Darah Pendekar 26
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
"Koko, apakah tidak ada jalan keluar?" Suara Bwee Hong agak gemetar Ia bukan seorang gadis penakut, akan tetapi melihat orang-orang Tai-bong-pai yang mengerikan itu menggotong peti mati, ia menjadi serem dan takut juga.
"Hong-moi, tenagaku belum pulih. Apakah engkau tidak dapat menggunakan sinkang untuk mematahkan ikatanmu dan menolongku?" Seng Kun balas bertanya.
"Belenggu ini tidak berapa kuat, kalau engkau menggunakan tenaga Pai-hud-ciang"
"Iblis keparat itu tadi menotokku dan pengaruh totokannya masih terasa, membuat aku tidak dapat mengerahkan sinkang sekuatnya," jawab Bwee Hong lirih dan jengkel.
"Hemmm, mungkin ikatan ini terlalu kuat bagi nona Ho, akan tetapi kalau saja A-hai sadar akan kekuatannya, kalau saja dia kumat, tentu sekali renggut akan bebaslah dia dan dengan kepandaiannya yang hebat, dia akan dapat menyelamatkan kita semua, tapi"
"Tapi dia dalam keadaan sadar dan lupa akan segala ilmunya itu, koko. Lalu bagaimana? apakah kita harus menghadapi semua ancaman ini tanpa berdaya sedikitpun?"
"Tenanglah, adikku. Aku sudah sembuh, hanya tenagaku yang belum pulih. Tunggu, aku akan mengumpulkan hawa mumi sebanyaknya dan mudah-mudahan saja usahaku tidak terlambat. Kalau tenagaku sudah pulih, aku dapat membebaskan kalian semua dan kurasa aku akan dapat pula menandingi ilmu sesat dari si kurus itu." Bwee Hong lalu berdiam diri, memberi kesempatan kepada kakaknya untuk memulihkan tenaganya dan ia sendiripun lalu menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga sinkangnya yang tidak dapat dikerahkan dengan baik akibat totokan yang dilakukan oleh Kwa Sun Tek terhadap dirinya. Malam tiba. Gelap sekali. Tempat itu hanya diterangi sebuah api unggun yang dibuat oleh orang-orang Tai-bong-pai. Cahaya api yang merah menerangi tempat itu, akan tetapi hanya remang-remang saja. Tidak ada angin bertiup, suasana amat sunyi menyeramkan.
Didekat api unggun berjajar empat buah peti mati dan diatas tanah dipasangi hio-hio membara yang mengeluarkan asap putih dan bau harum tapi menyeramkan. Asap hio yang membubung tinggi itu kadang-kadang tegak lurus karena tidak banyak angin bersilir malam itu. Seng Kun yang sedang tekun sekali menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga sinkangnya, menjadi terganggu sekali oleh bau asap hio itu. Akan tetapi dia berkeras untuk mengusir gangguan ini dan melanjutkan usahanya. Memang agak sukar baginya karena kedudukan tubuhnya. Kalau dia melakukannya dengan bersila, tentu hasilnya akan lebih cepat. Akan tetapi, dia berdiri dan kedua lengannya terangkat keatas karena terikat pada tali yang digantungkan pada cabang pohon itu. Bau asap hio itu sungguh keras menusuk hidung. Beberapa kali A-hai sampai terbangkis.
Ada dua puluh lima orang Tai-bong-pai duduk bersila mengelilingi api unggun itu dan Kwa Sun Tek sendiri duduk bersila didekat api. Upacara hio itu agaknya dimulai! Apakah sesungguhnya upacara hio ini? Suatu kebiasaan dari Tai-bong-pai yang amat mengerikan! Semacam upacara menghukum musuh dari Tai-bong-pai yang merupakan upacara tradisionil. Tadinya dimaksudkan untuk menghormati arwah orang-orang mati dengan memberi korban. Biasanya, dalam sembahyang menghormat arwah orang mati, korban berupa ayam, bebek, babi dan bermacam masakan yang seolah-olah merupakan sebuah pesta yang dihidangkan kepada arwah si mati yang diundang. Akan tetapi, dalam upacara hio itu, yang dikorbankan adalah orang-orang hidup, yaitu musuh-musuh yang tertawan, sebagai hukuman mati bagi musuh dan sebagai hidangan bagi arwah orang mati.
Hebatnya, yang bertugas membunuh musuh adalah mayat-mayat yang sengaja dihidupkan untuk keperluan ini! Dan bukan sembarangan orang yang akan mampu memimpin upacara ini. Dia harus memiliki tenaga Sakti Asap Hio dan juga mahir dengan Pukulan Mayat Hidup, ilmu yang paling tinggi dari Tai-bong-pai dan pada waktu itu, hanya tiga orang saja yang menguasainya, yaitu ketua Tai-bong-pai Kwa Eng Ki, isterinya, dan Kwa Sun Tek inilah. Kwa Siok Eng sendiri ketika melatih diri dengan ilmu-ilmu ini, karena salah latihan, sampai menderita lumpuh. Tenaga sakti ini, digabungkan dengan ilmu hitam, dapat dipergunakan untuk memanggil roh dan memerintahkan roh memasuki mayat, membuat mayat hidup kembali untuk sementara, untuk membunuh musuh yang dijatuhi hukuman.
Suasana semakin sunyi. Empat orang muda yang menjadi tawanan itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi atas diri mereka, namiun mereka dapat merasakan adanya suasana yang mengerikan dan ada getaran-getaran aneh yang membuat Pek Lian kadang-kadang menggigil. Tidak terdengar sesuatu kecuali lirih-lirih suara Kwa Sun Tek membaca mantera, mulutnya berkemak-kemik ketika dia bersila sambil mengheningkan cipta didekat api unggun. Tiba-tiba terjadi keanehan. Masih tidak ada angin bertiup sama sekali, akan tetapi kini api unggun yang bernyalanyala itu bergoyang-goyang dan asap hio-hio itupun tidak tegak lurus lagi, melainkan menari-nari seperti ada yang meniupnya, atau seolah-olah ada angin menyambal karena kehadiran sesuatu yang baru datang tapi tidak nampak oleh mata.
Melihat ini, para anggauta Tai-bong-pai itu yang duduk bersila, lalu menelungkup dengan kedua lengan diatas tanah, didepan kepala, seolah-olah memberi penghormatan kepada "yang baru datang." Sementara itu, Kwa Sun Tek masih terus bersila memejamkan kedua mata dan bibirnya berkemak-kemik semakin cepat. Hampir saja Pek Lian menjerit ketika kebetulan ia memandang kearah peti-peti mati itu, ia melihat empat sosok mayat dalam peti mati itu kini bangkit duduk dari dalam peti mati, kemudian dengan gerakan kaki empat sosok mayat itu keluar peti dan turun diatas tanah lalu menari-nari kaku dekat api unggun!
Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan sekali. Mayat-mayat itu melangkah kaku, dengan kedua lengan seperti kejang, pakaian compang-camping dan mengeluarkan bau busuk! Ada yang sudah mulai membusuk. Air kekuningan yang berbau busuk menetes-netes dari tubuh mereka, bahkan ada yang sudah mengeluarkan belatung! Suasana menyeramkan menyelubungi tempat itu. Tiba-tiba Kwa Sun Tek membuka matanya, memandang kearah empat sosok mayat hidup dan tersenyum puas. Lalu dia melayangkan pandang matanya kearah empat orang tawanan, dan menyeringai girang melihat keadaan mereka yang dicekam ketakutan. Dengan perlahan dia lalu menudingkan telunjuk larinya kearah Seng Kun, orang yang dia ketahui memiliki ilmu kepandaian paling tinggi akan tetapi berada dalam keadaan sakit, lalu dia berseru,
"Bunuh orang itu!" Empat sosok mayat itu memutar tubuh memandang kearah si kurus, kemudian perlahan-lahan memutar tubuh kearah yang ditunjuk dan ketika mereka melihat Seng Kun dan agaknya mengerti makna perintah itu, bersicepat mereka berempat itu seperti berlumba dengan langkah-langkah kaku menghampiri Seng Kun. Ketika mereka lewat didekat Pek Lian, tak tertahankan lagi Pek Lian muntah-muntah karena bau busuk itu sungguh membuatnya merasa muak dan jijik. Melihat ini, Seng Kun sudah siap siaga. Dia sudah merasa betapa sebagian dari tenaganya pulih kembali. Akan tetapi pada saat itu, sebelum dia bergerak, nampak bayangan berkelebat dan bayangan putih itu ternyata adalah seorang dara cantik yang muncul dari kegelapan malam.
