Harta Karun Kerajaan Sung 11
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"Maaf, Lo-cianpwe, kalau menurut pendapat saya, hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kita harus bertindak!" kata Thio Kui.
"Aku setuju sekali!" kata Kui Lin bersemangat.
"Kalau Lo-cianpwe diam saja, tentu mereka itu semakin percaya bahwa Thai-san-pai merasa bersalah dan benar-benar telah mengambil harta karun itu. Mereka telah memasuki wilayah Thai-san-pai, sebaiknya usir saja mereka, kalau tidak mau pergi secara halus, kita usir dengan kekerasan. Kami akan membantumu, Lo-cianpwe!"
"Bagus, saya juga siap!" kata Liong Kun dengan gembira dan penuh semangat.
"Maaf, Lo-cianpwe dan saudara-saudara sekalian," kata Ceng Ceng dengan tenang dan lembut.
"Menggunakan.kekerasan hanya memancing permusuhan dan perkelahian yang pasti akan menjatuhkan banyak korban. Karena harta karun itu belum diketahui berada di mana, maka pertempuran itu sama saja dengan memperebutkan karung kosong! Sebaiknya, besok pagi Lo-cianpwe membuka gerbang depan lalu keluar dan mengundang mereka yang mengepung itu untuk bicara di luar perkampungan. Di situ Lo-cianpwe dapat menyangkal desas-desus itu, kalau ada yang tidak percaya dan hendak menggunakan kekerasan, barulah kita membela diri. Para bijaksana mengatakan bahwa barang siapa memulai sebuah permusuhan, dialah yang bersalah! Jadi, biarkan mereka yang menggunakan kekerasan, kita membela diri dan saya yakin banyak yang akan mendukung Thai-san-pai."
"Sungguh mengagumkan pendapat Enci Ceng Ceng!" kata Kui Lan.
"Saya setuju sekali!"
Ketua Thai-san-pai juga setuju dan merasa lebih tenang. Malam itu tidak terjadi sesuatu dan Ceng Ceng bermalam di situ, sekamar dengan Kui Lan dan Kui Lin sehingga mereka bertiga dapat bercakap-cakap, mempererat perkenalan dan semakin banyak mengetahui keadaan masing-masing. Dari percakapan dua orang gadis kembar itu, dengan hati senang Ceng Ceng dapat melihat bahwa Kui Lan tertarik kepada Liong Kun sedangkan Kui Lin tertarik kepada Thio Kui. Hal ini terungkap dari suara dan tarikan muka dua orang gadis kembar itu ketika bicara tentang dua orang pemuda Bu-tong-pai itu.
Ia juga merasa girang mendengar mereka bercerita tentang Pouw Cun Giok, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir karena tidak mendengar tentang adik angkatnya, Li Hong, dan Yauw Tek. Akan tetapi ia berharap agar kedua orang itu dalam keadaan selamat dan mereka berdua tentu akan mendengar pula berita tentang adanya harta karun di Thai-san-pai dan mendengar ini, mereka pasti akan datang pula di Thai-san-pai.
Dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu pun dengan hati kagum dan senang mendengar tentang diri Ceng Ceng dan pengalaman gadis cantik jelita dan lembut itu ketika terpaksa menyerahkan peta harta karun peninggalan ayahnya kepada Kim Bayan untuk menolong Tan Li Hong yang menjadi tawanan Kim Bayan. Menceritakan ketika ia bersama Pouw Cun Giok membantu Kim Bayan mencari harta karun lalu mendapatkan peti harta karun telah kosong.
"Huh, si keparat jahanam Kim Bayan!" Kui Lin memaki marah.
"Kalau aku bertemu dengan dia, pasti akan kupukul remuk kepalanya!"
"Aih, Adik Kui Lin, mengapa engkau agaknya demikian benci kepada Panglima Kim Bayan?" tanya Ceng Ceng heran.
"Enci Ceng Ceng," kata Kui Lan.
"Ayah kandung kami tewas oleh pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan."
Ceng Ceng mengangguk-angguk, lalu berkata memperingatkan kepada Kui Lin.
"Adik Kui Lin, kalau besok Ketua Thai-san-pai mengadakan pertemuan, andaikata Panglima Kim Bayan muncul, harap engkau tidak memancing keributan dengan menyerang dia karena hal itu akan dapat menggagalkan usaha Thai-san-pai untuk melepaskan diri dari fitnah. Kalau engkau tidak mampu menahan kesabaran dan menyerang Kim Bayan, mungkin saja hal itu bagaikan api dapat menyulut kebakaran lain dan Thai-san-pai menjadi ajang pertempuran."
"Enci Ceng Ceng berkata benar, Lin-moi. Engkau tidak boleh mengacaukan pertemuan besok karena dengan begitu, berarti kita tidak membantu Thai-san-pai malah sebaliknya mendatangkan malapetaka kepada Thai-san-pai," kata Kui Lan.
Kui Lin cemberut.
"Baiklah, baiklah! Memang aku tukang membikin kacau!"
Ceng Ceng dan Kui Lan hanya tersenyum melihat ulah gadis yang galak dan manja itu.
Pada keesokan harinya, ketika matahari naik cukup tinggi, pintu gerbang Thai-san-pai dibuka dan keluarlah Thai-san Sianjin dari dalam, diiringkan oleh lima orang sutenya, yaitu Song Bu Tosu, Song Tek Tosu, Koa Lai Kim Tosu, Wong Kian Tosu, dan Wong Han Tosu. Di sampingnya keluar pula Ceng Ceng, Kui Lan dan Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Para murid Thai-san-pai dengan senjata lengkap mengiringkan ketua mereka, hampir seratus orang banyaknya karena sebagian kecil masih melakukan penjagaan di sekeliling perkampungan mereka.
Berita tentang keluarnya ketua Thai-san-pai segera terdengar oleh semua orang yang sedang berada di sekitar perkampungan Thai-san-pai dan berbondong-bondong mereka datang memasuki halaman depan perkampungan yang luas. Diam-diam Thai-san Sianjin dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang mendampinginya, mengamati siapa yang datang berkumpul.
Thai-san Sianjin merasa terkejut juga ketika melihat betapa banyaknya para tokoh kang-ouw yang kini berkumpul di luar pekarangan depan perkampungan Thai-san-pai. Yang membuat dia dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang menjadi tamunya, merasa agak khawatir adalah hadirnya dua rombongan, yaitu Huo Lo-sian dan anak buahnya yang didampingi Bu-tek Sin liong Cu Liong, majikan Bukit Merak dan puterinya Cu Ai Yin!
Para pimpinan Thai-san-pai itu memang tidak mengenal Ai Yin, akan tetapi mereka tahu siapa kakek tinggi besar muka merah itu! Rombongan kedua yang membuat mereka terkejut adalah rombongan yang terdiri dari tiga orang, yaitu Kong Sek, Cui-beng Kui-ong, dan Song-bun Mo-li. Mereka memang tidak mengenal Kong Sek, akan tetapi mereka tahu siapa kakek dan nenek itu, yang merupakan datuk sesat yang amat terkenal dan ditakuti di dunia kang-ouw.
Selain dua rombongan ini, masih ada beberapa orang tokoh sesat yang hadir, termasuk para tokoh sungai telaga (golongan pembajak) dan para tokoh rimba persilatan (golongan perampok). Akan tetapi, perasaan Thai-san Sianjin Ketua Thai-san-pai menjadi tenang ketika dia melihat pula hadirnya mereka dari golongan bersih, partai-partai persilatan yang terdiri dari para pendekar seperti Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin dari Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang dan beberapa orang hwesio yang mereka duga adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Kemudian baru muncul Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka.
