Pendekar Tanpa Bayangan 13
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Giok-ko, aku merasa bahagia sekali dapat berkenalan denganmu dan selama ini mengadakan perjalanan bersamamu. Akan tetapi sekarang sudah tiba saatnya kita berpisah."
Cun Giok terkejut. Tidak terbayangkan sebelumnya dia akan berpisah dari Ceng Ceng. Rasanya sulit untuk dapat berpisah dari gadis yang telah membetot semangatnya, yang diam-diam dia kagumi dan dia kasihi.
"Berpisah, Ceng-moi? Engkau...... hendak pergi ke manakah?"
"Aku akan pulang."
"Pulang'?" kata ini bagi Cun Giok terasa seperti asing.
"Ya, pulang ke rumah orang tuaku, di Nan-king. Engkau sendiri hendak ke mana, Giok-ko?"
"Aku? Ah, aku akan...... merantau."
"Selamat berpisah, Twako. Aku harus cepat pulang mengabarkan tentang kematian Susiok Im Yang Yok-sian kepada ayahku." Gadis itu mengangkat kedua tangan memberi hormat dibalas oleh Cun Giok.
"Selamat jalan, Ceng-moi, semoga aku akan dapat bertemu lagi denganmu," kata pemuda itu dan ketika gadis itu pergi dengan menggunakan ilmu berlari cepat sehingga yang tampak hanya bayangan putih berkelebat, tiba-tiba saja hatinya terasa kosong seolah semangatnya terbawa terbang oleh Ceng Ceng.
Cun Giok menghela napas panjang dan tahulah dia bahwa kini dia benar-benar menemukan seorang gadis yang telah merebut cintanya. Dia jatuh cinta kepada Ceng Ceng seperti yang belum pernah dia alami terhadap gadis lain. Namun tiba-tiba muncul bayangan wajah Siok Eng dan dia menghela napas panjang lagi.
"Tidak! Aku tidak akan mengingkari janji!" serunya dalam hati dan dia pun melanjutkan perjalanan tanpa tujuan tertentu, akan tetapi seperti dengan sendirinya, kedua kakinya mengayun langkah ke arah perginya Ceng Ceng. Terngiang dalam telinganya pelajaran Guru Besar Khong Hu Cu dalam kitab Tiong Yong seperti yang diajarkan Pak-kong Lojin kepadanya, pasal pertama ayat keempat.
Sebelum timbul senang, marah, duka dan suka
perasaan dalam keadaan
Tegak Seimbang.
Apabila berbagai perasaan itu timbul
namun dapat mengendalikan,
itu dalam keadaan Selaras.
Tegak Seimbang adalah Pokok Terbesar dunia
Selaras adalah jalan Utama dunia.
Teringat akan pelajaran ini, Cun Giok bernapas panjang dan dalam sehingga perasaannya yang tadinya terguncang itu menjadi tenang kembali, lalu dia pun menggunakan ilmu berlari cepat melanjutkan perjalanannya merantau.
Tan Kun Tek yang berusia sekitar limapuluh tahun tinggal di kota Seng-hai-lian, tak jauh dari Nan-king. Dia seorang laki-laki yang tampan dan gagah. Ilmu silatnya tinggi karena dia adalah seorang pendekar dari Bu-tong-pai. Ketika muda, namanya terkenal di dunia kang-ouw dan dia juga ikut membela tanah air ketika diserbu pasukan MongoI.
Kini dia membuka sebuah perguruan silat dan menjauhkan diri dari urusan dunia kang-ouw. Tan Kun Tek hidup berdua dengan isterinya yang berusia sekitar empatpuluh tiga tahun dan masih tampak cantik dan lembut. Suami isteri ini hidup sederhana dengan penghasilan Tan Kun Tek yang tidak berapa besar sebagai seorang guru silat. Di Seng-hai-lian, Tan Kun Tek lebih dikenal dengan sebutan Tan-kauwsu (Guru Silat Tan).
Biarpun suami isteri ini tampak rukun dan hidup tenteram di rumah mereka yang tidak berapa besar namun memiliki tanah lapang di belakang rumah sebagai tempat latihan silat, namun keduanya seringkali tampak duduk melamun dengan wajah seolah matahari tertutup awan! Mereka berdua hanya mempunyai seorang anak, akan tetapi ketika anak perempuan mereka itu berusia dua tahun, pada suatu malam anak itu lenyap diculik orang! Mereka tahu siapa penculiknya, namun semua usaha Tan Kun Tek mencari penculik itu gagal. Penculik itu seperti menghilang bersama puterinya.
Tan Kun Tek tahu benar siapa penculik puterinya. Dahulu, sebelum bertemu dengan gadis yang kini menjadi isterinya, dia berhubungan akrab dengan Gak Li, seorang pendekar wanita yang cantik dan gagah. Akan tetapi, Tan Kun Tek tidak suka dengan watak Gak Li yang keras dan suka mengandalkan ilmu silatnya yang memang tinggi sehingga terkadang suka bertindak kejam. Maka begitu bertemu dengan gadis yang lembut, lemah dan sabar, cintanya berpindah dan dia lalu menikah dengan gadis itu, tidak mempedulikan Gak Li yang menjadi marah.
Pernah Gak Li berusaha pada suatu malam untuk memasuki rumah dan membunuh isterinya. Akan tetapi masih untung bahwa kebetulan sekali Goat-liang Sanjin yang ketika itu belum menjadi ketua
Hoa-san-pai dan merupakan sahabat baik Tan Kun Tek, memergoki dan berhasil menggagalkan niat jahat Gak Li dan mengusirnya.
Maka, ketika puterinya hilang diculik orang, Tan Kun Tek dapat menduga siapa penculiknya. Tentulah Gak Li yang hendak membalas dendam!
Pada suatu sore, Tan Kun Tek dan isterinya duduk di ruangan depan, seperti biasa setelah semua murid yang jumlahnya belasan orang itu pulang sehabis latihan silat. Mereka tampak serius bercakap-cakap dengan suara lirih.
