gelombang samudera dan karena mereka berempat tidak berdaya, merekapun hanya dapat menyerahkan nasib mereka kepada lautan luas. Mereka mencari-cari, namun tidak pernah dapat melihat tanda-tanda tentang teman-teman mpreka yang lain. Tidak ada bayangan seorangpun diantara teman-teman uriereka. Padahal mereka begitu banyak. Kwa Siok Eng dengan anak-buahnya, Yap-lojin, Yap Kiong Lee dan Yap Kim. Apakah mereka semua itu telah menjadi korban dan ditelan lautan?

   "Mudah-mudahan saja mereka dapat tertolong, seperti juga kita," kata Seng Kun menghibur hati Pek Lian dan Bwee Hong yang merasa gelisah dan berduka kalau membayangkan malapetaka menimpa teman-teman mereka itu. Akan tetapi, pada keesokan harinya, begitu matahari terbit, mereka bergembira sekali melihat daratan begitu dekatnya! Daratan besar! Perahu mereka yang dipermainkan gelombang itu ternyata telah dihanyutkan oleh gelombang menuju pantai. Seperti pulih kembali tenaga mereka dan dengan wajah cerah mereka mendayung perahu yang sesungguhnya bukan perahu melainkan atap perahu itu, mendekat tepi. Mereka hanya menggunakan tangan saja untuk mendayung, akan tetapi karena mereka adalah pendekar-pendekar yang memiliki kekuatan hebat, mereka berhasil juga mendayung perahu atap itu sampai kandas kepasir.

   Mereka berlompatan dan dengan pakaian basah kuyup mereka tiba didaratan. Chu Seng Kun dan A-hai masih lemah walaupun mereka sudah sembuh. Agaknya, pemuda sinting itu pada dasarnya memiliki tubuh luar biasa yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan Seng Kun, karena tubuhnya tidaklah selemas Seng Kun yang benar-benar harus banyak istirahat untuk memulihkan kembali tenaganya. Mereka berempat duduk ditepi pantai ketika tiba-tiba hidung mereka mencium bau harum dupa! Cuping hidung mereka kembang-kempis dan mereka menoleh kekanan kiri. Pantai lautan itu sunyi dan tidak nampak adanya manusia lain, namun jelas bahwa yang tercium oleh miereka itu adalah bau dupa harum. Pek Lian dan Bwee Hong saling pandang dan berbareng mereka berbisik,

   "Dupa harum kaum Tai-bong-pai!"

   "Adik Siok Eng selamat!" kata Pek Lian girang karena mengira bahwa tentu dara puteri ketua Tai-bong-pai itu yang mengeluarkan bau dupa harum seperti ini. Akan tetapi, mereka berempat memandang dengan curiga dan khawatir ketika muncul belasan orang laki-laki kasar yang dipimpin oleh seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berperawakan kurus. Orang ini juga kelihatan kasar dan menyeramkan. Pakaiannya serba putih, rambutnya awut-awutan dan kaku, mukanya seperti muka mayat saja, pucat dan jarang bergerak. Wajah itu sebetulnya tampan, akan tetapi karena pucat dan tak bergerak seperti mayat, maka menyeramkan sekali. Begitu tiba disitu, belasan orang itu segera mengurung dan bau hio semakin keras. Empat orang itu bangkit berdiri dan Pek Lian cepat menjura kearah pemuda yang seperti mayat itu.

   "Kami adalah sahabat-sahabat dari adik Kwa Siok Eng. Dimanakah dia? Apakah ia selamat?" Akan tetapi, pertanyaan ini agaknya membuat belasan orang itu marah-marah. Mereka mengepal tinju dan memandang dengan sikap mengancam. Pek Lian tidak tahu bahwa pertanyaan keselamatan merupakan pantangan bagi para anggauta Tai-bong-pai! Mereka itu menganggap diri mereka sebagai keluarga kuburan, sebagai orang-orang yang telah mati, maka pertanyaan tentang keselamatan itu seperti ejekan atau penghinaan saja bagi mereka! Pemuda pucat itupun marah-marah dan tanpa banyak cakap dia sudah mengeluarkan tongkatnya dan menyerang Pek Lian.

   "Eh, eh gila!" Pek Lian cepat mengelak, akan tetapi sambaran tongkat itu lihai bukan main seolah-olah tongkat itu bernyawa dan terus mengikuti kemana ia mengelak, sampai Pek Lian terpaksa bergulingan menyelamatkan diri.

   "Manusia jahat!" Bwee Hong membentak sambil menotok dari belakang kearah punggung pemuda miuka pucat itu. Akan tetapi, biarpun totokan yang dilakukan oleh Bwee Hong itu bukan sembarang totokan melainkan ilmu keturunan dari Si Tabib Sakti, ternyata pemuda itu mampu mengelak dengan cekatan! Diam-diam Bwee Hong terkejut juga, dan maklumlah dara perkasa ini bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Pek Lian dapat bernapas lega karena serangan bertubi-tubi tadi tidak dilanjutkan dan kini pemuda mengerikan itu telah ditandingi oleh Bwee Hong yang jauh lebih lihai dari padanya. Akan tetapi ia sendiripun tidak dapat tinggal enak-enakan karena belasan orang sudah mengeroyoknya dengan sengit.