Setelah berada di luar dan berhadapan dengan banyak orang itu, Thai-san Sianjin lalu menjura dan dengan sikap tenang dia berkata.
"Saudara-saudara sekalian! Kami Thai-san-pai tidak sedang mengadakan perayaan dan tidak menyebar undangan, akan tetapi Saudara-saudara berdatangan dari semua penjuru dan memasuki wilayah kami tanpa memberitahu. Ada kepentingan besar apakah yang membuat Saudara sekalian datang dan mengepung tempat kami?"
Huo Lo-sian tertawa bergelak sambil menghadapkan mukanya ke atas dan perutnya bergelombang,
"Hua-ha-ha, Ketua Thai-san-pai, jangan pura-pura bodoh dan menyembunyikan kenyataan. Beritanya sudah tersebar bahwa Thai-san-pai yang mencuri harta karun itu! Aku sudah menduga sejak semula. Hayo serahkan setengahnya kepadaku dan aku akan membantumu mengusir semua orang ini!"
"Heh, Lo-sian! Jangan lupa, akulah yang akan mengalahkan semua orang ini kalau mereka berani campur tangan!" kata Bu-tek Sin-liong dengan lantang dan dia memandang ke sekeliling sikapnya menantang.
"Ho-ho, nanti dulu, Huo Lo-sian!" Tiba-tiba muncul Hek Mo-ko, didampingi Pek Mo-ko.
"Kalau harta karun itu berada di Thai-san, maka sudah sepantasnya kalau dibagi rata kepada semua penghuni Thai-san termasuk kami. Ini baru adil namanya dan kami menuntut bagian kami sebagai penduduk Thai-san!"
"Hi-hi-heh-heh-heh""!" Terdengar suara melengking setengah tawa setengah tangis yang keluar dari leher Song-bun Mo-li sehingga membuat banyak orang merasa serem.
"Kui-ong, dengar itu orang-orang sinting bicara seenak perutnya sendiri, heh-heh-hi-hik!"
"Hemm, kalian orang-orang tidak tahu malu! Membicarakan harta karun yang menjadi hak milik kami!" kata Cui-beng Kui-ong dengan suaranya yang berat dan mengandung wibawa kuat sekali.
Mendengar ini, Ceng Ceng yang berdiri di samping Thai-san Sianjin berkata dengan suaranya yang lembut namun nyaring sehingga terdengar banyak orang.
"Cui-beng Kui-ong, bicara tentang hak milik, siapa yang mempunyai hak milik atas harta karun itu? Aku berada di sini, apakah engkau tidak malu mengatakan bahwa harta karun itu hak milikmu?"
Banyak suara terdengar memberi sambutan atas ucapan Ceng Ceng itu, terutama mereka yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah Pek-eng Sianli, puteri mendiang Liu Bok Eng yang dianggap berhak atas harta karun itu. Kui-tung Sin-kai yang sudah tahu dari Ceng Ceng tentang harta karun itu, berkata lantang.
"Hemm, siapa pun sudah mendengar bahwa harta karun itu yang berhak adalah bekas Panglima Liu Bok Eng yang diwariskan kepada puterinya, Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng! Kemudian harta karun itu dicuri orang yang mengaku sebagai penghuni Thai-san. Sungguh lucu kalau sekarang ada orang lain yang mengakui sebagai haknya!"
Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong memandang kepada ketua Ang-tung Kai-pang dengan mata melotot, lalu dia menghardik.
"Pengemis kotor jangan ikut campur!" Tangannya yang memegang tongkat bergerak, menudingkan tongkat berujung runcing itu ke arah Kui-tung Sin-kai dan tiba-tiba ada sinar hitam kecil meluncur dari ujung tongkat itu ke arah leher ketua Kai-pang itu!
"Tringg""!" Sinar hitam itu adalah sebatang panah kecil dan menyambar cepat, namun Kui-tung Sin-kai bukan orang sembarangan. Dia sudah mengangkat tongkat merah dengan gerakan menangkis dan panah kecil itu tertangkis dan terpental jauh!
"Hi-hi-heh-heh, Kui-ong! Mengapa melayani segala macam jembel busuk? Harta karun berada di Thai-san-pai, mari kita bekuk ketuanya dan paksa dia menyerahkan harta itu kepada kita, hi-hi-hik!" Song-bun Mo-li melangkah maju. Cui-beng Kui-ong juga maju diikuti Kong Sek yang sudah mencabut pedangnya.
"Ho-ho, perlahan dulu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Kami juga berhak atas harta karun itu karena harta itu sudah berada di Thai-san. Kami penghuni Thai-san sejak dulu!" terdengar bentakan dan Hek Mo-ko bersama Pek Mo-ko sudah melompat ke depan, diikuti barisan anak buah mereka!
"Ha-ha, kami juga tidak mau ketinggalan! Kalau Thai-san-pai mau membagi dengan kami, kami akan membantu Thai-san-pai untuk mengusir kalian!" kata pula Huo Lo-sian.
"Hai, kalian semua dengarlah baik-baik!" tiba-tiba Kong Sek berseru dengan suara lantang.
"Harta karun itu tadinya berada di Bukit Sorga, tempat kediaman dan milik Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li. Oleh karena itu mereka berdualah yang sesungguhnya berhak atas harta itu. Kini ada yang mencurinya dan pencurinya adalah Thai-san-pai, maka jangan halangi kami untuk merampasnya kembali dari Thai-san-pai!"
"Kong Sek, manusia tak mengenal malu! Engkau sejak dulu belajar ilmu dari Ayahku, engkau murid Ayahku, bagaimana kini engkau mengaku murid kakek dan nenek iblis ini?" Cu Ai Yin membentak marah sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah pemuda yang tadinya menjadi suhengnya, bahkan biarpun belum sah, menjadi tunangannya itu.
Sambil tersenyum mengejek Kong Sek menjawab.
"Ayahmu adalah calon ayah mertuaku, sedangkan guruku sekarang adalah Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li!"
"Keparat!" Bu-tek Sin-liong membentak sambil menatap wajah Kong Sek dengan mata terbelalak marah.
"Siapa sudi mempunyai mantu atau murid seorang jahanam macam kamu?"
Keadaan menjadi tegang dan agaknya Thai-san-pai akan menghadapi penyerbuan banyak pihak yang agaknya percaya bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai dan ingin berlumba merebutnya.
Pada saat itu, tanpa memperlihatkan diri, Pouw Cun Giok juga berada di situ. Dia bersembunyi di atas sebuah pohon besar dan hanya mengintai untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Diam-diam dia telah melakukan penyelidikan setelah berpisah dari kakak beradik kembar The Kui Lan dan The Kui Lin. Kemudian, mendengar berita bahwa harta karun berada di Thai-san-pai, dia datang pula ke tempat itu, hanya tidak memperlihatkan diri.
Demikian pula dengan Yauw Tek dan Li Hong. Mereka datang pula ke situ dan Li Hong tadinya ingin keluar dari persembunyian untuk menemui kakak angkatnya, Ceng Ceng, dan membantunya membela Thai-san-pai. Akan tetapi Yauw Tek menahannya dan menganjurkannya untuk tetap bersembunyi, mengintai dan melihat perkembangan selanjutnya. Li Hong kini telah mengalami perubahan yang tentu akan mengherankan hati mereka yang telah mengenalnya. Dahulu ia merupakan seorang gadis yang berwatak liar dan galak, tidak dapat dikendalikan siapa pun. Akan tetapi kini, setelah ia menyerahkan dirinya dan menjadi kekasih Yauw Tek, ia seolah-olah menjadi jinak dan penurut.
