Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 31


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 31




   "Desss!" Dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya Bu Beng Han terjengkang dan untung dia memiliki kegesitan sehingga dia mampu berjungkir balik sebelum tubuhnya terbanting. Akan tetapi Kwa Sun Tek juga terdorong mundur tiga langkah. Tahulah pemuda Tai-bong-pai itu bahwa orang yang disangkanya mata-mata ini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Dia mengerti bahwa anak-buah pasukan Liu Pang memang banyak yang lihai.

   "Bagus, engkau jelas mata-mata!" bentaknya dan kini dia menyerang dengan sungguh-sungguh, menggunakan pukulan mujijat yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bu Beng Han melawan dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, dia merasa lengannya sakit-sakit dan ternyata ada sedikit butiran-butiran darah keluar dari kulit kedua lengannya.

   "Ih, ilmu setan!" teriaknya dan diapun cepat mempergunakan kegesitannya menghindarkan beradunya lengannya dengan lengan lawan. Kwa Sun Tek tertawa bergelak dan mendesak terus.

   "Hemm. buang-buang waktu saja!" kata malisang melihat betapa Kwa Sun Tek seperti hendak mempermainkan lawan dan memamerkan kepandaian, kemudian raksasa inipun menerjang maju membantu Kwa Sun Tek!

   Tentu saja Bu Beng Han menjadi semakin repot. Menghadapi pemuda Tai-bong-pai itu seorang diri saja dia sudah kewalahan, apa lagi kini dikeroyok. Melihat ini Liu Pang meloncat keluar dan menyerang Malisang dengan pukulan-pukulan maut. Raksasa ini terkejut dan menangkis dan merekapun sudah berkelahi dengan mati-matian. Keadaan mereka payah. Bu Beng Han terdesak hebat dan Liu Pang ternyata tidak mampu mendesak lawannya yang bertenaga gajah itu. Dia telak dapat mempergunakan pedangnya karena dalam penyamaran sebagai petani, dia harus meninggalkan pedang. Padahal, Liu Pang adalah seorang pendekar pedang yang kelihaiannya menurun separuh lebih tanpa pedang.

   "Kita harus lari!" teriak Liu Pang kepada pembantunya. Akan tetapi pada saat itu Malisang berseru,

   "Ha-ha, engkau adalah Liu Pang, si pemberontak! Ha-ha-ha, Kwa-taihiap, kita untung besar, dapat kakap tanpa pengawal disini!" Mendengar ini, Kwa Sun Tek memandang cermat dan diapun terkejut, juga girang ketika mengenal petani itu.

   "Benar, tahan dia Malisang, jangan sampai lolos!"

   "Bu Beng, lari melalui pintu belakang!" teriak pula Liu Pang dan diapun sudah melompat kebelakang, memasuki rumah kosong itu. Bu Beng mengelak dari sebuah pukulan maut, juga meloncat kedalam rumah. Akan tetapi dua orang lawan mereka juga meloncat mengejar dan demikian cepatnya gerakan Kwa Sun Tek sehingga sebelum Bu Beng Han sempat mengelak, punggungnya telah kena tamparan tangan Kwa Sun Tek.

   "Plakkk!!" Tubuh pemuda itu terkapar ketengah ruangan, hampir menabrak tiang rumah itu.
(Lanjut ke Jilid 22)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 22
"Liu-Twako, cepat lari!" Tiba-tiba dia berteriak. Bagi para anggauta pasukan Liu Pang, pemimpin ini hanya memiliki dua sebutan, yaitu Bengcu (ketua/pemimpin) atau twako (kakak). Setelah berteriak demikian, biarpun dia terluka dalam, Bu Beng Han mengumpulkan seluruh tenaganya dan dia meloncat menghantam tiang rumah itu.

   "Braakkkkkk!" Tiang patah dan atap rumah itu runtuh, menimbulkan suara hiruk-pikuk. Namun, perbuatan Bu Beng Han yang nekat itu ternyata berhasil. Karena takut tertimpa atap yang ambruk, tentu saja Kwa Sun Tek dan Malisang berloncatan pergi menyelamatkan diri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Pang dan Bu Beng Han untuk melarikan diri kedalam kegelapan malam.

   Tentu saja Kwa Sun Tek dan Malisang tidak mau tinggal diam dan mereka melakukan pengejaran sambil mengerahkan anak-buahnya. Akan tetapi dua orang pendekar itu sudah menghilang kedalam sebuah hutan yang gelap diluar dusun itu. Melakukan pengejaran terhadap orang-orang yang memiliki ilmu silat selihai Liu-Bengcu dan pemuda tampan itu berarti mengundang bahaya maut kalau hal itu dilakukan didalam hutan yang amat gelap, maka terpaksa Kwa Sun Tek hanya melakukan pencarian dengan hati-hati nekali, tidak tergesa-gesa sehingga dia dan kawan-kawannya tertinggal jauh dan kehilangan jejak buruannya. Pada keesokan harinya, Liu Pang sudah keluar dari dalam hutan itu, menggandeng lengan Bu Beng Han yang menderita luka cukup parah akibat pukulan yang dilontarkan oleh tokoh Tai-bong-pai itu.

   "Gila, dia memiliki pukulan-pukulan iblis!" Bu Beng Han mengomel.

   "Tentu saja, dia adalah seorang tokoh Tai-bong-pai. Untung engkau masih dapat bertahan terhadap pukulan mautnya, Bu Beng."

   "Liu-twako, dimanakah nona Ho?" Bu Beng Han bertanya dengan khawatir.

   "Entahlah. Malam tadi ia pergi mencari air. Akan tetapi ia cukup cerdik dan berpengalaman, tentu ia dapat menjauhkan diri dari pasukan musuh itu. Nanti saja kita mencarinya. Sekarang yang terpenting kita harus dapat menyelamatkan diri karena engkau terluka. Ssstt, ada pasukan datang!" Liu Pang menarik lengan pemuda itu dan mereka menyusup kedalam semak-semak dibalik pohon besar, bersembunji sambil mengintai. Baru lega dan giranglah hati kedua orang ini ketika melihat bahwa yang datang bukanlah pasukan musuh, melainkan sepasukan orang gagah yang dipimpin oleh seorang pria gagah perkasa yang bersenjatakan sepasang pedang. Liu Pang masih berhati-hati karena belum mengenal mereka, akan tetapi begitu melihat pria bersenjata sepasang pedang itu, Bu Beng Han segera keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah berseri,

   "Ngo-suheng!" serunya girang. Pria berpedang sepasang itu menoleh dan terkejut, akan tetapi wajahnya berseri dan diapun meloncat mendekati.

   "Kim-sute! kau disini?" Alisnya berkerut ketika dia melihat wajah sutenya.

   "Eh, Kim-sute, engkau kenapakah? Terluka?" Bu Beng Han yang ternyata adalah Yap Kim putera Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang itu mengangguk lemah.

   "Aku terluka oleh pukulan iblis dari seorang tokoh Tai-bong-pai." Sementara itu, Liu Pang juga keluar dari tempat sembunyinya. Yap Kim segera memperkenalkan ngo-suhengnya kepada pemimpin itu.

   "Liu-twako, ini adalah suheng saya yang kelima bernama Kwan Hok. Ngo-suheng, inilah Liu-twako, pemimpin para pendekar yang terkenal itu." Tentu saja Kwan Hok girang bukan main, juga bangga dapat bertemu dan berkenalan dengan orang yang selama ini amat dikaguminya sebagai seorang gagah perkasa yang berjiwa pahlawan itu,

   "Hemm, apakah sekarang engkau masih saja hendak menyembunyikan keadaanmu dariku?" tanya Liu Pang kepada Yap Kim setelah dia membalas penghormatan Kwan Hok dan kawan-kawannya. Yap Kim menghela napas panjang. Kini melihat betapa ngo-suhengnya malah menjadi pemimpin sepasukan pendekar, dia merasa tidak perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya.