   Kiranya para anggauta Tai-bong-pai itu membencinya karena pertanyaan keselamatan tadi! Tentu saja Pek Lian melawan mati-matian dan untung baginya bahwa tingkat kepandaian para anggauta Tai-bong-pai ini tidaklah sehebat pemuda muka pucat itu. Biarpun demikian, repot jugalah ia karena dikeroyok oleh belasan orang kasar dan ia sendiri bertangan kosong. Pedangnya telah hilang ketika ia terlempar kelautan. Keadaan Bwee Hong sama buruknya dengan Pek Lian. Ternyata pemuda kurus pucat itu lihai bukan main! Dan makin kagetlah hati Bwee Hong ketika melihat betapa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu yang mujijat dari Tai-bong-pai, ilmu-ilmu yang pernah didengarnya. Begitu sebuah pukulan menyerempet lengannya, ia melihat lengan bajunya menjadi merah dan ternyata darah telah keluar dari lubang pori-pori kulit lengannya!

   Tahulah ia bahwa itu adalah ilmu mengerikan dari Tai-bong-pai yang disebut Pukulan Penghisap Darah! Dan tenaga pemuda kurus itu sungguh membuatnya pening, karena tenaga sinkang yang amat kuat itu mengeluarkan bau asap hio wangi! Selain Tenaga Sakti Asap Hio ini, yang membuat keringat pemuda itu berbau dupa, juga ilmu silatnya aneh dan mengerikan. Tentu itulah yang dina-makan Ilmu Silat Mayat Hidup karena kadang-kadang gerakan pemuda itu kaku seperti mayat hidup. Hanya dengan kelebihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sajalah maka sampai sekian lamanya Bwee Hong masih mampu mempertahankan diri dan tidak sampai terkena pukulan-pukulan ampuh itu. Entah mana yang lebih berbahaya, sinar tongkat yang menyambar-nyambar itu ataukah cengke-raman tangan kiri itu.

   "Jangan berkelahi... ah, jangan berkelahi...!" A-hai berteriak-teriak kebingungan, mengangkat kedua tangan keatas dan lari kesana kesini.

   Dengan matanya yang bersinar tajam, Seng Kun dapat melihat bahwa adik kandungnya terancam bahaya besar. Pukulan-pukulan orang kurus pucat itu sungguh amat ampuh dan dia tahu bahwa sekali terkena pukulan itu, tentu adiknya akan terluka parah dan mungkin akan keracunan. Dia sendiri masih amat lemah, tenaganya belum pulih benar, akan tetapi tentu saja tak mungkin dia mendiamkan adiknya terancam bahaya tanpa membantu. Melihat betapa adiknya ini hanya dapat mengelak kekanan kiri mengandalkan kegesitannya, Seng Kun lalu meloncat kedepan dan membantu adiknya, mengirim pukulan yang merupakan tamparan tangan kanan kearah leher pemuda kurus pucat itu. Hebat tamparan ini dan si muka pucat terkejut, lalu diapun menggunakan lengan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga.

   "Wuuuuttt! Plakkk!!" Pertemuan dua tenaga sinkang yang kuat itu amat hebat dan seandainya keadaan Seng Kun sehat-sehat seperti biasa, belum, tentu dia kalah kuat. Akan tetapi, dia masih belum pulih benar kesehatan dan kekuatannya, maka pertemuan tenaga itu tidak dapat tertahan oleh tubuhnya yang masih lemah. Dia terdorong kebelakang dan terpelanting keatas tanah, sedangkan si muka pucat itu hanya terhuyung mundur.
(Lanjut ke Jilid 18)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 18
"Koko!" Bwee Hong menubruk kakaknya yang terengah-engah bangkit duduk itu, dan A-hai juga mendekatinya. Juga Pek Lian yang masih menghadapi pengeroyokan belasan orang anggauta Tai-bong-pai itu menengok. Perbuatan ini mencelakakan dirinya karena tahu-tahu belasan orang telah menubruknya dan betapapun ia meronta, tetap saja ia tertangkap, dan kaki tangannya dibelenggu sampai dara ini tidak mampu bergerak lagi. Sementara itu, si kurus pucat sudah menyerang lagi, tongkatnya bergerak seperti kitiran cepatnya dan menyerang ketubuh Bwee Hong. A-hai menghadang didepan, bertolak pinggang sambil berkata,

   "Eh, eh, mengapa kalian menyerang orang-orang tak berdosa?" Melihat sikap A-hai yang begitu polos, agaknya si kurus pucat itu menjadi tertegun dan malu.

   "Kami harus menawan kalian dan baru akan kami bebaskan setelah urusan kami ditempat ini selesai," katanya, seperti mayat bicara.

   "Kalau cuma begitu, kenapa tidak bicara dari tadi? Tanpa kekerasanpun, kami tidak akan melawan. Silahkan kalau mau menawan kami!" Mendengar ini, diam-diam Pek Lian, Bwee Hong dan Seng Kun tercengang. Pemuda ini sungguh penuh keanehan, kadang-kadang sikapnya begitu matang, tenang dan menguasai keadaan. Dan memang sikapnya itu membuat si pemuda kurus pucat menjadi serba salah.

   "Baiklah, kalau begitu kalian ikut bersama kami Asal tidak melawan kamipun tidak akan menggunakan kekerasan," katanya dan dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak-buahnya membebaskan Pek Lian dari belenggu. Lalu mereka berempat digiring oleh belasan orang itu kesebuah bukit yang letaknya tak jauh dari pantai itu.

