Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 42


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 42




   Kiranya masih ada pertalian keluarga antara pemimpin pemberontak ini dengan ayah mereka. Pantas nama keturunan mereka sama, yaitu she Chu! Juga A-hai terkejut sekali karena pemimpin pemberontak ini ternyata sudah dapat mengetahui akan ilmu kepandaiannya. Benar-benar seorang gagah perkasa yang cerdik dan tidak boleh dipandang ringan! Karena diperkenalkan, terpaksa mereka memperkenalkan nama mereka. Ketika mendengar bahwa pemuda yang memiliki mata amat tajam itu hanya bernama A-hai tanpa she, Chu Siang Yu mengerutkan alisnya akan tetapi tidak memberi komentar. Sebagai seorang gagah diapun tahu bahwa orang-orang kang-ouw memang banyak yang memiliki watak aneh dan dia mengira bahwa pemuda inipun tidak ingin memperkenalkan nama yang sebenarnya dan hanya memakai nama samaran saja.

   Isteri Chu Siang Yu segera tertarik dan suka sekali kepada Bwee Hong yang memang amat cantik jelita. Ia menggandeng tangan gadis ayu itu dan diajak duduk didekatnya. Sementara itu, para dayang lalu mengeluarkan hidangan dan pemimpin pemberontak itu, bersama isteri dan para komandan yang menjadi pembantu dekatnya, lalu mengadakan perjamuan makan-minum dengan gembira. Kiranya mereka itu secara sederhana merayakan kemenangan pertempuran dihari tadi. Tentu saja tiga orang muda itu menjadi semakin kagum. Bukankah Chu Siang Yu sudah mengetahui bahwa Raja Kelelawar-bersama empat orang pembantunya yang lihai keluar dari dalam benteng dan agaknya hendak menyusup kedalam perkemahan barisannya?

   Bahkan para komandan pembantunya juga sudah tahu? Akan tetapi mengapa mereka itu malah makan-minum dan berpesta seperti tidak mengambil pusing sama sekali? Ini hanya menunjukkan bahwa Chu Siang Yu amat percaya kepada kekuatannya sendiri. Diam-diam tiga orang muda itu memperhatikan para komandan pembantu Chu Siang Yu dan bagaimanapun juga, didalam hati Seng Kun merasa tidak senang melihat kenyataan bahwa pemimpin pemberontak yang masih sanaknya ini ternyata telah mempergunakan tenaga-tenaga asing dalam pasukannya. Disitu duduk beberapa orang yang dari bentuk tubuh, muka dan pakaiannya, juga logat bicaranya, jelas menunjukkan bahwa mereka itu adalah orang-orang asing.

   Diantaranya terdapat seorang laki-laki raksasa Mongol yang kelihatan amat kuat. Tubuhnya tinggi besar, kokoh seperti bukit karang, dan dengan pakaian seorang panglima yang bersisik emas, sungguh dia nampak menakutkan. Kedua pergelangan tangannya dilindungi kulit berlapiskan perak, dan rambutnya yang pendek dibiarkan teriap kebelakang, diikat dengan pita, sedangkan mukanya penuh brewok yang sudah bercampur uban.. Sepasang matanya besar dan tajam, dan sikapnya agak kasar seperti sikap orang-orang yang tidak memperdulikan sopan-santun, juga dari gerak-geriknya masih terbayang keliarannya dan agaknya dia menganggap rendah orang-orang lain. Seorang lawan yang amat tangguh, pikir Seng Kun. Setelah makan-minum selesai, Chu Siang Yu lalu berkata sambil tersenyum lebar,

   "Kita malam ini menyambut tiga orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau kita memberi pertunjukan ilmu silat. Nah, siapa mau memulai untuk menyambut para tamu kita yang gagah?" Mereka semua sudah minum arak cukup banyak yang membuat kepala dan hati terasa ringan. Gin I Ciangkun sudah bangkit berdiri dan menjura kearah pemimipinnya.

   "Biarlah saya yang bodoh menghormati putera dan puteri Bu Hong Seng-jin!" katanya dan setelah Chu Siang Yu mengangguk setuju, kakek berusia empat puluh tahun lebih ini menuju ketengah ruangan itu dan mulailah dia bersilat.

   Kakek ini bertubuh tinggi tegap dan bermuka brewok. Gerakan kaki tangannya mantap dan ketika dia bermain silat beberapa lamanya, orang-orang disitu mulai merasakan sambaran hawa dingin. Kiranya panglima baju perak ini memiliki ilmu sinkang yang disebut Swat-ciang (Tangan Salju) dan pukulan yang mengandung hawa dingin itu amat berbahaya bagi lawan. Setelah dia selesai bersilat dan memberi hormat kepada pemimpinnya, Chu Siang Yu bertepuk tangan memuji, diikuti oleh orang-orang yang hadir disitu. melihat rekannya sudah maju, Kim I Ciangkun tidak mau ketinggalan.

   Diapun memperlihatkan ketangkasannya. Tubuhnya yang tinggi kurus bergerak cepat dan tak lama kemudian, gerakan kedua tangannya itu mengeluarkan hawa panas menyambar-nyambar. Itulah ilmu Hui-ciang (Tangan Api) yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan Swat-ciang milik rekannya tadi. Juga Kim I Ciangkun menerima sambutan pujian dan tepuk tangan. Sejak tadi, raksasa Mongol yang duduknya berhadapan dengan isteri Chu Siang Yu sehingga dia dapat menatap wajah Bwee Hong dengan jelas, memperlihatkan sikap amat tertarik kepada dara ini. Dia bersikap kasar dan biarpun dia tidak berani secara terus-terang mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, namun kerling matanya yang lebar itu selalu menyambar kearah Bwee Hong, membuat dara ini kadang-kadang mengerutkan alisnya dan membuang muka.

   Kini, melihat betapa dua orang rekannya itu memperlihatkan ilmu kepandaian, si raksasa Mongol inipun bangkit berdiri dan mengajukan diri untuk menghibur para tamu. Tentu saja permintaannya dikabulkan dengan gembira oleh Chu Siang Yu. Dengan langkah gagah raksasa ini menuju ketengah mangan. Raksasa ini adalah adik dari Malisang, kepala suku Mongol yang menjadi sekutu Chu Siang Yu dan bekerja-sama dengan pasukan yang dipimpin oleh Kwa Sun Tek putera ketua Tai-bong-pai. Usianya sudah hampir lima puluh tahun dan dalam hal Ilmu silat, ilmu gulat dan tenaga, dia tidak kalah oleh kakaknya. Sejak tadi dia terpesona oleh kecantikan Bwee Hong, maka kini dia maju untuk menjual tampang, untuk menarik perhatian dara yang membuatnya tergila-gila itu.

   Mulailah raksasa Mongol ini bersilat dan begitu dia menggerakkan kedua kakinya, lantai bergoyang-goyang dan seluruh kemah itu tergetar. Juga kedua tangannya yang menyambar-nyambar mendatangkan hawa pukulan yang amat kuat. Akan tetapi, baru belasan jurus raksasa ini bersilat, dia menghentikan gerakannya. Sejak tadi dia bersilat sambil tersenyum dan mengerling kearah Bwee Hong, akan tetapi nona ini malah memalingkan muka dan tidak mau nonton kelihaiannya. Hal ini membuatnya merasa penasaran. Dia bersilat hanya untuk pamer kepada nona itu, akan tetapi yang dipameri malah membuang muka! Semua orang merasa heran melihat raksasa itu berhenti bersilat, bahkan Chu Siang Yu sendiri bertanya mengapa ilmu silat yang belum selesai dimainkan itu dihentikan tiba-tiba?

   "Bermain silat sendirian kurang menggembirakan," kata si raksasa Mongol dengan logat asing.

