Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 34


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 34




   "Jari tangan? Jadi ini bekas jari tangan?" Ia menunjuk kearah lubang-lubang pada golok itu dan melirik kearah pelipis A-hai, keduanya mulai mengerti sekarang.

   Mereka berdua melihat betapa susunan bekas jari tangan pada golok itu sama benar dengan susunan tiga tonjolan pada pelipis A-hai. Dan bekas-bekas jari itu tentu merupakan semacam ilmu menotok yang amat ampuh dan kuat. Entah ilmu totok apa dan dari perguruan mana mereka tidak mengenalnya dan tidak dapat menduganya. Akan tetapi mereka merasa yakin bahwa antara A-hai dan perguruan itu tentu ada hubungannya yang dekat, entah sebagai kawan ataukah sebagai lawan. Seng Kun mengerutkan alisnya. Dia sejak tadi mengingat-ingat, perguruan mana yang memiliki ilmu menotok tiga jari yang bekasnya merupakan bentuk segi tiga seperti itu, akan tetapi dia tidak ingat, atau juga mungkin belum pernah mendengarnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Mereka sudah selesai makan karena tadi mereka bicara sambil makan.

   "Paman, tolong kau tunjukkan dimana rumah gu-lojin itu."

   "Benar, paman. Bantulah kami. Kalau tidak ada yang menjaga, tutup sebentar warungmu ini dan kami akan memberi kerugian kepadamu," sam-bung Bwee Hong dengan sikap manis. Kakek pemilik warung itu mempunyai seorang pembantu, maka setelah memesan kepada pemban-tunya, diapun lalu mengantar tiga orang tamunya pergi kehutan tak jauh dari dusun itu.

   "Biarlah saya mengantar sam-wi, bukan karena upahnya melainkan mengingat bahwa mendiang gu-lojin adalah seorang yang amat baik, sedangkan Souw-kongcu amat ramah dan dermawan. Rumah mendiang gu-lojin itu tidak jauh dari sini, beliau tinggal seorang diri dan kesukaannya adalah melukis. Marilah!" Memang benar keterangan kakek itu. Hutan itu tidak jauh letaknya dari dusun dan ditengah hutan itu terdapat sebuah rumah yang sudah rusak karena tidak terawat. Gentengnya banyak yang pecah dan bocor. Pintunya sudah miring hampir roboh dan dinding rumah itupun banyak yang pecah karena diterjang akar-akar pohon yang menutupi rumah itu. Seng Kun dan adiknya yang sejak tadi diam-diam memperhatikan A-hai, melihat sesuatu yang aneh pada diri orang muda ini.

   Begitu memasuki hutan, A-hai berjalan seperti dengan sendirinya menuju kerumah itu dan setiba disitu, seperti orang gila A-hai lari kesana-sini mengitari rumah, seperti orang yang sedang mencari-cari sesuatu. Seng Kun menyentuh lengan adiknya dan memberi isyarat agar membiarkan saja apapun yang akan dilakukan oleh A-hai. A-hai memasuki rumah itu dan tak lama kemudian diapun keluar dari kamar belakang dan tangannya membawa sebuah boneka dari batu giok yang amat indah. Ukiran pada boneka itu amat halus dan ternyata boneka itu adalah patung seorang puteri bangsawan Istana dengan rambut disanggul tinggi. Cantik bukan main boneka itu dan kakak-beradik itu diam-diam amat mengaguminya karena boneka itu terbuat dari pada batu giok hijau yang jernih warnanya. Tanpa berkata-kata, A-hai memberikan boneka itu kepada Bwee Hong yang menerimanya dan memeriksanya bersama Seng Kun.

   "Koko, boneka giok ini merupakan benda yang tak ternilai harganya. Eh ada tulisan dibawah alas kakinya. Coba lihat, ukiran tulisannya kecil-kecil namun jelas."

   "Bagaimana bunyinya?" tanya Seng Kun.

   "Hadiah ulang tahun untuk puteriku Lian Cu." Bwee Hong membaca. Tiba-tiba A-hai kembali lari kesana-sini mencari sesuatu. Dia berhenti didepan sebuah batu nisan yang hampir terpendam dibawah tanah. Melihat pemuda itu mengamati batu nisan seperti orang linglung, si pemilik warung mendekatinya.

   "Ini adalah makam... aduhhh...!" Belum habis dia bicara, tiba-tiba tangan kiri A-hai sudah mencengkeram lehernya dengan kuat.

   "Hayo katakan! Ini adalah makam... bocah... bocah itu...!" teriaknya seperti orang kesetanan.

   "Bu... bukan... bukan..." kata si pemilik warung ketakutan.

   "Ini adalah makam gu-lojin...!" Seng Kun dan Bwee Hong cepat mendekat dan melerai.

   "Saudara A-hai, harap engkau tenang saja. Kita sedang menyelidiki semua ini, harus dilakukan dengan sabar," kata Bwee Hong dengan halus. A-hai melepaskan si pemilik warung dan diapun duduk diatas tanah, didepan tanah kuburan itu dan menutupi mukanya.

   "Saudara Seng Kun, nona Hong, cepatlah kalian beri tahu padaku akan asal-usulku. Siapakah sebenarnya aku ini? Siapakah bocah perempuan kecil itu? Jangan-jangan ia benar-benar anakku. Lihat boneka itu, aku seperti telah mengenalnya baik-baik. Benarkah aku adalah Souw-kongcu itu, seperti yang dikatakan oleh pemilik warung ini? Aihh, kenapa gu-lojin ini juga sudah mati sehingga kita tidak dapat bertanya kepadanya" A-hai kelihatan amat berduka memandang kearah batu nisan.

   Melihat keadaan A-hai dan mendengar ratapannya, hati Bwee Hong tergerak dan tanpa disadarinya lagi iapun menghampiri orang muda itu, duduk didekatnya dan membujuknya. Bwee Hong merasa iba hati melihat A-hai, biarpun ia merasa betapa didalam hatinya terdapat suatu kegetiran. Hatinya tergores setelah ia menduga bahwa besar kemungkinan A-hai adalah Souw-kongcu yang telah mempunyai seorang puteri. Diluar kesadarannya sendiri, dara yang cantik jelita ini telah jatuh hati kepada A-hai!

   "Saudara A-hai, janganlah terlalu berduka. Percayalah, aku akan membantumu untuk menyelidiki rahasia tentang dirimu, percayalah..." kata gadis itu dengan suara halus dan menggetar penuh perasaan. A-hai yang sedang hanyut dalam kedukaan, begitu ada uluran tangan, tanpa sadar diapun menangkap tangan yang kecil mungil itu dan menggenggamnya dengan erat. Gerakan ini membuat Bwee Hong hampir tak dapat menahan air matanya dan sejenak ia membiarkan tangannya digenggam pemuda itu sebelum dengan halus ia menariknya dan iapun duduk berdekatan dengan A-hai. Melihat keadaan mereka ini, diam-diam Seng Kun menjadi prihatin dan serba salah.

   "Apakah ini tanda bahwa adikku jatuh cinta kepadanya? Aih, kalau begitu, sungguh kasihan sekali Hong-moi" Ketika kakak-beradik itu mengajak A-hai kembali kedusun karena matahari telah condong ke barat, A-hai menolak keras.

   "Tidak, aku akan tinggal disini dan bermalam disini. Biarpun aku sendiri tidak ingat dan tidak tahu, akan tetapi aku merasa bahwa aku dekat sekali dengan tempat ini. Kalian berdua pulanglah kedusun dan biarkan aku sendiri malam ini tidur disini," katanya berkeras. Akan tetapi kakak-beradik itu, terutama sekali Bwee Hong, tidak tega membiarkan A-hai tinggal disitu seorang diri. Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri pemuda yang masih kehilangan ingatannya itu. Maka mereka lalu menyuruh si pemilik warung pulang kedusun terlebih dahulu dan mereka hendak menemani A-hai bermalam dirumah tua itu. Seng Kun dan Bwee Hong membiarkan A-hai yang masih duduk termenung didepan batu nisan kuburan. Mereka lalu memasuki rumah, membersihkan ruangan yang tidak bocor untuk dipakai beristirahat malam nanti.