   Siapakah pemuda kurus pucat yang amat lihai itu? Dia memang bukan orang sembarangan. namanya Kwa Sun Tek dan dia adalah putera dari ketua Tai-bong-pai. Kwa Siok Eng adalah adik kandungnya! Pemuda kurus ini telah mewarisi ilmu-ilmu Tai-bong-pai dari ayahnya, maka tentu saja dia lihai sekali, lebih lihai dari pada adiknya dan semuda itu dia telah dijuluki Song-bun-kwi (Setan Berkabung) yang sesuai dengan pakaiannya yang serba putih. Empat orang muda itu dibawa masuk kedalam sebuah kuil kosong yang berada di puncak bukit. Mereka dimasukkan kedalam sebuah kamar dan dijaga ketat oleh belasan orang anak-buah Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Dan ditempat itu terdapat puluhan orang anak-buahnya yang lain. Mereka kelihatan seperti sedang menunggu kedatangan tamu.

   Mengapa putera ketua Tai-bong-pai berada ditempat itu dan siapakah yang dinantikannya? Dan biarpun Pek Lian telah menyebut nama Kwa Siok Eng, adik kandungnya, mengapa pemuda kurus pucat itu seakan-akan tidak memperdulikan nama adiknya? Song-bun-kwi Kwa Sun Tek tak dapat dibandingkan dengan adiknya. Dan diapun telah menyeleweng dari pada peraturan dan kebiasaan Tai-bong-pai. Tai-bong-pai semenjak dahulu memang tersohor sebagai perkumpulan rahasia yang penuh misteri, penuh dengan keanehan, akan tetapi biarpun perkumpulan ini dapat digolongkan sebagai perkumpulan hitam atau sesat, namun Tai-bong-pai memiliki keangkuhan dan tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan orang-orang lain.

   Namun Kwa Sun Tek tak dapat mempertahankan tradisi nenek moyangnya. Dia tidak sama seperti nenek moyangnya yang selalu mempertahankan keangkuhan sebagai pimpinan suatu golongan tersendiri yang tidak tunduk kepada siapapun dan tidak bersekutu dengan siapapun, mielainkan mengandalkan kekuatan sendiri malang-melintang didunia kang-ouw. Kwa Sun Tek termasuk seorang muda yang ambisius dan diam-diam dia mengadakan persekutuan dengan golongan-golongan yang hendak mengadakan pemberontakan terhadap kerajaan! Dia mengharapkan kalau sampai pemberontakan itu berhasil, dia akan memperoleh kedudukan. Kemuliaan dalam kedudukan tinggi inilah yang diidamkannya, karena yang lain-lain, seperti kekayaan, kepandaian dan nama besar sudah dimilikinya sebagai putera ketua Tai-bong-pai.

   Setiap orang manusia didunia ini tentu pernah mengalami dorongan hasrat untuk mengejar dan memperoleh kemuliaan hidup ini. Hampir semua orang dicengkeram hasrat ini, keinginan untuk memperoleh kemuliaan hidup yang dianggapnya sebagai sumber dari pada kesenangan! Dan kemuliaan hidup ini mereka lihat bersembunyi didalam beberapa hal. Dalam kedudukan dan kehormatan. Dalam harta benda. Dalam kekuasaan. Inilah sebabnya mengapa kita semua seakan-akan berebut dan berlomba untuk memperolehnya, kalau perlu dengan cara apapun juga, dengan jegal-jegalan, dengan pukul-pukulan, dan saling gasak, saling bermusuhan dan saling bunuh. Kita selalu mementingkan tujuan sehingga muncullah cara-cara yang sesat.

   Kita seolah-olah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Padahal, yang penting adalah cara itulah. Hidup adalah cara itulah. Hidup adalah langkah-langkah pelaksanaan, yang tercakup dalam "cara" itu. Kalau caranya kotor, sudah barang tentu tujuan yang dicapainyapun kotor juga! Namun, kita sudah membutakan mata, tidak lagi memperhatikan atau menghargai cara ini, melainkan menujukan mata kita kepada tujuannya. Karena itulah, maka cara untuk mencapai tujuan itu, yang menjadi langkah-langkah dalam hidup kita, penuh dengan kepalsuan seperti sekarang ini, tidak wajar lagi karena setiap langkah hidup, setiap kelakuan dan perbuatan kita, hanya merupakan jembatan untuk dapat membawa kita kearah tujuan yang kita kejar-kejar.

   Demikian pula dengan Song-bun-kwi Kwa Sun Tek. Dia mempunyai ambisi besar, mempunyai cita-cita yang menjadi tujuannya, yaitu hidup sebagai seorang penguasa, dan untuk mencapai tujuan ini, cara apapun akan dipergunakannya. Dan dia melihat kesempatan dan harapan untuk dapat mencapai cita-citanya itu melalui persekutuan dengan pihak pemberontak yang menentang dan hendak menggulingkan Kaisar. Pada waktu itu, para pemberontak memang tengah menyusun kekuatan. Seperti telah kita ketahui, pemerintah mengerahkan pasukan-pasukan kuat yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian yang dibantu pula oleh Pek-lui-kong Tong Ciak, dan berkat kepandaian dua orang tokoh Istana ini, pasukan-pasukan para pemberontak disekitar lembah Yang-ce telah diobrak-abrik dan dihancurkan.