"Bagaimana nanti kalau Kim Thai-ciangkun datang dan minta keputusanmu?" tanya Nyonya Tan dengan cemas.
Tan Kun Tek mengerutkan alisnya yang tebal. aku sudah mengambil keputusan menolak permintaannya."
"Tetapi, itu adalah sebuah perintah!" wanita itu berseru dengan gelisah.
"Jangan hanya Kim Thai-ciangkun (Panglima Besar Kim), biarpun Kaisar sendiri yang memerintahkan, aku tetap tidak sudi melatih para perajurit Mongol! Aku tidak mau menjadi pengkhianat bangsa! Aku latih mereka untuk membunuhi rakyat kita? Huh, jangan harap!"
Yang mereka bicarakan itu adalah tentang permintaan Kim Thai-ciangkun yang datang tiga hari yang lalu. Panglima Kim itu datang berkunjung dan minta, bahkan memerintahkan Tan-kauwsu untuk melatih ilmu silat kepada para perajurit pasukannya. Dia diberi waktu sampai tiga hari untuk memutuskan, disertai penegasan bahwa itu merupakan perintah yang harus ditaati! Dan hari ini, tiga hari telah lewat dan Tan-kauwsu harus memutuskan untuk menaati perintah itu.
Apa yang mereka tunggu dengan hati tegang itu pun tiba. Terdengar derap kaki kuda berhenti di tepi jalan depan pekarangan rumah mereka. Tan Kun Tek dan isterinya memandang keluar dengan hati tegang. Lalu muncullah orang yang mereka tunggu-tunggu. Seorang Panglima Mongol yang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok, pakaiannya gemerlapan, memasuki pintu pagar diikuti selosin orang perajurit! Wajahnya bengis ketika dia melangkah dengan tegap menuju ke rumah di mana suami isteri itu menanti. Setelah panglima itu tiba di beranda atau ruangan depan, Tan Kun Tek dan isterinya bangkit berdiri.
"Kim Thai-ciangkun, silakan duduk!" kata Tan Kun Tek ramah.
"Terima kasih," kata panglima itu tanpa mengambil tempat duduk dan langsung dia bertanya.
"Bagaimana, Tan-kauwsu, tentu engkau sudah mengambil keputusan, bukan? Marilah bersama kami ikut ke markas dan mulai dengan tugasmu mengajarkan silat kepada para perajurit pasukanku."
Wajah Tan Kun Tek berubah kemerahan, berbeda dengan wajah isterinya yang menjadi pucat. Dia memberi hormat dan menjawab dengan suara tegas.
"Maafkan saya, Thai-ciangkun. Terpaksa saya tidak dapat memenuhi permintaanmu. Pengetahuan saya tentang ilmu silat tidak ada artinya dan tidak cukup berharga untuk melatih pasukan Thai-ciangkun."
Panglima Mongol itu mengerutkan alisnya dan matanya yang sipit itu mengeluarkan sinar menakutkan.
"Tan-kauwsu, engkau adalah murid Bu-tong-pai, jangan bilang bahwa engkau tidak pandai ilmu silat. Berani sekali engkau menolak perintahku, berarti perintah petugas Kerajaan Goan yang jaya?"
"Saya tidak menolak, hanya merasa tidak mampu, Thai-ciangkun."
"Alasan kosong! Siapa tidak tahu bahwa engkau dahulu juga membantu pasukan pribumi yang melawan pasukan kami? Kalau engkau menolak, berarti benar kecurigaan kami bahwa Bu-tong-pai mengambil sikap anti pemerintahan kerajaan kami! Engkau berani menentang perintah, berarti engkau hendak memberontak!"
"Tidak, Thai-ciangkun, saya tidak bermaksud memberontak," kata Tan Kun Tek dengan tenang dan suaranya tegas.
"Tangkap pemberontak ini!" bentak Panglima Mongol yang bernama Kim Bayan itu.
Dua orang perajurit maju hendak menangkap Tan Kun Tek, akan tetapi guru silat ini bergerak cepat dengan tamparan dan tendangan kakinya sehingga dua orang perajurit itu roboh! Kim Bayan marah sekali, akan tetapi dia bergerak cepat ke depan dan tahu-tahu Nyonya Tan telah dia tangkap.
"Tan Kun Tek, menyerah atau isterimu kubunuh lebih dulu!" bentak Kim Bayan yang sudah mendekatkan tangannya ke arah kepala wanita itu.
Tan Kun Tek maklum bahwa sekali panglima itu menggerakkan tangannya, nyawa isterinya tidak akan dapat diselamatkan lagi. Tentu saja dia tidak ingin mengorbankan isterinya, maka dia mengangguk dan berkata.
"Saya menyerah, akan tetapi jangan ganggu isteriku, Thai-ciangkun!"
Tan Kun Tek dan isterinya lalu dibelenggu kedua tangannya dan dibawa ke markas pasukan Kerajaan Mongol yang berada di luar kota Seng-hai-lian. Tentu saja penangkapan suami isteri Tan ini membuat para tetangganya menjadi panik dan berita tentang penangkapan Guru Silat Tan dan isterinya itu segera tersebar di seluruh kota dan menjadi bahan percakapan orang. Akan tetapi siapa yang berani mencampuri urusan Panglima Kin, yang menjadi panglima besar untuk seluruh pasukan yang berada di Propinsi Shan-tung, bahkan kini kekuasaannya juga sampai di Nan-king?
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi menjelang tengah hari, Tan Li Hong memasuki kota Seng-hai-lian. Jantungnya berdebar tegang. Inilah kota kelahirannya, tempat tinggal ayah ibunya seperti yang ia dengar dari gurunya, Ban-tok Kui-bo. Tentu saja ia sama sekali tidak ingat akan kota itu, bahkan bagaimana wajah ayah ibunya pun ia tidak ingat karena ia baru berusia dua tahun ketika ia diculik gurunya. Akan tetapi mencari rumah ayahnya yang bernama Tan Kun Tek di kota itu tidak merupakan hal yang sukar.
