Darah Pendekar 44
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 44
"Hemm, engkau tahu bahwa Bit-bo-ong adalah seorang adik seperguruan kakek guruku yang sudah tidak diakui lagi. Semenjak dia tewas ditangan Lo-cianpwe Sin-kun butek, keturunan atau murid-muridnya tidak berani muncul secara berterang. Hal ini adalah karena sukong memesan kepada keturunannya untuk mengawasi gerak-gerik keturunan bekas sute itu. Bagaimanapun juga, sumber ilmu-ilmunya adalah ilmu keluarga kita, maka kita harus menjaga agar ilmu-ilmu itu jangan dipergunakan untuk kejahatan. Selama ini, tidak ada keturunan Raja Kelelawar yang berani main gila."
"Akan tetapi, kalau sekarang ada orang berani mengaku sebagai Raja Kelelawar, setidaknya dia tentu mempunyai hubungan dengan datuk sesat itu."
"Mungkin engkau benar. Nah, sekarang engkau berangkatlah A-hai. Pertama untuk mencari murid murtad Ma Kim Liang itu dan merampas semua kitab pusaka kita, dan kedua untuk menyelidiki apakah benar ada penjahat yang mengaku bernama Raja Kelelawar merajalela didunia persilatan."
Maka berangkatlah Souw Thian Hai seorang diri untuk mencari bekas sutenya dan penjahat yang mengaku sebagai Raja Kelelawar itu. Setelah berputar-putar selama setahun lebih, akhirnya dia menemukan jejak Raja Kelelawar, bukan jejak adik seperguruannya! Dan pada malam hari yang hebat itu, dia melihat penjahat berjubah hitam itu sedang menyerbu rumah kepala kampung Gu Tek untuk menculik puterinya yang amat cantik! Puteri kepala kampung ini yang bernama Gu Yan Kim memang cantik jelita dan agung seperti seorang puteri saja biarpun ayahnya hanyalah seorang kepala dusun. Memang sesungguhnya, yang mengalir dibawah kulitnya yang putih mulus itu adalah darah bangsawan tertinggi, darah Kaisar!
Diwaktu mudanya, ketika Kaisar melakukan perjalanan berburu dan singgah didusun itu, dia disambut dan dilayani oleh Gu Tek yang ketika itu hanya merupakan seorang petani dan pemburu biasa saja. Kaisar tergila-gila kepada isteri Gu Tek, seorang wanita dusun sederhana dan agaknya justeru kesederhanaannya inilah yang membuat Kaisar tergila-gila. Sebagai seorang Kaisar, setiap hari dia dihadap oleh wanita-wanita cantik akan tetapi kecantikan mereka itu dibantu oleh riasan-riasan muka dan pakaian-pakaian indah. Tidak demikian dengan isteri Gu Tek yang sederhana itu. Kecantikannya adalah kecantikan alam dan Kaisar yang tergila-gila lalu mengajak wanita itu bersamanya ketika dia pulang ke Istana. Gu Tek yang masih pengantin baru itu tidak berani berbuat sesuatu, apa lagi dia lalu diangkat menjadi kepala dusun itu karena dianggap "berjasa" kepada Kaisar!
Akan tetapi setelah wanita itu mengandung, agaknya Kaisar menjadi bosan dan mengirim kembali wanita itu kepada suaminya! Memang tak dapat disangkal pula bahwa hubungan antara pria dan wanita, kalau hal itu terjadi hanya karena daya tarik kecantikan, kedudukan, harta dan sebagainya, maka hubungan yang mereka anggap cinta itu akan gagal dan akhirnya akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan! Daya tarik seperti itu hanyalah nafsu, dan segala macam bentuk nafsu hanyalah sementara saja, tidak mungkin abadi. Inilah sebabnya mengapa pria dan wanita yang tadinya bersumpah setinggi langit saling mencinta, kalau sudah saling memiliki lalu cintanya menguap dan bahkan ada kalanya berobah menjadi kebosanan dan kebencian.
Akhirnya, sepasang manusia yang tadinya bersumpah sehidup semati itu, dalam waktu beberapa bulan atau beberapa tahun saja bercerai! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta kasih! Cinta kasih adalah kekal abadi. Cinta kasih bukan lahiriah, bukan karena nafsu, melainkan terpendam jauh didalam perasaan hati. Cinta kasih menjelma setelah unsur pemisah dan pemecah-belah antar manusia lenyap, dan unsur pemecah-belah itu adalah si aku. Gu Tek menerima kembali isterinya dan tentu saja dia tidak berani menolak. Memang dia masih mencinta isterinya dan setelah seorang anak perempuan terlahir, dia menganggapnya sebagai anak keturunannya sendiri, tentu saja dia merasa bangga mempunyai anak seperti Gu Yan Kim itu. Seorang anak yang mungil dan setelah dewasa menjadi seorang dara yang amat cantik.
Pada malam hari itu, terang bulan membuat malam teramat indah. Langit cerah dan sinar bulan purnama sepenuhnya menerangi bumi. Sesosok bayangan hitam yang amat cepat gerakannya nampak seperti beterbangan dari atas genteng sebuah rumah kerumah lain didusun tempat tinggal keluarga Gu Tek. Bayangan itu adalah seorang laki-laki jangkung kurus yang memakai pakaian serba hitam dengan jubah hitam pula. Ketika dia berlompatan seperti terbang cepatnya itu, jubah hitamnya berkembang dan berkibar membuat dia nampak seolah-olah memang sedang beterbangan seperti seekor kelelawar raksasa! Ketika tiba diatas rumah keluarga Gu Tek, bayangan itu berhenti, kemudian melayang turun dan lenyap.
Tak lama kemudian, bayangan itu sudah melayang naik lagi keatas genteng dan kini dia memanggul seorang gadis yang lemas tak mampu bergerak. Kiranya bayangan hitam itu telah menculik Gu Yan Kim tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikitpun sehingga dara itu tidak sempat berteriak dan tidak ada seorangpun anggauta keluarga itu yang terbangun dari tidurnya. Dengan cepat sekali bayangan hitam itu membawa pergi korbannya, meninggalkan dusun. Dia berhenti disebuah lereng bukit yang datar dimana terdapat batu-batu besar dan diturunkannya dara culikannya itu dari atas pundaknya. Kemudian, sambil menyeringai girang, bayangan itu melepaskan jubah hitamnya. Pada saat itu, wajahnya tertimpa sinar bulan purnama, wajah yang memiliki sepasang mata mencorong seperti mata iblis.
"Keparat Ma Kim Liang, kiranya engkaukah Raja Kelelawar palsu itu?" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah Thian Hai yang sejak tadi membayanginya tanpa diketahui oleh iblis itu. Bukan main kagetnya hati Ma Kim Liang yang sudah menyamar sebagai Raja Kelelawar.
Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ditempat ini dia akan berhadapan muka dengan bekas suhengnya. Rahasianya telah terbuka. Selama bertahun-tahun, setelah mencuri pusaka gurunya, dia bersembunyi ditempat rahasia, dengan tekun mempelajari semua ilmu yang terdapat didalam kitab-kitab pusaka gurunya, juga mempelajari ilmu-ilmu sesat dari kitab-kitab peninggalan Raja Kelelawar! Setelah merasa dirinya lihai, walaupun ada beberapa macam ilmu silat keluarga Souw yang tidak dapat dikuasainya, dan ilmu-ilmu peninggalan Raja Kelelawar juga belum dikuasainya secara sempurna, diapun mulai memperlihatkan diri dengan menyamar sebagai Raja Kelelawar. Dan kini timbullah watak aselinya dan dia tidak segan-segan untuk memuaskan nafsunya dengan jalan menculik dan memperkosa lalu membunuh wanita-wanita cantik yang menimbulkan seleranya!
