Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 28


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 28




   "Aduhh!" Pek Lian menjerit tanpa mengerahkan tenaga dan cepat melangkah mundur "Ha-ha, kakek dusun. Berapa kau mau jual anak gadismu ini? Jual saja kepada kami untuk semalam ini. Kami sudah bosan dilayani pelacur-pelacur!"

   "Benar, aku ingin tidur dengan gadis dusun yang sehat ini!" Pek Lian sudah mengepal tinju dan akan mengamuk, akan tetapi lengannya dipegang oleh Liu Pang yang segera berkata sambil menarik muridnya,

   "Saudara-saudara harap jangan mengganggu kami. Gadisku ini sudah dipesan oleh Coa-ciangkun dan kalau kalian mengganggu, tentu akan kami laporkan!" Tentu saja Liu Pang hanya ngawur menyebut Coa-ciangkun. Akan tetapi agaknya ngawurnya itu kebetulan karena para perajurit itu terkejut, saling pandang, lalu seorang diantara mereka yang tidak mabok berkata,

   "Paman, harap jangan marah. Kami tidak tahu bahwa nona ini adalah pesanan Coa-ciangkun. Nah, nona, kami ucapkan selamat, yang baik-baik saja melayani Coa-ciangkun yang perutnya gendut itu!" Mereka lalu pergi sambil tertawa-tawa dan wajah Pek Lian masih merah sekali karena marah. Akan tetapi suhunya sudah mengajaknya melanjutkan perjalanan sambil menyumpah-nyumpah perlahan.

   Guru dan murid ini memasuki sebuah kedai makan yang sederhana akan tetapi cukup luas dan mempunyai meja kursi yang dapat menampung sedikitnya tiga puluh orang. Tempat itu ramai dan terdapat beberapa orang perajurit yang sedang bercakap-cakap. Liu Pang mengajak muridnya duduk agak jauh dari para perajurit itu, dan Pek Lian sengaja duduk menghadap kearah mereka dan agar mukanya yang ditengah jalan tadi sudah lebih diperjelek lagi nampak oleh mereka dan melenyapkan selera mereka untuk menggoda. setelah memesan bakmi dan beberapa masakan sederhana lainnya berikut minuman teh, Liu Pang memperhatikan percakapan para perajurit itu. Mereka bercerita tentang jatuhnya beberapa kota dan dusun ketangan pasukan Liu Pang yang kuat. Mereka bercerita pula tentang pasukan pemberontak Chu Siang Yu dari arah barat dan utara.

   "Eh, Lo Ciang, kau pikir mana yang lebih kuat antara pasukan Liu Pang dan pasukan Chu Siang Yu itu?" seorang diantara mereka bertanya kepada rekannya yang berkumis panjang dan yang lebih tua, juga agaknya si kumis ini yang lebih mengerti keadaan karena dialah yang bercerita dengan bersemangat, terdorong oleh arak yang sudah banyak diminumnya. Yang ditanya menggeleng-geleng kepala lalu mengerutkan alis seperti orang berpikir dalam-da-lam, lalu berkata,

   "Sukar dikatakan siapa lebih kuat. Chu Siang Yu adalah keturunan jenderal, disamping ahli silat pandai, juga dia pandai sekali dalam hal ilmu perang. Pasukan-pasukannya amat kuat dan terlatih. Sedangkan Liu Pang yang disebut Liu-Bengcu itu biar amat lihai ilmu silatnya akan tetapi dia bukan ahli mengatur barisan. biarpun demikian, dia seorang pendekar gagah perkasa, dan pergerakannya memperoleh dukungan para pendekar dan juga rakyat jelata, maka diapun amat kuat dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan."

   "Ah, ceritamu menakutkan, Lo Ciang. Lalu, apakah kau pikir pasukan-pasukan pemerintah tidak akan mampu membasmi mereka itu?" Si kumis menghela napas panjang..

   "Sukar sekali! Kekuatan bala tentara kita hanya pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian seorang dan hanya pasukan itu yang dapat diandalkan. Pasukan-pasukan daerah tak dapat diharapkan lagi karena banyak daerah yang merasa tidak puas dan ada gejala-gejala hendak memberontak sendiri. Lihat saja adanya pasukan-pasukan asing dan liar itu"

   "Sssttt..., Lo Ciang. Jangan sembarangan engkau bicara. Hati-hatilah. kau lihat, kepala daerah kita sendiri menerima kedatangan pimpinan pasukan asing beberapa hari yang lalu. Siapa tahu diantara mereka ada yang berada disini?"

   "Takut apa? Komandan kita sendiri, Gui-ciangkun, juga tidak suka dengan adanya pasukan asing itu. Kemarin hampir saja Gui-ciang(kun atasan kita itu bentrok dengan Bouw-ciangkun, karena urusan pasukan asing itu, ketika diadakan rapat para pimpinan kota. Kebetulan aku bertugas mengawal Gui-ciangkun kepertemuan itu." Pada saat itu, nampak empat orang perajurit memasuki kedai dan mereka langsung menuju kemeja dimana duduk empat orang perajurit rekan mereka tadi. Empat orang pendatang baru ini nampak loyo dan seorang diantara mereka terbalut lengannya. Mereka lalu duduk diatas bangku-bangku yang disediakan oleh para pelayan dan delapan orang perajurit itu duduk menghadapi meja.

   "Eh, engkau kenapa?" tanya si kumis melihat betapa empat orang rekannya itu kelihatan lelah, bahkan ada pula yang mukanya benjol-benjol bekas pukulan.

   "Kami baru saja bentrok dengan pasukan Bouw-ciangkun yang dibantu oleh beberapa orang pasukan asing itu. Pasukan asing itu ternyata pandai main banting sehingga kami mengalami banyak kerugian."

   "Keparat! Orang-orang liar itu semakin berani saja, berani menyerang perajurit tuan rumah!" Seorang diantara mereka berseru marah.

   "Kenapa kalian sampai bentrok dengan pasukan Bouw-ciangkun?" Si kumis bertanya dan agaknya dia merupakan anggauta pasukan yang tertua diantara mereka dan paling dihormati.

   "Siapa tidak marah? Tadinya keributan terjadi hanya soal perebutan pelacur, hal yang biasa saja. Akan tetapi mereka berani mengatakan bahwa pasukan kita katanya akan dilucuti dan dipenjarakan karena Gui-ciangkun kita berani menentang kehendak kepala daerah dan tiga komandan lainnya. Bahkan katanya, Gui-ciangkun akan dihukum mati karena beliau berani menyarankan agar kita semua mendekati Liu-Bengcu dengan jalan damai dan bersahabat. Huh, mereka sungguh menghina. Jumlah kita ada seribu orang, masa akan begitu mudah saja dilucuti dan dipenjarakan?"

   "Mereka sombong dan membual!" kata yang lain-lain. Akan tetapi si kumis mengerutkan alisnya.

   "Belum tentu kalau ancaman mereka itu hanya bual kosong saja. Dalam keadaan seperti sekarang ini, apapun dapat saja terjadi. Kita harus waspada dan siapa tahu komandan kita dalam bahaya. Bagaimanapun juga, jumlah mereka semua itu kalau digabung ada empat lima kali lipat dari pada kekuatan pasukan kita, dan masih ada pasukan liar yang membantu. Sebaiknya kita lekas kembali kemarkas dan melaporkan kepada Gui-ciangkun!"

   Setelah membayar harga makanan, delapan orang perajurit itu lalu meninggalkan kedai. Akan tetapi baru saja mereka tiba diluar kedai, mereka berpapasan dengan dua belas orang perajurit yang melihat seragam mereka agak kuning tentu bukan rekan-rekan dari delapan orang perajurit pertama. Dan mereka berhadapan didepan kedai dengan sikap tegang. Ternyata dua belas orang perajurit itu adalah anak-buah pasukan Bouw-ciangkun! Karena, kedua rombongan yang sudah saling mendendam ini berpapasan tepat didepan pintu, maka bentrokan agaknya tak dapat dihindarkan lagi.