   "Para tamu kita adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Kata orang persilatan, perkenalan tidaklah akrab tanpa melalui adu silat. Oleh karena itu, aku mempersilahkan seorang diantara tiga tamu kita yang gagah untuk maju dan bermain-main denganku beberapa jurus. Akan tetapi, orang bilang bahwa kepalan tidak mempunyai mata, maka aku takut kalau-kalau aku akan salah tangan dan lupa, melukai tamu terhormat. Oleh karena jitu, agar aman, kuharap nona tamu sudi memperlihatkan kepandaian. Kalau menghadapi lawan wanita, tentu aku tidak akan lupa dan tidak akan salah tangan, ha-ha-ha!"

   Mendengar ucapan ini, para perwira yang wataknya kasar tertawa. Akan tetapi tiga orang muda itu tentu saja merasa mendongkol sekali. Dan Seng Kun merasa makin tidak suka kepada pemimpin pemberontak yang menjadi sanaknya. Disitulah letak kelemahan Chu Siang Yu, pikirnya.

   Berbeda dengan Liu Pang yang pandai memilih sekutu dan anak-buah, yang sebagian besar terdiri dari para pendekar dan rakyat jelata, sebaliknya Chu Siang Yu memilih orang-orang asal pandai ilmu silatnya saja, biarpun orang itu datang dari golongan yang sesat, bahkan tidak segan bersekutu dengan pihak asing! Seng Kun berpikir bahwa tidaklah pantas membiarkan Bwee Hong menjadi buah tertawaan melawan raksasa yang tangguh ini. Dan kalau A-hai yang maju, dia khawatir kalau-kalau A-hai yang kadang-kadang masih kumat itu akan menurunkan ilmunya yang amat hebat dan raksasa ini akan terpukul tewas. Jalan terbaik adalah dia sendiri yang maju, mencoba mengalahkan raksasa ini tanpa membuat Chu Siang Yu marah. Maka diapun cepat mendahului adiknya dan A-hai yang sudah memandang marah kepada raksasa itu. Dengan tenang dan sabar dia memberi hormat kepada raksasa itu.

   "Ciangkun, harap maafkan adikku kalau tidak dapat memenuhi undanganmu karena tentu saja adikku bukanlah tandinganmu. Biarlah aku mewakilinya menerima petunjuk-petunjuk dari ciangkun." Raksasa itu memandang kepada Seng Kun dan tertawa, sikapnya memandang rendah sekali.

   "Ah, jadi engkau adalah kakak nona itu? bagus, dengan mengingat bahwa engkau kakaknya, tentu akupun berlaku hati-hati agar tidak sampai melukaimu, orang muda. Dan jangan khawatir, andaikata engkau terluka olehku, akupun mempunyai obatnya untuk menyembuhkanmu." Sungguh tekebur sekali sikap dan ucapan raksasa Mongol ini. Akan tetapi Seng Kim tetap tenang saja.

   "Ciangkun, lebih baik kita segera mulai dari pada membuang-buang waktu dengan obrolan kosong." Melihat ada nada marah dalam ucapan Seng Kun, raksasa itu mendengus, akan tetapi mulutnya masih tersenyum-senyum.

   "Baik, kau jagalah pukulanku!"

   "Wuuuuttt!" Pukulan itu memang kencang sekali datangnya, dan amat kuatnya karena sebelum kepalan tiba, angin pukulannya sudah terasa oleh Seng Kun dan membuat bajunya berkibar. Akan tetapi pemuda ini tentu saja dapat mengelak dengan sigapnya. Dia membiarkan si raksasa memukul sampai empat kali berturut-turut, selalu menghindarkan diri dengan jalan mengelak. Pada pukulan kelima, yang dilakukan dengan keras sekali karena raksasa itu mulai merasa penasaran melihat semua pukulannya luput, Seng Kun menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Dukkk!!" Akibat dari adu tenaga ini membuat Seng Kun terlempar dan hampir terjengkang kalau saja dia tidak memiliki ginkang yang baik sekali sehingga dia mampu meloncat berjungkir balik dan tidak sampai terbanting. Dia terkejut, karena tidak disangkanya raksasa itu memiliki tenaga sehebat itu.

   "Ha-ha-ha, aku membuatmu kaget? Maaf, dan hati-hatilah!" Raksasa itu tertawa girang dan nada suaranya mengejek sekali. Bagaimanapun juga, Seng Kun hanya seorang manusia biasa dan kesabaran ada batasnya. Dia mulai merasa penasaran dan mukanya menjadi merah. Ketika raksasa itu menyerang lagi, dia mengelak dan balas menyerang dengan tamparan kearah dada lawan. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika melihat lawan tidak mengelak atau menangkis sama sekali, sebaliknya membiarkan dadanya dipukul akan tetapi membarengi dengan pukulan kearah perut Seng Kun. Pukulan yang keras sekali!

   "Bukkk!" Tamparan tangan Seng Kun tepat mengenai dada, akan tetapi pemuda itu menahan seruannya karena telapak tangannya terasa nyeri dan pedas. Kiranya baju perang itu terbuat dari pada logam tipis yang amat kuat dan diantara sisiknya itu terdapat bagian runcing sehingga akan dapat melukai pukulan tangan lawan! Hampir saja perut Seng Kun kena terpukul kalau saja dia tidak meloncat kebelakang dan pada saat itu Bwee Hong meloncat kedepan hendak membantu kakaknya.

   "Hong-moi, mundur!" Seng Kun berseru kepada adiknya setelah dia terbebas dari pada pukulan kearah perutnya tadi. Untung kepalan tangan lawan itu hanya menyerempet kulit perut dan bajunya, kalau mengenai perut dengan tepat, mungkin dia akan celaka mengingat besarnya tenaga lawan.

   "Ha-ha-ha, kalau engkau hendak maju sekalian, silahkan, nona. Dikeroyok dua akan menjadi semakin meriah!"

   "Lihat serangan!" Seng Kun membentak marah melihat kecongkakan raksasa itu dan kini diapun mulai menyerang. Dan si raksasa terkejut karena gerakan Seng Kun itu cepat bukan main, tubuhnya seperti terbang saja dan kedua tangannya seperti berobah menjadi banyak! Raksasa itu menggunakan kedua tangan untuk menangkis, bahkan berusaha menangkap dengan ilmu gulat, namun Seng Kun terlalu cepat baginya dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada dibelakangnya dan sekali renggut, terlepaslah ikatan rambutnya!

   Pada saat tali rambutnya putus direnggut tangan Seng Kun, pemuda ini memberi sentilan dengan jari tangannya pada tengkuk lawan. Hal ini dilakukannya untuk memberi isyarat kepada lawan bahwa kalau dia berniat buruk, betapa mudah baginya untuk mengganti sentilan itu dengan totokkan atau pukulan maut! Akan tetapi, raksasa Mongol itu adalah seorang kasar yang tidak mengenal segala macam isarat dan sindiran halus seperti itu. Baginya, dalam perkelahian atau adu kepandaian hanya ada dua hal, kalah atau menang. Dan dia belum merasa kalah kalau hanya direnggutkan tali rambutnya sampai terlepas saja! Maka dengan gerengan keras, dia menyerang lagi. Seng Kun cepat menghindarkan diri dengan loncatan kesamping dan pada saat itu terdengar seruan Chu Siang Yu.

   "Tahan pukulan! Cukup sudah, kita diantara kawan sendiri!" Dan tahu-tahu tubuh Chu Siang Yu yang tadinya masih duduk diatas kursi sudah melayang dan berdiri diantara dua orang itu.

   Melihat gerakan ini, A-hai mengangguk-angguk dan kagum akan kelihaian pemimpin pemberontak itu. Sementara, itu, raksasa Mongol yang merasa belum kalah, menjadi penasaran dan sikapnya masih marah. Keadaan menjadi tegang, akan tetapi pada saat itu terdengar suara anak panah mengaung diudara, disusul suara ribut-ribut dikejauhan. Peristiwa ini menyadarkan si raksasa dan diapun cepat menjura kepada sekutu dan pemimpinnya, lalu kembali ketempat duduknya. Seng Kun juga duduk kembali dan anehnya, peristiwa itu agaknya tidak mempengaruhi sikap Chu Siang Yu yang masih saja melanjutkan makan-minum. Tiba-tiba muncul dua orang berpakaian penjaga yang datang berlari-lari dan menjatuhkan diri berlutut, memberi laporan bahwa musuh gelap mulai menyerang.