Biarpun dia merasa terkejut, akan tetapi mengingat bahwa selama beberapa tahun ini dia telah menambah ilmu kepandaiannya, dia menjadi tenang kembali dan sambil tersenyum mengejek dia menyambar kembali jubahnya yang tadi dibuka dan dilemparkannya keatas tanah dekat tubuh dara itu yang menggeletak terlentang tak dapat bergerak karena tubuhnya tertotok lemas dan dara itu hanya dapat memandang dengan mata basah air mata. Dikenakannya kembali jubahnya. Jubah ini amat penting baginya, karena jubah ini adalah jubah pusaka peninggalan Raja Kelelawar, jubah yang membuatnya kebal terhadap serangan senjata apapun. Karena maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat lihai, Ma Kim Liang mengeluarkan sepasang pisau belatinya, senjata istimewa peninggalan Kelelawar Hitam.
"Suheng, akhirnya engkau datang juga. Akan tetapi jangan mengira aku takut kepadamu, karena aku sudah mempelajari semua ilmu keluarga Souw dan engkau hendak menangkapku, berarti engkau sudah bosan hidup. ha-ha-ha!"
"Ma Kim Liang, engkau seorang manusia tak kenal budi. Ayahku telah mengangkatmu sebagai murid dan engkau diperlakukan baik, akan tetapi sebagai balasannya engkau malah mencuri pusaka keluarga kami! Dan engkau malah menyamar menjadi Raja Kelelawar yang sejak dahulu dimusuhi oleh keluarga kami karena dia telah mencemarkan nama keluarga perguruan kami."
"Souw Thian Hai, jangan sombong engkau! Siapa bilang bahwa ayahmu memperlakukan aku dengan baik? Aku dipekerjakan seperti budak pelayan, dan hanya diberi pelajaran ilmu-ilmu silat kelas rendah saja. Ilmu-ilmu yang menjadi simpanan hanya diajarkan kepadamu seorang! Tidak sudah sewajarnyakah kalau aku melarikan semua pusaka untuk kupelajari sendiri? Dan tentang Raja Kelelawar, memang akulah keturunannya, akulah ahli waris satu-satunya dari semua ilmu dan pusakanya. Lihat pakaian dan jubah ini, lihat sepasang pisau ini dan lihatlah ilmu-ilmu yang sudah kumiliki, ha-ha-ha!"
"Ma Kim Liang, engkau menguasai pusaka Raja Kelelawar tentu ada hubungannya dengan mayat yang berada didasar jurang itu!"
"Ha-ha-ha, engkau dan ayahmu yang tolol itu baru tahu sekarang? Dia itu murid dari cucu murid Raja Kelelawar, seorang manusia berotak miring yang hendak menyerahkan semua pusaka kepada ayahmu. Orang gila itu kubunuh dan pusakanya kurampas, kusatukan dengan pusaka keluarga Souw dan kupelajari"
"Jahanam busuk engkau!" Souw Thian Hai lalu menyerang bekas sutenya itu. Akan tetapi, sutenya tertawa, meloncat dengan amat cekatan kesamping lalu menggunakan sepasang pisau belatinya untuk balas menyerang. Melihat gerakan bekas sutenya, Thian Hai terkejut. Dia maklum bahwa sutenya menguasai pula semua ilmu silat keluarganya, maka kalau tidak mempergunakan ilmu simpanan yang tidak mungkin dipelajari sutenya, dia akan terancam bahaya besar. Maka, cepat dia mulai bergerak mempergunakan kaki tangannya mainkan ilmu Thai-kek Sin-ciang. Begitu tangan kirinya bergerak, angin dahsyat menyambar dan dari jauh pukulan itu sudah merupakan serangan maut yang menerjang kearah Ma Kim Liang.
"Ah, Thai-kek Sin-ciang!" Ma Kim Liang berseru. Dia mengenal ilmu ini karena dia sudah memiliki kitabnya, akan tetapi sampai pusing dia mencoba untuk mempelajarinya, hasilnya nihil. Dan kini lawannya mempergunakan ilmu itu untuk menyerangnya. Diapun berhati-hati sekali, cepat menggerakkan pundak sehingga jubah hitam itu melindungi tubuhnya, dan diapun menerjang dengan sepasang belatinya. Akan tetapi, angin dahsyat itu menggempurnya dan tahu-tahu telapak tangan Thian Hai menyambar kearah lehernya. Kim Liang menyambut dengan pisau belati yang menggurat kearah pergelangan tangan itu. Tahu-tahu tangan itu meluncur kebawah dan menampar dadanya.
"Dukk!" Dada Kim Liang kena ditampar, akan tetapi tubuhnya terdorong kebelakang tanpa menderita luka karena dada itu terlindung oleh jubah hitam yang amat kuat. Sebaliknya, Thian Hai terkejut sekali ketika merasa betapa tangannya bertemu dengan benda lunak yang amat kuat! Dan bagaikan kilat menyambar, tahu-tahu dua batang pisau belati ditangan Kim Liang yang telah berubah menjadi dua gulung sinar itu menyambar dengan serangan mautnya!
Thian Hai cepat meloncat kebelakang dan menggerakkan tangan mendorong, kembali mengerahkan tenaga Thai-kek Sin-ciang sehingga angin besar menahan gerakan Kim Liang, membuat serangannya gagal. Mereka serang menyerang dengan hebatnya, Thian Hai mengandalkan ilmu yang belum dikuasai oleh lawan, sedangkan Kim Liang yang kalah unggul ilmunya itu mengandalkan kekebalan jubah hitam dan keampuhan sepasang belatinya. Sampai tiga puluh jurus lebih mereka saling serang dengan serunya, namun masih sukar bagi Thian Hai untuk mengalahkan lawan, apa lagi menangkapnya. pemuda ini lalu merobah gerakan tangannya dan begitu tangan kirinya menyambar, nampak uap putih yang amat panas menerjang kedepan.
"Thai-lek Pek-kong-ciang!" kata pula Ma Kim Liang dengan gentar. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi tetap saja tubuhnya terguling ketika telapak tangan Thian Hai sempat menyerempetnya. Karena maklum bahwa agaknya tidak mungkin baginya dapat menandingi bekas suhengnya yang amat lihai itu, Kim Liang terus bergulingan sampai jauh, lalu meloncat dan menghilang didalam kegelapan malam.
"Jahanam, hendak lari kemana engkau...?" Thian Hai hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu dia mendengar suara rintihan lemah dan teringatlah dia akan gadis yang terculik tadi. Ah, mengapa dia begitu sembrono? Kalau dia mengejar, mungkin saja Kim Liang mengambil jalan memutar untuk membawa lari lagi gadis itu.
Melakukan pengejaran terhadap seorang yang ginkangnya setingkat dengan dia, apa lagi diwaktu malam ditempat yang tidak dikenalnya benar, tentu akan berbahaya sekali. Dia tidak jadi mengejar dan melihat kesekeliling. Hebat memang perkelahian antara dia dan sutenya tadi. Ada pohon tumbang bekas pukulan atau tendangan kaki Kim Liang, bahkan ada batu besar yang ditinggali tanda bekas jari tangan sutenya. Dia bergidik. Sutenya itu kini lihai sekali dan kalau dia tidak mahir dua macam ilmu simpanan keluarganya tadi, kiranya belum tentu dia akan menang. Dengan hati-hati dia lalu menghampiri dara itu, membebaskan totokannya dari begitu dapat bergerak dara itu lalu berlutut didepan kaki Thian Hai sambil menangis. Thian Hai menjadi gugup dan disentuhnya pundak itu dan disuruhnya gadis itu bangkit berdiri.
"In-kong (tuan penolong) telah menyelamatkan saya dari malapetaka hebat, sampai mati saya tidak akan melupakan budi inkong yang amat besar itu." kata si dara dengan suara bercampur sedu sedan.
