Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Kerajaan Sung 12


Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




   "Sudah tentu aku membantumu, Koko, akan tetapi aku minta dengan sangat, jangan engkau memusuhi dan mencelakakan kakak angkatku Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok."

   "Aku berjanji tidak akan memusuhi mereka, Hong-moi, tentu saja kalau mereka yang memusuhi aku, aku harus membela diri. Bukankah engkau juga akan membela aku kalau aku dimusuhi orang?"

   Li Hong hanya mengangguk, namun hatinya merasa risau sekali.

   "Sekarang, mari kita hadang rombongan Kim Bayan yang katanya telah menemukan harta karun itu! Kalau ternyata dia hendak menguasai sendiri harta itu, akan kuhukum dia!"

   Mereka lalu cepat meninggalkan tempat itu dan menuju ke arah yang ditunjuk anak buah pangeran itu yang sebetulnya terdiri dari jagoan-jagoan istana yang menyamar.

   Di sebuah antara bukit-bukit yang tersebar banyak sekali di Pegunungan Thai-san, Kim Bayan mengumpulkan para perwira pembantunya yang belasan orang banyaknya, dan pasukannya yang tidak kurang dari duaratus orang jumlahnya. Dengan para pembantunya dia mengadakan perundingan.

   "Siasat kita untuk mengadu domba di Thai-san-pai telah gagal. Dan agaknya memang Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu," kata Kim Bayan yang diam-diam mengintai ketika semua orang berkumpul di depan pintu gerbang Thai-san-pai.

   "Kita harus mencari siasat yang lebih baik untuk memancing keluar pencuri harta karun itu sehingga kita dapat merampasnya."

   Setelah berunding sampai lama akhirnya mereka menemukan siasat yang mereka anggap baik sekali untuk memancing keluar pencuri aseli harta karun yang diperebutkan itu.

   "Kita siarkan bahwa kita telah menemukan harta karun itu dan kita bawa turun gunung. Tentu mereka akan berbondong datang dan berusaha merampasnya dari kita. Kita tinggal melihat saja, kalau ada mereka yang tidak datang mencoba merampas harta karun, berarti di antara mereka itulah pencurinya. Kalau harta karun sudah ada padanya, tentu dia tidak percaya akan berita itu dan tidak akan mengganggu kita," kata Kim Bayan.

   Setelah semua setuju dan pasukan maklum akan siasat yang dimainkan pemimpin mereka, mulailah mereka menyiarkan kabar bahwa harta karun sudah ditemukan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin Panglima Kim Bayan dan bahwa pasukan akan membawa harta karun itu turun gunung!

   Kalau berita bahwa harta berada di Thai-san-pai cukup menimbulkan kekacauan, berita kedua ini lebih menggemparkan lagi. Berita pertama hanya merupakan dugaan bahwa Thai-san-pai pencurinya, tanpa adanya bukti. Akan tetapi kini Panglima Kim Bayan telah menemukan harta karun dan pasukannya sedang membawa harta karun itu turun gunung! Berarti sekarang ada buktinya dan tentu saja semua orang yang mencari harta karun itu menjadi gempar dan berbondong-bondong mereka hendak melihat sendiri dan kalau mungkin merampasnya!

   Setelah mempersiapkan segalanya, pada suatu pagi, rombongan pasukan yang dipimpin Panglima Kim Bayan menuruni gunung mengawal sebuah gerobak dorong di mana terdapat dua buah peti besar. Melihat betapa beberapa orang perajurit mendorong kereta itu dengan sukar, bahkan ada yang membantu dengan menariknya dari depan, maka dapat diketahui bahwa dua buah peti hitam itu tentu berat sekali.

   Kim Bayan dan dua belas orang perwira pembantunya menunggang kuda berada di depan, diiringkan dua losin perajurit berkuda. Di bagian terbelakang ada dua losin perajurit berkuda lagi yang dipimpin seorang perwira. Puluhan orang perajurit yang lain berjalan kaki. Kereta atau gerobak dorong itu berada di tengah, dijaga ketat!

   Dalam perjalanan menuruni gunung yang hanya dapat dilakukan secara lambat ini, rombongan itu beberapa kali mendapat gangguan mereka yang mencoba untuk merampas peti. Akan tetapi pengganggu itu dengan mudah dipukul mundur oleh Kim Bayan dan para perwiranya, ada yang tewas dan yang lainnya melarikan diri.

   Diam-diam Kim Bayan mencatat mereka yang telah berusaha merampas peti sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencuri harta karun. Mereka yang telah mencuri dan memiliki harta karun itu pasti tidak akan mau mencoba merebut peti itu dan dapat menduga bahwa peti itu kosong. Hanya yang belum mendapatkan harta karun sajalah yang akan mencoba untuk merebut peti yang dibawanya turun gunung. Dia tinggal memperhatikan dan mencatat saja siapa-siapa yang tidak muncul untuk merampas peti. Merekalah atau seorang di antara mereka yang menjadi pencurinya!

   Makin ke bawah, semakin banyak orang yang berusaha merampas peti-peti di atas gerobak itu. Bahkan mulai bermunculan para datuk dan perkumpulan besar.

   Yang pertama muncul adalah Ang-tung Kai-pang yang dipimpin sendiri oleh Kui-tung Sin-kai. Mereka terdiri dari sekitar tujuhpuluh orang dan mereka menghadang di bagian lereng yang terbuka dan landai, merupakan padang rumput yang luas. Kedua rombongan itu berhadapan dan Panglima Kim Bayan membentak nyaring.

   "Hei! Kalian ini rombongan pengemis mau apa menghadang pasukan kami?"

   Kui-tung Sin-kai melangkah maju menghadapi Kim Bayan dan dia berkata dengan suara tidak kalah nyaringnya.

   "Panglima Kim Bayan, tinggalkan peti harta karun itu, baru engkau dan pasukanmu boleh melanjutkan perjalanan turun gunung!"

   "Setan busuk! Pengemis kotor! Berani engkau hendak merampas harta milik kerajaan?"

   "Bukan kami yang merampok, melainkan engkau, Panglima Kim! Harta karun itu yang berhak adalah keluarga Liu, akan tetapi engkau telah merampoknya. Kami hanya ingin mengembalikan kepada yang berhak!"

   "Ho-ho, keparat! Minggirlah, pengemis, jembel busuk!" Kim Bayan melompat turun, diikuti dua belas orang perwira pembantunya dan mereka telah mencabut golok.

   Biarpun dari sikap Kui-tung Sin-kai itu Kim Bayan tahu bahwa harta karun itu tidak berada pada Ang-tung Kai-pang, namun dia merasa perlu untuk membasmi perkumpulan pengemis yang bersikap menentang Kerajaan Mongol itu. Kim Bayan sudah melompat dan menyerang Kui-tung Sin-kai dengan goloknya. Ketua Ang-tung Kai-pang ini pun menggerakkan tongkat merahnya, menangkis dan balas menyerang. Dua belas orang perwira pembantu Kim Bayan juga disambut para pimpinan pembantu dari Ang-tung Kai-pang. Terjadilah pertempuran, apalagi ketika anak buah Ang-tung Kai-pang juga bertempur melawan para perajurit anak buah Kim Bayan.

   Akan tetapi, ilmu silat Kim Bayan masih terlalu tangguh bagi Kui-tung Sin-kai sehingga dia mulai terdesak oleh sinar golok yang bergulung-gulung. Juga para pembantunya tidak kuat melawan para perwira. Apalagi anak buah Ang-tung Kai-pang yang kalah banyak jumlahnya, sedangkan para perajurit yang menjadi anak buah Kim Bayan itu merupakan perajurit pilihan yang tangguh dari balatentara Mongol. Banyak anggauta Ang-tung Kai-pang yang roboh tewas atau terluka.