   "Bodoh! Tidak tahukah kalian bahwa Ongya sedang menyambut tamu? Hayo pergi, jangan diganggu!" Dua orang itu memberi hormat dan pergi. Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Seng Kun dan teman-temannya. Tak lama kemudian, kembali datang dua orang perwira yang nampak gugup. Dua orang ini segera membuat laporan,

   "Ada beberapa orang pengacau memasuki perkemahan kita. Mereka berkepandaian tinggi sekali dan beberapa orang perajurit terbunuh secara aneh dan mengerikan." Kini Chu Siang Yu sendiri yang menjawab dengan sikap tak acuh.

   "Sudah, kalian kembalilah ketempat penjagaanmu. Tak perlu gelisah. Iblis-iblis itu tidak dapat berbuat seenaknya sendiri. Mereka sudah dikepung dan semua akan dapat kita binasakan!" Diam-diam Seng Kun bertiga menjadi semakin kagum. Orang ini benar-benar amat tabah, pandai dan berwibawa.

   Dan memang bukan bual kosong saja ketika Chu Siang Yu menghibur dua orang penjaga tadi. Ketika mereka berdua kembali ketempat penjagaan, para penyelundup itu telah dikepung ketat oleh jagoan-jagoan yang sudah dipersiapkan oleh Chu Siang Yu dan para pembantunya. Seorang diantara para penyelundup itu, yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah ganteng pesolek dan bersenjata sebatang huncwe berlapis emas, dikeroyok oleh lima orang jagoan pilihan. Tak jauh dari situ terdapat pula seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengamuk dengan senjata pedang pendek ditangan kiri dan sehelai sabuk ditangan kanan. Juga wanita ini dikepung oleh lima orang jagoan. Dua orang penyelundup ini adalah pembantu-pembantu Raja Kelalawar yang lihai, yaitu Jai-hwa Toat-beng-kwi si penjahat cabul dan Pekpi Siauw-kwi, Si Maling Cantik.

   Di depan gedung ransum terjadi pula pengeroyokan atas diri Sanhek-houw yang mengamuk dengan senjatanya yang istimewa itu, ialah sebatang rantai baja dengan ujung tombak jangkar. Sedangkan didekat kandang kuda terdapat pula perkelahian seru antara Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti yang juga dikeroyok oleh banyak orang. Ternyata empat orang pembantu utama Raja Kelelawar itu masuk perangkap. Maka dibiarkan memasuki perkemahan, lalu dikepung ketat dan dikeroyok oleh jagoan jagoan yang memang sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh Chu Siang Yu dan para pembantunya. Empat orang penjahat itu marah sekali. Mereka tidak mengira akan terperangkap oleh pihak musuh, maka mereka mengamuk dengaa hebatnya. Sepak terjang mereka, terutama sekali Si Buaya Sakti dan Si Harimau Gunung, benar-benar amat menggiriskan.

   Perajurit-perajurit yang berani mencoba untuk ikut mengeroyok, banyak yang roboh dan tewas. Debu dan batu kerikil berham-buran, kemah-kemah disekitar tempat mereka mengamuk itu roboh. Dua orang iblis ini mengamuk sambil mengeluarkan caci-maki dan geraman-geraman seperti binatang buas. Betapapun juga, yang mengepung dan mengeroyok mereka adalah jagoan-jagoan dan juga banyak jumlahnya sehingga mereka berempat itu tidak melihat jalan, keluar untuk meloloskan diri, maka mereka mengamuk mati-matian. Sementara itu, diatas puncak tiang kemah tak jauh dari situ, terdapat sesosok tubuh berdiri tegak seperti seekor burung hinggap diujung tiang. pakaian dan jubahnya berwarna hitam sehingga sukar dapat dilihat. Si jubah hitam ini memandang kebawah, kearah perkelahian itu dan dia mengepal tinju, bibirnya bergerak memaki-maki marah.

   "Keparat! Gila! Tak kusangka bangsat Chu Siang Yu begini cerdik. Kiranya dia tidak boleh dipandang ringan, para pembantunya juga banyak yang lihai. Jahanam benar!"

   Tubuh yang tinggi besar itu tiba-tiba bergerak melayang keatas puncak tenda lain, kemudian meloncat lagi dari tenda ketenda seperti seekor kelelawar saja gesit dan ringannya. Kemudian dia hinggap di puncak perkemahan pusat dimana Chu Siang Yu sedang makan-minum dengan para tamunya. Begitu berjumpa dengan tiga orang muda itu, Chu Siang Yu sudah tertarik sekali dan dia dapat menduga bahwa tiga orang muda ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan akan dapat menjadi tenaga-tenaga yang amat penting baginya. Oleh karena itu, sambil menjalankan siasatnya untuk menjebak pihak musuh yang berani menyelundup keperkemahan, dia juga berusaha untuk menyenangkan hati tiga orang muda itu dan kalau mungkin dia akan menarik mereka menjadi pembantu-pembantunya.

   "Sam-wi adalah orang-orang muda yang luar biasa," akhirnya sambil menyuguhkan arak dia berkata.

   "Sam-wi merupakan orang-orang muda yang memiliki harapan baik sekali untuk mencapai kedudukan tinggi dan mulia, dan pertemuan antara kita ini membuka kesempatan yang amat baik bagi kalian. Kotaraja sudah berada ditelapak tangan kita, tak lama kemudian kita akan dapat menguasainya. Dan aku akan merasa gembira sekali kalau dapat memperoleh bantuan sam-wi dalam membangun kerajaan baru." Seng Kun terkejut mendengar ini. Baru dia tahu sekarang mengapa pemimpin pemberontak ini bersikap demikian baiknya terhadap dia bertiga. Kiranya mempunyai maksud untuk mempergunakan mereka sebagai pembantu. Diapun cepat mewakili teman dan adiknya itu, memberi hormat kepada pemimpin pemberontak itu.

   "Kami kakak-beradik menghaturkan terimakasih atas maksud baik taijin. Akan tetapi, pada saat ini kami sama sekali belum memikirkan tentang kedudukan atau pekerjaan..."

   "Wah, saya sendiripun masih mempunyai banyak sekali urusan keluarga dan pribadi sehingga tidak sempat memikirkan tentang urusan kedudukan!" A-hai juga berkata.

   "Kami masih amat mengkhawatirkan keadaan ayah kandung kami!" Bwee Hong juga membantu kakaknya.

   "Saya ingin sekali mengetahui bagaimana sebenarnya dengan keadaan ayah kandung kami itu?" Chu Siang Yu menarik napas panjang menyembunyikan rasa kecewa hatinya. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang muda yang lihai ini tidak boleh tergesa-gesa, apa lagi mempergunakan tekanan.

   "Menurut keterangan Kim I Ciangkun memang benar ayah kalian ditangkap dan dimasukkan penjara. Tentu saja hal itu terlihat oleh Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun sebelum mereka berdua lari dari Istana setelah melihat keadaan yang kacau di Istana, dimana Kaisar muda itu mempergunakan para datuk kaum sesat untuk menjadi pengawal-pengawal dan pembantu-pembantu. Banyak pejabat yang setia seperti kedua ciangkun itu tidak tahan melihat betapa pembesar-pembesar yang jujur dijebloskan penjara atau dibunuh, sedangkan penjahat-penjahat rendah diberi kedudukan tinggi. Kim I Ciangkun menambahkan keterangan pemimpinnya.