"Koko, jangan!" teriak gadis berpakaian putih itu dan ia ini bukan lain adalah Kwa Siok Eng.
Tanpa membuang waktu lagi Siok Eng lalu duduk bersimpuh didekat kakaknya, mulutnya berkemak-kemik, Sungguh aneh. Empat sosok mayat itu tiba-tiba berhenti melangkah, bahkan tiba-tiba mereka itu roboh. Kemudian, nampak asap hio dan api kembali bergerak-gerak seperti tadi ketika Kwa Sun Tek memanggil arwah-arwah, agaknya kini arwah-arwah itu pergi meninggalkan tempat itu. Suasana yang menyeramkan dan aneh itupun lenyap bersama dengan datangnya kemarahan yang membuat muka Kwa Sun Tek yang biasanya pucat itu menjadi kemerahan. Akan tetapi Siok Eng tidak perduli. Melihat bahwa bahaya mengerikan telah lewat, ia lalu berlari kedepan dan menjatuhkan diri berlutut didepan kaki Seng Kun. Dengan pandang mata mesra dan lembut, dara itu terdongak memandang wajah penolongnya.
"In-kong, harap sudi memaafkan kesalahan kakakku yang ceroboh dan jahat itu." Seng Kun memandang wajah cantik itu dan tersenyum halus.
"Tidak mengapa, nona Kwa, agaknya ini hanya kesalah-pahaman belaka" Kwa Sun Tek sudah bangkit berdiri. Senjata pacul penggali kuburan itu menggigil ditangan kanannya dan mukanya kembali menjadi pucat seperti muka mayat, matanya mengeluarkan sinar berkilat saking marahnya.
"Siok Eng! Berani kau!" bentaknya dan dia sudah melompat kedepan, mengepal tinju. Dara itupun meloncat berdiri dan pada saat itu, Kwa Sun Tek sudah menerjangnya. Siok Eng menangkis dan dua tenaga sakti bertemu. Akan tetapi, baru saja Siok Eng memperoleh bunga hitam berdaun putih, dan ia belum sempat menyempurnakan ilmunya, maka ketika kedua lengan bertemu, iapun terjengkang dan bergulingan diatas tanah.
"Bocah lancang, berani engkau membela musuhku? Engkau layak dihajar!" bentak Kwa Sun Tek yang agaknya sudah marah sekali. Pemuda kurus itu sudah menerjang maju lagi, mengirim hantaman kearah Siok Eng yang baru saja bangun dengan pakaian kotor terkena debu.
"Desss!!" Tubuh Kwa Sun Tek terpental ke belakang dan dia memandang dengan mata terbelalak. Kiranya yang menangkis pukulannya atau yang menyambut dorongan tangannya dengan dorongan lain dari depan itu bukan lain adalah pemuda jangkung tampan yang tadinya masih terbelenggu.
Seng Kun telah dapat melepaskan belenggunya dan membantu Siok Eng menangkis pukulan itu dengan pengerahan tenaga sinkang. Tenaga sakti Pai-hud-ciang ternyata berhasil memukul mundur tenaga sakti Asap Hio! Dan pada saat itu, Pek Lian, Bwee Hong dan A-hai juga sudah terbebas dari belenggu dan berdiri dengan sikap menantang. Kiranya sebelum menangkis pukulan, Seng Kun juga berhasil membebaskan totokan yang mempengaruhi tubuh adiknya sehingga dengan sinkangnya Bwee Hong mampu mematahkan ikatan kaki tangannya kemudian gadis ini membebaskan Pek Lian dan A-hai. Melihat semua tawanannya sudah terlepas dan melihat betapa kini tenaga pemuda jangkung itu hebat sekali, Kwa Sun Tek menjadi gentar juga. Akan tetapi, Kwa Sun Tek mengandalkan anak-buahnya.
"Serbu dan bunuh mereka!" bentaknya kepada anak-buahnya. Akan tetapi Siok Eng juga melangkah kedepan menghadapi anak-buah Tai-bong-pai.
"Siapa berani maju melawan aku?" Tentu saja melihat puteri ketua mereka, semua anak-buah atau anggauta Tai-bong-pai menjadi ketakutan dan tidak ada yang berani maju atau bergerak! Mereka takut dan taat kepada Kwa Sun Tek sebagai putera ketua mereka, akan tetapi merekapun takut kalau harus melawan puteri ketua mereka sendiri.
"Siok Eng!" Kwa Sun Tek membentak marah.
"Engkau hendak berkhianat dan menghadapi Tai-bong-pai sebagai lawan? Tahu engkau apa hukumannya sebagai seorang pengkhianat? Engkau akan dikorbankan kepada arwah-arwah kalau kulaporkan kepada ayah dan ibu tentang sikapmu membela musuh Tai-bong-pai ini!"
"Hemm, engkaulah yang akan menjalani hukuman itu kalau kulaporkan kepada ayah-ibu!" Siok Eng juga membentak.
"Mereka ini bukan musuh-musuh Tai-bong-pai, sebaliknya malah. Taihiap ini adalah penolongku. Dia telah menyelamatkan aku dengan mengorbankan nyawa ayah-bundanya. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau memberontak dan berkhianat kepada ibu. Lihat baik-baik, apa yang dimilikinya ini?"
Siok Eng lalu menarik tali kalung yang tergantung dileher Seng Kun dan kini nampaklah benda yang berada diujung kalung, yang tadinya tersembunyi dibalik baju. Sebuah bendera logam dari Tai-bong-pai! Melihat benda itu, Kwa Sun Tek terkejut sekali. Itulah bendera pusaka yang biasanya hanya dipegang dan dimiliki ayah-bundanya saja. Kalau pemuda ini memilikinya, berarti bahwa dia telah dianggap sebagai orang yang sederajat dengan ketua Tai-bong-pai dan selalu harus dilindungi oleh Tai-bong-pai! Hatinya merasa penasaran dan kecewa sekali, akan tetapi didepan adiknya, dia tidak berani menentang. Kalau dia menentang dan sampai terdengar oleh ayah-bundanya, tentu dia tidak akan mampu meloloskan diri. Maka, dengan wajah bersungut-sungut dia lalu menjura kepada Seng Kun dan berkata,
"Maafkan kami, karena tidak tahu telah berani mengganggu. Tai-bong-pai akan selalu melindungi pemegang bendera pusaka."
"Ah, tidak mengapa. Sebagai kakak nona Siok Eng, bolehkah kami mengenal namamu?" Akan tetapi pertanyaan Seng Kun ini tidak dijawab karena Kwa Sun Tek telah menjura lagi dan pergi dari tempat itu setelah memberi isyarat kepada para anak-buahnya yang segera membawa mayat-mayat dan peti-peti itu pergi pula meninggalkan tempat itu entah kemana. Setelah mereka pergi, Pek Lian memegang tangan Siok Eng.
"Adik yang baik, sungguh mengerikan sekali ilmu-ilmu dari Tai-bong-pai itu. Dan melihat keadaanmu, sungguh hampir aku tidak percaya bahwa engkau adalah puteri ketua Tai-bong-pai dan adik dari si kurus yang lihai tadi" Siok Eng menarik napas panjang.