   "Minggir kalian! Kami hendak masuk!" bentak seorang diantara dua belas orang perajurit seragam kuning itu.

   "Kalian yang minggir dan biarkan kami keluar dulu!" bentak seorang diantara kelompok perajurit si kumis yang seragamnya agak biru,

   "Nona Ho, engkau duduk saja disini. Agaknya mereka akan berkelahi dan aku akan membantu anak-buah Gui-ciangkun," bisik Liu Pang kepada muridnya dan Pek Lian mengangguk. Tentu saja gurunya ingin membantu anak-buah Gui-ciangkun dan menentang pasukan-pasukan yang bersekongkol dengan pasukan asing itu. Perang mulut segera disusul perkelahian. Dua belas orang itu mencabut senjata dan hal ini mengejutkan delapan orang perajurit anak-buah Gui-ciangkun. Biasanya, perkelahian antara perajurit hanya menggunakan tangan kosong sehingga tidak sampai membunuh lawan.

   Akan tetapi agaknya dua belas orang anak-buah Bouw-ciangkun ini sudah begitu nekat sehingga begitu menyerang mereka menggunakan senjata tajam. Tentu saja merekapun segera mencabut golok masing-masing dan ributlah didepan kedai itu. Para tamu yang makan-minum didalam kedai menjadi seriba salah dan panik. Mau keluar, didepan justeru menjadi medan perkelahian. Maka mereka semua berbondong-bondong lari kebelakang, hendak melarikan diri dari pintu belakang dan karena pintu belakang itu kecil sekali, melalui lorong kecil, mereka berebutan, berhimpitan sehingga keadaan didalam kedai itu tidak kalah kacaunya dengan keadaan diluar. Delapan orang perajurit anak-buah Gui-ciangkun itu pasti akan celaka karena mereka kalah banyak, kalau saja tidak ada uluran tangan secara diam-diam oleh Liu Pang.

   Dengan menggunakan segenggam kacang goreng, Liu Pang membantu mereka. Tanpa diketahui orang, berjejal diantara mereka yang berani nonton perkelahian diluar kedai, Liu Pang menggunakan jari-jari tangannya untuk menyentil kacang-kacang itu kearah para anak-buah Bouw-ciangkun. Biarpun hanya sebutir kacang goreng, akan tetapi kalau meluncur dengan amat cepatnya dan menyambar mata, hidung, pipi atau mulut, sama nyerinya dengan kalau disambit dengan batu. Dalam keadaan kesakitan itu, mudah bagi anak-buah Gui-ciangkun untuk membabat dan merobohkan mereka dengan golok. Akhirnya, dua belas orang itu roboh semua, terluka oleh bacokan-bacokan golok anak-buah Gui-ciangkun, bahkan diantaranya ada yang tewas! Melihat akibat perkelahian itu, si kumis menjadi khawatir sekali.

   "Hayo kita cepat kembali kemarkas melapor kepada ciangkun!" katanya dan delapan orang itupun berlari-larian menuju kemarkas mereka. Liu Pang mengajak muridnya untuk pergi membayangi setelah membayar harga makanan kepada pengurus kedai yang sudah pucat dan menggigil ketakutan itu. Akan tetapi, dasar pedagang, biarpun didepan kedainya terjadi perkelahian dan kini ada dua belas orang mandi darah menggeletak disitu, dia tidak pernah salah menghitung harga makanan dan minuman, dan biarpun tangannya menggigil, sigap saja dia menerima pembayaran! Akan tetapi, sebelum delapan orang itu tiba dimarkas mereka, ditengah jalan mereka disusul serombongan perajurit berkuda, anak-buah pasukan Bouw-ciangkun yang sudah mendengar akan terjadinya perkelahian didepan kedai makanan itu.

   "Itu dia! Mereka pembunuh kawan-kawan kita didepan kedai itu. Tangkap mereka! Lucuti senjata mereka sekarang. Bunuh! Mereka agaknya hendak memberontak!" Delapan orang itu melawan, akan tetapi belasan orang perajurit berkuda itu dibantu oleh tiga orang perajurit asing dan terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Liu Pang tidak dapat membantu secara menggelap seperti tadi karena mereka berada ditempat terbuka. Pula, bagi pemimpin ini, ada hal-hal yang jauh lebih penting lagi untuk dilaksanakan dari pada hanya menyelamatkan nyawa delapan orang perajurit itu. Menolong mereka secara berterang berarti membuka penyamarannya dan hal ini amat merugikan bagi tugasnya.

   "Nona, engkau cepat kembali kepasukan kita. Katakan kepada gurumu Hek-coa Ouw Kui Lam itu dan para saudara lain bahwa aku memerintahkan agar mereka mengatur pasukan untuk mengurung kota ini. Besok pagi-pagi sebelum matahari terbit, pasukan kita harus sudah berada diluar benteng. Kita hancurkan pasukan asing dan pasukan pengkhianat dikota ini!"

   "Suhu sendiri bagaimana?"

   "Aku akan menemui Gui-ciangkun dan menyelamatkan sisa pasukannya, setidaknya sampai besok pagi. Kalau aku berhasil menggerakkan hati Gui-ciangkun, maka kita dapat menggempur kota dari luar dan dalam. Pasukan yang seribu orang kekuatannya bukan main-main, kalau pandai menggunakan dapat berguna sekali."

   "Baiklah, suhu."

   "Seperti biasa, aku akan melepas panah api hijau sebagai tanda penyerbuan!"

   Pek Lian lalu menyelinap pergi dan cepat meninggalkan kota, kembali kepasukannya. Sementara itu, Liu Pang membalik dan melihat betapa delapan orang perajurit anak-buah Gui-ciangkun itu dibantai habis oleh pasukan berkuda yang dibantu oleh tiga orang asing tinggi besar yang kalau dia tidak salah duga tentulah orang-orang liar dari luar Tembok Besar, dari daerah Mongol. Liu Pang segera meninggalkan tempat itu dan seorang diri dia mencari benteng pasukan yang dipimpin oleh Gui-ciangkun. Tidak sukar baginya untuk mencarinya karena setiap orang tahu belaka dimana adanya benteng kecil itu. Sebuah barak pasukan yang dikelilingi oleh parit yang lebar dan dalam. Terdapat sebuah pintu gerbang besar dan yang menghubungkan pintu besar itu dengan seberang parit adalah sebuah jembatan gantung dari besi

   Liu Pang mempergunakan ilmunya untuk mendekati parit, menyelinap ketempat gelap dan mempelajari keadaan benteng itu. Dari luar sudah nampak kesibukan didalam benteng. Jembatan gantung terangkat keatas dan agaknya disetiap penjuru terjaga ketat. Banyak pula yang mondar-mandir dengan sikap tegak. Suasananya jelas menunjukkan kesiap-siagaan dan agaknya berita tentang perkelahian itu sudah sampai pula didalam benteng. Liu Pang tetap bersembunyi, memikirkan rencana yang kiranya dapat dilakukan untuk menyelamatkan benteng ini dan menggandeng pasukan Gui-ciangkun sehingga dapat dimanfaatkan besok, membantu penyerbuan pasukannya dari luar benteng.
(Lanjut ke Jilid 20)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 20
Dia masih sangsi apakah Gui-ciangkun mau menerimanya kalau dia datang berterang. Apa lagi dia menyamar sebagai seorang; kakek petani dan tidak ada seorangpun yang mengenal wajah Liu-bengcu. Tiba-tiba, selagi Liu Pang mencari akal dan merenung, terdengarlah sorak-sorai dan derap kaki kuda yang banyak sekali mendatangi tempat itu. Sepasukan tentara yang berjumlah ratusan, bahkan mungkin ada seribu orang, datang mengepung benteng itu. Dari seragam mereka yang agak kekuningan, Liu Pang dapat menduga bahwa mereka itu tentulah anak-buah Bouw-ciangkun.