Ia bertanya kepada orang yang berjualan di sebuah warung, apakah orang itu mengetahui di mana rumah Tan Kun Tek.
Pemilik warung itu, seorang laki-laki setengah tua, memandang Li Hong dengan mata terbelalak.
"Tan Kun Tek? Maksudmu Tan-kauwsu, Nona?"
Tentu saja Li Hong tidak tahu apakah ayahnya itu menjadi guru silat, akan tetapi karena ia mengerti dari gurunya bahwa ayahnya dulu seorang pendekar, tentu saja ayahnya itu ahli silat dan bukan mustahil kalau dia menjadi guru silat.
"Betul, Paman. Di mana rumahnya?"
Orang itu menjawab dengan lirih dan kaku, tampaknya seperti orang takut karena sebelum menjawab dia menoleh ke kanan kiri.
"Di sana...... belasan rumah dari sini......" Setelah berkata demikian, orang itu masuk ke belakang, meninggalkan warungnya tak terjaga!
Li Hong merasa heran akan tetapi ia lalu melanjutkan pencariannya. Setelah melewati belasan buah rumah, dia melihat sebuah rumah dan di pendapa rumah itu duduk seorang wanita setengah tua dan ia menangis tanpa suara, sesenggukan dan tampaknya gelisah. Li Hong merasa tertarik dan ia lalu memasuki pekarangan rumah itu.
Wanita yang sedang menangis itu mengangkat muka memandang, cepat ia mengusap air mata dari pipinya dan bangkit berdiri memandang Li Hong dengan heran.
"Nona mencari siapa dan ada keperluan apa?"
"Bibi, tolong tanya di manakah rumah Tan Kun Tek?"
Wanita itu memandang dengan mata penuh selidik, lalu menjawab ragu.
"Ini rumah Kauwsu Tan Kun Tek, akan tetapi......."
"Ah, tolong beritahu mereka bahwa aku datang......."
"Nona, harap katakan dulu engkau siapa dan ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan Tan-kauwsu?"
"Aku Tan Li Hong, puterinya!" Akan tetapi ia segera teringat bahwa tentu saja wanita ini tidak tahu. Ia telah hilang dari rumah orang tuanya sejak berusia dua tahun! Bahkan ayah ibunya sendiri pun pasti tidak mengenalnya, apalagi orang lain!
"Puterinya? Akan tetapi...... saya mendengar bahwa puteri mereka hilang belasan tahun yang lalu......."
"Benar, puteri mereka diculik orang. Akulah puteri mereka yang diculik itu. Sekarang aku datang ingin bertemu mereka. Di manakah Ayah Ibuku? Tolong beritahu mereka!" kata Li Hong tidak sabar lagi.
Tiba-tiba wanita itu menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangannya.
Li Hong menyentuh pundak wanita itu dan bertanya tidak sabar.
"Bibi! Engkau ini mengapa? Mengapa menangis? Mana Ayah Ibuku?"
Dengan sedih wanita itu menjawab sambil menangis.
"Mereka...... mereka...... kemarin ditangkap dan dibawa pasukan pemerintah......."
"Ditangkap pasukan......?" Li Hong terkejut bukan main. Akan tetapi ia segera dapat menenangkan perasaannya dan ia lalu membimbing wanita itu untuk duduk di atas kursi dan ia sendiri duduk di depannya.
"Tenanglah, Bibi. Jangan takut dan jangan menangis. Aku adalah puteri mereka dan aku akan menolong mereka. Akan tetapi ceritakan dulu siapa Bibi ini dan apa yang telah terjadi dengan Ayah Ibuku kemarin!"
Nada suara Li Hong memerintah dan wanita itu dapat menghentikan tangisnya setelah menggosok kedua matanya dengan ujung lengan bajunya.
"Nona, saya bernama Siok dan menjadi pembantu rumah tangga Tan-kauwsu selama sepuluh tahun lebih. Karena saya seorang janda yang hidup sebatang kara, maka saya dianggap keluarga sendiri oleh Tan-kauwsu dan Tan-hujin. Kemarin sore, seorang panglima datang bersama selosin orang perajurit dan dia menangkap Tan-kauwsu dan Tan-hujin, dibawa pergi dari sini. Semua orang di kota ini sudah mendengar akan penangkapan itu. Aih, saya merasa sedih dan bingung, Nona. Apa yang dapat dilakukan seorang perempuan seperti saya?" Ia menahan isaknya.
Li Hong marah sekali, juga di samping kemarahannya ia merasa menyesal. Ketika ia meninggalkan Coa-to untuk mencari orang tuanya di Seng-hai-lian dekat Nan-king ini, ia melakukan perjalanan seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Ia menikmati perjalanan itu, kalau melewati kota ia berhenti satu dua hari lamanya dan kalau melewati daerah yang indah pemandangannya, ia pun menunda perjalanannya, sehingga ia amat terlambat tiba di Seng-hai-lian.
Kalau saja ia tidak banyak berhenti, mungkin sebulan yang lalu ia sudah tiba di rumah orang tuanya dan ia akan dapat mencegah malapetaka yang menimpa ayah ibunya! Bahkan kalau kemarin ia sudah tiba di situ, ia pasti akan mencegah orang tuanya ditangkap pasukan pemerintah!
"Bibi Siok, ke mana Ayah Ibu dibawa pasukan itu dan siapa panglima itu? Mengapa pula Ayah dan Ibu ditangkap?" Li Hong menghujani pembantu itu dengan pertanyaan.
"Setahu saya, tiga hari sebelum penangkapan, panglima besar yang biasa disebut Kim Thai-ciangkun datang dan minta kepada Tan-kauwsu untuk melatih silat para perajurit pasukannya dan memberi waktu tiga hari kepada Tan-kauwsu untuk memberi jawaban. Tiga hari kemudian Kim Thai-ciangkun datang lagi bersama dua belas orang perajurit. Tan-kauwsu menyatakan tidak bersedia melatih silat kepada para perajurit dan dia bersama Tan-hujin lalu ditangkap dan dibawa pergi."