   "Bu Hong Seng-jin sebagai seorang penasihat Istana, mencoba untuk mengingatkan Sribaginda Kaisar yang masih muda itu. Akan tetapi beliau malah kena marah dan ditangkap, dijebloskan kedalam penjara."

   "Akan tetapi kalian jangan khawatir. Kotaraja sudah kita kepung dan sebentar lagi, kalau kita sudah dapat menguasai Kotaraja, kalian akan dapat menyelamatkan ayah kandung kalian. Oleh karena itu, marilah kalian bantu kami untuk menyerbu Kotaraja besok."

   Seng Kun dan adiknya saling pandang, tidak dapat segera menjawab. Tentu saja mereka berdua yang bertugas menyelidiki keadaan musuh Liu Pang dan menyelidiki keadaan ayah mereka, tidak mungkin kalau kini malah bergabung dengan pemberontak Chu Siang Yu dan membantunya menyerbu Kotaraja. Dan A-hai sendiri kini kelihatannya tidak tertarik lagi, bahkan seperti tidak mengacuhkan percakapan itu dan perhatiannya seperti tertarik oleh hal lain. Tiba-tiba api lilin-lilin yang berada didalam ruangan itu bergoyang seperti tertiup angin dan mereka yang berada disitu tidak sadar bahwa didalam ruangan itu telah bertambah seorang lagi kalau saja A-hai tidak menyapanya.

   "Silahkan masuk!"

   Mendengar ucapan A-hai, Chu Siang Yu dan semua orang menoleh dan mereka semua terkejut bukan main melihat betapa diambang pintu kemah itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi yang mengenakan pakaian dan jubah hitam! Penjaga-penjaga yang berdiri diluar pintu kemah itu agaknya tidak melihat masuknya orang ini dan hanya A-hai seorang yang melihatnya. Akan tetapi, kini terjadi keanehan. Orang yang mereka semua duga tentu Si Raja Kelelawar itu yang tadinya melangkah dengan gerakan kaki seperti tidak menginjak tanah, tiba-tiba berhenti dan matanya terbelalak menatap wajah A-hai, kemudian tiba-tiba kakinya melangkah kesamping dan memasang kuda-kuda sambil menjaga jarak antara dia dan A-hai, agaknya siap untuk berkelahi! A-hai juga memandang dengan tajam penuh selidik, akan tetapi dia tidak mengenal orang ini dan hanya memandang dengan wajah heran.

   "Kiranya engkau belum mampus juga!" Tiba-tiba orang itu berkata dengan mata mendelik. Dan terjadilah perobahan pada wajah A-hai. Wajahnya yang tadinya nampak keheranan melihat tingkah laku orang berpakaian hitam itu, kini berkerut-kerut seolah-olah terjadi sesuatu didalam ingatannya. Matanya terbuka lebar dan mencorong, seperti hendak menembus kedalam dada orang berjubah hitam itu, memandang penuh selidik, mukanya menjadi merah sekali dan dahinya berdenyut-denyut.

   "Siapa siapakah engkau? Aku... aku seperti mengenal suaramu" Dia tergagap menudingkan telunjuknya kepada orang itu. Orang berjubah hitam itu agaknya menemukan kembali ketenangannya. Mulutnya tersenyum mengejek dan dia tidak lagi mengacuhkan A-hai, melainkan memutar tubuhnya memandang kesekeliling. Semua orang tadinya seperti terpesona oleh ketegangan yang terjadi ketika A-hai menegur orang itu, dan barulah kini mereka sadar akan siapa orangnya yang telah begitu berani memasuki kemah pusat ini. Kim I Ciangkun segera mengenalnya dan tanpa banyak cakap lagi, bekas pengawal jagoan di Kotaraja ini sudah menerjang sambil mengerahkan Hui-ciang (Tangan Api), memukul kearah orang berpakaian hitam itu. Angin keras menyambar berikut hawa yang amat panas.
(Lanjut ke Jilid 30)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 30
"Berhenti!" Tiba-tiba orang berpakaian hitam itu membentak sambil memandang kemuka Kim I Ciangkun dan sungguh aneh, tiba-tiba saja Kim I Ciangkun berhenti ditengah-tengah serangannya, seolah-olah dia telah berobah menjadi patung, mukanya membayangkan kebingungan dan matanya terbelalak.

   "Keluar kamu!" Kembali si jubah hitam membentak dan semua orang terkejut dan heran sekali melihat betapa seperti orang yang amat patuh, Kim I Ciangkun membalikkan tubuhnya dan tertatih-tatih melangkah keluar kemah itu.

   Takutkah panglima pengawal yang lihai ini? Akan tetapi Chu Siang Yu dan mereka yang memiliki kepandaian tinggi didalam kemah itu dapat menduga apa yang telah terjadi. Si Raja Kelelawar, orang yang berpakaian dan berjubah hitam itu, tentu telah mempergunakan ilmu sihirnya untuk menguasai dan menaklukkan Kim I Ciangkun, maka Chu Siang Yu lalu mengeluarkan suara melengking nyaring yang mengandung getaran khikang kuat sekali. Lengkingan ini ternyata mampu memecahkan daya pengaruh sihir yang dikerahkan oleh Si Raja Kelelawar kepada Kim I Ciangkun karena panglima pengawal itu tiba-tiba berhenti diambang pintu tenda lalu membalik memandang kepada orang berjubah hitam itu.

   Akan tetapi, orang aneh itu mengulur tangan kiri dan telapak tangan kirinya dihadapkan kearah Kim I Ciangkun dan tiba-tiba saja panglima pengawal ini merasa betapa ada kekuatan dahsyat menghimpitnya dari semua penjuru, membuat dia tidak dapat berkutik, seolah-olah tenaganya habis tersedot. Perlahan-lahan, sambil menyeringai sadis, Raja Kelelawar mengangkat tangan kanannya keatas, siap melakukan pukulan maut kearah lawan. Barulah semua orang sadar akan bahaya yang mengancam keselamatan Kim I Ciangkun. belasan orang perajurit pengawal yang berada diluar pintu lalu menyerbu masuk dan dengan tombak ditangan mereka itu menyerang.

   Bagaikan hujan senjata-senjata itu menyambar dan mengenai tubuh Raja Kelelawar! Akan tetapi, terdengar suara keras dan semua senjata itu terpental seperti mengenai tubuh yang terbuat dari baja yang amat kuat saja! Tentu saja para perajurit itu merasa ngeri dan otomatis mereka melangkah mundur dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Tangan kanan Raja Kelelawar yang tadinya sudah siap menghantam Kim I Ciangkun, kini digerakkan, bukan memukul Kim I Ciangkun melainkan dialihkan, menyapu kesamping, kearah para perajurit yang menyerang tadi. Hembusan angin dingin melanda mereka ini dan seperti daun-daun kering tertiup angin, belasan orang perajurit itu berpelantingan dan terdengar mereka mengeluh dan merintih. Beberapa orang diantara mereka bahkan tidak sempat mengeluh lagi karena langsung tewas seketika!

   "Tahan!!" Chu Siang Yu melompat kedepan menghadapi orang berjubah hitam itu yang memandang kepadanya dengan senyum mengejek.

   "Kalau tidak keliru, engkau adalah panglima kerajaan yang baru diangkat oleh Kaisar muda. Engkau adalah Si Raja Kelelawar itu, bukan?"

   "Pemberontak she Chu! Dosamu bertumpuk dan aku sendiri yang akan menghukummu!" Raja Kelelawar berseru dan begitu tangannya bergerak, angin dahsyat menyambar kearah pemimpin itu. Akan tetapi, ternyata Chu Siang Yu juga bukan orang sembarangan.