   Dugaannya memang tepat, bahkan yang memimpin pasukan itu adalah Bouw-ciangkun sendiri, seorang perwira yang bertubuh pendek gendut. Disebelah pembesar ini nampak beberapa orang perwira pasukan asing. Terdengar bunyi terompet dan pintu gerbang diseberang terbuka. Muncullah seorang perwira tinggi kurus. Perwira ini bukan lain adalah Gui ciangkun sendiri yang sengaja keluar menyambut kedatangan pasukan berkuda yang dipimpin oleh Bouw-ciangkun, rekannya. Kota Lok-yang dijaga oleh empat pasukan besar, dan dua diantaranya dikepalai oleh Gui-ciangkun dan Bouw-ciangkun. Jembatan gantung tidak diturunkan dan kini dua orang komandan pasukan itu berdiri berhadapan, dipisahkan oleh parit yang lebar itu.

   "Gui-ciangkun, menyerahlah engkau dan pasukanmu dengan baik-baik dari pada harus digempur dan dihancurkan!" teriak Bouw-ciangkun dengan sikap garang. Perutnya yang gendut sekali itu bergerak-gerak ketika dia bicara. Gui-ciangkun mengerutkan alisnya.

   "Bouw-ciangkun, kita adalah rekan, sama-sama menjaga keselamatan kota ini sebagai komandan pasukan kita masing-masing. Engkau tidak berhak bicara seperti itu kepadaku, apa lagi untuk menangkapku dan minta pasukanku menyerah!"

   "Hemm, engkau masih belum menginsyafi dosa-dosamu? Engkau membiarkan anak-buahmu membunuhi anak-buahku didepan kedai!" teriak Bouw-ciangkun.

   "Perkelahian antara perajurit adalah soal biasa. Akan tetapi anak-buahku yang delapan orang itu dibantai oleh belasan orang-orangmu yang dibantu oleh orang-orang liar. Kinipun aku melihat engkau bersanding dengan perwira-perwira bangsa liar, sungguh menjemukan sekali, dan engkau berani bicara tentang pasukanku harus menyerah?"

   "Orang she Gui, engkau hendak memberontak?"

   "Orang she Bouw, engkaulah yang hendak memberontak dengan bersekongkol bersama pasukan-pasukan asing yang liar!" Bouw-ciangkun marah sekali. Dia mencabut pedangnya, mengangkat pedangnya keatas sambil berteriak,

   "Pasukan panah, seraaanggggg!" Pasukan berkuda itu segera bertebaran dan mulailah mereka menyerang dengiui anak panah kearah benteng.

   Bouw-ciangkun tentu saja segera bersembunyi dan berlindung karena dari bentengpun datang anak panah seperti hujan sebagai serangan balasan. Korban kedua pihak mulai berjatuhan. Kini seluruh pasukan Bouw-ciangkun dikerahkan dan jumlah mereka tidak berselisih banyak dengan pasukan Gui-ciangkun. Perang anak panah itu amat gencar akan tetapi sampai tengah malam, belum juga Bouw-ciangkun yang dibantu oleh pasukan kecil bangsa asing itu mampu menyeberangi parit. Beberapa usaha mereka lakukan, akan tetapi mereka selalu menghadapi perlawanan gigih. Perahu-perahu yang mereka kerahkan tenggelam dan mereka terpaksa mundur kembali ketika pasukan dari benteng melempar-lemparkan batu-batu besar kearah perahu-perahu itu dan menghujani anak-buah perahu-perahu itu dengan anak panah.

   "Bakar saja benteng itu!" teriak Bouw-ciangkun marah. Melihat betapa anak-buah Bouw-ciangkun kini mempersiapkan bahan-bahan bakar dan panah-panah berapi, hati Liu Pang menjadi gelisah juga.

   "Celaka," pikirnya.

   "Kalau digunakan api, tentu habislah benteng itu!" Dia tidak tahu bagaimana dia seorang diri akan mampu menolong benteng itu. Akan tetapi, sebelum perintah menyerang dengan panah api dikeluarkan, tiba-tiba terdengar bunyi terompet tanda bahwa ada pembesar datang. Yang muncul adalah seorang pembesar gagah berkuda, diapit oleh dua orang perwira tinggi dan dikawal oleh pasukan pengawal yang berpakaian indah. Kiranya dia adalah Jenderal Lai, yaitu panglima daerah timur dan sepanjang pantai, panglima yang menjadi pembantu Jenderal Beng Tian itu. Tentu saja para komandan dikota Lok-yang termasuk bawahannya dan melihat munculnya panglima ini, Bouw-ciangkun cepat memberi hormat dan menyambutnya sehingga penyerangan dengan panah api itu tertunda. Dengan muka merah dan alis berkerut, Jenderal Lai menegur,

   "Bouw-ciangkun apa artinya pengepungan dan penyerangan terhadap benteng rekannya sendiri itu." Bouw-ciangkun lalu melaporkan tentang apa yang telah terjadi, tentang bentrokan antara anak-buahnya dan anak-buah Gui-ciangkun. Tentu saja dalam laporan kepada atasannya ini dia menimpakan semua kesalahan kepada Gui-ciangkun yang dicapnya pemberontak.

   "Saya mengundangnya baik-baik untuk saya bawa menghadap Lai-goanswe, akan tetapi dia tidak mau, bahkan menggunakan kata-kata kasar dan menantang. Saya sudah menegurnya dan mengancamnya agar dia menyerah tanpa perlawan-an, akan tetapi Gui-ciangkun membangkang dan menentang," demikian perwira gendut itu menutup pelaporannya. Jenderal yang terhitung masih muda, baru berusia empat puluh lima tahun itu mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar tegas,

   "Bouw-ciangkun! Seorang perajurit, apapun pangkatnya, harus mentaati peraturan dan berdisiplin. Engkau sendiripun telah melakukan pelanggaran dalam hal ini. Tanpa surat perintahku untuk membawanya menghadap, mana mungkin Gui-ciangkun mentaatimu? Kami tidak berpihak siapapun dalam keributan ini. Besok pagi akan kupanggil Gui-ciangkun. Aku ingin agar suasana menjadi jernih. Kekuatan kita tidak boleh dipecah-pecah seperti ini karena hal itu hanya akan mengeruhkan suasana dan melemahkan kedudukan kita sendiri. Nah, sekarang tariklah pasukanmu dan kembalilah ke bentengmu sendiri!"

   Setelah pasukan Bouw-ciangkun ditarik kembali, tempat itu menjadi sunyi kembali. Hanya didalam benteng itu saja yang masih terjadi kesibukan, yaitu para perajurit merawat teman-teman yang terluka. Gui-ciangkun memeriksa anak-buahnya dan memerintahkan agar penjagaan dilanjutkan dengan ketat. Liu Pang melihat semua itu dan pemimpin para pendekar ini merasa prihatin sekali. Keadaan didaerah sungguh kacau-balau.

   Pasukan saling hantam sendiri dan agaknya pemerintah tidak akan dapat mengatasi keadaan. Kalau dibiarkan berlarut-larut, disemua tempat tentu akan muncul pemberontakan-pemberontakan dan kalau api itu sudah membakar negara, akan sukarlah untuk dipadamkan. Kaisar dan para pembantunya di Kotaraja agaknya tidak tahu atau tidak memperdulikan keadaan negara yang terancam bahaya gawat ini. Mereka itu hanya pandai mengumbar nafsu, bersenang-senang di Kotaraja dan menganggap ringan pemberontakan-pemberontakan itu. Bahkan Kaisar agaknya hanya tahu bahwa yang melakukan pemberontakan adalah Chu Siang Yu saja, diutara dan barat. Padahal, keadaan di timur dan selatan tidak kalah gawatnya.