   Banyak yang tewas dan sisanya melarikan diri cerai berai. Pasukan-pasukan pemberontak itu adalah sebagian besar pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu, yaitu pemimpin para pemberontak yang lihai, keturunan Jenderal Chu yang amat terkenal sepanjang sejarah. Setelah pasukannya dihancurkan oleh pemerintah, Chu Siang Yu bukan mundur, sebaliknya hal ini malah mengobarkan semangat nya untuk membalas dendam. Cita-citanya setinggi langit, yaitu untuk merebut kekuasaan Kaisar! Dan untuk mencapai cita-cita ini, dia mengorbankan semua harta bendanya dan kepandaiannya, mengumpulkan orang-orang gagah, dihimpun dan dibujuk, dibakar semangat mereka sampai akhirnya dia memiliki banyak pengikut yang setia.

   Kini Chu Siang Yu mengadakan persekutuan rahasia dengan fihak mana saja yang dapat menguntungkan gerakannya. Dia merasa sakit hati karena daerahnya, yaitu Lembah Yang-ce yang subur itu direbut pemerintah. Mulailah dia memimpin anak-buahnya yang jumlahnya cukup banyak sampai melebihi selaksa orang itu untuk bergerak menggempur dari timur. Desa demi desa, sampai kota demi kota direbutnya. Gerakan itu baru berhenti ketika bala tentara kerajaan datang menyambut dan menggempurnya. Pasukan pemberontak yang dipimpin Chu Siang Yu menjadi kewalahan dan terpaksa mundur, lalu pemimpin pemberontak ini mengadakan persekutuan dengan para pembesar diwilayah timur. Sampai gubernur daerah pantai timur ditempel dan dipengaruhinya.

   Disamping ini, juga dia tidak segan-segan untuk bersekutu dengan orang-orang asing dari utara, peranakan Mongol yang memiliki pasukan yang cukup kuat. Pendeknya, untuk mencapai cita-citanya, yaitu menggulingkan kekuasaan Kaisar, cara apapun akan ditempuhnya. Maka, bersekutu dengan orang asingpun bukan merupakan sesuatu yang diharamkan. Kemudian, diapun mengajak orang-orang Tai-bong-pai bersekutu setelah melihat betapa pemuda Tai-bong-pai, Kwa Sun Tek, kelihatan berambisi besar. Pasukan Tai-bong-pai memang tidak dapat dikata besar untuk dipergu-nakan dalam perang. Akan tetapi sama sekali tidak kecil artinya mengingat bahwa pasukan itu adalah orang-orang yang ahli dalam mempergunakan racun sehingga mereka itu dapat meniadi pasukan istimewa. Juga pemuda itu lihai sekali ilmu silatnya, dapat menjadi pembantu yang amat menguntungkan

   Demikianlah, pada hari itu, didalam kuil diatas bukit dekat pantai itu akan diadakan pertemuan rahasia antara pemberontak pimpinan Chu Siang Yu yang diwakili oleh Kwa Sun Tek yang sudah mendapat kepercayaan dari pimpinan itu, lalu pasukan Mongol yang dipimpin sendiri oleh kepala mereka, seorang bertubuh raksasa yang bertenaga besar sekali, dan utusan gubernur dan para pejabat daerah. Gerakan Chu Siang Yu ini diam-diam diikuti oleh para pendekar, yaitu para pendekar penentang Kaisar karena kelalimannya, para pendekar yang bergabung dalam pasukan yang dipimpin oleh Liu Pang. Diantara para kelompok atau gerombolan pemberontak yang timbul disana-sini pada jaman itu, yang patut disebut hanyalah pasukan pimpinan Chu Siang Yu dan para pendekar pimpinan Liu Pang. Pasukan Chu Siang Yu memang lebih besar jumlahnya,

   Namun pasukan Liu Pang yang tidak berapa besar itu terdiri dari para pendekar yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi. Apa lagi, karena Liu Pang berasal dari keluarga tani sederhana dan diantara para pendekarpun dia disebut dengan sebutan sederhana, yaitu Liu-twako, maka dia memperoleh dukungan dari rakyat jelata, terutama kaum tani. Sebaliknya, Chu Siang Yu adalah keturunan ningrat dan untuk membangkitkan semangat para pengikutnya, dia menjanjikan pangkat-pangkat dan kemuliaan. Berbeda dengan Liu Pang yang didukung oleh orang-orang yang ingin "berbakti" kepada nusa dan bangsa, ingin menjadi pahlawan dan patriot. Memang banyaklah "cara" untuk menggerakkan manusia menuju kepada cita-cita. Dalam hal peperangan, caranya hanyalah kekerasan, kekejaman, saling bunuh dan memperebutkan kemenangan. Jadi, kemenangan itulah tujuannya.

   Akan tetapi tentu saja bukan tujuan terakhir karena kemenangan itu hanyalah merupakan "jembatan" saja untuk mencapai yang diidam-idamkan, yaitu kedudukan, kehormatan, kemuliaan, harta benda. Para pimpinan yang berambisi pandai sekali membangkitkan semangat rakyat dengan berbagai cara. Ada yang membangkitkannya melalui kepahlawanan, patriot atau pejuang, rela berkorban nyawa! Ada pula yang membangkitkan semangat melalui janji-janji muluk, kedudukan, kehormatan, kemuliaan atau harta benda. Apapun tujuannya, kalau caranya adalah saling bunuh dengan kejam, sudah dapat dipastikan bahwa tujuannya itupun hanya merupakan pementingan diri sendiri, pemuas kehausan nafsu sendiri belaka, mencari sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan hidup, seperti kedudukan, kemuliaan, kehormatan dan harta benda!