"Ah, sudahlah, nona. Penjahat itu memang pantas dihajar. Siapakah nona dan dimana rumahmu? Apakah dirumah dalam dusun dari mana engkau diculik tadi?"
"In-kong sudah mengetahuinya?"
"Sejak tadi aku membayangi penjahat itu yang memang menjadi incaranku sejak tadi."
"In-kong, nama saya adalah Gu Yan Kim, ayahku adalah kepala dusun itu bernama Gu Tek. Bolehkah saya mengetahui nama inkong yang mulia?"
"Namaku Souw Thian Hai. Mari kuantar engkau pulang, nona."
Keduanya lalu berjalan menuju kedusun itu tanpa berkata-kata lagi. Akan tetapi keduanya kadang-kadang saling lirik dan diam-diam Thian Hai merasa heran sendiri mengapa hatinya begitu tertarik kepada wajah yang cantik jelita ini! begitu bertemu dan bicara, dia telah jatuh cinta kepada wanita ini! Tentu saja ketika mereka mengetuk pintu dan disambut oleh Gu Tek dan isterinya, kedua orang tua itu terkejut bukan main melihat puteri mereka tahu-tahu mengetuk pintu dari luar ditemani seorang pemuda asing yang berpakaian sasterawan! Lebih kaget lagi hati mereka ketika mendengar penuturan puteri mereka bahwa ia diculik penjahat dan diselamatkan oleh pemuda itu yang selanjutnya mereka kenal sebagai Souw kongcu. Peristiwa itu ternyata menjadi awal perjodohan antara Thian Hai dan Yan Kim.
Keduanya saling mencinta dan ketika orang tua Thian Hai mengajukan pinangan, tentu saja diterima dengan gembira oleh keluarga kepala dusun itu. Tanpa ada halangan apapun, berlangsunglah pernikahan antara Souw Thian Hai dan Gu Yan Kim. Thian Hai mengajak isterinya tinggal dirumah keluarganya yang terpencil, dan kadang-kadang mereka mengunjungi keluarga Gu Tek didusun itu. Sampai mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Souw Lian Cu, kebiasaan mengunjungi dusun itu masih sering dilakukan. Kadang-kadang Souw Thian Hai hanya pergi berdua dengan puterinya yang amat dicintanya, dan kadang-kadang juga bersama isterinya. Akan tetapi karena keluarga Souw hidup dalam keadaan menjauhkan diri dari dunia ramai, maka keluarga Go tidak pernah diperkenankan mengunjungi lembah itu.
Ketika dirayakan pesta pernikahanpun, keluarga Souw yang datang berkunjung dan pesta diadakan dirumah keluarga Go. Souw Thian Hai hidup rukun dengan isterinya, saling mencinta dan dalam suasana yang bahagia. Mereka semua sudah hampir melupakan Ma Kim Liang karena tidak ada kabar ceritanya lagi tentang murid murtad itu. Juga didunia kang-ouw tidak ada lagi terdengar munculnya orang yang mengaku sebagai Raja Kelelawar. Akan tetapi, sesungguhnya Ma Kim Liang tidak tinggal diam begitu saja. Hatinya sakit bukan main karena kekalahannya terhadap bekas suhengnya. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa gadis dusun yang membuatnya tergila-gila itu kabarnya menjadi isteri suhengnya dan hidup berbahagia di lembah, hatinya dipenuhi oleh iri dan dendam.
Dia menggembleng dirinya dengan tekun sekali, terutama dia mempelajari ilmu-ilmu aneh dari Raja Kelelawar disamping memperdalam ilmu-ilmu yang didapatnya dari keluarga Souw. Juga dia mempelajari ilmu yang jahat tentang racun-racun karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi dua ilmu simpanan keluarga Souw yang sukar dikalahkan itu. Selama tiga tahun dia menyiksa diri dengan tekun berlatih siang malam tak mengenal lelah sehingga setelah tiga tahun dia keluar dari dalam guha persembunyiannya, tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya menjadi jauh lebih tua dari pada usia yang sesungguhnya. Setelah merasa dirinya benar-benar memperoleh kemajuan yang amat pesat, diapun berangkat untuk membalas dendam atas kekalahannya dan melampiaskan iri hatinya terhadap Thian Hai!
Malam itu gelap gulita dan hujan turun dengan derasnya di lembah tempat tinggal keluarga Souw. Sungai kecil yang biasanya berair bening dan tidak begitu besar, kini meluap dengan air bercampur lumpur, dan anak sungai yang biasanya mengeluarkan bunyi berdendang merdu, kini mengeluarkan bunyi gemuruh yang menyeramkan. Karena hawa menjadi dingin oleh hujan, sore-sore keluarga Souw sudah tidur dikamar masing-masing. Isteri Souw Koan Bu menemani menantunya, bercakap-cakap dalam kamar mantunya karena malam itu, Gu Yan Kim hanya sendirian saja dikamarnya.
Suaminya, Souw Thian Hai dan puterinya, Souw Lian Cu yang baru berusia dua tahun, pergi keluar rumah sejak sebelum hujan. Mereka semua tahu bahwa malam itu Souw Thian Hai berlatih ilmu silat didekat air terjun, dan biasanya kalau sedang berlatih, hujan atau panas tidak menjadi penghalang, bahkan menambah gemblengan dengan kerasnya hawa udara. Dan sore tadi Thian Hai mengajak anak perempuan yang amat dicintanya itu, dengan maksud untuk mulai melatih tubuh anak itu dengan perobahan hawa udara. Dia mengajak pula Pouw Hong, pelayan setia itu untuk menjaga Lian Cu selagi dia berlatih dibawah air terjun, berlatih sinkang.
Malam yang gelap menyeramkan itu bertambah seram dengan munculnya bayangan hitam yang mengintai dirumah terpencil itu. Dengan gerakan yang amat hati-hati dan sama sekali tidak dapat terdengar oleh seorang sakti seperti Souw Koan Bu sekalipun karena suara itu tertutup oleh suara air hujan, bayangan hitam itu menyelinap dan mengintai kedalam kamar belakang. Bayangan ini bukan lain adalah Ma Kim Liang yang sudah mengenakan pakaian Raja Kelelawar! Dia harus berhati-hati. Berbahayalah menghadapi Souw Koan Bu dan Souw Thian Hai begitu saja dan dia sudah mengatur muslihat dan siasat yang baik untuk melum-puhkan mereka. Kebetulan sekali hujan menolongnya. Kalau tidak ada hujan lebat yang menimbulkan suara berisik ketika menimpa genteng, dia tentu akan ragu-ragu untuk melepaskan siasatnya, maklum betapa lihainya keluarga itu.
Ketika dia mengintai kedalam kamar Souw Thian Hai yang amat dibencinya, dia melihat seorang wanita muda cantik sedang bercakap-cakap dengan subonya. Jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. Itulah gadis yang pernah digilainya dan yang kemudian menjadi isteri Souw Thian Hai! Cepat dia mengeluarkan sesuatu dari bungkusannya, lalu membuat api dan membakar sesuatu yang mengeluarkan asap tebal. Dilubanginya jendela kamar dan ditiupnya asap tebal itu memasuki kamar. Semua ini dapat dilakukannya dengan aman, karena selain gemuruh air hujan menyembunyikan semua suara yang ditimbulkannya, juga dua orang wanita didalam itu tidak memiliki ilmu silat tinggi. Dan dengan girang dia melihat betapa kedua orang wanita itu berkali-kali menutupkan tangan kedepan mulut, menguap dan akhirnya keduanya tidur pulas diatas kursi dengan berbantal tangan diatas meja!