"Ke mana, Bibi? Ke mana?"
"Mana saya tahu, Nona? Akan tetapi benteng pasukan pemerintah berada di luar kota sebelah barat, sekitar tiga lie (mil) dari kota ini."
"Bibi Siok, kau jaga rumah ini, aku akan mencari Ayah Ibu dan membebaskan mereka dari tahanan!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap dari depan Bibi Siok sehingga wanita itu melongo, lalu menggosok-gosok kedua matanya seolah hendak memastikan bahwa ia tidak sedang mimpi!
Kim Bayan atau Panglima Kim adalah seorang panglima yang banyak jasanya ketika bangsa Mongol menyerbu ke selatan, maka oleh Kaisar Mongol dia diberi kedudukan panglima tinggi dan menguasai seluruh pasukan yang bertugas menjaga wilayah Shan-tung ke selatan sampai Nan-king.
Panglima Kim Bayan adalah seorang Mongol yang pandai ilmu silat dan ilmu gulat model Mongol, bahkan dia juga memiliki kekuatan sihir karena gurunya adalah seorang datuk persilatan di perbatasan Mancuria yang terkenal tinggi sekali ilmu silat dan ilmu sihirnya. Gurunya itu berjuluk Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Roh) dan karena jasa-jasanya oleh Kaisar Mongol dia dihadiahi sebidang tanah pegunungan dengan gedung yang indah mewah di mana dia hidup sebagai raja muda!
Setelah tinggal di tanah hadiah kaisar itu, Cui-beng Kui-ong memanggil sumoinya (adik perempuan seperguruan) yang berjuluk Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung) karena yang selalu mengenakan pakaian berkabung dari kain mori putih yang kasar! Wanita ini pun lihai bukan main sehingga keduanya menjadi andalan Kerajaan Mongol untuk menghadapi orang-orang sakti yang berani menentang pemerintah penjajah itu. Karena merasa senang tinggal di gedung mewah di perbukitan itu, Cui-beng Kui-ong menamakan tanah perbukitan hadiah kaisar itu Bukit Sorga. Letaknya hanya belasan lie dari kota raja.
Sebagai murid Cui-beng Kui-ong, Panglima Kim tentu saja lihai sekali. Dia hidup di kota Cin-yang bersama seorang isteri dan lima orang selirnya. Akan tetapi, enam orang isteri itu hanya seorang saja yang mempunyai anak, itu pun hanya seorang anak laki-laki yang kini telah dewasa dan diberi nama Kim Magu.
Kita sudah mengenal Kim Magu yang disebut Kim-kongcu, yaitu pemuda berandalan yang selalu mengandalkan kekuasaan ayah dan kekayaannya, suka menggoda dan memaksa gadis baik-baik untuk dijadikan permainannya. Pemuda itu bersama temannya, Kui Con putera Hakim Kui Hok, dihajar oleh Ceng Ceng dan karena perbuatan yang menggemparkan kota Cin-yang itulah nama Ceng Ceng sebagai Pek-eng Sianli dikenal dan dikagumi orang.
Dari para penyelidik yang disebar di mana-mana, Kim Bayan mendengar betapa para pendekar pribumi Han banyak yang diam-diam menentang pemerintah Kerajaan Goan (Mongol). Bahkan kabarnya sikap para pimpinan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan masih banyak lagi tidak mematuhi dan memusuhi para pembesar.
Mendengar berita ini, Kim Bayan menjadi penasaran. Dia teringat bahwa Tan Kun Tek yang dikenal dengan sebutan Guru Silat Tan adalah seorang murid Bu-tong-pai. Maka dia merasa curiga dan dia sengaja datang berkunjung dan minta kepada Tan Kun Tek untuk mengajarkan ilmu silat kepada para perajuritnya.
Sesungguhnya permintaan ini hanya untuk menguji apakah Tan-kauwsu bersedia membantu pemerintah atau tidak. Ternyata Tan Kun Tek menolak dan kecurigaan Kim Thai-ciangkun semakin besar. Dia lalu menangkap Tan Kun Tek dan isterinya, menahan mereka di rumah tahanan.
Dalam kamar tahanan, seorang perwira yang biasa bertugas memaksa tahanan untuk mengaku, menyiksa Tan Kun Tek dan isterinya. Suami isteri itu dibelenggu pada dinding kamar tahanan, diikat kaki tangannya dan mereka disuruh mengaku siapa saja kawan mereka yang melakukan pemberontakan. Juga dipaksa mengaku bahwa Bu-tong-pai bermaksud memberontak.
Tentu saja Tan Kun Tek dan isterinya menyangkal semua tuduhan itu. Mereka lalu disiksa, dicambuki. Sungguh kasihan Nyonya Tan yang tidak pernah belajar silat dan tubuhnya lemah. Baju berikut kulitnya tersayat-sayat lecutan cambuk sehingga berlumuran darah dan baru belasan cambukan saja ia sudah terkulai pingsan dalam keadaan berdiri dan kedua tangan tergantung borgol di dinding.
Tan Kun Tek juga dicambuki sampai penyiksa merasa lelah. Bajunya hancur dan kulit tubuhnya juga pecah-pecah, akan tetapi pendekar Bu-tong-pai ini sama sekali tidak pernah mengeluh, mematikan semua perasaan sehingga biarpun kulitnya tersayat-sayat, dia tidak merasa apa-apa. Hanya tubuhnya terasa lemas karena terlalu banyak darah mengalir keluar dari luka-luka gigitan cambuk!
Malam itu cuaca gelap sekali. Hawa udara amat dingin karena sore tadi hujan turun dengan derasnya. Dalam cuaca gelap dan udara dingin itu, ketika sebagian besar penduduk kota Seng-hai-lian sudah memasuki kamar masing-masing yang lebih hangat dan di jalan raya sudah amat sepi, tampak seorang pemuda melangkah keluar dari pintu gerbang sebelah barat. Ketika dia sudah tiba di luar pintu gerbang dan tak seorang pun memperhatikannya karena para penjaga pintu gerbang itu juga lebih senang berada dalam gardu, pemuda itu segera berlari cepat. Bukan main cepatnya pemuda itu berlari menuju ke barat.
