Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 32


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 32




   Untung malam itu gelap sehingga para pendekar yang melawan mati-matian itu dapat melarikan diri cerai-berai memasuki hutan-hutan gelap mencari selamat sendiri-sendiri. Pasukan para pendekar ini, dalam keadan masih dilanda sakit perut, dapat dikatakan hancur total walaupun banyak juga diantara mereka yang berhasil selamat. Liu Pang sendiri bersama muridnya, dengan pedang ditangan mengamuk. Namun, menghadapi Kwa Sun Tek dan Malisang, guru dan murid inipun tidak kuat bertahan dan akhirnya mereka berdua terpaksa menyelamatkan diri berlindung pada kegelapan malam dan kekacauan yang terjadi ditepi sungai kecil itu. Dengan dilindungi oleh belasan orang pengawalnya yang terdiri dari pendekar-pendekar yang memiliki ilmu silat cukup tinggi, Liu Pang dan Pek Lian melarikan diri, dikejar oleh pemuda Tai-bong-pai dan raksasa Mongol.

   "Ha-ha-ha, Kwa-taihiap, engkau pimpin saja pasukan kita hancurkan semua pemberontak ini, habiskan mereka. Berikan orang she Liu itu kepadaku" kata Malisang dan dengan dua losin pengawal diapun melakukan pengejaran terhadap Liu Pang dan teman-temannya. Pengejaran itu akhirnya berhasil dan Liu Pang bersama muridnya, dilindungi oleh sebelas orang pengawal, dikepung ketika mereka keluar dari dalam hutan. Perkelahian seru terjadi secara keroyokan. Maklum betapa lihainya Malisang, Liu Pang sendiri maju menghadapinya, sedangkan Pek Lian membantu para pengawal menandingi para pengawai musuh yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak itu.

   Biarpun Liu Pang terkenal dengan ilmu pedangnya yang lihai, namun pada saat itu dia mengalami pukulan lahir batin. Batinnya tertekan menyaksikan betapa pasukannya dipukul cerai-berai oleh musuh, betapa siasatnya telah digagalkan fihak musuh bahkan dia kena ditipu sehingga pasukannya menderita kerugian besar. Lahirnya, diapun telah minum air beracun yang biarpun tidak membahayakan keselamatan nyawanya, namun cukup membuat tubuhnya lemas dan tenaganya berkurang. Karena itu, kecepatannyapun banyak berkurang sehingga beberapa kali dia terkena hantaman tangan Milasang yang amat kuat itu. Melihat keadaan gurunya, Pek Lian cepat menerjang maju membantu mengeroyok Malisang yang tertawa-tawa girang karena raksasa ini sudah memastikan bahwa malam itu dia tentu akan berhasil membekuk pemberontak besar Liu Pang ini, baik dalam keadaan hidup maupun mati.

   "Suhu, mari kita pergi!" Tiba-tiba Pek Lian menusukkan pedangnya kearah dada Malisang. Ketika raksasa ini menggerakkan tangan untuk mencengkeram kedepan, kedua tangannya berani menghadapi senjata tajam karena kebal dan kuat, Pek Lian menarik kembali pedangnya, menggandeng tangan gurunya dan mengajak gurunya yang sudah terkena beberapa kali pukulan keras itu untuk bersama-sama meloncat kedalam sungai.

   "Byuurrr!" Keduanya ditelan air yang gelap dan dengan pengerahan seluruh tenaganya, sambil menggigit pedangnya, Pek Lian membantu gurunya untuk menyeberangi sungai, sedangkan para pengawalnya menahan Malisang dan kawan-kawannya yang hendak melakukan pengejaran.

   Dalam usaha ini, beberapa orang pendekar yang menolong dan melindungi guru dan murid itu roboh dan tewas, lainnya terpaksa melarikan diri karena kekuatan fihak musuh jauh lebih besar. Pasukan yang dipimpin oleh Liu Pang itu benar-benar mengalami hantaman yang tidak kepalang tanggung. Ratusan orang pendekar tewas dalam penyerbuan ini dan lainnya kembali mengalami nasib seperti yang pernah berkali-kali mereka alami, yaitu cerai-berai melarikan diri mencari keselamatan masing-masing untuk kelak menyusun kembali kekuatan mereka. Bagaimanapun juga, mereka itu tidak pernah kehilangan semangat perlawanan, sesuai dengan watak mereka sebagai pendekar yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu menentang kekuasaan lalim.

   Sejarah berulang terus. Golongan yang menamakan dirinya penentang kejaliman, yang menganggap diri mereka sebagai pembela rakyat jelata, atau penegak keadilan yang berjuang dengan semangat bernyalanyala, rela berkorban apa saja yang dimilikinya, bahkan rela berkorban nyawa, selalu bangkit menentang golongan yang pada saat itu berkuasa dan yang dianggap sebagai golongan yang lalim, golongan penindas dan golongan yang jahat. Fihak penentang kekuasaan yang ada selalu menganggap diri mereka sebagai golongan yang baik menentang golongan yang jahat! Dan sebaliknya, fihak yang pada saat itu berkuasa, tentu saja menganggap fihak yang menentang itu sebagai perusuh-perusuh, pengacau-pengacau dan peru-sak-perusak ketenteraman, sebagai pemberontak-pemberontak yang hanya bergerak demi satu ambisi, yakni merebut kekuasaan.

   Fihak yang berkuasa tentu saja menganggap golongan penentang itu sebagai yang jahat, yang hendak menyengsarakan kehidupan rakyat dengan adanya kekacauan dan pengrusakan. Jadi, kedua fihak itu selalu mendasarkan "perjuangan" mereka demi kebaikan rakyat, demi kebaikan dan demi menentang kejahatan dan kebusukan! Hal ini berulang ribuan kali dalam sejarah, didalam negeri manapun juga. Selalu nama rakyat dipergunakan untuk perjuangan mereka, juga rakyat ditarik sana-sini untuk dijadikan sekutu, untuk memperkuat landasan mereka. Dan bagaimana kalau sampai golongan yang menentang kekua-saan yang ada itu mencapai kemenangan, berhasil menggulingkan kekuasaan yang ada dan fihak penentang ini kemudian menggantikan kedudukan dan menjadi yang berkuasa? Sejarahpun berulang kembali!

   Cepat atau lambat muncullah lagi golongan-golongan yang menentangnya, golongan yang sekali lagi mempergunakan nama rakyat dan kebenaran dan keadilan untuk menentang kekuasaan baru itu, untuk menumbangkannya, untuk merebut kekuasaan! Pengulangan sejarah pertentangan antara yang berkuasa dan yang menentang ini selalu mengakibatkan satu hal, yaitu kerusuhan, kekacauan, dan tentu saja rakyat jelata yang menanggung akibatnya! Rakyat bagaikan pohon-pohon kecil dilanda badai peperangan, daun-daunnya rontok, kembang-kembangnya gugur, bahkan batang-batangnya tumbang dan mati. Rakyat mengalami ketakutan, penderitaan, korban kekerasan-kekerasan yang mengerikan. Padahal, semua gerakan yang dinamakan perjuangan itu selalu memakai nama demi rakyat! Memang sungguh menyedihkan, namun ini merupakan kenyataan yang dapat dilihat oleh kita semua didunia ini.

   Mengapa harus demikian? Kalau semua golongan itu benar-benar berjuang demi rakyat jelata seperti yang selalu didengang-dengungkan, bukankah tujuan mereka semua itu sama, yakni demi kesejahteraan, demi kemakmuran rakyat? Apakah kemakmuran rakyat dapat dicapai dengan perang, dengan bunuh-bunuhan, dengan kekacauan-kekacauan, dengan perebutan kekuasaan yang pada hakekatnya hanyalah menjadi pamrih dan ambisi beberapa orang yang gila kekuasaan belaka? Mengapa semua golongan itu tidak membuang senjata saja, menggantikan dengan alat-alat pembangunan, memimpin rakyat, mendidik, mengajak rakyat untuk benar-benar membangun lahir batinnya menuju kepada kemakmuran dan kesejahteraan hidup, yang penuh damai, penuh ketente-raman, jauh dari permusuhan atau kebencian, jauh dari kekacauan?