Sayang Souw Thian Hai tidak berada dikamarnya, pikirnya. Dia tidak berani bertindak sembrono dan tubuhnya bergerak menyusup kebangunan yang sudah amat dikenalnya itu dan tak lama kemudian dia sudah mengintai kekamar bekas gurunya. Dan girangnya bukan main melihat suhunya rebah miring dan agaknya sudah hampir tidur karena pernapasannya sudah panjang dan halus, nampak dari kembang kempisnya dada yang berselimut itu. Bagus, pikirnya, suasananya ternyata amat menguntungkan dan memudahkan segalanya. Dia mengeluarkan sebatang bambu sumpit dan tiga batang jarum halus berwarna merah. Dimasukkannya jarum-jarum itu kedalam sumpit dan disusupkan sumpit itu melalui lubang jendela. Setelah membidik dengan hati-hati, dia mengerahkan khikangnya dan sekali tiup, tiga batang jarum itu meluncur seperti kilat cepatnya menuju kearah sasarannya.
Betapapun lihainya Souw Koan Bu, dibokong seperti itu tentu saja dia tidak berdaya. Andaikata tidak sedang turun hujan, mungkin saja dia dapat menangkap suara desir angin tiga batang jarum itu. Akan tetapi kalaupun ada suara itu, kalah jauh oleh suara rintik hujan diatas atap rumah, maka tahu-tahu pendekar sakti ini merasa nyeri pada pung-gungnya. Sebagai seorang ahli silat yang sakti, dia segera meloncat sambil mengebutkan selimutnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia merasa betapa punggungnya nyeri sekali, gatal, panas dan ada rasa kesemutan menjalar dari punggungnya, mengancam kelumpuhan tubuh! Dia sadar akan adanya malapetaka dan segera dia teringat akan isteri dan mantunya. Cepat dia menubruk kearah pintu yang tertutup.
"Brakkkkk!" Daun pintu kamarnya ambrol dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah memasuki kamar mantunya. Asap harum keras menyambutnya dan kakek ini menggunakan kedua tangan memukulkan angin kedepan. Asap itu segera membuyar dan terdesak keluar. Setelah asap membuyar, Souw Koan Bu melihat betapa isteri dan mantunya sudah tertidur pulas diatas tempat duduk mereka. Ini tidak wajar, pikirnya dan dia menghampiri. Tahulah dia bahwa mereka berdua itu telah keracunan asap tadi. Dia hendak menolong, membungkuk, akan tetapi tiba-tiba rasa nyeri yang hebat menyerang punggungnya dan dia terhuyung.
"Ha-ha-ha-ha! Souw Koan Bu, akhirnya engkau roboh juga ditanganku!" Souw Koan Bu cepat membalikkan tubuhnya dan terkejutlah dia melihat orang berpakaian hitam berjubah hitam itu.
"Raja... Raja Kelelawar!" katanya seperti mimpi, akan tetapi segera dia mengenal wajah itu, wajah muridnya sendiri.
"Engkau?!" Dia hendak menerjang, akan tetapi kembali begitu mengerahkan sinkang, punggungnya terasa nyeri. Racun yang terkandung dalam tiga batang jarum itu sungguh hebat bukan main, dan jarum-jarum itu sudah masuk kedalam tubuhnya.
"Uhhh!" Dia mengeluh dan bekas muridnya itu tertawa bergelak, campur dengan suara air hujan dan angin sehingga terdengar mengerikan, seperti suara iblis dalam dongeng.
"Ma Kim Liang, mengapa engkau memusuhiku?" bentaknya karena dia merasa penasaran sekali. Kalau murid murtad itu mencuri pusaka karena tamak, hal itu masih dapat dimengertinya. Akan tetapi sesungguhnya bekas murid ini tidak ada alasan untuk memusuhinya!
"Ha-ha-ha, engkau tidak tahu? Aku adalah keturunan Raja Kelelawar, ha-ha-ha. Aku harus membasmi orang-orang yang pernah memusuhi nenek moyangku itu, dan aku akan membangun kembali kerajaan dunia sesat dimana aku akan menjadi Rajanya, ha-ha-ha...!" Souw Koan Bu sudah mendengar dari puteranya tentang pusaka peninggalan Raja Kelelawar yang dirampas oleh Kim Liang dengan membunuh cucu murid Raja iblis itu. Kim Liang sama sekali bukan keturunan Raja iblis itu, juga bukan murid yang diangkat secara sah. Maka sikapnya itu membuat dia merasa serem.
"Engkau... telah gila!" bentaknya.
"Ha-ha-ha, dan engkau akan mampus!" Ma Kim Liang yang merasa yakin akan kemenangannya menubruk maju. Dia sudah memperdalam ilmu-ilmunya sehingga kini menghadapi bekas gurunyapun, dia belum mencabut pisaunya dan hanya menggunakan pukulan sakti Kim-liong Sin-kun untuk menyerang bekas gurunya itu.
"Huh, Kim-liong Sin-kun inipun berasal dari keluarga kami!" kata Souw Koan Bu dan dengan mudahnya dia mengelak kesana-sini karena dia hafal akan ilmu silat ini. Akan tetapi ketika dia menangkis dan bertemu tenaga dengan bekas muridnya, dia mengeluh dan terhuyung, hampir terjatuh. Ternyata sebagian tubuhnya lumpuh oleh racun jarum-jarum itu.
"Ha-ha-ha!" Kim Liang tertawa lagi dan menyerang terus. Akan tetapi, ternyata kakek yang sudah terluka parah dan keracunan itu masih hebat bukan main. Biarpun sebagian tubuhnya lumpuh, namun ilmu silatnya yang amat tinggi membuat dia masih dapat melawan dengan hebatnya. Apa lagi ketika dia mengeluarkan dua ilmu Thai-kek Sin-ciang dan Thai-lek Pek-kong-ciang, biarpun tenaga sinkangnya sudah berkurang namun kedua ilmu ini masih hebat dan membuat Kim Liang yang belum dapat menguasai kedua ilmu itu menjadi sukar untuk merobohkannya.
"Keparat!!" bentaknya marah dan kini dia mencabut sepasang belatinya! Dan pemuda ini lalu mengamuk. Kasihan sekali Souw Koan Bu yang sudah mulai lemah itu. Gerakannya kurang cepat, tenaganya kurang kuat dan tubuhnya penuh dengan luka-luka pisau yang menyambar ganas. Akan tetapi, kakek itu masih melawan terus dengan hebatnya. Bahkan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik melengking yang tinggi sekali, pekik yang dimaksudkan untuk melumpuhkan lawan dan memanggil puteranya. Akan tetapi begitu mengerahkan khikang sekuatnya, napasnya hampir putus dan dia terjengkang. Kim Liang yang sudah marah itu menubruk dan sebuah tendangan mengenai perutnya.
"Bukk!" Kim Liang terjengkang akan tetapi tidak terluka karena jubahnya melindunginya. Dia marah sekali dan dua batang pisaunya disambitkan dari jarak dekat.
"Crott! Crottt!!" Souw Koan Bu hanya sempat mengeluarkan gerengan sekali karena dua batang pisau itu telah menembus jantung dan paru-parunya. Dia tewas dalam keadaan menyedihkan sekali. Biarpun tendangan tadi tidak melukainya, akan tetapi membuat isi perutnya terguncang dan kemarahan Ma Kim Liang memuncak. Dia mencabut kedua pisaunya lalu mengamuk, menusuki tubuh Souw Koan Bu sampai ludas.
