Naga Beracun 11
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Ketika rombongan Poa Kiu yang mengantar Siauw Can dan Bi Lan memasuki pekarangan yang luas dari gedung tempat tinggal Pangeran Tua, kedua orang ini melihat bahwa tempat itu terjaga oleh pasukan keamanan. Akan tetapi karena yang mengawal kereta adalah Poa Kiu yang dikenal oleh semua pengawal, maka kereta itu tidak ditahan dan dapat dijalankan sampai di bawah anak tangga beranda depan gedung itu.
Siauw Can dan Bi Lan diam-diam memperhatikan keadaaan tempat itu dan melihat bahwa di antara para anggota pasukan penjaga tidak nampak seorangpun bangsa Turki. Kepada kepala pengawal, Poa Kiu minta agar dikabarkan kepada Pangeran Tua bahwa dia mohon menghadap bersama dua orang tamu yang amat penting, guna dihadapkan kepada pangeran. Kepala pengawal tahu bahwa Poa Kiu adalah orang kepercayaan dan tangan kanan sang pangeran, maka tanpa banyak tanya lagi dia lalu langsung saja masuk ke dalam untuk memberi laporan kepada majikannya.
Tak lama kemudian, kepala pengawal itu muncul kembali dan mempersilakan Poa Kiu dan dua orang tamu itu langsung saja memasuki ruangan tamu di bagian kanan bangunan. Kalau tadi Bi Lan dan Siauw Can mengagumi pekarangan depan yang mempunyai taman amat indahnya, dan beranda depan yang luas dan dihias arca-arca singa dan naga, kini mereka menjadi makin kagum ketika memasuki lorong menuju ke ruangan tamu, didahului oleh kepala pengawal dan Poa Tai-jin.
Gedung itu memang indah sekali. Pot-pot tanaman bunga yang terukir indah, dengan tanaman bunga yang langka didapat. Guci-guci besar menghias sudut-sudut di sepanjang lorong, tempat- tempat lampu yang beraneka bentuk dan warna. Pilar-pilar yang terukir, tirai-tirai sutera, permadani dan pada dinding tergantung lukisan-lukisan dan tulisan huruf indah yang tak ternilai harganya.
Ketika mereka memasuki kamar tamu, Pangeran Tua Li Siu Ti sudah duduk di situ, di atas sebuah kursi yang berwarna merah. Di kanan kiri dan belakangnya berdiri selosin pengawal pribadi. Kepala pengawal itu menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kiri dan memberi hormat. Poa Kiu juga memberi hormat kepada atasannya dengan menjura dan membungkuk.
Melihat ini, Siauw Can dan Bi Lan juga mengangkat kedua tangan di depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat. Dengan tangannya. Pangeran Li Siu Ti menyuruh kepala pengawal mundur, kemudian dia memandang kepada pembantu utamanya.
"Poa Kiu, siapakah dua orang muda ini dan kenapa engkau membawa mereka menghadapku?"
Dalam pertanyaan ini terkandung teguran karena agaknya sang pangeran kecewa. Tadi kepala pengawal melaporkan bahwa Poa Kiu mohon menghadap bersama dua orang penting.! Tidak tahunya hanya seorang pemuda sederhana dan seorang wanita muda yang memondong seorang anak perempuan!
"Ampun, pangeran," kata Poa Kiu."Sekali ini saya membawa berita amat menggembirakan. Tanpa disengaja di tengah perjalanan, saya telah bertemu dengan dua orang pendekar ini yang tentu akan amat berguna bagi paduka. Mereka inilah orang-orang yang selama ini paduka cari, yang paduka butuhkan. Mereka berdua memiliki ilmu kepandai silat yang hebat."
Lalu Poa Kiu menceritakan kepada sang pangeran tentang sepak terjang Bi Lan dan Siauw Can ketika diganggu oleh tujuh orang Turki di jalan tadi. Sang pangeran mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi dia mengerutkan alis mengamati dua orang itu. Agaknya, sukar baginya untuk dapat mempercayai cerita itu.
Dua orang muda itu sama sekali tidak mengesankan sebagai orang-orang berilmu tingggi, apalagi wanita itu, yang masih muda, cantik dan kelihatan lemah lembut. Bagaimana mungkin dengan tangan kosong mampu mengalahkan tujuh orang Turki yang kuat - kuat itu? Dan pemuda itu dengan sebatang suling saja mampu melucuti senjata tujuh orang Turki itu? Tak masuk akal!
Akan tetapi pada saat itu, kepala pengawal datang menghadap dan melaporkan bahwa Raja Muda Baducin datang bertamu! Mendengar nama ini, wajah Pangeran Li Siu Ti berseri dan dia mengerling ke arah Poa Kiu.
"Bagus! Agaknya ini ada hubungannya dengnn dua orang muda ini. Poa Kiu engkau ajak mereka keluar dari sini, tunggu di ruangan sebelah. Nanti kalau aku memberi isyarat memanggil, kalian masuklah ke sini."
Kemudian pangeran itu memerintahkan kepala pengawal untuk mempersilakan Raja Muda Baducin
(Lanjut ke Jilid 13)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
untuk memasuki ruangan tamu. Poa Kiu maklum akan apa yang dimaksudkan majikannya, maka diapun mengajak Siauw Can dan Bi Lan keluar melalui pintu samping dan menunggu di ruangan sebelah.
Tak lama kemudian, masuklah tiga orang ke dalam ruangan tamu itu. Yang menjadi tamu kehormatan adalah Raja Muda Baducin, seorang laki-laki bangsa Turki berusia limapuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus. Matanya lebar dan tajam sekali, hidungnya seperti paruh kakaktua, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan kulitnya coklat mengarah hitam.
Pakaiannya mewah dan kepalanya tertutup sorban putih dari sutera, orang yang menemani nya selalu berada di belakangnya arah kanan kiri dan sekali pandang saja orang akan menge tahui bahwa mereka adalah dua orang saudara kembar. Wajah mereka, bentuk tubuh mereka, bahkan pakaian mereka, serupa dan sukarlah membedakan yang satu dengan yang lain.
Usia mereka sekitar empat puluh tahun, pakaian mereka seperti pakaian perwira perang, dan di pinggang mereka tergantung pedang bengkok yang ujung dan gagangnya terhias emas permata.
Kumis mereka melintang panjang, melengkung ke atas, dan jenggot mereka dipotong agak pendek, membuat mereka tampak jantan dan kokoh kuat. Apalagi keduanya memang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, sehingga baru bertemu saja, orang akan merasa gentar.
Setelah saling bersalaman dan mempersilakan tamunya duduk; Raja Muda Baducin duduk di atas kursi dan dua orang kembar itu tetap saja berdiri di belakangnya, seperti juga selosin pengawal pribadi yang tetap berdiri di belakang Pangeran Li Siu Ti, Pangeran itu lalu berkata kepada kepala pengawal.
"Engkau boleh keluar dan sediakan minuman untuk pasukan pengawal Raja Muda!"
"Baik, Yang Mulia Pangeran!" kata kepala pengawal itu lalu keluar dari situ.
Seperti biasa, kepala para orang Turki itu tentu saja datang dengan sepasukan pengawal yang tadi menanti di luar, sedangkan yang masuk hanya dia bersama dua orang pengawal pribadi yang setia. Kalau saja orang melihat keadaan kedua"orang besar" ini beberapa tahun yang lalu, tentu apa yang dilihatnya sekarang ini mirip dengan pertunjukan panggung sandiwara saja. Baru beberapa tahun yang lalu, Pangeran Tua Li Siu Ti yang kini disebut yang mulia dan paduka yang mulia, hanyalah orang biasa saja, bahkan dari keluarga petani.
Akan tetapi begitu sekarang keluarganya berhasil meraih tahta kerajaan, dia menjadi seorang bangsawan tinggi yang dimuliakan orang. Juga orang yang kini disebut Raja Muda Baducin, tadinya adalah seorang kepala gerombolan orang Turki yang termasuk golongan hitam atau sesat yang di negerinya dimusuhi sendiri oleh pemerintahnya.