Pemuda itu bukan lain adalah Tan Li Hong yang menyamar. Ketika dia melakukan perjalanan meninggalkan Pulau Ular untuk mencari orang tuanya, Li Hong juga menyamar sebagai seorang pemuda yang amat tampan. Akan tetapi ketika ia memasuki kota tempat tinggal orang tuanya, ia mengenakan pakaian wanita karena ia tidak ingin membuat ayah ibunya bingung. Akan tetapi kini, setelah ia mendengar bahwa orang tuanya ditangkap pasukan mungkin sekali dibawa ke benteng atau markas pasukan, ia mengenakan pakaian pria lagi. Pedang Ban-tok-kiam tergantung di punggungnya dan ketika ia berlari cepat, tubuhnya berkelebat dan tak dapat terlihat di dalam cuaca gelap itu.
Li Hong terpaksa berusaha menyelamatkan orang tuanya di waktu malam setelah tadi ia menyelidiki keadaan markas itu dari luar. Ia melihat betapa benteng itu terjaga ketat dan tidak mungkin dapat memasuki benteng itu di siang hari. Kalau ia ketahuan, akan sulitlah untuk dapat menyelamatkan orang tuanya karena bagaimana mungkin ia menghadapi perajurit yang tentu amat banyak terdapat dalam markas itu.
Ia sudah mempelajari sekeliling pagar tembok markas itu dan mengambil keputusan untuk melompati pagar tembok di bagian belakang yang tidak begitu ketat penjagaannya, hanya terkadang ada perajurit yang meronda. Ia yakin akan mampu melewati tembok dan masuk ke markas itu di waktu malam, apalagi ketika cuaca segelap ini dan udara sedingin ini. Para penjaga tentu agak lengah. Pula, markas itu tempat ribuan orang perajurit, siapa yang akan berani mencuri masuk?
Perhitungan Li Hong betul. Ketika ia melompat dengan gerakan yang ringan dan gesit ke atas tembok, ia tidak melihat ada perajurit dekat tempat itu. Maka ia lalu melayang turun ke sebelah dalam yang ternyata merupakan sebuah kebun. Untuk meneliti keadaan sekitarnya, Li Hong menyusup ke balik rumpun bambu dan mengintai dari situ. Bangunan-bangunan terdapat banyak dan di setiap sudut luar bangunan ada lampu gantung yang cukup terang.
Ia menjadi bingung. Sama sekali ia tidak dapat menduga di mana orang tuanya ditawan. Ketika ia melihat dua orang perajurit yang membawa tombak berjalan tak jauh dari tempat ia bersembunyi, agaknya sedang meronda sambil bercakap-cakap, Li Hong cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati mereka. Ketika dua orang perajurit itu lewat dekat, Li Hong menerjang mereka. Dengan kecepatan luar biasa ia menggerakkan jari tangan dua kali dan dua orang itu pun roboh terkulai tanpa dapat mengeluarkan suara, lumpuh tertotok!
Li Hong mencengkeram rambut mereka dan menyeret tubuh mereka ke belakang semak-semak yang gelap, yang hanya mendapat sinar sedikit dari lampu gantung yang berada di batang pohon sehingga keadaan di situ remang-remang. Li Hong mencabut pedangnya, ditempelkan ke leher seorang dari mereka, lalu ia menggerakkan tangan kiri membebaskan totokan.
"Jangan bergerak atau bersuara!" desisnya.
Orang itu menjadi pucat ketakutan dan dia hanya dapat menggeleng kepala tanda bahwa dia tidak akan melawan atau berteriak.
"Jawab yang benar pertanyaanku, kalau engkau bohong, lihat ini!" Pedangnya menyambar dan orang kedua tewas seketika. Tentu saja perajurit pertama menjadi semakin gemetar ketakutan.
"Ampun, Taihiap (Pendekar Besar)......!" ratapnya. Dia mengira bahwa Li Hong seorang pendekar pria.
"Hayo katakan di mana Tan Kun Tek dan isterinya dikeram!"
Orang itu menjawab.
"Di rumah tahanan.......!"
"Mana itu? Yang mana rumah tahanan?"
Perajurit itu menuding ke arah bangunan besar yang berada di tengah benteng.
"Yang ada menaranya itu......."
"Awas, kalau engkau berbohong, aku akan kembali ke sini dan membunuhmu!"
"Saya...... saya tidak berbohong......."
Li Hong menotoknya kembali dan menyimpan pedangnya. Ketika ia hendak bergerak menuju bangunan yang ditunjuk tadi, ia terkejut mendengar suara di belakangnya.
"Bodoh, dia harus dibunuh agar tidak membahayakan!" Itu adalah suara gurunya!
"Subo......!" Li Hong berseru lirih.
"Ssstt......!" Bayangan berkelebat dari belakang, tahu-tahu Ban-tok Niocu sudah berada dekat muridnya. Tangannya bergerak ke arah kepala perajurit yang tertotok dan tahulah Li Hong bahwa perajurit itu pasti tewas terkena sentuhan tangan gurunya.
"Subo, bagaimana kalau dia berbohong?"
"Tidak, sudah sejak tadi aku berada di sini menyelidiki dan memang orang tuamu ditahan dalam bangunan itu. Amat kuat penjagaannya, maka sejak tadi aku belum turun tangan. Bagus sekali engkau muncul sehingga aku mendapatkan bantuan."
"Bagaimana Subo berada di sini?"
"Lihat wajahku, apa engkau tidak melihat ada perubahan?" Ban-tok Niocu sengaja membiarkan pipi kirinya terkena sinar lampu dari jauh sehingga cukup jelas untuk dilihat.
"Ah, Subo tidak cacat lagi!"