   Daerah yang dianggap aman ini sebenarnya sedang bergolak dan sewaktu-waktu akan meledak menjadi pemberontakan yang akan menghancurkan pemerintah. Pasukan asing berkeliaran didaerah ini dan banyak pembesar dan pasukan yang bersekongkol dengan mereka. celakanya, pemerintah pusat bahkan percaya akan laporan para pembesar yang sebenarnya merupakan musuh dalam selimut itu, para pembesar yang bersekongkol dengan orang-orang asing, percaya akan laporan mereka bahwa Liu Pang dan para pendekarlah yang memberontak! Padahal, yang menjadi dasar pada gerakannya adalah untuk menyelamatkan negara dan pemerintah, untuk menghalau pasukan asing dan menghajar para pembesar yang bersekongkol dengan mereka.

   "Pasukan pemerintah yang kuat kini hanya tinggal yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian, demikian dalam persembunyiannya Liu Pang berpikir.

   "Dan Beng-goanswe itu kini sibuk mengerahkan tenaga untuk membendung gerakan Chu Siang Yu. Dan pergolakan di timur dan selatan tidak akan ada yang dapat mencegah lagi. Siapa lagi yang dapat menyelamatkan negara dari tangan pasukan asing dan penjual-penjual negara itu?"

   Dengan pikiran ini, bulatlah tekad dihati Liu Pang untuk menyelamatkan negara, apapun akibatnya. Dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menduduki daerah, membasmi pasukan asing, menghancurkan pula kekuatan-kekuatan yang bersekongkol dengan pasukan asing dan hendak memberontak. Mulai saat itu, berobahlah pendirian Liu Pang. Kalau tadinya dia masih merasa segan dan takut-takut untuk menentang Kaisar karena didasar hatinya terdapat kesetiaan terhadap pemerintah, kini perasaan itu semakin menipis, bahkan lenyap karena dia mulai menimpakan kesalahan kepada Kaisar yang dianggapnya tidak cakap mengatur pemerintahan sehingga negara terancam bahaya.

   Dia sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan gerakannya, memperbesar pasukannya dan memperluas daerah kekuasaannya untuk menyaingi Chu Siang Yu. Mula-mula Liu Pang memang didorong oleh jiwa patriot, akan tetapi kini mulai bercampur dengan ambisi. Kemenangan dan sukses adalah hal-hal yang amat berbahaya bagi kita manusia pada umumnya. Dalam keadaan berjuang, yang ada hubungannya dengan perjuangan berdasarkan kepatriotan, memang cita-citanya nampak bersih dan murni, yakni membebaskan tanah air dari bangsa dari keadaan yang buruk, membela rakyat tertindas dan segala slogan yang baik-baik lagi. Dalam keadaan berjuang, biasanya lubuk hati masih murni dan perjuangan dilakukan dengan setia dan jujur, bersih dari pada mementingkan diri sendiri, penuh kesetia-kawanan dan pengorbanan diri dengan rela.

   Akan tetapi, setelah perjuangan selesai dan kemenangan dicapai, setelah memperoleh kemuliaan yang berupa bergelimangnya harta kekayaan dan menjulangnya nama kehormatan, maka akan terjadilah perubahan dalam batin kita pada umumnya. Di dalam perjuangan, yang dituju adalah kepentingan bangsa dan kepentingan pribadi sudah tenggelam kedalam kepentingan bangsa sehingga kejujuran dan kesetiaan terhadap kawan amat terasa. Akan tetapi, setelah memperoleh kemuliaan, yang dipentingkan tentu saja adalah kemuliaannya sendiri dan setiap orang yang berani menggoyahkan kedudukannya, dengan dalih apapun, dengan dalih kepentingan bangsa sekalipun, akan ditentang mati-matian.

   Hal ini sudah terjadi berulang kali, tercatat dalam sejarah semua bangsa didunia. Dikala melakukan perjuangan mengejar kemenangan, semua orang tentu bersatu padu, akan tetapi setelah perjuangan berhasil dan kemenangan dicapai, semua orang saling berebut, memperebutkan hasil dari pada kemenangan itu. Yang berhasil memperoleh kemuliaan akan mempertahankannya mati-matian, sebaliknya yang tidak kebagian akan berusaha untuk mengganggu dan memperebutkan kedudukan. Tentu saja kita menutupi segala keinginan itu dengan berbagai macam dalih yang muluk-muluk, dan biasanya selalu nama rakyat dipergu-nakan untuk menutupi keinginan pribadi yang bersumber kepada pementingan diri sendiri. Nama rakyat hanya dicatut saja, diperalat untuk mencapai apa yang dikejarnya dan kalau yang dicapai sudah dapat, rakyatpun dilupakan.

   Setelah berpikir sejepak, Liu Pang cepat meninggalkan tempat itu dan cepat mengejar pasukan. Bouw-ciangkun yang kembali, ke benteng mereka sendiri. Dia telah mempunyai rencana yang dianggapnya tepat untuk melancarkan penyerbuan pasukannya besok pagi. Gui-ciangkun mengadakan rapat darurat dengan para perwira pembantunya malam itu juga. Dia juga sudah mendengar akan kemunculan Jenderal Lai dan tahulah dia bahwa Bouw-ciangkun tentu mengadukannya kepada Jenderal Lai. mengingat bahwa tiga orang perwira tinggi lainnya, dikota Lok-yang telah menjadi antek kepala daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing, maka dia tentu akan kalah suara dan Jenderal Lai tentu akan lebih percaya keterangan mereka. Besok pagi dia tentu akan ditangkap dan pasukannya dianggap pemberontak.

   "Tidak sudi aku menyerah!" Demikian dia mengambil keputusan didepan para pembantunya sambil menggebrak meja.

   "Akan tetapi, ciangkun," seorang pembantunya menyatakan kebingungan hatinya,

   "Apakah dengan demikian berarti bahwa kita akan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah secara terbuka?"

   "Tidak, kita tidak memberontak melawan pemerintah, melainkan memberontak terhadap penguasa di Lok-yang yang sudah bersekutu dengan orang asing! Kita tidak sudi terseret menjadi manusia pengkhianat penjual negara kepada kekuasaan asing!" Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan daun pintu ruangan itu terbuka dari luar. Muncul seorang laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana, berusia tiga puluh enam tahun yang bertubuh jangkung dan mukanya kurus akan tetapi sepasang matanya seperti mata harimau, mencorong penuh wibawa. Dari luar berlompatan para pengawal yang nampak terkejut dan gelisah. Kepala pengawal berkata,

   "Maaf, ciangkun. Dia menyelinap masuk dengan cepat sehingga kami terlambat" Akan tetapi Gui-ciangkun mengangkat tangan memberi isyarat agar para pengawal jangan sembarangari bergerak. Dia sudah melihat bahwa orang yang datang secara aneh ini mengempit tubuh yang gendut, tubuh Bouw-ciangkun yang kelihatan lemas tertotok! Liu Pang memandang kepada Gui-ciangkun dengan sinar mata penuh selidik.

   "Gui-ciangkun, benarkah kata-katamu tadi bahwa engkau tidak akan menyerah kepada para pengkhianat itu? baguslah kalau begitu! Ketahuilah bahwa aku Liu Pang!" Mendengar pengakuan ini, semua orang terkejut dan Gui-ciangkun sendiri memandang terbelalak,

   "Liu Bengcu?"