Baducin dapat bersekutu dengan Li Si Bin dan membantu gerakan perwira muda itu sehingga berhasil menggulingkan Kerajaan Sui. Maka, sebagai balas jasa, setelah Li Si Bin berhasil, Baducin menerima anugerah, yaitu sebutan"raja muda" dan kedudukan yang mulia! Dan kini dua orang yang berasal dari rakyat jelata ini, sekarang saling berhadapan seperti dua orang bangsawan tinggi, lengkap dengan semua peralatan dan peraturannya.
Setelah gadis-gadis pelayan yang cantik datang menyuguhkan makanan dan minuman kepada tamu kehormatan itu, dan mereka berdua makan minum dengan gembira sambil memberi hormat dengan minum arak, barulah Pangeran Li Siu Ti menanyakan maksud kunjungan raja muda itu.
"Kunjungan paduka Raja Muda Baducin merupakan suatu kehormatan besar bagi kami, akan tetapi kunjungan yang mendadak ini agaknya membawa urusan penting. Atau hanya merupakan kunjungan iseng belaka untuk melepas rindu?" tanya sang pangeran dengan ramah.
Raja Muda Baducin tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang rapi.
"Ha -ha-ha, tepat sekali apa yang diduga oleh Paduka Pangeran Tua. Orang yang selalu sibuk seperti kami ini mana ada kesempatan untuk membuang waktu hanya untuk iseng? Sesungguhnya kunjungan kami ini untuk mohon keterangan dari paduka tentang peristiwa yang amat tidak menyenangkan hati kami."
"Hemm, peristiwa apakah itu? Harap paduka segera menceritakan kepada kami."
"Begini, pangeran. Pagi tadi, tujuh orang anggota Pasukan Pedang Bengkok sedang mengadakan patroli di luar pintu gerbang kota raja. Mereka melihat sebuah kereta dan karena curiga mereka menghentikan kereta itu untuk melakukan pemeriksaan. Akan tetapi penumpang kereta itu, seorang pemuda dan seorang wanita muda, membantah dan terjadi percekcokan dan perkelahian. Akan tetapi, ketika anak buah kami hendak memberi hukuman kepada orang-orang yang menghina itu, muncul pembantu paduka, yaitu Poa Kiu. Dia mencegah anak buah kami bertindak dengan mengatakan bahwa dua orang itu adalah sanak keluarga paduka yang datang dari dusun. Dan tadi, mata-mata kami mengetahui bahwa dua orang itu memang datang ke gedung ini! Nah, setelah mendapatkan laporan itu, kami bergegas datang berkunjung untuk mohon penjelasan agar tidak sampai terjadi kesalah pahaman di antara kita."
Pangeran Li Siu Ti mengangguk-angguk dan tersenyum. Biarpun cerita yang didengarnya dari raja muda ini berbeda dengan yang didengarnya dari Poa Kiu, tentu saja dia lebih percaya kebenaran cerita pembantunya yang setia. Dan diapun maklum bahwa tentu orang-orang Turki itu tidak berterus terang kepada pimpinan mereka bahwa mereka telah dikalahkan pemuda dan wanita muda itu!
"Memang benar apa yang paduka dengar itu, karena memang mereka adalah masih sanak keluarga dengan kami, walaupun masih jauh. Mereka datang berkunjung untuk membantu pekerjaan kami. Menurut cerita mereka, memang terjadi kesalah-pahaman dengan tujuh orang anak buah paduka. Akan tetapi, keributan itu tidak sampai berakibat jauh, tidak ada pihak yang terluka parah atau tewas. Maka, kami harap paduka menghabiskan saja urusan di antara anak buah kita itu."
Raja Muda Baducin itu tertawa,
"Ha-ha-ha, kalau memang mereka itu sanak keluarga paduka, tentu saja kami yang mohon maaf atas kelancangan anak buah kami. Hanya yang membuat kami merasa penasaran. Kabarnya kedua orang muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga anak buah kami menjadi permainan mereka."
Pangeran Li Siu Ti tersenyum bangga."Memang kedua orang sanak jauh itu merupakan dua orang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi!"
"Bagus, kalau begitu, ingin sekali kami bertemu dan berkenalan dengan mereka, dan dapat melihat dengan mata kepala sendiri dua orang muda, seorang pemuda dan seorang gadis, yang telah mampu mengalahkan tujuh orang anak buah pasukan Pedang Bengkok! Kalau mereka berada di sini, dapatkah kami bertemu dengan mereka, pangeran?"
"Tentu saja boleh! Bahkan mereka berduapun berada di sini, akan tetapi untuk menghormati paduka, kami memerintahkan mereka menyingkir ke ruangan lain."
Pangeran Li Siu Ti bertepuk tangan dan muncullah Poa Kiu diiringi Siauw Can dan Kwa Bi Lan yang memondong Lan Lan. Anak itu sedang makan kembang gula dengan asyiknya. Pangeran Tua segera memperkenalkan tamunya kepada dua orang muda itu, sedangkan Poa Kiu sudah menjura dengan sikap hormat.
"Tamu terhormat kita ini adalah Raja Muda Baducin yang mengepalai semua pasukan Turki yang berada di sini, dan beliau ingin berkenalan dengan kalian berdua."
Bi Lan sendiri meragu, dan andaikata tidak ada Siauw Can di situ, belum tentu dia mau memberi hormat kepada orang itu. Biarpun raja muda, ia adalah seorang Turki dan tadi pagi orang-orang Turki bersikap amat kasar dan menghina kepadanya. Bagaimana ia dapat memberi hormat? Akan tetapi, Siauw Can mendahuluinya dan pemuda ini member hormat dengan menjura, yang diturut pula oleh Bi Lan.
Sementara itu, melihat bahwa dua orang yang telah mengalahkan tujuh orang anak buahnya itu hanya seorang pemuda kerempeng dan seorang wanita muda cantik yang lemah lembut, hati Raja Muda Baducin menjadi semakin penasaran.
"Aha, kiranya dua orang ini masih amat muda! Pantas saja lancang dan berani menghina tujuh orang anggota Pasukan Pedang Bengkok kami!" katanya.
Mendengar ini, Siauw Can cepat menjawab."Paduka mendapat keterangan yang keliru. Kami berdua sama sekali tidak pernah menghina tujuh orang itu."
"Ho-ho-ho, kalian mengalahkan tujuh orang anggota Pedang Bengkok di jalan raya, disaksikan banyak orang kalian telah melucuti senjata pedang mereka dan memandang rendah mereka, bukankah itu penghinaan besar namanya! Kalau tidak muncul Poa Tai-jin, tentu telah terjadi perkelahian mati-matian!"
"Maafkan kami," kata pula Siauw Can mengalah.
"Ha-ha-ha, kalau kami tidak memaafkan, apa kami mau berkunjung ke sini? Kami justru kagum kepada kalian dan kami ingin menyaksikan sendiri sampai di mana kelihaian kalian berdua! Nah, di sini ada dua orang pengawalku. Kalau kalian berdua mampu mengalahkan dua orang pengawalku ini, aku akan memberi selamat kepada Pangeran Tua yang beruntung sekali mendapatkan pembantu-pembantu yang amat lihai!" Itu merupakan tantangan terbuka!
Bi Lan sudah menjadi merah wajahnya, akan tetapi Siauw Can yang cerdik memberi hormat ke arah Pangeran Li Siu Ti yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
"Kami berdua telah bekerja di sini maka kami tidak dapat melakukan apapun tanpa perintah dari Paduka Pangeran Tua! Kami berdua menanti perintah!"