   Gerakan Chu Siang Yu yang membalas dendam kepada pemerintah ini, mula-mula memang didiamkan saja oleh Liu Pang. Pada waktu itu, memang kelaliman Kaisar membuat rakyat menderita. rakyat ditindas, dipaksa bekerja membuat Tembok Besar, kaum sasterawan dikejar-kejar dan dibunuh, Menteri-Menteri yang setia dan jujur dipecat dan dihukum, hukum rimba berlaku dimana-mana. Karena itu, rakyat membenci Kaisar dan pemerintahnya. Dan karena ini pula, maka melihat gerakan Chu Siang Yu, Liu Pang dan pasukannya mendiamkannya saja, menganggap bahwa memang sudah sepatutnya kalau Kaisar ditentang. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa Chu Siang Yu bersekongkol dengan pasukan asing, Liu Pang menjadi marah sekali dan mencap Chu Siang Yu sebagai seorang pengkhianat yang hendak menjual negara kepada orang asing.

   Maka bergeraklah Liu Pang, memimpin pasukan para pendekar, membantu tentara kerajaan dan menggempur pasukan asing yang bersekongkol dengan pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Karena pasukan Liu Pang merupakan pasukan istimewa yang menggiriskan, rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, maka pasukan pemerintah berhasil merebut kembali dusun dan kota yang jatuh ketangan bala tentara pemberontak Chu Siang Yu. Marahlah pimpinan pemberontak she Chu itu dan mulai saat itu, dia menganggap Liu Pang sebagai saingan dan juga musuh. Dan biarpun permusuhan diantara mereka tidak atau belum terjadi secara terbuka, namun didalam hati masing-imasing mereka itu telah menganggap masing-masing sebagai musuh dan saingan berbahaya. Akan tetapi, bantuan dari Liu Pang dan kawan-kawannya inipun tidak dapat diterima begitu saja oleh pihak pemerintah.

   Para pendekar itu terkenal sebagai orang-orang yang mendukung para sasterawan dan Menteri yang diperlakukan dengan semena-mena oleh Kaisar, dan mereka itupun dianggap sebagai pemberontak. Mereka selalu dicurigai dan hubungan antara mereka tidak akrab sama sekali. Padahal, ketika Chu Siang Yu memberontak dibantu oleh pasukan asing itu, Liu Pang benar-benar berniat membantu pemerintah. Apa lagi ketika mendengar keputusan Kaisar yang mengampuni para Menteri yang telah dipecat, hal ini menimbulkan suka dihati para pendekar. Chu Siang Yu maklum akan sikap pemerintah yang mencurigai Liu Pang, maka dimanapun juga, dia menyuruh anak-buahnya untuk menyebar fitnah dan berita-berita bohong untuk memanaskan suasana dan untuk mengadu domba antara pasukan para pendekar dengan pasukan pemerintah!

   Demikianlah keadaan pemerintah yang dirongrong oleh para pemberontak pada waktu itu dan si kurus Kwa Sun Tek bersama anak-buahnya tengah menanti datangnya para tamu penting pada hari itu. Matahari naik semakin tinggi dan hari nampak cerah. Terdengar derap kaki kuda naik kebukit itu menuju kekuil. Mereka adalah tiga orang berpakaian perwira kerajaan yang dikawal oleh sepuluh orang pasukan berkuda. Mereka ternyata adalah pasukan pengawal gubernur daerah pantai timur dan mereka datang sebagai utusan sang gubernur yang bersekongkol dengan pemberontak Chu Siang Yu. Kwa Sun Tek menyambut mereka dan setelah melihat pakaian yang gemerlapan dan bendera pengenal itu dengan seksama, dia merasa heran sekali. Setelah menyambut dengan ucapan selamat datang, dia bertanya.

   "Maaf, sam-wi ciangkun (tiga perwira), apakah tidak berbahaya dan tidak akan menimbulkan kecurigaan dan perhatian orang dengan pakaian seragam sam-wi seperti ini?" Perwira yang berkumis tebal tertawa.

   "Ah, sama sekali tidak. Bahkan kami kira lebih aman begini. Orang-orang tentu mengira bahwa kami sedang menjalankan tugas atau sedang meronda. Dan pertemuan ini adalah pertemuan penting, kami tidak ingin menjatuhkan martabat kami!" Kwa Tek Sun mengangguk-angguk dengan alis dikerutkan karena diam-diam dia merasa bahwa orang-orang pemerintah ini sungguh berpemandangan sempit dan bodoh. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani banyak mencela lagi dan mempersilahkan tamu-tamu itu duduk disebelah dalam, dimana terdapat sebuah ruangan dan disitu telah tersedia bangku-bangku untuk menerima para tamu.

   Karena pertemuan itu adalah pertemuan rahasia, maka tempat pertemuanpun seadanya dan tidak ada yang mengeluh karena hal ini. Beberapa orang anggauta Tai-bong-pai datang menghadap Kwa Sun Tek, melaporkan bahwa ada sebuah perahu besar berlabuh. Tak lama kemudian, nampak seorang raksasa tua berjenggot putih melangkah lebar menuju kekuil, diiringkan pasukan asing yang bersenjata lengkap. Itulah kepala suku yang memimpin pasukan asing peranakan Mongol itu. Setelah utusan ketiga golongan itu datang, pertemuan segera diadakan. Yang mengadakan percakapan dalam rapat rahasia itu adalah Kwa Sun Tek, tiga orang perwira, dan Malisang, yaitu kepala suku peranakan Mongol yang tinggi besar itu. Anak-buah Tai-bong-pai, pasukan pengawal gubernur, dan juga anak-buah Malisang berjaga diluar dan disekitar kuil.