   "Bagaimana pendapatmu tentang A-hai, Hong-moi?" tanya Seng Kun ketika mereka sedang sibuk bekerja membersihkan ruangan itu.

   "Koko, agaknya kita telah sampai pada ujung dari tabir rahasia kehidupan masa lalunya. Aku yakin bahwa tidak lama lagi kita akan dapat memberi tahu kepadanya siapa sebenarnya dia. Penyelidikan itu dapat kita mulai dari tempat ini, yang kita temukan secara kebetulan sekali."

   "Maksudmu?" Seng Kun menegas.

   "Engkau tentu ingat betapa secara tidak sengaja dia menemukan terowongan dibawah sungai itu, kemudian ketika dia memesan ayam panggang dan ketika dia menemukan boneka giok tadi? Pada saat-saat itu dia hanya dibimbing oleh nalurinya saja. Dia tidak mempergunakan akal dan pikiran, tidak mempergunakan otak. Mungkin kalau pada saat dia hendak menyeberangi sungai dia tidak membayangkan ayam panggang, dia akan kebingungan dan tidak tahu bagaimana harus menyeberang. Karena dia melamunkan ayam panggang, maka nalurinya yang menuntunnya pergi ketempat terowongan itu. Seperti halnya kalau kita pulang kerumah sendiri, kita tidak usah harus berpikir lagi kemana kita akan berbelok. Gerakan kaki kita seperti terjadi dengan sendirinya."

   "Engkau benar," Seng Kun mengangguk.

   "Dan itu berarti bahwa tempat-tempat ini sudah sangat dikenalnya dahulu. Tempat dan suasana itulah yang membuat dia tiba-tiba menginginkan ayam panggang pada saat perutnya terasa lapar, secara otomatis dia menginginkan ayam panggang yang dipesannya diwarung itu, dan otomatis pula membawa kakinya menuju keterowongan. Dan karena dia mengenal baik tempat ini pula maka nalurinya menuntunnya menemukan boneka dan batu nisan."

   "Koko, itu berarti bahwa A-hai adalah... Souw-kongcu itu, bukan? Souw-kongcu yang sudah punya isteri dan anak?" Dalam pertanyaan ini terkandung suara yang getir. Seng Kun dapat merasakan hal ini, akan tetapi diapun terpaksa mengangguk membenarkan.

   "Kurasa demikian. Kini kita tinggal melanjutkan penyelidikan kita. Siapakah Souw-kongcu itu? tokoh dari mana?"

   "Hemm, menurut penuturan pemilik warung, tentu dia itu seorang pendekar yang lihai sekali dan bekas tangannya masih nampak pada golok itu."

   "Akan tetapi kalau benar dia itu Souw-kongcu yang lihai itu, kenapa justeru pelipisnya sendiri terluka oleh totokan tiga jari yang hebat itu? Adikku, kita harus menyelidiki lebih teliti sebelum mengambil kesimpulan. Belum tentu dia itu Souw-kongcu yang pandai menotok tiga jari dalam bentuk segi tiga. Mungkin A-hai ini kakak atau adiknya, atau sanak keluarganya yang mempunyai wajah mirip sehingga penjaga warung itu mengenalnya." Mendengar ucapan ini, tentu saja timbul lagi harapan didalam hati Bwee Hong dan wajahnya nampak berseri. Hal ini tidak terlepas dari pengamatan Seng Kun dan kakak ini menarik napas panjang. Benar-benar ia sudah jatuh cinta, pikirnya. Pada saat itu A-hai melangkah masuk dan membantu mereka membersihkan ruangan itu. Setelah selesai, mereka duduk diatas lantai yang sudah bersih.

   "Saudara A-hai, tempat ini sepi dan tenang. Bagaimana kalau kami mulai memeriksa penyakitmu?" kata Seng Kun. A-hai mengangguk.

   "Silahkan." Seng Kun, dibantu oleh adiknya, lalu mulai melakukan pemeriksaan. Mula-mula dia memeriksa mata, lalu lidah dan tenggorokan, dan dengan amat teliti dia memeriksa denyut nadi kedua pergelangan tangan A-hai.

   Didalam pengobatan tradisionil Tiongkok, pemeriksaan lewat denyut nadi merupakan bagian yang terpenting. Seorang yang sudah ahli benar, dapat merasakan gejala-gejala macam penyakit lewat denyut urat nadi itu. Setelah melakukan pemeriksaan dengan teliti, makin yakinlah hati kakak dan adik itu bahwa sumber penyakit yang menghilangkan ingatan A-hai terletak pada kekacauan jalan darah dikepala! Maka Seng Kun lalu langsung memeriksa pelipis kiri. Seng Kun meraba-raba pelipis itu, kemudian menggunakan jarum perak menoreh kulit disekitar benjolan-benjolan itu. Darah menetes dan dia memperhatikan tetesan darah yang keluar, Kemudian menyuruh Bwee Hong memeriksa darah itu dengan seksama. Akhirnya, setelah memeriksa dengan teliti, Seng Kun menarik napas panjang.

   "Saudara A-hai, benjolan-benjolan dipelipismu ini adalah akibat terkena ilmu totok urat yang amat hebat. Melihat bekas dan akibat totokan ini, aku mempunyai dugaan bahwa ilmu itu adalah semacam Sam-ci Tiam-hwe-louw (Ilmu Totok Tiga Jari) yang luar biasa ampuhnya dan yang memang khusus untuk menotok urat-urat kematian. Akan tetapi entah karena ilmu kepandaian si penotok itu yang belum sempurna ataukah karena Ilmu kepandaianmu yang lebih unggul dari padanya, akibat dari totokan itu tidak sampai menewaskanmu, melainkan hanya mengakibatkan memar diurat jalan darah yang tertotok. Memar itu menyebabkan darah matang menyumbat hiat-to (jalan darah) yang menuju keotak tidak mendapatkan aliran darah yang wajar seperti biasanya. Tentu saja hal ini membuat otak tidak dapat bekerja dengan baik. Masih untung bahwa totokan itu hanya mengakibatkan tersumbatnya jalan darah menuju kebagian otak yang depan saja sehingga engkau masih mampu berpikir walaupun sebagian lagi telah tidak bekerja sehingga engkau tidak ingat akan masa lalumu. Kalau totokan itu mengakibatkan tersumbatnya jalan darah kesemua bagian dari otak, engkau akan hidup seperti seorang bayi yang tidak pernah mengetahui apa-apa!" Mendengar keterangan terperinci ini, Bwee Hong merasa bulu tengkuknya meremang.

   "Akan tetapi, koko. Kenapa pada waktu kumat, dia memperoleh kembali ingatan-ingatannya walaupun hanya sebagian saja?" Kakaknya mengangguk-angguk.

   "Mudah diperkirakan, Hong-moi. Engkau pernah mengatakan bahwa manusia mempunyai naluri. Nah, aku yakin bahwa ada suatu peristiwa yang sangat berpengaruh atas naluri saudara A-hai pernah terjadi dimasa lalunya. Kita tidak tahu persis apa adanya peristiwa itu, akan tetapi mudah diperkirakan bahwa peristiwa itu ada hubungannya dengan darah manusia. Maka apabila dia melihat genangan darah, otomatis terjadilah guncangan hebat pada batinnya. Nah, akibat guncangan batin yang hebat inilah maka jantungnya bekerja beberapa kali lebih keras dari biasanya. Dan karena jantung bekerja keras, tentu saja tekanan aliran darah menjadi sedemikian kuatnya sehingga darah dapat juga sedikit menembus sumbatan itu dan dapat mengalir keotak yang kering itu, biarpun hanya dengan sukar sekali. Dengan demikian, untuk saat-saat itu otak yang membeku dapat bekerja kembali walaupun belum sempurna benar. Dan setelah pengaruh guncangan itu habis, maka berhenti pula aliran darah itu. Engkau tadi melihat, ketika aku menusukkan jarum dibagian atas dan bawah benjolkan, aliran darahnya berbeda-beda, ada yang tetesannya cukup deras ada pula yang sama sekali tidak keluar?" Bwee Hong mengangguk-angguk kagum sedangkan A-hai hanya mendengarkan dengan bengong saja.