Pangeran Li Siu Ti tersenyum lebar. Inilah kesempatan baginya untuk menguji kedua orang itu. Akan tetapi Poa Kiu merasa khawatir. Tentu saja dia sudah mengenal siapa dua orang pengawal pribadi Raja Muda Baducin ini. Dua orang raksasa kembar itu merupakan orang-orang yang paling kuat dan paling lihai di antara semua orang Turki yang berada di kota raja. Nama mereka Gondulam dan Gondalu, dua orang saudara kembar yang selain bertenaga gajah juga pandai ilmu gulat, pandai silat bahkan memiliki kekuatan sihir! .
"Maaf, Paduka Raja Muda Baducin! Saya kira, urusan anak buah adalah urusan kecil, apa perlunya dibesarkan lagi? Biarlah lain hari kami akan mengirim obat kepada tujuh orang anggota pasukan Pedang Bengkok itu disertai maaf kedua orang muda ini."
"Aih, Poa Kiu, kenapa begitu? Kami yakin bahwa Raja Muda Baducin tidak mempunyai niat buruk. Beliau memang kagum kepada orang-orang lihai seperti juga kami. Oleh karena itu, pertandingan adu kepandaian ini menarik sekali."
Lalu dia menoleh kepada Siauw Can."Orang muda, beranikah kalian berdua menandingi kedua orang pengawal pribadi Raja Muda Baducin itu?"
"Kami hanya menanti perintah paduka," Jawab Siauw Can.
"Bagus! Kami perintahkan kepada kalian berdua untuk menandingi dua orang raksasa kembar itu mengadu ilmu kepandaian." Kepada seorang di antara pengawalnya dia berkata,
"Cepat engkau ke ruangan berlatih dan persiapkan tempat untuk mengadu kepandaian!"
Sambil tertawa-tawa akan tetapi hati mereka sebetulnya panas, dua orang bangsawan itu berjalan berdampingan menuju ke ruangan latihan yang luas di sebelah belakang bangunan itu. Mereka diikuti Poa Kiu, kemudian dua orang pengawal pribadi Bangsa Turki, lalu Siauw Can dan Bi Lan, baru duabelas orang pengawal pangeran itu mengawal bagian paling belakang.
Sebetulnya jarang sekali dua orang bangsawan itu saling berkunjung, bahkan tidak pernah. Semua orang tahu belaka bahwa Pangeran Tua Li Siu Ti merupakan bangsawan yang tidak suka kepada orang Turki, seperti banyak pula pejabat dan bangsawan yang seperti dia. Akan tetapi karena pasukan Turki itu merupakan rekan dari pasukan yang dipimpin Panglima besar Li Si Bin, tentu saja dia tidak berani berterang menyatakan rasa tidak sukanya kepada Bangsa Turki.
Hanya di dalam hatinya saja dan dia tidak pernah bergaul dengan mereka, kecuali dalam pertemuan resmi. Hal ini diketahui pula oleh Raja Muda Baducin, maka kalau dia bersikap ramah, ini hanyalah basa basi belaka. Di dalam hatinya, tentu saja dia juga amat tidak suka kepada adik kaisar yang anti Turki ini.
Mereka kini memasuki ruangan latihan yang luas itu. Di sini bukan hanya untuk latihan para pengawal, akan tetapi j|uga kadang-kadang kalau sang pangeran mengadakan rapat rahasia dengan orang yang dipercayanya saja, tempat ini dipergunakan. Tempat ini aman, tertutup dan terjaga ketat oleh para pengawal sehingga orang luar jangan harap akan dapat mengintai, apa lagi masuk.
Setelah tiba di situ sang pangeran dan sang raja muda segera duduk di kursi yang sudah disediakan, sedangkan para pengawal berjajar di belakang pangeran. Juga di pintu terdapat prajurit yang berjaga. Dua orang raksa kembar itu agaknya sudah siap dan mereka menyeringai sambil memandang ke arah Siauw Can dan Bi Lan, calon lawan mereka. Siauw Can segera memberi hormat kepada Pangeran Tua Li Siu Ti.
"Mohon maaf, pangeran. Saya mohon agar pertandingan ini diadakan satu lawan satu dan bergiliran, karena seorang di antara kami harus menjaga Lan Lan, anak kecil ini." Mendengar ucapan Siauw Can itu, Bi Lan mengangguk setuju dan ia merasa girang sekali. Memang, adanya Lan Lan merupakan kelemahan bagi pihaknya. Ia belum tahu watak lawan.
Siapa tahu mereka menggunakan akal untuk mencapai kemenangan, misalnya dengan menangkap Lan Lan, seperti yang pernah dilakukan tiga orang perwira di kota Peng-lu itu. Permohonan Siauw Can kepada pangeran itu memang penting sekali, karena dengan cara bergantian, maka Lan Lan terjaga dengan aman.
Pangeran Tua tersenyum dan mengangguk."Tentu saja, di sini tidak ada istilah keroyokan. Kamipun ingin menikmati adu kepandaian ini, kalau satu lawani satu akan dapat kita ikuti dengan baik. Siapa di antara kalian yang akan maju lebih dahulu?"
Bi Lan menyerahkan Lan Lan kepada Siauw Can. Anak ini sudah biasa dengan Siauw Can, maka iapun mau saja dipangku pemuda itu dan Bi Lan lalu bangkit menghampiri pangeran.
"Saya yang akan maju lebih dulu, pangeran."
Pangeran Tua Li Si u Ti tersenyum kagum. Dia belum percaya betul bahwa wanita muda cantik yang mempunyai seorang anak ini memiliki ilmu kepandaian hebat dan akan mampu menandingi seorang di antara dua raksasa kembar itu.
Akan tetapi sikap wanita yang demikian tenang dan berani saja sudah mengundang kekaguman nya. bagaimanapun juga, dalam hal keberanian, wanita ini jarang tandingannya, pikirnya. Diapun mengangguk dan menoleh kepada Raja Muda Baducin.
"Nah, jago kami sudah maju. Paduka akan mengajukan jago yang mana?"
Sebetulnya, tingkat kepandaian dua orang saudara kembar itu sama dan kelihaian mereka justru kalau mereka maju berdua. Biarpun mempunyai dua badan, namun saudara kembar itu dapat bergerak seperti dikemudikan satu pikiran dan satu perasaan saja, dan hal ini yang membuat mereka sukar dikalahkan kalau maju berdua. Namun, biarpun seorang diri, masing-masing juga merupakan lawan yang amat kuat. Hanya bedanya, kalau Gondulam hanya suka akan kemuliaan, adik kembarnya, Gondalu, adalah seorang mata keranjang.
Maka, begitu melihat yang maju Bi Lan, wanita yang cantik manis itu, Gondalu mendahului saudara kembarnya dan melangkah maju memberi hormat kepada Raja Muda Baducin sambil berkata.
"Kalau paduka mengijinkan, hamba yang akan maju menandingi perempuan ini. Yang Mulia!"
Tentu saja Baducin mengenal watak Gondalu, maka dia tersenyum dan mengelus kumisnya sambil mengangguk-angguk, bersenang-senanglah engkau, Gondalu!" katanya.
Gondalu melangkah maju menghampiri Bi Lan yang sudah siap berdiri di tengah ruangan yang luas itu. Ia bersikap waspada, berdiri dengan santai, akan tetapi seluruh syaraf di tubuhnya dalam keadaan siap siaga. Ia tadi sengaja menanggalkan sepasang pedangnya dan menyerahkannya kepada Siauw Can sehingga melihat ini, sebelum melangkah maju Gondalu juga menanggalkan pedang bengkoknya dan menitipkannya kepada saudara kembarnya. Hal ini atas isyarat Siauw Can yang tidak ingin kehadiran mereka yang pertama itu akan membuat lawan roboh terluka atau tewas sehingga akan terjadi permusuhan antara dua orang besar itu.
Gondalu yang juga tidak ingin membunuh lawan, senang-melihat wanita itu maju dengan tangan kosong. Dengan bertanding tanpa senjata, lebih mudah baginya untuk menelikung dan menangkap wanita cantik itu, mengalahkannya tanpa melukai, akan tetapi dia akan dapat sepuasnya memegang-megang dan mengusap-usap!