   "Terus-terang saja, Liu-twako, ayahku adalah ketua Thian-kiam-pang."

   "Ah, kiranya putera Yap-lojin yang lihai itu!" Liu Pang berseru girang sekali.

   Kini orang-orang Thian-kiam-pang membantu perjuangannya, sungguh membesarkan hati sekali. Apa lagi ketika mendengar pengakuan Kwan Hok bahwa para pendekar yang dipimpin murid Thian-kiam-pang ini memang sedang mencarinya untuk menggabungkan diri, hati Liu-Bengcu menjadi girang sekali. Akan tetapi, pada waktu itu, Yap Kim terluka cukup parah, maka terpaksa mereka lalu pergi ketebing-tebing Sungai Huang-ho yang terjal untuk menyembunyikan diri. Sampai malam tiba, fihak musuh yang melakukan pengejaran belum nampak dan mereka mengaso ditebing sungai. Yap Kim mengobati dirinya dengan bersamadhi, menghimpun hawa murni dan suhengnya bercakap-cakap dengan Liu Pang. Ternyata banyak hal penting dapat diceritakan oleh Kwan Hok kepada pemimpin ini, mengenai kedudukan pasukan musuh.

   "Di dalam kota Sian-cung itu terdapat pasukan pilihan dari Kotaraja yang dipimpin oleh Jenderal Lai. Akan tetapi, antara pasukan Jenderal Lai dari Kotaraja dan pasukan-pasukan kepala daerah terdapat rasa tidak akur dan saling mencurigai. Dan hendaknya Liu-Bengcu ketahui bahwa didalam pasukan kepala daerah itu terdapat dua orang perwiranya yang memiliki kepandaian seperti iblis." Demikian antara lain Kwan Hok bercerita.

   "Tidak salah! Kami malah sudah bertemu dan bentrok dengan dua orang itu. Yang melukai sutemu justeru adalah seorang diantara mereka, yaitu tokoh Tai-bong-pai, sedangkan yang seorang lagi bertubuh raksasa. Aku merasa curiga dan menduga bahwa dia itu tentulah orang asing yang bersekongkol dengan pasukan daerah. Dua orang itulah bersama pasukannya yang mengejar-ngejar kami berdua, padahal muridku sendiri masih belum ketahuan kemana perginya"

   Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah Kwa Sun Tek dan Malisang, diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari dua puluh orang pilihan yang menjadi anak-buah Malisang. Ternyata mereka ini telah mengurung tempat itu dan kini melakukan penyerbuan serentak. Tentu saja Kwan Hok dan kawan-kawannya segera melakukan perlawanan. Liu Pang dan Kwan Hok segera bergerak maju mengeroyok Malisang yang lihai itu, bahkan Yap Kim biarpun sudah terluka, masih membantu suhengnya untuk mengeroyok kakek raksasa itu. Biarpun dikeroyok oleh tiga orang, Malisang mengamuk dan sepak terjangnya memang menggiriskan. Pukulan-pukulannya seperti halilintar menyambar, dan lebih berbahaya lagi adalah cengkeraman kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu. Sekali terkena cengkeraman itu, jangan harap dapat terlepas!

   Sementara itu, Kwa Sun Tek mengamuk dan kasihanlah para pendekar yang mengeroyoknya, menjadi korban dari pukulan iblisnya. Banyak pendekar terkapar dengan kulit tubuh berbintik-bintik darahnya sendiri, dan bau hio menyengat hidung. Bau ini keluar dari keringat Kwa Sun Tek dan dalam keadaan seperti itu, tokoh Tai-bong-pai ini berada dalam puncak keganasannya. Agaknya, para pendekar itu tentu akan tewas semua ditangan Kwa Sun Tek kalau saja pada saat itu tidak muncul sesosok bayangan yang meluncur dengan cepat. Begitu tiba, dua orang anak-buah Kwa Sun Tek terjungkal dan kini bayangan itu menerjang Kwa Sun Tek, sedangkan bayangan kedua yang bertubuh ramping juga sudah menerjang, Malisang, membantu Liu Pang dan kawan-kawannya.

   "Ngo-sute! Siauw-sute!" Bayangan pertama berseru girang ketika mengenal dua orang adik seperguruan itu. Kiranya dia adalah Yap Kiong Lee yang gagah perkasa, murid utama dari ketua Thian-kiam-pang dan merupakan tokoh muda yang paling lihai dari perguruan itu.

   Adapun orang kedua yang datang adalah Ho Pek Lian yang dengan bantuannya membuat Malisang agak repot juga karena dikeroyok empat. Sementara itu, anak-buah Kwa Sun Tek digempur oleh para pendekar sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru di lembah sungai yang bertebing tinggi itu. Yang paling seru dan hebat adalah perkelahian antara Song-bun-kwi (Iblis Berkabung) Kwa Sun Tek melawan Yap Kiong Lee. Keduanya adalah keturunan datuk-datuk persilatan yang amat hebat kepandaiannya. Kwa Sun Tek sebagai putera ketua Tai-bong-pai telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian peninggalan dari datuk Cui-beng Kui-ong pendiri Tai-bong-pai dan dia telah menguasai ilmu-ilmu Pukulan Sakti Penghisap Darah, Ilmu Pukulan Mayat Hidup dan memiliki pula tenaga sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau dupa harum.

   Akan tetapi lawannya, Yap Kiong Lee, merupakan ahli waris dari datuk Sin-kun butek datuk pendekar dari utara itu. Selain telah mewarisi ilmu kesaktian Thian-hui Khong-ciang (Tangan Kosong Api Langit) dan Hong-i Sin-kun (Silat Sakti Angin Puyuh), juga pemuda ini adalah ahli ilmu pedang pasangan dari Thian-kiam-pang! Kini, karena bertemu lawan tangguh, keduanya mengeluarkan ilmu-ilmu simpanan mereka dan terjadilah perkelahian dahsyat dan mengerikan. Beberapa orang pendekar yang mencoba memasuki gelanggang perkelahian mereka, cepat mundur dan ada yang terjengkang dengan darah berbintik-bintik merembes keluar melalui pori-pori kulit lengan mereka! Juga fihak anak-buah Kwa Sun Tek yang berani mendekat, tersambar hawa pukulan Api Langit dan merekapun terkapar dengan muka gosong terbakar! Hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Yap Kiong Lee memang hebat.

   Mengeluarkan hawa panas dan seperti meledak-ledak, menggetarkan keadaan sekelilingnya. Setiap kali lengannya bertemu dengan lengan Kwa Sun Tek, keduanya tergetar hebat dan keduanya terpental. Ternyata tenaga mereka seimbang dan mereka saling serang, saling desak dengan mati-matian. Koksu atau pemimpin suku liar Mongol itu, si raksasa Malisang, kini harus memeras keringat menghadapi pengeroyokan empat orang setelah Pek Lian maju. Melihat betapa Yap Kim yang terluka parah maju, tadi Liu Pang diam saja karena memang lawannya amat tangguh. Akan tetapi melihat ada Pek Lian yang datang membantu, Liu Pang berseru agar Yap Kim mundur karena perkelahian amat membahayakan dirinya. Akan tetapi, pemuda ini amat pemberani dan berhati baja, maka biarpun diteriaki agar mundur, tetap saja dia melanjutkan pengeroyokannya.

   Repotlah Malisang oleh pengeroyokan empat orang ini. Terutama sekali pedang dari Kwan Hok dan Liu Pang amat merepotkan dirinya. Kwan Hok telah membagi pedangnya, menyerahkan sebatang dari sepasang pedangnya kepada pemimpin ini. Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara para pendekar melawan pasukan pengawal Kwa Sun Tek juga makin memuncak. Ramai dan seru. Akan tetapi, makin lama makin nampak bahwa para pendekar dapat mendesak musuh. Banyak anak-buah pasukan musuh roboh dan terbunuh. Perkelahian antara Yap Kiong Lee dan Kwa Sun Tek juga sudah mencapai puncaknya dan sedikit demi sedikit Kiong Lee mulai dapat mendesak lawannya. Kwa Sun Tek melawan dengan gigih dan keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu simpanan mereka.