Melihat keadaan menjadi tegang dan gawat, Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, segera maju dan menggabungkan diri dengan tuan rumah, yaitu Thai-san-pai. Mereka berdiri dekat Ceng Ceng dan memandang kepada Cui-beng Kui-ong dengan mata berapi karena dendam dan marah teringat akan dua orang murid wanita yang telah dihina dan dibunuh kakek iblis itu!
"Totiang, kami dari Go-bi-pai akan membantu Thai-san-pai menghadapi para iblis dan manusia sesat yang hendak mengganggu!" kata Thian-li Niocu setelah memberi hormat kepada Thai-san Sianjin. Ketua Thai-san-pai membalas penghormatan itu sambil membungkuk hormat dan senang.
Setelah orang-orang Go-bi-pai maju membela Thai-san-pai, kini mereka yang berjiwa pendekar dan tahu bahwa Ceng Ceng bermaksud mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, berbondong menggabungkan diri dengan Thai-san-pai. Mereka adalah lima orang Hoa-san Ngo-heng-tin, Ang-tung Kai-pang, dan beberapa orang tokoh bersih dunia kang-ouw. Hanya lima orang hwesio (Pendeta Buddha) dari Siauw-lim-pai yang sejak tadi hanya diam saja, kini masih berdiri, agaknya tidak memihak dan hanya ingin melihat perkembangan keadaan yang menegangkan itu.
Perlu diketahui bahwa Pemerintah Kerajaan Boan (Mongol) berusaha mendekati Siauw-lim-pai. Keluarga Kaisar Mongol sebagian besar beragama Buddha, maka dengan sendirinya mereka itu condong berbaik dengan para pendeta Buddha (Hwesio). Apalagi karena mereka mengetahui bahwa Siauw-lim-pai yang menyebarkan Agama Buddha juga dikenal sebagai tempat penggemblengan para pendekar yang tangguh. Pemerintah Mongol bersikap longgar kepada para hwesio, bahkan membebaskan mereka dari pajak dan kewajiban lain yang memberatkan.
Oleh karena sikap yang baik dari Pemerintah Mongol inilah yang membuat para pimpinan Siauw-lim-pai berhati-hati dan memesan kepada para muridnya agar bersikap bijaksana dan lunak, tidak memperlihatkan sikap bermusuhan atau menentang pemerintah Kerajan Mongol. Ini pula yang menyebabkan lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu kini hanya sebagai penonton yang tidak berpihak.
Melihat betapa banyaknya orang yang menggabungkan diri dengan Thai-san-pai, rombongan Huo Lo-sian, Hek Pek Mo-ko, dan Cui-beng Kui-ong menjadi ragu. Keadaan Thai-san-pai kini sungguh kuat. Selain Thai-san-pai sendiri merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, kini yang bergabung dengan mereka adalah wakil-wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang, masih ditambah lagi dengan adanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, dua orang gadis kembar The Kui Lan dan The Kui Lin dari Lembah Seribu Bunga, dan beberapa orang pendekar lain yang bersikap membela Thai-san-pai. Bukan saja Thai-san-pai kini menjadi kuat sekali, akan tetapi mereka pun masih harus berhadapan dengan para saingan yang hendak memperebutkan harta karun!
Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk yang gila ilmu silat dan gila bertanding! Kini, melihat banyaknya tokoh persilatan berkumpul di situ, kedua tangannya sudah gatal-gatal rasanya karena ingin sekali dia untuk pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan mereka. Dia tidak peduli akan harta karun, tidak membutuhkan harta karun. Yang dibutuhkan adalah mempertahankan nama julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding)! Dia ingin membuktikan bahwa tidak percuma dia berjuluk Tanpa Tanding. Dengan gagah dia lalu melangkah maju dan memandang ke sekeliling.
"Sobat sekalian!" katanya lantang.
"Aku Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak peduli apakah harta karun itu ada ataukah tidak. Akan tetapi setelah di sini berkumpul banyak tokoh persilatan yang terkenal, aku tidak mau sia-siakan kesempatan ini! Aku tantang siapa saja yang berani maju untuk bertanding ilmu silat dengan aku untuk menemukan siapa yang pantas menjadi Thian-te Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)!"
Biarpun tantangan ini membuat merah muka para datuk yang tentu saja tidak takut melawan Bu-tek Sin-liong, namun pada saat itu mereka hanya memikirkan harta karun dan sama sekali tidak ingin bertanding hanya untuk mencari kemenangan kosong belaka.
Pada saat itu, Pouw Cun Giok mengambil keputusan untuk bertindak. Dia tahu bahwa orang-orang yang biasanya disebut para datuk dan tokoh dunia persllatan itu sudah dimabok harta karun yang kabarnya menghebohkan itu. Untuk mendapatkan dan memperebutkan itu, agaknya mereka siap untuk mengadu nyawa! Hal ini amat berbahaya karena darah mereka sedang panas. Kalau tantangan Bu-tek Sin-liong itu ada yang menyambutnya, bukan tidak mungkin perkelahian itu akan menjalar dan orang-orang akan nekat menyerbu Thai-san-pai untuk merebut harta karun yang dikabarkan berada di Thai-san-pai. Biarpun banyak yang membela Thai-san-pai, namun pertempuran besar itu pasti akan menjatuhkan banyak korban terbunuh.
Dengan pengerahan gin-kang yang memang menjadi keahliannya sehingga dengan gin-kangnya yang amat tinggi itu dia dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sukar diikuti dengan pandang mata dan dia mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), Pouw Cun Giok melompat ke hadapan mereka dan berkelebatan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar. Semua orarg terkejut karena hanya melihat bayangan yang berkelebat ke sana sini, lalu terdengar suaranya lantang.
"Para Lo-cianpwe dan Saudara sekalian! Jangan mudah ditipu berita bohong yang disebarkan orang untuk memancing kekacauan. Harta karun itu tidak berada di Thai-san-pai. Harap Cu-wi (Anda Sekalian) menyadari ini dan jangan tertipu. Harta karun itu berada di tangan orang yang sengaja menyebarkan fitnah kepada Thai-san-pai agar Cu-wi saling tuduh dan saling bentrok di sini. Kalau Cu-wi memaksa dan menuduh Thai-san-pai, terpaksa aku yang muda dan bodoh akan membelanya!" Setelah berhenti bicara, Cun Giok juga berhenti bergerak cepat dan kini dia telah berdiri dekat Thai-san Sianjin.
"Giok-ko""!" seruan ini keluar dari mulut Ceng Ceng, Kui Lan, dan Kui Lin. Mereka girang melihat munculnya pemuda ini. Terutama sekali Ceng Ceng, begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cun Giok, hati mereka berdua tergetar.
"Bu-eng-cu Pouw Cun Giok! Jahanam busuk!" Kong Sek memaki dan dia hendak langsung menyerang, akan tetapi Cui-beng Kui-ong memegang lengannya dan mencegahnya. Orang-orang yang belum mengenal Cun Giok, terkejut mendengar disebutnya Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) karena nama ini menjadi amat terkenal setelah peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Kong Tek Kok dan banyak perajurit di kota raja.
Melihat Thai-san-pai terancam, Hoa-san Ngo-heng-tin maju dan dengan lantang Thian-huo Tosu berkata.
"Kami dari Hoa-san-pai tidak mencari permusuhan, akan tetapi kami percaya bahwa Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu. Maka kalau mereka difitnah, kami siap membelanya!"
Biarpun tidak mengeluarkan kata-kata, namun sikap para murid Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang, juga beberapa orang pendekar, tampak dari sikap mereka bahwa mereka siap bertempur membela Thai-san-pai!