   Ketika Kui-tung Sin-kai sendiri mengalami terluka pada pundaknya, ketua ini maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pasti pihaknya kalah dan akan jatuh lebih banyak korban lagi. Maka, dengan hati menyesal, Kui-tung Sin-kai lalu melompat ke belakang dan memberi isyarat kepada para pembantu dan anak buahnya untuk mundur dan melarikan diri.

   Sambil mengeluarkan sorak kemenangan dan membantu kawan-kawan yang terluka, pasukan yang dipimpin Kim Bayan itu melanjutkan perjalanan. Setelah mereka pergi, barulah para anggauta Ang-tung Kai-pang muncul untuk merawat teman yang terluka dan mengurus teman yang tewas.

   Penghadangan selanjutnya dilakukan oleh rombongan Thai-san-pai yang lebih kuat dan merupakan lawan berat bagi Kim Bayan dan pasukannya. Rombongan murid Thai-san-pai itu dipimpin sendiri oleh Thai-san Sianjin Thio Kong, dibantu lima orang sutenya dan memimpin anak buah sebanyak delapanpuluh orang lebih!

   "Hemm, agaknya Thai-san-pai yang menghadang perjalanan pasukan Kerajaan! Mau apa kalian?" bentak Kim Bayan.

   "Kim Bayan manusia licik! Para murid kami yang menyelidiki melaporkan bahwa engkaulah yang menyebar fitnah, mengatakan bahwa kami Thai-san-pai yang mencuri harta karun Kerajaan Sung. Tidak tahunya engkau sendiri yang diam-diam hendak melarikan harta karun itu. Tinggalkan harta karun itu atau terpaksa kami menggunakan kekerasan!"

   "Heh, Ketua Thai-san-pai! Apakah kalian hendak memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol)?"

   "Tidak ada yang memberontak! Akan tetapi engkau yang mencuri harta karun yang bukan hakmu. Tinggalkan harta karun itu dan pergilah dari wilayah kami!"

   Kedua pihak bertempur dan sekali ini Kim Bayan harus mengakui bahwa dia mendapat lawan yang amat kuat. Dia sendiri bertanding mati-matian melawan Thai-san Sianjin. Akan tetapi permainan golok besarnya sukar dapat menembus sepasang pedang yang dimainkan oleh Ketua Thai-san-pai dengan cepat dan kuat itu. Sebaliknya, dia mulai terdesak oleh lawan. Demikian pula, permainan pedang lima orang sute dari Ketua Thai-san-pai tidak tertandingi duabelas orang perwira dan dua orang di antara mereka bahkan telah terluka. Biarpun jumlah perajurit lebih banyak daripada jumlah murid Thai-san-pai, namun murid-murid itu telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi sehingga pertempuran di antara kedua pihak itu berlangsung seru.

   Selagi Kim Bayan merasa khawatir karena pihaknya terdesak dan dia akan membuka rahasia bahwa kedua buah peti itu kosong sehingga tidak ada yang perlu direbutkan dan dipertentangkan untuk menghemikan pertempuran, tiba-tiba muncul Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.

   Tanpa banyak cakap, kedua orang ini sudah melompat dekat gerobak. Mereka hendak merampas dua buah peti, akan tetapi enam orang perajurit menghadangnya dengan tombak di tangan. Hek Pek Mo-ko mengeluarkan suara tawa mengejek dan mengamuk. Kasihan para perajurit itu. Tentu saja mereka bukan lawan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang amat lihai dan sebentar saja mereka berenam roboh. Akan tetapi selagi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko sambil tertawa hendak merampas peti, tiba-tiba muncul Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin!
"Ha-ha-ha, Iblis Hitam Putih tak tahu malu! Jangan seenaknya saja mengambil harta karun!" bentak Huo Lo-sian sambil tertawa.

   Melihat munculnya Huo Lo-sian, Pek Mo-ko marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dorongan telapak tangannya yang seputih kapur. Uap putih yang amat kuat menyambar ke arah Huo Lo-sian. Akan tetapi majikan Bukit Merah ini tidak gentar dan menyambut dengan dorongan tangannya pula.

   "Desss......" Kedua orang datuk ini terpental ke belakang. Ternyata tenaga sakti mereka berimbang dan Huo Lo-sian yang juga sudah tahu betapa lihainya Pek Mo-ko, segera mencabut senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Pek Mo-ko juga telah mencabut pedangnya dan dua orang datuk itu segera saling serang dengan dahsyatnya.

   Pertemuan golok dan pedang menimbulkan suara berdentang nyaring diikuti percikan bunga api. Pek Mo-ko menyelingi serangan pedangnya dengan dorongan telapak tangan kiri yang seputih kapur. Kalau telapak tangan itu dipukulkan, maka ada semacam uap putih meluncur ke arah lawan. Itulah Ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang menjadi andalan Pek Mo-ko. Akan tetapi lawannya kini adalah Huo Lo-sian yang berilmu tinggi maka setiap kali Pek Mo-ko mengirim serangan Pek-tok-ciang, Huo Lo-sian menangkis dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sehingga setiap kali dua tenaga sakti ini bertemu, kedua orang datuk itu terdorong mundur tanpa menderita luka. Mereka kini berusaha mati-matian untuk mengalahkan lawan dan pertandingan berlangsung seru dan mati-matian.

   Orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu kemurkaan mengejar harta benda, beranggapan bahwa hanya harta benda atau uang yang akan dapat membahagiakan hidupnya, bagaikan orang buta. Mereka sama sekali tidak merasa bahwa mereka sudah dicengkeram daya rendah harta benda dan mau melakukan apa saja, halal maupun haram, untuk mendapatkannya. Padahal, harta benda yang diperebutkan secara haram itu karena bukan hak miliknya sehingga dapat dikatakan merampas atau merampok, hanya akan mendatangkan kesengsaraan belaka kepada mereka.

   Yang kalah dan mati dalam perebutan itu jelas tidak akan dapat menikmati harta benda, demikian pula kalau dia sampai terluka parah dan menjadi cacat. Yang menang dan mendapatkan harta benda itu pun akan selalu tersiksa karena selalu terancam orang lain yang hendak merampas benda itu atau terancam oleh mereka yang hendak membalas dendam atas warganya yang telah dikalahkan, dilukai atau dibunuh dalam perebutan harta benda itu. Orang-orang yang menjadi hamba nafsu seperti ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, baik melalui penipuan, pencurian, perampokan, korupsi dan sebagainya lagi.

   Berbeda dengan orang yang menjadi majikan dari nafsunya, mengatur dan mengendalikannya, tidak akan membuta dalam mencari uang, karena nafsunya terkendali sehingga selalu mencarinya dengan cara yang benar, cara yang halal, dapat membedakan antara mencari dan mencuri atau menipu. Mencari uang dengan jalan yang benar merupakan kewajiban bagi manusia karena memang hidup ini tidak mungkin tanpa menggunakan uang. Akan tetapi bukan berarti dia harus mencari uang dengan jalan mencuri atau merampas hak orang lain atau menipu.

   Sementara Pek Mo-ko bertanding mati-matian melawan Huo Lo-sian, Hek Mo-ko berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong. Dia sebetulnya merasa gentar menghadapi datuk besar majikan Bukit Merak ini, akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, terpaksa dia melawan dan menyerang dengan golok di tangan kanan dan dengan pukulan Hek-tok-ciang di tangan kiri. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang paling suka bertanding mengadu ilmu. Lebih lihai lawannya, dia lebih gembira melayaninya, maka dengan gembira dia lalu menerjang Hek Mo-ko dan keduanya sudah saling serang dengan dahsyatnya.