   "Kun-ko, engkau sungguh hebat. Keteranganmu dapat menjelaskan persoalannya. Lalu mengapa apabila saudara A-hai sedang kumat dia melupakan semua orang? Termasuk juga kita?" Seng Kun tersenyum.

   "Aku sudah memperhatikan hal itu. Lihatlah satu tonjolan ini tidak berada didalam urat, akan tetapi mengenai bagian diluar urat. Inilah yang menyelamatkan saudara A-hai, selamat dari kelumpuhan total dari otaknya. Akan tetapi tonjolan ini justeru terletak dalam kumpulan otot-otot pelipis dan rahang. Dengan demikian, apabila otot-otot itu mengejang karena saudara A-hai sedang marah, tonjolan itu malah mendesak dan menghimpit urat didekatnya dengan otomatis. Dengan demikian, maka bagian yang normal dari otak itulah yang justeru tidak kebagian darah karena himpitan itu. Mengertikah engkau?" Bwee Hong mengangguk.

   "Akan tetapi, lalu bagaimanakah agar supaya aliran darah keotak itu dapat terbuka kembali semuanya sehingga otak dapat bekerja kembali dengan wajar?"

   "Inilah yang harus kita kerjakan, yaitu berusaha menghilangkan sumbatan-sumbatan itu. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah. Darah yang mengental itu sudah sedemikian kerasnya sehingga aku khawatir kekuatan obat saja tidak akan mampu mencairkannya kembali. Padahal kalau kita menghilangkannya dengan pembedahan, berarti kita akan merusak pembuluh darah dan ini berbahaya sekali. Satu-satunya cara ialah membuat lubang darurat dibagian darah yang mengental itu. Akan tetapi cara seperti itu bukan merupakan pengobatan yang sekaligus dapat menyembuhkan. Setiap setahun sekali, harus dibuat lagi lubang baru karena lubang yang lama itu lambat-laun akan tertutup lagi oleh darah. Dan... itu berarti saudara A-hai ini akan selalu tergantung kepada kita yang harus membuatkan lubang darurat baru setiap tahun. Nah, sekarang terserah kepada saudara A-hai sendiri."

   "Saudara Seng Kun dan nona Hong! Lakukanlah sesuka hati kalian terhadap diriku. Aku menyerah sepenuhnya kepada kalian. Pokoknya aku bisa tahu siapa sebenarnya aku ini!" Seng Kun mengangguk girang. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja menghadapi seorang dengan gangguan penyakit seperti A-hai ini dia merasa ditantang dan dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menanggulangi dan mengalahkan penyakit itu. Dan kalau A-hai bersikap pasrah, maka hal itu sudah merupakan bantuan yang amat besar artinya bagi pengobatannya.

   "Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum membuat lubang pada bagian darah kental yang menyumbat jalan darah itu, lebih dahulu aku akan membedah dan mengambil gumpalan darah yang berada diluar jalan darah, yang menghalang dikumpulan otot pelipis itu. Hal ini untuk mencegah agar otak yang normal tidak tertutup lagi jalan darahnya sewaktu engkau marah atau dalam keadaan kumat. Nah, Hong-moi, siapkan alatnya dan mari kita bekerja!"

   A-hai disuruh rebah miring kekanan sehingga pelipis kirinya berada diatas. Dengan dibantu adiknya, Seng Kun duduk bersila didekatnya, dengan teliti mengamati ketika Bwee Hong mempergunakan jarum-jarumnya untuk menusuk beberapa jalan darah ditengkuk dan pundak. Tusukan-tusukan ini untuk menghilangkan rasa perih dan nyeri ketika pembedahan dilakukan. Kemudian mulailah Seng Kun mengerjakan pisaunya yang tajam. Karena pembedahan itu hanya kecil dan sederhana saja, hanya harus dilakukan dengan amat teliti dan hati-hati agar jangan sampai merusak jaringan darah, tak lama kemudian gumpalan darah kental itu dapat dikeluarkan. A-hai tidak merasa sakit, dan baru setelah luka itu dijahit dan diobati, kemudian jarum-jarum yang menusuk beberapa bagian badan itu diambil, dia merasa betapa pelipisnya agak perih.

   "Nah, saudara A-hai, mulai saat ini, biarpun engkau sedang kumat, engkau akan tetap mengenal siapa saja yang pernah kau kenal, termasuk kami," kata Seng Kun.

   "Terimakasih, sungguh kalian selain pandai, juga amat berbudi," A-hai berkata dengan terharu. Sementara itu, malampun tiba. Ruangan itu mulai gelap. Bwee Hong menyalakan lilin membuat penerangan. Kemudian mereka bertiga makan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh gadis itu. Ketika Bwee Hong melihat betapa A-hai mengunyah roti itu dengan kaku, iapun tertawa.

   "Saudara A-hai, untuk beberapa hari jahitan dipelipismu itu akan sedikit mengganggu apabila engkau sedang makan."

   "Ah, tidak apa. Yang penting kini sebagian penyakit lupaku sudah hilang. Saudara Seng Kun, kapankah lubang dipembuluh darah itu akan dibuat? Aku sudah tidak sabar lagi menanti."

   "Hemm, saudara A-hai, jangan tergesa-gesa. Pembuatan lubang itu tidak boleh sembarangan. Harus dilakukan sedikit demi sedikit, setiap kali mau tidur malam. Kalau dibuat secara mendadak, besar bahayanya darah yang mengalir kedalam otak terlalu banyak dan tiba-tiba itu akan mendatangkan guncangan. Jalan darah yang tersumbat itu seakan-akan air dibendung. Kalau bendungan itu dibuka secara tiba-tiba dan sekaligus, tentu akan terjadi banjir yang akan merusak saluran. Demikian pula dengan jalan darah itu, yang semula tersumbat sampai sekian lama, kalau dibuka sekaligus, ada bahayanya darah yang membanjir itu selain merusak jalan darah, juga dapat menimbulkan guncangan pada otak. Kesembuhan itu harus terjadi setahap demi setahap dan memerlukan kesabaran."

   "Wah, kalau begitu, berapa kalikah aku harus mengalami tusukan jarummu untuk membuat lubang itu?"

   "Tidak terlalu banyak, kukira tidak lebih dari sepuluh kali tusukan atau sepuluh hari saja. Tidak terlalu lama, bukan?"

   "Kalau begitu, kuharap engkau suka mulai sekarang juga, lebih cepat lebih baik bagiku.

   "Akan tetapi baru saja engkau mengalami pembedahan" Bwee Hong mencela.

   "Tidak mengapa! Aku sudah tidak merasakan nyeri lagi, nona."

   "Baiklah kalau begitu, saudara A-hai. Nah, engkau rebahlah lagi seperti tadi. Akan tetapi sekali ini, sehabis penusukan pertama, engkau harus tidur dan banyak istirahat, tidak boleh banyak bergerak." A-hai mengangguk dan dengan penuh semangat diapun merebahkan diri. Seng Kun menotok jalan darah dikedua pundak dan punggung sedangkan Bwee Hong lalu menusukkan jarum-jarumnya disekitar pelipis. A-hai segera tertidur pulas oleh totokan-totokan dan tusukan jarum-jarum itu. Dengan hati-hati Seng Kun lalu mempersiapkan jarumnya. Lebih dulu dia duduk melakukan siulian dan mengheningkan pikiran, Kemudian mengumpulkan hawa murni disalurkan dikedua lengannya. Barulah dia berani melakukan penusukan itu. Kedua tangannya bergerak mantap, jari-jari tangannya tidak gemetar dan sepasang matanya memandang tajam, setiap gerakan dilakukan dengan tepat.