"Aku memang menjadi anak bandel dan suka melawan dalam keluarga kami, karena aku tidak menyetujui banyak hal dalam Tai-bong-pai. Karena itulah maka ayah tidak menurunkan ilmu-ilmu yang tertinggi sehingga terpaksa aku belajar sendiri sampai tersesat dan hampir mati karena salah latihan. Setelah demikian, barulah ayah-bundaku menolong membimbing. Kakakku itu sebenarnya tidak jahat, menurut ukuran Tai-bong-pai dan dia taat sekali terhadap perkumpulan kami. Memang kadang-kadang perkumpulan kami keras dalam menghukum musuh-musuh yang merugikan kami. Tapi, ibu sebenarnya bukan wanita kejam ah, sudahlah. Semua orang tahu bahwa Tai-bong-pai adalah sebuah perkumpulan sesat dan aku adalah puteri dari ketuanya." Dara itupun menarik napas panjang lagi dan kelihatan berduka. Melihat ini, Pek Lian menyimpangkan percakapan dan berkata,
"Eh, bagaimana engkau dapat menyelamatkan diri dari lautan itu, adik Eng?" Mereka lalu saling menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah karena perahu Tai-bong-pai itu pecah terbakar. Ternyata Siok Eng dan anak-buahnya berhasil menyelamatkan diri.
"Banyak anak-buahku yang tewas tenggelam. Setelah kami berhasil mendarat, aku perintahkan mereka pulang memberi laporan kepada ayah tentang segala hal, dan aku sendiri lalu mencari kesepanjang pantai kalau-kalau ada diantara kalian yang selamat. Untung aku dapat mencium bau hio itu dari jauh, kalau tidak" Mereka bercakap-cakap sambil melanjutkan perjalanan menuju kesebuah kota terdekat. Kota itu adalah kota Yen-kin yang berada paling dekat dengan pantai didaerah itu.
Mereka berlima memasuki sebuah restoran dan memesan hidangan. Biarpun malam telah agak larut, banyak juga tamu yang makan disitu. Semenjak mereka memasuki kota Yen-kin, sudah terasa suasana panas karena perang rakyat sudah berkelompok dan terpisah-pisah, terasa ada ketegangan dan permusuhan. Agaknya bentrokan dan kerusuhan dapat saja terjadi sewaktu-waktu dikota itu. Banyak toko menutup pintunya dan yang buka memberi harga tinggi kepada barang-barang dagangan mereka. Rakyat sudah bersiap dan mengumpulkan barang-barang untuk sewaktu-waktu dibawa pergi mengungsi. Padahal, perang baru terjadi didaerah barat dan utara, belum melanda daerah itu. Namun, suasana panas sudah terasa, bahkan percakapan-percakapan didalam restoran, diantara para tamu yang sedang makan, juga berkisar sekitar pemberontakan-pemberontakan itu.
"Pemberontak-pemberontak itu telah merebut sebuah kota lagi!" seorang laki-laki berpakaian pedagang bercerita kepada temannya sambil menghadapi hidangan. Lima orang muda itu saling pandang, akan tetapi tentu saja A-hai tidak begitu memperhatikan suasana ini. Seng Kun bertukar pandang dengan adiknya.
"Hemm, orang she Chu keturunan jenderal itu agaknya kini memberontak secara terbuka," bisiknya.
"Ihh, koko, jangan memburukkan shenya. Ingat, kitapun sekarang she Chu juga!" cela Bwee Hong. Kakaknya menghela napas panjang.
"Sayang bahwa kenyataannya demikian. Mudah-mudahan antara kita dan dia, si pemberontak itu, tidak ada hubungan darah kekeluargaan."
"Sayang bahwa Kaisar banyak melakukan tindakan-tindakan yang mengecewakan hati rakyat. Kalau rakyat merasa tidak senang kepada Kaisar, hal ini akan membuat mereka mudah terpancing oleh kaum pemberontak dan keadaan sungguh amat berbahaya," kata pula Bwee Hong. Pek Lian yang mengikuti percakapan mereka, mengangguk.
"Memang benar-Dan agaknya para pemberontak maklum akan hal ini dan memanfaatkannya." Tiba-tiba Seng Kun memandang kepada Siok Eng dan bertanya lirih,
"Maaf, nona. Apakah Tai-bong-pai juga melibatkan diri dalami kekeruhan negara ini?" Dengan keras Siok Eng menggeleng kepala.
"Setahuku tidak, inkong. Tai-bong-pai adalah perkumpulan bebas yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan diluar Tai-bong-pai."
"Tapi kakakmu" Setelah meragu sejenak, Seng Kun melanjutkan, berpikir bahwa terhadap dara ini yang sudah dikenal wataknya, lebih baik dia berterus-terang karena dara ini tentu berpihak kepadanya atau kepada yang benar.
"Dengar, nona. Perahu besar pasukan asing yang menyerang perahumu itu, ternyata berlabuh disini dan agaknya para pemimpinnya mengadakan pertemuan rahasia dengan kakakmu. Aku merasa curiga sekali bahwa ada persekutuan rahasia antara kakakmu dengan orang-orang Mongol itu." Siok Eng mjengerutkan alisnya.
"Ah, kakakku Kwa Sun Tek itu memang sejak dahulu berwatak keras dan aneh, suka memakai jalan kekerasan dan mencari menang sendiri. Entah apa lagi yang hendak dilakukannya sekarang. Biar, aku akan memberitahukan ayah agar diselidikinya dan kalau perlu dicegah perbuatannya yang akan menyeret Tai-bong-pai kepada kehancuran."
Setelah makan sambil bercakap-cakap lirih, mereka lalu mencari penginapan. Tiga orang dara itu tidur sekamar, dan dua orang pemuda itu tidur dilain kamar. Seng Kun mengatakan bahwa dia perlu untuk beristirahat dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan seluruh tenaganya yang sudah pulih sebagian besar akan tetapi belum sepenuhnya itu. Tiga orang dara itu masih belum tidur dan mereka masih bercakap-caikap. Tiba-tiba Siok Eng memberi isyarat agar mereka diam. Dara puteri ketua Tai-bong-pai ini memang paling tinggi ilmunya dibandingkan dengan kawan-kawannya. Diperhatikannya suara diluar pintu dan ia mendengar langkah-langkah orang, langkah-langkah dari orang-orang yang berkepandaian! Kini Pek Lian dan Bwee Hong juga mendengarnya. Ada beberapa orang lewat didepan kamar mereka.
"Kita harus berhasil menyelamatkannya!" kalimat ini terdengar oleh tiga orang gadis itu dan tentu saja mereka menjadi tertarik, terutama sekali Pek Lian dan Bwee Hong yang keduanya sedang melakukan tugas rahasia, yaitu mencari ayah Pek Lian.
Karena besarnya hasrat hatinya menyelamatkan ayahnya, maka mendengar kalimat itu, Pek Lian menjadi curiga dan tanpa kata-kata ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya, kemudian iapun keluar dari dalam kamar melalui jendela. Dua orang temannya mengikuti dan bagaikan tiga ekor burung saja, mereka berloncatan naik keatas wuwungan rumah dan melakukan pengintaian. Mereka melihat empat orang laki-laki yang dari langkah kakinya dapat diketahui berilmu silat tinggi. Empat orang ini keluar dari rumah penginapan, dan setelah berjalan keluar kota, merekapun melanjutkan perjalanan dengan ilmju berlari cepat. Tentu saja tiga orang gadis itu tertarik dan membayangi mereka. Tak lama kemudian, ditempat yang sunyi empat orang itu berhenti dan disitu telah berkumpul belasan orang pula. Ketika seorang diantara mereka bicara, Pek Lian menjadi girang dan juga terkejut bukan main.
"Para penyelidik kita mendengar berita bahwa Menteri Ho akan menjalani hukuman mati, dilakukan oleh perajurit-perajurit pemerintah, diluar kota Yen-tai, pada besok malam. Kita harus cepat bergerak. Yang penting, kita harus cepat memberi tahu kepada Sin-kauw Song-taihiap. Dia berada disini." Mendengar ucapan ini, tentu saja Pek Lian girang sekali. Ia berbisik kepada dua orang kawannya.