Bagi orang biasa, melihat kedua orang yang akan bertanding itu berhadapan, tentu akan merasa cemas terhadap Bi Lan. Sungguh tidak sepadan lawa itu, amat berat sebelah! Gondalu adalah seorang laki-laki raksasa yang tubuhnya berotot dan kokoh kekar seperti tugu batu! Sedangkan Bi Lan seorang wanita muda yang tubuhnya ramping padat dan nampak lemah lembut, tubuh yang membayangkan kehangatan dan kelembutan yang sepatutnya hanya menandingi kemesraan dan belaian, bukan kekerasan dan pukulan!
Mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter. Raksasa itu berdiri dengan punggung agak melengkung ke depan, lebar dan tinggi, seperti seekor beruang. Kedua lengannya yang panjang itu tergantung lepas sampai hampir mencapai lutut, dengan jari-jari tangan yang besar.Ibu jari raksasa itu tentu tidak kalah besar dibandingkan pergelangan tangan Bi Lan!
Agaknya, sekali terkena cengkeraman jari-jari tangan itu tulang-tulang Bi Lan akan remuk- remuk. Bi Lan hanya setinggi bawah pundak Gondalu dan biarpun mereka berdiri dalam jarak dua meter, hidung Bi Lan masih dapat menangkap bau yang apek dan mengingatkan ia akan bau di kandang kerbau!
"Heh-heh heh, sudah siapkah engkau, nona?" Gondalu bertanya sambil menyeringai, kata-katanya terdengar kaku dengan logat asingnya."Kalau sudah, seranglah dan perlihatkan kepandaianmu!"
"Pihakmu yang menantang, maka kamulah yang harus menyerang lebih dulu. Aku sudah siap!" jawab Bi Lan, sikapnya masih tenang saja dan santai, akan tetapi matanya tak pernah berkedip, mengikuti gerakan tubuh orang, terutama kedua pundaknya karena semua gerakan penyerangan kedua tangan selalu didahului oleh gerakan pundak. Juga pendengarannya dikerahkan agar dapat ia menangkap semua sambaran kaki lawan kalau melakukan penyerangan. Hal ini penting sekali karena kadang-kadang, pendengaran mendahului penglihatan dalam mengikuti gerakan lawan.
"Heh-heh-heh, kau sambut ini, nona manis!" dan Gondalu sudah menerjang ke depan, kedua lengannya yang panjang itu bergerak, yang kanan meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada Bi Lan dan yang kiri menyambar dari atas untuk menjambak rambut wanita itu.
Jelas bahwa orang Turki ini tidak lagi bersikap sungkan, walaupun menghadapi lawan wanita, begitu menyerang, dia langsung mencengkeram ke arah dada, hal yang tidak akan dilakukan oleh seorang yang menjaga kesopanan terhadap wanita.
Namun, Bi Lan menghadapinya dengan tenang. Ia memang tidak pernah mengharapkan orang seperti raksasa ini akan mengenal sopan santun, maka serangannyapun tidak membuat ia terkejut atau marah. Dengan lembut dan tidak tergesa-gesa ia melangkah mundur dan serangan kedua lengan panjang itupun luput, akan tetapi Gondalu sudah melangkah maju.
Kalau Bi Lan melangkah mundur tiga langkah, maka raksasa ini dengan satu langkah saja sudah mendekati Bi Lan dan sekali ini, kedua tangannya yang kasar dengan jari-jari tangan terbuka,
sudah menyambar dari kanan kiri untuk menangkap pinggang Bi Lan.
Kembali Bi Lan mengelak dengan lompatan ke kiri. Ia belum berani lancang membalas karena ia harus mencari dulu kelemahan dari lawan, dan ia dapat menduga bahwa lawan belum benar-benar menyerangnya, hanya mengira ila seorang wanita lemah dan hendak mempermainkan saja.
Setelah dua kali tubrukannya luput, Gondalu mulai merasa penasaran. Dia melihat gerakan wanita itu ketika mengelak, demikian ringan dan cepat, maka sebagai seorang yang banyak pengalaman berkelahi, dia dapat menduga bahwa wanita ini memiliki kegesitan yang membuat dia akan selalu gagal kalau menyerang dengan lemah dan berusaha menangkap saja.
Maka, setelah lima kali menubruk dan gagal, kini mulailah Gondalu melakukan penyerangan dengan sungguh- sungguh.
Dia mengeluarkan suara gerengan nyaring dan lengan kirinya bergerak, mencengkeram dari kiri atas ke arah kepala lawan, sedangkan tangan kanannya mendorong dengan telapak tangan ke arah perut. Serangan ini hebat sekali dan dari sambaran anginnya, tahulah Bi Lan bahwa lawan mulai bersungguh-sungguh!
"Plak! Plakk!" Ia sengaja mundur sambil menangkis dengan kedua lengannya untuk mengukur tenaga lawan. Bi Lan merasa tubuhnya terguncang! Benarlah dugaannya bahwa mengadu tenaga dengan lawan seperti ini amat berbahaya.
Ketika tangan itu menyambar selagi ia terguncang, ia sudah melompat ke atas dan kakinya mencuat, menendang ke arah muka lawan.!
Gerakan ini amat cepat karena dilakukan ketika tubuh mencelat ke atas, seperti serangan kaki seekor burung rajawali!
"Uhhhh.........!" Gondalu terkejut dan cepat dia menarik tubuh atas ke belakang. Nyaris mukanya tercium sepatu! Dan kini Bi Lan berjungkir balik tiga kali, turun ke atas lantai di belakang lawan.
Akan tetapi Gondalu sudah membalik sambil melakukan tendangan. Kakinya yang panjang dan besar itu menyambar seperti sebuah balok yang besar, mendatangkan angin bersiut. Bi Lan kembali melompat dan mengelak sehingga tendangan itu hanya mengenai tempat kosong.
Marahlah Gondalu. Lupa dia bahwa lawannya seorang wanita yang cantik molek. Lenyap semua keinginannya merangkul, memeluk, meraba dan mencolek. Dengan beringas dia menyerang dan ternyata raksasa ini memiliki gerakan silat yang amat ganas, dan tenaganya memang dahsyat.
Namun, tidak percuma beberapa tahun Bi Lan digembleng ilmu oleh guru yang kemudian menjadi suaminya, yaitu mendiang Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki! Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung rajawali, mengelak sambil membalas dengan serangan yang cepat sekali, dari kanan kiri, dari depan dan terutama sekali dari atas.
Ia pasti membalas dengan serangan dari atas yang membuat Gondalu terkejut dan berkali-kali dia nyaris terkena tamparan atau tendangan lawan.
Kini Raja Muda Baducin memandang bengong. Pertandingan itu jelas memperlihatkan bahwa jagonya sama sekali tidak mampu mendesak lawan, dan pertandingan itu hebat sekali. Bagaikan sekor beruang besar melawan seekor burung rajawali! Beruang itu mencoba untuk menangkap dan menyerang dari bawah dan rajawali menyambar-nyambar dari atas. Bukan main hebatnya wanita itu dan sekarang dia mengerti mengapa tujuh orang anggota pasukan Pedang Bengkok tidak mampu mengalahkan wanita itu.
Memang hebat! Juga Gondulam menonton dengan penuh perhatian. Dia melihat betapa saudara kembarnya itu tidak kalah dalam hal tenaga dan memiliki daya serang yang lebih dahsyat dan ganas, akan tetapi saudaranya itu tidak berdaya karena lawan terlampau gesit, terlampau cepat gerakannya dengan keringanan tubuh yang mengagumkan. Sukar memang menangkap atau menyerang lawan segesit itu, dan saudaranya itu berada dalam bahaya kalau dia tidak hati-hati.