Darah berhamburan kemana-mana dari tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu. Sebentar saja, tubuh pendekar itu sudah hancur dan hanya tinggal kepalanya saja yang utuh. Ma Kim Liang seperti gila. Dia tertawa-tawa, lalu menghampiri nyonya Souw Koan Bu. Dengan kejam, sambil menyeringai sadis, kedua pisaunya digerakkan dan leher nyonya itu terpenggal! Darah menyembur-nyembur dan kini tubuh nyonya itupun menjadi korban keganasan iblis ini. Yang terakhir kali, Ma Kim Liang menghampiri tubuh Yan Kim yang masih pulas diatas tempat duduknya. Sekali tendang, tubuh itu terpelanting dan roboh keatas lantai yang penuh darah, terlentang. Pisau-pisau itu bekerja dan dalam waktu sekejap saja semua pakaian wanita cantik itu terlepas, membuatnya rebah terlentang dengan telanjang bulat dalam keadaan masih pulas.
"Ha-ha-ha, engkau tidak mau menjadi kekasihku dan menjadi isteri Souw Thian Hai? Ha-ha-ha, perempuan tolol, sekarangpun aku tidak sudi kepadamu!" Dan kedua batang pisau itupun menyambar-nyambar ganas.
Kembali darah muncrat-muncrat ketika menyayat-nyayat dada dan perut. Wanita itu tewas tanpa sempat bergerak atau mengeluh lagi karena masih terbius oleh racun asap. Sementara itu, tanpa menduga sedikitpun akan malapetaka hebat yang menimpa keluarganya, Souw Thian Hai sedang melatih sinkang dibawah air terjun. Puterinya, Souw Lian Cu, sudah tidur pulas didalam guha dibelakang air terjun, dijaga dan ditunggui oleh Pouw Hong, pelayan keluarga Souw yang setia itu. Tiba-tiba Thian Hai mendengar suara melengking tinggi memecah keheningan malam. Dia terkejut dan mengenal suara khikang ayahnya. Sungguh aneh sekali kalau ayahnya mengeluarkan suara melengking itu dimalam buta! Pasti ada sesuatu, pikirnya.
Akan tetapi dia tidak merasa khawatir, tidak menyangka buruk karena dia percaya penuh kepada ayahnya yang sakti. Siapa yang akan berani mengganggu keluarganya? Biarpun demikian, dia lalu memesan kepada Pouw Hong untuk menanti disitu sambil menjaga Lian Cu karena dia hendak pulang sebentar untuk melihat apa yang terjadi. Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah tiba dirumah keluarganya. Lampu penerangan masih bernyala dan diapun cepat menuju kekamarnya dan terkejutlah hatinya melihat dari luar betapa pintu kamarnya telah jebol. Dengan jantung berdebar dia lalu meloncat kedalam kamar. Lilin masih bernyala didalam kamar itu, bahkan tidak seperti biasanya, ada lima batang lilin bernyala diatas meja sehingga kamar itu menjadi terang sekali.
"Aaiiihhhh!" Tak terasa Thian Hai menjerit ketika matanya terbelalak memandang kedalam kamar. Mukanya seketika menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak liar seperti tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pemandangan didalam kamar itu akan dapat meremas hati orang yang bagaimana tabah pun juga. Tubuh Souw Koan Bu hancur seperti cacahan daging, hanya kepalanya saja yang dibiarkan utuh sehingga dapat dikenal bahwa mayat yang dicincang itu adalah mayat pendekar sakti ini. Dan tak jauh dari situ menggeletak tubuh ibunya yang berada digenangan darah yang masih mengucur dilantai, keluar dari lehernya yang putus! Kemudian, matanya menatap tubuh isterinya. Telanjang bulat dan bagian depan tubuh itu disayat-sayat!
"Houkkk!" Thian Hai hampir muntah dan diapun menubruk kedepan, berlutut dan bengong seperti patung. Terlalu hebat pemandangan itu, membuat dia hampir pingsan dan kehilangan kesadaran. Terlalu hebat pukulan dan guncangan batin yang diterima pendekar ini sehingga dia tak tahu harus berbuat apa. Tidak ada suara lagi keluar dari kerongkongannya, dan dia diam saja tak bergerak seperti telah kehilangan semangatnya. Kedukaan itu terlampau besar, kekagetan itu terlampau tiba-tiba. Dalam keadaan setengah pingsan dan kehilangan kesadaran itu tentu saja Thian Hai menjadi lengah, tidak tahu bahwa ada sesosok tubuh menyelinap masuk dengan gerakan yang amat ringan.
Bayangan ini bukan lain adalah Ma Kim Liang. Pemuda yang menaruh dendam ini memang sengaja memasang banyak lilin agar kamar itu menjadi terang dan dia menyelinap bersembunyi mengintai ketika Thian Hai memasuki kamar. Ketika dia melihat musuh besarnya itu berlutut didekat mayat-mayat itu dan tak bergerak seperti kehilangan semangat, diapun secepat kilat menyerang dengan Ilmu Sam-ci Tiam-hwe-louw, yaitu totokan menggunakan tiga jari tangan yang amat kuat, satu diantara ilmu-ilmu simpanan keluarga Souw! dengan tiga jari tangannya, Kim Liang menotok kearah ubun-ubun kepala Thian Hai yang sedang berlutut. Serangan ini hebat sekali dan kalau mengenai sasaran diubun-ubun tentu akan mendatangkan maut, betapapun lihainya orang yang terkena serangan ini.
Thian Hai adalah satu-satunya keturunan keluarga Souw yang telah mewarisi semua ilmu keluarga ini. Ilmu silatnya yang amat tinggi sudah mendarah daging didalam tubuhnya, sehingga dia seperti memperkuat atau mempertajam indera keenam yang tidak digerakkan lagi oleh pikiran, melainkan bergerak secara otomatis setiap kali tubuhnya diancam bahaya. Demikian pula, pada saat itu, secara tiba-tiba indera keenam itu bekerja dan tubuh Thian Hai secara otomatis pun mengelak. Akan tetapi, sekali ini yang menyerangnya adalah seorang lawan yang amat lihai sehingga elakannya itu tidak berhasil sepenuhnya. Totokan Sam-ci Tiam-hwe-louw yang menggunakan tiga jari tangan itu, yang tadinya menyambar kearah ubun-ubun, ketika dielakkan masih saja mengenai pelipis Thian Hai.
"Tukk!!" Tubuh Thian Hai terjengkang dan dari mata, mulut, telinga dan hidungnya mengalir darah segar! Melihat ini, Kim Liang tertawa bergelak, merasa yakin akan keberhasilan serangannya walaupun hanya mengenai pelipis dan bukan ubun-ubun yang dijadikan sasaran. Akan tetapi, tiba-tiba dia harus menghentikan tawanya karena Thian Hai sudah melompat dan menerjangnya dengan dahsyat bukan main! Kim Liang hampir tidak percaya. Totokan tiga jari tangannya tadi tepat mengenai pelipis! Orang lain tentu akan tewas seketika dan biarpun karena kekebalan dan kelihaiannya bekas suhengnya ini tidak sampai tewas, tentu menderita luka yang hebat. Akan tetapi bagaimana mungkin Thian Hai bahkan masih dapat menyerangnya sedemikian dahsyat? Dia tidak memperoleh banyak waktu untuk memikirkan teka-teki ini karena bekas suhengnya itu menyerang dengan hebat sekali.
Terpaksa Kim Liang mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melawan. Thian Hai mengamuk. Agaknya totokan itu telah mempengaruhinya, membuatnya kehilangan kesadaran dan kerongkongannya mengeluarkan suara menggereng-gereng seperti binatang buas dan sepak terjangnya amat hebat. Beberapa kali Kim Liang terkena hantaman dan tendangannya dan kalau bukan Kim Liang, tentu telah roboh. Kim Liang merasa gentar bukan main. Biarpun bekas suhengnya ini sudah terluka hebat, akan tetapi dapat mengamuk sedemikian dahsyatnya. Ngeri dia memikirkan kalau harus melawan bekas suhengnya ini dalam keadaan sehat. Akhirnya, dia terpaksa melarikan diri membawa beberapa luka pukulan setelah mencoba untuk melawan selama seratus jurus lebih. Bekas suhengnya itu masih terlampau kuat baginya!