   Sungguh menyedihkan! Yang jelas, rakyat hanya menjadi korban nafsu kemurkaan beberapa gelintir orang saja yang mabok akan kekuasaan. Orang-orang gila yang selalu mengejar kekuasaan, yang tidak segan-segan melakukan apapun juga demi mencapai ambisi, bahkan kalau perlu menggunakan nama rakyat, kalau perlu mengorbankan rakyat, asal tujuan nafsunya tercapai dan dia akhirnya duduk di puncak kekuasaan bersama teman-temannya? Dan mereka selalu menaburi cara mencapai tujuan yang amat busuk ini dengan bunga rampai, dengan slogan-slogan yang muluk-muluk, demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, bahkan mereka tidak segan-segan untuk sekali waktu mengatakan Demi Tuhan!

   Ya ampun, semoga rakyat diseluruh dunia akan terbuka matanya dan tidak terbuai oleh taburan bunga rampai yang harum dan muluk-muluk itu, dan semoga rakyat dapat melihat bahwa dibalik semua itu tersembunyi bangkai membusuk dari nafsu mengejar kekuasaan, kemuliaan dan kesenangan sehingga rakyat tidak sudi lagi dicekoki racun terbalut gula! Dalam keadaan lelah lahir batin, Liu Pang akhirnya dapat membebaskan diri dari pengejaran musuh-musuhnya. Dia dan muridnya berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan pelarian mereka menjelang subuh itu, tertatih-tatih dan dalam keadaan lemas. Mereka terpaksa berhenti disebuah kuburan yang sunyi dipagi hari itu, karena Liu Pang harus beristirahat dan merawat luka-lukanya.

   "Suhu, tempat ini sunyi dan sebaiknya kita berhenti disini untuk merawat luka suhu yang perlu beristirahat sebelum kita melanjutkan perjalanan," kata Pek Lian dan Liu Pang mengangguk lesu. Karena pukulan-pukulan yang dideritanya dari raksasa Mongol itu cukup hebat, selama sehari itu Liu Pang bersila, menghimpun tenaga dan hawa murni sambil menelan beberapa macam obat. Pada senja harinya, barulah dia dapat memulihkan tenaganya dan luka-luka yang dideritanya menjadi sembuh atau setidaknya tidak mendatangkan rasa nyeri lagi. Sehari itu, Pek Lian merawat dan menjaga gurunya, memasakkan air dan mencari makan sekedarnya. Malam itu bulan sepotong muncul diantara awan tipis. Guru dan murid yang merasa berduka atas kekalahan mereka itu duduk menghadapi makan malam yang hanya terdiri dari daging ayam hutan panggang sambil bercakap-cakap.

   "'Suhu, sungguh tidak kusangka bahwa fihak musuh sedemikian lihai dan cerdiknya. Juga banyak orang lihai diantara mereka." Gurunya mengangguk-angguk dani menghela napas panjang.

   "Di sana ada tokoh Tai-bong-pai yang jahat sekali dan amat lihai, hampir saja racun-racunnya membunuh kita sepasukan! Dan raksasa Mongol itupun amat lihai, tenaganya kuat dan tubuhnya kebal. Sungguh tidak kusangka, rencana kita dapat gagal, padahal sudah kita susun baik-baik. Kita malah yang menjadi sasaran serangan mereka. Orang-orang yang bergabung dalam benteng itu kiranya bukan orang-orang sembarangan."

   "Agaknya demikianlah, suhu. Disana berkumpul pembesar-pembesar daerah dan perwira-perwira yang banyak pengalaman, bahkan dibantu oleh pasukan asing yang tentu saja dipimpin oleh orang-orang pandai disamping tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai." Tiba-tiba Liu Pang memberi isyarat kepada muridnya agar diam. Hidung mereka kembang-kempis dan jantung mereka berdebar tegang ketika tiba-tiba mereka mencium bau asap dupa wangi yang semerbak menusuk hidung! ditempat seperti itu, dikuburan tua yang sepi tercium bau dupa. Sungguh menyeramkan!

   Guru dan murid itu segera memandang kekanan kiri dengan sikap yang waspada dan seluruh urat syaraf mereka menegang dalam kesiap-siagaan. Mereka memandang kearah gundukan-gundukan tanah kuburan yang tersebar ditempat luas itu. Akan tetapi, tempat itu benar-benar sunyi, tak nampak ada seorangpun manusia, bahkan tidak ada sesuatupun yang nampak bergerak. Kadang-kadang, selapis awan tipis menyembunyikan bulan yang sinarnya memang lemah itu, membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Akan tetapi, hidung mereka masih menangkap bau dupa terbakar walaupun mereka tidak melihat adanya asap. Kadang-kadang bau itu sedemikian kerasnya seolah-olah dupa yang terbakar itu berada amat dekat dengan mereka. Pek Lian gemetar dan bulu tengkuknya berdiri. Ia sudah mengenal bau ini dan otomatis ketika ada bau keras datang dari arah belakangnya, ia menoleh cepat.

   "Hiiihhh!" Ia menjerat tertahan dan tangannya menangkap lengan suhunya.

   "Ada apa?" bisik gurunya kaget sambil menoleh tanpa melihat sesuatu yang mencurigakan.

   "Di sana tadi.. ah, kemana perginya?"

   "Sttt, tenanglah. Apa yang kau lihat?" gurunya berbisik dan bersikap waspada.

   "Tadi tadi kulihat disana, dibelakang gundukan tanah itu, seorang laki-laki dan seorang wanita melihat kesini. Pakaian dan wajah mereka putih pucat seperti mayat. Tapi sekarang menghilang"

   "Hemm, aku tidak melihat ada orang. Tenangkan hatimu, nona Ho," kata Liu Pang yang setiap kali teringat bahwa Pek Lian adalah puteri Menteri Ho selalu menyebutnya nona walaupun gadis itu adalah muridnya. Tiba-tiba mereka terkejut sekali ketika mendengar suara orang tertawa.

   "Ha-ha-ha-ha! Pemberontak Liu Pang, mana mungkin engkau lolos dari tanganku?" Tiba-tiba muncullah raksasa Mongol Malisang bersama belasan orang pembantunya yang telah mengepung tempat itu dengan senjata ditangan dan dengan sikap mengancam sekali!

   Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, Liu Pang dan Pek Lian segera menghunus pedang dan merekapun mengamuk. Liu Pang diserang oleh Malisang yang dibantu oleh dua orang perwira Mongol lainnya sedangkan anak-buah lainnya mengeroyok Pek Lian. Terjadilah perkelahian seru dan mati-matian ditanah kuburan itu, perkelahian dalam cuaca remang-remang yang hanya diterangi oleh bulan kecil sepotong. Tentu saja guru dan murid itu segera terdesak dan terhimpit, berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali karena mereka berdua itu jauh kalah kuat. Terpaksa guru dan murid itu kini saling melindungi dengan berdiri beradu punggung dengan pedang melintang didepan dada. Malisang tertawa bergelak melihat keadaan kedua orang buruannya yang sudah tersudut ini.

   "Ha-ha-ha, Liu Pang, engkau seperti seekor tikus yang sudah terjepit dipojok. Lebih baik menyerah saja untuk kubelenggu dari pada harus kuseret sebagai mayat." Dengan muka merah dan mata terbelalak Liu Pang melintangkan pedangnya didepan dada.