"Mereka ini tentu teman Sin-kauw Song Tek Kwan, seorang diantara Huang-ho suhiap, yaitu seorang diantara guru-guruku. Mereka akan berusaha membebaskan ayah. Aku akan mengikuti mereka, aku ingin bertemu dengan guruku."
"Tapi, bagaimana dengan A-hai dan kakakku yang sedang mengobati dirinya dirumah penginapan itu?" tanya Bwee Hong.
"Kalian pulanglah, biar aku sendiri yang pergi," jawab Pek Lian.
"Aih, mana bisa begitu?" bantah Bwee Hong.
"Aku harus menggantikan tugas kakakku."
"Biarlah aku yang kembali kepenginapan dan besok akan kuceritakan kepada inkong tentang kepergian kalian ini," kata Siok Eng. Dua orang kawannya setuju dan puteri ketua Tai-bong-pai itupun segera meninggalkan tempat itu, kembali kerumah penginapan. Sementara itu, Pek Lian dan Bwee Hong segera mengikuti dan membayangi rombongan orang gagah yang berangkat meninggalkan tempat pertemuan diluar kota itu. Mereka memasuki hutan, mendaki bukit dan turun disebuah lembah yang sunyi. Dan mereka itu tiba ditepi sebuah hutan kecil dimana terdapat sebuah pondok bambu sederhana.
"Song-taihiap! Kami datang dari Lembah Yang-ce!" Seorang diantara mereka berkata kearah pintu pondok yang tertutup. Kiranya itu merupakan kata-kata sandi untuk saling mengenal diantara para pendekar patriot. Daun pintu terbuka dan seorang laki-laki yang usianya menjelang lima puluh tahun, mukanya kecil hidungnya pesek dan muka itu kelihatan seperti muka monyet, keluar sambil membawa lampu gantung. Melihat kakek ini, Pek Lian merasa terharu sekali dan iapun meloncat keluar dari tempat sembunyinya sambil berseru memanggil,
"Song-suhu!" Semua orang terkejut dan Sin-kauw Song Tek Kwan, orang keempat dari Huang-ho suhiap, juga terkejut dan mengangkat obornya tinggi-tinggi sambil membalikkan tubuh memandang Pek Lian. Seketika wajahnya berseri gembira ketika dia mengenal wajah muridnya yang tercinta itu.
"Nona Ho Pek Lian!" teriaknya sambil melangkah maju menghampiri.
"Suhu!" Hubungan antara Pek Lian dan keempat orang suhunya memang akrab sekali, seperti kepada paman sendiri saja. Maka kinipun, dalam keadaan terharu, Pek Lian tidak melakukan banyak peraturan, melainkan lari menghampiri dan memegang tangan gurunya itu, matanya basah dan air mata menitik turun keatas pipinya,
"Song suhu ah, Tan-suhu dan Liem-suhu" Ia tidak dapat melanjutkan, lehernya seperti tercekik rasanya teringat akan kematian dua orang gurunya ketika mereka dikeroyok oleh pasukan pemerintah. Sin-kauw (Monyet Sakti) Song Tek Kwan mengangguk-angguk.
"Aku sudah tahu, aku sudah mendengar akan hal itu. Mereka berdua tewas sebagai pendekar sejati, dan darah mereka hanya menambah mengalirnya darah pendekar dibumi kita, semoga menjadi pupuk bagi tanah air. Sudahlah, seorang wanita perkasa seperti engkau ini tidak patut kalau meruntuhkan air mata, nona Ho. siapakah kawanmu itu?" tanya Sin-kauw Song Tek Kwan sambil menunjuk kepada Bwee Hong yang juga muncul mengikuti Pek Lian.
"Ia adalah enci Chu Bwee Hong "
"She Chu?" Sin-kauw Song Tek Kwan memotong, memandang kaget.
"Jangan khawatir, suhu. Biarpun enci Hong ini she Chu, akan tetapi tidak ada hubungannya sedikitpun juga antara ia dan Chu Siang Yu. Dan ia ini adalah pewaris dari Bu-Eng Sin-yok-ong."
"Ahhh!" Si Monyet Sakti berseru takjub dan cepat menjura sebagai penghormatan terhadap gadis yang diperkenalkan sebagai keturunan Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan itu. Bwee Hong cepat membalas penghormatan itu dan Sin-kauw lalu memperkenalkan dua orang gadis itu kepada teman-temannya. Semua pendekar memandang Pek Lian dengan hormat karena semua pernah mendengar nama murid Liu-twako yang telah diangkat menjadi pemimpin para pendekar, bahkan yang ayahnya amat terkenal karena ayahnya adalah Menteri Ho yang sedang dijadikan bahan percakapan itu. Mereka lalu memasuki pondok untuk bercakap-cakap didalam pondok. Berada diantara para pendekar ini Pek Lian merasa betah seperti dirumah sendiri, juga Bwee Hong merasa suka akan sikap para pendekar yang gagah itu.
"Kebetulan sekali engkau datang, nona Ho. kami memang sedang merencanakan untuk menyelamatkan Menteri Ho, ayahmu. Kami mendengar berita bahwa Menteri Ho akan dihukum mati oleh pasukan pemerintah diluar kota Yen-tai. Maka kami berkumpul disini dan mempersiapkan kawan-kawan untuk menyergap dan menyelamatkan ayahmu besok malam, sebelum pelaksanaan hukuman itu terjadi."
Mereka lalu mengatur siasat dan membagi tugas. Para pendekar itu mendapatkan tugas untuk menghubungi dan mengajak para pendekar yang berada diluar kota, dan pada besok sore sudah harus berkumpul disemua pintu gerbang kota Yen-tai. Setelah mengadakan perundingan sampai jauh malam, mereka semua beristirahat dan dua orang gadis itupun beristirahat didalam pondok bambu, mendapatkan kamar untuk dipakai mereka berdua sedangkan para pendekar pria beristirahat diruangan luar. Pada keesokan harinya, mereka berpencar, ada yang pergi mencari para pendekar, dan ada pula yang langsung menuju kekota Yen-tai yang letaknya kurang lebih dua puluh li dari situ.
Pek Lian dan Bwee Hong bersama Sin-kauw Song Tek Kwan menuju kepintu gerbang kota Yen-tai sebelah barat, dimana mereka menanti kawan-kawan dan menanti datangnya malam sambil mengintai kearah pintu gerbang untuk melihat setiap orang yang keluar masuk. Mereka mengenal banyak pendekar yang berdatangan, akan tetapi mereka itu hanya saling pandang dan pura-pura tidak saling mengenal, namun kesemuanya bersiap-siap tak jauh dari pintu gerbang. Demikian pula dengan para pendekar yang telah mengadakan persiapan dipintu-pintu gerbang lain dan diantara pintu-pintu gerbang ini terdapat kontak melalui kurir-kurir yang pergi datang tiada hentinya. Malam tiba dan apa yang mereka tunggu-tunggupun terjadilah. Sebuah kereta yang jendela dan pintunya tertutup rapat keluar dari pintu gerbang barat, diiringkan oleh pasukan pengawal yang kuat.
Melihat ini, Sin-kauw, Pek Lian dan Bwee Hong bergegas membayangi dan para pendekar yang berjaga dipintu-pintu gerbang lainnya segera diberi kabar dan merekapun cepat melakukan pengejaran dan ikut membayangi. Jumlah para pendekar ini lebih dari seratus orang! Sesuai dengan rencana para pendekar, ketika kereta tiba disebuah dataran luas, para pendekar menghadang dan mengepungnya. Lebih dari seratus orang pendekar mengepung dan menyerbu. Pasukan pengawal yang jumlahnya hanya dua puluh lima orang itu melawan. Akan tetapi tentu saja mereka kewalahan walaupun mereka merupakan pasukan pengawal pilihan karena para penyerbu itu selain berjumlah lebih besar, juga rata-rata memiliki ilmu silat yang kuat. Para perajurit pengawal itu mundur sambil melawan sedapat mungkin, akan tetapi banyak diantara mereka yang roboh.