   Pertempuran di tempat itu menjadi semakin seru. Pihak Thai-san-pai mendesak pihak pasukan yang dipimpin Kim Bayan sedangkan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko terdesak oleh Bu-tek Sin-liong dan Huo Lo-sian. Adapun Cu Ai Yin yang tadinya hanya menonton saja, ketika teringat kepada Pouw Cun Giok dan keinginannya untuk menyerahkan harta karun itu kepada pemuda itu, lalu melompat dengan gerakan ringan mendekati dua buah peti yang berada di atas kereta. Akan tetapi sebelum ia sempat menyentuh peti harta karun itu, selosin orang perajurit yang bertugas menjaga harta karun itu, segera menyambutnya dengan pengeroyokan.

   Selosin orang perajurit ini merupakan perajurit pilihan yang memiliki kepandaian ilmu silat lumayan maka mereka ditugaskan menjaga dan mempertahankan dua buah peti itu. Ai Yin mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) pendek dengan gerakan yang amat cepat sehingga yang tampak hanya gulungan sinar sepasang pedangnya, membuat selosin orang perajurit itu terkejut dan saling bantu untuk menyelamatkan diri dari sambaran sinar pedang gadis perkasa itu.

   Baru saja Ai Yin merobohkan tiga orang perajurit yang mengeroyoknya, tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dan menangkis pedang Ai Yin yang menyambar-nyambar.

   "Tranggg......!" Ai Yin terkejut karena tangkisan itu cukup kuat dan ketika ia memandang, ia menjadi marah sekali karena yang menangkisnya itu adalah Kong Sek, murid ayahnya atau suhengnya sendiri.

   Akan tetapi Kong Sek tidak menjawab. Cintanya terhadap Ai Yin , kini memudar setelah dia mendapat kenyataan betapa Ai Yin lebih condong membela Pouw Cun Giok dan bahkan memusuhinya. Dia sudah melepaskan harapannya untuk berjodoh dengan gadis itu. Maka, tanpa bicara dia lalu menyerang dengan pedangnya, membantu perajurit yang mengeroyok Ai Yin.

   Ternyata Kong Sek tidak datang seorang diri. Seperti telah diketahui, pemuda ini telah menjadi sekutu Cui-beng Kui-ong dan kini dia hendak menggunakan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli menginginkan harta karun itu untuk membantunya membalas dendamnya terhadap Pouw Cun Giok! Maka, kini pun dia tidak muncul sendiri. Ketika dia membantu para perajurit menahan Ai Yin yang hendak mengambil atau merampas harta karun, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli cepat melompat dekat kereta atau gerobak yang memuat dua buah peti hitam.

   Empat orang perajurit menyambut mereka akan tetapi sekali kakek dan nenek iblis itu menggerakkan tangannya, empat orang perajurit itu memekik dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika! Akan tetapi baru saja dua orang kakek dan nenek iblis itu membunuh empat orang perajurit, sebelum mereka sempat menghampiri dua buah peti dalam gerobak, tampak bayangan yang gerakannya cepat seperti terbang meluncur ke arah gerobak dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berada di atas gerobak.

   Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok yang datang bersama Ceng Ceng. Akan tetapi hanya Cun Giok sendiri yang melayang ke atas gerobak dan sebelum ada yang sempat mencegah, Cun Giok mengerahkan tenaga, menghantam ke arah dua buah peti hitam itu.

   "Wuuuttt...... brak-brakk""!" Dua buah peti itu pecah berantakan dan batu-batu kerikil yang berada dalam peti-peti itu berhamburan!

   "Peti itu hanya berisi batu-batu!" terdengar banyak orang berteriak dan teriakan ini sekaligus menghentikan semua orang yang berkelahi. Mereka menahan senjata, melompat ke belakang dan menghampiri gerobak, lalu dengan mata terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang sudah pecah dan batu-batu kerikil yang berhamburan!

   Bukan hanya mereka yang tadinya berkelahi kini memandang bengong. Juga rombongan-rombongan pencari harta yang baru datang seperti Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai, dua orang murid utusan Bu-tong-pai yaitu Liong Kun dan Thia Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin, mereka semua kini memandang dengan heran melihat betapa dua buah peti yang diperebutkan itu hanya berisi batu-batu kerikil!

   "Kita semua tertipu! Panglima Kim Bayan hanya membawa peti harta karun palsu!" seru Pouw Cun Giok lantang.

   Semua orang yang tadinya berkelahi kini mengomel panjang pendek, merasa tertipu dan dipermainkan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menyalahkan Kim Bayan, karena mereka sendirilah yang datang menghadang dan mencoba untuk merampas harta karun yang mereka kira benar-benar telah ditemukan panglima itu dan pasukannya.

   Yang merasa amat marah adalah Cui-beng Kui-ong. Dia mengeluarkan suara gerengan dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah berdiri di depan Panglima Kim Bayan. Mukanya merah dan tubuhnya yang kurus itu seperti menjadi semakin bongkok, akan tetapi sikap dan suaranya penuh wibawa ketika dia membentak.

   "Kim Bayan! Apa yang kaulakukan ini? Hanya dengan pangkatmu sebagai panglima, engkau berani mempermainkan kami?"

   Panglima Kim Bayan cepat memberi hormat kepada gurunya dengan membungkuk sampai dalam.

   "Maafkan saya, Suhu. Bukan maksud saya mempermainkan Suhu dan Subo. Siasat ini saya pergunakan untuk memancing mereka yang mencari harta karun. Yang datang hendak merampas dua peti itu pasti bukan pencurinya. Dengan jalan ini saya dapat mengetahui siapa yang menjadi pencurinya, yaitu mereka yang tidak datang mencoba untuk merampas peti-peti ini."

   "Dan engkau melakukan siasat ini tanpa memberi laporan kepadaku? Apakah engkau bermaksud untuk mendapatkan harta itu bagi dirimu sendiri? Engkau membikin malu kami berdua!"

   "Dia pantas dihukum!" terdengar Song-bun Moli berseru dengan suaranya yang serak dan tinggi.

   Biarpun dia berhadapan dengan suhu dan subonya, akan tetapi Kim Bayan teringat bahwa dia adalah seorang panglima kerajaan dan biarpun dua orang kakek nenek itu pun merupakan orang-orang berjasa dan dianugerahi Kaisar, namun mereka tidak memiliki kedudukan resmi. Maka, kini dihina di depan orang banyak, dia menjadi malu dan bangkit melawan.

   "Suhu dan Subo, saya adalah panglima kerajaan, tidak akan merampas harta karun untuk diri sendiri. Akan tetapi Suhu dan Subo bukan utusan kerajaan, sepatutnya membantu kami mencari harta karun itu untuk diserahkan kepada Yang Mulia Sribaginda Kaisar!"

   "Bangsat! Berani engkau menuduh kami? Jangan dikira kami tidak tahu bahwa usahamu mencari harta karun ini sama sekali bukan atas perintah Sribaginda Kaisar. Engkau memang tidak pantas lagi menjadi murid kami!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cui-beng Kui-ong menerjang menyerang Kim Bayan, muridnya sendiri itu, dengan tongkatnya.

   Kim Bayan terkejut. Tak disangkanya kakek itu berani menyerangnya. Biarpun dia murid kakek itu, namun dia berkedudukan sebagai seorang panglima kerajaan! Akan tetapi kakek itu sudah menyerangnya, maka cepat dia menggunakan golok yang masih dipegangnya untuk menangkis.