Sementara itu, Pangeran Tua Li Siu Ti juga memandang bengong, akan tetapi bengong dan kagum di samping perasaan gembiranya. Berulang kali dia memandang kepada Poa Kiu sambil mengangguk-angguk senang. Memang pilihan orang kepercayaannya itu benar sekali! Wanita ini hebat! Kalau dia mempunyai pengawal keluarga seperti ini, tentu aman! Dan puterinya, anak tunggalnya, Li Ai Yin yang akhir-akhir ini rewel ingin belajar silat, dapat berguru kepada wanita yang lihai ini!
Tiba-tiba dia melihat puterinya itu muncul di ambang pintu ruangan itu. Para penjaga memberi hormat, akan tetapi gadis itu tidak memperhatikan, dan ia melangkah masuk, lalu berdiri bengong memandang ke arah pertandingan yang tengah berlangsung.
Li Ai Yin adalah seorang dara berusia tujuhbelas tahun yang cantik, berkulit putih mulus dengan dandanan seorang puteri, serba indah dan mewah pakaiannya. Rambut digelung tinggi di atas kepala, dihiasi emas permata. Juga telinga, leher, lengan dan jari tangannya berhiaskan emas permata gemerlapan.
Gadis itu memiliki mata dan mulut yang manis dan genit menantang. Kerling matanya tajam, senyumnya menantang dan ia memang memiliki daya tarik yang mempesona. Karena pertandingan sedang berlangsung dan semua orang memperhatikan pertandingan itu. Pangeran Tua Li Siu Ti juga diam saja tidak menegur puterinya yang nampak tertegun dan berdiri di dekat pintu.
Pertandingan itu kini sudah mencapai puncaknya. Tigapuluh jurus telah lewat dan belum pernah satu kalipun Bi Lan terjamah jari tangan Gondalu atau ujung kakinya. Gerakan wanita muda ini terlalu cepat bagi Gondalu dan kini Bi Lan yakin bahwa kelemahan lawannya adalah pada gerakannya yang terlalu lamban, karena berat badan dan karena kekakuan otot-otot yang dilatih terlalu keras itu. Gondalu memang berhasil memiliki tenaga otot sebesar gajah, akan tetapi hal ini membuat gerakannya menjadi kaku dan lamban. Ia tahu pula bahwa lawan ini memiliki kekebalan, bahkan pernah ia menotok dengan jari tangan dan mengenai leher dan pundak, akan tetapi raksasa itu tidak banyak terpengaruh, hanya tergetar sedikit akan tetapi tidak roboh!
Sukar agaknya merobohkan raksasa ini kalau tidak menggunakan akal, pikirnya. Dari gurunya ia telah mendapat banyak petunjuk bagaimana menghadapi lawan yang tangguh, kebal dan sukar dilukai.
Bi Lan mempercepat gerakannya dalam ilmu silat Hui-tiauw-sin kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) sehingga Gondalu terpaksa harus ikut berputar karena lawannya seperti terbang berputaran. Gondalu menjadi pening juga karena gerakan lawan terlampau cepat. Tiba-tiba dia melihat bayangan lawan meloncat ke atas dan ketika wanita itu menukik turun, kedua tangannya menyambar ke arah ubun-ubun kepala dan matanya.
"Huhh.......!!" Gondalu menggereng dan kedua lengannya diputar di depan kepala dan muka untuk melindungi bagian ini. Dia memang kebal, akan tetapi matanya jelas tidak kebal, dan ubun- ubun kepalanya merupakan bagian yang amat berbahaya walaupun sudah dilindungi dengan kekebalan. Jangankan terluka, baru tergetar keras atau terguncang saja sudah berbahaya.
Akan tetapi, secepat kilat Bi Lan mengurungkan serangannya dan tubuhnya meluncur ke bawah, memutar dan dari belakang, kedua kakinya menghantam ke arah kedua kaki lawan, tepat di belakang lutut!
"Bressss.........!!" Betapapun kuat dan kebalnya tubuh Gondalu, akan tetapi dihantam dengan tendangan mengandung sin-kang dan tepat mengenai belakang lutut, tentu saja dia tidak mampu bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya tertekuk dan diapun sudah jongkok dan bertekuk lutut. Biarpun dia tidak roboh, akan tetapi sudah jatuh berlutut seperti itu sungguh merupakan bukti bahwa dia telah kalah! Kalau lawan menghendaki, ketika dia jatuh berlutut itu, tentu lawan dapat menghabisinya dengan serangan maut ke arah kepalanya.
Bi Lan cepat memberi hormat kepada Pangeran Tua Li Siu Ti dan pangeran itu tersenyum gembira bukan main. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan yang nyaring. Semua orang menengok ke pintu dan melihat betapa yang bertepuk tangan adalah puteri sang pangeran, semua orang, termasuk para perajurit yang berjaga, ikut pula bertepuk tangan.
Tepuk tangan Ai Yin dan ayahnya yang paling keras dan kedua orang inilah yang membuat semua orang berani ikut-ikut bertepuk tangan, kecuali tentu saja Raja Muda Baducin dan dua orang pengawal pribadinya itu.
Gondalu merasa penasaran sekali dan beberapa kali dia memprotes, mengatakan dalam bahasanya sendiri kepada Raja Muda Baducin bahwa dia belum kalah karena belum roboh. Akan tetapi agaknya Baducin tahu diri. Dia tadi melihat betapa jagoannya memang tidak mampu berbuat banyak.
Wanita muda itu terlalu cepat gerakannya sehingga jagoannya belum pernah berhasil menampar atau memukul lawan satu kalipun, sedangkan wanita itu sudah beberapa kali memukul dan menendang dengan tepat, walaupun tidak dapat merobohkan Gondalu yang kebal. Maka diapun membentak Gondalu disuruh mundur. Gondalu, dengan muka merah, lalu berdiri di belakang raja muda itu.diapun membentak Gondalu disuruh mundur. Gondalu, dengan muka merah, lalu berdiri di belakang raja muda itu.
"Ayah, siapakah enci yang amat lihai ini? Ia hebat sekali!" Ai Yin menghampiri ayahnya. Ketika melihat Siauw Can memondong anak perempuan kecil dan Bi Lan yang dikagumi itu menghampiri pemuda itu dan kini menggantikan memondong Lan Lan, Ai Yin mengerutkan alisnya sambil memandang kepada Siauw Can dengan penuh perhatian.
"Dan dia ini siapa, ayah? Apakah suami dari enci ini dan anak itu puteri mereka ?"
"Ha-ha ha, wanita ini adalah pengawal keluarga kita yang baru, Ai Yin. Sudahlah, nanti saja kita bicara dan berkenalan dengan mereka. Sekarang masih ada sebuah pertandingan lagi. Duduklah di sini, kita nonton pertandingan yang tentu akan lebih menarik lagi," kata sang pangeran.
Ai Yin menghampiri ayahnya dan Siauw Can yang diam-diam memperhatikan, menelan ludah.
Tak disangkanya bahwa Pangeran Li Siu Ti mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelitanya, dan ketika melangkah, dia menelan ludah. Langkah dara itu mengandung lenggang yang menggairahkan dan memikat dan sebagai seorang laki-laki yang berpengalaman, tahulah dia bahwa dara itu memiliki watak yang menantang dan genit.
Langkah itu buatan, dan memang hebat, lemah gemulai dan menonjolkan lekuk-lengkung tubuhnya, dengan pinggul yang menari-nari di balik bayangan pakaiannya! Dan dengan sikap amat manja Ai Yin duduk di samping ayahnya, tersenyum- senyum anggun dan bangga karena ia yakin bahwa penampilannya, gaya dan lenggang tadi tentu akan membuat semua pria yang memandangnya menjadi mabok kepayang! Apalagi pemuda yang tampan gagah itu!
Siauw Can kini maju dan memberi hormat kepada sang pangeran, otomatis juga kepada Ai Yin karena dara ini duduk di samping ayahnya. Dengan memasang senyumnya yang paling menarik, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dengan sikap yang dibuat paling gagah, dia memberi hormat dan berkata,
"Kalau paduka mengijinkan, sava akan menghadapi tantangan jagoan raksasa ke dua dari Raja Muda Baducin."