"Ssttt, nanti saja kita bicara. Sekarang perhatikan baik-baik. Orang tuamu berada dalam sebuah kamar tahanan di gedung yang ada menaranya itu. Kalau kita menyelinap ke sana, pasti ketahuan dari menara yang selalu ada perajurit penjaganya. Sekarang, kita pakai pakaian seragam dua perajurit ini!"
Li Hong mengerti maksud gurunya. Ia lalu melucuti pakaian perajurit yang dibunuhnya. Untung tadi ia menggunakan Ban-tok-kiam sehingga biarpun pedang itu hanya menggores leher, orang itu tewas tanpa mengeluarkan banyak darah. Setelah melucuti, ia mengenakan pakaian seragam itu menutupi pakaiannya sendiri.
Ban-tok Niocu juga sudah selesai mengenakan pakaian perajurit kedua di luar pakaiannya sendiri. Setelah menata rambut dan berdandan sebagai dua orang perajurit, Ban-tok Niocu berbisik.
"Kita lewati para penjaga dan kalau ada yang bertanya, engkau diam saja biar aku yang bicara. Setelah tiba dekat bangunan yang ada menaranya, aku akan menyelinap ke belakangnya dan membuat kebakaran. Lalu kuusahakan untuk melumpuhkan dua orang yang berjaga di menara. Nah, begitu ada kebakaran engkau menyelinap ke rumah tahanan itu. Tentu semua perajurit berlari ke arah kebakaran dan engkau mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan orang tuamu. Mengerti?"
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengerti, Subo. Akan tetapi bagaimana kalau kami keluar lalu ketahuan? Untuk melindungi dua orang kukira agak sukar......."
"Bodoh! Ayahmu Tan Kun Tek bukan orang lemah. Dia pendekar murid Bu-tong-pai. Asal engkau sudah dapat membebaskan dia tentu dia akan mampu menyelamatkan isterinya. Pada saat itu mungkin aku sudah selesai dan dapat membantu kalian."
"Baik, aku mengerti, Subo!"
Mereka lalu melangkah dengan tegap, membawa dua batang tombak milik perajurit yang mereka robohkan tadi. Mereka berjalan melewati beberapa orang penjaga dan para penjaga itu sama sekali tidak menaruh curiga karena memang Li Hong dan Ban-tok Niocu selalu mengambil jalan yang gelap. Ketika sudah tiba dekat bangunan yang ada menaranya, di tengah kelompok bangunan dalam benteng itu, tiba-tiba saja ada dua orang perajurit dari depan dan seorang di antara mereka bertanya.
"Kalian ini berjaga di mana?"
Terdengar Ban-tok Niocu menjawab, suara dibuat seperti suara pria.
"Di kebun beIakang!"
"Hemm, bagaimana keadaannya? Aman?"
"Aman, tidak ada apa-apa!" jawab Ban-tok Niocu dan ia lalu mempercepat langkahnya, diimbangi oleh Li Hong.
"Hei, nanti dulu......!" Tiba-tiba dua orang perajurit itu berteriak dari belakang mereka.
"Bunuh mereka," bisik Ban-tok Niocu kepada muridnya.
Mereka berdua membalikkan tubuh dan ketika dua orang perajurit itu menghampiri dekat, guru dan murid itu menggerakkan tombak dan dua orang perajurit itu pun roboh dan tewas. Mereka cepat menarik kaki dua orang itu dan menyeretnya ke tempat tersembunyi yang gelap. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan dengan gerakan cepat berkelebatan.
Seperti yang telah direncanakan, Ban-tok Niocu lalu menuju ke arah belakang rumah tahanan yang ada menaranya. Li Hong menyelinap mendekati rumah tahanan dan bersembunyi sambil menanti tanda dari gurunya, yaitu kebakaran. Tak lama kemudian ia melihat api bernyala besar di belakang rumah tahanan, sekitar tiga rumah di belakangnya.
"Kebakaran! Kebakaran!" terdengar teriakan dan dari tempat sembunyinya ia melihat banyak perajurit berlari-larian ke tempat kebakaran itu. Ketika melihat belasan orang perajurit berserabutan keluar dari rumah tahanan itu, Li Hong lalu bergerak cepat. Dengan sambitan batu kecil ia membuat lampu gantung di pintu belakang dari mana para perajurit tadi keluar, pecah dan padam. Tubuhnya berkelebat dan tanpa dapat terlihat karena lampu yang padam membuat pintu itu gelap, ia telah memasuki rumah itu.
Ketika ia melewati sebuah lorong dalam rumah tahanan, ia melihat bahwa di bagian tengah rumah tahanan itu terbuka dan kamar-kamar tahanan berderet-deret. Ia menyelinap dan ketika memandang ke atas, ia melihat betapa semua kamar tahanan itu dapat terlihat dari atas menara. Tentu di sana ada perajurit-perajurit yang berjaga mengawasi kamar-kamar tahanan itu. Sebuah lampu di menara yang bernyala memperlihatkan bayangan dua orang perajurit.
Li Hong tidak berani keluar dari tempat sembunyinya karena kalau ia sampai kelihatan oleh para penjaga di atas menara, tentu banyak sekali perajurit akan menyerbu dan akan sukarlah baginya untuk dapat membebaskan kedua orang tuanya, bahkan ia sendiri dapat terancam bahaya. Ia menanti sebentar dan tiba-tiba ia melihat lampu di menara itu padam. Itu tandanya bahwa setelah melakukan pembakaran, gurunya sudah berada di menara dan sudah merobohkan para penjaga menara, maka dengan hati berdebar tegang Li Hong lalu memeriksa setiap kamar tahanan dan pada kamar-kamar tahanan yang terdapat tahanan di dalamnya ia berseru lirih.
"Di mana Tan Kun Tek dan isterinya?"