   "Mati dalam pertempuran merupakan kehormatan bagi seorang pejuang. Kalau ada kemampuan, majulah dan tak perlu banyak cerewet lagi!"' bentaknya menantang. Malisang mengeluarkan bentakan nyaring memberi aba-aba kepada anak-buahnya untuk mendesak dan menyerang guru dan murid yang sudah tersudut itu.

   "Trang-trang-tranggg!!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebatan dan beberapa buah golok dan pedang yang dipergunakan anak-buah pasukan Mongol untuk menyerang guru dan murid itu terlempar dan patah-patah, jatuh berhamburan sedangkan mereka sendiri terhuyung mundur sambil memegangi tangan mereka yang terasa panas. Melihat ini, Malisang terkejut sekali dan cepat memandang. Kiranya disitu telah muncul dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita setengah tua yang bermuka pucat-pucat dan berpakaian putih-putih dengan gerakan dingin menyeramkan seperti mayat-mayat hidup! Melihat mereka, Pek Lian juga kaget sekali, mengenal bahwa itulah muka dua orang yang tadi dilihatnya muncul dibalik gundukan tanah kuburan lalu menghilang seperti setan. Nenek itu menghampiri Pek Lian lalu berkata,

   "Nona Ho, selamat bertemu kembali!" Terkejut dan heranlah Pek Lian mendengar teguran ini. Ia memandang penuh perhatian dan dibawah sinar bulan yang suram, wajah nenek itu nampak masih membayangkan kecantikan akan tetapi wajah itu amat pucat sehingga mengerikan. Akan tetapi ia segera mengenal wajah itu, apa lagi setelah hidungnya mencium bau dupa wangi keluar dari tubuh nenek itu.

   "Bibi Kwa!" Pek Lian berseru girang karena kini iapun ingat bahwa nenek ini adalah ibu dari Kwa Siok Eng, atau nyonya ketua Tai-bong-pai yang lihai itu! Sementara itu, Liu Pang juga sudah dapat menduga siapa adanya kakek dan nenek itu karena dia pernah mendengar cerita muridnya. Diapun memandang dengan mata terbelalak. Sebagai seorang pendekar pedang, tentu saja dia pernah mendengar nama Tai-bong-pai, perkumpulan manusia iblis yang mengerikan, bahkan diapun sudah tahu bahwa pemuda lihai yang membantu para pengkhianat adalah tokoh muda Tai-bong-pai pula. Kalau yang muncul ini suami-isteri ketua Tai-bong-pai, berarti mereka ini adalah ayah-ibu pemuda Kwa Sun Tek, dan tentu dia akan celaka! Akan tetapi, nenek itu kini menudingkan telunjuknya kepada muka Malisang dan dengan suara dingin nenek itu berkata,

   "Orang asing. Pergilah engkau dari sini, bawa anak-buahmu dan jangan engkau berani mengganggu nona ini kalau engkau masih ingin hidup lebih lama lagi!" Malisang adalah seorang kepala suku yang lihai dan bertubuh kuat, tidak pernah merasa takut terhadap lawan yang bagaimanapun juga. Kini melihat munculnya sepasang kakek dan nenek yang telah menentangnya itu, tentu saja dia menjadi marah sekali. Apa lagi ketika mendengar ucapan nenek itu yang amat memandang rendah kepadanya, dia segera mengeluarkan suara menggeleng seperti seekor biruang dan diapun menubruk kedepan dengan kedua lengannya yang panjang itu menyerang dari kanan kiri dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka mencengkeram.

   "Duk! Duk!" Tubuh Malisang terdorong mundur oleh tangkisan yang dilakukan oleh kakek itu yang mewakili isterinya. Malisang terkejut sekali, akan tetapi kakek itu juga mengeluarkan seruan marah ketika merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat bertemu dengan lengan raksasa Mongol yang bertenaga raksasa itu. Malisang segera menyerang lagi, mengerahkan kekuatan dan kekebalannya. Akan tetapi, kini yang dilawannya adalah ketua Tai-bong-pai, seorang tokoh yang memiliki ilmu mujijat. Baru Kwa Sun Tek saja, tokoh muda Tai-bong-pai itu, sudah amat lihai.

   Apa lagi kakek ini adalah ayahnya, ketua Tai-bong-pai yang tentu saja telah menguasai ilmu-ilmu siluman dari Tai-bong-pai dengan sempurna. Baru belasan jurus saja, Malisang telah terdorong beberapa kali dan akhirnya roboh terguling dengan darah merembes keluar dari tubuhnya bercampur keringatnya. Dia telah terkena ilmu ampuh Tai-bong-pai, yaitu Pukulan Penghisap Darah! Semua anak-buahnya memandang dengan mata terbelalak, bahkan Liu Pang sendiri sampai bergidik. Sementara itu, Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai, bersikap sesuai dengan sikap seorang ketua yang berwibawa dan menghargai kedudukannya. Melihat lawannya roboh dan menjadi korban ilmunya, dia lalu mengeluarkan dua buah pel merah dan dilemparkannya dua butir pel itu kearah malisang sambil berkata,

   "Di antara kita tidak ada permusuhan, jangan sampai engkau mati oleh pukulanku. Minumlah dua butir pel penawar itu!"

   Malisang merasa malu sekali. Akan tetapi diapun maklum bahwa kalau tidak memperoleh obat penawar, nyawanya terancam bahaya maut, maka diapun melupakan kerendahan diri dan mengambil dua butir pel itu dan terus saja ditelannya. Seketika darah yang merembes keluar dari pori-pori kulit tubuhnya berhenti dan hatinyapun lega. Karena dia merasa malu dan tahu bahwa melawan tiada gunanya lagi, diapun lalu pergi dari tempat itu, diiringkan oleh anak-buahnya, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi. Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian merasa lega melihat raksasa Mongol itu dan anak-buahnya telah dapat diusir pergi dari situ walaupun diam-diam Liu Pang masih meragukan apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh suami-isteri iblis Tai-bong-pai yang menyeramkan itu.

   "Nona Ho, apakah engkau melihat puteri kami yang nakal itu? Kami khawatir sekali, ia pergi tanpa pamit, padahal ia belum sembuh benar" Karena Pek Lian sendiri juga merasa ngeri menyaksikan sepasang suami-isteri yang seperti mayat hidup itu dan tidak mengenal betul bagaimana sesungguhnya watak mereka, iapun tidak banyak bicara dan hanya menjawab,

   "Saya sendiri tidak tahu, bibi." Pek Lian masih meragukan keadaan suami-isteri ini. Keadaan mereka penuh rahasia. Memang harus diakuinya bahwa Kwa Siok Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, akan tetapi bukankah kakak gadis itu kini bahkan bersekongkol dengan para pasukan asing dan juga menjadi kaki tangan pemberontak yang bersekutu dengan pejabat-pejabat daerah? Sukar diduga keadaan orang-orang Tai-bong-pai, maka ia merasa lebih aman kalau tidak mendekati dan bergaul dengan mereka.

   "Sudahlah, mari kita mencari ditempat lain," kata nenek itu kepada suaminya dan sekali berkelebat, dua orang itu lenyap dari situ seperti menghilang saja. Hanya bau dupa harum yang lapat-lapat masih dapat tercium oleh Liu Pang dan muridnya. Mereka berdua bergidik ngeri. Sungguh, banyak terdapat orang-orang lihai yang aneh didunia ini dan agaknya, dalam keadaan negara dilanda kekacauan, tokoh-tokoh dari dunia hitam, yang amat lihai dan aneh-aneh pada bermunculan keluar dari sarang mereka. Setelah suami-isteri itu pergi, barulah Pek Lian teringat akan putera mereka yang kini bersekutu dengan pasukan asing dan ia merasa menyesal mengapa hal itu tidak dibicarakannya dengan mereka tadi. Setidaknya ia telah mengenal dan mendapatkan kesan baik dari ibu Siok Eng dan siapa tahu ketua Tai-bong-pai itu tidak mengetahui akan perbuatan kakak gadis itu dan akan menentangnya.