Kereta itupun ikut dibawa mundur sampai kelembah yang tak berapa jauh dari dataran itu. Ketika para pengawal itu sudah terdesak hebat dan sebagian besar diantara mereka sudah roboh, tiba-tiba saja pintu kereta terbuka dan dari dalam kereta itu muncul seorang laki-laki kurus yang memiliki gerakan gesit sekali. Dan begitu dia meloncat keluar dan menerjang para pengeroyok, empat orang anggauta pasukan pendekar terlempar kesana-sini, dan pada saat itu tercium bau dupa harum yang keras. Pek Lian dan Bwee Hong terkejut sekali ketika mengenal pemuda kurus yang bukan lain adalah Kwa Sun Tek, kakak dari Siok Eng, putera ketua Tai-bong-pai yang amat lihai itu. Melihat kelihaian pihak lawan ini, Sin-kauw Song Tek segera menubruk dengan sebuah loncatan cepat. Kedua tangannya terulur hendak mencengkeram muka dan dada lawan.
"Haiiiiittt!" Bentaknya dengan serangan kilat sambil melompat itu.
"Huhh!" Pemuda kurus yang kini mengenakan jubah biru itu mendengus dan kedua lengannya menangkis dari atas kebawah.
"Desss!" Tubuh Sin-kauw Song Tek terpelanting clan dia tentu akan roboh terbanting kalau saja dia tidak memiliki kegesitan dan cepat dia menggulingkan tubuh keatas tanah. Melihat betapa kakek itu sama sekali tidak dapat menandingi Kwa Sun Tek jagoan muda Tai-bong-pai yang lihai itu, Pek Lian dan Bwee Hong segera menerjang maju dan menyerangnya. Dua orang dara perkasa ini masih dibantu oleh beberapa orang pendekar. Tentu saja Kwa Sun Tek merasa kewalahan dan maklum bahwa dia dikeroyok oleh orang-orang lihai, terutama dara cantik jelita Chu Bwce Hong yang memiliki ginkang istimewa itu. Maka sambil berteriak panjang Kwa Sun Tek meloncat kebelakang, lalu naik kembali kedalam kereta yang dilarikan cepat turun kelembah.
"Kejar! Rampas kereta itu!" teriak Sin-kauw Song Tek Kwan menganjurkan kawan-kawannya dan mereka semua melakukan pengejaran sampai kelembah. Kereta itu berhenti ditengah lembah dan begitu semua pendekar masuk lembah itu, tiba-tiba terdengar terompet disusul sorak-sorai gemuruh. Muncullah ratusan orang perajurit yang tadinya bersembunyi dibalik semak-semak belukar dan tempat itu telah terkepung ketat!
"Celaka! Kita terjebak. Mundur lari!" Sin-kauw Song Tek Kwan berteriak lantang. Namun terlambat. Tidak ada jalan keluar lagi, Pasukan yang besar jumlahnya itu sudah mengepung dan menyerbu dari segala jurusan. Para pendekar itu tentu saja melawan mati-matian dan terjadilah perang kecil di lembah itu, perang yang dahsyat dan mengerikan, kejam dan tidak mengenal ampun. Akan tetapi, biarpun para pendekar melawan mati-matian dan nekat, pertempuran itu lebih menyerupai pembantaian karena jumlah para pendekar itu kalah jauh. Sin-kauw Song Tek Kwan sendiripun akhirnya roboh dan para pendekar itu satu demi satu roboh terluka atau tewas. Melihat ini, bukan main marahnya hati Pek Lian dan dara ini mengamuk bagaikan seekor naga dan agaknya ia akan melawan terus sampai mati kalau saja tangannya tidak disambar oleh Bwee Hong dan diajak pergi dari situ.
"Mari kita pergi, adik Lian!" teriak Bwee Hong sambil menarik dara itu dan membawanya loncat menjauh. Pek Lian hendak membantah akan tetapi Bwee Hong menyeretnya dan berkata,
"Tidak perlu bunuh diri, lain waktu kita masih dapat membuat perhitungan!" Akhirnya, dengan amukan mereka, dua orang dara itu berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri. Akan tetapi, diantara seratus lebih orang pendekar yang menjadi anak-buah Liu-Bengcu itu, tidak ada yang dapat lolos.
Semua dibantai, sebagian besar tewas dan sebagian pula dengan sengaja hanya dibuntungi lengan mereka dan dibiarkan hidup untuk menyaksikan hukuman mati yang dilaksanakan ditempat itu juga terhadap seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang bersikap tenang dan agung. Kakek ini mengenakan pakaian pembesar yang sudah rompang-ramping, tubuhnya kurus, jenggot dan rambutnya panjang riap-riapan, akan tetapi pandang matanya masih tajam dan lembut. Para pendekar yang roboh terluka dan belum tewas, dengan terkejut mengenal Menteri Ho yang dibawa ketempat itu oleh rombongan perajurit. Kemudian, para pendekar yang terluka itu hanya dapat mengucurkan air mata ketika mereka melihat betapa Menteri tua yang mereka kagumi dan hormati itu dihukum mati dengan tusukan pedang pada lambungnya!
Tubuh tua kurus itu terkulai dan tewas mandi darahnya sendiri, menggeletak begitu saja diatas tanah yang sudah ternoda darah pertempuran tadi. Menteri yang setia dan jujur ini tewas dalam keadaan menyedihkan, tanpa upacara, bahkan pelaksanaan hukuman itupun nampaknya liar, disaksikan oleh para pendekar yang sudah luka-luka! Ketika kakek bangsawan ini tewas, para perajurit bersorak dan jenazah bekas Menteri itu lalu dikubur ditempat itu juga secara sederhana, hanya dilemparkan kedalam lubang dan ditimbuni tanah dan batu. Setelah itu, pasukan pemerintah meninggalkan tempat itu, membiarkan bekas lawan yang terluka begitu saja tanpa membunuh mereka dan ini memang merupakan perintah yang harus mereka laksanakan sebagai siasat atasan mereka.
Para pendekar yang dibiarkan hidup dalam keadaan terluka dan buntung kaki atau tangannya itu, menjadi saksi dari pada pelaksanaan hukuman mati terhadap diri Menteri Ho dan tentu saja para pendekar yang dibiarkan hidup ini akan menjadi corong dan terompet mereka untuk mengabarkan kepada rakyat jelata bahwa pasukan pemerintah membantai para pendekar dan menghukum mati Menteri Ho. Siasat inilah yang dijalankan oleh Kwa Sun Tek dan sekutunya sebagai rencana yang diatur oleh pemberontak Chu Siang Yu dalam usahanya mengadu domba antara pemerintah dan para pendekar dibawah bimbingan Liu-Bengcu. Kwa Sun Tek memasuki kota Yen-tai bersama sekutunya dengan gembira sekali. Mengingat akan jasa-jasanya, maka Kwa Sun Tek lalu dijamu oleh para perwira yang menjadi utusan gubernur wilayah timur yang bersekutu dengan pemberontak Chu Siang Yu,
Dan hadir pula disitu sekutu mereka yang lain, yaitu raksasa peranakan Mongol yang bernama Malisang itu. Apa yang telah terjadi siang tadi, pembantaian para pendekar dan dilaksana-kannya hukuman mati terhadap Menteri Ho didepan para pendekar yang terluka tapi belum tewas, adalah pelaksanaan dari pada siasat yang dibisikkan oleh Kwa Sun Tek pada rekan-rekan sekutunya ketika diadakan pertemuaan diantara mereka itu. Ternyata siasat itu berjalan dengan baik sekali. Sekali pukul mereka memperoleh dua keuntungan besar. Pertama dapat menghancurkan sebagian dari pada kekuatan para pasukan pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang, dan kedua menanam persangkaan rakyat dan terutama para pendekar bahwa Menteri Ho dihukum mati oleh Kaisar yang berarti Kaisar mengingkari janji.