   "Chu-Bengcu (pemimpin rakyat Chu) menghendaki agar gerakan di timur dimulai dari pantai ini," antara lain Kwa Sun Tek menyampaikan perintah Chu Siang Yu.

   "Di bagian barat, gerakan pasukan Chu-Bengcu telah berhasil merebut beberapa kota dan dusun."

   "Memulai gerakan mudah saja, akan tetapi kita harus melakukan penyelidikan dengan seksama akan kekuatan penjagaan disetiap daerah," kata si raksasa peranakan Mongol yang bernama Malisang itu.

   "Tentu saja dan tentang hal itu, kami percaya sam-wi ciangkun ini tentu lebih paham," kata Kwa Sun. Tek. Sebelumnya, mereka semua memang sudah sepakat untuk membagi gerakan mereka menjadi dua bagian. Bagian barat digerakkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu sendiri, sedangkan bagian timur dilakukan oleh gabungan sekutu mereka, yaitu pasukan peranakan Mongol dan pasukan gubernur dan para pejabat tinggi. Adapun pasukan Tai-bong-pai yang hanya berjumlah kecil hanya bertugas membantu sana-sini untuk tugas-tugas praktis. Perwira berkumis tebal mengangguk-angguk.

   "Hal itu sudah kami selidiki. Panglima kerajaan yang ditempatkan didaerah timur ini adalah Lai-goanswe (Jenderal Lai), bawahan Jenderal Beng Tian yang dipercaya. Dia seorang ahli perang yang pandai, juga memiliki pasukan yang terdidik dan terlatih baik. Harus diakui bahwa bukan merupakan pekerjaan ringan untuk menandingi pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Lai itu." Kwa Tek Sun berkata,

   "Chu-Bengcu juga sudah tahu akan hal itu dan karenanya beliau mengutus kami dari Tai-bong-pai untuk mencari jalan baik membantu gerakan saudara sekalian. Kami sudah mendengar berita bahwa sebagian pasukan pendekar pimpinan Liu Pang juga berada didaerah ini. Kami akan berusaha agar terjadi bentrokan antara pasukan Liu Pang dan pasukan Jenderal Lai. Kalau mereka itu bentrok sendiri, maka tugas kita untuk membuka dan memulai gerakan diti-mur ini akan menjadi lancar dan mudah." Semua orang mengangguk tanda setuju. Lalu seorang diantara tiga perwira itu berkata,

   "Akan tetapi, bagaimana hal itu dapat dilakukan? Bukankah Kaisar telah mengampuni para Menteri, bahkan akan mengembalikan kedudukan mereka dan semua itu dilakukan Kaisar untuk memberi hati kepada Liu Pang dan anak-buahnya?"

   "Memang benar demikian," jawab Kwa Sun Tek yang sebagai pembantu terpercaya dari Chu Siang Yu, agaknya mengenal baik keadaan negara pada waktu itu.

   "Karena itulah, maka Liu Pang bersikap lembut kepada Kaisar dan bahkan melakukan gerakan membantu pasukan kerajaan menentang kita. Bahkan Liu Pang agaknya telah sadar bahwa yang meniup-niupkan kebencian antara pasukannya dan pasukan pemerintah adalah pihak kita, maka dia bersikap hati-hati. Kami telah mendengar kabar bahwa dia telah mengutus wakilnya kedaerah ini untuk menghubungi Lai-goanswe dan untuk menyampaikan iktikad baiknya membantu pemerintah menghadapi pemberontakan. Selain itu, juga kabarnya dia hendak menanyakan mengapa janji Kaisar untuk mengembalikan para Menteri ketempat kedudukan masing-masing, sampai sekarang belum juga terlaksana." Kini Malisang, raksasa Mongol yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan penuh perhatian, mengangguk-angguk maklum.

   "Ah, jadi kalau begitu, Chu-Bengcu yang memerintahkan agar Menteri Ho dibawa kedaerah ini, sebenarnya ada hubungannya dengan persoalan ini?"

   "Benar demikian!" kata Kwa Sun Tek.

   "Menteri Ho dapat kita pergunakan sebagai alat untuk memecah belah diantara pihak perajurit kerajaan dan pihak anak-buah Liu Pang. Dengan demikian maka usaha Liu Pang untuk berdekatan dengan pihak pemerintah akan gagal dan itu merupakan keuntungan yang tak ternilai harganya bagi kita"

   "Eh, bagaimana caranya?" tanya perwira berkumis tebal. Biarpun diruangan itu hanya ada mereka berlima dan kuil itu dijaga oleh banyak sekali anak-buah mereka, namun sebelum menjawab orang she Kwa yang kurus itu menengok kekanan kiri lebih dulu, kemudian berbisik,

   "Mendekatlah kesini dan dengarkan baik-baik rencana yang telah diatur oleh Chu-Bengcu" Mereka lalu berbisik-bisik dengan kepala saling berdekatan.