   Karena maklum bahwa agaknya fihak musuh tidak akan melepaskan mereka begitu saja, Liu Pang lalu mengajak muridnya untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu, mengambil jalan memutar melalui tempat-tempat gelap untuk mencari dan menggabungkan diri dengan pasukan lain yang dipimpin oleh para tokoh Thian-kiam-pang. Mereka mengambil jalan di lembah bukit yang terjal dan sunyi, dengan hati-hati mereka melalui jurang-jurang dan tanah yang penuh dengan dinding-dinding karang dan gua-gua. Setelah matahari menyingsing, mereka beristirahat sambil bersembunyi didalam sebuah guha dimana mereka bersila untuk memulihkan tenaga. Setelah merasa yakin bahwa daerah itu sunyi dan tidak nampak gerakan manusia, mereka melanjutkan perjalanan. Menjelang malam, mereka tiba ditepi sebuah sungai.

   "Hati-hati ada asap didepan itu, tentu ada orangnya disana," kata Liu Pang. Mereka lalu menyelinap dan dengan bantuan kegelapan malam, guru dan murid ini mendekati tempat itu. Kini mereka dapat melihat dengan jelas dari tempat sembunyi mereka. Didepan sebuah gua kecil nampak seorang laki-laki yang berpakaian indah pesolek, duduk menghadapi sebuah api ung-gun. Laki-laki ini memanggang daging kelinci yang sudah mulai matang dan mengeluarkan bau sedap, sedangkan didekatnya duduk seorang gadis yang menundukkan mukanya dan gadis itu termenung menatap kedalam api unggun seperti orang yang sedang bersedih. Di tempat persembunyian mereka yang aman dan cukup jauh dari tempat orang yang mereka intai, Pek Lian menyentuh tangan gurunya dan berbisik,

   "Suhu, dia adalah si jahat Jai-hwa Toat-beng-kwi yang tersohor itu." Liu Pang mengangguk dan memandang penuh perhatian. Laki-laki tampan pesolek itu kini menyodorkan sepotong daging kelinci kepada si gadis yang bermuka pucat dan sedih.

   "Nih, makanlah, agar engkau tidak nampak lesu begitu." Gadis itu memandang dengan mata kosong dan agaknya takut untuk menolak. Diterimanya potongan daging panggang itu dan gadis itupun makan karena memang perutnya amat lapar. Jai-hwa Toat-beng-kwi tersenyum dan diapun makan potongan daging yang lain.

   "Nah, begitu bagus. Kalau engkau mentaati semua perintahku, tentu engkau akan senang." Keduanya makan daging panggang dan minum dari sebuah guci besar yang agaknya terisi arak karena tercium bau arak ketika laki-laki itu meminumnya. Gadis itupun terpaksa minum arak walaupun ia kelihatan tersedak dan tidak biasa. Kini pria itu menyalakan ujung huncwe emasnya dan terciumlah bau asap tembakau.

   "'Aku sudah banyak mendengar tentang jahanam itu," bisik Liu Pang.

   "Gadis itu tentu seorang korbannya. Akan tetapi kita tidak usah mengusiknya. Penjahat seperti dia banyak muslihatnya. jangan-jangan urusan kita malah menjadi berantakan. kaum sesat seperti mereka itu kini bersatu dibawah Si Raja Kelelawar, sangat berbahaya kalau mencari perkara dengan mereka. Dia sendiri sih tidak perlu ditakuti, akan tetapi kalau kawan-kawannya muncul, berbahaya juga. Mari kita menghindar saja."

   Akan tetapi sebelum guru dan murid itu sempat pergi, tiba-tiba terdengar siulan nyaring yang menuju ketempat itu. Terpaksa mereka menyelinap dan bersembunyi lagi sambil mengintai. Sesosok bayangan hitam berkelebat datang dan ternyata ia adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan bertubuh ramping. Usianya kurang dari tiga puluh tahun dan gerakannya cepat sekali, dan kini setelah berdiri didekat api unggun, matanya yang jeli mengerling kearah si Jai-hwa Toat-beng-kwi, lalu kerling mata itu menyambar kearah si gadis yang bermuka sedih dan wanita ini tersenyum mengejek, bibirnya yang merah berjebi.

   "Pekpi Siauw-kwi Si Maling Cantik!" Pek Lian berbisik dengan kaget ketika mengenal wanita ini. Akan tetapi, ternyata bukan wanita penjahat ini saja yang muncul karena berturut-turut muncul pula orang-orang yang didunia kang-ouw sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat. Ada sembilan orang banyaknya dan kini Jai-hwa Toat-beng-kwi bangkit berdiri dan mengomel.

   "Wah, sampai penat-penat badanku menanti kalian. Nah, inilah surat dari Ong-ya! Siauw-kwi, bacalah keras-keras agar semua orang mendengarnya!" kata jai-hwa Toat-beng-kwi sambil melemparkan segulung kertas kearah Si Maling Cantik. Kertas gulungan itu menyambar cepat dan ditangkap oleh Pekpi Siauw-kwi yang segera membuka gulungannya dan terdengarlah suaranya yang lembut namun nyaring itu.

   "Sekalian rakyatku yang malang-melintang dirimba raya dan sungai telaga, dengarlah baik-baik! Saat ini negara sedang dalam keadaan kalut. pemberontakan terjadi dimana-mana. Negara berada dalam bahaya keruntuhan. Dari arah barat dan timur para pemberontak sedikit demi sedikit menduduki daerah-daerah. Kini tinggal beberapa daerah saja disekitar Kotaraja yang masih tersisa. Nah, sekaranglah saat kejayaan yang aku janjikan kepada kalian itu tiba. Berkumpullah kalian semua ke Kotaraja. Akan kuberikan tugas-tugas penting. Kita akan bersuka ria dan kejayaan berada ditangan kita!" Mendengar bunyi surat yang dibacakan oleh Pekpi Siauw-kwi, semua orang menyambut gembira.

   "Hidup Tuanku Raja Kelelawar! Hidup Ong-ya!" Kalau saja mereka semua belum menyaksikan sendiri kehebatan orang yang kini menjadi pemimpin mereka itu, tentu para tokoh sesat ini tidak akan mudah begitu saja mempercayai janji yang dikeluarkan sedemikian mudahnya. Bergerak di Kotaraja! Sungguh merupakan perbuatan nekat dan biasanya hal ini akan dianggap seperti orang mencari mati saja. Akan tetapi kaum sesat itu kini sudah percaya sepenuhnya kepada Raja Kelelawar dan apapun yang diperintahkannya akan mereka taati tanpa banyak ragu lagi.

   Sambil bersorak-sorak, para tokoh sesat itu meninggalkan tempat itu, dan Jai-hwa Toat beng-kwi sendiri lalu menarik tangan gadis korbannya, kemudian memondongnya dan penjahat cabul itupun berkelebat pergi. Liu Pang dan Pek Lian masih bersembunyi. Biarpun para tokoh sesat itu sudah lama pergi, mereka masih saja bersembunyi ditempat tadi. Bulan sepotong tertutup awan, malam amat gelap dan kini api unggun itu telah padam. Didalam kegelapan ini sukar diketahui apakah benar-benar tempat itu telah bersih dari orang-orang jahat itu. Hanya dengan ketajaman pendengaran saja Liu Pang meneliti keadaan ditempat itu dan mereka mengambil keputusan untuk menanti dulu sebelum meninggalkan tempat persembunyian mereka.

   "Hemm, keadaan menjadi semakin gawat," bisik Liu Pang kepada muridnya.