Hal ini pasti akan menimbulkan dendam dan tentu para pendekar akan menentang Kaisar sehingga keduanya akan terpecah. Hal ini amat menguntungkan bagi usaha pemberontakan Chu Siang Yu. Dan memang kenyataannyapun demikianlah. Para pendekar yang terluka dan buntung kaki atau tangannya itu, dengan susah payah dapat melarikan diri dari lembah dalam keadaan luka parah, dan tentu saja mereka tidak tinggal diam dan menceritakan semua peris-tiwa itu kepada siapa saja. Dengan demikian, sebentar saja menjadilah berita dikalangan rakyat bahwa Menteri Ho telah dihukum mati oleh Kaisar, dan bahwa pasukan pendekar dibawah pimpinan Liu-Bengcu telah dibantai habis-habisan oleh para perajurit pasukan pemerintah.
Pek Lian dan Bwee Hong yang berhasil meloloskan diri itu juga mendengar akan pelaksanaan hukuman mati dari Menteri Ho dan dibasminya semua pendekar. Mereka belum jauh meninggalkan tempat itu dan mereka bertemu dengan seorang pendekar yang buntung lengannya dan dari pendekar inilah mereka mendengar berita itu. Tentu saja Pek Lian menjadi berduka dan terkejut sekali. Ia menangis sepanjang perjalanan ketika ia dibujuk untuk kembali ke Yen-kin, dimana menunggu Seng Kun, A-hai dan Siok Eng. Ketika Siok Eng dan Seng Kun mendengar berita buruk itu, mereka ikut merasa berduka dan penasaran sekali. A-hai yang ikut mendengarkan hanya mengerutkan alisnya, bukan karena berita itu, melainkan karena terharu dan kasihan melihat Pek Lian menangis demikian sedihnya.
"Sudahlah, enci Lian," kata Siok Eng dengan tenang. Dara ini hidup diantara kaum sesat dan sudah banyak mengalami hal-hal mengerikan, maka jaranglah ada hal yang dapat membuat darahnya yang dingin menjadi terharu.
"Kematian bukan apa-apa bagi seorang gagah." Pek Lian menyusut air matanya dan memandang kepada gadis Tai-bong-pai itu.
"Aku tidak menangisi kematian ayah, melainkan menangis karena menyesal mengapa aku sebagai anaknya tidak mampu menyelamatkan ayah didepan hidungku sendiri." Tiba-tiba Siok Eng kelihatan marah dan mengepal tinjunya.
"Hemm, kakakku yang keparat itu! Siapa kira dia melanggar pantangan Tai-bong-pai dan membiarkan dirinya menjadi kaki tangan pemerintah! Aku akan melaporkan hal ini kepada ayah dan dia pasti akan menerima hukumannya!" Bwee Hong mengerutkan alisnya.
"Aku merasa heran sekali mengapa Sribaginda Kaisar melanggar janji sendiri dan menjatuhkan hukuman mati juga kepada Menteri Ho."
Seng Kun sejak tadi termenung saja tidak mengeluarkan kata-kata, akan tetapi diam-diam diapun merasa heran seperti adiknya. Akan tetapi dia tetap tidak dapat percaya bahwa pelaksanaan hukuman terhadap Menteri Ho itu adalah atas perintah Kaisar. Bukankah Kaisar telah mengutus dia untuk mencari dan menyelamatkan Menteri Ho yang diculik orang? Tidak mungkin kalau Kaisar memberi perintah lain untuk menghukum mati Menteri itu. Tentu ada hal-hal yang tidak beres dalam urusan ini. Apa lagi melihat munculnya Kwa Sun Tek, pemuda Tai-bong-pai itu yang kemarinnya telah mengadakan pertemuan didekat pantai dengan pasukan kapal asing. Diam-diam dia merasa curiga sekali dan ingin menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi dibalik peristiwa hukuman aneh itu.
"Aku harus melihat kuburan ayah dan bersembahyang disana. Harus!!" tangis Pek Lian.
"Akan tetapi, hal itu tentu sangat berbahaya, enci!" cela Siok Eng.
"Siapa tahu pasukan mengadakan penjagaan dan pengintaian dan akan turun tangan terhadap siapa saja yang berani datang bersembahyang."
"Aku tidak perduli! Kalau ada yang menggangguku, aku akan mengamuk dan biarlah aku mati dikuburan ayahku!" Kembali gadis itu menangis. Teman-temannya segera menghiburnya.
"Baik, malam nanti kita bersama pergi kekuburan. Aku pun ingin sekali tahu apa yang sebetulnya telah terjadi," kata Seng Kun.
"Kesehatanku telah pulih, tenagaku telah kembali, aku akan dapat membantumu sekarang, nona." Mereka menanti sampai siang terganti senja.
"Kuharap saudara A-hai tinggal saja dilosmen ini, menanti kami pulang," Seng Kun berkata kepada pemuda sinting itu. A-hai menggeleng kepala keras-keras.
"Aku tidak suka ditinggal, aku mau ikut! Nona Bwee Hong..., Pek Lian... biarkan aku ikut!" Memang aneh pemuda sinting ini. Dia lupa segala, akan tetapi nama Pek Lian dan Bwee Hong dia tidak pernah lupa!
"Tapi kita melakukan perjalanan yang berbahaya sekali!" Siok Eng mencegah karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dan pemuda sinting ini tidak dapat menjaga diri, kecuali kalau sedang kumat. Akan tetapi siapa tahu kapan kumatnya?
"Biarpun berbahaya aku tidak takut. Biarlah kalian berempat tidak usah memikirkan aku, tidak perlu menjagaku. Apapun yang terjadi kepada diriku, aku tanggung sendiri dan tidak akan menyalahkan kalian." Tentu saja empat orang pendekar itu tidak dapat membantah lagi. Bagaimanapun juga, mereka semua maklum bahwa kalau pemuda ini sedang kambuh, tidak ada seorangpun diantara mereka yang akan mampu menandingi kelihaiannya. A-hai gembira sekali ketika diperbolehkan dan malam itu berangkatlah mereka meninggalkan losmen dengan cepat menuju kelembah bukit dimana terjadi pertempuran pada siang hari tadi. Baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota, serombongan orang yang berpakaian ringkas dan bersikap gesit mendahului mereka. Orang-orang itu lalu menoleh dan menghentikan langkah mereka, seorang diantara mereka menyapa lirih,
"Kalian dari gunung mana?" Tentu saja Seng Kun dan teman-temannya termangu-mangu mendengar pertanyaan ini. mereka tahu bahwa pertanyaan itu merupakan semacam kata sandi untuk mengenal lawan atau kawan, akan tetapi karena mereka sama sekali tidak tahu arti kata sandi itu, merekapun hanya memandang bengong. Akan tetapi A-hai segera menjawab dengan nada suara lucu, tanda bahwa pemuda ini sedang bergembira dan dalam keadaan sehat,
"Maaf, kami bukan dari gunung!" Serombongan orang itu memandang dengan penuh kecurigaan, akan tetapi karena cuaca hanya remang-remang, mereka tidak dapat melihat banyak. Seng Kun dan teman-temannya juga tidak banyak cakap dan melanjutkan perjalanan dengan cepat. Ditengah perjalanan A-hai mengomel.
"Heran sekali, kenapa tiba-tiba bertanya apakah kita datang dari gunung? Eh, nona-nona, apakah orang macam aku ini kelihatan kampungan dan seperti orang gunung?" A-hai menunjuk hidungnya sendiri. Melihat sikap ini, tiga orang dara itu tertawa dan sejenak Pek Lian dapat melupakan kesedihannya.