   "Benar. Pasukanku telah mengepung kota ini. Bersiaplah Gui-ciangkun dengan semua pasukanmu dan temui aku pada besok pagi diluar benteng kota. Sebagai bukti bahwa aku ingin bekerja-sama dengan pasukanmu, ini kubawakan si pengkhianat Bouw kepadamu. Terserah mau kau apakan dia. Nah, selamat tinggal. Pikirkan baik-baik usulku, tidak banyak waktu lagi!" Dan Liu Pang melemparkan tubuh gendut itu keatas lantai, kemudian sekali berkelebat tubuhnya meloncat keluar ruangan itu dan sebentar saja lenyap dalam kegelapan malam. Sebelum kembali kepasukannya, Liu Pang menggunakan kepandaiannya untuk melakukan penyelidikan dan mengelilingi semua penjuru kota, memeriksa keadaan benteng penjagaan kota itu untuk mengetahui bagian mana yang kuat dan mana yang agak lemah.

   Pada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing. Langit di timur nampak kemerahan tanda bahwa sang matahari sudah akan menampakkan kehadir-annya dibelahan bumi ini. Liu Pang sudah selesai dengan penyelidikannya ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai gemuruh diluar benteng kota. Gembiralah hati pendekar ini. Pasukan para pendekar telah tiba, tepat pada waktunya, sesuai dengan yang telah direncanakan. Cepat dia melompat keluar tembok kota dan menggabungkan diri dengan pasukannya. Pasukan para pendekar itu bersorak gembira melihat sosok tubuh yang melayang turun itu, setelah mengenal bahwa itu adalah tubuh pimpinan mereka yang mereka cinta dan kagumi. Setelah tiba kembali diantara pasukannya, Liu Pang lalu memimpin sendiri barisannya, dipecah-pecah dan dibagi-bagi tugas pengepungan kota Lok-yang.

   Dengan tombak panjang ditangan, pemimpin ini dengan gagahnya memimpin sendiri pasukan yang berada didepan pintu gerbang. Pek Lian, Hek-coa Ouw Kui Lam dan para pembantu yang lain masing-masing mendapat bagian tugas memimpin pasukan-pasukan yang mengepung kota itu. Tentu saja didalam kota Lok-yang terjadi kegemparan dan kepanikan. Apalagi setelah mendengar bahwa pintu gerbang telah ditutup semua dan bahwa kota itu telah dikepung oleh barisan "pemberontak" Liu Pang! Para penduduk yang tidak sempat lari mengungsi itu kini bersembunyi didalam rumah masing-masing, bergerombol dan saling berpelukan. Suami-suami menghibur isterinya, ibu-ibu merangkul anak-anaknya dan berusaha agar si kecil tidak sampai menangis membuat gaduh.

   Pria-pria muda dengan lagak gagah tapi hati takut berjaga didepan pintu kamar keluarga masing-masing. Jenderal Lai cepat memanggil empat orang perwira yang menjadi komandan-komandan pasukan penjaga kota Lok-yang. Akan tetapi, keadaan menjadi geger ketika Bouw-ciangkun tak dapat ditemukan didalam bentengnya, sedangkan Gui-ciangkun tidak mau menghadap! Seperti telah kita ketahui, dengan kepandaiannya yang tinggi, malam tadi Liu Pang berhasil menyelundup ke benteng Bouw-ciangkun, menculik perwira gendut ini dan membawanya ke benteng Gui-ciangkun. Terpaksa Jenderal Lai menunjuk seorang perwira lain untuk menggantikan kedudukan Bouw-ciangkun dan memimpin pasukan. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat apapun terhadap Gui-ciangkun. Benteng Gui-ciangkun masih dijaga ketat dan jembatan gantung masih juga belum diturunkan.

   Jelaslah bahwa Gui-ciangkun dan pasukannya hendak memberontak. Akan tetapi, untuk menggempur dan menghukumnya tidak ada waktu. Yang penting kini ialah menghadapi pemberontak Liu Pang yang sudah mengepung kota. Terdengar bunyi terompet dan tambur diluar pintu gerbang, dan Liu Pang menantang perang dengan suara lantang karena teriakannya disertai tenaga khikang yang kuat. Selagi Jenderal Lai sibuk mengatur pasukan untuk melakukan penjagaan mempertahankan benteng kota, tiba-tiba nampak bayangan orang meloncat turun dari tembok benteng. Segera terdengar bentakan dan teriakan dari atas benteng dan beberapa batang anak panah meluncur kearah orang itu. Akan tetapi orang itu yang berpakaian perwira, berlari dengan cepat dan beberapa batang anak panah yang mengenai baju perangnya meleset dan tidak melukainya.

   "Cepat sambut orang itu dengan baik!" Liu Pang berseru dan beberapa orang lalu menyambut perwira itu dan membawanya menghadap Liu Pang. Perwira itu melepas topinya dan memberi hormat sambil berlutut didepan Liu Pang.

   "Saya membawa salam hormat dari Gui-ciangkun untuk disampaikan kepada Liu-Bengcu!" kata perwira itu agak terengah-engah karena tadi dia harus mengerahkan tenaganya.

   "Gui-ciangkun memberitahukan bahwa dia telah mengambil keputusan untuk bergabung dengan pasukan Liu-Bengcu, dan sekarang sudah siap untuk menghadapi gempuran Jenderal Lai yang menganggapnya sebagai pemberontak."

   "Bagus! Kalau begitu, kita akan menyerang sekarang! Jangan beri kesempatan kepada Jenderal Lai untuk menyerbu benteng Gui-ciangkun!" Liu Pang lalu memberi isyarat kepada semua pembantunya dan pasukannya mulai bergerak. Dari dalam benteng itu, keluarlah tiga orang perwira menunggang kuda. Munculnya musuh ini segera disambut oleh Pek Lian, Hek-coa Ouw Kui Lam, dan seorang rekan lagi. Seperti biasa yang dilakukan orang pada jaman itu, setiap peperangan selalu dimulai dengan pertempuran antara jagoan-jagoan mereka. Kedua pihak bertanding dengan jujur dan gagah sedangkan pasukan masing-masing hanya memberi semangat dengan sorakan-sorakan dan teriakan-teriakan.

   Terjadilah pertempuran antara tiga orang jagoan dari Lok-yang melawan Pek Lian, Ouw Kui Lam, dan seorang pendekar lain. Tentu saja dalam perkelahian perorangan seperti ini, ilmu silat jauh lebih penting dan berguna dari pada ilmu perang. Belum sampai dua puluh jurus saja, tiga orang perwira jagoan dari Lok-yang itupun roboh dan tewas, disambut sorak-sorai dari para anak-buah pasukan Liu Pang. Dan karena Liu Pang tidak ingin membiarkan pasukan Gui-ciangkun mengalami kehancuran didalam benteng, dia tidak menanti sampai ada jagoan lain keluar dari benteng musuh, terus saja dia memberi aba-aba dan pasukannya bergerak maju sambil menghujankan anak panah kearah benteng. Dari benteng musuh datang pula anak panah berhamburan menyambut pasukan yang maju.

   Terjadilah pertempuran yang dahsyat. Biarpun pasukan penjaga kota Lok-yang cukup banyak dan kuat, bahkan diam-diam dibantu pula oleh pasukan asing tanpa diketahui oleh Jenderal Lai sendiri, namun karena kini pasukan yang dipimpin oleh Gui-ciangkun juga membantu melakukan pengacauan dari dalam, akhirnya, menjelang tengah hari, pintu gerbang besar dapat dibobolkan dan Liu Pang memimpin pasukannya menyerbu kedalam kota. Gegerlah kini keadaan dalam kota. pertempuran terjadi dimana-mana diseluruh kota. rakyat menjadi panik dan berlari-larian menyelamatkan diri. Kebakaran-kebakaran terjadi disana-sini membuat keadaan menjadi semakin kacau dan membuat orang-orang menjadi semakin panik. Suara gaduh dan hiruk-pikuk memenuhi udara, kadang-kadang terdengar pekik kesakitan dan raungan orang menghadapi maut.