   "Golongan sesat yang dipimpin Raja Kelelawar itu ternyata sudah terjun pula dalam pergolakan negara, bahkan mereka itu langsung bergerak ke Kotaraja. Ini benar-benar merupakan hal yang amat gawat. Jenderal Beng Tian dan putera mahkota sudah tidak berada di Kotaraja dan kini keadaan akan menjadi semakin kalut. Kiranya di Istana yang dapat diandalkan kini hanyalah pasukan pengawal Istana saja. Sedangkan barisan kita sendiri kini masih tertahan didaerah ini. Untuk mencapai Kotaraja masih melalui jalan yang panjang dan sukar. Bagaimanapun juga, kita harus cepat dapat mencapai Kotaraja, jangan sampai didahului oleh pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu. Apa lagi kalau Istana sampai dikuasai oleh iblis-iblis pimpinan Raja Kelelawar, ahh... jangan sampai terjadi hal itu! Kita harus cepat mencari pasukan kita."
(Lanjut ke Jilid 23)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 23
Tiba-tiba Liu Pang memegang tangan muridnya dan menyuruhnya jangan bergerak. Bulan sepotong telah terlepas dari cengkeraman awan dan didalam cuaca yang suram-muram itu nampak bayangan yang berkelebat halus namun cepat sekali.

   Tahu-tahu, seperti setan saja ditempat itu, tak jauh dari tempat persembunyian mereka, nampak dua orang kakek berjenggot putih panjang. Mereka adalah dua orang kakek yang mengenakan jubah panjang berwarna coklat dan dibagian dada jubah itu nampak jelas lukisan naga terbuat dari pada benang kuning emas. Liu Pang dan Pek Lian tidak berani bergerak. Dari gerak-gerik kedua orang kakek itu, guru dan murid ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki kesaktian dan sedikit saja mereka mengeluarkan suara tentu akan terdengar oleh dua orang kakek itu. Seorang diantara mereka, yang lebih muda, menuding kearah bekas api unggun dan terdengar suaranya lirih,

   "Lihat, suheng. Iblis-iblis itu tentu baru saja berkumpul disini. Sungguh mengherankan, mereka itu biasanya bergerak sendiri-sendiri, kalau sampai mereka dapat berkumpul, tentu telah terjadi hal yang amat luar biasa."

   "Benar, memang telah terjadi hal yang luar biasa," kata temannya.

   "Munculnya seorang pelindung seperti Raja Kelelawar memberi kesempatan kepada mereka untuk tumbuh, keadaan mereka seperti harimau tumbuh sayap. Mereka merajalela mengganggu rakyat yang sudah cukup menderita sengsara akibat peperangan-peperangan itu. mereka itu menjadi semakin berani dan ganas karena mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tidak ada kekuatan yang berani menghalangi mereka. Pasukan pemerintah sedang sibuk menanggulangi para pemberontak. Musuh bebuyutan mereka, yaitu para pendekar, bahkan kini sibuk melawan pemerintah."

   "Para iblis itu mengganas di Kotaraja sekalipun, takkan ada yang menghalangi. Bukankah ini sudah keterlaluan sekali? Bagaimana jadinya dengan negara ini nanti?"

   "Sayang, kita sedang melaksanakan tugas yang diberikan oleh suhu. Kalau tidak, sudah kuhancurkan orang-orang itu tadi!" Orang yang lebih muda mengepal tinju dengan sikap marah.

   "Sabarlah, sute. Nanti kalau tugas kita selesai kita cari orang-orang itu. Hayo kita pergi, benteng itu tidak jauh lagi dari sini." Mereka berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Gerakan para iblis sesat tadi memang sudah hebat dan menunjukkan betapa mereka itu rata-rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi, tingkat kepandaian dua orang ini bahkan melebihi mereka itu dan melihat betapa mereka berkelebat lenyap, Liu Pang menghela napas panjang.

   "Kedua orang itu lihai bukan main. Gerakan mereka sedikitpun tidak meninggalkan suara. Entah dari golongan manakah mereka itu? Agaknya mereka tidak menyukai golongan Chu Siang Yu maupun golongan kita. Dan mereka amat membenci anak-buah Raja Kelelawar. Mereka juga tidak suka kepada golongan yang mengkhianati pemerintah. Hemm, sungguh aneh, mereka itu dari golongan mana dan berpihak kepada siapakah?"

   "Suhu, aku mengenal jubah mereka. Mereka itu masih seperguruan dengan kakak-beradik Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong. Kalau tidak salah, orang-orang tadi masih terhitung susiok kakak-beradik itu. Guru orang-orang tadi adalah murid kedua dari mendiang Tabib Sakti Tanpa Bayangan. Aku bahkan pernah berjumpa dengan guru mereka itu, yaitu ditempat kediaman murid keturunan Sin-kun butek, yaitu ketua Thian-kiam-pang. Agaknya diantara kedua orang tua itu terdapat persahabatan yang erat. Kalau mengingat bahwa isteri ketua Thian-kiam-pang adalah keluarga Kaisar, maka kurasa kedua orang itupun tentu termasuk pengikut Kaisar." Liu Pang mengangguk-angguk.

   "Dan mereka hendak pergi ke benteng, apa sebenarnya tugas yang mereka terima dari guru mereka itu?" Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali dan setelah lewat tengah malam, tibalah mereka disuatu padang rumput Kini bintang bertaburan dilangit bersih sehingga cahaya cukup menerangi keadaan sekeliling.

   "Suhu, lihat disana itu! Apakah itu?" Pek Lian menunjuk jauh kedepan. Guru dan murid itu memandang dan jauh didepan nampak pemandangan yang amat menarik. Seolah-olah ribuan bintang dilangit itu bergerak turun dan berbaris diatas bumi, merupakan barisan panjang berkelap-kelip.

   "Hemm, itu sudah pasti sebuah barisan pasukan yang cukup besar, begitu panjang. Sedikitnya tentu ada lima ribu orang, dan ada iring-iringan kereta lagi, hemim entah pasukan mana yang bergerak pada malam hari ini?"

   Mereka lalu cepat menyelinap diantara pohon-pohon dan mendekati, kemudian bersembunyi dibalik pohon-pohon besar dan lebat. Kini bunyi derap kaki dan ringkik kuda, juga bunyi roda kereta sudah terdengar oleh mereka, diseling berkerincingnya senjata para anak-buah pasukan. Dugaan Liu-Bengcu yang berpengalaman itu memang tepat. Yang sedang bergerak itu adalah sepasukan besar yang bersenjata lengkap. Mereka berdua tidak berani terlalu mendekatkan diri, dan hanya mengintai dari balik batang-batang pohon besar yang berada dilereng bukit itu. Pada saat itu terdengar derap kaki kuda mendekat dan nampaklah beberapa orang perajufit pengawal mengiringkan dua orang raksasa.

   Pek Lian terkejut sekali mengenal bahwa raksasa pertama adalah Malisang, kepala suku Bangsa Mongol yang bersekongkol dengan pasukan daerah itu. Kiranya orang Mongol ini sudah sembuh kembali setelah terluka oleh pukulan mujijat ketua Tai-bong,-pai dan kini sudah berada disini, agaknya memimpin pasukan besar yang melakukan gerakan diwaktu malam itu. Akan tetapi, gadis ini lebih kaget lagi ketika mengenal raksasa kedua yang lebih besar lagi tubuhnya dari pada si tokoh Mongol. Dan iapun menjadi gentar ketika mengenal bahwa raksasa ini ternyata adalah Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi), tokoh kedua dari para iblis Ban-kwi-to itu! Tentu saja guru dan murid itu tak berani banyak berkutik ketika melihat betapa dua orang raksasa bersama pengawalnya itu kini berhenti didekat pohon-pohon tempat mereka bersembunyi!