   Dia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi dan serangan Raja Kelelawar yang dahsyat itu dapat dielakkannya dengan baik, bahkan diapun membalas dengan serangan pedangnya. Demikian cepatnya Chu Siang Yu telah mencabut pedang dari pinggangnya dan menyerang sehingga Raja Kelelawar juga terkejut dan cepat mengelak sambil bersikap hati-hati, tidak berani memandang rendah pemimpin pemberontak ini yang ternyata adalah seorang ahli pedang yang berbahaya juga. Terjadilah perkelahian hebat dan para pembantu Chu Siang Yu tentu saja tidak mau membiarkan pemimpin mereka terancam bahaya ditangan Raja iblis itu. Mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok. Akan tetapi, kepandaian Raja iblis itu memang hebat sekali sehingga dalam waktu singkat saja, tiga orang pengeroyok telah dapat dirobohkannya dan Chu Siang Yu sendiri terdesak hebat.

   Pemimpin pemberontak itu lalu bersuit nyaring dan muncullah tujuh orang berseragam putih-putih mengkilap yang memegang sebatang pedang ditangan kanan dan sebuah perisai ditangan kiri. Sambil bergulingan, tujuh orang itu maju dan membuat gerakan mengepung Raja Kelelawar. Chu Siang Yu dan para pembantunya mundur karena mereka bahkan akan mengacaukan gerakan Jit-seng-tin (Barisan Tujuh bintang) ini kalau mereka membantu. Raja Kelelawar berdiri tegak memandang tujuh orang lawan yang kini mengepungnya dan tujuh orang itu semua bertindak mengitarinya. Sungguh merupakan pemandangan yang amat menegangkan dan juga mempesonakan. Karena pakaian para pengepung ini putih-putih mengkilap, maka pakaian Raja Kelelawar yang serba hitam itu menjadi menyolok sekali.

   Tiba-tiba seorang diantara tujuh anggauta Jit-seng-tin itu mengeluarkan bentakan sebagai aba-aba dan mulailah bergerak menyerang secara teratur sekali. Raja Kelelawar menghadapi mereka dengan tenang dan biarpun tujuh orang itu dapat bergerak saling bantu dan tentu saja gerakan mereka amat cepat karena susul-menyusul, namun Raja Kelelawar dengan ginkang yang luar biasa dapat mengimbangi mereka, bahkan dapat mematahkan semua serangan mereka yang membentuk bintang-bintang. Belum lewat tiga jurus Raja Kelelawar sudah mengenal inti gerakan mereka dan kini dialah yang memimpin dan menyerang sehingga bentuk barisan itu membayar dan menjadi kacau. Ketika memperoleh kesempatan baik, Raja Kelelawar itu membentak keras dan tangannya yang bergerak itu dapat bertemu dengan dada dan punggung dua orang pengeroyok.

   "Takk! Takkk!" Raja iblis itu berseru kaget dan meloncat kebelakang ketika merasa betapa tangannya bertemu benda keras yang amat kuat.

   Tahulah dia bahwa dibalik baju putih mengkilap itu tersembunyi perisai baja yang kuat. Maka, pukulannya tadi hanya membuat mereka terdorong mundur akan tetapi tidak terluka parah. Kini Raja Kelelawar terdesak oleh tujuh orang lawannya. Marahlah dia. Sekali tangannya bergerak, kedua tangannya itu telah memegang sepasang belati yang mengeluarkan sinar kebiruan. Dan diapun bergerak cepat Mantelnya yang lebar itu membungkus tubuhnya, menjadi perisai yang amat kuat karena mantel itu tahan serangan senjata. Tubuhnya berputar-putar dan terbungkus jubah. Setiap senjata yang sempat menyentuh tubuhnya, mental dan membalik kearah penyerangnya sendiri dan tubuhnya yang bergulingan. Akan tetapi robeknya perisai membuktikan betapa ampuh dan tajamnya sepasang belati ditangan Raja iblis itu. Gentarlah mereka.

   "Awas! Jangan terlalu dekat dengan dia!" Chu Siang Yu berseru dan diapun bertepuk tangan beberapa kali. Kini muncul pula lima pasang orang yang berpakaian hitam-hitam. Mereka membawa senjata aneh, yaitu jaring seperti jaring untuk menjala ikan. Setiap pasang, yaitu dua orang, membawa sehelai jaring. Lima pasang orang ini segera mengepung dan berada disebelah luar tujuh orang Jit-seng-tin.

   Melihat ini, diam-diam Raja Kelelawar merasa terkejut sekali. Kiranya Chu Siang Yu telah benar-benar bersiap siaga untuk menyambutnya, pikir Raja iblis ini. Betapapun lihainya dan betapapun ampuh sepasang belatinya kalau sampai dia tertangkap jaring, dia akan celaka. Kalau dipikirkan secara mendalam, memang tidak mungkin dia dan empat orang kawannya saja menyerbu perkemahan yang dihuni oleh puluhan ribu orang perajurit! Tiba-tiba Raja Kelelawar mengeluarkan pekik melengking dan selagi semua orang terkejut dan seperti pecah rasa anak telinga mereka, Raja iblis itu sudah melenting tinggi diudara, menerobos atap kemah yang tinggi itu dan lenyap. Suara lengkingannya amat hebat, bergema dan seperti bergulung-gulung bagaikan kilat bergemuruh, menderu-deru dari segala penjuru.

   Semua orang terpukau dan seperti kesima, tak dapat bergerak dari tempatnya. Ketika semua orang sadar kembali dan hendak melakukan pengejaran, iblis itu telah lenyap. Semenjak Raja Kelelawar mengeluarkan pekik melengking tadi, tiba-tiba A-hai yang sejak tadi menonton perkelahian dengan wajah tetap bingung mengingat-ingat siapa adanya orang berpakaian hitam itu, kini bangkit berdiri dan terjadi perubahan hebat pada wajahnya. Matanya mencorong ganas, lalu mendelik menakutkan. Urat-urat darah dipelipis dan dahinya menggembung seperti mau pecah. Uap tipis membungkus kepalanya dan matanya yang melotot itu seperti hendak meloncat keluar. Peluhnya menetes-netes dan tubuhnya gemetar hebat seperti erang kedinginan. Melihat keadaan A-hai ini, Bwee Hong tak dapat lagi menguasai rasa gelisah dan ngerinya,

   "Koko! kunko..., dia dia kenapa?" Seng Kun cepat menghampiri adiknya dan menarik tangan adiknya menyingkir menjauhi A-hai, kemudian berteriak kepada semua orang yang berada disitu,

   "Awas, kawanku ini sedang kumat sakitnya. Harap semua orang menjauhkan diri, karena dalam keadaan begini dia berbahaya sekali. Kepandaiannya amat luar biasa!" Kata-kata ini tentu saja disambut dengan senyum oleh mereka yang berada disitu. Betapapun lihainya pemuda ini, siapa yang akan takut? disitu penuh dengan orang-orang lihai sehingga Raja Kelelawar sendiripun sampai melarikan diri Sementara itu, Chu Siang Yu sibuk memberi perintah kepada anak-buahnya untuk melakukan pengejaran dan juga penjagaan agar diperketat.

   "Kun-ko... tolonglah dia. jangan biarkan dia mati..., jangan biarkan dia mati...! Lihat urat-urat dikepalanya... ah, seperti mau pecah...!" Bwee Hong berteriak sambil meremas-remas tangan kakaknya. Seng Kun mengelus pundak adiknya.

   "Jangan khawatir, Hong-moi. Kita sekarang tidak bisa mendekatinya. Lihat matanya, siapa mendekat mungkin dibunuhnya. Kita hanya mengharap mudah-mudahan pengobatan yang kita berikan selama ini mampu menghilangkan hambatan-hambatan yang mengganggu jalan darahnya. Lihat, tonjolan dipelipisnya sudah tidak nampak lagi."

   "Tidak..., tidak..., biar dia akan membunuhku, aku akan menolongnya, aku akan menusukkan jarumku dijalan darah tengkuknya. Aihh... koko, lepaskanlah aku, lepaskan aku... biar aku menolongnya!" Bwee Hong meronta-ronta dari pelukan kakaknya.