   "Hiaaaatttt!" Suara lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Kiong Lee ketika pemuda ini menangkis pukulan lawan sambil membarengi melontarkan sebuah tendangan kilat dengan kaki kirinya.

   "Desss!" Kaki itu tepat menghantam pinggang dan tubuh Kwa Sun Tek terlempar kebelakang, menghantam sebatang pohon dengan amat kerasnya.

   Pohon itu tumbang seketika! Akan tetapi, dengan cekatan Kwa Sun Tek dapat meloncat bangun, tubuhnya bergoyang-goyang dan dari hidung serta mulutnya keluarlah darah segar. Dia telah terluka cukup parah oleh tendangan kilat tadi. Akan tetapi Kiong Lee merasa betapa kaki kirinya nyeri sekali. Cepat dia mengeluarkan sebutir pel yang segera ditelannya, kemudian memeriksa kakinya. Ternyata sepatunya ada tanda-tanda darah dan ketika dia membukanya, nampaklah darah merembes keluar dari pori-pori kakinya sampai sebatas mata kaki kirinya. Kiong Lee merasa ngeri juga. Lawannya benar-benar memiliki ilmu yang menyeramkan. Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari kejauhan. Seorang pendekar datang berlari-lari dan berkata kepada Liu Pang yang masih mendesak si raksasa Malisang,

   "Liu-Bengcu, pasukan, pemerintah dibawah pimpinan Jenderal Lai datang!" Tentu saja para pendekar terkejut dan kecewa mendengar ini. Mereka sudah hampir berhasil menguasai keadaan dan mengalahkan musuh, akan tetapi sekarang datang barisan yang dipimpin oleh Jenderal Lai. Tentu saja mereka tidak berani menghadapi ancaman pasukan besar itu. Liu Pang lalu menganjurkan para pendekar untuk melarikan diri. Malisang dan Kwa Sun Tek tidak berani mengejar, karena selain anak-buah mereka banyak yang sudah tewas, juga keadaan Kwa Sun Tek yang sudah terluka parah itu tidak memungkinkan pemuda ini untuk bertanding lagi.

   Liu Pang lalu mengajak semua orang untuk melarikan diri kembali keperkemahan pasukannya, di lembah Huang-ho. Mereka disambut oleh pasukan pendekar dan Liu Pang lalu memperkenalkan Yap Kiong Lee dan Kwan Hok, dua orang murid Thian-Idam-pang itu, kepada para pembantunya. Semua orang menjadi kagum terhadap Kiong Lee ketika mendengar betapa pemuda perkasa ini mampu menandingi bahkan mengalahkan tokoh Tai-bong-pai yang memiliki ilmu penghisap darah yang mengerikan itu. Kiong Lee segera mengobati Yap Kim, ditunggui oleh Kwan Hok. Dia menegur Yap Kim dengan halus. Seperti biasa, Yap Kim diam saja dan hanya menunduk, merasa bahwa dia memang bersalah. Akan tetapi ketika kakak angkat yang juga menjadi kakak seperguruan yang membimbingnya dalam ilmu silat itu mengajaknya pulang, dia menolak keras.

   "Tidak, twako. Aku tidak mau pulang kerumah yang sunyi membosankan itu. Aku tidak mau bertemu dengan ayah yang selalu mengasingkan diri ditempat samadhinya. Aku tidak mau bertemu dengan ibu yang selalu berdiam di Istana membantu Kaisar lalim itu. Ibu selalu bersahabat dengan pembesar-pembesar lalim penindas rakyat. Aku ingin bersama kawan-kawan berjuang diantara rakyat. Kalau twako memaksa aku pulang, lebih baik engkau bunuh sajalah aku!"

   Mendengar ucapan sutenya ini, Kiong Lee termangu-mangu. Didalam hatinya dia harus mengakui bahwa apa yang diucapkan oleh adiknya itu memang benar. Gurunya seperti sudah mengasingkan diri dari dunia ramai, kerjanya hanya bersamadhi saja didalam kamarnya. Sedangkan subonya bahkan telah memisahkan diri dari suhunya, subonya begitu ambisius untuk menjadi tokoh Istana. Dia dapat mengerti bagaimana perasaan Yap Kim sebagai putera tunggal dari ayah dan ibu yang saling berpisah dan saling bertolak belakang itu. Dia sendiripun, yang hanya menjadi murid utama dan putera angkat, kadang-kadang juga merasakan kepahitan kenyataan ini. Sementara itu, dibagian belakang perkemahan pusat, Liu Pang juga bercakap-cakap dengan muridnya. Dia ingin sekali tahu apa yang telah terjadi dengan muridnya yang tiba-tiba menghilang kemudian secara mendadak muncul pula bersama Yap Kiong Lee.

   "Suhu, kita semua harus berterimakasih kepada Yap-twako. Tanpa ada dia yang turun tangan, agaknya kita semua sukar untuk menyelamatkan diri. Aku sendiripun tentu akan celaka kalau tidak ada dia yang menolong."

   Dara itu lalu menceritakan pengalamannya malam itu. Seperti kita ketahui, ia disuruh oleh Liu Pang untuk mencari air dan membuat minuman teh. Ketika ia pergi kebelakang rumah, kesebuah sumur yang agak jauh terpencil ditempat sunyi dan selagi ia hendak menimba air tiba-tiba ia dikejutkan oleh bayangan orang berkelebat. Ia mengangkat muka dan kiranya disitu telah muncul seorang laki-laki bertubuh kecil pendek, berpakaian mewah dan tangannya memegang sebatang cambuk. Biarpun cuaca hanya diterangi oleh bulan sepotong, namun Pek Lian segera mengenal orang itu. Dia mengenal laki-laki bertubuh pendek kecil bermata sipit yang duduk dipagar sumur itu. Si cebol itupun memandang tajam lalu tersenyum menyeringai.

   "Hi-hi-hik, kita bertemu lagi, nona manis! Ternyata dunia ini tidak begitu luas lagi, hi-hi-hik! dimanakah kawan-kawanmu yang cantik-cantik itu?" Suaranya juga kecil mencicit seperti suara tikus. Pek Lian bergidik dan teringat akan barisan tikus dilorong-lorong bawah tanah. Bagaimanakah iblis ini bisa sampai ditempat ini? Iblis ini adalah putera tetok-ci Si Tikus Beracun, iblis muda yang berjuluk Siauw-thian-ci. Apakah orang-orang Ban-kwi-to telah keluar dari sarang mereka semua?

   Tentu saja Pek Lian tidak sudi menyerah begitu saja dan tanpa menjawab sedikitpun, ia sudah menyerang dengan pedangnya Siauw-thian-ci tertawa dan menghadapi gadis itu dengan menggunakan cambuknya. Terjadilah perkelahian yang sengit. Sebenarnya, ilmu silat dari si katai ini tidaklah berapa tinggi. Orang-orang Ban-kwi-to memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang terlalu hebat. Mereka hanya mengandalkan penggunaan racun saja, maka Siauw-thian-ci, biarpun menjadi putera dari orang pertama Ban-kwi-to, juga hanya memiliki ilmu silat yang seimbang saja dibandingkan dengan Pek Lian. Biarpun gerakan cambuknya aneh dan buas, namun menghadapi pedang dara itu, dia tidak mampu mendesaknya. Setelah perkelahian itu berlangsung puluhan jurus dan belum juga dia mampu menundukkan Pek Lian, Siauw-thian-ci menjadi penasaran dan marah sekali.