"Perlihatkan kemampuanmu kalau kau ingin kami beri kedudukan yang tinggi," kata sang pangeran.
Siauw Can mengangguk dan ketika dengan sikap gagah dia membalik untuk menghampiri lawan, Ai Yin berseru,"Heiiii! Ambilkan perhiasan di sorban lawanmu itu untukku!"
Sang pangeran terkejut, akan tetapi karena puterinya sudah terlanjur bicara, diapun tak dapat berbuat sesuatu. Mendengar ini, Siauw Can membalik memandang kepada puteri itu dengan mata bersinar dan wajah berseri, bibirnya tersenyum dan diapun menjura dengan dalam.
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya akan mentaati perintah paduka!" katanya dan tentu saja Ai Yin yang manja itu menjadi girang, tersenyum dan mengangguk. Melihat ini, diam-diam Bi Lan merasa tidak enak. Ia sama sekail tidak merasa cemburu, akan tetapi menganggap bahwa sikap Siauw Can berlebihan. Pemuda itu akan menemui banyak kesukaran kalau bersikap seperti itu terhadap puteri pangeran! Balum juga memperoleh kedudukan, sudah bersikap seperti itu, sikap yang jelas sekali menunjukkan bahwa pemuda itu tergila-gila oleh kecantikan sang puteri.
Atau mungkin juga oleh kedudukan puteri itu, karena kalau hanya tertarik oleh kecantikannya, tidak mungkin. Gadis itu masih terlalu muda, dan mempunyai sifat genit dan manja, dan mengenai kecantikannya, tidaklah terlalu hebatt sehingga kiranya tidak akan cukup untuk membuat seorang seperti Siauw Can tergila-gila.
Siauw Can sudah berhadapan dengan Gondulam. Tentu saja jagoan ke dua lebih berhati-hati dari pada saudaranya setelah melihat apa yang dialami oleh Gondalu. Dia sama sekali tidak, memandang rendah kepada lawannya, walaupun pemuda itu kelihatan kecil saja baginya.
Dia sudah tahu bahwa orang Han banyak yang memiliki ilmu silat aneh dan sama sekali tidak terduga-duga, penuh rahasia. Maka, sebelum maju dia telah mengerahkan kekuatan sihirnya, dibantu oleh saudara kembarnya, sehingga ketika dia melangkah maju, selain kedua lengannya terisi kekuata sihir, juga bagi lawannya dia akan nampak mengerikan dan dahsyat! Selain itu juga dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan telapak kedua tangan itu mengeluarkan uap panas!
Begitu memandang wajah lawan dan melihat wajah itu menggiriskan Siauw Can maklum apa yang terjadi! Akan tetapi, dalam hatinya dia tertawa.
Ia sendiri adalah putera dan murid mendiang Cui-beng Sai-kong (Kakek Muka Singa Pengejar Arwah), seorang yang ahli dalam hal ilmu hitam dan sihir. Maka, biarpun tahu bahwa lawannya mengeluarkan ilmu sihir sehingga membuat wajahnya nampak menyeramkan. Dia memejamkan kedua mata, berkemak-kemik lalu menggosok kedua matanya dengan telapak tangannya sendiri dan ketika dia membuka kembali matanya, wajah Gondulam nampak biasa saja! .
Melihat kedua telapak tangan lawan mengeluarkan uap, Siauw Can segera menghimpun sin- kang dan menyalurkan nya ke arah kedua tangannya.
"Sobat, tidak perlu menggunakan ilmu setan menakut-nakuti anak kecil. Aku sudah siap. Nah, majulah!" tantang Siauw Can sambil tersenyum manis karena dia menghadap ke arah sang puteri agar dara itu dapat melihat senyumnya.
Dan Ai Yin memang melihat semua lagak pemuda itu. Ia berbisik kepada ayahnya.
"Ayah, orang itu hebat, ya?"
"Hemmm......" Pangeran Tua Li Siu Ti mengerling kepadanya dengan alis berkerut.
Di lubuk hatinya dia merasa tidak senang kalau puterinya tertarik kepada pemuda pendekar itu atau kepada siapapun juga. Baginya, hanya ada calon tunggal untuk puterinya, yaitu ponakannya sendiri, sang putera mahkota atau panglima besar, Li Si Bin! Dia tahu bahwa mereka masih saudara sepupu, sama-sama bermarga Li. Akan tetapi pantangan menikah antara marga yang sama hanya berlaku untuk rakyat jelata. Keluarga kaisar boleh melakukan apa saja tanpa ada pantangan,karena bukankah yang membuat peraturan dan hukum adalah keluarga kaisar pula? Yang penting, Li Ai Yin, anak tunggalnya, harus menjadi isteri Li Si Bin dan kelak menjadi permaisuri, itu merupakan satu di antara cita-citanya!
Gondulam diam-diam terkejut melihat sikap pemuda itu. Jelas bahwa pemuda itu tidak terpengaruh kekuatan sihirnya dan ini saja menunjukkan bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tangguh.
"Huahhh.......!!" Dia mengeluarkan teriakan parau dan tanpa membuang waktu lagi, Gondulam sudah melakukan serangan kilat. Dia tidak mau meniru saudaranya yang tadi gagal. Begitu menyerang, dia menggunakan gerakan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaga. Menyerang dengan dahsyat sekali sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan ketika kedua tangannya mencakar-cakar seperti kaki harimau.
Siauw Can juga maklum akan kehebatan lawan. Akan tetapi, tingkat kepandaian Siauw Can jauh lebih tinggi daripada tingkat lawannya, Juga jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Bi Lan. Maka, dengan berani dia menyambut dengan kedua tangannya pula.
"Dukk! Dess.........!" Dua pasang tangan bertemu. Sepasang lengan yang kokoh kuat dan besar dari Gondulam bertemu dengan lengan Siauw Can yang biasa saja besarnya, dan akibatnya, tubuh Gondulam terhuyung ke belakang, sedangkan Siauw Can tetap tegak dan tersenyum mengejek.
"Mana tenagamu? Keluarkan semua tenaga dan kepandaianmu," kata Siauw mengejek. Ai Yin bertepuk tangan, tepuk tangan tunggal di ruangan itu, akan tetapi dara itu tidak merasa janggal atau sungkan. Dan diam-diam sang pangeran juga kagum kepada Siauw Can. Pemuda itu dalam segebrakan saja membuat lawannya terhuyung. Semua orang merasa heran, termasuk Raja Muda Baducin. Hanya Bi Lan yang tidak merasa heran, karena biarpun belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan Siauw Can, namun ia tahu bahwa pemuda itu memang lihai bukan main.
Gondulam menjadi marah sekali ketika diejek. Dia mengeluarkan suara menggereng seperti binatang buas, lalu menyerang bertubi-tubi, mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kedua tangannya itu kalau sampai dapat menangkap bagian tubuh Siauw Can, tentu akan segera menggunakan ilmu gulatnya dan jangan harap Siauw Can akan mampu melepaskan dirinya lagi sebelum seluruh tulangnya patah-patah! Akan tetapi, pemuda inipun bukan seorang bodoh. Selain memiliki pengalaman bertumpuk, pernah menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih lihai dan berbahaya dibandingkan raksasa itu. Apa lagi sekarang dia sedang berlagak untuk memancing pujian dan kekaguman dari puteri jelita itu! Dia sengaja hendak mempermainkan lawannya!
Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, dia sengaja mengelak dengan langkah- langkah aneh dan loncatan-loncatan gesit dan lucu. Beberapa kali sengaja membiarkan tangan lawan menyentuhnya, akan tetapi segera dia mengelak sambil beberapa kali mencolek dan mendorong tubuh lawan. Kalau dia mau, sejak tadi dia akan mampu merobohkan lawan. Akan tetapi dia memang sengaja membuat pertandingan itu nampak seru! Padahal, Gondulam sendiri tahu bahwa dia kalah jauh, akan tetapi karena pemuda itu mempermainkannya. Ia menjadi marah sekali dan menyerang dengan dahsyat dan mati-matian, bahkan membabi buta.