Souw Thian Hai menderita hebat akibat totokan Sam-ci Tiam-hwe-louw itu. Dia kehilangan kesadarannya, kehilangan ingatannya dan seperti berobah menjadi gila. Biarpun lawannya sudah melarikan diri, dia tetap mengamuk seperti orang gila. Rumah itu dihancurkan, dirobohkan lalu dibakar! Tentu saja jenazah ayah-bundanya dan isterinya habis terbakar pula, menjadi satu dengan puing rumah yang dibakarnya. Sambil membakar rumah, Thian Hai berloncatan kesana-sini sambil kadang-kadang tertawa kadang-kadang menangis. Kemudian diapun meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia berlari terus siang malam tiada hentinya sampai akhirnya beberapa hari kemudian dia roboh pingsan disebuah padang rumput, dimana terdapat banyak domba.
Dia ditolong oleh para penggembala domba dan setelah siuman diapun jatuh sakit hebat. Akan tetapi, jasmaninya yang terlatih baik itu dapat mengatasi derita karena luka pukulan dan tubuhnya sembuh. Akan tetapi ingatannya lenyap dan dia sudah lupa segala-galanya tentang dirinya. Dia tidak tahu lagi siapa dirinya dan siapa atau dimana keluarganya. Sementara itu, Pouw Hong yang menjaga Souw Lian Cu, akhirnya mengetahui akan malapetaka yang menimpa keluarga majikannya. Diapun melarikan Lian Cu dan karena dia ketakutan kalau-kalau para musuh keluarga itu akan mencarinya, dia lalu membawa Lian Cu kepada adik perempuannya yang sudah menikah dengan seorang she Gan yang hidup ditepi rawa itu. Dan anak perempuan itupun lalu berganti nama menjadi Gan Cui Hiang!
Demikianlah riwayat Souw Thian Hai yang kemudian hanya mengingat namanya sebagai A-hai, yaitu nama kecil yang biasa dipakai ayah-bundanya untuk memanggilnya. Seng Kun dan Bwee Hong mendengarkan cerita A-hai atau Souw Thian Hai itu dengan hati tertarik, dan keharuan besar menyelinap didalam hati Bwee Hong mendengar betapa buruk nasib keluarga pria yang dicintanya itu. Diam-diam iapun berjanji dalam hatinya bahwa kalau sudah tiba saatnya, ia akan memenuhi sisa hidup pria itu dengan cintanya agar Thian Hai mengalami kebahagiaan. Demikianlah, setelah Thian Hai menuturkan riwayatnya, dia lalu pergi menjemput puterinya dirumah kepala dusun Gu Tek. Pertemuan itu amat mengharukan. Begitu bertemu dengan Gu Tek yang menggandeng tangan Cui Hiang, Thian Hai menubruk dan merangkul anak perempuan itu, menciuminya dan berkata,
"Anakku..., anakku..., engkau anakku! Lian Cu, engkau Lian Cu...!" Tentu saja Cui Hiang, anak perempuan yang buntung sebelah lengannya itu, menjadi kaget, bingung dan juga ketakutan.
"Paman... paman, ada apakah ini...?" katanya heran.
Juga kepala dusun Gu Tek terkejut mendengar bahwa anak perempuan yang memang memiliki ciri-ciri khas keluarga diubun-ubun dan punggungnya itu ternyata adalah cucunya yang hilang! Setelah Cui Hiang atau Lian Cu itu mendengar cerita tentang keluarga ayahnya, iapun menangis dalam rangkulan ayahnya dan malam itu keluarga Gu Tek berada dalam suasana penuh keharuan dan juga kegembiraan karena keluarga itu dapat bersatu kembali. Pada keesokan harinya, Thian Hai kembali ke Kotaraja. Dia menemui Seng Kun, Bwee Hong, Pek Lian dan semua orang yang pernah dikenalnya untuk minta diri, kemudian diapun mengajak Lian Cu pergi meninggalkan Kotaraja untuk melakukan pengejaran terhadap Raja Kelelawar yang berhasil meloloskan diri, karena dia bersumpah didalam hatinya untuk mencari dan membunuh bekas sutenya itu!
Thian Hai dan Lian Cu melakukan perjalanan kearah selatan. Disepanjang perjalanan, ayah dan anak ini saling melepas rindu hati mereka. Mereka berdua itu kini merasa benar bahwa mereka hanya saling memiliki didunia ini, tidak ada orang lain. Setidaknya, demikianlah yang terasa oleh Lian Cu karena disudut hati Thian Hai terdapat bayangan wajah Bwee Hong! Karena dia dapat menduga bahwa bekas sutenya, Ma Kim Liang kini telah berobah menjadi Raja Kelelawar dan menjadi Raja diantara penjahat, dia lalu mendatangi tempat-tempat yang terkenal menjadi sarang dunia hitam. Dia pikir tentu akan lebih mudah mencari jejak Raja Kelelawar melalui lembah hitam dunia kaum sesat.
Pada suatu hari, ketika memasuki sebuah hutan, dari jauh saja Thian Hai sudah dapat menangkap suara hiruk-pikuk orang-orang berkelahi. Cepat dia memberi isyarat kepada Lian Cu untuk berhati-hati. Pada waktu itu, Lian Cu sudah berusia kurang lebih dua belas tahun, dan anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang secara kilat diajarkan ayahnya kepadanya. Bahkan selagi ayahnya masih menjadi "A-hai" ia sudah menerima gemblengan ilmu itu. Ia dapat menerimanya dengan amat mudah karena memang sejak bayi ia sudah "Dioperasi" sesuai dengan aturan keluarga Souw yang sakti.
Dan orang-orang akan merasa heran melihat betapa pria semuda Thian Hai dapat mempunyai seorang anak perempuan yang sudah berusia dua belas tahun. Akan tetapi, yang mengenal sejak dahulu tidak akan merasa heran karena tahu bahwa Thian Hai kini telah berusia tiga puluh satu atau dua tahun! Kalau dia masih nampak muda, hal itu adalah karena racun totokan Sam-ci Tiam-hwe-louw itulah! Selain mendatangkan luka parah dan membuat ingatannya hilang, juga racun totokan itu membuat dia seperti tidak menjadi semakin tua! Kini Thian Hai menyusup-nyusup diantara batang-batang pohon bersama puterinya. Lian Cu juga bersikap waspada dan hati-hati, dan jantungnya berdebar tegang. Inilah pengalaman pertama sejak ia melakukan perjalanan bersama ayah kandungnya. Setelah tiba ditempat pertempuran, mereka menyelinap dan bersembunyi sambil mengintai dari balik semak belukar.
Ternyata yang sedang berkelahi itu adalah dua kelompok penjahat kasar yang sedang memperebutkan harta! Melihat pakaian mereka dan cara mereka berkelahi, Thian Hai mengerti bahwa mereka itu adalah orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi keroyokan. Karena dia ingin sekali tahu mengapa mereka berkelahi dan siapakah mereka, dia mempergunakan kepandaiannya. Dengan gerakan cepat dia meloncat dari tempat sembunyinya, mencengkeram leher baju seorang diantara mereka yang sudah terluka dan menyeretnya kebalik semak-semak. Tidak ada yang melihat perbuatan pendekar ini karena semua orang sedang sibuk berkelahi. Setelah dipaksa dengan ancaman, orang itupun mengaku dan dengan suara terputus-putus dia bercerita. Ternyata dua puluh orang lebih itu adalah bekas pasukan pengawal dari Istana, anak-buah Perdana Menteri Li Su.