   "Tranggg......!" Bunga api berpijar, akan tetapi disusul teriakan Panglima Kim Bayan yang roboh berkelojotan karena sebatang anak panah kecil sudah menancap di tenggorokannya. Tak lama kemudian panglima itu pun diam dan tewas.

   Sebetulnya Kim Bayan tentu saja sudah tahu bahwa di ujung tongkat gurunya itu tersembunyi anak panah kecil yang beracun. Akan tetapi dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa gurunya tega untuk membunuhnya, apalagi selain murid kakek itu dia pun seorang panglima kerajaan. Akan tetapi ternyata Cui-beng Kui-ong yang berwatak aneh itu sama sekali tidak mempedulikan semua itu dan langsung membunuh muridnya sendiri yang dia anggap menghina dan mempermalukannya karena dia dan Song-bun Moli juga tertipu dan ikut menghadang, bahkan tadi hampir saja merampas dua buah peti yang ternyata isinya hanya batu kerikil!

   Melihat Kim Bayan dibunuh kakek itu, para perwira yang membantu Kim Bayan menjadi terkejut dan marah. Tentu saja mereka mempunyai rasa setia kawan kepada Kim Bayan, maka mereka memberi isyarat kepada para perajurit untuk mengepung Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Kong Sek berdiri di luar kepungan karena tadi dia bertanding melawan Cu Ai Yin dan kini setelah perkelahian berhenti dia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi Ai Yin tetap berhadapan dengan dia, agaknya siap menentangnya kalau pemuda ini hendak menyerang Cun Giok. Semua orang kini mengarahkan perhatiannya kepada kakek dan nenek iblis itu yang dikepung para perwira dan perajurit mereka.

   Melihat sikap para perwira dan perajurit itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alisnya dan membentak marah.

   "Heh, kalian mau apa? Apakah kalian buta, tidak mengenal siapa kami dan berani hendak menentang kami?"

   Seorang perwira yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, menjawab lantang.

   "Kami semua mengenal siapa Ji-wi (Kalian Berdua), akan tetapi Ji-wi telah membunuh panglima kami, berarti Ji-wi memberontak terhadap kerajaan dan harus kami tangkap!"

   "He-he-heh! Kui-ong, tikus-tikus ini hendak menangkap kita! Mari kita kirim mereka ke neraka menyusul Bayan!" Song-bun Moli terkekeh. Kakek dan nenek itu siap untuk membasmi para perwira dan perajurit itu, sedangkan semua orang yang berada di situ hanya menonton dengan hati tegang.

   "Tahan......!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua sosok tubuh berkelebat dan seorang pemuda dan seorang gadis sudah berdiri di depan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Mereka adalah Yauw Tek dan Li Hong!

   Para perwira dan perajurit yang segera mengenal pemuda itu sebagai Pangeran Youtechin, segera menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.

   Kakek dan nenek itu tidak banyak mengenal para pangeran, akan tetapi mereka mengenal Pangeran Youtechin karena pangeran muda ini dikenal sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak merasa lebih rendah derajatnya dan tidak menyambut pangeran itu dengan penghormatan yang berlebihan. Mereka berdua hanya menghormati Kaisar, apalagi Cui-beng Kui-ong yang menganggap dirinya sebagai penasihat Kaisar dan sudah memiliki jasa besar. Maka kini menghadapi Yauw Tek atau Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong berkata dengan sikap angkuh.

   "Pangeran, mengapa Pangeran menahan kami berdua yang hendak memberi hajaran kepada tikus-tikus ini?"

   "Cui-beng Kui-ong. Lihat, dengan siapa engkau berhadapan?" Yauw Tek membentak dan dia mengeluarkan sebuah kim-pai (lencana emas) dan memperlihatkannya kepada Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli.

   Cui-beng Kui-ong terkejut sekali melihat lencana emas yang ada cap dari kaisar itu karena lencana itu menandakan bahwa dia berhadapan dengan orang yang telah diberi kekuasaan oleh Kaisar dan dapat bertindak atas nama Kaisar! Maka, dia seolah kini berhadapan dengan Kaisar sendiri.

   Cepat Cui-beng Kui-ong memberi hormat dan Song-bun Moli mengikutinya.

   "Maaf, kami tidak tahu bahwa Paduka adalah utusan Sribaginda Kaisar yang diberi Kim-pai, Pangeran Youtechin! Kami siap mentaati perintah Paduka!"

   Semua orang juga terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda adalah seorang Pangeran Mongol yang memiliki kekuasaan besar. Terutama sekali Ceng Ceng. Ia terkejut dan heran, sama sekali tidak pernah mengira bahwa Yauw Tek adalah seorang pangeran yang menyamar. Pada saat itu, Li Hong menghampiri Ceng Ceng dan keduanya saling rangkul.

   "Hong-moi...... dia...... dia itu...... pangeran?" Ceng Ceng berbisik.

   Li Hong mengangguk dan tersenyum.

   "Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan, Enci Ceng." Dalam suara gadis ini terdapat kebanggaan dan diam-diam Ceng Ceng ikut merasa senang melihat adik angkatnya berbahagia. Karena perhatian mereka ditujukan kepada Yauw Tek dan kakek nenek iblis itu, maka Ceng Ceng belum sempat mempertemukan Li Hong dengan Cun Giok, kakak misan gadis dari Pulau Ular itu.

   Kini Yauw Tek atau Pangeran Youtechin berkata kepada Cui-beng Kui-ong.

   "Cui-beng Kui-ong, engkau bersalah membunuh seorang panglima kerajaan. Sepatutnya engkau ditangkap dan diadili, akan tetapi mengingat bahwa Kim Bayan adalah muridmu, biarlah kami menganggap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya, tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Akan tetapi kalian berdua harus memperlihatkan bukti bahwa kalian tidak bermaksud memberontak terhadap kerajaan dengan membantu kami mencari harta karun!"

   "Baik, kami siap membantu Paduka dan terima kasih atas kebijaksanaan Paduka, Pangeran!" kata Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang kini tampaknya "mati kutu" menghadap seorang pangeran yang memegang sebuah Kim-pai tanda kekuasaan dari Kaisar.

   Kini Yauw Tek memutar tubuhnya menghadapi mereka yang telah berkumpul di situ. Mereka semua kini memandang pemuda yang ternyata seorang pangeran yang besar kekuasaannya sehingga sepasang kakek nenek iblis seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli juga gentar dan tunduk kepadanya. Mereka itu adalah Huo Lo-sian dan Bu-tek Sin-liong dan anak buah Bukit Merah, Ketua Thai-san-pai dan para muridnya, para utusan Go-bi-pai, juga utusan Kun-lun-pai, Ketua Ang-tung Kai-pang dan para anggautanya, Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka, Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid dan utusan Bu-tong-pai dan dua orang gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, Ceng Ceng dan Cun Giok yang kini ditemani Li Hong, dan beberapa tokoh lain yang tertarik datang ke Thai-san-pai untuk melihat keadaan dan juga ingin sekali ikut mencari harta karun.

   Dengan suara lantang Pangeran Youtechin lalu berkata kepada mereka.

   "Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Kita semua tahu untuk apa kita berbondong-bondong datang ke Thai-san ini. Jelas bahwa kita semua datang dengan satu tujuan, yaitu mencari dan mendapatkan harta karun yang kita kira berada di sini karena setelah tempat penyimpanan harta itu didapatkan di Bukit Sorga, yang ditemukan hanya peti kosong yang ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Tentu Cuwi mengetahui bahwa harta karun itu sebetulnya menjadi hak milik Pemerintah Kerajaan......"