Thai-san Sianjin kini mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata.
"Sobat sekalian, percayalah bahwa kami sama sekali tidak tahu apa-apa tentang harta karun, apalagi mencurinya. Kalau kami mencurinya, tidak mungkin para orang gagah di sini membela kami. Maka, kami harap kalian tidak sembarangan menuduh dan mempercayai berita bohong, dan memancing keributan dan permusuhan di sini. Kalau memang ada yang mencuri harta karun dan mengaku tinggal di Thai-san, marilah kita berlumba mencarinya, dan tidak saling bermusuhan memperebutkan barang yang tidak ketahuan di mana adanya!"
"Siapa yang butuh dan peduli akan harta benda? Sekarang, selagi kita berkumpul, hayo aku tantang siapa saja yang berani pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan aku, Bu-tek Sin-liong, silakan maju!" Terdengar kakek gagah perkasa yang gila bertanding itu berseru.
Akan tetapi, semua orang menganggap ucapan Thai-san Sianjin tadi benar dan mereka tidak peduli akan tantangan Bu-tek Sin-liong. Selain agak jerih menyambut tantangan Majikan Bukit Merak ini, juga mereka semua datang ke Thai-san karena tertarik kepada harta karun Kerajaan Sung, bukan untuk mengadu ilmu yang mungkin akan mendatangkan maut bagi mereka. Mati untuk sesuatu yang tidak ada artinya, sungguh bodoh! Mereka lalu mulai bubaran meninggalkan tempat itu. Ai Yin ingin sekali menemui Cun Giok, akan tetapi ayahnya sudah menarik lengannya, diajak pergi dari situ bersama Huo Lo-sian dan yang lain-lain.
Sementara itu, dengan ramah dan hormat Thai-san Sianjin mempersilakan mereka yang tadi berpihak dan mendukung Thai-san-pai untuk masuk dan berbincang-bincang di bangunan induk Thai-san-pai. Yang menerima undangan itu adalah Thian-li Niocu dari Go-bi-pai dan lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai, Hoa-san Ngo-heng-tin, The Kui Lan dan The Kui Lin bersama dua orang murid Bu-tong-pai Liong Kun dan Thio Kui, Liu Ceng Ceng, dan Pouw Cun Giok.
Setelah semua orang duduk dalam ruangan yang luas, Thai-san Sianjin mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka semua. Para tamu yang dlhormati itu dijamu minuman dan Ketua Thai-san-pai itu lalu berkata dengan ramah.
"Terima kasih atas pembelaan Cu-wi yang terhormat, terutama sekali atas kepercayaan Cu-wi bahwa kami sungguh tidak mengambil harta karun itu. Kami juga mendengar bahwa harta karun peninggalan Kerajaan Sung itu kabarnya dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Kalau hal itu benar, marilah kita masing-masing menyelidiki karena Thai-san itu luas sekali. Akan tetapi tentu Cu-wi sudah mengetahui bahwa sesungguhnya yang berhak memiliki adalah Nona Liu Ceng Ceng ini, yang menerima peta sebagai warisan ayahnya, yaitu Panglima Kerajaan Sung, mendiang Liu Bok Eng. Sekarang, kami harap Nona Liu suka menceritakan kembali asal-usul harta karun itu kepada kami semua agar kami mengetahui lebih jelas, juga niat Nona Liu mendapatkan harta karun itu."
Semua mata memandang kepada Ceng Ceng. Cun Giok tidak berani memandang langsung karena setiap kali bertemu pandang dengan gadis yang dicintanya itu, hatinya tergetar. Dia merasa bahwa dia telah melukai perasaan hati gadis itu ketika dahulu menceritakan bahwa dia telah bertunangan dengan gadis lain, padahal antara dia dan Ceng Ceng sudah terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam. Akan tetapi dalam pandang mata Ceng Ceng kepadanya, sama sekali tidak terkandung penyesalan atau kemarahan, hanya keharuan yang membuat Cun Giok semakin tunduk, iba dan haru memenuhi hatinya.
Kemudian terdengar Ceng Ceng bercerita dengan suaranya yang selalu lembut dan tenang itu.
"Cu-wi yang terhormat, saya akan menceritakan dengan singkat saja. Harta karun itu adalah harta Kerajaan Sung yang dikorup atau dicuri oleh Thaikam Bong yang dulu berkuasa dalam istana. Harta itu lalu disembunyikan oleh Thaikam Bong dan dia membuat sehelai peta untuk tempat persembunyian harta itu. Ketika Ayah sebagai panglima menyerbu dan membinasakan thaikam yang korup, jahat dan yang bersekutu dengan orang Mongol itu, Ayah menemukan peta itu dan menyimpannya. Kemudian sebelum Ayah dan Ibu tewas dikeroyok pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan dan para pembantunya, Ayah meninggalkan peta itu kepada saya. Dengan cara yang licik Panglima Kim Bayan dapat memaksa saya dan Twako Pouw Cun Giok ini dengan menawan adik angkat saya Tan Li Hong. Kami terpaksa menyerahkan peta dan membantunya mencari harta karun. Ternyata harta karun itu ditanam di Bukit Sorga akan tetapi setelah kami temukan, peti tempat harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Kami berhasil meloloskan diri dan sejak itulah tersiar berita bahwa harta karun itu dicuri orang dari Thai-san maka semua orang lalu berbondong-bondong datang ke Thai-san. Kami sendiri juga datang ke Thai-san karena saya merasa berkewajiban untuk menemukan harta karun itu dan memenuhi pesan Ayahku bahwa harta karun itu harus saya serahkan kepada yang berhak menerimanya."
"Siapa yang berhak menerimanya itu? Nona Liu, harap jelaskan agar kita semua mengetahui dan merasa yakin bahwa kami berada di pihak yang benar," kata Thai-san Sianjin.
"Seperti yang sudah saya ceritakan kepada siapa saja, saya sendiri atau mendiang Ayah sama sekali tidak menginginkan harta karun itu untuk diri kami sendiri. Harta karun itu milik Kerajaan Sung, maka jangan sampai terjatuh ke tangan Pemerintah Mongol atau ke tangan orang lain. Yang berhak menerimanya adalah para patriot yang akan berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol."
Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.
"Kalau demikian tujuannya, kami semua siap untuk membantumu menemukan harta karun itu, Nona Liu!" kata mereka. Mereka lalu bersepakat untuk mencari secara berpencar dan kalau ada yang menemukan tanda-tanda di mana adanya harta karun itu, mereka akan memberi kabar melalui Thai-san-pai agar mereka dapat bersama-sama merampas harta karun itu untuk diserahkan kepada Liu Ceng Ceng agar dapat disumbangkan kepada para patriot pejuang. Setelah bersepakat, mereka pun berpamit.
Yang masih tinggal di Thai-san-pai kini adalah Pouw Cun Giok, Liu Ceng Ceng, The Kui Lan, The Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Enam orang muda ini mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap dan saling berkenalan. Kui Lin dengan lincahnya memperkenalkan dua orang murid Bu-tong-pai kepada Cun Giok. Dalam suasana gembira, mereka mengatur rencana pencarian harta karun itu.
"Enci Ceng Ceng, kami berdua akan membantumu dan kami akan mencari. Kalau berhasil, tentu kami akan memberi kabar melalui Thai-san-pai," kata Kui Lan.
"Kami berdua akan menemani kalian, Adik Lan dan Lin!" kata Liong Kun gembira.
Ceng Ceng dan Cun Giok tersenyum. Dua orang pemuda Bu-tong-pai itu sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagum dan sukanya kepada dua orang gadis kembar itu.