   Pertempuran yang kacau-balau dan tidak teratur sama sekalipun terjadilah dimana-mana. Pertempuran antar kelompok dan antar perorangan terjadi dijalan-jalan, dilorong-lorong, dihalaman rumah orang. kebakaran makin menjalar luas. Liu Pang sendiri bersama lima puluh orang pengawal yang selalu membantu dan melindunginya, menerjang kearah gedung gubernuran untuk menduduki gedung yang menjadi pusat pemerintahan didaerah itu. Akan tetapi usahanya ini tidaklah mudah karena selalu dirintangi oleh pasukan musuh yang agaknya hendak mempertahankan gedung, itu dengan mati-matian. Apa lagi, jalan besar menuju kegedung kepala daerah itu penuh dengan rakyat tua muda yang berlarian mengungsi dan menyelamatkan diri, sehingga mereka ini menghambat majunya Liu Pang yang selalu melarang anak-buahnya mengganggu rakyat.

   Dengan menunggang seekor kuda putih yang besar, Liu Pang terus menghajar musuh dengan gagahnya. Dia sudah berhati-hati sekali agar jangan sampai salah tangan melukai rakyat yang berlari-larian mengungsi, akan tetapi karena suasana begitu kacau, tanpa disengaja kudanya melanggar tubuh seorang laki-laki berpakaian pelayan yang setengah tua. Pelayan tua itu diiringkan oleh beberapa orang pelayan lain dan dia jatuh tunggang langgang ketika terlanggar oleh kuda putih besar itu. Liu Pang terkejut sekali dan sesuai dengan wataknya yang gagah dan selalu memperhatikan orang kecil, diapun cepat melompat turun dari atas kudanya dan membantu orang tua itu untuk bangun. Dengan ramah Liu Pang minta maaf dan sekalian bertanya kepada kakek itu dimana letaknya gedung sang gubernur.

   "Tak jauh lagi, disana..." kakek itu menunjuk kearah barat. Kemudian, tertatih-tatih orang itu melanjutkan perjalanannya mengungsi dipapah para pelayan pengikut yang lain. Liu Pang tidak memperhatikan lagi rombongan pelayan itu dan melanjutkan penyerbuannya kearah gedung kepala daerah seperti yang ditunjukkan oleh pelayan tua tadi. Dan sekarang terjadi hal yang mengherankan. Perlawanan pasukan musuh tidaklah seketat tadi, bahkan kini mereka dapat maju sampai kegedung gubernuran tanpa banyak halangan!

   Cepat Liu Pang memimpin pasukannya menyerbu kedalam gedung, dan ternyata gedung itu sudah kosong. Semua penghuninya agaknya telah kabur. Bahkan para pelayan dan pengawalnya juga tidak ada lagi, gardu-gardu penjaga kosong. Para perwira pasukan asing yang katanya mondok digedung itupun tidak nampak bayangannya. Sungguh aneh, bagaimana mereka mampu meloloskan diri dari gedung dikota yang sudah dikepung dan diserbu itu? Apakah mereka mungkin melarikan diri dengan menyamar, lalu menjadi satu dengan rakyat yang berlari-larian dan mengungsi berbondong-bondong itu? Tiba-tiba dia teringat akan rombongan pelayan yang tadi ditabrak kudanya. Ah, kini dia teringat. Muka pelayan tua itu. Tidak pantas sebagai pelayan, mukanya terlalu putih dan gerakannya terlalu halus. Dan pelayan tua itu diiringkan banyak sekali pelayanyang membawa banyak buntalan pula. Ah, betapa bodohnya!

   "Tolol sekali aku! Orang itu tentu gubernur dan para pengawalnya!" Cepat Liu Pang keluar dari gedung dan melarikan kudanya, pergi menyusul.

   Akan tetapi, kemanapun dia mencarinya, dia tidak berhasil menemukan rombongan gubernur yang mengungsi itu. Pintu gerbang terbuka lebar dan padat oleh para penghuni yang mengungsi keluar kota. Menjelang senja, pertempuran berakhir. Sisa pasukan penjaga kota melarikan diri dan kota Lok-yang diduduki oleh Liu Pang. Tentu saja pasukan Liu Pang menjadi gembira dan besar hati oleh kemenangan gemilang ini. Jenderal Lai juga melarikan diri, dan banyak perwira yang tewas. Gui-ciangkun diterima sebagai pembantu Liu Pang dan pasukannya bergabung dengan induk pasukan besar dari pendekar itu yang kini menjadi semakin besar. Pesta kemenangan dirayakan! Dalam keadaan seperti itu, para perajurit makan-minum sampai mabok dan mereka itu sama sekali lupa akan teman-temannya yang gugur dalam pertempuran itu. Yang teringat hanyalah bahwa mereka masih hidup dan menang!

   Di dalam pesta ini, Liu Pang lalu mulai mengatur pasukannya. Dia berpikir bahwa kalau pasukannya yang semakin besar itu dibiarkan kacau tanpa peraturan, akhirnya dia sendiri yang tidak akan mampu mengendalikan. Kini sudah tiba saatnya pasukannya harus merupakan bala tentara yang teratur, dengan pembantu-pembantunya dijadikan perwira-perwira sesuai dengan kepandaian, jasa dan kedudukan masing-masing seperti dalam ketentaraan. Untuk menyusun peraturan-peraturan ini, tenaga Gui-ciangkun sangat berguna dan bersama Gui-ciangkun, Liu Pang mulai menyusun pasukannya dan pembantunya. Didalam benteng itu mereka telah menyita banyak sekali pakaian dan kini para pembantu dibagi-bagi pakaian sesuai dengan kedudukan dan pangkat mereka yang ditentukan oleh Liu Pang. Suasana pesta menjadi gembira sekali.

   Karena mereka itu sebagian besar, yaitu para pembantu utama, terdiri dari pendekar-pendekar yang ahli ilmu silat, maka pesta ini tak dapat dihindarkan lagi lalu diramaikan dengan pertunjukan ilmu silat yang sekaligus menjadi arena pibu (mengadu kepandaian silat) secara persahabatan. Pibu diadakan karena Liu Pang ingin mengenal kepandaian para pembantu baru dan ingin memilih pembantu-pembantu baru yang pandai. Ho Pek Lian mewakili gurunya untuk bertin-dak sebagai penguji. Beberapa orang pimpinan pasukan maju, akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan Pek Lian. Bahkan bekas guru pertamanya sendiri, Ouw Kui Lam seorang diantara Huang-ho suhiap, tidak mampu menandinginya. Ilmu kepandaian Pek Lian memang sudah cukup tinggi.

   Bukan saja dara ini telah mewarisi ilmu-ilmu dari empat pendekar Huang-ho suhiap dan kemudian dilatih ilmu pedang oleh Liu Pang sendiri, akan tetapi juga gadis ini selama ini telah digembleng oleh pengalaman-pengalaman yang hebat, bertemu orang-orang pandai dan menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh keturunan orang-orang sakti. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi yang berani maju melawannya, Pek Lian hendak mundur dan mengaso. Akan tetapi tiba-tiba muncullah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, seorang pemuda yang keluar dari kelompok perajurit rendahan. Pakaiannya amat sederhana, dari bahan yang murah, akan tetapi nampaknya rapi dan bersih. Pemuda ini agaknya tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kemenangan itu untuk melucuti pakaian lawan dan memakainya, melainkan tetap mengenakan pakaian biasa seorang petani.