   "Harta karun itu adalah harta karun Kerajaan Sung!" Tiba-tiba ada suara wanita berseru lantang memotong ucapan pangeran itu. Ketika semua mata memandang, ternyata yang berseru itu adalah seorang gadis muda cantik jelita yang gagah perkasa, di rambutnya terdapat setangkai bunga putih.

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong memandang puterinya, Pek-hwa (Dewi Berbunga Putih) Cu Ai Yin dengan bangga atas keberanian puterinya itu walaupun sebetulnya dia tidak setuju puterinya membela Kerajaan Sung yang sudah jatuh. Dia adalah seorang tokoh yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan kerajaan.

   Yauw Tek atau Pangeran Youtechin menoleh dan memandang kepada Ai Yin, matanya mencorong dan dia tersenyum.

   "Kerajaan Sung telah dikalahkan Kerajaan Goan yang kini berkuasa dan menurut peraturan perang, semua milik yang kalah menjadi barang rampasan dan menjadi hak milik yang menang. Apalagi tadinya harta itu merupakan harta curian seorang Thai-kam korup dari Kerajaan Sung, dan disembunyikan di Bukit Surga dekat kota raja. Maka, pemerintah yang berhak memiliki harta karun itu."

   "Harta dari kerajaan mana pun berasal dari milik rakyat, maka rakyat pun berhak atas harta karun itu!" tiba-tiba ada yang berseru dan sekali ini yang berseru dengan suara amat nyaring karena mengandung tenaga sakti, adalah Pouw Cun Giok.

   Yauw Tek menengok dan dia melihat betapa pemuda tampan dan gagah yang bicara lantang itu berdiri dekat Ceng Ceng dan Li Hong, maka dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu yang bernama Pouw Cun Giok dan berjuluk Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan). Dia tersenyum dan memandang kagum karena sudah banyak dia mendengar pujian Li Hong yang bercerita tentang Pouw Cun Giok. Dia mengangguk dan berkata, suaranya juga nyaring seperti suara Cun Giok tadi karena sekali ini, Pangeran Mongol itu mengerahkan sin-kang sehingga suaranya lantang sekali.

   "Tepat sekali ucapan...... Bu-eng-cu tadi! Saudara tentu Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang terkenal itu, bukan? Memang tepat, harta milik pemerintah itu berasal dari rakyat, maka sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk kepentingan rakyat pula! Dan penggunaan untuk rakyat Itu harus diatur oleh pemerintah, kalau tidak akan terjadi perebutan dan kekacauan. Pemerintah Kerajaan Goan juga bermaksud menggunakan harta itu untuk kesejahteraan rakyat jelata. Akan tetapi kami sangsi apakah kalau harta karun itu terjatuh ke tangan Cu-wi, juga akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat? Ataukah hanya untuk kepentingan golongan sendiri dan pribadi atau juga untuk menimbulkan kekacauan sehingga akibatnya bahkan merugikan rakyat?"

   Hening sejenak setelah Pangeran Youtechin berhenti bicara. Dia lalu melanjutkan.

   "Akan tetapi karena harta karun itu sampai sekarang belum ditemukan, dan kita bersama tidak tahu apakah harta itu benar-benar ada, maka biarlah kita berlumba untuk menemukannya. Setelah ditemukan, baru kita bicarakan siapa yang berhak atas harta itu!"

   Bagaimanapun juga, mereka yang berada di situ merasa segan untuk berterang menentang pangeran yang menjadi wakil Kerajaan karena menentang seorang wakil Kaisar dapat berarti pemberontakan. Maka, satu demi satu rombongan itu pergi.

   Li Hong kini saling pandang dengan Cun Giok. Mereka berdiri berhadapan dan hati keduanya diliputi perasaan terharu.

   "Li Hong, benarkah keterangan Ceng-moi bahwa engkau adalah adik misanku""?" Akhirnya Cun Giok bertanya.

   Li Hong yang cepat dapat menguasai keharuan hatinya, tersenyum, mengangguk dan berkata.

   "Tentu saja benar, Piauw-ko (Kakak Misan)! Mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian adalah adik kandung Ayahku yang bernama Tan Kun Tek dan yang dulu tinggal di Seng-hai-lian."

   "Ah, senang sekali aku mempunyai seorang adik sepertimu, Hong-moi!" kata Cun Giok sambil tersenyum.

   "Aku juga bangga mempunyai seorang kakak sepertimu, Giok-ko!" kata Li Hong. Kedua orang muda itu saling menghampiri dan mereka berangkulan seperti kakak dan adik.

   Tiba-tiba terdengar suara lembut.

   "Li Hong, aku hendak melanjutkan perjalanan. Engkau mau ikut denganku ataukah dengan mereka?"

   Li Hong melepaskan rangkulannya dan memutar tubuhnya. Tentu saja ia mengenal suara Yauw Tek, kekasihnya.

   "Tentu saja aku ikut denganmu, ko-ko!" katanya, lalu ia berpaling kepada Cun Giok dan Ceng Ceng.

   "Giok-ko, Enci Ceng, aku harus ikut dengan dia, ke mana pun dia pergi. Aku...... tak dapat hidup tanpa dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu melompat dan bersama Pangeran Youtechin ia lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, dan Kong Sek.

   Cun Giok dan Ceng Ceng memandang sampai bayangan Li Hong menghilang di antara pohon-pohon, lalu mereka saling pandang. Tanpa bicara pun mereka berdua dapat merasakan dan tahu bahwa adik mereka yang tabah, liar dan galak itu agaknya telah jinak terhadap Yauw Tek atau Pangeran Mongol itu. Jelas bahwa keduanya saling mencinta. Mereka berdua merasa khawatir dan diam-diam mendoakan semoga Li Hong dapat hidup berbahagia dengan Pangeran Mongol itu.

   Cun Giok dan Ceng Ceng mendengar langkah orang dan ketika mereka memandang, ternyata yang menghampiri mereka adalah Kui Lan, Kui Lin dan dua orang pemuda murid Bu-tong-pai, yaitu Liong Kun dan Thio Kui yang sudah mereka kenal baik ketika mereka semua berada di Thai-san-pai.

   "Aih, kita semua dibohongi jahanam Kim Bayan itu!" kata Kui Lin.

   "Untung engkau muncul dan membuka rahasia itu dengan memukul hancur peti-peti itu. Kalau tidak, wah, kita semua akan memperebutkan peti-peti yang berisi batu-batu tak berharga!"

   "Lin-moi, siasat Kim Bayan itu membuat kita merasa ragu apakah harta karun itu ada ataukah hanya kabar angin saja. Kim Bayan menggunakan siasat itu agaknya karena sudah putus asa dalam mencari harta itu," kata Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar, gagah dan bersuara berat serius itu.

   "Pendapat Thio-twako (Kakak Thio) itu agaknya memang benar sekali bahwa mendiang Kim Bayan sudah putus asa maka menggunakan siasat itu untuk memancing keluar semua pencari harta agar diketahui siapa kiranya yang telah mendapatkan harta itu," kata Cun Giok.

   "Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa harta karun itu memang ada, hanya di mana disembunyikannya, itulah yang harus kita cari," kata Ceng Ceng.

   "Kiranya mendiang Ayahku tidak akan mempertahankan harta karun itu dengan nyawa Ayah dan Ibu kalau harta itu tidak ada, dan tidak akan meninggalkan peta itu kepadaku. Ayah amat setia kepada Kerajaan Sung dan amat membenci penjajah, maka dia bercita-cita membantu perjuangan mengusir penjajah dengan menyerahkan harta karun itu," kata Ceng Ceng dengan suara lembut namun yakin.