   "Bocah bandel, engkau belum juga mau menyerah?" bentaknya dan tiba-tiba cambuknya meledak ketika dia menyerang. Pek Lian mengelak dan balas menusuk, akan tetapi dia terkejut sekali melihat sinar hitam meluncur keluar dari dalam cambuk itu!

   Ternyata musuh mempergunakan senjata rahasia yang agaknya dipasang didalam cambuk dan kini ada beberapa batang jarum hitam menyambar kearah leher dan dadanya. Terpaksa ia menarik kembali pedangnya dan memutar senjata itu, menyampok runtuh semua jarum yang menyambar kearahnya. Pada saat itu, tangan kiri Siauw-thian-ci mengebutkan sehelai saputangan lebar berwarna hitam dan ada debu hijau menyambar kedepan. Pek Lian terkejut dan meloncat kebelakang, akan tetapi hidungnya sudah mencium bau yang amis memuakkan. Tak tertahankan lagi ia muntah-muntah karena perutnya mual dan pada saat ia muntah-muntah itu, ujung cambuk Siauw-thian-ci mematuk pergelangan tangannya. Seketika Pek Lian merasakan lengannya lumpuh dan pedangnya terlepas, dan dilain saat, cambuk panjang itu seperti seekor ular telah membelit tubuhnya.

   Ia sudah terbelenggu dan tidak mampu bergerak ketika Siauw-thian-ci menotoknya sambil tertawa-tawa. Pek Lian tak mampu bergerak lagi ketika ia dipondong dan dilarikan dari sumur itu. Kiranya tak jauh dari situ terdapat seekor kuda dan tubuhnya lalu ditelungkupkan diatas punggung kuda. Si cebol sudah meloncat keatas punggung kuda dan melarikan binatang itu. Pek Lian tidak tahu dibawa kemana ia, akan tetapi akhirnya ia melihat bahwa ia dibawa masuk kedalam pintu gerbang sebuah kota. Agaknya para perajurit yang berjaga disitu sudah mengenal Siauw-thian-ci karena pintu gerbang dibuka dan para perajurit tertawa-tawa fnelihat si cebol ini datang membawa tangkapan seorang dara cantik. Sambil tertelungkup melintang diatas punggung kuda, Pek Lian mendengar suara para penjaga itu.

   "Hemm, dia sudah mendapatkan seorang gadis cantik lagi. Hampir setiap malam dia selalu mencari pengganti baru!"

   "Husssh, jangan keras-keras bicara. Jangan-jangan engkau nanti hanya tinggal tulang-tulang saja digerogoti tikus-tikusnya yang mengerikan. Hiih, kemarin itu untung ada Kwa-taihiap yang mencegahnya, kalau tidak tentu akupun sudah habis dimakan tikus-tikusnya." Mendengar percakapan itu, Pek Lian merasa ngeri.

   Kiranya manusia tikus ini telah bersekutu dengan tokoh Tai-bong-pai dan pasukan asing. Ia tidak mampu bergerak, akan tetapi matanya dapat mengerling dan ia melihat bahwa si cebol itu menghentikan kudanya didepan sebuah rumah penginapan. Malam sudah larut dan suasananya sunyi sekali. Penginapan itupun sudah tutup daun pintunya dan Pek Lian merasa ngeri ketika ia dipondong turun dari kuda, kemudian si katai itu mengetuk daun pintu. Ketika daun pintu terbuka, ternyata diruangan depan masih terang-benderang. Disudut ruangan itu nampak sepasang laki-laki dan wanita setengah tua sedang asyik bermain catur. Tentu saja Pek Lian terkejut sekali ketika mengenal mereka itu. Suami-isteri cabul dari Ban-kwi-to, Imkan Siang-mo! Bouw Mo-ko, kakek berusia enam puluh tahun lebih yang kecil kurus itu tanpa menoleh agaknya sudah tahu akan kedatangan Siauw-thian-ci, dan dia menegur,

   "Engkau baru datang? Mana paman-paman dan bibi-bibimu yang lain?" Si Tikus Muda itu melihat paman dan bibi gurunya, menjadi gembira,

   "Ah, kiranya paman guru dan bibi guru sudah datang lebih dulu! Aku belum melihat yang lain-lain." Diam-diam Pek Lian mengeluh. Ternyata fihak pemberontak agaknya memperoleh bantuan banyak golongan sesat termasuk tokoh-tokoh Ban-kwi-to ini. Sungguh merupakan lawan berat dan Liu-Bengcu harus cepat diberi tahu akan hal ini. Akan tetapi bagaimana mungkin ia meloloskan diri dari tangan iblis-iblis ini? Setelah dia menjalankan biji caturnya dan menanti isterinya mendapat giliran, Bouw Mo-ko menoleh, memandang kepada murid keponakannya. Pada saat itulah dia baru melihat gadis yang dipanggul oleh Siauw-thian-ci dan seketika dia bangkit berdiri.

   "Heiii! Itu adalah gadis tawananku tempo hari yang lolos. Bagus engkau sudah dapat menangkapkannya untukku, ha-ha. Berikan kepadaku!" Diapun lalu melangkah maju dan mengulur tangan hendak mencengkeram Pek Lian yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu dan merampasnya dari panggilan Siauw-thian-ci. Akan tetapi si cebol itu meloncat kebelakang, mengelak dan memandang marah.

   "Susiok, ia ini milikku! Aku yang menangkapnya dan siapapun juga tidak boleh merampasnya!" Matanya mendelik dan tangan kanannya sudah siap dengan senjata cambuknya, sikapnya mengancam seperti seekor anjing hendak direbut tulang yang sudah berada didepan mulutnya.

   "Apa? kau berani melawan dan tidak mentaati susiokmu? Gadis ini milikku, dan engkau hanya membantuku menangkapnya kembali. Berikan!"

   "Tidak!"

   "Engkau sungguh tidak mau memberikannya kepadaku?"

   "Tidak!"

   "Bocah keparat, engkau pantas dihajar!" Bouw Mo-ko menubruk kedepan, tangan kiri meraih kearah tubuh Pek Lian sedangkan tangan kanannya menghantam dengan tangan terbuka kearah kepala murid keponakannya. Siauw-thian-ci maklum akan kelihaian susioknya ini, akan tetapi dia tidak takut. Dia meloncat mundur, melempar tubuh Pek Lian yang tak mampu bergerak itu kesudut ruangan dan cambuknya diputar cepat, meledak-ledak membalas serangan paman gurunya. Paman dan murid keponakan itu segera terlibat dalam perkelahian sengit mati-matian! Demikianlah watak orang-orang dari golongan sesat.

   Untuk memperebutkan sesuatu, mereka tidak segan-segan untuk saling serang, kalau perlu saling bunuh. Dan anehnya, Hoan Mo-li, nenek gendut galak yang tadi bermain catur bersama suaminya, agaknya tidak perduli atau tidak tahu akan perkelahian itu dan masih enak-enak saja mengerutkan alis memutar otak untuk mengajukan langkah biji caturnya yang tadi terdesak. Orang-orang golongan sesat memang selalu mendambakan kebebasan dalam kehidupan mereka. Akan tetapi, terdapat dua macam kebebasan dalam sikap. kaum sesat ini bersikap bebas semau gue, bebas yang liar dan bebas yang didasari untuk senang dan menang sendiri. Kebebasan macam ini bukanlah kebebasan namanya karena kebebasan seperti ini merupakan semacam ikatan atau belenggu yang kuat dari nafsu ingin senang sendiri.

   Yang dinamakan kebebasan hidup bukan sekedar bebas dari pengaruh pendapat orang lain. Kebebasan adalah kebebasan yang wajar, bebas dari si aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan mencapai kemenangan sendiri. Sungguhpun bebas dan tidak terikat oleh apapun, namun tetap saja ada suatu tertib diri yang tidak kaku, yang bukan timbul dari ingin menyenangkan atau ingin disenangkan, ingin menghormat atau dihormat, tertib diri ini tidak mengandung pamrih, melainkan timbul dari hati yang disinari cinta kasih sehingga batin yang demikian itu tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan atau menyusahkan orang lain! Perkelahian antara dua orang tokoh Ban-kwi-to itu hebat bukan main. Ilmu silat mereka memang tidaklah amat tinggi, akan tetapi mereka itu mempergunakkan racun!