"Brettt...........!" Siauw Can merobek baju lawan ketika dia mencengkeram baju itu dari belakang, sehingga tubuh bagian atas lawan menjadi telanjang.
Kalau saja di situ tidak ada Bi Lan dan puteri pangeran itu, tentu akan direnggutnya lepas pula celana lawan. Kembali terdengar tepuk tangan dari puteri itu yang bertepuk tangan gembira. Melihat ini, Bi Lan menjadi semakin khawatir. Ia tahu bawa Siauw Can menjual lagak, dan tahu pula bahwa gadis itu adalah seorang dara remaja yang masih hijau dan memang berpenampilan genit. Menghadapi seorang pemuda tampan gagah dan berpengalaman seperti Siauw Can, dara ingusan ini tentu amat mudah jatuh!
"Ambilkan perhiasan itu untukku!" kata pula Ai Yin di antara tepukannya.
"Baik, tuan puteri!" biarpun dihujani serangan dari lawan yang semakin marah, Siauw Can masih mampu menjawab.
"Heiii, gajah bengkak! Tuan puteri minta perhiasan sorbanmu, tidak cepat kau serahkan?" katanya dan tiba-tiba tangan kirinya dengan jari-jari terpentang menusuk ke arah mata Gondulam.
Gerakan ini cepat dan tiba-tiba, membuat Gondulam terkejut. Tentu saja dia tidak ingin matanya menjadi buta tertusuk jari-jari tangan itu. Dia cepat menangkis, bahkan mencoba untuk menangkap tangan yang menusuk ke arah mata itu, sambil menarik tubuh atas ke belakang.
Akan tetapi, pada saat itu Siauw Can sudah meloncat ke atas, berjungkir balik dan tangannya menyambar ke arah sorban di kepala lawan. Sebelum Gondulam dapat mengelak atau menangkis, perhiasan di sorbannya telah dapat dicabut oleh Siauw Can dan dengan membuat salto beberapa kali, tubuhnya sudah meluncur ke arah pangeran dan puterinya.
Siauw Can turun dan memberi hormat kepada Ai Yin sambil menyodorkan perhiasan itu kepada sang puteri.
"Terima kasih, engkau hebat!" kata Ai Yin sambil tertawa. Siauw Can sudah meloncat lagi ke depan Gondulam yang kini berdiri dengan mata melotot dan muka berubah merah sekali.
"Srattt!" Dia sudah mencabut pedang bengkoknya dan nampak sinar menyilaukan mata saking tajamnya pedang itu.
"Pemuda sombong, lawanlah pedangku kalau engkau berani!" tantangnya.
"Heiii, bagaimana ini, Raja Baducin? Bukankah paduka datang untuk menguji ilmu, bukan untuk menyuruh pengawal paduka membunuh orang? Kenapa menggunakan pedang?"
Sejak tadi wajah Raja Muda Baducin sudah muram dan marah. Gondalu tadi telah kalah oleh Bi Lan, hal itu saja sudah membuat dia kehilangan muka, membuat dia bermuram wajah. Kini, jelas nampak pula betapa Gondulam menjadi permainan pemuda itu. Sekali ini benar-benar dia menderita malu.
"Yang Mulia," katanya dengan kata-kata tanpa senyum lagi."Gondulam hanya menantang untuk mengadu ilmu senjata. Kalau jagoan paduka itu takut, biarlah tidak perlu dilanjutkan."
Mendengar ini, Siauw Can yang ingin mencari muka, segera memberi hormat kepada sang pangeran."Maaf, Yang Mulia! Kalau raksasa ini menantang saya untuk mengadu senjata, biarlah akan saya layani dan paduka harap tidak merasa khawatir. Dia dan pedangnya bagi saya hanya seorang anak-anak yang memegang pisau mainan saja!"
Mendengar ini, Ai Yin bersorak."Horreee.....! Bagus sekali! Layani raksasa itu, orang gagah!"
Mendengar teriakan puterinya, Pangeran Li Siu Ti merasa tidak enak terhadap tamunya. Maka diapun memesan,"Baiklah, akan tetapi jangan sekali-kali membunuh orang!"
"Harap paduka jangan khawatir. Raksasa ini tidak akan mati, juga tidak mengeluarkan setetespun darah yang akan mengotori ruangan ini. Akan tetapi kalau sekedar benjol-benjol di kepala dan memar di badan, boleh, bukan?"
Semua orang tersenyum mendengar ini, pertanyaan yang lucu akan tetapi juga mengandung ejekan. Raja Muda Baducin berkata kepada Gondulam dalam bahasa mereka sendiri,"Gondulam, jangan membikin malu. Kerahkan semua kemampuanmu!"
Melihat pemuda itu berdiri dengan tangan kosong di depan Gondulam yang sudah mencabut pedang, tiba-tiba Ai Yin turun dari tempat duduknya dan dengan tangan diangkat ke atas ia berteriak."Berhenti! Ini tidak adil! Raksasa itu berpedang, kenapa jagoan tidak?"
Pangeran Li Siu Ti baru menyadari akan hal ini. Tadi dia terlalu kagum dan girang melihat bahwa tanpa disangka-sangka dia telah mendapatkan dua tenaga yang hebat itu.
"Benar, dia harus menggunakan senjata!" teriaknya.
"Harap paduka jangan khawatir, saya sudah memiliki senjata. Inilah senjata saya!" kata Siauw Can dan dia mencabut sulingnya, lalu mendekatkan suling di mulut dan meniup sebuah lagu rakyat yang indah! Tentu saja semua orang kembali tertawa. Bagaimana orang menghadapi raksasa yang memiliki pedang bengkok yang setajam itu, menggunakan sebatang suling dan bahkan meniup suling itu dalam sebuah lagu?
Tentu saja Gondulam semakin marah . Pemuda itu sungguh amat meremehkan dia. ''Bocah sombong, kaulihat pedangku!" bentaknya dan diapun sudah menerjang ke arah Siauw Can sambil menggerakkan peang bengkoknya membacok. Pemuda itu masih enak-enak melanjutkan lagunya,seolah-olah tidak melihat ada pedang membacok ke arah lehernya!
"Iiihhhhh........!!" Ai Yin menjerit saking ngerinya melihat pedang tajam itu mengeluarkan sinar dan menyambar ke arah leher pria yang dikaguminya.
Akan tetapi, begitu pedang menyambar dekat leher, Siauw Can meloncat dan bacokan itu luput, akan tetapi dia masih melanjutkan tiupan sulingnya, karena lagu tadi belum habis. Hal ini membuat Gondulam semakin marah. Seolah-olah keluar uap dari hidung dan mulutnya ketika dia menyerang tadi, membacok dan menusuk bertubi-tubi. Makin lama semakin ganas karena kemarahannya semakin menyala. Siauw Can berloncatan ke sana sini, terus memainkan lagu dengan sulingnya sampai lagu itu selesai.
"Singggg........!"
Pedang menyambar dekat sekali dengan pahanya. Akan tetapi berbareng dengan habisnya lagu, suling itu bergerak menjadi sinar putih dan menangkis pedang itu.
"Tranggggg........!!"
Nampak bunga api berpijar dan Gondulam terkejut setengah mati karena hampir saja pedang bengkoknya terlepas dari pegangan ketika bertemu suling. Dan kini dia yang repot mengelak dan memutar pedang melindungi tubuhnya karena suling telah berubah menjadi gulungan sinar yang mengelilingi tubuhnya, membuat matanya berkunang karena dia tidak tahu lagi ke arah mana ujung suling itu menotok.! Dan semua tangkisannya tidak ada yang dapat menyentuh suling.
"Takkk!"
Tiba-tiba kepalanya terpukul oleh suling. Biarpun dia kebal dan kepalanya masih terlindung sorban, namun rasa nyeri menyengat kepalanya sampai menembus ke ulu hati! Dia menjadi nekat dan mencoba untuk balas menyerang dengan pedangnya, menusuk sampai tiga kali.