"Engkau sepantasnya datang dari alam rahasia, A-hai!" kata Siok Eng menggoda. Ketika mereka tiba dikaki bukit, ditepi hutan kecil nampak beberapa orang laki-laki berdiri ditepi jalan. Ketika mereka lewat, orang-orang itu menyapa mereka dengan pertanyaan yang sama,
"Kalian dari gunung mana?" Kembali rombongan Seng Kun tak dapat menjawab dan melihat betapa rombongan yang mereka sapa itu tidak dapat menjawab, merekapun cepat pergi. A-hai menggaruk-garuk kepalanya.
"Duhai betapa banyaknya orang gila didunia ini!" Kembali kawan-kawannya tersenyum melihat sikap A-hai ini. Dia sendiri kalau sedang kumat kaya orang gila tanpa disadarinya sendiri, kini mengatakan orang lain gila.
"Agaknya ada sesuatu yang tidak wajar. Kita harus berhati-hati," kata Seng Kun kepada tiga orang dara itu yang sudah mengerti dan merekapun menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang gawat. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika mereka tiba diluar lembah, tiba-tiba saja mereka telah dikepung oleh puluhan orang yang bersenjata lengkap dan diantara mereka terdapat orang-orang yang tadi menegur dan menyapa mereka.
Tentu saja Seng Kun dan tiga orang dara itu menjadi marah dan tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu menerjang kedepan dan mengamuk. Biarpun para pengeroyok itu berjumlah puluhan orang, akan tetapi ternyata mereka itu merasa kewalahan menandingi amukan empat orang pendekar muda yang lihai itu. Hanya A-hai yang tidak ikut berkelahi. Pemuda ini hanya berdiri bingung dan berulang-ulang menegur dan mencela, menyuruh mereka jangan berkelahi. Tentu saja pemuda ini akan celaka dan terluka kalau saja Bwee Hong dan Pek Lian tidak selalu melindunginya. Dua orang dara ini mengamuk tidak jauh dari tempat A-hai berdiri dan setiap kali ada pengeroyok berani mendekati dan menyerang A-hai, tentu mereka robohkan dengan tamparan atau tendangan.
"Tahan, jangan berkelahi!" Tiba-tiba terdengar seruan orang yang penuh wibawa dan semua pengeroyok menahan senjata dan mundur. Seorang laki-laki yang gagah perkasa, sikapnya tenang namun berwibawa, berpakaian sederhana seperti petani, mukanya agak kurus dan tubuhnya jangkung, muncul menghadapi lima orang muda itu. Ketika melihat laki-laki gagah perkasa yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun ini, Pek Lian berteriak girang.
"Suhu!!"
"Nona Ho, tak kusangka akan dapat bertemu denganmu disini!" kata laki-laki gagah itu yang bukan lain adalah Liu Pang atau lebih terkenal dengan sebutan Liu-twako atau Liu-Bengcu.
"Mari kita menjauhi tempat ini dan bicara ditempat aman." Tanpa membantah Pek Lian lalu mengajak kawan-kawannya pergi bersama mereka, menghilang didalam kegelapan sebuah hutan tak jauh dari lembah. Kiranya ditengah hutan ini telah didirikan sebuah pondok darurat dan Liu Pang mengajak lima orang muda itu masuk kedalam pondok dimana dinyalakan sebuah lampu gantung. Pek Lian memperkenalkan gurunya kepada teman-temannya.
"Inilah guruku." Seng Kun, Bwee Hong, dan Siok Eng, juga A-hai memberi hormat kepada laki-laki gagah perkasa itu dan A-hai berkata lantang,
"Pantas saja nona Pek Lian gagah perkasa, kiranya gurunya juga seorang yang amat gagah!" Mendengar ini, Liu Pang hanya tersenyum. Pemuda itu kelihatan begitu gagah, akan tetapi kejujurannya itu berbau ketololan!
"Sudah lama kami mendengar nama besar Liu-Bengcu!" kata Seng Kun.
"Nona Ho, siapakah teman-temanmu ini? semuda ini sudah memiliki kepandaian demikian hebatnya sehingga para pendekar kewalahan dibuatnya." Pendekar yang kini menjadi pimpinan rakyat itu memang selalu menyebut nona Ho kepada muridnya, hal ini tentu saja karena Pek Lian adalah puteri seorang Menteri yang berkedudukan tinggi.
"Suhu, twako dan enci ini adalah Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong, keduanya adalah keturunan dan ahli waris dari Bu-Eng Sin-yok-ong! Dan adik ini adalah Kwa Siok Eng, puteri ketua Tai-bong-pai! Sedangkan twako ini adalah... eh, namanya dikenal sebagai A-hai saja. Dia sendiri lupa akan asal-usulnya, akan tetapi kalau dia sedang kesetanan, tidak ada seorangpun didunia ini yang akan dapat melawannya!"
"Wah, wah, jangan begitu Pek Lian. Apakah aku kadang-kadang kemasukan setan?" A-hai memprotes, menimbulkan senyum mereka.
"Siancai, tak kusangka akan dapat bertemu dengan orang-orang muda yang ternyata adalah keturunan tokoh-tokoh besar yang amat hebat! Sungguh merupakan kegembiraan besar sekali. sayang kami sedang dalam keadaan prihatin sehingga tidak dapat menyambut sepatutnya kepada cuwi (anda sekalian). Nona Ho, bagaimana engkau dapat muncul disini bersama sahabat-sahabatmu ini?" Ditanya demikian, tak tertahankan lagi Pek Lian menangis.
"Suhu, ayah" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
(Lanjut ke Jilid 19)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 19
Liu-Bengcu menarik napas panjang.
"Aku sudah tahu akan hal itu, juga kehancuran teman-teman yang seratus lebih banyaknya, bahkan ada puluhan lain teman kita yang kini masih tertawan di Yen-tai. Karena itulah maka aku datang kesini bersama kawan-kawan dan kami telah mengatur siasat. Ketika tadi rombonganmu lewat, kawan-kawan mengira bahwa kalian dari pihak musuh atau pihak lain yang akan mengacaukan rencana kami, maka mereka menyergap kalian."
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ingin menyembahyangi kuburan ayah, suhu" Kembali pendekar besar itu menarik napas panjang.
"Aku mengerti bagaimana perihnya hatimu, nona. Akan tetapi ayahmu tewas sebagai seorang pahlawan sejati. Kami bahkan mempunyai rencana yang lebih besar dari pada sekedar menyembahyanginya. Kami bermaksud mengambil jenazah ayahmu agar dapat kita makamkan sebagaimana layaknya."
"Ah, terimakasih, suhu!" Pek Lian berkata pe nuh semangat dan kegembiraan.
"Bagaimana rencana itu? Aku akan membantu, kalau perlu berkorban nyawa menghadapi para pembunuh ayah itu!"
"Jangan terburu nafsu, muridku. Didalam urusan ini terdapat hal-hal yang penuh rahasia. Pada mulanya aku sendiripun penasaran sekali mengapa Sribaginda Kaisar yang sudah mengampuni para Menteri bahkan berjanji akan mendudukkan mereka kembali kekursi mereka semula, tiba-tiba saja memerintahkan pasukan kerajaan untuk melaksanakan hukuman mati terhadap ayah-mu secara liar. Akan tetapi sekarang aku mengerti dan kiranya semua ini terjadi karena ada pihak ketiga yang hendak memberontak terhadap Kaisar dan juga hendak menghancurkan kita dan merusak nama baik kita."
Liu Pang lalu menceritakan dengan singkat. Dia telah menyelidiki dirumah kepala daerah di Yen-tai dan melihat betapa pembesar itu bersama para perwira telah mengadakan perjamuan untuk menghormati orang-orang Mongol dan beberapa orang lain yang telah membantu terlaksananya siasat mereka itu. Liu Pang tidak menyebut nama Kwa Sun Tek, akan tetapi Siok Eng mendengarkan dengan jantung berdebar dan muka merah. Dari percakapan dalam pesta itu, Liu Pang yang melakukan pengintaian itu baru mengerti bahwa pembunuhan terhadap Menteri Ho dan penyergapan yang merupakan perangkap terhadap anak-buahnya adalah siasat yang direncanakan dari perseku-tuan pemberontak itu.