   Dan sekali orang Ban-kwi-to mempergunakan senjata racun, mereka tidak berlaku kepalang tanggung. Rumah penginapan itu menjadi geger. Para tamu yang tadinya sudah mengaso dalam kamar, mendengar suara ribut-ribut itu ada yang keluar. Akan tetapi sungguh celaka bagi mereka yang kamarnya berdekatan dengan ruangan itu, karena diantara para tamu itu ada yang terkena jarum atau pasir beracun yang dikeluarkan oleh dua orang itu. Mereka yang terkena senjata rahasia beracun ini, langsung roboh dan mendelik dengan nyawa putus! Apa lagi melihat bermacam binatang kecil seperti kelabang, kalajengking, bahkan beberapa ekor lebah beracun beterbangan, para tamu menjadi panik dan melarikan diri. Setelah keadaan menjadi semakin ricuh, agaknya barulah Hoan Moli menaruh perhatian. Inipun karena ia sudah selesai melangkahkan biji caturnya.

   "Heii, suami tolol, kini giliranmu menggerakkan biji catur!" teriaknya dan ketika ia menoleh dan melihat suaminya berkelahi melawan Siauw-thian-ci, ia mengerutkan alisnya.

   "Siauw-thian-ci, tikus kecil keparat. Hentikan ribut-ribut ini dan biarkan suamiku melanjutkan permainan caturnya denganku! Suami tolol, kalau engkau tidak cepat melanjutkan permainan, kupatahkan hidungmu!" Akan tetapi, dua orang yang sedang "gembira" saling serang amat asyiknya itu, mana mau mendengarkan ucapan si nenek galak? Mereka masih terus saling serang dan mengobral senjata-senjata dan binatang-binatang berbisa mereka seolah-olah hendak memamerkan kehebatan masing-masing. Hoan Moli menjadi kesal rupanya dan iapun menoleh kearah Pek Lian yang masih rebah miring disudut setelah tadi dilemparkan oleh Siauw-thian-ci. Maka bangkitlah Hoan Moli dari tempat duduknya, sekali loncat ia sudah mendekati Pek Lian.

   "Hi-hik, si genit ini kiranya yang menjadi gara-gara sampai paman dan keponakan saling hantam sendiri. Dasar kaum laki-laki, mata keranjang dan tidak boleh melihat perempuan cantik. Dari pada sekeluarga berkelahi karena perempuan, lebih baik perempuan genit ini kubunuh saja!" Ia mengangkat tangan dan Pek Lian sudah menanti saat kematiannya ditangan wanita gendut itu. Akan tetapi Hoan Moli menahan tangannya, dan menatap wajah Pek Lian yang manis itu sambil tertawa ha-ha-hi-hi.

   "Wajah begini cantik, pipi begini halus, tentu saja laki-laki mata keranjang ingin mencium dan membelainya. Coba hendak kulihat apakah mereka masih akan memperebutkan dirimu kalau mukamu kubikin rusak dan menjadi buruk. hi-hi-hik!"

   Wanita itu terkekeh-kekeh seolah-olah ia memperoleh pikiran yang amat menyenangkah dan lucu. Dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi cairan kuning. Pada saat itu, Pek Lian sudah berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah pulih kembali, membuat ia mampu bergerak. Pada saat wanita gendut itu membuka tutup botol dan menuangkan cairan kuning kearah wajahnya, Pek Lian cepat menggulingkan tubuhnya sehingga beberapa tetes cairan kuning yang tadinya dimaksudkan untuk mengenai mukanya kini menetes keatas lantai. Terdengar bunyi desis dan nampak asap mengepul, dan permukaan lantai itu menjadi berlubang-lubang seperti terbakar! Pek Lian bergidik ngeri. Kalau cairan kuning itu tadi mengenai mukanya, tentu kulit mukanya yang dimakan cairan itu dan mukanya akan berlubang-lubang dan menjadi muka setan yang amat menjijikkan!

   Sementara itu, Hoan mali terkekeh girang melihat gadis itu bergulingan dengan muka ngeri ketakutan. Dikejarnya gadis itu sambil mengacung-acungkan botol yang isinya masih setengahnya lebih. Melihat orang tersiksa merupakan kesenangan tersendiri bagi nenek ini. Melihat orang ketakutan karena ancaman sik-saan amat menggembirakan hatinya. Agaknya seperti itulah setan-setan penjaga neraka kalau menyiksa orang berdosa, seperti digambarkan dalam dongeng-dongeng lama. Tanpa kita sadari, sifat atau perasaan sadis seperti ini, yaitu merasa gembira melihat mahluk atau orang lain ketakutan atau tersiksa atau menderita, agaknya menjadi semacam penyakit yang menghinggapi diri kita masing-masing. Kalau kita mau mengamati dengan jujur, akan nampaklah penyakit itu melekat dibatin kita.

   Kitapun selalu merasa senang atau gembira melihat mahluk atau orang lain tersiksa, terutama sekali kalau ada kebencian dalam hati kita terhadap mahluk atau orang lain itu, kebencian yang timbul dari perasaan dirugikan. Kalau kita mau membuka mata melihat dengan jujur, bukankah ada rasa gembira dalam hati melihat mahluk-mahluk yang merugikan kita seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya kita bunuh perlahan-lahan, kita siksa sebagai pelam-piasan dari pada dendam karena kita diganggu? Bukankah ada rasa gembira atau girang dalam hati kita, diluar kesadaran kita, kalau kita mendengar bahwa orang yang kita benci, atau bangsa yang kebetulan sedang kita musuhi, menderita malapetaka? Bukankah hati kita bersorak gembira kalau kita melihat atau mendengar orang yang tidak kita sukai, penjahat-penjahat dalam film atau cerita misalnya, menerima hukuman dan siksaan yang amat sadis?

   Bukankah kadang-kadang datang keinginan atau harapan dalam batin kita melihat orang yang kita benci mengalami penderitaan seberat-beratnya? Hoan Moli terus mengejar Pek Lian. Kalau ia mau, dari jauhpun dapat saja ia melemparkan botol itu agar isinya tumpah mengenai muka Pek Lian. Akan tetapi ia tidak akan puas kalau hanya demikian. Ia ingin melihat jelas ketika tetesan cairan kuning beracun itu mengenai muka yang cantik itu dan menggerogoti kulitnya, ingin melihat gadis itu menggeliat-geliat seperti cacing terkena panas, maka iapun terus mengejar. Akhirnya, ia dapat menangkap Pek Lian. Dengan tangan kirinya ia menjambak rambut gadis itu, memaksa muka yang pucat dengan mata terbelalak ngeri itu terlentang dan ia sudah siap menuangkan isi botol sambil terkekeh-kekeh.

   "Wuuuuutttt... plakkk!" Botol kecil itu terlempar dan mengenai dinding, isinya tumpah semua, menyebabkan dinding dan lantai mengeluarkan asap dan berlubang-lubang. Kiranya pada saat yang amat berbahaya bagi Pek Lian itu, nampak sesosok bayangan putih berkelebat memasuki ruangan dan pemuda ini cepat menendang kearah tangan Hoan Moli yang memegang botol sehingga botolnya terlempar.