   "Harap nona sudi memberi petunjuk kepadaku," katanya sederhana. Pek Lian mengerutkan alisnya dan memandang heran. Diantara para pengikut pibu tadi, semua terdiri dari para pimpinan pasukan, tidak ada seorangpun perajurit biasa yang berani maju. Pemuda ini jelas hanya seorang perajurit biasa saja. Hal ini sudah mengherankan, pula, ia merasa seperti pernah melihat wajah tampan ini, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan dimana. Bagaimanapun juga, pibu itu diadakan secara terbuka dan tanpa batas, maka siapapun juga yang maju haruslah dilayani. Maka iapun tersenyum ramah dan melangkah kembali kedepan, ketenglah ruangan indah itu, karena pertemuan pesta itu dilakukan diruangan luas dari gedung gubernur yang lantainya marmar licin dan bersih.

   "Baiklah, silahkan maju," katanya sambil memasang kuda-kuda.

   "Maafkan!" Pemuda itu lalu membuka serangan. Gerakannya biasa saja, seenaknya dan seperti tidak bertenaga. Akan tetapi, ketika Pek Lian mengelak dan mulai membalas, diam-diam dara itu terkejut. Serangannya dapat dipatahkan dengan amat mudahnya oleh pemuda perajurit rendahan ini!

   Tentu saja ia merasa penasaran dan mulailah ia memberi "isi" kepada serangan berikutnya. Akan tetapi sama saja, berturut-turut ia menyerang dan semua serangannya kandas tanpa hasil! Bahkan pemuda itupun membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah cepatnya. Ramai sekali perkelahian pibu itu sampai semua orang memandang dengan mata terbelalak. Terdengar pujian-pujian disana-sini dan semua orang merasa kecelik. Tak ada seorangpun mengira bahwa pemuda sederhana itu ternyata memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga mampu menandingi Pek Lian sampai belasan jurus. Makin lama, makin kagum dan heranlah mereka karena yang belasan jurus itu akhirnya menjadi sampai puluhan jurus dan mendekati seratus jurus akan tetapi pemuda itu belum juga terdesak, apa lagi kalah!

   Ternyata permainan silat mereka nampak seimbang. Bahkan diam-diam Liu Pang yang memandang dengan penuh perhatian juga dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki tenaga sinkang yang kuat dan bahwa pemuda itu sengaja mengalah terhadap Pek Lian dan tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, pikirnya kagum. Sementara itu, si pemuda tampan agaknya merasa sudah cukup menguji kepandaian dan dia sengaja memperlambat elakannya ketika tamparan tangan kiri Pek Lian menyambar kearah kepalanya sehingga biarpun kepalanya tidak sampai terkena pukulan, akan tetapi bahu kanannya tertampar dan diapun terhuyung kebelakang. Cepat dia menjura kepada Pek Lian.

   "Banyak terimakasih atas petunjuk nona!" Lalu diapun kembali ketempat duduknya disambut sorak-sorai para perajurit yang merasa kagum kepada rekan mereka yang muda namun lihai ini. Akan tetapi sebelum pemuda itu tiba ditempat duduknya, nampak bayangan berkelebat dan ternyata Liu Pang telah berdiri didepannya dan pemimpin ini tersenyum.

   "Aku merasa sangat kagum atas kepandaianmu, saudara muda. Tidak kusangka bahwa diantara rekan-rekan yang membantuku, terdapat seorang pendekar muda yang amat lihai. Nah, terimalah rasa kagumku dengan secawan arak!" Liu Pang yang sudah membawa secawan arak itu lalu memberikan cawan penuh arak itu kepada si pemuda. Melihat betapa pemimpin besar ini menghormatinya dengan secawan arak, wajah si pemuda menjadi merah seketika karena girang, bangga dan juga terharu dan malu. Dan kenyataan bahwa Liu Pang dapat berkelebat cepat membawa secawan penuh arak tanpa tumpah, membuktikan betapa lihainya pemimpin ini.

   "Terimakasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi saya," pemuda itu menjawab dan menerima cawan arak itu.

   Akan tetapi, begitu tangannya menyentuh cawan, dia terkejut bukan main karena terasa hawa panas dan tenaga kuat mendorongnya dari tangan Liu Pang! Tahulah dia bahwa pemimpin ini memang sengaja hendak mengujinya dengan tenaga sinkang. Pemuda itu tersenyum dan diapun melanjutkan gerakannya menerima cawan arak. Terjadi pertemuan dua tenaga sinkang dan akibatnya, cawan arak itu pindah ketangan si pemuda akan tetapi keduanya tergetar dan mundur! Liu Pang mundur sampai tiga langkah sedangkan si pemuda mundur sampai empat langkah, akan tetapi arak itu sedikitpun tidak tumpah dari cawannya. Liu Pang memandang kaget dan juga kagum. Tahulah dia bahwa pemuda ini benar-benar lihai bukan main, jauh lebih lihai dibandingkan dengan Pek Lian, bahkan dalam hal tenaga sinkang juga hampir dapat mengimbanginya!

   "Maaf, siapakah guru saudara? Bolehkah saya mengenal namanya yang mulia?" tanya Liu Pang, sikapnya bukan sebagai pemimpin terhadap bawahan, melainkan sebagai seorang pendekar yang bertemu kawan baru yang sama lihainya.

   "Harap Liu-Bengcu sudi memaafkan saya. Sesungguhnya, saya terseret oleh kegembiraan pesta kemenangan ini sehingga lupa diri dan tadi lancang memasuki pibu. Bukan lain hanya untuk ikut bergembira. Akan tetapi saya hanyalah seorang perajurit pejuang, dan tentang asal-usul saya, harap Bengcu sudi memberi kelonggaran dan kebebasan kepada saya untuk sementara ini tidak menceritakannya." Ucapan itu dikeluarkan dengan nada sedih dan juga dengan sikap sopan, maka biarpun hatinya merasa penasaran sekali, Liu Pang tidak menjadi marah.

   Sementara itu, Pek Lian memandang tajam, mengingat-ingat dimana kiranya ia pernah bertemu dengan pemuda ini, namun ia tetap tidak mampu mengingatnya. Liu Pang merasa sangat terkesan hatinya oleh pemuda tampan itu. Maka pemuda itu langsung saja diangkat menjadi pembantu dekatnya, sebagai pengawal pribadi karena selain suka, diapun ingin benar mengetahui asal-usul pemuda aneh yang amat lihai ini. Dia menghadiahkan pakaian perwira karena pemuda itu diangkatnya sebagai komandan pengawal, dan diberi hadiah sebatang pedang rampasan yang amat baik. Karena gembira dan didorong oleh kawan-kawannya, pemuda itu mengenakan pakaian perwira itu dan dia kelihatan semakin tampan dan gagah. Kini dia mendapat kehormatan untuk duduk dikursi para pembantu dekat Liu Pang dan pesta dilanjutkan dengan penuh kegembiraan sampai pagi.

   Kita tinggalkan dulu mereka yang sedang merayakan pesta kemenangan didalam kota Lok-yang yang baru mereka duduki itu dan mari kita mengikuti perjalanan Chu Seng Kun, Chu Bwee Hong, Kwa Siok Eng, dan A-hai. Seperti telah diceritakan dibagian depan, empat orang muda ini meninggalkan Pek Lian dan pasukan Liu Pang yang sedang menyusun kekuatan itu dan mereka berangkat menuju ke Kotaraja. Mereka berempat itu tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka semenjak meninggalkan pasukan Liu Pang telah diperhatikan orang. Mereka baru tahu akan bahaya setelah pada hari kedua, ketika mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah tidak kurang dari tiga puluh orang dari balik pohon dan semak-semak, dan mereka berempat sudah dikepung!