"Mereka sudah tahu pula akan gerakan rombonganku yang tiba disekitar kota," sambung pemimpin para pendekar itu.
"Dan mereka telah merencanakan siasat baru untuk menghancurkan rombonganku dengan jalan menyebar berita bahwa kuburan Menteri Ho akan dibongkar pada besok malam. Mereka berpendapat bahwa kita tentu akan mengambilnya lebih dulu sebelum malam datang dan mereka telah mempersiapkan pasukan untuk menjebak dan menyergap kita." Seng Kun mengangguk-angguk. Tepat seperti yang diduganya. Tentu ada pihak ketiga yang mengacau.
"Maaf, Liu-Bengcu, kalau boleh saya tahu. Siapakah pihak ketiga itu? Siapakah yang menggerakkan persekutuan ini? Apakah pembesar setempat sini yang hendak memberontak?" Liu Pang menghela napas panjang.
"Memang belum terdapat buktinya, akan tetapi melihat cara mempergunakan siasat yang amat cerdik itu, aku mempunyai dugaan bahwa yang berada dibalik semua ini tentulah otak dari Chu Siang Yu."
"Bengcu yang bergerak dibarat itu?'" tanya Seng Kun. Liu Pang mengangguk.
"Aku pernah membantunya dan tahu akan kecerdikannya."
"Suhu, lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Pek Lian bertanya.
"Pertamatama, malam ini juga kita harus dapat mengambil jenazah ayahmu! Kita bergerak kilat sehingga mereka tidak menduga-duga. mereka tentu mengira bahwa belum ada yang akan bergerak, baru besok setelah berita itu disiarkan. Mereka tidak mengira bahwa aku telah mendengar siasat mereka, maka kita harus mendahuluinya malam ini juga."
"Baik, kami akan membantu, suhu!" kata Pek Lian mewakili teman-temannya yang tentu saja merasa setuju.
Malam telah larut ketika mereka menuju kelembah. Dimulut lembah terdapat pasukan perajurit pemerintah berjaga-jaga ditempat gelap. Tentu saja Liu Pang dan para pendekar muda itu tahu akan hal ini dan dengan mudah mereka dapat menyelinap masuk tanpa diketahui oleh para perajurit penjaga itu. Dengan jalan memutar, melewati tebing, Liu Pang dan lima orang muda itu menuruni lembah dan ketika mereka tiba ditempat yang sunyi dan menyeramkan itu, tempat pertempuran, mereka menjadi bingung. Ditempat itu, ditempat bekas pertempuran, nampak gundukan makam yang banyak! puluhan banyaknya! Mereka tidak tahu, makam yang mana yang terisi jenazah Menteri Ho. Kiranya para korban telah ditanam secara kasar dan semua gundukan tanah itu sama tanpa ada tandanya sama sekali.
"Ah, bagaimana kita dapat menemukan makam ayah kalau begini?" keluh Pek Lian.
"Hemm, sungguh gila mereka itu. Tak mungkin kita harus membongkar semua makam ini untuk menemukan jenazah ayahmu," kata Liu-Bengcu. Tiba-tiba terdengar suara bisikan dan mereka semua, kecuali A-hai, terkejut bukan main karena mereka semua maklum apa artinya bisikan yang seolah-olah dibisikkan didekat telinga mereka itu. Itu adalah pengiriman suara dari jarak jauh atau apa yang disebut Coan-im Jip-bit dan pengirimnya tentu telah memiliki khikang yang amat kuat sehingga suara dari jauh itu terdengar demikian jelas didekat telinga masing-masing.
"Kalau kalian ingin mencari makam Menteri Ho, disinilah tempatnya."
Liu Pang diikuti oleh lima orang muda itu lalu menghampiri kearah datangnya suara itu, walaupun bagi orang yang kurang tajam pendengarannya suara itu tidak mempunyai arah melainkan terdengar didekat telinga. Dan didalam keremangan malam mereka melihat bayangan dua orang berdiri didekat sebuah gundukan tanah kuburan, dibawah sebatang pohon yang tidak berdaun dimakan musim rontok. Karena tubuh mereka terselimut oleh bayangan pohon, maka kedua orang itu hanya kelihatan seperti dua tonggak hitam saja. Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, Liu Pang bersama lima orang muda itu melangkah maju menghampiri dengan hati-hati sekali. Setelah dekat barulah dia dapat melihat bahwa dua orang itu adalah seorang kakek yang sangat tua dan seorang muda yang gagah. Dia sama sekali tidak mengenal dua orang itu, akan tetapi Pek Lian segera berseru heran.
"Ah, kiranya Kwee-kokcu (ketua lembah Kwee) dan Lo-cianpwe" Pek Lian meragu karena ia belum yakin benar siapa adanya kakek ini walaupun ia sudah mendengar tentang murid-murid Sin-yok-ong. Seng Kun dan Bwee Hong belum pernah bertemu dengan murid ketiga dari Sin-yok-ong ini, yang masih terhitung adik seperguruan kakek guru mereka, akan tetapi mereka sudah banyak mendengar tentang tokoh ini dari mendiang Bu Kek Siang dan pernah pula mendengar penuturan Pek Lian tentang pertemuan dara itu dengan kakek yang ginkangnya luar biasa itu. Maka Seng Kun sudah dapat menduga siapa adanya kakek ini, apa lagi ketika mendengar bahwa pemuda gagah itu adalah kokcu dari Lembah Yang-ce seperti yang pernah diceritakan oleh Pek Lian.
"Kam-susiok-couw, teecu Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong menghaturkan hormat," kata Seng Kun sambil menjura dengan sikap hormat. Kakek yang memegang tongkat itu menatap tajam kepada Seng Kun dan Bwee Hong, lalu mengerutkan alisnya.
"Kalian... kalian she Chu? Menyebutku susiok-couw? Ah, kalian inikah yang dahulu diambil anak oleh Bu Kek Siang?" Dua orang muda itu lalu menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi kakek itu menggerakkan tongkatnya kedepan dan seperti ada tenaga sakti yang mengangkat mereka, kedua orang muda itu terpaksa bangkit berdiri lagi dan menjura.
"Tidak perlu banyak peraturan dalam keadaan seperti ini," kata kakek itu yang segera menghadapi Liu Pang.
"Aku gembira dapat bertemu dengan Liu-Bengcu yang gagah perkasa." Liu Pang cepat menjura dengan hormat.
"Maafkan bahwa saya tidak mengenal nama dan julukan Lo-cianpwe, akan tetapi saya berterimakasih atas petunjuk Lo-cianpwe. Inikah makam jenazah Menteri Ho?"
"Benar dan kalau kalian hendak membongkar, cepat-cepatlah. Para penjaga itu telah kami bikin pulas sampai pagi sehingga sementara ini kalian tidak akan ada yang mengganggu." Maka mulailah mereka menggali lubang kuburan baru itu. A-hai tanpa diminta juga membantu dan ternyata tenaganya besar ketika dia menggali tanah dan batu itu. Juga Seng Kun bekerja keras, dibantu pula oleh Kwee Tiong Li, ketua Lembah Yang-ce atau murid dari pemberontak Chu Siang Yu yang kini menjadi murid dari kakek sakti Kain Song Ki itu. Akhirnya, jenazah itu dapat dikeluarkan dari timbunan tanah dan batu, dan ternyata jenazah itu masih utuh walaupun pakaiannya masih compang-camping. Darah dari lambungnya telah mengering dan kakek bangsawan itu kelihatan seperti orang tidur saja.
Naga Beracun Eps 25 Naga Beracun Eps 18 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 9