   "Jangan...!!" Seng Kun terpaksa membentak adiknya karena dia maklum betul betapa besar bahayanya mendekati A-hai disaat seperti itu. Sementara itu, wajah A-hai nampak semakin mengerikan dan tiba-tiba dia mengepal tinju tangannya, dan sekali menggerakkan tangan itu kekanan, ada angin bersiutan menyambar dan beberapa orang yang berada dua meter jauhnya dari tempat itu terpelanting!

   "Aku... aku mengenal... suara melengking itu...! Jahanam...! Engkaulah kiranya orang itu! Engkau...! Engkau!!" A-hai menjerit dan tiba-tiba tubuhnya meluncur keatas, menerobos lubang atap kemah dari mana Raja Kelelawar tadi melarikan diri. Cepat sekali gerakannya, seperti terbang, seperti anak panah terlepas dari busurnya dan sebentar saja lenyap, hanya terdengar suara lengkingan aneh yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan lengkingan yang dikeluarkan oleh Raja Kelelawar tadi.

   Semua orang kembali kesima dan terpesona, seperti dalam mimpi saja. Baru beberapa saat kemudian, setelah gema suara melengking itu lenyap, berbondong-bondong orang yang berada didalam kemah itu keluar. Sementara itu, empat orang kawan Raja Kelelawar, ketika mendengar pekik lengkingan pemimpin mereka, berusaha meloloskan diri. Mereka dikepung ketat dan sukar untuk lolos. Akan tetapi, dasar penjahat-penjahat yang sudah berpengalaman, mereka menemukan akal dan mereka membakari kemah-kemah sehingga keadaan menjadi kalut. Didalam kekalutan itulah, biarpun mereka menderita luka-luka, empat orang iblis itu dapat melarikan diri.

   Setelah semua penjahat lari dan Chu Siang Yu bersama para pembantunya sibuk memadamkan kebakaran dan mengatur penjagaan menenteramkan para perajurit yang tadi dilanda kekalutan, diam-diam Seng Kun dan Bwee Hong yang ditinggal pergi A-hai itu meninggalkan perkemahan, mengambil jalan yang tadi dilalui Chu Siang Yu. Para penjaga yang mengenal mereka sebagai sahabat dan tamu pemimpin mereka, tidak menghalangi. Mereka berdua pergi dengan cepat, dengan maksud hendak kembali keperkemahan pasukan Liu Pang yang tidak begitu jauh dari tempat itu. Disepanjang perjalanan ini, wajah Bwee Hong nampak berduka sekali. Ia teringat kepada A-hai yang pergi meninggalkan mereka dalam keadaan kumat dan berbahaya, apa lagi kalau diingat bahwa agaknya A-hai lari melakukan pengejaran terhadap Raja Kelelawar yang demikian sakti dan ganasnya.

   "Koko, bagaimana kalau A-hai nanti dibunuh oleh Raja Kelelawar? Biarpun dia juga lihai kalau sedang kumat, akan tetapi mana mungkin dia akan mampu menandingi Raja Kelelawar yang sakti itu?" Seng Kun diam saja. Matanya menatap wajah adiknya.

   "Hong-moi, serahkan saja kepada Thian. Pada hakekatnya, A-hai adalah seorang yang amat baik budinya dan aku yakin bahwa orang yang baik budinya pada akhirnya akan selamat lahir batinnya dan akan bahagia hidupnya. Pada saat ini kita tidak mampu berbuat sesuatu, karena kita tidak akan mampu mencari kedua orang yang memiliki kepandaian amat tinggi itu."

   "Ah, koko, aku khawatir aku gelisah..." Bwee Hong menahan isaknya. Seng Kun merangkulnya dengan hati terharu.

   "Adikku engkau mencintanya?" Bwee Hong tidak mampu menjawab, akan tetapi pertanyaan kakaknya itu membuat ia menangis tersedu-sedu diatas dada kakaknya yang merangkul dan mengelus rambutnya.

   Cinta kasih adalah sesuatu yang hanya dapat dirasakan. Bukan sesuatu yang dapat dipikirkan. Cinta kasih tidak terpengaruh oleh pikiran, karenanya tidak pernah membuat perhitungan untung rugi. Segala perbuatan kita manusia sekarang ini penuh dengan perhitungan untung rugi, oleh karena itu, pamrih memperoleh keuntungan menjauhi kerugian ini membuat setiap perbuatan kita palsu dan pura-pura, menyembunyikan pamrih. Hanya cinta kasih sajalah satu-satunya yang masih memberi harapan. Perbuatan yang didasari cinta kasih adalah perbuatan yang bebas dari pada pamrih mencari keuntungan atau kesenangan. Hidup tanpa adanya cinta kasih sama dengan mati, karena hidup menjadi hampa, membuat manusia tiada bedanya dengan sebuah robot. Dan cinta kasih ini baru nampak, baru muncul, sinarnya baru terang memenuhi hati yang tidak lagi dipenuhi keinginan-keinginan.

   Malam itu terang bulan, sunyi akan tetapi menyejukkan hati, sama dengan sejuknya suasana dan udara yang penuh dengan sinar bulan kuning kehijauan. Ditepi sebuah hutan, tak jauh dari perkemahan barisan pendekar yang dipimpin oleh Liu Pang, nampak dua orang duduk diatas rumput. Seorang pemuda dan seorang gadis. Tidak ada pemandangan yang lebih mesra, lebih menyenangkan dilihat dari pada sepasang muda-mudi bercengkerama dibawah sinar bulan, ditempat yang sunyi dan sejuk aman, pada saat yang amat romantis penuh damai.

   Akan tetapi, asmara tidak selamanya mendatangkan kebahagiaan! Asmara antara pria dan wanita membutuhkan sambutan dari kedua pihak! Kalau hanya sepihak yang mencinta sedangkan pihak lain tidak, maka asmara mendatangkan sengsara, kekecewaan, patah hati! Bahkan sambutan kedua pihak sajapun belum cukup. Banyak terjadi dua orang muda yang saling mencinta, yang bersumpah disaksikan Langit dan Bumi bahwa mereka akan saling mencinta sampai selamanya, kemudian bercerai kasih, bahkan cinta mereka berobah menjadi benci! Cinta asmara seperti itu mengenal pula cemburu, mengenal kebosanan, karena cinta asmara seperti itu mengandung nafsu dan nafsu selalu didampingi oleh kebosanan. Demikian pula, kalau kita mengikuti percakapan antara pemuda dan gadis ditepi hutan itu dibawah sinar bulan, akan ternyata bahwa mereka tidaklah semesra seperti nampaknya.

   "Nona Ho, betapa sempit dunia ini kalau kita bayangkan betapa sudah bertahun-tahun kita pernah bertemu secara kebetulan saja. Kemudian kita saling berpisah, bertahun-tahun lamanya, menempuh jalan hidup masing-masing, akan tetapi akhirnya kita saling berjumpa pula disini, Aneh, bukan?" Ho Pek Lian, dara itu, tersenyum mengangguk,

   "Kwee-taihiap..."

   "Aih, jangan menyebutku taihiap (pendekar besar), nona."

   "Hemm, aku tidak pernah dapat melupakan bahwa engkau dahulu adalah ketua lembah yang memimpin banyak orang gagah..."

   "Lupakan saja hal itu, nona. Engkau sendiripun seorang pemimpin para pendekar yang berjuang, dan aku, selama menjadi murid suhu, tidak lagi mau mencampuri urusan perang. Aku adalah Kwee Tiong Li biasa, bukan pendekar besar bukan pula pejuang "

   "Baiklah, Kwee-toako. Akan tetapi apa sih anehnya pertemuan antara kita? Bagaimanapun juga, masih terdapat kesamaan antara kita, yang jelas, kita sama-sama menentang segala macam bentuk kejahatan. Tentu saja besar kemungkinan kita saling jumpa."

   "Nona... eb, sebaiknya kusebut adik padamu karena engkau menyebutku toako. Lian-moi, masih ingatkan engkau akan pertemuan kita yang pertama kali?" Pek Lian tertawa.