   Dia tahu betapa berbahayanya pekerjaan yang dilakukannya itu. Sedikit saja meleset atau salah, ada bahaya nyawa A-hai akan melayang! Dia harus dapat menancapkan jarumnya mengenai sasaran, yaitu gumpalan darah itu, jangan sampai merusak pembuluh darah dan jangan sampai mengenai jalan darah lain walaupun yang kecil sekali. Beberapa kali tusukannya masih belum menghasilkan apa-apa. Darah masih belum menetes keluar. Dia mulai berkeringat, bahkan Bwee Hong yang melayaninya juga mengeluarkan peluh dingin karena dara inipun tahu akan besarnya bahaya yang mengancam nyawa A-hai. Akhirnya, pada tusukan yang kesekian kalinya ketika jarum dicabut, nampak darah hitam sedikit mengalir keluar. Kakak-beradik itu merasa sangat puas. Seng Kun menyudahi pekerjaannya.

   "Untuk yang pertama kali cukuplah, biar dia tidur nyenyak. Mari kita keluar mencari hawa segar," kata Seng Kun sambil menyeka keringat yang memenuhi dahi dan lehernya.

   "Baiklah, koko. Engkau keluarlah lebih dulu. Aku akan membersihkan alat-alat pengobatan kita dan menyimpannya. Nanti aku akan menyusulmu keluar."

   Seng Kun mengangguk dan melangkah keluar. Dia tahu bahwa adiknya itu masih belum tega meninggalkan A-hai seorang diri setelah menjalani pengobatan sangat berbahaya itu. Diluar hawanya sangat sejuk. Bulan sepotong yang melayang diantara awan-awan nampak indah sekali. Tanpa disadarinya, Seng Kun melangkah perlahan-lahan menuju kemakam gu-lojin yang berada tidak jauh dari rumah tua itu. Akan tetapi ketika dia sudah tiba didekat makam, mendadak dia menahan langkah kakinya dan matanya terbelalak. Dibatu nisan itu nampak seorang laki-laki duduk bersandar, matanya melotot dan lidahnya terjulur keluar. Jelaslah bahwa orang itu sudah mati! Cepat Seng Kun mendekati dan memeriksanya. Kiranya orang itu adalah kakek penjaga warung, dan baru saja mati. Badannya masih hangat dan ketika Seng Kun memeriksa lehernya, dia mengumpat,

   "Sungguh kejam pembunuh itu! Seperti iblis! Orang ini mati karena diinjak lehernya. Bekas sepatu kaki penginjak itu masih nampak nyata." Tiba-tiba Seng Kun meloncat bangkit berdiri dan siap siaga ketika dia mendengar suara ketawa parau dan lantang didekatnya. Dia cepat menoleh, akan tetapi tidak nampak bayangan orang. Dia mengerutkan alisnya. Tidak mungkin ada iblis tertawa. Tentu suara orang dan dia hampir yakin bahwa suara ketawa itu adalah suara si pembunuh kejam yang mentertawakannya. Dia merasa penasaran dan marah. Orang sekejam itu pasti bukan orang baik-baik dan harus dilawannya. Maka diapun mencari kearah suara ketawa yang kini terdengar lagi dari arah sungai. Akhirnya, ditepi sungai itu, nampak seorang laki-laki pendek gemuk duduk diatas batu, kakinya direndam diair dan mukanya menengadah memandang bulan.

   Laki-laki ini usianya hampir lima puluh tahun, tubuhnya pendek gemuk dengan perut yang gendut, tangan kirinya memegang sebatang tongkat besar berbentuk alu, yaitu alat penumbuk padi, berwarna putih. Itulah senjata yang berat dan keras, terbuat dari pada baja putih. Melihat orang ini, hati Seng Kun terkejut. Dia mengenal senjata itu dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang kedua dari Sam-ok, kawan dari Sanhek-houw. Inilah Sin-go Mo Kai Ci, Si Buaya Sakti yang menjadi Raja diantara bajak-bajak sungai, seorang diantara pembantu-pembantu Raja Kelelawar. Selagi Seng Kun merasa ragu karena dia belum tahu benar apakah datuk sesat ini yang membunuh kakek pemilik warung, tiba-tiba si gendut pendek itu menoleh kepadanya dan bertanya,

   "Engkau mencari pembunuh tukang wjarung?" Tentu saja Seng Kun kaget dan mengangguk karena pertanyaan itu langsung mengenai perasaan hatinya yang sedang bertanya-tanya. Si gendut pendek itu tertawa. Dibawah sinar bulan, perut gendutnya bergerak-gerak naik turun dan karena kini dia sudah bangkit berdiri, dia kelihatan sekali pendeknya.

   "Ha-ha-ha-ha, dan engkau akan menemaninya disana!" Tiba-tiba saja tubuh yang gendut pendek itu meloncat. Demikian cepat gerakannya, sama sekali tidak pantas melihat tubuhnya yang gendut itu dan didahului oleh gulungan sinar putih dari senjatanya, datuk sesat ini telah menyerang Seng Kun. Hebat sekali serangannya itu, mengandung tenaga yang kuat sehingga terdengar suara angin bersiutan menyambar-nyambar. Seng Kun maklum akan kelihaian lawan, maka diapun melawan sambil mengerahkan tenaganya dan karena dia bertangan kosong, maka dia mengandalkan ginkangnya yang hebat untuk menghindarkan diri dari ancaman senjata alu baja yang berat itu.

   Biarpun gerakannya amat cepat, namun ternyata Si Buaya Sakti itu lihai bukan main, bahkan dibandingkan dengan Sanhek-houw, dia tidak kalah lihai. Serangannya juga bersifat liar dan bahkan dia lebih ulet. Karena bertangan kosong, terpaksa Seng Kun beberapa kali menerima hantaman alu dengan tangkisan lengannya yang membuat dia beberapa kali terpelanting. Lewat tiga puluh jurus lebih, Seng Kun terdesak. Tiba-tiba terdengar jeritan suara wanita dari dalam rumah tua. Tentu saja hati Seng Kun terkejut dan penuh kekhawatiran. Adiknya berada didalam rumah tua itu dan yang mengeluarkan jeritan itu tentulah adiknya. Saking kaget dan khawatirnya, dia menoleh dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sin-go Mo Kai Ci untuk mencengkeram pundak Seng Kun dan pemuda itu seketika merasa tubuhnya lumpuh tidak mampu bergerak lagi.

   "Ha-ha-ha, engkau mendengar jeritan gadis itu? Heh-heh, Sanhek-houw tentu sedang memperkosanya. Heh-heh-heh!" Seng Kun terbelalak dan roboh pingsan mendengar kata-kata keji itu. Si Buaya Sakti tidak perduli, bahkan kelihatan gembira sekali. Dia menyeret tubuh Seng Kun kearah rumah tua sambil berteriak-teriak.

   "Heii, bangsat tua! Sudah selesaikah engkau? Nih, bocah itu telah kuhajar setengah mampus. Kurang ajar engkau! Katamu, ilmu kepandaiannya bukan main hebatnya. Tidak tahunya cuma sebegitu saja!" Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Si Buaya Sakti melemparkan tubuh Seng Kun kedekat mayat pemilik warung, lalu dia duduk diatas batu nisan, mulutnya memaki-maki dan menyumpah-nyumpah dengan suaranya yang tinggi melengking seperti suara wanita.

   "Hayo, cepatlah! Bandot tua yang tidak tahu diri! Sudah mau masuk lobang kubur masih gemar main perempuan!" Akan tetapi tidak ada suara sedikitpun dari dalam rumah itu, tidak ada sedikitpun jawaban terhadap kata-kata dan makiannya. Hal ini membuat Si Buaya Sakti menjadi semakin uring-uringan dan akhirnya dia merasa penasaran. Bagaimanapun juga, rekannya itu tidak akan berani menghinanya dengan membiarkan dia berteriak-teriak sendirian saja sejak tadi, seperti orang gila.