   "Ha-ha!" Raksasa Ban-kwi-to itu tertawa bergelak ketika mereka itu memandang kearah pasukan yang lewat dibawah.

   "Kalau Kotaraja sedang kalut, dengan barisanmu yang kuat ini, langsung menyerang Kotaraja terus menduduki Istananya, apakah sukarnya?"

   "Ho-ho, saudara Tiat-siang-kwi mudah saja bicara! Keadaan Istana dan Kotaraja memang kalut, akan tetapi bukan itulah yang selama ini memusingkan kami, melainkan si petani Liu Pang itulah! Kalau pasukannya sudah kami hancurkan, barulah kita berkesempatan menyerbu Kotaraja."

   "Hemm, aku tidak tahu tentang siasat perang. Akan tetapi engkau tahu bahwa kami mau membantu karena pasukanmu hendak menyerbu Istana di Kotaraja," kata pula si raksasa dengan suaranya yang lantang.

   "Tentu saja, tentu saja. Jangan khawatir, kalau kita sudah menyerbu Istana, tentu kami akan memberi kesempatan seluasnya kepada engkau dan saudara-saudaramu untuk berpesta-pora sepuasnya di Istana. ha-ha-ha!"

   "Huhh!" Tiba-tiba raksasa dari Bankwi-to itu mendengus dan berdesah seperti seekor kerbau. Dia celingukan kekanan kiri, kebelakang dan hidungnya terdengar mendengus-dengus.

   "Aku mencium bau daging wanita muda! Ada wanita muda disekitar tempat ini!" Tentu saja Pek Lian terkejut setengah mati mendengar ini. Raksasa pemakan daging manusia ini benar-benar memiliki penciuman yang tajam seperti srigala saja. Akan tetapi Malisang tertawa.

   "Saudara Tiat-siang-kwi benar-benar memiliki penciuman yang hebat. Memang ada wanita-wanita didalam barisan itu. Didalam kereta itu terdapat para wanita keluarga gubernur yang ikut mengungsi dan kita kawal!"

   "Bukan, bukan mereka! Wanita ini berada disini, disekitar tempat ini!" kata raksasa itu dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri pohon besar dimana Liu Pang dan muridnya bersembunyi. Ketika itu, guru dan murid ini bersembunyi diatas pohon besar itu, diantara dahan-dahan dan daun-daun pohon yang lebat. Tentu saja melihat raksasa itu menghampiri pohon, Pek Lian bergidik dan jantungnya seperti akan pecah rasanya karena berdegup kencang penuh ketegangan. Liu Pang sendiri sudah bersiap-siap untuk meloncat turun dan kalau perlu mengadu nyawa melindungi muridnya. Akan tetapi, ketika tiba dibawah pohon besar itu, Tiat-siang-kwi bukan menengok keatas, melainkan membungkuk kebawah dan tangannya menyambar kearah sehelai ikat pinggang yang berkembang merah.

   "Inilah wanita itu!" katanya sambil memandang ikat pinggang itu yang ternyata sebagian tertanam dalam tanah. Malisang menghampiri dan memandang heran.

   "Eh, ini tanah galian baru!" katanya dan diapun membantu raksasa itu menarik ikat pinggang yang sebagian besar tertanam itu. Tanah terbuka dan keluarlah sesosok tubuh wanita yang sudah menjadi mayat! Dari atas, Liu Pang dan Pek Lian memandang dengan hati ngeri dan mengenal bahwa itulah gadis yang mereka lihat bersama Jai-hwa Toat-beng-kwi itu! Kiranya gadis korban penjahat cabul itu telah dibunuh dan mayatnya dikubur secara sembarangan dibawah pohon itu.

   "Heii! Mayat siapakah itu?" Terdengar seruan orang dan seorang pria muda yang rambutnya riap-riapan tahu-tahu muncul disitu. Dia adalah Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bong-pai itu.

   "Entahlah, kami temukan ia terkubur disini," jawab Malisang. Kwa Sun Tek berjongkok memeriksa.

   "Hemm, bukan mayat orang yang kami cari," katanya sambil bangkit berdiri lagi.

   "Kwa-sicu, apa maksudmu?" tanya Malisang yang merasa heran melihat sikap pemuda ini seperti orang marah-marah dan mencari-cari sesuatu.

   "Sungguh kurang ajar sekali!" Kwa Sun Tek mengomel.

   "Para penjahat itu sungguh tidak memandang sebelah mata kepada kita! Berani mengganggu barisan kita yang besar. Seorang dayang gubernur telah diculik, berikut beberapa buah perhiasan yang dibawa oleh keluarga gubernur. Bukankah itu perbuatan yang lancang dan menantang sekali? Seorang diantara mereka, kalau tidak salah yang berjuluk Pekpi Siauw-kwi, terkena pukulanku, akan tetapi ia gesit sekali dan dapat melarikan diri. Malam amat gelap dan mereka lari kedalam hutan, bagaimana aku dapat mengejar mereka?"

   "Aih, sudahlah, mengapa urusan kecil begitu harus dibesarkan. Urusan besar kita bisa kapiran. Hayo kita berangkat, perjalanan malam ini harus mencapai tempat tujuan sebelum matahari terbit." Merekapun lalu pergi meninggalkan bawah pohon besar itu. Dari atas pohon, Liu Pang dan Pek Lian menyaksikan iring-iringan yang besar dan ternyata bahwa pasukan itu terdiri dari pasukan pejabat daerah bersama pasukan asing. Mereka agaknya meninggalkan benteng karena takut akan serbuan pasukan Liu Pang. Pada akhir barisan itu nampak kereta-kereta, diantaranya gerobak suami-isteri Ban-kwi-to yang sudah amat dikenal oleh Pek Lian itu. Melihat ini, Liu Pang berpikir.

   "Wah, sungguh gawat. Ternyata para gubernur daerah itu bukan hanya bersekongkol dengan orang-orang asing, akan tetapi juga dibantu oleh kaum sesat." Setelah barisan itu lewat dan suasana disitu menjadi sunyi lagi, Liu Pang dan muridnya turun dari batang pohon besar itu. Sejenak keduanya berdiri memandang kepada mayat gadis yang masih menggeletak dibawah pohon. Liu Pang menarik napas panjang.

   "Gadis yang malang"

   "Dan biarpun sudah menjadi mayat, ia masih berjasa dan menyelamatkan kita, suhu," kata Pek Lian. Mereka lalu menggali lubang dan mengubur mayat gadis itu. Setelah itu, keduanya lalu dengan hati-hati melanjutkan perjalanan. Semua pengalaman yang dialami oleh Liu Pang bersama muridnya dalam perjalanan ini, sungguh amat berharga baginya. Tanpa disengaja dia telah memperoleh banyak keterangan mengenai keadaan musuh-musuhnya sehingga dari semua pengalaman ini dapat dipergu-nakannya untuk menyusun siasatnya kelak ketika dia memimpin pasukannya sampai berhasil.

   Sudah terlalu lama kita meninggalkan Seng Kun dan Bwee Hong, kakak-beradik yang melakukan perjalanan ke Kotaraja dan diikuti oleh A-hai itu. Makin mendekati Kotaraja, kakak-beradik ini melihat betapa keadaan semakin kacau dan kekalutan amat terasa. Memang arus para pengungsi berkurang akan tetapi ketegangan terasa dimana-mana. Kota-kota menjadi sunyi, dusun-dusun diliputi ketegangan dan ketakutan. Para penjahat berpesta-pora, melakukan aksi dimana saja, terutama sekali disekitar Kotaraja. Para penjahat ini tahu bahwa para perajurit sedang sibuk bertempur menghadapi pemberontak. Kekuatan petugas keamanan hanya lemah dan sedikit saja, bahkan para petugas keamanan sendiri ikut-ikutan bersikap sewenang-wenang karena tidak diawasi oleh atasan mereka yang sibuk sendiri.