   Empat orang muda itu, Chu Seng Kun, A-hai, Ho Pek Lian, dan Chu Bwee Hong, masih berada didalam kamar kuil dimana mereka ditahan dan kamar itu dijaga ketat oleh orang-orang Tai-bong-pai. Seng Kun hanya duduk bersila dan berusaha untuk memulihkan kesehatannya. Dia baru saja mengalami keracunan ketika bersama A-hai dia menjadi tawanan Jeng-bin Siang-kwi, dua orang wanita iblis dari Ban-kwi-to itu. Dan belum juga kesehatannya pulih, dia harus mengalami hal-hal yang berat, bahkan terlempar kelautan, dan baru saja dia terkena pukulan ampuh dan kuat dari Kwa Sun Tek. Memang tubuhnya sudah tidak keracun-an, akan tetapi masih lemah dan tenaganya belum pulih benar. Agaknya A-hai memang memiliki tubuh yang luar biasa sekali maka pengaruh racun-racun itu tidak begitu hebat terasa olehnya dan tubuhnya tidak kelihatan lemah.

   Pek Lian, seperti juga Bwee Hong dan A-hai, duduk diatas lantai kamar itu dan termenung. Dara ini diam-diam merasa gelisah sekali memikirkan ayahnya. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pada saat itu justeru nama ayahnya disebut-sebut dan menjadi bahan percakapan antara orang-orang yang sedang mengadakan rapat diruangan dalam kuil itu. Sebagai murid dari Liu Pang, dan sebagai pemimpin dari pasukan pendekar, tentu saja Ho Pek Lian juga tahu akan keadaan negara pada waktu itu. Ia tahu pula akan gerakan Chu Siang Yu yang menentang Kaisar dengan ambisi untuk merampas kedudukan. Gadis yang banyak berkecimpung dalam pergolakan negara itu dapat mengumpulkan data-data bahwa pada waktu itu, negara sedang kacau-balau dan terjadi perpecahan-perpecahan dan pemberontakan-pemberontakan akibat dari kelaliman Kaisar.

   Kaisar yang agaknya menurutkan bisikan beracun para pembantunya yang palsu, telah melakukan banyak hal yang membangkitkan kemarahan rakyat. Bukan hanya menindas rakyat dengan pekerjaan berat yang memakan banyak korban jiwa seperti pembangunan Tembok Besar, juga Kaisar telah membakar kitab-kitab kaum sasterawan, bahkan mengejar dan membunuh banyak sasterawan dan pendekar. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan dikalangan rakyat dan menimbulkan pemberontakan-pemberontakan Pek Lian mjaklum bahwa golongan gurunya adalah kaum pendekar yang menentang kelaliman Kaisar untuk membela rakyat dan mereka tidak berambisi mengejar kedudukan.

   Kalau Kaisar dapat merobah sikapnya dan rakyat tidak menderita, tentu gerakan Liu Pang ini akan berhenti pula. Golongan kedua adalah golongan pemberontak yang tadinya bermarkas di lembah Yang-ce, yaitu pemberontak yang dipimpin oleh Chu Siang Yu, pemberontakan yang berpamrih merampas kedudukan. Tentu saja selain golongan pendekar yang dipimpinnya bersama suhunya itu dan golongan pemberontak pimpinan Chu Siang Yu, juga ada golongan pemerintah sendiri yang menentang pemberontakan, yaitu bala tentara pemerintah yang memiliki banyak jenderal-jenderal yang tangguh terutama jenderal Beng Tian. Kemudian, gadis inipun melihat munculnya golongan baru yaitu golongan kaum sesat yang agaknya akan dihimpun dan dibangun oleh seorang tokoh sesat yang menyeramkan, yaitu Bit-bo-ong Si Raja Kelelawar!

   Sementara itu Bwee Hong juga duduk bersila mengumpulkan hawa murni karena bagaimanapun juga, setelah mengalami segala hal yang mengerikan di kepulauan Selaksa Setan itu dan telah beberapa kali keracunan, walaupun racun telah lenyap dari tubuhnya, namun ia perlu beristirahat dan memulihkan kekuatannya. A-hai sendiri juga duduk dilantai, dan pemuda ini dengan bengong memandang kepada Bwee Hong penuh kagum, dan kadang-kadang dia menoleh dan memandang kepada Pek Lian, alisnya berkerut seperti orang hendak mengingat-ingat namun lupa segalanya. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan muncullah pemuda kurus yang menawan mereka tadi. Kiranya rapat itu telah bubar dan para tamu telah pergi. Kwa Sun Tek menghampiri empat orang muda itu dan menjura dengan sikap hormat.

   "Harap maafkan kami bahwa terpaksa kami menahan kalian berempat disini karena kami mempunyai urusan yang sangat penting. Tak seorangpun boleh melihat atau mendengar urusan kami itu. Akan tetapi setelah sekarang urusan selesai, kalian boleh meninggalkan tempat ini." Pek Lian dan kawan-kawannya tentu saja merasa mendongkol sekali. Apa lagi mengingat bahwa mereka ini adalah orang-orang Tai-bong-pai, anak-buah Kwa Siok Eng yang mereka kenal dengan baik. Akan tetapi, mereka tidak sudi berurusan dengan orang-orang kasar ini dan didalam hati saja mereka itu berjanji akan melaporkan sikap orang-orang Tai-bong-pai ini kepada Kwa Siok Eng kelak kalau mereka berkesempatan bertemu dengan dara puteri ketua Tai-bong-pai itu. Tanpa bicara dan tanpa pamit mereka berempat lalu pergi meninggalkan kuil, menuruni bukit dan menuju kepantai kembali.

   "Heiii! Perahu besar disana itu! Bukankah itu perahu yang telah kita kenal?" Tiba-tiba Pek Lian menuding kearah lautan dimana nampak sebuah perahu besar yang baru saja berangkat berlayar.