   Dia lalu bangkit berdiri, meludah ketanah, kemudian menyeringai dan berjalanlah dia menuju kerumah tua itu. Sambil tersenyum-senyum nakal dia menghampirri jendela dan dengan lagak seorang bocah nakal diapun lalu mengintai kedalam sambil cengar-cengir. Akan tetapi, matanya terbelalak dan liar mencari-cari. Kamar itu kosong! Tidak nampak ada gerakan orang disitu. Tubuh yang gendut itu dengan ringannya melayang masuk ruangan itu melalui jendela. Diatas lantai nampak seorang pemuda terlentang dalam keadaan tidur pulas. Disudut ruangan itu terdapat pakaian si gadis berserakan. Akan tetapi gadis itu sendiri tidak berada disitu. Juga Sanhek-houw tidak nampak bayangannya. kemanakah mereka pergi? Si Buaya Sakti mengepal tinju, mengamang-amangkan tinjunya keatas lalu membanting-banting kakinya yang besar dan pendek itu keatas lantai sampai rumah itu tergetar.

   "Bedebah! Keparat! Bangsat hina! Benar-benar kurang ajar! Teman disuruh berkelahi, sedangkan dia sendiri enak-enak pergi dengan perempuan, bersenang-senang tanpa memperdulikan teman. Tanpa pamit lagi. Keparat, kuhajar engkau nanti!" Si Buaya Sakti menjadi marah bukan main, tubuhnya meloncat keluar lagi dan dengan beberapa kali loncatan saja dia sudah tiba didepan nisan. Karena dia sedang marah, dia lalu menghampiri tubuh Seng Kun yang terkapar diatas tanah ketika dia melemparkannya tadi dan dengan buas dia lalu menginjak sambil mengerahkan tenaganya kearah dadanya.

   "Krekk! Krekkk!!" Si Buaya Sakti terkejut bukan main. Korban yang diinjaknya itu lalu disepaknya dan diapun meludahinya. Daun-daun dan ranting-ranting berhamburan dari "tubuh" yang diinjaknya tadi.

   "Gila! Anjing babi keparat jahanam laknat! Siapa berani mempermainkan Si Buaya Sakti? Siapa yang bosan hidup didunia ini dan berani main-main dengan aku? Akan kulumatkan kepalamu, kuhancurkan dadamu!" Alu baja itu diamang-amangkannya dan matanya melotot, mencari-cari kesegenap penjuru. Kiranya yang diinjak dadanya tadi hanyalah pakaian yang diisi dengan daun-daun dan ranting-ranting kecil.

   "Aku berada disini!" Suara itu halus dan terdengar perlahan dari atas sebatang pohon tua yang tinggi. Si Buaya Sakti terkejut dan memandang keatas. Kiranya diatas sebuah dahan panjang yang tinggi, duduklah seorang kakek bersama dua orang pemuda, seorang diantara dua pemuda itu adalah Seng Kun, pemuda yang tadi dirobohkannya. Kini tiga orang itu melayang turun dengan gerakan yang amat ringan seperti daun-daun kering yang rontok dari dahannya.

   Setelah dapat memandang jelas wajah kakek itu, Si Buaya Sakti semakin kaget. Dia mengenal wajah kakek sederhana yang memegang tongkat ini. Beberapa tahun yang lalu, kakek tua renta yang sederhana dan kelihatan lemah ini pernah bertanding ginkang dengan Raja Kelelawar dan bahkan mengalahkan Rajanya itu! Tentu saja dia terkejut dan gentar. Dia tahu bahwa kakek ini lihai bukan main. Apa lagi disitu masih ada pula dua orang pemuda yang juga bukan merupakan lawan yang lunak. Akan tetapi, dia adalah Si buaya Sakti, pembantu utama dari Raja Kelelawar, dia seorang datuk kaum sesat yang terkenal sebagai Rajanya kaum bajak sungai. Orang seperti dia tentu saja pantang untuk memperlihatkan takut. Sambil mengeluarkan suara gerengan keras diapun memutar alu bajanya dan menyerang kedepan.

   "Tranggg!" Bunga api berpijar ketika sebatang pedang menangkis alu baja itu. Kiranya yang menangkis dengan pedang adalah pemuda kedua yang datang bersama kakek itu. Dia adalah Kwee Tiong Li, pemuda yang pernah menjadi murid pemberontak Chu Siang Yu, dan pernah menjadi ketua Lembah Yang-ce. Seperti telah diceritakan dibagian depan, pemuda ini bertemu dengan kakek Kam Song Ki yang menjadi murid ketiga dari mendiang Bu-Eng Sin-yok-ong.

   Setelah diselamatkan oleh kakek itu. Kwee Tiong Li yang berjodoh untuk menjadi murid kakek itu lalu ikut bersama kakek itu mempelajari ilmu silat, sehingga dia yang memang tadinya sudah lihai memperoleh kemaiuan yang pesat sekali. Pemuda yang mukanya agak kemerahan ini mempergunakan pedangnya. Dan setelah mereka berdua saling serang selama lima puluh jurus, harus diakui oleh Si Buaya Sakti bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat bukan main, dan kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka. Apa lagi kalau Seng Kun dan kakek lihai itu maju. Maka, tanpa malu-malu lagi, dia lalu meloncat kebelakang untuk melarikan diri. Kwee Tiong Li tidak mengejarnya, akan tetapi ujung pedangnya sempat menyerempet bahu kiri Si Buaya Sakti sehingga bajunya robek dan berdarah.

   Sementara itu, ketika Kwee Tiong Li sedang bertanding melawan Si Buaya Sakti, Seng Kun menengok kearah rumah tua. Dia maklum bahwa dengan adanya si kakek sakti, tidak perlu dikhawatirkan pemuda itu akan kalah melawan Si Buaya Sakti. Maka diapun meninggalkan tempat itu dan mencari adiknya kerumah tua. Dengan hati berdebar tegang, Seng Kun memasuki rumah itu, langsung menuju kedalam ruangan dimana tadi dia meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur pulas dan dijaga oleh Bwee Hong. Akan tetapi, dia hanya melihat A-hai yang masih rebah dan tertidur pulas, sedangkan adiknya sudah tidak nampak lagi. Yang ada hanyalah pakaian adiknya yang berserakan disudut ruangan. Tentu saja hatinya menjadi pilu dan gelisah. kemanakah perginya Bwee Hong? Apa yang telah terjadi dengan adiknya?

   Ketika dia keluar lagi dari rumah itu, perkelahian antara Kwee Tiong Li dan Si Buaya Sakti sudah berakhir dan penjahat itu sudah kabur entah kemana. Seng Kun lalu menghampiri kedua orang yang tadi telah menolongnya. Tadi ketika dia dilempar dalam keadaan pingsan oleh Si Buaya Sakti didekat mayat pemilik warung, dia telah ditolong dan dibawa naik keatas pohon oleh seorang kakek. Kemudian seorang pemuda yang datang bersama kakek itu mempergunakan daun dan ranting yang dibungkus pakaian untuk menggantikan tubuhnya. Dengan beberapa kali totokan, diapun sadar dan bebas dari totokan Si Buaya Sakti, dan dengan isyarat, kakek dan pemuda itu menyuruh dia berdiam diri dan mereka menanti sampai Si Buaya Sakti muncul dengan marah-marah dari dalam rumah tua.

   "Ji-wi telah menyelamatkan nyawa saya, untuk itu saya menghaturkan banyak terimakasih. Akan tetapi saya telah kehilangan adik perempuan saya yang saya tinggalkan didalam rumah tua itu. Saya khawatir kalau adik saya menjadi korban kejahatan kaum sesat itu. Mohon bantuan ji-wi untuk menyelamatkan adik saya." Kakek Kam Song Ki merangkapkan kedua tangan didepan dada lalu menancapkan tongkatnya keatas tanah.

   "Siancai, negara sedang dalam kekacauan dan semua penjahat merajalela, seolah-olah semua iblis telah keluar dari neraka untuk mendatangkan onar dipermukaan bumi. Kami baru datang dan kebetulan saja dapat menyelamatkanmu, orang muda. Kami tidak tahu kemana perginya adikmu itu."