"Baiklah, dan terima kasih atas bantuan kalian," kata Ceng Ceng.
Dua pasang orang muda itu setelah berpamit kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, juga kepada pimpinan Thai-san-pai, lalu meninggalkan perkampungan itu, melakukan perjalanan berempat untuk menyelidiki harta karun yang masih belum diketahui di mana tempatnya dan siapa pula pencurinya.
Seperti dengan sendirinya, tanpa berunding dan bersepakat, Cun Giok dan Ceng Ceng juga berpamit kepada tuan rumah untuk melanjutkan penyelidikan mereka.
"Mudah-mudahan kalian berdua memperoleh hasil yang baik, Pouw-sicu dan Liu-siocia. Pinto juga akan menyebar murid Thai-san-pai untuk melakukan penyelidikan lagi," kata Ketua Thai-san-pai.
Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan berdua, keluar dari perkampungan Thai-san-pai tanpa mengeluarkan suara. Padahal, seribu satu macam ucapan yang memenuhi hati mereka, akan tetapi entah mengapa, sukar rasanya untuk bicara setelah mereka kini berdua saja. Karena merasa seperti terjebak ke dalam suasana hening dan macet ini.
Sebagai seorang wanita, Ceng Ceng merasa sukar dan malu untuk membuka pembicaraan. Akan tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak nyaman rasanya di hati sehingga ia menarik napas panjang dua kali. Tarikan napas panjang yang halus ini tidak terlewatkan oleh pendengaran Cun Giok. Dia tiba-tiba merasa betapa canggung dan tidak enaknya suasana itu dan dia merasa telah membuat gadis yang dikasihinya ini menderita yang dinyatakan dengan helaan napas panjang dua kali tadi.
"Ceng-moi......"
"Giok-ko......" Entah siapa yang mendahului, akan tetapi keduanya berhenti melangkah dan saling pandang. Agaknya, hanya dengan menyebut nama itu saja sudah mewakili segenap perasaan yang menekan menyatakan diri!
"Ceng-moi, mari kita mengaso sebentar. Duduklah," kata Cun Giok sambil menghampiri sekumpulan batu yang cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atas batu. Setelah mereka duduk, Cun Giok mendapatkan ketenangan hatinya sehingga tanpa ketegangan seperti yang dia rasakan tadi, dia bertanya.
"Ceng-moi, cukup lama kita saling berpisah. Bagaimana keadaanmu selama ini?"
"Terima kasih kepada Thian (Tuhan) aku selalu dalam lindungan-Nya dan baik-baik saja. Bagaimana dengan engkau, Giok-ko?"
"Aku juga baik-baik saja, Ceng-moi." Pertanyaan pertama mereka itu saja yang dikeluarkan dengan suara penuh perhatian sudah menunjukkan betapa mereka itu selalu saling memikirkan dan saling mengkhawatirkan.
"Ceng-moi, mengapa engkau hanya seorang diri saja? Mana Adik angkatmu, mengapa...... Li Hong tidak bersamamu?"
Ceng Ceng tersenyum dan melihat senyum itu saja, belum mendengar jawabannya, sudah membuat hati Cun Giok lega. Ah, baru sekarang dia merasakan betapa dekat dengan Ceng Ceng mendatangkan kedamaian dan agaknya tiada hal yang dapat merisaukannya karena sikap gadis itu selalu demikian tenang, sabar, dan penuh senyum tulus seolah tidak ada masalah apa pun yang akan mampu menggoyahkannya.
"Adikku yang manis dan bengal itu. Entah kenapa ia menghilang dan tidak kembali padaku. Akan tetapi aku tidak khawatir, Giok-ko, karena ada Yauw-twako yang mengejarnya dan sekarang tentu Yauw-twako sudah menemaninya."
"Yauw-twako? Siapa itu? Apa yang terjadi?" tanya Cun Giok heran.
"Panjang ceritanya, Giok-ko. Akan tetapi yang lain itu nanti kuceritakan, sekarang berita yang amat menggembirakan dulu untukmu."
"Eh? Berita baik untukku? Apa itu, Ceng-moi?"
"Ketahuilah bahwa Adik Tan Li Hong itu adalah piauw-moimu (adik misanmu)."
"Apa? Bagaimana......?"
"Giok-ko, ayah dari Li Hong, yaitu Tan Kun Tek yang dulu tinggal di Seng-hai-lian, adalah kakak dari mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian."
Cun Giok terbelalak akan tetapi hatinya girang.
"Ah, sungguh menggembirakan! Li Hong yang nakal, dan galak itu adikku sendiri! Ya, aku ingat bahwa Suhu pernah bilang Ibu mempunyai seorang kakak dekat Nan-king, akan tetapi karena tak pernah bertemu, aku lupa lagi. Kiranya kakak Ibuku itu ayah Li Hong! Akan tetapi, bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, Ceng-moi?"
"Aku ikut Hong-moi ke Pulau Ular untuk bertemu dengan ibunya yang sudah kita kenal. Ingat waktu kita berdua berkunjung ke pulau berbahaya itu?"
"Tentu saja aku ingat. Ibu Li Hong adalah Ban-tok Kui-bo......"
"Bukan, Giok-ko. Ketika kita berkunjung ke sana, Ban-tok Kui-bo adalah gurunya, bukan ibunya. Akan tetapi sekarang ia telah menjadi ibunya, ibu tiri."
"Eh? Aku tidak mengerti. Kaubilang tadi Li Hong itu puteri pamanku......"
"Benar. Paman Tan Kun Tek itu dahulu sebelum menikah dengan ibu kandung Hong-moi, adalah pacar Ban-tok Kui-bo yang kini berganti julukan Ban-tok Niocu. Nah, ketika Paman Tan Kun Tek menikah dengan gadis lain, ia menjadi marah. Ia mendendam dan ketika Paman Tan Kun Tek mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Adik Tan Li Hong, ia lalu menculik anak itu, dibawanya ke Pulau Ular dan diambil murid."
"Ah, kasihan sekali Hong-moi!"
"Akan tetapi semua itu kini berakhir dengan kebahagiaan bagi keluarga itu, Giok-ko. Setelah Hong-moi dewasa, Ban-tok Niocu menceritakan semua itu dan membiarkan Hong-moi mencari ayah ibunya. Bahkan mereka berdua telah menyelamatkan Paman Tan Kun Tek dan isterinya yang ditawan Kim Bayan. Akhirnya Paman Tan Kun Tek dan isterinya tinggal di Pulau Ular dan Ban-tok Niocu menjadi isteri Paman Tan Kun Tek. Mereka menjadi satu keluarga yang bahagia dan tidak terdapat permusuhan lagi di antara mereka. Nah, ketika aku berkunjung ke Pulau Ular bersama Hong-moi, Paman Tan Kun Tek yang mendengar disebutnya namamu, lalu menceritakan tentang mendiang ibumu kepada kami. Wah, Hong-moi merasa terharu dan gembira bukan main ketika mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya dan ia ingin sekali segera bertemu dengan kakak misannya, Giok-ko!"
Cun Giok tertawa.
"Ha-ha, anak nakal itu! Kiranya adikku sendiri! Akan tetapi, di mana ia sekarang dan siapa orang yang kausebut Yauw-twako tadi, Ceng-moi?"