Ketika Kotaraja terancam oleh barisan pemberontak, Perdana Menteri Li Su siang-siang sudah mempersiapkan pengungsian keluarga dan harta bendanya. Perdana Menteri Li Su adalah seorang pembesar yang korup. Harta bendanya banyak sekali dan untuk menyelamatkan harta benda dan keluarganya, dia menyuruh sepasukan pengawal mengantar keluarganya keluar Kotaraja, kembali kekampung halaman. Dia mengatakan agar pasukan itu berangkat dulu dan dia akan menyusul kemudian. Akhirnya pasukan itu berhasil mengawal keluarga dan harta benda itu sampai dipantai timur, dimana direncanakan untuk menanti kedatangan Perdana Menteri itu. Akan tetapi, pembesar itu tak kunjung datang, bahkan para pengawal lalu mendengar bahwa pembesar itu telah terbunuh oleh barisan pemberontak.
Mendengar berita ini, para pengawal menjadi gelisah. Dan karena disitu terdapat banyak wanita cantik dan harta benda yang banyak, tak dapat dicegah lagi terjadilah pemberontak dan perebutan. Terjadilah perkelahian diantara para pengawal itu sendiri. Pihak pemenang lalu mencari harta karun. Akan tetapi, mereka tidak menemukan harta karun kecuali perhiasan-perhiasan yang dipakai oleh para wanita dan anak-anak. Marahlah mereka. Semua perhiasan itu dirampas, para wanita yang cantik dan muda mereka permainkan dan perkosa, selebihnya, yang tua dan kanak-kanak dibunuh. Pembantaian besar-besaran ini terjadi ditepi laut dan akhirnya, mereka yang tadinya diperkosapun dibunuh semua. Mayat-mayat mereka, berikut tandu-tandu yang tadinya dipakai mengangkut mereka, dibuang kelautan.
"Hemm, kalian sungguh orang-orang kejam!" Thian Hai memotong cerita orang itu. Orang itu terengah-engah karena lukanya memang berat.
"Kami melarikan perhiasan-perhiasan itu, akan tetapi sesampainya dihutan ini, kembali terjadi keretakan dan perebutan antara pemimpin-pemimpin kami sehingga terjadi perkelahian ini..." Orang itu tidak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah roboh pingsan karena kehabisan darah yang bercucuran keluar dari lukanya.
Akhirnya perkelahian itupun berhenti setelah pihak yang kalah habis dibunuh. Pihak yang menang tinggal belasan orang lagi, dipimpin oleh seorang bekas perwira. Karena kelelahan, kepala penjahat ini lalu menduduki sebuah tandu, satu-satunya tandu yang masih ada karena yang lain semua dibuang kelaut, dan memerintahkan anak-buahnya untuk memikulnya secara bergilir. Thian Hai mengajak puterinya untuk membayangi mereka. Siapa tahu, para penjahat bekas pengawal Istana ini akhirnya akan membawanya kepada musuh besarnya! Dan para penjahat yang masih berpakaian seperti pasukan itupun dapat melakukan perjalanan dengan aman karena seperti biasa, rakyat sudah menyingkir ketakutan melihat pasukan serdadu ini. Pada sore hari itu mereka tiba ditepi sungai dan tiba-tiba saja nampak belasan orang berloncatan keluar dari balik semak-semak dan pohon-pohon besar.
Mereka itu jelas perampok-perampok dengan pakaian mereka yang tidak karuan dan senjata mereka yang bermacam-macam. Dan tanpa banyak cakap lagi, belasan orang perampok yang muncul itu lalu menyerang. Terjadilah perkelahian lagi. Akan tetapi bekas pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian berkelahi yang lumayan sehingga kelompok perampok kewalahan menghadapi mereka. Para pengawal ini mahir mempergunakan gendewa dan anak panah, juga pandai berkelahi dengan golok dan perisai. Thian Hai dan puterinya hanya mengintai, tidak mau mencampuri urusan orang-orang yang saling berebut harta itu. Diam-diam Thian Hai melihat betapa gilanya manusia. Memperebutkan harta benda seperti itu, sampai bunuh-bunuhan! Akan tetapi, ketika para perampok itu mulai terdesak, tiba-tiba muncullah seorang gendut pendek yang membawa senjata ruyung atau alu pendek.
Begitu muncul, orang ini menggunakan alunya untuk mengamuk dan para perajurit itu tidak ada yang mampu melawannya, seorang demi seorangpun roboh! Melihat orang gendut pendek ini, Thian Hai menahan seruannya. Dia mengenal orang itu. Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, kepala bajak sungai yang perkasa itu. Dan hatinya merasa girang, harapannya muncul karena datuk sesat ini merupakan seorang diantara para pembantu Raja Kelelawar! Akan tetapi, dia tidak mungkin muncul begitu saja. Kalau melihat dia, tentu Buaya Sakti itu akan mengerahkan anak-buahnya untuk mengeroyok dan akan sukarlah baginya untuk mengikuti jejak musuh besarnya. Dia harus mencari dan menggunakan akal yang cerdik, agar dia dapat mengikuti orang-orang ini kesarang mereka tanpa mereka curigai.
Setelah Thian Hai meninggalkan Kotaraja, suasana di Kotaraja semakin tenang karena Liu Pang yang kini telah menjadi Kaisar Han Kao Cu mulai mengatur pemerintahan dengan bijaksana, dibantu oleh para pendekar yang kini memperoleh kedudukan tinggi sesuai dengan jasa dan kepandaian masing-masing. Setelah suasana menjadi tenang, Chu Seng Kun berpamit kepada ayahnya yang kini telah memegang jabatannya kembali sebagai ketua kuil dilingkungan Istana, untuk pergi mengunjungi keluarga Kwa, ketua Tai-bong-pai yang telah meninggalkan undangan kepadanya itu.
Bu Hong Seng-jin, ayah pemuda itu, sebetulnya merasa berat juga melepas kedua orang anaknya, karena Bwee Hong tidak mau ditinggalkan kakaknya, pergi mengunjungi keluarga yang dianggapnya sebagai orang-orang sesat itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa selama dalam kekacauan, kedua orang anaknya itu telah menjalin tali persahabatan dengan banyak orang, dan sedikit banyak, keluarga Tai-bong-pai itu telah berjasa bagi pemerintah yang baru. Selain itu, juga menurut cerita anak-anaknya, puteri ketua Tai-bong-pai sudah beberapa kali menolong dan menyelamatkan mereka. Maka, terpaksa kakek ini membiarkan kedua orang anaknya pergi. Setelah kakak-beradik yang menjadi sahabat paling dekat itu pergi, Ho Pek Lian merasa betapa hidupnya sunyi.
Dia merasa kesepian sekali. Pertama-tama dara ini mengalami pukulan batin ketika mendapat kenyataan bahwa A-hai pemuda yang mula-mula ditemukannya itu ternyata adalah seorang pendekar bernama Souw Thian Hai yang selain sakti, juga sudah mempunyai keluarga, punya isteri dan anak. Lebih dari pada itu, iapun dapat merasakan dari sikap sahabatnya, Chu Bwee Hong, bahwa antara Bwee Hong dan Thian Hai terdapat perasaan saling mencinta. Kemudian, lepasnya A-hai atau Thian Hai dari hatinya, ia condong kembali kepada gurunya yang kini telah menjadi Kaisar. Akan tetapi, dengan hati duka ia harus dapat melihat kenyataan bahwa tidaklah mungkin ia berdekatan lagi dengan pria yang selama ini amat dikaguminya dan diam-diam juga mendapatkan tempat penting didalam lubuk hatinya. Liu Pang telah menjadi Kaisar.