   "Tadi adik perempuan saya berada didalam rumah tua. Ditempat ini hanya terdapat sebuah dusun. Kalau ada yang menculiknya, tentu kedusun itulah dibawanya. Saya akan mencari kesana!" kata Seng Kun.

   "Biarlah kami ikut bersamamu dan sedapat mungkin membantumu," kata pemuda itu. Mereka tidak sempat berkenalan karena Seng Kun sedang berada dalam keadaan gelisah sekali memikirkan keselamatan adiknya. Kalau benar adiknya diserang oleh Sanhek-houw, tentu adiknya kalah dan kalau sampai adiknya diculik oleh datuk itu, celakalah! Merekapun mulai mencari-cari jejak.

   Karena malam itu hanya diterangi bulan sepotong, maka sukarlah mencari jejak orang dan akhirnya mereka menuju kedusun dengan mengambil jalan setapak. Dengan teliti Seng Kun berjalan didepan dan ditengah perjalanan ini dia membungkuk dan mengambil sepotong sepatu wanita yang dikenalnya sebagai sepatu Bwee Hong. Tentu saja hatinya menjadi semakin gelisah dan dia mempercepat langkah. Hatinya tegang karena jejak itu telah ditemukan berupa sepatu adiknya. Tentu adiknya telah dilarikan penjahat menuju kedusun itu. Dusun itu sepi sekali. Semua rumah telah menutup pintunya rapat-rapat dan didepan rumah-rumah itu tidak dipasangi lampu. Seng Kun menjadi tidak sabar dan mulailah dia memanggil-manggil nama adiknya. Suaranya bergema didusun itu, namun tidak terdengar jawaban. Kemudian dia mulai memanggil nama Sanhek-houw dengan nada suara marah.

   "San-hek-houw, iblis busuk! Keluarlah kalau jantan dan mari kita bertanding sampai seorang diantara kita tewas! Jangan menjadi pengecut hina yang melarikan seorang wanita!" Namun teriakan-teriakannya inipun tidak ada jawaban. Seng Kun mulai gelisah sekali dan keringat dingin membasahi bajunya. Dia tidak dapat menduga dirumah yang mana iblis itu bersembunyi. Memeriksa rumah itu satu demi satu akan memakan waktu dan dia harus cepat-cepat menyelamatkan adiknya. Saking jengkelnya dia mengancam.

   "Kubakar semua rumah disini apabila engkau tetap sembunyi!!" Kakek Kam Song Ki menyentuh pundaknya.

   "Tenanglah, tidak perlu membakar rumah penduduk yang tidak bersalah. Kemarahan hanya akan menyeret kita kepada tindakan yang sesat." Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mengerahkan khikangnya kearah rumah para penduduk dan berteriak, suaranya gemuruh menggetarkan daun-daun pintu dan-jendela rumah-rumah itu.

   "Saudara-saudara penghuni dusun ini semua! Kami tahu jumlah kalian tidak banyak. Keluarlah kalian semua. Semuanya, tidak boleh ada yang tinggal didalam! Yang tidak mau keluar, rumahnya akan kami bakar. Cepat!!" Mendengar seruan yang menggelegar ini, para penghuni ramah dusun itu terkejut dan ketakutan. Satu demi satu merekapun keluarlah dari ramah mereka, menggendong anak-anak yang masih kecil dan menuntun kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah hampir tidak kuat berjalan. Kepala dusun itu sendiri, setelah hilang kagetnya dan melihat bahwa tiga orang yang minta mereka semua keluar itu hanyalah seorang kakek dan dua orang pemuda yang nampaknya bukan orang jahat, lalu menghampiri mereka.

   "Ada urusan apakah maka sam-wi minta kami semua keluar?" tanya kepala dusun.

   "Kami mencari seorang kakek iblis yang melarikan seorang wanita. Mungkin dia bersembunyi disebuah diantara rumah-rumah dusun ini," kata Seng Kun tak sabar. Kepala dusun lalu menanyai semua orang akan tetapi mereka semua menjawab bahwa tidak ada kakek iblis bersembunyi dirumah mereka.

   "Sam-wi mendengar sendiri. Warga dusun kami tidak tahu tentang kakek itu, harap sam-wi mencari saja kelain tempat," kata kepala dusun dengan bangga karena semua anak-buahnya ternyata tidak ada yang melakukan kesalahan.

   "Akan tetapi kenapa kalian semua tidak mau membuka pintu seperti ketakutan ketika melihat kedatangan kami?" Seng Kun bertanya penasaran.

   "Soalnya sore tadi terjadi kerusuhan diwarung makan itu. Dua orang penjahat memaksa pemilik warung untuk menunjukkan dimana rumah gu-lojin." Pada saat itu terdengar rintihan orang. Kakek Kam dan dua orang pendekar muda itu cepat meloncat dan mendekat.

   Ternyata seorang nelayan muda tergolek berlumuran darah ditepi sungai. Tubuh bawahnya masih terbenam keair, nampaknya dengan susah payah dia baru saja berenang ketempat itu. Kepala dusun yang sudah mengejar kesitu segera mengenai nelayan muda ini dan menegur, menanyainya. Akan tetapi nelayan itu hanya mengeluh dan tidak mampu bicara, napasnya memburu. Melihat ini, kakek Kam Song Ki lalu menghampiri dan menggunakan dua buah jari tangannya untuk mengobati nelayan muda itu. Melihat betapa kakek itu menekuk telunjuk dan jari tengah, lalu menggunakan dua jari yang ditekuk itu untuk menjepit urat dibagian tengkuk dan pundak, Seng Kun memandang heran. Itulah ilmu pengobatan dari perguruannya, yaitu cubitan pada otot yang disebut "ning"! Sebentar saja nelayan itu sadar dan dapat bicara.

   "Jahat-jahat perahuku dirampas aku dipukul ahhh" Dan nelayan itu meringis seperti orang menangis. Setelah dibujuk, akhirnya nelayan muda itu menceritakan betapa tadi, ketika dia mendayung perahunya hendak pulang, dengan membawa muatan ikan hasil tangkapan yang cukup banyak, dengan hati gembira, dia dipanggil oleh dua orang yang berdiri ditepi sungai. Karena mengira bahwa dua orang itu hendak menumpang perahunya dan hatinya sedang bergembira, diapun minggir. Sungguh tidak disangkanya bahwa dua orang itu jahat sekali. Keranjang ikannya yang penuh itu mereka tendang keluar sehingga tumpah kedalam air, kemudian nelayan itu yang hendak melawan, dipukul sampai tercebur kedalam sungai dan perahunya dirampas! Sungguh mereka jahat..." dia menangis.

   "Ikan-ikanku dibuang, perahuku dirampas dan aku dipukuli"

   "Bagaimana macamnya kedua orang itu?" Seng Kun bertanya.

   "Yang seorang pendek gendut membawa tongkat besar putih, seorang lagi tinggi besar"

   "Tak salah lagi. Merekalah itu!" Seng Kun berseru marah.

   "Tahukah engkau kemana mereka pergi?" Nelayan muda itu menggeleng kepala, akan tetapi karena agaknya dia mengharapkan orang akan mencari dan menghajar kedua penjahat itu dan mendapatkan perahunya, dia berkata,

   "Ketika aku minggir, mula-mula mereka bertanya kepadaku dimana letaknya dusun Kim-le mungkin mereka kesana"

   "Mari kita susul kesana!" kata Seng Kun tak sabar lagi. Dibantu oleh dua orang penolongnya, tak lama kemudian Seng Kun menyewa sebuah perahu dan melakukan pengejaran kearah dusun Kim-le. Seng Kun sendiri bersama Tiong Li membantu si nelayan mendayung dan biarpun perahu sudah meluncur cepat, tetap saja Seng Kun menganggapnya terlalu lambat dan dia kelihatan gelisah bukan main. Melihat itu, kakek itu menghibur.