   Pek Lian cepat menggulingkan tubuhnya, akan tetapi karena ia tadi amat ketakutan, tubuhnya menjadi lemas dan ia hampir pingsan. Pemuda itu adalah Yap Kiong Lee. Kebetulan sekali pemuda yang sedang mencari-cari sutenya inipun bermalam ditempat penginapan itu, akan tetapi dia bersembunyi saja dikamarnya dan diam-diam melakukan penyelidikan ketika dia melihat betapa suami-isteri cabul dari Ban-kwi-to itu berada disitu. Ketika terjadi keributan, diapun keluar dan terkejutlah dia melihat Pek Lian terancam bahaya. Maka diselamatkannya Pek Lian dari ancaman mengerikan itu. Melihat Pek Lian masih terbelenggu kedua tangannya dan nampak lemas, Kiong Lee cepat menyambar tubuhnya dan dipanggulnya tubuh dara itu dipundak kirinya. Sementara itu, Hoan Moli tadi terkejut sekali. Lengannya seperti patah rasanya dan racun dibotol itu sudah terbuang sia-sia.

   Marahlah wanita ini dan iapun mengeluarkan teriakan seperti seekor serigala, dan iapun menyerbu dan menyerang Kiong Lee dengan ganas, dengan kedua tangan membentuk cakar. Akan tetapi dengan tenang saja Kiong Lee mengelak dan ketika kaki kirinya menyambar, Hoan Moli nyaris terkena tendangan. Barulah wanita itu terkejut dan maklum bahwa ia menghadapi lawan yang lihai. Sementara itu, Bouw Mo-ko dan Siauw-thian-ci yang tadinya saling hantam sendiri secara mati-matian, kini tiba-tiba saja menghentikan perkelahian mereka dan serentak keduanya membantu Hoan Moli mengeroyok Kiong Lee! Biarpun dia seorang ahli pedang pasangan, karena tangan kiri memanggul Pek Lian dipundaknya, Kiong Lee hanya mencabut sebatang pedang saja dan dengan pedang ini dia mempertahankan diri dari amukan tiga orang itu.

   Sebetulnya, tingkat kepandaian Kiong Lee sudah jauh lebih tinggi dari pada mereka dan biarpun pemuda perkasa ini memanggul tubuh Pek Lian, dia tidak akan kewalahan menghadapi pengeroyokan mereka bertiga. Akan tetapi, musuh-musuhnya adalah iblis-iblis yang licik dan mempergunakan senjata rahasia dan racun-racun berbahaya. Terpaksa Kiong Lee harus mengerahkan tenaga dan memainkan pedangnya untuk menangkis dan menolak semua racun. Melihat orang-orang yang hendak menonton, Kiong Lee menyuruh mereka menyingkir dan menjauhi ruangan itu. Akan tetapi tetap saja ada beberapa orang yang terhuyung dan roboh karena ruangan itu kini penuh dengan asap dan hawa yang berbau memuakkan dan mengandung racun-racun ganas.

   Biarpun Kiong Lee amat lihai, Bau memuakkan dan mengandung hawa beracun itu membuat dia repot dan kepalanya terasa pusing. Dia melihat bahwa Pek Lian juga sudah pingsan karena bau keras itu. Maka diapun lalu memutar pedangnya membuat tiga orang lawan mundur dan dia meloncat keluar ruangan itu, terus melarikan diri. Tiga orang Ban-kwi-to yang merasa penasaran melakukan pengejaran, akan tetapi dalam hal ilmu meringankan tubuh dan berlari cepat, mereka bertiga itu masih belum mampu menandingi Kiong Lee sehingga belum juga dapat menyusul pemuda ini yang menyelinap diantara rumah-rumah orang. Terjadi kejar-kejaran dan tiga orang tokoh Ban-kwi-to itu berteriak-teriak disepanjang jalan bahwa ada mata-mata musuh, anak-buah Liu Pang, memasuki kota. Teriakan-teriakan ini menimbulkan kegemparan dan banyak perajurit mulai berkeliaran ikut mencari diseluruh kota itu.

   Di antara banyak perajurit yang berkeliaran dan ubek-ubekan mencari kesemua penjuru kota itu, terdapat dua orang berpakaian perwira yang ikut pula mencari-cari. Mereka ini bukan lain adalah Kiong Lee dan Pek Lian! Setelah Pek Lian siuman dari pingsannya, mereka berdua lalu menawan dua orang perwira, melucuti pakaian mereka dan menotok lalu membelenggu dan menyumpal mulut mereka, dan mengenakan pakaian seragam perwira itu. Dengan penyamaran ini, Kiong Lee dan Pek Lian bebas berkeliaran tanpa ada yang menaruh curiga. Kiong Lee dan Pek Lian akhirnya tiba dipintu gerbang sebelah selatan. Dengan sikap gagah Kiong Lee menghampiri para penjaga pintu gerbang dan memerintahkan agar dia dan Pek Lian dibukakan pintu karena mereka berdua hendak keluar dari pintu gerbang itu.

   "Ada mata-mata berkeliaran didalam kota. Kami harus menutup pintu gerbang dan tidak membiarkan seorangpun keluar. Demikian perintah atasan!" bantah komandan jaga.

   "Siapa yang tak tahu akan perintah itu?" bentak Kiong Lee.

   "Kamipun sudah mendengarnya. Akan tetapi, kami mempunyai dugaan keras bahwa para penjahat mata-mata itu sudah meninggalkan kota dan kami ingin melakukan pengejaran. Kalau kalian mencegah kami dan sampai mata-mata itu jauh meninggalkan kota, kami akan melaporkan hal ini kepada atasan!" Mendengar ancaman Kiong Lee ini, para penjaga pintu gerbang menjadi bingung. Akhir-akhir ini memang banyak pasukan datang dan mereka tidak mengenal semua perwira yang baru tiba. Pintu gerbang lalu dibuka perlahan-lahan dan kedua orang pendekar itu segera cepat menyelinap keluar dan berlari cepat. Pada saat itu, serombongan pasukan juga mendatangi pintu gerbang. Jenderal Lai yang memimpin pasukan itu untuk ikut mencari, menjadi marah melihat pintu gerbang dibuka.

   "Hei, siapa berani lancang membuka pintu gerbang? Bukankah sudah kami perintahkan agar semua pintu gerbang ditutup dan tak seorangpun boleh lolos keluar?" bentaknya. Dengan muka pucat komandan jaga lalu menghadap dan memberi hormat kepada panglima itu.

   "Harap paduka maafkan. Kami membuka pintu hanya untuk membiarkan dua orang perwira keluar karena mereka hendak mengejar mata-mata yang melarikan diri," Panglima itu melotot dan marah sekali.

   "Tolol kamu! Merekalah mata-mata itu!" Dan diapun menyuruh pasukan melakukan pengejaran keluar kota. Akan tetapi sudah terlambat. Dua orang buronan itu sudah menghilang didalam gelap dan mereka semua tidak tahu kearah mana harus mengejar. Yap Kiong Lee dan Ho Pek Lian merasa lega setelah dapat lolos dan mereka berdua segera membuang pakaian perwira yang dipakai diluar pakaian mereka sendiri itu. Pek Lian mengucap terimakasih atas pertolongan Kiong Lee.

   "Berkali-kali Yap-twako menolongku, sungguh budimu besar sekali."

   "Sudahlah, nona. Lebih baik kau ceritakan bagaimana engkau sampai tertawan oleh iblis dari Pulau Selaksa Setan itu." Pek Lian lalu bercerita tentang semua pengalamannya.

   "Aku sedang melakukan penyelidikan tentang keadaan fihak musuh, bersama guruku, Liu-Bengcu, dan bersama Bu Beng ah, sekarang aku ingat! Setelah bertemu dengan iblis-iblis Ban-kwi-to dan bertemu denganmu, baru aku ingat. Benar, dia adalah sutemu yang nakal itu, Yap Kim putera ketua Thian-kiam-pang!" Pek Lian berseru gembira. Tadinya memang ia merasa sudah mengenal wajah Bu Beng Han, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan dimana.