   "Tentu saja. Disebuah rumah yang gelap, engkau membunuh beberapa orang perwira dan... wah, engkau pernah membuat aku ketakutan."

   "Akan tetapi, ada suatu hal yang takkan pernah kau ketahui atau kau duga."

   "Apa itu, toako?"

   "Bahwa pertemuan itu takkan pernah kulupakan selama hidupku, karena pada saat pertemuan itulah aku... aku jatuh cinta padamu, Lian-moi." Ucapan yang membelok kearah pernyataan cinta ini sungguh tak pernah disangka oleh Pek Lian. Ia terkejut sekali dan mengangkat muka memandang wajah pemuda yang duduk disampingnya itu dengan mata terbelalak. Seorang pemuda yang tampan, bertubuh tegap, bermuka merah, berwibawa, pendiam dan pakaiannya sederhana. Seorang pendekar tulen! Jatuh cinta padanya sejak pertemuan pertama itu? Seperti dalam dongeng saja, atau dalam mimpi. Akan tetapi, didalam hatinya, Pek Lian menggeleng kepala dengan sedih. Sesungguhnya, seorang gadis seperti ia seharusnya berbahagia dicinta oleh seorang pendekar muda seperti Kwee Tiong Li dan betapa mudahnya membalas cinta seorang pemuda seperti ini.

   Akan tetapi baginya tidak mungkin. Tidak mungkin ia membalas cinta pemuda ini karena... karena memang tidak merasakan adanya cinta didalam hatinya terhadap pemuda ini, melainkan hanya perasaan suka dan kagum sebagai sahabat belaka. Cinta hatinya sudah direnggut oleh... oleh siapa? Ia sendiri masih bingung dan hal ini sering kali membuat ia gelisah dan tak dapat tidur. Melihat gadis itu memandang kepadanya dengan pandang mata kaget lalu nampak termenung diam, Tiong Li menatap wajah itu penuh harapan. Betapa rindunya kepada Pek Lian. Rasa cinta dan rindunya dipendam selama bertahun-tahun dan dia merasa bahwa kini tiba saatnya untuk berterus-terang. Hatinya diliputi kekhawatiran dan harapan.

   "Lian-moi, maafkan aku. Sudah terlalu lama aku menyimpan rahasia hatiku ini, dan biarlah kini kubukakan kepadamu. Aku cinta padamu, Lian-moi, dan suhu juga menyetujui perasaanku terhadap dirimu. Kalau saja engkau sudi menerima cintaku..."

   "Cukup, toako, harap jangan dilanjutkan. Maafkan aku... toako, akan tetapi aku tidak mungkin dapat menerima cintamu... bukan aku tidak menghargainya... aku amat berterimakasih bahwa engkau suka memperhatikan diriku, akan tetapi..." Ia tidak dapat melanjutkan dan menundukkan mukanya, jantungnya berdebar gelisah menanti reaksi penolakannya itu dari Tiong Li. Hening sejenak. Bukan keheningan yang menyejukkan hati lagi bagi keduanya. Bagi Pek Lian, keheningan itu menggelisahkan hati dan bagi Tiong Li keheningan itu merupakan suatu kesepian yang membuatnya terpencil menyedihkan hati. Ketika Pek Lian merasa hampir tidak dapat lebih lama lagi menahan himpitan kegelisahan dalam keheningan itu, terdengar suara Tiong Li, lirih dan agak gemetar,

   "Lian-moi, apakah... apakah sudah ada orang lain?" Pertanyaan yang sama inipun sering kali menghantui hati Pek Lian dan ia sendiripun belum dapat menjawab dengan tepat. Akan tetapi ia pikir lebih baik mengiyakan saja agar Tiong Li tidak perlu memperpanjang harapan hatinya. Maka iapun mengangguk, kemudian menyusulkan ucapan lirih,

   "... maafkan aku, toako." Tiong Li tersenyum dan Pek Lian hanya berani memandang sekilas saja karena melihat betapa getirnya senyum itu.

   "Tidak apa, Lian-moi. Sudah dapat kuduga dan tidak mengherankan. Seorang dara seperti engkau ini tentu banyak pemuda yang jatuh cinta. Akan tetapi, seorang laki-laki harus memiliki keberanian untuk mencoba dan membuka isi hatinya, seperti halnya menghadapi seorang lawan tangguh, soalnya hanya kalah atau menang, dan aku... aku telah kalah... engkaulah yang harus memaafkan kelancanganku dan selamat tinggal, Lian-moi, mudah-mudahan kelak kita akan dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih menggembirakan..." Pemuda itu bangkit berdiri dan ketika Pek Lian juga berdiri, dia menjura dengan hormat, lalu pergi.

   "Toako, engkau hendak kemana?" Tiong Li menoleh dan tersenyum lagi.

   "Pergi bersama suhu. Sampai jumpa..." Dan diapun pegi meninggalkan Pek Lian yang termangu-mangu. Pek Lian tentu akan lebih lama tenggelam dalam lamunannya dengan hati sedih kalau tidak muncul seorang perajurit yang melaporkan kepadanya bahwa Seng Kun dan Bwee Hong telah pulang dan kini gurunya, Liu Pang, memanggilnya Mendengar ini, hati Pek Lian girang sekali dan ia cepat-cepat pergi keperkemahan besar dimana ia melihat Seng Kun, Bwee Hong, dan Liu Pang bersama semua pembantunya telah berkumpul mendengarkan pelaporan kakak-beradik itu. Pek Lian segera merangkul Bwee Hong dan duduk disebelah gadis itu, mendengarkan pula penuturan kakak-beradik yang berhasil baik dengan tugas mereka itu. Akan tetapi, ia mengerutkan alisnya karena tidak melihat adanya A-hai bersama mereka!

   "Dimana... Dimana A-hai?" tanyanya kepada Bwee Hong sambil berbisik.

   "Kau dengarkan saja, nanti koko tentu akan menceritakan tentang dia," bisik Bwee Hong kembali. Seng Kun menceritakan semua pengalamannya, tentang keadaan Kotaraja yang dikepung oleh pasukan Chu Siang Yu, tentang pertemuan mereka dengan Chu Siang Yu yang kemudian mengajak mereka bertiga berkunjung, kemudian tentang kemunculan Raja Kelelawar dan anak-buahnya untuk mengacau perkemahan Chu Siang Yu akan tetapi akibatnya hampir saja Raja iblis dan anak-buahnya itu celaka.

   Akhirnya dia menceritakan tentang A-hai yang begitu bertemu dengan Raja Kelelawar lalu kumat dan melakukan pengejaran seorang diri. Mendengar penuturan yang hebat menegangkan itu, semua orang termangu-mangu. Terutama sekali Liu Pang dan juga Pek Lian, walaupun antara guru dan murid ini terdapat perbedaan sebab yang membuat mereka termangu. Liu Pang termangu membayangkan kekuatan musuh, sedangkan Pek Lian termenung karena mengkhawatirkan kepergian A-hai yang melakukan pengejaran terhadap Raja Kelelawar seorang diri saja! Sementara itu, Yap Kiong Lee yang tentu saja paling tertarik mendengar kemunculan Raja Kelelawar, ketika mendengar tentang A-hai, menggeleng kepala.

   "Hebat..., hebat! Saudara A-hai itu memang memiliki ilmu kepandaian simpanan yang amat dahsyat. Akan tetapi Raja Kelelawarpun merupakan seorang iblis yang sakti. Aku pernah menghadapi keduanya dan tingkat kepandaian mereka memang jauh diatas tingkatku. Sungguh, aku ingin sekali dapat menyaksikan pertarungan diantara keduanya, tentu akan hebat bukan main!" Semua orang yang mendengar ucapan Yap Kiong Lee ini menarik napas panjang penuh kagum. Pemuda she Yap yang mereka banggakan dan mereka anggap paling lihai itupun masih mengaku kalah terhadap Raja Kelelawar!