   "Enci Ceng Ceng benar," kata Kui Lan yang pendiam.

   "Harta karun itu pasti ada dan kita harus mencarinya lagi. Sebaiknya kita berpencar mencarinya."

   "Baiklah, kita berpencar dan mencari dengan teliti. Sebaiknya setelah ada yang menemukan, langsung dibawa ke Thai-san-pai karena semua yang mendukung niat Ceng-moi pasti akan singgah dulu di sana untuk mencari keterangan sebelum mereka meninggalkan Thai-san. Di sana kita semua akan membicarakan bersama kepada siapa harta karun itu harus diserahkan," kata Pouw Cun Giok.

   Semua orang menyatakan setuju dan mereka pun berpencar meninggalkan tempat itu. Cun Giok pergi bersama Ceng Ceng, sedangkan gadis kembar itu pergi bersama dua orang pemuda murid Bu-tong-pai.

   
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Malam itu bulan sedang purnama. Bulatan kuning emas itu merupakan bola emas yang memancarkan cahayanya yang lembut ke permukaan pegunungan Thai-san, membentuk bayang-bayang dan perpaduan antara gelap dan terang, mendatangkan pemandangan yang indah tak terlukiskan. Hawa sejuk menyusup di antara pohon-pohon di puncak-puncak banyak bukit yang terdapat di pegunungan Thai-san yang luas.

   Suasananya menjadi tenteram, sunyi mencekam, indah romantis, akan tetapi juga mendatangkan sesuatu yang penuh rahasia, yang membuat orang merasa kagum, terpesona, hanyut dan terkadang juga seram. Suara gemersik daun-daun pohon yang ditiup angin semilir, suara gemericik air yang turun dari sumber air membentuk anak sungai berair jernih dan dingin, suara binatang dan serangga malam yang menciptakan musik ajaib, semua itu dapat menyihir manusia yang kebetulan berada di tempat itu.

   Cun Giok dan Ceng Ceng duduk di tepi sebuah tebing jurang yang amat dalam. Mereka memilih tempat ini untuk mengaso dan melewatkan malam karena tempat ini amat indah. Dari tepi jurang itu mereka dapat memandang ke depan bawah tanpa terhalang pohon-pohon besar. Bulan purnama menciptakan tamasya alam di depan sana, membuat kedua orang muda ini terpesona dan sejak tadi hanya duduk setengah samadhi karena terpesona keindahan alam. Mereka seolah kehilangan diri dan bersatu dengan alam. Mereka merupakan sebagian dari alam di malam yang luar biasa indahnya itu.

   Cun Giok termenung ketika merasa dirinya tenggelam ke dalam keindahan malam syahdu itu. Dia teringat akan apa yang pernah dikatakan Ceng Ceng tentang kemurahan Tuhan Maha Pencipta bagi manusia. Kalau kita berada dalam, keadaan seperti itu, seolah diri terlebur menjadi bagian dari alam semesta, tampaklah jelas betapa segala ciptaan Tuhan itu diberikan kepada manusia untuk kesejahteraan hidup manusia di atas bumi ini.

   Semua isi alam ini diperuntukkan manusia, bahkan membantu kehidupan manusia sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk memeliharanya, untuk melestarikannya. Air, hawa udara, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain merupakan kebutuhan hidup kita, akan tetapi betapa kita, sadar mau pun tidak, mengotori dan merusaknya. Bahkan semua keindahan itu tidak terasa lagi karena hati akal pikiran kita dipenuhi harta benda yang kita puja sebagai sumber kesenangan.

   Pengejaran harta benda yang kita puja-puja itu menimbulkan permusuhan dan segala bentuk kejahatan, membuat dunia menjadi panas dan manusia menjadi tipis prikemanusiaannya. Manusia hanya mementingkan apa yang menempel pada dirinya. Padahal, segala bagian alam yang berada di luar kita itu seharusnya kita pelihara seperti kita memelihara anggauta badan kita, karena semua yang di luar kita itu juga merupakan penunjang dan penyambung hidup kita.

   "Giok-ko, lihat""" Tiba-tiba suara Ceng Ceng membuyarkan renungannya.

   Cun Giok memandang gadis yang duduk di sebelah kirinya itu dan melihat Ceng Ceng memandang dengan penuh gairah ke depan sana.

   Cun Giok tersenyum.

   "Memang indah sekali, Ceng-moi. Aku juga sudah mengaguminya sejak tadi."

   "Bukan itu maksudku, Giok-ko. Lihat puncak bukit di sana, yang sebelah kiri itu!" Ceng Ceng menudingkan telunjuknya.

   Cun Giok mengikuti arah itu dengan pandang matanya. Di sana terdapat sebuah puncak bukit yang tampak hitam bermandikan cahaya keemasan. Indah sekali!

   "Bukit itu juga indah, merupakan bagian dari semua keindahan ini, Ceng-moi."

   "Sadarlah sejenak, Giok-ko. Keluarlah dari pesona keindahan itu dan pandang dengan akal pikiranmu. Seperti apakah bentuk puncak yang hitam itu?"

   Cun Giok memandang dengan penuh perhatian ke arah puncak bukit yang ditunjuk, memperhatikan bentuk lekuk-lengkung garis puncak bukit yang hitam itu. Dan dia pun berseru.

   "Ah, bukankah bentuknya seperti seekor naga? Memanjang dan berlekuk-lekuk, itu yang di kiri seperti ekornya dan kepalanya di sebelah kanan......"

   "Benar, Giok-ko...... dan sekarang lihat bukit di kanan itu, lihat puncaknya seperti tadi......"

   Suara gadis itu agak gemetar sehingga Cun Giok menjadi tertarik sekali, juga merasa heran. Dia cepat memandang bukit yang di kanan, bukit yang sejajar dengan bukit pertama dan mencurahkan perhatiannya memandang ke puncak bukit kedua itu. Mula-mula memang hanya tampak puncak yang hitam dengan garis-garis lengkung yang berbeda dengan yang pertama. Kalau yang pertama memanjang seperti naga, yang kedua ini hanya bergerombol di tengah, mencuat di sana-sini. Khayalnya berkembang dan dia lalu berkata.

   "Ceng-moi, yang kedua itu merupakan bentuk seekor ayam, ayam jantan karena ekornya menjulang ke atas dan memanjang......"

   "Bukan ayam, Giok-ko, melainkan Burung Hong......" Suara gadis itu kini semakin gemetar seolah dalam keadaan tegang dan terharu.

   Mendengar suara itu, Cun Giok mengalihkan perhatiannya kepada wajah gadis itu yang tampak terlongong memandang puncak kedua bukit itu berganti-ganti. Mulutnya agak terbuka dan wajahnya tampak tegang.

   "Burung Hong? Ceng-moi, mengapa engkau tampak begini tegang? Apa yang terjadi?" Karena
(Lanjut ke Jilid 13)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
khawatir, Cun Giok menjulurkan tangannya memegang lengan Ceng Ceng.

   Seperti tanpa disadari Ceng Ceng membalas, memegang tangan pemuda itu dan meremasnya dengan kuat sehingga Cun Giok terpaksa mengerahkan tenaga agar tangannya tidak cidera.

   "Giok-ko...... apakah engkau tidak ingat ......? Peta itu...... ada gambar naga dan burung Hong...... bukankah ini cocok sekali dengan keadaan dua buah bukit di sana itu......?"