Hanya ada lima kamar yang terisi dan pada kamar yang ke lima, ia melihat dua orang di dalamnya. Seorang laki-laki dan seorang wanita! Dari sinar lampu yang menyorot dari luar melalui terali ke dalam kamar, Li Hong dapat melihat seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang tampan dan gagah, akan tetapi bajunya robek-robek dan ada goresan-goresan berdarah pada kulit dada dan punggungnya. Wanita itu berusia empatpuluh tahun lebih, masih tampak cantik akan tetapi keadaannya lebih menyedihkan. Seperti laki-laki itu, bajunya juga robek-robek dan tubuhnya berlepotan darah bekas cambukan dan ia duduk bersandar pada rangkulan laki-laki itu. Keadaannya tampak parah.
Melihat ini, dengan suara gemetar Li Hong bertanya.
"Apakah kalian berdua Tan Kun Tek dan isterinya?
Mereka itu memang Tan Kun Tek dan isterinya. Melihat seorang pemuda di luar kamar tahanan berterali besi dan menanyakan namanya, dia menjawab.
"Benar, siapakah engkau?"
Mendengar ini, hati Li Hong bersorak. Ia cepat mencabut pedangnya dan sekali mengelebatkan pedang pusaka Ban-tok-kiam, ia telah membabat putus terali besi Dengan beberapa kali bacokan, terbukalah lubang besar dan ia masuk ke dalam kamar itu.
"Cepat, mari keluar dari sini!" kata Li Hong dan ia segera mengangkat bangun Nyonya Tan yang keadaannya lemah, setelah menggunakan pedangnya memutuskan semua rantai yang membelenggu kaki tangan suami isteri itu.
"Ah, ia terluka dan lemah sekali!" Li Hong berseru penuh haru ketika ia memondong tubuh wanita itu. Ibunya! "Mari kita keluar cepat, biar aku memondongnya!"
"Tapi, siapakah engkau?" Tan Kun Tek juga bangkit dan memandang pemuda itu dengan heran dan khawatir karena dia tahu bahwa mereka berada dalam benteng yang penuh tentara!
"Nanti saja kita bicara, cepat keluar!" kata Li Hong sambil memondong Nyonya Tan dan melompat keluar kamar tahanan.
Tan Kun Tek kagum melihat kegesitan pemuda itu. Sore tadi dia dan isterinya mengalami siksa cambukan. Biarpun dia sendiri hanya merasa panas dan pedih karena kulit tubuhnya lecet-lecet berdarah, namun isterinya yang lebih parah. Kini, melihat ada pemuda hendak menolongnya, bangkit semangatnya dan dia pun melompat keluar. Dia masih agak sangsi karena tentu saja dia curiga melihat pemuda yang berpakaian perajurit ini. Apakah ini merupakan siasat dari Panglima Kim? Dia harus waspada dan melihat ada tombak bersandar di luar pintu kamar, dia lalu menyambarnya.
"Biarkan aku yang memondong isteriku!" katanya kepada pemuda berpakaian perajurit itu.
"Engkau yang membuka jalan dan aku mengikuti di belakangmu!"
Li Hong memandang kagum dan juga bangga. Benar kata gurunya, ayahnya bukan orang lemah. Dan memang lebih baik kalau ayahnya yang menggendong ibunya sehingga ia dapat melindungi mereka. Tanpa bicara ia menyerahkan wanita itu yang kini digendong di belakang punggung oleh Tan Kun Tek. Nyonya Tan yang lemah itu merangkul leher suaminya dan Tan Kun Tek menggunakan tali yang dia temukan di situ untuk mengikat tubuh isterinya kepadanya sehingga kalau dipakai bergerak membela diri apabila diserang, tubuh isterinya tidak akan terlepas dan terjatuh dari gendongannya.
"Mari cepat.......!" Li Hong berkata dan ia lalu berkelebat keluar. Ternyata para perajurit masih ramai berusaha memadamkan kebakaran.
"Li Hong, ke sini......!" terdengar teriakan Ban-tok Niocu yang muncul tiba-tiba.
Li Hong girang melihat gurunya dan cepat ia pun mengikuti sambil memberi isyarat kepada Tan Kun Tek untuk mengikutinya.
Tan Kun Tek semakin heran melihat ada perajurit kedua muncul dan agaknya hendak membantunya menunjukkan jalan keluar! Mulai berkurang kecurigaannya. Dia melihat dalam benteng itu gempar karena ada kebakaran. Tak mungkin semua ini merupakan siasat pancingan! Agaknya dua orang ini memang benar ingin menolong ia dan isterinya. Dan melihat pakaian perajurit yang mereka kenakan agak kedodoran dan tidak pas, dia dapat menduga bahwa mereka itu jelas bukan perajurit, melainkan orang luar yang kini menyamar sebagai perajurit.
Mereka tiba di dekat pagar tembok di kebun tanpa mendapat halangan karena para perajurit masih sibuk berusaha memadamkan kebakaran.
"Dapatkah engkau melompat ke atas pagar tembok sambil menggendong?" tanya Li Hong.
Akan tetapi Ban-tok Niocu cepat memegang lengan kanan Tan Kun Tek dan berkata.
"Li Hong, cepat pegang lengan kirinya, kita bantu dia melompat!"
Li Hong segera tanggap. Ia menangkap lengan kiri Tan Kun Tek dan mereka bertiga melayang ke atas pagar tembok. Sebetulnya kalau dia melompat sendiri, Tan Kun Tek tentu dapat mencapai atas pagar tembok itu. Akan tetapi dia agak lemah karena mengeluarkan banyak darah, juga dia menggendong isterinya, maka kalau dia tidak dibantu dua orang yang menyamar sebagai perajurit itu, pasti dia akan gagal melompat sampai ke atas pagar tembok.
Akan tetapi begitu mereka tiba di atas pagar tembok, terdengar teriakan-teriakan dari bawah.
"Tawanan lepas!"
"Dua orang perajurit itu palsu!"
"Tangkap mereka berempat!"
Banyak sekali perajurit melakukan pengejaran.
Melihat ini, Li Hong berkata kepada Tan Kun Tek.
"Cepat bawa ia melompat keluar dan lari!"
Ban-tok Niocu menyambung.
"Lari ke arah sana, masuk hutan dan di sana ada kuil tua kosong. Tunggu kami di sana!"