   "Orang muda, sabarlah. Serahkan saja kesemuanya kepada Thian. Disamping usaha menyelamatkan adikmu, berdoalah saja agar adikmu itu selamat. Dengan membiarkan hati gelisah, hal itu akan mengeruhkan pikiran dan hanya akan membuat tindakanmu menjadi kacau tanpa perhitungan lagi. Jangan membiarkan pikiranmu membayangkan hal-hal buruk menimpa diri adikmu, hal itu hanya akan mengundang datangnya kegelisahan yang tiada gunanya." Seng Kun tersadar dan dia menjadi lebih tenang. Baru sekarang dia teringat betapa tidak pantasnya sikapnya selama ini. Dua orang ini telah menyelamatkannya dari tangan Si Buaya Sakti, juga kini bahkan membantunya mencari adiknya. Akan tetapi dia sama sekali belum tahu siapa adanya mereka dan tidak pernah menanyakannya!

   "Harap ji-wi sudi memaafkan saya yang bersikap tak mengenal budi. Karena gelisah memikirkan adik saya, maka saya belum sempat memperkenalkan diri. Harap ji-wi ketahui bahwa saya bernama Seng Kun, she Bu, dan adik saya itu adalah Bu Bwee Hong. Mohon tanya, siapakah nama Lo-cianpwe yang mulia dan juga saudara yang gagah perkasa ini?" Kakek itu terbelalak memandang wajah Seng Kun,

   "Engkau she Bu? Dan ginkangmu tadi ketika berlari... hemm, orang muda, nama keturunanmu itu mengingatkan aku akan seorang yang bernama Bu Cian" Kini Seng Kun yang menjadi terkejut mendengar disebutnya nama itu karena nama itu adalah nama ayah dari ayah angkatnya atau juga paman kakeknya. Bu Kek Siang!

   "Apakah yang Lo-cianpwe maksudkan itu adalah mendiang kakek Bu Cian, si datuk utara?"

   "Ha-ha-ha, benar, dia menjadi datuk ahli sinkang dan ahli obat diutara"

   "Lo-cianpwe, beliau itu adalah kakek buyut saya, juga kakek guru"

   "Ehh? Engkau anak siapakah?" Kakek Kam Song Ki terbelalak lagi.

   "Apakah engkau mengenal Bu Kek Siang?"

   "Mendiang Bu Kek Siang adalah ayah angkat saya juga guru saya, juga paman kakek saya"

   "Ayah angkat, juga guru, juga paman kakek? Bagaimana ini? Dan sudah mendiang?" kakek itu bertanya secara bertubi-tubi.

   "Benar, Lo-cianpwe. Ayah angkat saya Bu Kek Siang dan isterinya, telah meninggal dunia. Sejak kecil kami berdua, saya dan adik Bwee Hong, dirawat dan dididik oleh beliau, diaku anak sendiri. Diwaktu beliau hendak meninggal dunia, barulah beliau memberi tahu bahwa kami berdua sebenarnya she Chu dan terhitung cucu keponakan beliau karena mendiang ibu kami adalah keponakan beliau."

   "She Chu?" Tiba-tiba Kwee Tiong Li bertanya.

   "Saudara Seng Kun, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama ayah kandungmu yang she Chu itu?" Tentu saja Tiong Li bertanya demikian karena pada waktu itu, she Chu hanya dimiliki oleh keluarga dekat dari Kaisar saja, seperti juga gurunya yang pertama, yaitu pemberontak Chu Siang Yu yang masih keturunan Jenderal Chu yang terkenal berdarah keluarga Kaisar pula. Sebenarnya Seng Kun tidak suka memperkenalkan ayah kandungnya karena dia tidak ingin diketahui bahwa dia masih berdarah bangsawan Istana. Akan tetapi mengingat bahwa dua orang itu adalah penolongnya, maka terpaksa dia mengaku juga,

   "Ayah kandungku bernama Chu Sin, akan tetapi sekarang telah berganti nama menjadi Bu Hong Tojin."

   "Aihhh! Sungguh luar biasa! Pangeran Chu Sin yang kini menjadi kepala kuil di Istana? Kiranya engkau masih sanak keluarga atau sedarah dengan Bengcu (pemimpin) Chu Siang Yu!" teriak Tiong Li gembira.

   "Siancai! Dan akupun sudah mendengar akan kehebatan Pangeran Chu Sin yang menentang Istana. Ah, anak baik, tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Bu Kek Siang itu adalah muridku, murid keponakan. Ayahnya, mendiang Bu Cian adalah twa-suhengku." Seng Kun memandang terbelalak, kemudian menjatuhkan diri berlutut.

   "Teecu sudah merasa heran ketika susiok-couw tadi menyadarkan nelayan dengan cubitan "ning" dari perguruan teecu. Kiranya susiok-couw adalah kalau teecu tidak salah, kakek Kam Song Ki yang mulia!"

   "Ha-ha-ha, kiranya orang sendiri malah. Dan engkau tahu, dia ini, Kwee Tiong Li, adalah muridku dan tadinya menjadi murid dan pembantu utama dari pemberontak Chu Siang Yu yang masih sanakmu juga. ha-ha, dunia ini sungguh tidak berapa luas!" Tentu saja Seng Kun merasa girang dan kakek itupun kini makin bersemangat untuk mencari dan menolong Bwee Hong yang ternyata adalah cucu muridnya sendiri. Perahu didayung lebih cepat lagi untuk menuju kedusun Kini-le, dimana mereka harapkan akan dapat menyusul dua orang iblis yang melarikan Bwee Hong itu.
***

   Setelah menguburkan mayat wanita yang telah menyelamatkan mereka, Liu Pang dan Pek Lian lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan hati-hati. Mereka tidak ingin bertemu dengan musuh yang kini dibantu oleh para datuk sesat. Agar dapat melakukan perjalanan yang aman dan tersembunyi, mereka menyeberangi padang rumput. yang luas dan setelah fajar menyingsing tibalah mereka disebuah lembah bukit.

   Tiba-tiba, dipagi hari itu, mereka mendengar suara terompet bersahut-sahutan. Tentu ada perkemahan tentara, pikir Liu Pang yang tidak asing dengan suara terompet seperti itu. Mereka berdua lalu mendaki puncak bukit dan meneliti kebawah. Sinar matahari pagi memandikan bagian bawah bukit menjadi keemasan dan indah sekali. Akan tetapi sinar mata kedua orang itu sama sekali tidak dapat merasakan keindahannya karena pandang mata mereka sibuk mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan apa yang dicari oleh pandang mata mereka. Ratusan buah, bahkan ribuan kemah bertebaran dibalik bukit. Liu Pang memincingkan mata dan berseru gembira,

   "Ah, itu adalah pasukan kita!"

   Tentu saja Pek Lian juga merasa gembira sekali. Dari bendera yang berkibar di puncak tenda iapun dapat mengenal tanda-tanda dari pasukan mereka sendiri. Mereka lalu cepat menuruni bukit dan berlari-lari menuju keperkemahan itu. Ketika mereka tiba diluar hutan kecil yang seolah-olah menjadi pintu gerbang perkemahan itu, tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar seperti hujan kearah mereka. Guru dan murid ini cepat mengelak dan mencabut pedang untuk melindungi tubuh dari sambaran anak panah. Lalu bermunculan belasan orang bersenjata yang segera mengeroyok guru dan murid itu. Liu Pang dari Pek Lian tidak sempat menerangkan siapa keadaan mereka, dan mereka berduapun tahu bahwa para pengeroyok yang terdiri dari pasukan peronda ini adalah perajurit-perajurit baru yang menggabung selagi mereka berdua pergi sehingga tidak mengenal mereka.

   "Berhenti!" Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dan muncullah seorang perwira muda yang berwajah tampan dan gagah. Para pengeroyok terkejut, membuka jalan dan memberi hormat kepada pemuda itu. Dibelakang pemuda tampan ini berjalan seorang pemuda lain yang berpakaian serba putih sederhana.