"Begini, Giok-ko. Aku dan Hong-moi meninggalkan Pulau Ular dan pergi ke Thai-san untuk mencari harta karun seperti juga semua orang setelah mendengar bahwa harta karun itu dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Akan tetapi kami berdua ditemani seorang pemuda bernama Yauw Tek. Sebelum kami berangkat, anak buah Pulau Ular melaporkan bahwa ada seorang pemuda berperahu dikeroyok oleh banyak pasukan Mongol dalam empat buah perahu besar. Mendengar ini kami lalu pergi menolongnya. Dia terluka akan tetapi tidak parah dan setelah kami selamatkan, dan kami bawa ke pulau, dia menceritakan bahwa dia bernama Yauw Tek dan sejak kecil ayah ibunya telah meninggal. Dia merantau sampai ke Himalaya dan mempelajari ilmu silat dari para pertapa di sana, kemudian dia belajar pula dari para Pendeta Lhama di Tibet. Ilmu silatnya hebat juga. Ketika mendengar bahwa aku dan Hong-moi hendak mencari harta karun yang dicuri orang dan berada di Thai-san, dia menyatakan hendak ikut dan membantu. Sikapnya baik dan sopan sekali, maka kami tidak keberatan dia menyertai kami."
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, menarik sekali. Lalu bagaimana, Ceng-moi?"
"Kami bertiga mengunjungi Ang-tung Kai-pang dan perkumpulan itu ditantang Hek Pek Mo-ko. Karena Hek Pek Mo-ko amat lihai, maka Yauw Tek lalu membantu Ang-tung Kai-pang, bersama Kui-tung Sin-kai akan menghadapi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi ketika mereka berhadapan, Hek Pek Mo-ko memperlihatkan sikap yang kurang ajar. Hong-moi marah dan menyerang mereka, aku membantunya. Hek Pek Mo-ko melarikan diri dan Hong-moi melakukan pengejaran. Karena khawatir kalau-kalau Hong-moi terjebak, maka Yauw Tek mengejarnya. Setelah menanti beberapa lama dan mereka belum kembali, aku lalu ikut mengejar. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan mereka dan sampai sekarang aku berpisah dari mereka. Nah, begitulah, Giok-ko."
"Hemm, Hong-moi memang terlalu berani sehingga terkadang kurang perhitungan dan hal ini dapat membahayakan dirinya sendiri. Aku akan mencarinya...... hemm, mari kita pergi mencarinya, Ceng-moi. Aku khawatir kalau ia mengalami hal yang membahayakan."
"Jangan khawatir, Giok-ko. Aku yakin bahwa dengan adanya Yauw-twako, ia akan selamat. Yauw-twako benar-benar lihai, Giok-ko, dan selain dari itu...... mereka berdua...... agaknya kalau aku tidak salah kira, mereka berdua itu saling mencinta."
Cun Giok mengangguk-angguk.
"Hemm, begitukah? syukurlah kalau ia menemukan seorang pemuda yang tepat untuk menjadi calon suaminya."
"Kalau engkau merasa khawatir, mari kita mencari mereka, Giok-ko. Ketika itu, Hong-moi pergi mengejar Hek Pek Mo-ko, dan kedua iblis itu melarikan diri, kukira mereka itu pasti kembali ke tempat tinggal mereka yaitu di sebelah Utara pegunungan ini. Tentu Hong-moi dan Yauw-twako juga mengejar ke arah sana."
"Ceng-moi, aku sungguh gembira sekali mendengar bahwa Li Hong adalah adik misanku sendiri. Dengan demikian aku harap ia tidak akan marah lagi kepadaku."
"Tidak, Giok-ko. Ia juga gembira sekali mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya. Ia tidak marah kepadamu, engkau tidak bersalah apa-apa, Giok-ko. O ya, engkau belum menceritakan tentang pengalamanmu sejak berpisah dari kami. Kemana saja engkau pergi, Giok-ko?"
Wajah Cun Giok berubah muram karena dia teringat akan peristiwa yang menyebabkan kematian tunangannya. Maka, beberapa lamanya dia tidak mampu memberi jawaban.
"Giok-ko, maafkan aku kalau pertanyaanku tadi mengganggumu. Kalau engkau tidak ingin menceritakan, sudahlah, aku tarik kembali pertanyaanku tadi."
Cun Giok menghela napas beberapa kali, menenangkan perasaannya baru menjawab.
"Aku yang minta maaf, Ceng-moi. Apa yang kualami memang membuat hatiku menjadi menyesal dan sedih sekali karena aku telah berbuat dosa yang besar sekali kepada tunanganku Siok Eng. Dosaku yang tak dapat diampuni lagi karena aku menyebabkan tunanganku itu, ayahnya, juga encinya dan kakak iparnya, mengalami kematian yang mengenaskan......" Cun Giok menundukkan mukanya karena merasa betapa kedua matanya menjadi basah oleh air mata.
"Aih, Giok-ko""! Engkau mengejutkan hatiku! Mereka tewas? Mengapa, Giok-ko? Engkau harus ceritakan padaku agar hatiku tidak merasa penasaran."
Cun Giok lalu dengan nada sedih menceritakan tentang terbasminya keluarga Siok Eng oleh putera Kim Bayan yang bernama Kim Magu dan temannya yang bernama Kui Con, di Cin-yang. Betapa mereka itu tewas gara-gara dua orang pemuda anak pejabat itu tergila-gila kepada Siok Eng dan Siok Hwa namun ditolak sehingga mereka lalu menggunakan paksaan, menculik dua orang wanita itu dan membunuh Siok Kan dan Chao Kung. Kemudian tunangannya, Siok Eng dan encinya itu pun tewas di tangan kedua orang muda itu.
"Aih, sungguh keterlaluan dua orang pemuda itu. Giok-ko, aku ikut merasa berduka dengan malapetaka yang menimpa keluarga tunanganmu! Betapa malang nasibmu, Giok-ko......" kata Ceng Ceng dan tiba-tiba ia teringat akan peristiwa yang ia alami di Cin-yang dahulu.
"Ah, aku teringat sekarang akan dua orang pemuda yang kauceritakan itu, Giok-ko! Dan aku pun teringat akan keluarga Siok yang mereka ganggu! Ah, aku pernah bertemu dengan tunanganmu itu, encinya, kakak iparnya, dan ayahnya!"
"Benarkah itu, Ceng-moi?" tanya Cun Giok.
"Aku pernah mendengar akan peristiwa itu dan sudah menduga bahwa engkaulah orangnya yang menolong mereka."
"Sama sekali tidak kusangka bahwa Enci Siok Eng adalah tunanganmu, Giok-ko. Aku sudah memberi hajaran cukup keras kepada dua orang pemuda she Kim dan she Kui itu, dan aku menitipkan keluarga Siok kepada Kepada Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam yang terkenal adil. Yo-thaijin berjanji akan melindungi keluarga itu. Bagaimana dua orang pemuda jahat itu dapat mengganggu lagi?"
"Ceng-moi, Yo-thaijin itu juga dibunuh oleh Panglima Kim Bayan sebelum peristiwa yang menimpa keluarga Siok terjadi."
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.
"Ah, sungguh jahat sekali Kim Bayan, bahkan puteranya juga amat jahat. Kiranya setelah kuberi hajaran kepada mereka, masih juga belum jera."
"Akan tetapi sekarang mereka takkan dapat melakukan kejahatan lagi, Ceng-moi."
"Engkau telah membunuh mereka, Giok-ko?"
Cun Giok menggelengkan kepalanya,
"Tidak, Ceng-moi. Aku telah banyak belajar darimu dan aku tidak mau membunuh orang yang tidak dapat melawan. Akan tetapi aku telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak mungkin dapat melakukan kekejaman mengganggu orang lagi."
Tiba-tiba Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan, dan ketika Cun Giok memandang kepadanya, gadis itu memejamkan kedua matanya dan sepasang alisnya berkerut.
"Ceng-moi, ada apakah......?"