   Para penjahat yang memiliki kepandaian seperti menjadi Raja-Raja kecil atau penguasa-penguasa yang menguasai kota-kota besar. Biasanya, selain para petugas keamanan, juga para pendekar menentang mereka ini. Akan tetapi kini para pendekar banyak yang meninggalkan rumah dan bergabung dengan pasukan pendekar menentang pemerintah dan menentang para pengacau. Keadaan sungguh kalut dan hukum rimbapun berlakulah. Siapa kuat dia menang. Para hartawan dan para pejabat, orang-orang terkemuka dan mampu, menggaji barisan tukang pukul untuk menjaga keselamatan keluarga mereka, atau setidaknya mereka ini mendekati para penjahat, menyogok sana-sini agar keluarga mereka tidak diganggu.

   Segala macam perbuatan kejipun terjadilah dimalam hari. Penindasan, perampokan, perkosaan dan kerusuhan karena persainganpun terjadi hampir setiap hari. Keadaannya amat menyedihkan. Seng Kun dan Bwee Hong melihat semua ini. A-hai juga melihatnya, akan tetapi pemuda yang linglung ini seperti tidak mengacuhkannya atau tidak menyadari keadaan. Sebaliknya, kakak-beradik yang berjiwa pendekar itu merasa berduka sekali. Mereka prihatin menyaksikan keadaan ini, melihat bahwa bagaimanapun juga, akhirnya yang paling menderita adalah rakyat jelata yang miskin dan lemah. Rakyat yang tidak mempunyai pelindung dan tidak kuasa melindungi diri sendiri inilah yang ditindas, diinjak-injak, disiksa, dibunuh, diperkosa hak-haknya,

   Sedikitpun tidak ada kemampuan untuk membalas dan biasanya hanya menangis saja. Pada suatu pagi yang cerah, tiga orang muda ini memasuki sebuah kota kecil yang terletak disebelah tenggara Kotaraja. Sebuah jalan raya yang cukup besar terbentang didepan, memasuki pintu gerbang utara untuk menuju kearah Kotaraja. Kota kecil ini biasanya cukup ramai akan tetapi sekarang dibalik keramaian itu terasa adanya ketegangan dan rasa takut membayang dalam pandang mata setiap orang yang masih melanjutkan usahanya berdagang. Baru sampai dipintu gerbang saja, tiga orang muda itu sudah melihat hal yang amat mengherankan. Mereka melihat betapa setiap orang yang lewat disitu menghampiri sebuah sudut dipintu gerbang.

   Disitu berdiri sebuah guci besar, tingginya ada satu meter dan mulut guci itu lebar, lalu menyempit dibagian leher. Setiap orang yang menghampiri guci itu lalu memasukkan uang kedalam mulut guci. Dibelakang guci itu duduk bersila seorang laki-laki yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Disekitar tempat itu terdapat enam orang laki-laki yang rata-rata berwajah serem dan bersikap galak. Mereka inilah yang mengamati setiap ada orang memasukkan uang kedalam guci, dan orang-orang yang memasukkan uang itupun dengan sengaja memperlihatkan jumlah uang yang dimasukkannya, seolah-olah hendak memperlihatkan bahwa mereka telah memasukkan jumlah uang yang secukupnya. Dari sikap mereka yang menghampiri guci, dapat terlihat bayangan rasa gentar dan takut terhadap orang-orang yang menjaga guci itu.

   Tentu saja tiga orang muda itu merasa heran bukan main. Mula-mula mereka tidak tahu apa artinya guci yang dimasuki uang oleh mereka yang lewat dipintu gerbang itu. Maka Seng Kun dan Bwee Hong juga meragu dan berdiri memandang ketika ada seorang nenek datang menghampiri guci itu dengan mulut kemak-kemik dan muka pucat, mata terbelalak membayangkan rasa takut. Nenek itu berusia hampir enam puluh tahun, memikul keranjang sayuran yang kosong. Melihat pakaiannya, tentu ia seorang nenek dusun yang baru saja pulang dari kota menjual hasil ladangnya berapa sayur-sayuran. Dengan tangan gemetar, nenek itu mengambil sepotong uang logam dan hendak memasukkannya kedalam mulut guci. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dan nenek itu terkejut, tangannya menggigil dan mukanya pucat memandang kepada laki-laki tinggi besar yang membentaknya tadi.

   "Nenek mau mampus! Berani engkau menghina kami dengan memberi uang kecil yang tiada harganya itu?" Seorang diantara enam laki-laki galak itu membentak dan menghampiri dengan sikap mengancam.

   "Ampun saya saya tidak punya uang" nenek itu berkata dengan suara gemetar dan merangkapkan kedua tangan, memberi soja berka-li-kali.

   "Nenek pelit! Siapa tidak tahu bahwa engkau pagi tadi lewat membawa sayuran sepikul? Hayo cepat beri lima kali itu!"

   "Akan tetapi... ah... cucu saya sakit panas... uang penjualan sayur nanti untuk membeli obat"

   "Alasan! Biar cucumu mampus! Cepat berikan uang itu!"

   "Tidak tidak... nanti bagaimana cucuku"

   "Plak!" Laki-laki kasar itu menggerakkan tangan menampar dan nenek itu terkena tamparan pada pipinya, membuatnya terpelanting.

   "Nenek pelit bosan hidup!" Laki-laki kasar yartg marah itu melangkah lebar dan hendak melanjutkan serangannya dengan sebuah tendangan.

   "Manusia berhati kejam seperti binatang!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Bwee Hong sudah berada disitu, menyambar tubuh nenek itu sehingga terluput dari tendangan. Dengan sikap halus Bwee Hong mengajak nenek itu berdiri ditepi jalan, membersihkan baju nenek itu dan menyerahkan beberapa mata uang perak sambil berkata,

   "Nenek, pakailah uang ini untuk membeli obat cucumu dan cepatlah pergi meninggalkan tempat ini." Nenek itu menerima uang perak dengan mata basah. Ia mengenal mata uang itu dan cepat pergi terbongkok-bongkok. Sementara itu, laki-laki tinggi besar tadi memandang kepada Bwee Hong dengan muka merah. Dia hendak marah, akan tetapi begitu melihat wajah yang cantik jelita itu, kemarahannya lenyap seperti awan tipis ditiup angin. Sebaliknya, dia malah tersenyum lebar dan matanya terbelalak menatap wajah yang luar biasa manisnya itu.

   "Ah, kiranya ada bidadari dari kahyangan yang datang membagi berkah! Nona manis, kalau nona yang mintakan, biarlah semua orang tidak usah membayar apa-apa asal nona suka menemani kami ditempat ini untuk bersenang-senang!"

   Muka Bwee Hong menjadi merah sekali mendengar ucapan yang tidak sopan itu dan iapun melangkah maju, tangan kirinya bergerak menampar muka laki-laki itu. Enam orang itu adalah orang-orang kasar yang biasa merajalela dengan mengandalkan kekuatan, maka tentu saja mereka adalah tukang-tukang pukul yang pandai ilmu silat. Melihat nona cantik itu menggerakkan tangan menamparnya, si tinggi besar itu tertawa dan menggerakkan tangan untuk meraih dan hendak menangkap tangan kiri Bwee Hong yang menampar. Akan tetapi, tiba tiba ada bayangan menyambar dari bawah dan tahu-tahu kaki kanan Bwee Hong sudah mendahului tangan kirinya, menendang tinggi keatas dan menyambar kearah muka pria itu dengan kecepatan kilat.

   "Plakkk!" Laki-laki itu mengaduh, terpelanting dan meraba pipinya yang tiba tiba saja membengkak, dan darah segar mengalir dari bibirnya karena beberapa buah giginya telah rontok terkena tendangan kaki Bwee Hong.