   "Liu-Bengcu! Nona Ho!" Pemuda tampan itu berseru. Dia Yap Kim, putera Yap-lojin, pemuda yang bengal itu. Kemudian dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, harap Bengcu maafkan, mereka ini adalah bekas pasukan pemerintah yang dibawa oleh Gui-ciangkun yang bergabung dengan kita." Liu Pang mengangguk-angguk dan tersenyum.

   "Pantas, mereka sangat tangkas!" Para perajurit terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa dua orang yang mereka keroyok tadi bukan lain adalah Liu-Bengcu, pemimpin besar mereka, dan nona Ho yang namanya sudah amat terkenal diantara para anggauta pejuang pendekar itu! Mereka segera minta maaf, dan dengan besar hati Liu Pang berkata,

   "Mengapa minta maaf? Tindakan kalian tadi sungguh mengagumkan dan memang demikianlah seharusnya sikap pasukan peronda. Kalau kalian tidak menyerang kami, mungkin aku malah akan menegur kalian!" Pasukan itu tentu saja merasa girang karena setelah menyerang pemimpin besar itu, mereka tidak mendapat marah, malah menerima pujian!

   
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kedatangan Liu Pang dan Pek Lian disambut dengan amat gembira oleh para pimpinan pasukan. Mereka sudah merasa khawatir sekali akan lenyapnya pemimpin besar itu. Dan kini tahu-tahu muncul bersama Pek Lian yang dalam keadaan selamat pula. Mereka semua berkumpul dan memberi laporan kepada pemimpin besar mereka. Ternyata gerakan mereka seperti yang sudah mereka renca-nakan ketika menghadapi pasukan besar Lai-goanswe itu berhasil dengan baik sesuai dengan siasat mereka. Kota kecil berhasil diduduki dan pasukan besar Jenderal Lai dihadang oleh pasukan inti dari Liu Pang yang dipimpin oleh para pendekar Thian-kiam-pang. Pasukan Lai-goanswe dapat dipukul kocar-kacir, sebagian melarikan diri, dan sebagian malah menakluk dan kini menggabung dengan para pemberontak.

   "Bagus!" Liu Pang merasa girang sekali. biarpun dia sendiri nyaris menjadi korban akan tetapi ternyata gerakan pasukannya berhasil dan hal inilah yang terpenting baginya. Sekarang dimanakah adanya Lai-goanswe?" tanyanya dengan girang. Yap Kim menghela napas panjang.

   "Itulah, twako!" keluhnya. Semua pimpinan pasukan para pendekar itu kadang-kadang menyebut twako kepada Liu Pang.

   "Itulah sebabnya mengapa para peronda tadi langsung menyerang twako dan nona Ho tanpa bertanya lagi. Malam tadi muncul dua orang sakti yang membebaskan Lai-goanswe. Aku dan kakakku Kiong Lee melakukan pengejaran, akan tetapi terpaksa kami melepaskan mereka. Aku sendiri tidak dapat melawan mereka dan kakakku sungkan untuk melawan mereka"

   "Maafkan saya, Liu-Bengcu. Mereka adalah sahabat-sahabat kami sendiri. Antara perguruan kami dan perguruan mereka terjalin persahabatan yang erat. Guru saya dan ketua mereka adalah sahabat lama." Kiong Lee menyambung penuturan adiknya dan sikapnya menjadi sungkan sekali.

   "Heran, siapakah mereka?" Liu Pang bertanya.

   "Mereka adalah dua orang berjubah coklat dari Liong-i-pang." Mendengar bahwa dua orang penculik tawanan itu adalah orang-orang Perkumpulan Jubah Naga, Liu Pang dan Pek Lian saling pandang.

   "Ah, mereka!" Liu Pang dan muridnya telah melihat kedua orang itu ketika mereka mengintai pertemuan para tokoh kaum sesat dan mendengar bahwa kedua orang itu hendak pergi ke benteng. Kiranya mereka itu pergi keperkemahan ini dan menculik tawanan yang cukup penting! Lai-goan-swe adalah tangan kanan Jenderal Beng Tian. Jadi, membebaskan Panglima Lai itukah tugas yang mereka dapat dari guru mereka seperti yang telah didengarnya bersama Pek Lian ketika dua orang berjubah naga itu saling bercakap-cakap? Ataukah suatu tugas yang lain lagi? Akan tetapi urusan itu segera dikesampingkan dan Liu Pang lalu mengajak para pembantunya berunding. Para pimpinan itu berniat untuk menggempur kota disebelah depan, akan tetapi Liu Pang menentang keinginan mereka.

   "Jangan kerahkan semua tenaga kesana. Biarlah sepasukan kecil saja mengacau disitu. Kita perlu menggerakkan seluruh kekuatan kita menuju ke Kotaraja. jangan sampai kita kedahuluan oleh pasukan pemberontak Chu Siang Yu." Liu Pang lalu menceritakan pengalamannya ketika dia melihat para tokoh sesat yang kini dipergunakan pula oleh para pemberontak. Maka diaturlah siasat mereka dan pembagian kerja. Hek-coa Ouw Kui Lam, satu-satunya diantara Huang-ho suhiap yang masih hidup, juga pernah menjadi guru Pek Lian, menerima tugas memimpin seribu orang pasukan untuk menggempur dan mengacau kota disebelah depan.

   Hal ini juga amat penting untuk menutupi gerakan mereka yang sebenarnya, yaitu gerakan keutara, menuju Kotaraja. Pasukan mereka amat besar kini, setelah banyak petani dan pasukan-pasukan pemerintah yang kalah datang menggabungkan diri. Sampai laksaan orang. Pasukan besar ini terpaksa harus dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok terkuat berada didepan dan dipimpin oleh Liu Pang sendiri, dibantu oleh para pendekar Thian-kiam-pang. Ho Pek Lian memimpin pasukan perbekalan, dibantu oleh para pendekar yang lain dan dibelakang sekali terdapat sebuah pasukan lain yang menjadi penjaga bagian belakang agar jangan sampai terjadi pembokongan dari pihak musuh. Yap Kiong Lee, pendekar yang dianggap paling lihai diantara mereka semua, bertugas sebagai penghubung antar pasukan-pasukan itu.

   Pagi-pagi sekali, pasukan-pasukan inipun bergerak setelah pasukan yang dipimpin Hek-coa Ouw Kui Lam mulai melakukan penyerangan kepada kota didepan. Sehari penuh pasukan-pasukan itu bergerak dan diwaktu matahari terbenam tibalah mereka disuatu lembah yang dikelilingi bukit-bukit. Mereka lalu berkemah dan Liu Pang sendiri menempati sebuah bekas pesanggrahan yang terdapat ditempat itu. Kota besar Pao-keng yang menjadi kota benteng penting untuk Kotaraja, terletak hanya belasan li disebelah depan, dibalik bukit. Setelah mereka berhasil menguasai kota Pao-keng, maka mereka akan berhadapan dengan benteng Kotaraja sendiri! Maka, Liu Pang lalu memilih tempat ini sebagai pusat atau benteng induk. Malam itu amatlah sunyi. Pasukan yang sudah sehari penuh melakukan perialanan yang cukup melelahkan memanfaatkan waktu itu untuk beristirahat.

   Akan tetapi mereka tidak lepas dari kewaspadaan. Setiap kemah dijaga dengan ketat dan bergilir. Liu Pang sendiri bersama Yap Kiong Lee nampak meronda mengelilingi perkemahan. Hal ini membesarkan semangat para perajurit dan setiap peronda yang bertemu dengan pemimpin besar ini tentu memberi hormat dengan tegapnya. Di perkemahan para pemimpin terjadi ketegangan sedikit ketika nampak seorang pejuang atau pendekar ditegur oleh peronda karena memasuki daerah penjagaan mereka. Orang itu bertubuh gendut agak pendek, kepalanya yang botak gundul ditutupi sebuah kopyah warna hitam. sukar ditaksir usianya karena malam itu gelap, akan tetapi dari sinar api unggun diluar kemah dapat diketahui bahwa dia bukanlah muda lagi.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Naga Beracun Eps 23 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16

Cari Blog Ini