   Cun Giok berdebar. Baru dia teringat dan kembali dia mengamati dua buah bukit itu. Memang tepat! Seperti yang tertera di peta. Kedua puncak itu merupakan gambar naga dan burung Hong dan...... tempat penyimpanan harta karun itu tentu berada di sebelah selatan kedua bukit itu, di antara bukit-bukit lain!

   "Aih, engkau benar, Ceng-moi! Kalau begitu, mungkin sekali harta karun itu memang disimpan di sini. Peti kosong yang berada di Bukit Sorga itu memang sengaja ditanam oleh Thaikam Bong untuk mengelabuhi para pencari harta dan tulisan THAI SAN itu merupakan petunjuk bahwa hartanya berada di sini. Bukan dicuri orang Thai-san seperti yang kita semua mengira."

   Ceng Ceng mengangguk-angguk.

   "Ahh, mudah-mudahan saja benar demikian, Giok-ko. Menemukan harta karun itu amat penting artinya bagiku, karena hal itu berarti aku telah menaati dan melaksanakan pesan Ayah."

   Mereka berdua tidak bicara lagi, akan tetapi sampai jauh lewat tengah malam mereka masih duduk dan memandang ke arah dua buah bukit itu. Di dalam hati, mereka kini merasa gembira dan timbul harapan baru. Kemudian mereka tidur bergilir. Seorang tidur dan yang lain berjaga sambil duduk di dekat api unggun.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah bangun dan ketika sinar matahari mulai mengirim sinarnya menerangi bumi, dan mereka memandang ke arah dua bukit itu, Ceng Ceng berseru kaget.

   "Giok-ko, lihat""!"

   Cun Giok memandang ke arah dua bukit yang ditunjuk Ceng Ceng, dan dia terkejut karena puncak dua buah bukit yang semalam di bawah sinar bulan purnama tampak jelas membentuk naga dan burung Hong, kini gambaran itu hilang sama sekali. Di kedua puncak itu kini hanya tampak gerombolan pohon yang mencuat ke sana-sini, sama sekali tidak tampak sebagai naga dan burung Hong!

   "Eh, mana naga dan burung Hong itu, Ceng-moi?"

   Ceng Ceng menghela napas panjang,

   "Aku tidak tahu, Giok-ko. Mungkin di bawah sinar bulan, gerombolan pohon itu tampak seperti bentuk naga dan burung Hong," kata Ceng Ceng kecewa.

   "Ataukah kita terlalu terpengaruh gambar di peta sehingga membayangkan dua gambar itu?"

   Mendengar suara gadis itu seperti orang kecewa dan menyesal, juga ada nada sedih, Cun Giok merasa iba dan tiba-tiba dia teringat akan gambar pada peta itu.

   "Ah, Ceng-moi, coba ingat baik-baik isi peta yang telah dirampas Kim Bayan itu. Bukankah di bawah gambar naga dan burung Hong itu ada bulatan besar? Nah, bukankah bulatan itu dimaksudkan bulan purnama? Jadi, puncak dua buah bukit itu hanya berbentuk naga dan burung Hong kalau ada bulan purnama!"

   Wajah gadis itu berseri dan seolah baru melihat wajah itu untuk pertama kalinya, Cun Giok terpesona. Wajah yang baru bangun tidur itu, dengan rambut agak awut-awutan dan pakaian kusut, tanpa bedak gincu, tampak aseli dan kecantikannya bagaikan setangkai bunga mawar di waktu pagi masih segar oleh embun!

   Melihat pemuda itu memandangnya seperti orang terkesima atau hilang ingatan, kulit muka Ceng Ceng berubah kemerahan dan tersipu karena ia baru ingat bahwa ia belum mencuci muka. Tentu ia tampak kusut dan buruk sekali!

   "Aih, aku mau cuci muka...... eh, mandi dulu, Giok-ko!" katanya sambil bangkit dan memutar tubuhnya.

   "Di sebelah sana ada sumber air, di balik batu besar itu, Ceng-moi."

   "Aku tahu, kemarin aku sudah melihatnya," kata Ceng Ceng yang segera menuju ke batu besar sambil membawa buntalan pakaiannya.

   Mereka bergantian mandi dan bertukar pakaian sambil mencuci pakaian kotor. Setelah itu mereka kembali duduk di tepi jurang.

   "Hi-hi-hik""!" Ceng Ceng menahan tawanya dan menutupi mulutnya, namun suara tawanya masih terdengar oleh Cun Giok.

   "Ceng-moi, mengapa engkau tertawa?"

   "Aku mendengar suara ayam jantan berkeruyuk," kata gadis itu sambil tersenyum.

   Cun Giok memusatkan pendengarannya sejenak.

   "Aku tidak mendengar ayam jantan berkeruyuk," katanya heran.

   "Di mana kau mendengarnya?"

   "Di sini, dekat saja," kata Ceng Ceng sambil menahan tawa dan menunjuk ke arah perut Cun Giok.

   Cun Giok terbelalak, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.

   "Ha-ha-ha, wah, memalukan, buka rahasia saja!" Dia menepuk perutnya.

   "Memang sejak malam tadi aku merasa lapar, Ceng-moi.

   "Hemm, perut lapar tidak perlu malu, Giok-ko. Aku sendiri pun merasa lapar. Akan tetapi di tempat seperti ini, di mana kita bisa mendapatkan makanan?"

   "Ceng-moi, lihat di lereng bawah itu. Ada kepulan asap, agaknya di sana ada sebuah desa atau setidaknya ada orang tinggal di sana. Mari kita ke sana, mencari makanan dulu baru melanjutkan penyelidikan."

   Mereka lalu menuruni puncak bukit itu dan tepat dugaan Cun Giok, di lereng bukit itu terdapat sebuah dusun kecil yang tertutup pohon-pohonan, hanya terdiri dari belasan rumah. Mereka adalah petani-petani sederhana yang menggantungkan nafkahnya dari menggarap tanah di lereng itu yang cukup subur.

   Seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang menjadi tua-tua di dusun itu, menyambut Cun Giok dan Ceng Ceng dengan ramah penuh kekeluargaan yang akrab. Sudah menjadi watak orang-orang dusun yang lugu, sederhana dan jujur, yang hidup tenteram dan bahagia karena tidak banyak keinginan, selalu menyambut tamu, apalagi yang asing, dengan ramah tamah. Mereka merasa terhormat kalau ada "orang kota" mengunjungi mereka, dan tanpa ragu-ragu mereka akan menghidangkan apa saja yang mereka miliki untuk tamu mereka.

   Demikian pula laki-laki itu, setelah Cun Giok dan Ceng Ceng memperkenalkan diri sebagai pelancong yang kehabisan makanan dan hendak membeli makanan, tua-tua dusun itu serta-merta menghidangkan makanan sederhana yang dimilikinya dan mengajak dua orang tamu itu makan bersama! Ketika Ceng Ceng hendak membayar harga makanan dan minuman yang dihidangkan, laki-laki itu mengerutkan alis dan menolak keras, bahkan tampak tersinggung dan segera Ceng Ceng minta maaf.

   Ketika mereka mengobrol setelah makan, iseng-iseng Ceng Ceng bertanya kepada tuan rumah.

   "Paman, apakah nama dua buah bukit yang berjajar di sana itu?" Ia menunjuk ke arah dua buah bukit yang semalam ia tonton bersama Cun Giok. Petani itu memandang keluar melalui jendela dan melihat dua buah bukit itu.

   "Ah, dua bukit itukah, Nona? Orang-orang menyebutnya Bukit Kembar karena mereka berdiri berdampingan dan besarnya sama. Akan tetapi dua buah bukit itu mempunyai nama, yang satu adalah Liong-san (Bukit Naga) dan yang lain Hong-san (Bukit Burung Hong)."