   Sekarang tiba-tiba saja ia teringat bahwa ia pernah bertemu dengan pemuda itu di Ban-kwi-to, ketika pemuda itu bersama-sama dengan Thian-te Tok-ong atau cengyangkang Si Kelabang Hijau, orang kelima. Dari iblis-iblis Ban-kwi-to, berada dike pulauan itu! Tentu saja Kiong Lee gembira sekali mendengar bahwa sutenya yang dicari-carinya itu sudah berada bersama para pendekar, bahkan membantu Liu Pang! Dia mendengarkan penuturan gadis itu yang bukan hanya menceritakan kemunculan Yap Kim yang aneh dan yang kini hanya dikenal sebagai Bu Beng Han. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan kedusun sunyi itu dan seperti telah kita ketahui, kedatangan Kiong Lee dan Pek Lian ini amat tepat saatnya karena Liu Pang dan Yap Kim sedang terancam bahaya maut dan akhirnya Kiong Lee dapat menyelamatkan mereka dan kembali kemarkas pasukan para pendekar di lembah Huang-ho.

   "Demikianlah, suhu. Untung sekali aku bertemu dengan Yap-twako sehingga kita semua dapat terbebas dari pada bahaya maut." Pek Lian mengakhiri ceritanya. Liu Pang mengerutkan alisnya.

   "Wah kalau benar pemuda Tai-bong-pai itu bersahabat dengan para iblis Ban-kwi-to... hemm, berat juga bagi kita. Agaknya kini para pengkhianat itu selain bersekongkol dengan pasukan asing, juga tidak segan-segan memperalat orang-orang dunia hitam."

   "Akan tetapi, tidak semua orang Tai-bongrpai jahat, suhu. Aku mengenal beberapa orang diantara mereka, bahkan adik perempuan dari Kwa Sun Tek itupun merupakan seorang gadis yang biarpun wataknya aneh, namun menghargai kegagahan dan sama sekali tidak jahat" Liu Pang menghela napas panjang.

   "Tidak aneh, didalam keadaan negara sedang kacau-balau, tentu bermunculan kaum penjahat untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya, dengan cara dan jalan apapun."

   Malam itu juga, Liu Pang mengadakan musyawarah dengan para pembantunya, yaitu para pimpinan pasukan pendekar yang sudah menggabungkan diri dengan pasukan induk yang dipimpinnya. Di dalam musyawarah itu hadir pula Yap Kiong Lee. Akhirnya pendekar ini, murid utama dan juga putera angkat ketua Thian-kiam-pang ini terpaksa mengalah terhadap sute atau adik angkatnya yang amat disayangnya itu. Dia terpaksa ikut pula berunding dan membantu gerakan yang dipimpin oleh Liu Pang, yang telah menarik perhatian Yap Kim dan bahkan telah dibantu oleh pendekar muda ini yang merasa bersimpati. Setelah menceritakan keadaan pasukan mereka yang mulai kuat karena datangnya banyak bantuan dari rakyat petani dan juga banyaknya perajurit kerajaan yang menyeberang dan membantu, Liu-beng-cu berkata lantang,

   "Di hadapan kita terdapat dua kekuatan yang biarpun berdiri sendiri-sendiri, namun pada waktu ini mereka bergabung menjadi satu untuk menghadapi kita. Yang satu adalah pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jenderal Lai, sedangkan kekuatan kedua adalah pasukan pembesar daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing. Kita harus mencari akal agar keduanya itu terpisah sehingga kedudukan mereka tidaklah begitu kuat dan memudahkan kita untuk maju terus." Semua orang yang menghadiri rapat itu mengerutkan alis dan berpikir. Tiba-tiba seorang diantara mereka, yang berpakaian perwira tinggi bangkit berdiri. Dia ini adalah Siong-ciangkun, seorang bekas komandan tentara kerajaan yang sudah menyeberang membantu gerakan Liu Pang, seorang ahli perang yang usianya sudah hampir enam puluh tahun.

   "Memang benar sekali pendapat Liu-twako bahwa kita harus mencari akal yang baik untuk menceraikan mereka. Akan tetapi sebelum kita mencari akal, sebaiknya kita mempelajari dahulu keadaan kekuatan seluruh bala tentara kerajaan pada saat ini. Setelah itu baru saya akan mengemukakan akal saya." Liu Pang mengangguk-angguk.

   "Siong-ciangkun tentu lebih mengetahui keadaan bala tentara kerajaan pada umumnya, silahkan ciangkun menggambarkan agar kita semua mengetahuinya."

   "Seperti kita ketahui, Jenderal Lai adalah pembantu utama Panglima Besar Beng Tian. Jenderal Lai ditugaskan untuk menghentikan gerakan pasukan kita agar tidak menjalar ke Kotaraja. Jenderal Beng Tian sendiri bersama induk pasukannya yang terbesar sedang dikerahkan ke barat, membendung gerakan pasukan Chu Siang Yu yang semakin kuat itu. Saya mendengar bahwa Kaisar kini mengutus pangeran mahkota untuk memimpin tentara cadangan dari Kotaraja untuk membantunya" Bekas perwira kerajaan itu berhenti sebentar dan dengan pandang matanya menyapu para hadirin yang duduk memperhatikannya. Yap Kiong Lee yang selalu dekat dengan Istana di Kotaraja menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu, bahkan tahu lebih mendalam keadaan di Istana dari pada bekas perwira itu. Melihat sikap ini, Siong-ciangkun bertanya kepadanya,

   "Bukankah demikian, Yap-taihiap?" Yap Kiong Lee mengangguk.

   "Memang benar apa yang dikatakan oleh Siong-ciangkun. Akan tetapi sesungguhnya bukan Kaisar yang mengutus pangeran mahkota membawa pasukan ke garis depan peperangan, melainkan Perdana Menteri Li Su. Harap saudara sekalian ketahui bahwa keadaan di Istana Kotaraja sungguh berobah. Penuh rahahasia dan semua orang berada dalam ketegangan dan kebingungan. Kaisar tidak pernah kelihatan, bahkan semua orang berani menduga bahwa Kaisar tidak berada di Istana, tidak berada di Kotaraja lagi. Entah dimana, tidak ada yang tahu atau dapat menduga. Bahkan subo sendiri yang menjadi pengawal pribadi Kaisar, juga tidak tahu! Yang diketahui hanyalah bahwa Kaisar telah melimpahkan kekuasaannya kepada Perdana Menteri Li Su untuk urusan kenegaraan dan kepada thaikam kepala, yaitu Chao Kao untuk urusan dalam Istana, lalu Kaisar menghilang!" .

   Semua orang terheran-heran mendengar ini, hampir tidak percaya. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja datang dari Kotaraja dan mereka tahu bahwa subo dari pendekar itu adalah Siang Houw Nio-nio, bibi dan juga pengawal pribadi Kaisar, maka mereka menaruh kepercayaan dan menanti pemuda itu melanjutkan ceritanya. Liu Pang juga merasa tertarik sekali. Dia menganggap betapa pentingnya berita itu, maka diapun mendesak, minta agar pemuda itu suka melanjutkan ceritanya. Yap Kiong Lee menghela napas panjang.

   "Setelah Perdana Menteri Li Su berkuasa di Kotaraja, bergandeng tangan dengan Chao-thaikam, maka mulailah kemelut menggelapkan Kotaraja. Wakil Perdana Menteri Kang dan para Menteri setia yang tadinya sudah diangkat kembali oleh Kaisar, satu demi satu disingkirkan."

   "Ahhh! " Para pendekar mengepal tinju mereka dengan muka merah dan semua merasa penasaran dan marah.

   "Penyingkiran mereka dilakukan secara halus dan dirahasiakan, maka tidak sampai tersiar keluar Kotaraja." Murid utama Thian-kiam-pang itu melanjutkan.