   "Hemm, baiknya Raja iblis itu mengacau perkemahan Chu Siang Yu, bukan perkemahan kita!" kata seorang diantara mereka dengan ngeri. Liu Pang yang sejak tadi menundukkan muka dengan alis dikerutkan, lalu berkata,

   "Kita harus berhati-hati. Kalau dibandingkan, diantara kekuatan pemerintah, kekuatan pemberontak Chu Siang Yu dan kekuatan kita, maka kekuatan kita adalah yang paling lemah. Kita harus mengatur siasat sebaik-baiknya agar sekali pukul merupakan pukulan terakhir yang berhasil baik." Mereka bermusyawarah dan akhirnya diambil keputusan bahwa mereka akan membiarkan dua kekuatan itu saling hantam sampai seorang diantaranya kalah dan yang lain, biarpun menang, tetap saja berkurang kekuatannya.

   Saat itulah mereka akan menggempur pihak yang menang. Siasat ini mereka namakan MEMBIARKAN DUA EKOR ANJING MEMPEREBUTKAN TULANG, yang dimaksudkan bahwa dua ekor anjing itu adalah pihak kerajaan dan pihak Chu Siang Yu. Kalau dua ekor anjing itu sudah kelelahan dan yang seekor mati, mudah untuk membunuh yang kedua. Setelah pertemuan dibubarkan untuk memberi waktu istirahat kepada semua orang, Seng Kun dan Bwee Hong bercakap-cakap dengan Yap Kiong Lee yang masih merasa tertarik sekali mengenai diri A-hai dan Raja Kelelawar. Dalam kesempatan ini, Seng Kun menceritakan bahwa dia pernah bertemu dengan ayah angkat atau guru pendekar itu, ialah Yap Cu Kiat atau Yap-lojin ketika orang tua itu melindungi putera mahkota yang hendak dibunuh oleh Kaisar muda.

   "Yap-Lo-cianpwe itu pergi mencari sisa pasukan Jenderal Beng," demikian Seng Kun menutup ceritanya.

   "Akan tetapi... eh, kenapa dalam pertemuan tadi aku tidak melihat Kwa Lo-cianpwe ketua Tai-bong-pai?"

   "Benar! Akupun tadi sudah heran kenapa tidak melihat adik Siok Eng!" Bwee Hong bertanya, Adik ini tahu bahwa sang kakak sesungguhnya mencari dan kehilangan gadis manis puteri ketua Tai-bong-pai itu!
Yap Kiong Lee tersenyum.

   "Aih, hampir aku lupa. Beliau sekeluarga telah pergi dan menitipkan surat untukmu." Dia lalu mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya dan diserahkan kepada Seng Kun. Pemuda ini tidak segera membacanya. Entah bagaimana, biarpun surat itu datangnya dari ketua Tai-bong-pai, karena ketua itu ayah Siok Eng, dia merasa malu membukanya didepan orang lain! Dan untuk menutup rasa malunya, dia membelokkan percakapan dan bertanya.

   "Dan akupun tidak melihat Kam lo-cianpwe dan Kwee Tiong Li!"

   "Merekapun sudah berangkat pergi, baru saja sebelum kalian berdua datang," jawab yang ditanya. Mereka berpisah dan pergi kekemah masing-masing yang sudah disediakan untuk mereka. Setelah berduaan dengan adiknya, baru surat itu dibuka oleh Seng Kun dan isinya ternyata merupakan surat undangan! Dengan resmi, ketua Tai-bong-pai sekeluarga mengundang tuan penolong mereka, Seng Kun dan Bwee Hong, untuk berkunjung ketempat mereka sesudah kakak-beradik itu menyelesaikan semua urusan mereka. Membaca surat undangan itu, Bwee Hong berkata,

   "Kun-ko, kita harus menemui ayah dahulu sebelum pergi mengunjungi mereka." Mendengar nada suara adiknya, Seng Kun memandang.

   "Maksudmu?"

   "Kita harus pergi bersama ayah kesana untuk meminang adik Siok Eng!" Seng Kun menarik napas panjang.

   "Matamu tajam sekali, adikku. Memang, aku tertarik kepadanya. Hanya sayang... ayahnya ketua Tai-bong-pai..."

   "Hemm, apa hubungannya hal itu dengan kalian berdua kalau kalian saling mencinta?"

   "Engkau melupakan ayah kita? Ayah adalah seorang bangsawan, seorang pendeta pula. Aku sangsi apakah beliau suka berbesan dengan ketua Tai-bong-pai." Bwee Hong terdiam dan melihat wajah kakaknya yang muram, ia merangkul,

   "Koko, jangan khawatir, aku akan membantumu membujuk ayah kalau tiba saatnya."

   "Engkau adikku yang baik. Mudah-mudahan engkaupun akan berbahagia kelak dengan... Dia!" Malam itu, Bwee Hong tidur bersama Pek Lian. Keduanya mempunyai rahasia hati, akan tetapi tidak mau saling menceritakan. Bahkan Pek Lian tidak berani bercerita tentang peristiwa yang dialaminya bersama Tiong Li malam tadi.

   
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
***

   Semua perhitungan yang dilakukan oleh Chu Siang Yu yang ahli dalam ilrnu perang itu ternyata berjalan seperti yang digambarkannya. Benteng Kotaraja diserbu. Pasukannya dibantu pasukan asing dari utara dan barat yang besar jumlahnya. Biarpun Kotaraja dilindungi oleh datuk-datuk kaum sesat, akan tetapi tidak mampu menahan gelombang pasukan yang amat besar itu dan akhirnya benteng itupun jatuh. Dan sesuai dengan watak para penjahat, begitu mereka tidak ada harapan lagi, para datuk itupun melarikan diri entah kemana!

   Ketika Chu Siang Yu dan para pembantu pilihannya menyerbu Istana, mereka menemui perlawanan gigih. Kaisar yang jangkung itu dilindungi oleh datuk-datuk sesat seperti Pekpi Siauw-kwi, Jai-hwa Toat-beng-kwi, Sin-go Mo Kai Ci, Sanhek-houw dan masih banyak lagi tokoh-tokoh dunia sesat yang jumlahnya dua puluh orang lebih. Mereka ini mengadakan perlawanan gigih dan ketika keadaan mendesak, Kaisar sendiri yang maju membela diri dan Chu Siang Yu bersama para pembantunya menghadapi suatu kejutan yang hebat. Kiranya Kaisar itu amat lihai, bahkan jauh lebih lihai dari pada para pengawalnya, lebih lihai dari pada penjahat besar seperti Sanhek-houw sendiri!

   Banyak sekali perajurit yang roboh dan tewas ditangan Kaisar dan para pengawalnya ini. Anehnya, Raja Kelelawar sendiri tidak pernah keluar dan agaknya Raja iblis yang licik itu siang-siang sudah melarikan diri dari Istana! Akan tetapi ketika Chu Siang Yu dan beberapa orang bekas komandan pengawal termasuk Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun ikut mengeroyok dan berhasil mendekati Kaisar, barulah mereka tahu bahwa Kaisar yang amat lihai ini ternyata bulanlah Kaisar muda yang diangkat oleh para Menteri dunia sebagai pengganti Kaisar tua yang telah meninggal! Karena memakai pakaian Kaisar, maka hampir sama. Akan tetapi orangnya sama sekali bukan! Ini adalah Kaisar palsu! Keadaan menjadi geger ketika Kim I Ciangkun berteriak-teriak mengatakan bahwa Kaisar adalah Kaisar palsu!

   "Bedebah engkau!" bentak Kaisar itu dan tangannya menyambar kedepan. Kim I Ciangkun dibantu oleh Gin I Ciangkun menyambut, mengerahkan sinkang mereka dan keduanya mempergunakan Hui-ciang dan Swat-ciang yang menjadi andalan mereka.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 9 Naga Beracun Eps 30 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16

Cari Blog Ini