   Mendengar ini, berdebar jantung dua orang muda itu. Tadi setelah pagi tiba dan mereka memandang ke puncak dua buah bukit itu, bentuk naga dan burung Hong lenyap sehingga mereka hampir putus asa dan menganggap penglihatan mereka semalam dipengaruhi harapan mereka setelah melihat gambar peta. Akan tetapi kini ternyata bahwa dua buah bukit itu benar-benar bernama Bukit Naga dan Bukit Burung Hong! Mereka berdua saling pandang penuh arti, lalu Cun Giok bertanya kepada petani itu.

   "Paman, mengapa kedua bukit itu disebut Bukit Naga dan Bukit Burung Hong?"

   Petani itu tersenyum lebar sehingga tampak giginya yang sudah banyak yang ompong.

   "Dua buah bukit itu memang aneh, Kongcu. Kalau malam bulan purnama, gerombolan di puncaknya berbentuk naga dan burung Hong. Menurut dongeng, jaman dahulu dua bukit itu katanya menjadi tempat tinggal kedua binatang suci itu."

   Wajah Ceng Ceng dan Cun Giok berseri. Bukan main girang rasa hati mereka. Kini mereka yakin bahwa dua bukit itulah yang dimaksudkan dalam gambar peta!

   Mereka segera pamit dari tua-tua dusun itu dan setelah mereka berdua pergi, baru petani itu menemukan uang emas tiga keping di atas meja! Dia terkejut karena tiga keping uang emas itu merupakan harta yang besar baginya. Dia mengejar keluar untuk mengembalikannya kepada dua orang tamunya, akan tetapi dua orang itu sudah tidak tampak lagi bayangan mereka! Hal ini sungguh terlalu aneh bagi petani itu. Bagaimana mungkin dua orang muda itu dapat menghilang begitu saja?

   Ketika dia menceritakan kepada para penghuni dusun, orang-orang sederhana yang masih tebal kepercayaan mereka akan adanya dewa dewi yang suka menolong manusia, merasa yakin bahwa pemuda dan pemudi yang ikut makan di rumah kepala atau tua-tua dusun itu, pasti seorang dewa dan seorang dewi! Buktinya, mereka meninggalkan emas dan pandai menghilang.

   "Tidak salah lagi!" seru tua-tua itu.

   "Mereka pasti dewa dan dewi penunggu Liong-san dan Hong-san. Baru melihat pemuda yang begitu tampan dan gagah, juga gadis yang demikian cantik jelita dan lembut, aku sudah curiga bahwa mereka berdua itu bukan manusia biasa!"

   Seluruh penduduk dusun kecil itu lalu melakukan sembahyang untuk menghormati dan berterima kasih kepada Dewa dan Dewi penunggu Bukit Naga dan Bukit Burung Hong!

   Sampai belasan hari Cun Giok dan Ceng Ceng mencari harta karun setelah merasa yakin bahwa harta itu pasti berada di daerah itu karena mereka telah menemukan Bukit Naga dan Bukit Burung Hong. Ada tiga bukit kecil di sebelah selatan kedua bukit itu, dan agaknya tiga bukit ini yang digambar dalam peta. Mereka berdua menjelajahi tiga bukit itu dan sekitar tiga minggu kemudian, pada suatu pagi mereka tiba di bukit tengah dari ketiga bukit itu. Sudah dua kali mereka mencari di bukit ini dan pagi hari itu, dari kaki bukit mereka melihat betapa puncak bukit itu dikepung hutan lebar yang tumbuh di sekeliling bukit. Mereka menembus hutan dan tiba di puncak bukit yang landai dan penuh lapangan rumput yang luas.

   Mereka melihat bahwa di ujung lapangan rumput terdapat tebing puncak dan di tebing itu terdapat tiga buah guha. Guha-guha di pinggir kanan kiri tampak jelas, merupakan guha besar yang mulut guhanya terbuka seperti mulut raksasa ternganga. Akan tetapi guha di tengah tertutup semak belukar dan berduri. Kini mereka berdiri di depan guha yang tertutup semak belukar itu dan mengamati penuh perhatian.

   "Rasanya tidak mungkin menyimpan harta karun di tempat seperti ini," kata Cun Giok.

   Ceng Ceng diam saja tidak menjawab, hanya berdiri memandang ke arah guha itu dengan alis berkerut dan penuh perhatian. Karena gadis itu tidak menjawab, Cun Giok menoleh dan memandang kepadanya. Dia melihat betapa gadis itu kini tampak kurus. Wajahnya sama sekali tidak memancarkan kegembiraan. Kini dia teringat betapa selama mereka berdua melakukan perjalanan, jarang sekali Ceng Ceng tersenyum atau tertawa, pada hal biasanya gadis ini dahulu selalu berwajah ceria.

   Baru sekarang Cun Giok menyadari betapa gadis itu telah mengalami berbagai rintangan, halangan dan jerih payah yang sia-sia selama melakukan pencarian harta karun itu. Bahkan beberapa kali terancam bahaya maut. Semua usaha mati-matian itu tidak juga menemukan hasil. Dia sendiri sudah tiada nafsu lagi untuk mencari harta karun yang belum dapat dipastikan ada itu. Akan tetapi agaknya Ceng Ceng tak pernah putus asa sehingga tubuhnya tampak kurus dan wajahnya kehilangan cahayanya, bahkan agak pucat karena lelah dan juga karena tidak tentu makannya. Tiba-tiba saja hati Cun Giok merasa pedih penuh keharuan dan iba terhadap gadis itu yang dicintainya semenjak pertemuan pertama itu.

   Memandang wajah yang amat disayangnya itu, wajah yang tampak demikian menyedihkan, tak terasa lagi Cun Giok menghela napas panjang dan berat. Dia merasa sangat iba kepada Ceng Ceng, dan harus diakuinya bahwa cinta kasihnya semakin mendalam. Dia ingin melihat gadis yang mengalami banyak penderitaan ini berbahagia. Akan tetapi bagaimana mungkin? Ceng Ceng kehilangan ayah bunda dan gurunya, yang tewas terbunuh. Bahkan kehilangan harapannya ketika gadis ini saling mencinta dengan dia dan kemudian ternyata dia telah bertunangan dengan Siok Eng.

   Akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah mengeluh bahkan tidak pernah merasa sakit hati atau dendam. Gurunya, Im Yang Yok-sian, terbunuh oleh Li Hong tanpa ada kesalahan apapun, akan tetapi Ceng Ceng tidak mendendam, bahkan sebaliknya ia pernah mengorbankan peta untuk menyelamatkan gadis pembunuh gurunya itu. Bahkan kemudian ia mengangkat Li Hong sebagai adiknya! Di dunia ini, mana ada gadis sebijaksana, sebaik hati, dan selembut Ceng Ceng? Sedangkan dirinya sendiri?

   Ah, tampak jelas bahwa dia sama sekali tidak sepadan dengan Ceng Ceng, sama sekali tidak berharga untuk menjadi pendamping hidup gadis itu! Dia seorang pemuda gagal, seorang laki-laki yang tidak mampu melindungi calon istrinya sendiri. Walaupun belum menikah resmi dengan Siok Eng dia menganggap dirinya telah menjadi duda setelah Siok Eng terbunuh. Dia seorang pemuda sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa! Apa yang dapat diharapkan dari seorang pemuda seperti dia bagi seorang gadis seperti Ceng Ceng?

   

Naga Beracun Eps 26 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 21 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 2

Cari Blog Ini