   "Benar! Dan perahu itu baru saja berangkat dari sini!" kata Bwee Hong.

   "Hemm, ini ada sebatang anak panah dipantai Serupa benar dengan anak panah yang dipergunakan untuk menyerang perahu kita," kata Seng Kun.

   "Hemm, si kurus itu ternyata mengadakan persekutuan dengan pasukan asing. Pantas orang lain tidak boleh melihat atau mendengar pertemuan mereka disini. Sungguh mencurigakan sekali. Kita harus melaporkan hal ini kepada Jenderal Beng Tian!" Tiba-tiba terdengar suara ketawa. Empat orang muda itu terkejut dan ketika mereka yang tadinya memandang kearah perahu dilautan itu membalikkan tubuh, ternyata disitu telah berdiri si kurus bersama puluhan orang anak-buah Tai-bong-pai! Si kurus Kwa Sun Tek telah mendengar ucapan Seng Kun tadi dan kini dia tersenyum mengejek dan berkata,

   "Tepat dugaanku bahwa kalian tentu bukan orang-orang semibarangan. Tepat pula siasatku pura-pura melepaskan kalian tadi. Kiranya kalian adalah orang-orang yang menentang kami. Hemm, dari golongan manakah kalian? Anak-buah Liu-twako? Ataukah petugas kerajaan?" Pek Lian mewakili teman-temannya menjawab cepat,

   "Kami hanyalah pendekar-pendekar yang menentang kejahatan! Dan ketahuilah bahwa adik Kwa Siok Eng adalah sahabat baik kami!"

   "Hemm, adikku Siok Eng memang suka bergaul dengan golongan-golongan yang menjadi musuh kami. Anak itu masih saja tolol dan tidak pernah menjadi dewasa. Kalian adalah para pendekar? Kalau begitu berarti menjadi kaki tangan Liu Pang! Dan kalian, hendak melaporkan kepada Jenderal Beng Tian? Kalau begitu juga menjadi mata-mata pemerintah. Kami terpaksa menangkap kalian lagi!" Empat orang itu terkejut dan heran. Ternyata si kurus ini adalah kakak dari Kwa Siok Eng, akan tetapi agaknya kakak-beradik ini memiliki watak yang amat berbeda, seperti bumi dan langit.

   "Engkau iblis jahat!" Pek Lian membentak marah dan ia sudah menerjang maju menyerang Kwa Sun Tek dengan pukulan kedua tangannya bertubi-tubi. Akan tetapi, pemuda kurus itu tertawa mengejek dan dengan mudah mengelak, bahkan balasan tangannya yang mencengkeram kearah muka Pek Lian mengejutkan dara ini dan membuatnya terpaksa meloncat mundur dengan gugup. Seng Kun yang masih lemah itu juga tidak dapat membiarkan mereka ditangkap begitu saja dan diapun bersama adiknya sudah melakukan perlawanan, dikeroyok oleh Kwa Sun Tek dan puluhan orang anak-buahnya.

   "Jangan berkelahi lagi..., ah, kenapa kita harus selalu berkelahi menggunakan kekerasan?"

   A-hai berteriak-teriak marah melihat betapa orang-orang itu suka sekali berkelahi. Akan tetapi, tentu saja tidak ada yang memperdulikannya, bahkan dia sudah ditubruk dari belakang oleh dua orang lalu dibelenggu kaki tangannya. Terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Pek Lian, Bwee Hong dan Seng Kun melawan mati-matian. Biarpun Seng Kun sendiri yang paling lihai diantara mereka masih lemah namun karena mereka adalah keturunan orang-orang yang lihai, tidak mudah bagi Kwa Sun Tek untuk menangkap mereka tanpa membunuh. Maka dia lalu menggu-nakan asap harum yang mengandung obat bius dan barulah tiga orang lawan itu menjadi pening dan terhuyung-huyung, permainan mereka menjadi kacau dan dengan mudah mereka lalu ditubruk dan diringkus, kemiudian dibelenggu seperti juga A-hai.

   "Jangan bunuh mereka sekarang. Ikat mereka pada pohon-pohon. Kita mengadakan upacara hio nanti malam!" terdengar Kwa Sun Tek berkata dengan suara gembira dan para anak-buahnya juga menyambut perintah itu dengan gembira. A-hai, Seng Kun, Pek Lian dan Bwee Hong lalu diseret kedekat pohon-pohon dikaki bukit, kemudian diikat pada batang pohon-pohon itu. Seng Kun diikat pada sebatang pohon bersama adiknya, Bwee Hong, saling membelakangi, terhalang batang pohon. Pek Lian diikat pada sebatang pohon yang lebih kecil, tak jauh dari situ, demikian pula A-hai diikat pada sebatang pohon. Mereka hanya dapat saling pandang, tidak tahu apa yang akan terjadi atas diri mereka. Mereka tidak tahu apa artinya "upacara hio" yang dikatakan oleh pemuda kurus itu dan tidak berani menduga-duga.

   "Koko" Terdengar bisikan suara Bwee Hong yang ditujukan kepada kakaknya dibalik batang pohon.

   "Ya?" kakaknya menjawab. Orang-orang Tai-bong-pai berjaga-jaga agak jauh dari situ dan mereka itu agaknya sibuk dengan sesuatu bahkan ada yang dari jauh datang menggotong peti mati! Karena itu, kakak-beradik ini memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap.

   

Naga Beracun Eps 18 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 27 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 12

Cari Blog Ini