"Trang-trang-trangg.......tokkk!" Kembali kepalanya terkena pukulan, kini di dekat tengkuk, membuat matanya berkunang. Sambil menggereng, Gondulam menyerang lagi membabi-buta, tidak lagi memperdulikan keselamatan diri.
"Tak-tok-tokk!" Berturut-turut terdengar bunyi nyaring ini dan ujung suling sudah menghantam kepalanya, menotok tubuhnya di sana sini dan paling akhir, suling itu mencongkel sorbannya sehingga terlepas dari kepalanya yang ternyata botak hampir gundul.
Dan sebelum Gondulam tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas dan diapun jatuh terduduk seolah kedua kakinya menjadi lumpuh. Kiranya dia telah terkena totokan yang ampuh, yang menembus kekebalannya sehingga biarpun hanya untuk sebentar, tetap dia tidak mampu mempertahankan diri dan jatuh terduduk.!
Siauw Can sudah melompat menjauhinya, menghadap sang pangeran dan puterinya, memberi hormat dan Ai Yin menyambutnya dengan tepuk tangan yang diikuti para pengawal sehingga riuh rendah.
Biarpun mukanya menjadi pucat saking marahnya, Gondulam harus mengakui kekalahannya. Sorbannya terlepas, kepalanya yang botak itu jelas memperlihatkan benjolan-benjolan sebesar telur dan dia tadi telah jatuh.
Raja Muda Baducin bangkit dari tempat duduknya, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Kalau saja peristiwa ini terjadi bukan dengan Pangeran Li Siu Ti, dia tentu dapat menerima kekalahan dua orang jagoannya. Akan tapi di depan pangeran yang dia tahu tidak suka kepada orang Turki itu!
"Sudahlah, sekali ini aku mengaku kalah! Pangeran, kami mohon diri, terima kasih atas pelajaran yang kami terima di sini."
Pangeran Tua Li Siu Ti merasa tidak enak. Kalau raja muda ini mengadu kepada kaisar, tentu dia akan menerima teguran dari kakaknya, Kaisar Tang Kao Cu. Maka diapun cepat bangkit berdiri.
"Raja Muda Baducin, harap paduka maafkan kami dan pengawal kami. Marilah kita makan minum dan beri kesempatan kepada kami untuk menghaturkan maaf dalam perjamuan."
'Terima kasih, pangeran. Kami masih mempunyai banyak urusan. Biarlah lain kali saja."
Raja Muda Baducin diikuti dua orang raksasa kembar lalu keluar dari gedung itu, diantarkan oleh Pangeran Tua Li Siu Ti sampai ke pekarangan depan. Raja Muda itu lalu menaiki keretanya dan diikuti rombongan pengawalnya, dia lalu meninggalkan tempat itu dengan hati yang panas!
Pangeran Li Siu Ti memanggil Siauw Can dan Bi Lan ke ruangan dalam dan mereka berkumpul semua di sana. Pangeran Siu Ti, Poa Kiu, Li Ai Yin, Siauw Can dan Bi Lan ynng memangku Lan Lan.
Wajah pangeran itu berseri"Bagus! Bagus! Sekarang baru aku yakin dan kami menerima kalian bekerja di sini! Akan tetapi, coba perkenalkan diri kalian kepadaku dan ceritakan riwayat kalian.
"Apakah kalian ini suami isteri dan ini anak kalian?" Ai Yin bertanya sambil mengamati wajah Siauw Can dengan penuh kagum.
Siauw Can menggeleng kepala,"Bukan, tuan puteri......"
"Ihh, aku bukan puteri raja! Jangan sebut tuan puteri, sebut saja nona, dan namaku Ai Yin, Li Ai Yin!"
"Maaf, siocia(nona). Begini, pangeran. Saya bernama Siauw Can dan ia bernama Kwa Bi Lan. Kami masih saudara misan. Saya hidup sebatangkara, tiada orang tua tiada saudara, Sedangkan adik misan Kwa Bi Lan inipun ditinggal mati suaminya. Ia seorang janda yang mempunyai seorang anak, yaitu Lan Lan ini."
"Hemm, anak yang manis. Siapa nama keluarganya?" tanya sang pangeran sambil memandang kepada ibu dan anak itu. Karena Siauw Can sendiri tidak berani lancang memperkenalkan bahwa Bi Lan adalah isteri mendiang Sin-tiauw Liu Bhok Ki, maka diapun tidak mau menjawab dan membiarkan wanita itu sendiri yang menjawab.
"Nama keluarganya Liu, pangeran," kata Bi Lan. Memang ia sudah mengambil keputusan untuk merahasiakan bahwa Lan Lan sebenarnya adalah puteri pendekar Si Han Beng dan bernama Si Hong Lan. Ia menganggap Lan Lan anaknya sendiri, maka ia mengakui nama keluarganya sebagai Liu.
Pangeran Tua Li Siu Ti gembira sekali setelah mereka memperkenalkan diri.
"Kami senang sekali menerima kalian sebagai pengawal-pengawal di sini. Engkau, Siauw Can, engkau menjadi pengawal pribadiku dan aku akan menyerahkan tugas-tugas yang terpenting kepadamu. Engkau boleh minta nasihat dari Poa Kiu dalam segala hal karena dialah tangan kananku, orang kepercayaanku. Selain dia, engkau tidak boleh mengadakan perundingan dengan orang lain."
"Terima kasih, Pangeran!" kata Siauw Can sambil memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki.
"Bukan pengawalmu saja, ayah! Kalau aku sedang bepergian, akupun minta dikawal oleh Siauw Can, agar aku merasa aman!" Li Ai Yin berkata dan matanya bersinar-sinar memandang kepada pemuda tampan dan gagah itu. Siauw Can tahu diri dan pandai beraksi, dia hanya menunduk seperti seorang pemuda yang alim!
"Ai Yin, selain dia ada Kwa Bi Lan di sini. Bi Lan, engkau kami terima sebagai pengawal keluarga kami, engkau tinggal di sini bersama puterimu, menjaga keamanan di rumah ini, mengawal keluarga kami kalau bepergian, dan juga kuangkat menjadi guru dari Ai Yin. Ai Yin, bukankah engkau selalu ribut ingin
(Lanjut ke Jilid 14)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
mencari guru silat yang pandai.! Nah, engkau boleh belajar dari Bi Lan.
Ai Yin memandang kepada Bi Lan, lalu menoleh ke arah Siauw Can, wajahnya berseri."Akan tetapi, akupun boleh minta petunjuk dari Siauw Can, bukan? Kulihat dia lebih lihai dari Bi Lan!"
Sementara itu Bi Lan memberi hormat kepada pangeran itu dan berterima kasih. Demikianlah, mulai hari itu Kwa Bi Lan dan Lan Lan mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang istana itu, tempat keputren. Ia dihadapkan kepada isteri dan para selir pangeran, dan tentu saja ia diterima dengan gembira oleh keluarga pangeran yang merasa tenteram dengan adanya seorang pengawal wanita yang berilmu tinggi di tengah-tengah mereka. Mereka akan dapat tidur lebih nyenyak sekarang.
Dan Lan Lan yang mungil dan lincah itupun, segera dapat menarik perasaan suka di antara para keluarga itu, apalagi karena Pangeran Tua Li Siu Ti tidak mempunyai anak lain kecuali Li Ai Yin yang kini sudah dewasa dan yang berwatak keras terhadap keluarga ayahnya. Adapun Siauw Can juga mendapatkan sebuah kamar di bagian samping depan, di mana tinggal pula para perwira pasukan pengawal yang kini harus memandang Siauw Can sebagai atasan mereka! Selain keluarga pangeran, semua pelayan dan pengawal menyebut Siauw Can dengan sebutan Siauw- taihiap (Pendekar besar Siauw) dan Bi Lan disebut li-hiap (pendekar wanita).
Si Bayangan Iblis Eps 13 Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 11 Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 1