   Kiranya nona ini tidak sudi menyentuh muka orang dengan tangan dan tangan kirinya tadi hanya merupakan gerakan memancing belaka sedangkan yang sungguh-sungguh menyerang adalah kakinya. Lima orang temannya terkejut dan juga mulai marah melihat kawan mereka mengalami penghinaan seperti itu. Mengertilah mereka bahwa nona cantik ini ternyata pandai ilmu silat. Bagaimanapun juga, mereka masih memandang rendah. Boleh jadi nona ini pandai dan berhasil menendang muka kawan mereka, akan tetapi menghadapi mereka semua, tentu nona ini, tidak akan mampu berbuat banyak. Kemarahan mereka membuat mereka mengambil keputusan untuk menangkap dan membalas dendam dengan menghina dara ini.

   "Perempuan tak tahu diuntung! Kita tangkap dan kita permainkan ia sepuas kita!" kata seorang diantara mereka yang berkumis tebal dan bertubuh gendut pendek. Lima orang itu dengan kedua tangan mencengkeram seperti lima ekor harimau hendak memperebutkan seekor domba, lalu menubruk kedepan dari semua jurusan. Akan tetapi, lima orang itu yang kini dibantu oleh orang pertama yang giginya rontok tadi, sekali ini benar-benar kecelik. Telah berbulan-bulan lamanya mereka ini, dikepalai oleh orang tinggi besar yang masih duduk bersila, bersikap sewenang-wenang dikota kecil itu, merajalela seperti Raja-Raja kecil memeras rakyat dan melakukan apa saja seenak perut mereka sendiri, tanpa ada yang dapat menentang mereka. Kini, mereka kecelik dan benar-benar bertemu batunya.

   Mereka hanya melihat tubuh nona yang langsing itu lenyap lalu nampak bayangan berkelebatan dan bagaikan terbang saja Bwee Hong berloncatan kesana-sini, membagi-bagi tendangan dengan kedua kakinya, susul-menyusul dan ganti-berganti. Terdengar suara kaki bertemu dengan dagu, dengan dada, dengan perut, disusul teriakan kesakitan dan enam orang itu sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dari kaki Bwee Hong dan merekapun terpelanting jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Ada yang perutnya mendadak menjadi mulas, ada yang dadanya sesak sukar bernapas, ada yang patah tulang dan ada pula yang mulutnya berdarah giginya rontok! Hebat memang sepak terjang Bwee Hong dengan kecepatannya yang membuat semua lawannya roboh tanpa mereka ketahui apa yang sebenarnya menyambar dirinya dan membuat mereka roboh tadi.

   Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat seperti seekor srigala marah dan tahu-tahu laki-laki tinggi besar yang tadi duduk bersila dibelakang guci uang, melompat keatas dan dengan kedua lengan bersilang membentuk cakar harimau, orang itu sudah menubruk kearah Bwee Hong. Jelaslah bahwa dari gerakannya, orang ini jauh lebih lihai dari pada enam orang temannya tadi dan memang sesungguhnya dia adalah kepala dari gerombolan penjahat itu yang tentu saja memiliki ilmu silat yang lebih lihai. Ilmu silatnya adalah ilmu silat harimau dan dengan loncatan itu, dia sudah menerkam kearah Bwee Hong, mencengkeram kearah kepala dan dada gadis itu. Akan tetapi Bwee Hong sudah siap sedia menghadapi serangan ini maka begitu terkaman itu tiba, ia sudah dapat mengelak dengan amat cepatnya dan membalas dengan tendangan kearah perut orang tinggi besar itu.

   "Dukk!" Orang itu menangkis dengan lengannya dan dari tangkisan ini tahulah Bwee Hong bahwa lawannya hanya memiliki tenaga kasar saja. Sebaliknya orang itu, begitu menangkis, tangannya sudah mencengkeram hendak menangkap kaki yang menendang. Akan tetapi, tangan Bwee Hong sudah menyambar kedepan dan tangan kirinya yang membentuk paruh burung sudah menyambar kearah mata lawan. Kagetlah laki-laki itu karena gerakan gadis itu sedemikian cepatnya sehingga hampir saja dia tidak mampu menghindarkan dirinya lagi. Hanya dengan membuang dirinya kebelakang dia dapat mengelak, akan tetapi Bwee Hong telah menyusulkan tendangan berantainya yang amat lihai itu-Lawannya berusaha mengelak dan menangkis, hanya empat kali berhasil dan tendangan susulan yang kelima kalinya tanpa dapat dicegah lagi telah mengenai lambungnya.

   "Dukk... augghhh!" Tubuh yang tinggi besar itupun terpelanting dan si tinggi besar itu tak mampu bangun lagi karena roboh pingsan. Menyaksikan betapa kepala mereka yang amat mereka andalkan itu ternyata roboh pula oleh gadis cantik itu, enam orang kasar tadi menjadi terbelalak dan muka mereka berobah pucat sekali. Sementara itu, A-hai sejak tadi nonton saja dan diapun tahu apa artinya guci uang itu. Agaknya, pemuda inipun menjadi penasaran sekali?

   "Memaksa orang memberikan uangnya, sama saja dengan perampokan disiang hari, ditempat ramai pula. Sungguh keterlaluan!" Sambil berkata demikian, A-hai lalu mengangkat guci uang itu, menuangkan isinya sehingga banyak uang berhamburan keluar dari guci. Tumpukan uang itu lalu ditendang dan disebar-sebarkannya. Tentu saja menjadi rebutan orang-orang yang banyak lalu-lalang, ditempat itu. Enam orang kasar itu tidak berani banyak bergerak, bahkan diam-diam mereka lalu menggotong pimpinan mereka dan mengambil langkah seribu melarikan diri dari tempat itu.

   Mereka merasa takut sekali. Baru gadis itu saja sudah membuat mereka tidak mampu melawan, apa lagi kalau dua orang pemuda yang datang bersama dara itu juga turun tangan. Bisa celaka mereka, mungkin akan mati semua mereka. Maka merekapun segera menghmbil langkah aman dan melarikan diri. Tiga orang muda itu lalu memasuki kota kecil dan melihat-lihat keadaan. Berita tentang dihajarnya para pencoleng oleh gadis cantik yang datang bersama dua orang muda itu segera tersiar dan ramai dibicarakan orang. Banyak orang diam-diam bersyukur bahwa dalam keadaan kalut seperti itu masih ada pendekar yang suka turun tangan membasmi kejahatan. Peristiwa itu mendatangkan secercah sinar harapan dalam hati mereka yang tadinya sudah menjadi muram dan tak acuh karena kekalutan yang melanda kehidupan mereka selama ini.

   Tiga orang muda itu melihat bahwa biarpun didalam kota kecil itu masih terdapat orang-orang berpakaian seragam, yaitu para penjaga keamanan kota, namun sikap mereka itu tak acuh walaupun masih jelas nampak keangkuhan dan ketinggian hati mereka. Sore hari itu, setelah memperoleh kamar penginapan, Bwee Hong, Seng Kun dan A-hai keluar dan memasuki sebuah restoran. Ternyata, biar dalam keadaan kalut, restoran itu menyediakan makanan yang cukup lengkap sehingga Bwee Hong merasa gembira ketika memesan masakan kesayangannya. Seperti juga para pengusaha lainnya, restoran yang cukup besar itupun memelihara belasan orang tukang pukul yang berjaga didalam ruangan dan juga didepan pintu. Tiga orang muda itu sedang enak-enaknya makan masakan yang mereka pesan ketika terdengar suara ribut-ribut diluar pintu.

   

Harta Karun Kerajaan Sung Eps 9 Naga Beracun Eps 30 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 3

Cari Blog Ini