Ceng Ceng sejenak tidak menjawab. Ia sedang melawan dan mendorong keluar perasaannya sendiri yang tiba-tiba muncul. Tadi ia merasa betapa diam-diam ada kegirangan menyelinap dalam hatinya mendengar bahwa Siok Eng, tunangan Cun Giok, telah tiada! Ia merasa betapa jahatnya perasaan ini sehingga untuk melawannya, ia mengeluarkan seruan dan memejamkan kedua matanya. Ia merasa betapa jahatnya perasaan itu, bergirang mendengar tunangan Cun Giok tewas! Akhirnya ia dapat menenangkan hatinya, membuka kedua matanya dan menghela napas panjang. Kedua matanya basah dan wajahnya berubah kemerahan. Ketika ia melihat betapa Cun Giok memandang kepadanya dengan heran dan khawatir, ia berkata lirih.
"Giok-ko, sudahlah, tidak baik mengenang kembali peristiwa lalu yang hanya mendatangkan perasaan duka dan mungkin akan mendatangkan perasaan dendam dan benci yang akan meracuni hati kita sendiri. Lebih baik kita sekarang melanjutkan perjalanan mencari Adik Li Hong, dan menyelidiki tentang harta karun itu. Aku merasa yakin bahwa harta karun itu pasti berada di pegunungan ini, entah di mana dan entah siapa yang kini menguasainya."
Cun Giok menghela napas panjang.
"Engkau benar sekali, Ceng-moi. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan mereka, menuju ke arah utara untuk mencari Li Hong.
Yauw Tek duduk di atas akar pohon yang tersembul memanjang dari permukaan tanah di luar hutan
(Lanjut ke Jilid 12)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
kecil dan Li Hong duduk di sebelahnya. Mereka berada di sebuah lereng yang tinggi dan pemandangan indah terbentang di bawah, depan mereka. Sejenak Yauw Tek mengamati wajah Li Hong, wajah yang jelita dan melihat rambut halus melingkar di leher yang putih halus itu, dia tidak dapat menahan gelora hatinya dan membelai rambut halus di leher gadis itu. Li Hong menggelinjang dan menoleh kepada pemuda itu, tersenyum senang melihat betapa pandang mata pemuda itu penuh kasih sayang kepadanya.
"Hong-moi, engkau sungguh cantik jelita""!" bisik Yauw Tek dan Li Hong merasa senang bukan main.
Selama ini, sejak peristiwa di dalam gubuk di mana karena pengaruh obat perangsang Li Hong menyerahkan diri kepada Yauw Tek, hubungan antara mereka berdua menjadi semakin mesra dan akrab. Yauw Tek selalu memperlihatkan sikap yang amat menyenangkan hatinya. Pemuda itu amat mencintanya, juga menghormatinya, sikapnya selalu sopan sehingga ia pun semakin jatuh cinta. Mendapat pujian itu, yang seringkali diucapkan Yauw Tek dengan pandang mata penuh kagum dan kasih sayang, Li Hong tersenyum dan di lain saat ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu yang merangkulnya.
"Koko, katakan bahwa engkau masih mencintaku," bisiknya.
"Aih, Hong-moi, mengapa engkau berkata demikian? Kata masih mencinta itu menunjukkan seolah cintaku kepadamu belum hilang dan kelak akan hilang! Tidak, Hong-moi, aku bukan masih mencintamu, melainkan selama hidupku akan mencintamu, bahkan setelah mati kelak aku ingin selalu bersamamu."
Mendengar ini, Li Hong menghela napas dengan hati merasa bahagia sekali dan ia menyandarkan kepala di dada yang bidang itu dan memejamkan matanya. Bibirnya tersenyum manis.
"Koko, aku ingin engkau ikut bersamaku ke Pulau Ular menemui Ayah dan kedua orang Ibuku dan di sana engkau dapat melamarku dengan resmi. Kita langsungkan pernikahan di sana."
"Moi-moi, apakah engkau sungguh mencintaku?"
Mendengar pertanyaan ini, Li Hong menegakkan diri dan memandang wajah pemuda itu dengan heran dan penasaran.
"Koko, kenapa engkau bertanya begitu? Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun hal itu belum diresmikan orang tuaku? Tentu saja aku mencintamu!"
"Engkau akan tetap mencintaku walaupun andaikata aku orang macam apa, bangsa apa, golongan apa dan siapapun juga orang tuaku?"
"Aneh-aneh pertanyaanmu ini, Koko. Bukankah orang tuamu telah tiada?"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi, Moi-moi. Jawabanmu amat penting bagiku."
"Baiklah, Koko. Aku tetap mencintamu walaupun engkau bangsa apa pun dan siapa pun orang tuamu. Aku telah menjadi isterimu dan selama hidupku aku akan tetap menjadi isterimu yang dicinta dan mencinta. Hanya kematian yang dapat memisahkan kita!" jawab Li Hong dengan tegas.
"Hong-moi......!" Yauw Tek merangkulnya dan mencium dahi gadis itu dengan mesra.
"Bahagia sekali hatiku mendengar jawabanmu, sungguh tidak keliru aku memilihmu menjadi kekasih dan calon isteriku!"
"Akan tetapi, mengapa engkau bertanya seperti itu, Koko?"
"Ini ada hubungannya dengan permintaanmu tadi, Hong-moi. Permintaanmu agar aku ikut denganmu ke Pulau Ular dan melamarmu kepada orang tuamu."
"Akan tetapi, bukankah hal itu sudah semestinya, Koko? Bukankah kita menghendaki menjadi suami isteri yang resmi, diresmikan orang tuaku?"
"Tentu saja, Moi-moi, aku ingin hidup denganmu sebagai suami isteri yang diresmikan orang tua. Akan tetapi tidak sekarang."
"Koko, apakah engkau ingin mencari harta karun itu lebih dulu?"
"Bukan hanya itu, Hong-moi." Pemuda itu menghela napas panjang lalu melanjutkan.
"Hong-moi, aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya aku berbohong ketika mengatakan bahwa orang tuaku telah meninggal dunia. Sebenarnya, Ayah Ibuku masih hidup. Karena itu, urusan pernikahan, untuk meminangmu maksudku, harus dilakukan oleh orang tuaku kepada orang tuamu."
"Ah, bagus sekali! Aku ikut girang bahwa ayah ibumu masih ada, Koko. Siapakah mereka dan di mana mereka tinggal? Mari kita menghadap mereka, Koko!"
Yauw Tek menggelengkan kepalanya.
"Sekarang belum dapat aku menceritakan, Moi-moi. Bersabarlah, kelak engkau pasti akan mengetahui dan yakinlah, pada suatu hari orang tuaku pasti akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu di Pulau Ular untuk menikahkan kita secara resmi."
"Akan tetapi, Koko......"
Yauw Tek mendekap muka Li Hong dan menciumnya.
"Bersabarlah, Hong-moi. Engkau cinta dan percaya padaku, bukan? Aku berjanji, setelah selesai urusanku di sini, engkau pasti akan kuajak menemui orang tuaku!"
Li Hong terpaksa mengangguk walaupun hatinya merasa penasaran dan heran sekali. Ia tidak ingin memaksa dan, membikin kekasihnya menjadi tidak senang.
Tiba-tiba Li Hong melompat dari pangkuan Yauw Tek, tangan kirinya meraih ke kantung senjata rahasianya dan cepat ia mengambil beberapa batang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang menjadi senjata rahasianya yang ampuh. Akan tetapi Yauw Tek menangkap lengannya.
"Tenang, Moi-moi. Jangan sampai salah menyerang bukan musuh!"