   "Semua orang yang masih setia menjatuhkan harapan mereka kepada putera mahkota, akan tetapi pada suatu hari, pangeran itu dikirim ke garis depan. Saya dapat mengerti bahwa semua ini tentulah akal muslihat Li Su dan Chao Kao itu, yang kini sebagai kedok, mengangkat putera Kaisar kedua yang berwatak jelek itu sebagai pengganti putera mahkota, dan menjadi boneka ditangan mereka. Kini yang berkuasa adalah panglima-panglima dan Menteri-Menteri yang menjadi kaki tangan kedua orang lalim itu. Hanya Jenderal Beng Tian, Jenderal Lai, putera mahkota sendiri dan orang-orang seperti mereka itulah yang benar-benar setia dan merupakan patriot-patriot yang mengabdi kepada kerajaan. Oleh karena itu saya sungguh mengharapkan kebijaksanaan Liu-Bengcu clan saudara sekalian untuk kelak memikirkan nasib mereka itu, yang saya tahu adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan kesetiaan." Liu Pang mengangguk-angguk.

   "Terimakasih atas semua keterangan yang amat penting itu, Yap-sicu. Keadaan itu makin mendorong kita untuk segera turun tangan menghancurkan mereka yang jahat itu. Nah, Siong-ciangkun, harap suka menjelaskan bagaimana rencana siasatmu itu?"

   "Untuk dapat memisahkan dua kekuatan yang bergabung itu, kita harus memecah barisan kita menjadi tiga bagian. Sebagian kecil melewati markas Jenderal Lai dan bersikap seolah-olah menghindarkan diri tidak menghendaki bentrokan, langsung saja kedepan dan menyerang atau menduduki kota kecil didepan. Ini untuk mengejutkan pasukan Jenderal Lai agar dia segera melakukan pengejaran."

   "Maksudmu menggunakan siasat memancing harimau meninggalkan sarang?"

   "Benar, Liu-twako. Kalau pasukan kerajaan itu sudah meninggalkan benteng melakukan pengejaran, kita menggunakan tiga perlima bagian pasukan untuk menghadangnya agar pasukan itu tidak dapat kembali kemarkas, kita memotong jalan. Sementara itu. yang seperlima bagian lagi kita pergunakan untuk menggempur benteng dan menyerang pasukan pejabat daerah yang bersekongkol dengan orang-orang asing itu." Mereka lalu ramai membicarakan dan mengatur siasat seperti yang diusulkan oleh Siong-ciangkun. Kekuatan pertama yang bertugas memancing harimau keluar dari sarang hanya merupakan seperlima bagian dari pasukan, dipimpin oleh Hek-coa Ouw Kui Lam dan para pendekar lain.

   Bagian kedua merupakan pasukan inti yang besarnya tiga perlima bagian, dipimpin oleh tiga orang murid Thian-kiam-pang sendiri, dikepalai oleh Yap Kim dan dibantu oleh Yap Kiong Lee dan Kwan Hok murid kelima Thian-kiam-pang dan diperkuat oleh Siong-ciangkun sebagai penasihat. Adapun bagian ketiga, yaitu hanya seperlima bagian, dipimpin sendiri oleh Liu Pang dan dibantu oleh Pek Lian. Pasukan inilah yang bertugas untuk menduduki dan menyerbu benteng yang dikosongkan oleh Jenderal Lai nanti, untuk menghancurkan pasukan daerah yang dibantu oleh orang-orang asing itu, musuh utama dari pasukan para pendekar. Setelah siasat diatur dan rencana sudah matang, pasukan dibagi-bagi. Sesuai dengan rencana, pasukan pertama berangkatlah, menghindarkan markas besar Jenderal Lai, lalu menuju kekota kecil didepan.

   Sementara itu, diam-diam pasukan besar yang dipimpin oleh tiga saudara seperguruan Thian-kiam-pang juga meninggalkan sarang dan mencari posisi yang baik untuk nanti melakukan pemotongan atau penghadangan terhadap pasukan Jenderal Lai. Liu Pang sendiri dibantu oleh Ho Pek Lian, bersama pasukannya menyelinap dan mendekati benteng musuh dengan hati-hati pada malam hari itu juga. Mereka bersembunyi ditepi sebuah sungai kecil yang airnya jernih, menanti saat baik sampai pasukan besar Jenderal Lai meninggalkan benteng. Mereka harus menanti dengan sabar, mungkin sehari, dua hari atau tiga hari sampai Jenderal Lai melakukan pengejaran dengan pasukannya terhadap pasukan para pendekar yang menyerang kota kecil didepan.

   Pada keesokan harinya setelah matahari terbenam, barulah Liu Pang menerima kabar bahwa gerakan pertama dari pasukan pertama telah berhasil mengepung kota kecil didepan, dalam gerakan memancing harimau meninggalkan sarang. Kota kecil itu diserbu dan pasukan para pendekar sengaja membiarkan kepala daerah dan para pengawalnya lolos, agar mereka dapat mengabarkan kepada Jenderal Lai dan mengharapkan bantuan Jenderal ini. Seperti yang telah direncanakan, ternyata hasilnya memang tepat. Jenderal Lai yang mendengar bahwa pasukan para pendekar menduduki kota kecil didepan, menjadi geram.

   "Kurang ajar sekali Liu Pang itu! Dia dan pasukannya takut menghadapi pasukanku dan sengaja mengambil jalan memutar untuk bergerak kearah Kotaraja. Hemm, hal ini tak boleh dibiarkan saja!" Diapun lalu memerintahkan para perwiranya untuk mempersiapkan pasukan mereka.

   Berangkatlah pasukan kerajaan yang besar dengan megah, menuju kekota kecil untuk merampas kembali kota itu, menghalangi pasukan Liu Pang menuju ke Kotaraja dan menghajar mereka. Mendengar pelaporan tentang gerakan Jenderal Lai ini yang telah masuk perangkap sesuai dengan siasatnya, Liu Pang merasa girang sekali. Cepat diapun mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu ke benteng yang telah ditinggalkan pasukan kerajaan itu. Akan tetapi, tiba-tiba terjadilah hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Terjadilah kegemparan ketika sebagian besar dari para anak-buah pasukan pendekar itu mengeluh, memegangi perut mereka yang terasa sakit sekali! Mereka semua telah keracunan! Hanya sebagian kecil saja yang tidak keracunan dan mereka ini tentu saja sibuk dan bingung menolong teman-teman yang mengaduh-aduh tak berdaya itu.

   Liu Pang dan Pek Lian sendiri segera merasakan betapa perut mereka mulas dan nyeri. Terkejutlah mereka dan maklumlah Liu Pang bahwa mereka semua telah keracunan. Untunglah bahwa dia dan muridnya memiliki sinkang yang kuat dan daya tahan lebih tangguh, dan pula agaknya malah mereka tidak begitu banyak terkena racun seperti anak-buah mereka. Setelah mengadakan pemeriksaan dan melihat betapa terdapat banyak ikan yang mabok dan mati didalam sungai kecil, tahulah Liu Pang bahwa air sungai itulah yang mengandung racun. Tahulah dia bahwa fihak musuh amatlah cerdiknya dan agaknya fihak musuh sudah tahu akan tempat persembunyian mereka itu dan mencampuri air sungai dengan racun.

   "Ini tentu perbuatan iblis Tai-bong-pai itu!" Pek Lian teringat dan gurunya mengangguk. Liu Pang dan para pembantunya segera membagi-bagi obat penawar. Untunglah bahwa racun yang telah larut dengan air sungai itu hanya terbatas kekuatannya, hanya membuat mabok dan sakit perut saja, tidak sampai mematikan walaupun cukup membuat mereka tak berdaya dan lemas badan. Selagi mereka sibuk mengobati diri, menjelang tengah malam itu terdengarlah sorak-sorai dan datanglah pasukan kepala daerah yang tinggal dibenteng itu, dibantu oleh pasukan asing, menyerang para pendekar yang sedang dilanda sakit perut dan keracunan. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Song-bun-kwi Kwa Sun Tek dan Malisang raksasa Mongol yang lihai itu dan terjadilah pembantaian terhadap pasukan para pendekar.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 4 Naga Beracun Eps 14

Cari Blog Ini