Selain Kaisar, juga pria ini adalah gurunya. Mana mungkin baginya untuk mendekatinya terus? Kedukaan ini ditambah lagi melihat para pembesar jujur yang dahulu menjadi sahabat-sahabat dan teman seperjuangan ayahnya, kini memperoleh kedudukan layak kembali dan hidup bahagia dengan keluarga mereka. Hal ini membuat ia teringat akan keluarganya sendiri yang sudah berantakan. Dan iapun terdorong oleh hasrat yang amat kuat untuk pergi mengunjungi makam ayahnya. Ketika ia hendak menghadap gurunya untuk bermohon diri, ia mendengar bahwa Kaisar yang baru itu sedang sibuk memimpin sendiri pasukan istimewa untuk mengadakan pembersihan didaerah Kotaraja!
Memang tindakan Kaisar baru ini bijaksana sekali. Dia tidak mau enak-enakan saja setelah menduduki singgasana, melainkan bekerja memberi contoh kepada para pembantunya, mengadakan pembersihan dan turun tangan sendiri agar suasana menjadi benar-benar aman dan rakyat darat hidup tenang setelah menderita kekacauan selama bertahun-tahun karena perang saudara itu. Terpaksa Pek Lian, lalu menyusul ketempat pasukan gurunya itu beroperasi dan diluar Kotaraja, akhirnya dara ini dapat bertemu dengan gurunya atau Kaisar Han Kao Cu yang sedang beristirahat dan duduk dibawah pohon besar, berlindung dari terik panas matahari yang membuat tubuhnya amat gerah dalam pakaian perang kebesaran yang megah itu. Pek Lian lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut didepan gurunya. Melihat dara ini, sang Kaisar tersenyum.
"Ah, kiranya engkau yang mohon menghadapku dalam saat dan ditempat seperti ini, nona Ho?" Pek Lian merasa terharu dan semakin kagum. Biarpun sudah menjadi Kaisar, ternyata gurunya ini masih bersikap biasa kepadanya, menyebutnya "nona Ho" dan bersikap sederhana seperti gurunya yang biasa. Akan tetapi ia sendiri tidak mungkin berani bersikap seperti terhadap Liu Pang ketika masih melakukan perjalanan bersamanya untuk melakukan penyelidikan. Pria gagah perkasa didepannya ini adalah Kaisar! Maka iapun berlutut memberi hormat tanpa berani mengangkat mukanya.
"Sribaginda, harap paduka sudi memaafkan hamba yang berani datang mengganggu dan menghadap tanpa dipanggil. Hamba menghadap untuk mohon perkenan paduka untuk pergi mengunjungi makam ayah hamba." Di dalam suara dara itu terkandung kedukaan hatinya dan hal ini agaknya terasa oleh Kaisar. Dia memandang murid itu dengan kerut diantara keningnya dan diulurkannya tangan kanannya untuk menyentuh kepala dara perkasa itu. Sejenak dielusnya rambut kepala itu penuh keharuan dan kemesraan hatinya, akan tetapi perlahan-lahan ditariknya kembali tangannya.
"Nona Ho, setelah engkau mengerahkan segala-galanya, juga sudah berkorban keluarga, demi perjuangan, mengapa engkau tidak mau menikmati hasilnya? Engkau tidak mau menerima jabatan, dan bekas Istana keluarga ayahmu telah kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau tidak mau beristirahat dirumah, melainkan hendak pergi lagi. Ingat, sehabis perang, keadaan diluar masih kacau dan orang-orangku belum sempat mengamankan seluruh daerah."
"Sribaginda, hamba merasa kesepian setelah semua sahabat pergi dan dan hamba ingin bersembahyang didepan makam ayah" Kaisar itu menarik napas panjang dan memandang dengan terharu.
"Nona, sejak berjuang, engkau selalu berada disampingku, seperti murid atau anak sendiri, aku menyesal sekali bahwa sekarang, sebagai Kaisar, tidak mungkin aku, kita, ah, menjadi orang besar sama seperti duduk ditempat paling tinggi, nampak dari manapun dan dijadikan sari tauladan, disorot oleh semua rakyat. Maka, terpaksa harus berhati-hati dan tidak mungkin dapat berbuat sekehendak hati sendiri. Baiklah, engkau berangkatlah, akan tetapi harus berhati-hati dan sebaiknya kalau menyamar sebagai seorang pria."
Hati Pek Lian terharu mendengar ucapan gurunya itu. Ia maklum apa yang dimaksudkan oleh Kaisar, bahwa Kaisar sebenarnya juga ingin selalu berdampingan dengannya, akan tetapi sebagai Kaisar, akan menjadi celaan orang kalau berdekatan dengan seorang gadis yang dikenal sebagai muridnya. Terdapat jurang pemisah diantara mereka, jurang yang berupa kedudukan pemimpin itu. Bagaimanapun juga, seorang murid sama dengan anak, kalau seorang guru menikah dengan muridnya, sama saja dengan seorang ayah menikahi anaknya. Hal ini masih tidak begitu menghebohkan kalau terjadi diantara rakyat biasa, akan tetapi Kaisar? Tentu akan merupakan aib!
Setelah memberi hormat dan sejenak bertemu pandang yang menembus sampai kejantung, Pek Lian lalu mengundurkan diri dan berkemas. Ia menyamar sebagai seorang pria muda yang tampan dan berangkatlah dara ini sendirian meninggalkan Kotaraja. Di sepanjang perjalanan Pek Lian melihat bekas-bekas perang dan diam-diam ia mengeluh dan merasa bersedih atas nasib rakyat jelata. Ketika ia sendiri sedang berjuang, seluruh perhatiannya tertuju kepada perjuangan sehingga dia melihat semua penderitaan rakyat akibat perang itu sebagai korban perjuangan yang suci.
Pengorbanan yang diderita rakyat itu dianggap sebagai bahan bakar perjuangan, sebagai penambah semangat dan perjuangan itupun dilakukan oleh para pendekar demi kemakmuran rakyat jelata, demi membebaskan rakyat dari tindasan si angkara murka. Akan tetapi sekarang, setelah perang selesai dan para pejuang berhasil memperoleh kemenangan, gurunya menjadi Kaisar dan para pembantu gurunya masing-masing memperoleh kedudukan, harta benda dan kemuliaan, baru ia melihat betapa rakyat jelata yang tadinya menjadi kocar-kacir hidupnya dilanda perang, kini masih juga belum terbebas dari pada kesengsaraan! Bahkan sebaliknya, kemalangan lain menimpa rakyat jelata karena perang telah membuat daerah-daerah pedalaman menjadi daerah tak bertuan.
Pergantian pemerintah menimbulkan perebutan kekuasaan didaerah-daerah, dan karena belum ada ketentuan siapa yang akan menjadi kepala, disuatu daerah, maka daerah itu seolah-olah menjadi medan perang perebutan kekuasaan, menjadi daerah kosong sehingga kaum penjahat merajalela seenaknya tanpa ada pihak pemerintah yang ditakutinya. Rakyat hidup dalam kegelisahan tanpa pelindung karena pemerintah yang baru belum sempat mengirimkan pembesar untuk daerah-daerah itu. Ada pembesar lama yang masih mempertahankan kedudukannya dan menjadi semacam Raja kecil. Kalau tidak demikian, tentu kepala penjahat yang menggantikannya menjadi semacam pejabat sementara yang sewenang-wenang.
Sepanjang sejarah, dibagian manapun juga didunia ini, perang merupakan semacam wabah yang paling keji dan terkutuk bagi manusia. Didalam perang, manusia bukan saja terserang dan terancam jasmaninya, akan tetapi juga terancam roha-ninya. Perang membuat manusia menjadi keras, kejam, mementingkan diri sendiri, haus akan keku-asaan. Perang adalah perebutan kekuasaan antara orang-orang; golongan atas, perebutan yang dilakukan diatas tumpukan mayat rakyat jelata. Bagaikan dalang atau suteradara, golongan atas ini bersembunyi dibelakang layar, membiarkan rakyat yang berkiprah didalam perang dengan pengorbanan harta dan nyawa.
Naga Beracun Eps 32 Naga Beracun Eps 17 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 13