Li Hong memandang ke arah jajaran pohon besar darimana ia tadi mendengar gerakan orang. Muncul lima orang yang memiliki gerakan ringan, berpakaian seperti petani biasa namun sikap mereka gagah berwibawa. Lima orang itu dengan gesit berlompatan ke depan Yauw Tek dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap hormat sekali. Yauw Tek memandang tajam dan mengerutkan sepasang alisnya.
"Hemm, ada kepentingan apa kalian menghadap tanpa dipanggil?" tanyanya.
Seorang di antara lima orang itu, yang bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar limapuluh tahun, berkata setelah menempelkan dahi ke atas tanah.
"Mohon beribu ampun, Pangeran. Karena ada berita penting sekali, maka hamba berlima memberanikan diri menghadap tanpa dipanggil. Ampunkan kalau kami mengganggu."
"Cepat katakan! Ada berita penting apakah?"
"Ada berita bahwa harta karun telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan dan pasukannya. Kini mereka sedang bergerak membawa harta karun turun gunung, di sebelah selatan lereng sana." Orang itu menunjuk ke arah lereng tak jauh dari situ.
"Hemm, bayangi dan selidiki, kerahkan pasukan untuk membayangi, jangan lepaskan mereka."
"Baik, Pangeran. Hamba mohon pamit."
"Pergilah!"
Lima orang itu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan.
Li Hong masih berdiri terbelalak. Matanya terbuka lebar-lebar menatap wajah Yauw Tek dan mulutnya ternganga. Ia seolah telah berubah menjadi patung saking kaget dan herannya. Ia merasa seperti bermimpi! Yauw Tek seorang pangeran?
"Hong-moi......!" Yauw Tek mendekat dan merangkulnya.
Li Hong melangkah mundur.
"Kau...... kau...... seorang Pangeran? Akan tetapi mengapa......"
Yauw Tek maju, menangkap tangan Li Hong dan menariknya sehingga gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukannya.
"Hong-moi, ingat ucapanmu tadi. Engkau mencintaku dan akan selalu mencintaku tak peduli aku ini orang apa?"
Li Hong merasa lemas dan membiarkan dirinya dipeluk.
"Akan tetapi, kalau engkau seorang pangeran, mengapa engkau menyamar sebagai Yauw Tek? Siapakah engkau? Dan mengapa seorang pangeran berada di sini dan...... dan...... memperisteri aku......?"
"Mari kita duduk lagi, Hong-moi dan akan kuceritakan semua tentang diriku. Percayalah, aku tidak akan membohongimu, aku cinta padamu, Hong-moi."
Li Hong menjadi tenang kembali, walaupun jantungnya masih berdebar penuh keheranan dan ketegangan. Ia duduk di atas akar pohon dan Yauw Tek duduk di depannya.
"Dengarlah pengakuanku, Hong-moi dan kuharap engkau tidak akan menyesal mempunyai seorang calon suami seperti aku yang telah membohongimu. Aku adalah Pangeran Youtechin, sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat, terutama dari para Pendeta Lhama di Tibet. Belasan tahun aku bahkan tinggal di sana. Ayahku adalah Pangeran Banagan, masih adik tiri dari mendiang Kaisar Kubilai Khan. Ketika aku setahun yang lalu pulang ke kota raja, dan mengetahui bahwa aku telah mempelajari berbagai ilmu, Ayah, menugaskan aku untuk mengabdi Kerajaan Goan kami, dengan persetujuan Kaisar, bahkan aku mendapatkan tanda kekuasaan dari Kaisar. Aku bertugas mengamankan negara dan mengamati para pembesar kami yang menyeleweng. Aku telah melaporkan banyak pembesar yang korup dan jahat dan dari istana telah dikeluarkan perintah untuk menangkapi dan menghukum mereka. Karena itu, diam-diam aku dimusuhi banyak pembesar dan panglima yang menganggap aku sebagai ancaman bagi kedudukan mereka. Diam-diam mereka itu berusaha untuk membunuh atau menyingkirkan aku."
"Karena itukah engkau dulu dikepung dan dikeroyok di perairan Pulau Ular?"
"Ya, itu satu di antara usaha mereka membunuhku."
"Akan tetapi mengapa engkau berperahu dekat Pulau Ular dan ketika kami tolong, engkau mengaku bernama Yauw Tek?"
"Dalam perjalananku memang aku menyamar sebagai seorang pemuda Han bernama Yauw Tek. Terus terang saja, Hong-moi, aku mendengar berita tentang harta karun peninggalan Kerajaan Sung maka aku mewakili pemerintah untuk menyelidiki dan mendapatkan harta karun itu. Aku sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa Panglima Kim Bayan yang ditugaskan pemerintah, berniat untuk menguasai harta karun untuk dirinya sendiri. Setelah mendengar bahwa asal mula peta harta karun itu menjadi millk Nona Liu Ceng Ceng, maka aku mengambil kesimpulan bahwa sumber pertama yang akan dapat memberi keterangan jelas tentang harta karun itu adalah Nona Liu. Para pengikutku yang melakukan penyelidikan memberitahu bahwa Nona Liu berada di Pulau Ular, maka aku lalu menggunakan perahu menyusul ke sana. Akan tetapi setelah dekat, aku dikepung pasukan dan dikeroyok sehingga terluka. Untung ada keluargamu yang menolongku, Hong-moi. Ketika aku mendengar bahwa Nona Liu dan engkau akan menyelidiki ke Thai-san mencari harta karun, aku lalu menawarkan diri membantu dan kalian menerimaku. Itulah kesempatan baik bagiku untuk mendapatkan harta karun itu agar dapat kuserahkan kepada pemerintahan kami."
"Akan tetapi...... Ko...... eh, Pangeran......"
"Hush, Hong-moi. Jangan sebut aku pangeran. Sekarang ini aku masih tetap Yauw Tek bagimu. Kelak kalau engkau sudah menjadi isteriku dan tinggal di istana Ayah, boleh saja aku disebut Pangeran. Nah, engkau tadi hendak berkata apa, Hong-moi?"
"Koko, harta karun itu adalah peninggalan Kerajaan Sung, mengapa engkau hendak menyerahkannya kepada Kerajaan Mongol? Bukankah yang berhak adalah Kerajaan Sung atau pendukungnya?"
"Hong-moi, peraturan dalam perang, harta benda yang kalah menjadi hak milik yang menang, maka harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milik Kerajaan Mongol. Kerajaan Sung sudah terbasmi dan tidak ada lagi, bukan? Dan jangan lupa, aku adalah seorang Pangeran Mongol, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Kerajaan Mongol. Aku tidak menyalahkan Nona Liu Ceng Ceng dan teman-temannya kalau hendak menyerahkan harta itu kepada para pejuang, akan tetapi sekarang ini sudah tidak ada perang sehingga yang kalian sebut pejuang itu bukan lain adalah pemberontak. Apakah kalian menghendaki perang lagi yang selalu menyengsarakan rakyat jelata?"
"Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku tidak mengerti soal perang dan sebetulnya aku tidak begitu peduli. Aku hanya terbawa oleh Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok."
"Akan tetapi sekarang engkau adalah keluargaku, Hong-moi, keluargaku terdekat. Engkau isteriku walaupun belum diresmikan orang tua kita. Kalau urusan harta karun ini sudah selesai, orang tuaku pasti akan mengirim utusan untuk meminangmu dari orang tuamu di Pulau Ular, dan kita menikah dengan resmi. Maka, sekarang juga engkau harus mengambil keputusan, Hong-moi, engkau akan membantu aku, atau membantu orang lain?" Setelah berkata demikian, Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu merangkul Li Hong. Gadis itu balas merangkul.
Naga Beracun Eps 29 Naga Beracun Eps 12 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5