   Para pengepung itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi, dan biarpun mereka itu berpakaian preman, namun gerakan mereka yang teratur itu membayangkan bahwa mereka adalah anggauta-anggauta pasukan yang terpimpin rapi. Dan memang tidak keliru karena mereka adalah pasukan pemerintah yang pilihan dan menyamar sebagai orang biasa. Pasukan seperti ini bertugas menggempur para pemberontak secara diam-diam dan kini mereka telah mengepung empat orang yang mereka tahu adalah anggauta-angauta pemberontak yang baru saja meninggalkan pasukan Liu Pang dan agaknya akan bertugas sebagai mata-mata.

   "Pemberontak-pemberontak hina, menyerahlah sebelum, kami menggunakan kekerasan!" bentak seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi kurus. Mereka ini adalah pasukan khusus dibawah kekuasaan Jenderal Lai, merupakan pasukan pilihan.

   "Siapa pemberontak?" A-hai balas membentak.

   "Jangan menuduh orang sembarangan dan tentang hina itu, kiranya kalianlah yang hina karena menuduh orang dengan fitnah keji!"

   Akan tetapi jawaban A-hai itu tidak diperdulikan dan tiga puluh orang itu sudah menyerbu untuk menangkap mereka. Agaknya, melihat bahwa diantara empat orang itu terdapat dua orang dara yang begitu cantik-cantik dan manis-manis, mereka itu berlumba untuk menangkap Bwee Hong dan Siok Eng sehingga Seng Kun dan A-hai tidak ada yang menyerang! Bagaikan serombongan srigala menyerang dua ekor domba mereka menubruk kearah Bwee Hong dan Siok Eng, dengan tangan terulur panjang, jari-jari tangan terbuka hendak mencengkeram daging lunak kulit mulus itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan mereka ketika dua orang gadis itu menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat sedikitnya ada lima orang terjungkal! Tentu saja teman-temannya terkejut sekali dan pemimpin mereka yang tinggi kurus itu lalu mengeluarkan aba-aba,

   "Serang dan bunuh mereka! Hati-hati, mereka ini lihai, gunakan senjata I" Dan kini mereka menyerbu dengan senjata pedang atau golok! Mengamuklah Seng Kun, Bwee Hong, dan Siok Eng, sedangkan A-hai hanya berdiri bengong saja sambil berkali-kali mencoba untuk melerai dengan kata-kata dan nasihat-nasihat!

   Masih untung bagi A-hai bahwa Seng Kun selalu menjaganya sehingga tidak ada seorangpun pengeroyok dapat mendekatinya. Dan tiga orang yang mengamuk itu adalah orang-orang muda keturunan orang-orang sakti yang telah memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biarpun kepungan itu ketat, sampai puluhan jurus lewat, tiga orang muda itu masih belum dapat mereka lukai, apa lagi mereka merobohkan. Bagaimanapun juga, Seng Kun maklum bahwa mereka terancam bahaya. kalau tidak ada A-hai disitu, mereka bertiga tentu dapat melarikan diri. Tiba-tiba tercium bau asap hio yang keras dan lima orang pengeroyok roboh dengan mata mendelik dan dari lubang pori-pori ditubuh mereka nampak bintik-bintik darah! Itulah pukulan sakti dari Tai-bong-pai dan melihat ini, Seng Kun berseru,

   "Nona Kwa, jangan bunuh orang!!" Dia merasa ngeri membayangkan betapa dara yang amat cantik dan sikapnya juga halus ini dapat membunuh orang secara demikian kejinya, walau pun dia tahu bahwa memang gadis itu adalah puteri ketua Tai-bong-pai yang tentu saja mewarisi ilmu-ilmu yang sakti dan keji dari Tai-bong-pai.

   "Tidak, taihiap, bukan aku" Bau asap hio semakin keras dan kembali ada lima orang pengeroyok yang roboh dan mati mendelik seperti lima orang pertama. Melihat ini, para pengeroyok terkejut sekali dan pemimpin mereka agaknya sudah mendengar akan ilmu kesaktian ini. Dia berteriak ketakutan,

   "Iblis-iblis Tai-bong-pai datang! Lari!" Dan larilah mereka tunggang-langgang, meninggalkan mayat sepuluh orang kawan mereka itu. Terdengar suara ketawa halus dan muncullah seorang nenek berusia lima puluh tahun lebih yang cantik, berpakaian serba putih sederhana.

   "Ibu!" Kwa Siok Eng cepat merangkul wanita itu yang ternyata adalah Kwa-hujin (nyonya Kwa) isteri ketua Tai-bong-pai.

   "Anak nakal, baru sekarang engkau pulang? Ah, kiranya engkau bersama dengan kedua orang penolong kita dan penyelamat nyawamu? Bu-kongcu, Bu-siocia, selamat bertemu!" Nyonya itu menyapa halus kepada Seng Kun dan Bwee Hong. Dua orang muda yang kini shenya sudah berganti menjadi Chu itu tidak membantah dan cepat maju memberi hormat kepada nyonya yang lihai itu.

   "Bibi datang menyelamatkan kami, terimakasih," kata Seng Kun dan Bwee Hong juga memberi hormat.

   "Ilmu bibi sungguh sadis sekali! Membunuh orang begitu mudah dan mengerikan! Aih, sungguh merupakan ilmu siluman!" A-hai berkata sambil bergidik ngeri. Nyonya Kwa mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan menoleh kearah A-hai, kedua tangannya menegang. Ada orang berani mencela seperti itu, berarti harus mati! Kwa Siok Eng dapat melihat sikap ibunya ini, maka ia mempererat rangkulannya dan berbisik, bisikan halus yang hanya terdengar oleh ibunya saja,

   "Ibu, dia seorang sahabat baik, hanya... otaknya agak miring. Harap ibu maafkan " Nyonya itu terbelalak lalu menarik napas panjang. Heran ia mengapa puterinya dan dua orang penolong itu mau saja bersahabat dengan seorang gila! Akan tetapi iapun tidak mau lagi memperdulikan pemuda itu dan ia segera menegur puterinya,

   "Sampai begitu lama engkau tidak pulang, juga kakakmu pergi tanpa memberi tahu. Engkau hendak pergi kemanakah bersama kedua orang penolong ini?"

   "In-kong hendak ke Kotaraja dan aku ikut kesana, kemudian dia hendak mengantar aku pulang, ibu," jawab Siok Eng.

   "Hemm, negara sedang kalut, suasana sedang kacau dan berbahaya begini, lebih baik engkau ikut bersamaku lekas pulang. Ayahmu sudah marah-marah terus."

   "Tapi, ibu " Seng Kun merasa tidak enak.

   "Nona Kwa, sebaiknya kalau nona ikut ibu nona pulang lebih dulu."

   "Tapi... tapi bukankah inkong mau singgah ditempat kami?" Nada suara gadis itu kecewa bukan main.

   "Baiklah, setelah urusanku selesai, aku akan menyediakan waktu untuk berkunjung." Wajah yang manis itu berseri.

   "Harap inkong jangan melanggar janji. Aku sudah menjelaskan jalan menuju ke Tai-bong-pai. Aku akan menanti-nanti siang malam, inkong, jangan lupa"

   "Baiklah." Mereka lalu berpisah. Gadis Tai-bong-pai itu dan ibunya lalu berangkat, diantar oleh belasan orang Tai-bong-pai yang muncul seperti setan saja, tanpa suara, tanpa mengatakan sesuatu dan gerakan mereka mengerikan dan penuh rahasia. A-hai bergidik.

   Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ihh! Tak sangka bahwa nona Kwa punya ibu seperti iblis! Dan para pengikutnya itu. Baunya dupa lagi. Ih, seperti sekumpulan arwah-arwah saja." Seng Kun tersenyum.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 2 Naga Beracun Eps 4 Naga Beracun Eps 16

Cari Blog Ini