Tan Kun Tek semakin heran. Cuaca gelap, dia tidak dapat melihat wajah dua orang ini dengan jelas. Akan tetapi, suara mereka ketika bicara jelas menunjukkan bahwa mereka adalah wanita! Melihat Tan Kun Tek seperti termenung dan tidak segera melompat turun Li Hong berkata.
"Cepat, pergi, biar kami yang menahan mereka!"
Kini tampak bayangan beberapa orang berkelebat naik ke atas tembok. Mereka adalah perwira-perwira yang memiliki kepandaian silat. Sementara itu, ratusan orang perajurit membuka pintu benteng dan keluar hendak menghadang di luar tembok.
Melihat ini Tan Kun Tek cepat melompat turun dan menghilang dalam kegelapan malam, berlari menggendong isterinya ke arah yang ditunjuk penolongnya kedua tadi. Setelah berlari beberapa lamanya, dia menemukan kuil tua di tengah hutan dan dia membawa isterinya masuk.
Di ruangan tengah kuil tua yang rusak itu terdapat ruangan yang tertutup dan cukup bersih, bahkan lantainya ditutupi rumput-rumput kering. Tan Kun Tek merebahkan isterinya di situ dan membiarkan isterinya tidur. Dia menanti dengan hati tegang.
Sementara itu, Li Hong dan Ban-tok Niocu mengamuk. Mereka menyambut para perwira yang melompat naik ke atas tembok dengan serangan pedang mereka. Setelah merobohkan tujuh perwira, keduanya melompat turun ke luar tembok. Akan tetapi mereka segera dikepung puluhan orang perajurit yang telah tiba di situ lebih dulu.
"Kita lari ke jurusan lain!" kata Ban-tok Niocu kepada muridnya.
Li Hong mengerti. Gurunya hendak memancing agar para perajurit melakukan pengejaran ke arah lain sehingga suami isteri itu selamat. Mereka lalu mengamuk, merobohkan belasan orang perajurit lalu melarikan diri ke arah timur, arah kota Seng-hai-lian, berlawanan dengan larinya Tan Kun Tek dan isterinya yang menuju barat. Para perajurit terus mengejarnya, kini jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang.
Dengan cerdik Ban-tok Niocu berlari menjaga jarak sehingga para pengejar makin bersemangat dan terus mengejar sampai masuk kota Seng-hai-lian. Karena saat itu baru lewat tengah malam maka kota itu masih sepi. Belum ada orang keluar rumah sehingga kejar-mengejar itu terjadi tanpa hambatan. Tentu saja keributan di jalan raya itu membangunkan banyak penduduk akan tetapi begitu melihat banyak perajurit bersenjata, mereka menutupkan kembali daun pintu dan tidak berani keluar.
Ban-tok Niocu dan Li Hong terkadang menunggu dan merobohkan beberapa orang pengejar terdepan, lalu lari lagi sehingga mereka keluar dari pintu kota sebelah timur. Mereka terus berlari dan terus dikejar sampai belasan lie jauhnya. Ketika mereka memasuki sebuah hutan, Ban-tok Niocu berkata kepada muridnya.
"Kita menghilang di sini dan cepat kembali ke barat untuk menyusul Tan Kun Tek dan isterinya."
Mereka berdua melompat ke atas pohon dan berlompatan dari pohon ke pohon untuk menghilangkan jejak. Kemudian mereka melompat turun setelah jauh dari para pengejar mereka dan melanjutkan dengan berlari cepat menuju ke barat.
Biarpun hawa amat dinginnya, Tan Kun Tek tidak berani membuat api unggun, khawatir kalau ketahuan para perajurit yang melakukan pengejaran. Dia membuka jubahnya sendiri yang sudah koyak-koyak dan menyelimuti isterinya yang masih tidur. Lalu dia duduk tepekur, masih heran memikirkan dua orang penolongnya. Jelas mereka berdua itu adalah wanita, akan tetapi siapa mereka dan mengapa begitu berani membebaskan dia dan isterinya, padahal mereka sendiri terancam bahaya maut di benteng itu?
Cuaca mulai berubah. Biarpun mataharinya sendiri belum tampak namun sinarnya sudah mendahuluinya dan mendatangkan penerangan yang kemerahan, perlahan dan lembut mengusir embun dan menguak selimut hitam sang malam. Cuaca yang kemerahan itu remang-remang bertirai kabut yang membubung ke atas.
Nyonya Tang mengerang lirih dan bergerak.
Tan Kun Tek cepat mendekati.
"Bagaimana keadaanmu?"
Wanita itu membuka mata dan bangkit duduk, dibantu suaminya. Ia memandang ke sekeliling dan tampak terheran-heran seolah baru bangun dari tidur.
"Di mana kita ini.......?"
"Kita sudah keluar dari tempat tahanan, ditolong oleh dua orang wanita sakti," kata suaminya.
"Engkau rebahlah saja dulu agar kesehatanmu pulih. Kita harus menanti datangnya dua orang penolong itu di sini." Dia membantu isterinya agar rebah kembali di atas tumpukan rumput kering.
Tiba-tiba Tan Kun Tek bangkit berdiri dan menyambar tombak yang dibawanya ketika melarikan diri keluar dari markas pasukan tadi. Dia menyelinap di balik dinding, siap menyerang karena mungkin saja yang dia dengar gerakan di luar itu adalah mereka yang melakukan pengejaran.
Matahari mulai muncul dan sinarnya, biarpun masih lemah, namun cukup memberi penerangan di tempat itu. Ketika Tan Kun Tek yang mengintai melihat bahwa yang muncul itu adalah dua orang wanita, dia mengendurkan syarafnya yang tadinya menegang dan siap. Dia lalu keluar dari balik tembok dan memandang dua orang wanita yang berdiri di depannya. Gadis yang muda belia itu tidak dikenalnya, akan tetapi wanita kedua, yang setengah tua, membuat dia terbelalak dan ragu-ragu.
"Lili...... engkau Lili.......??" tanyanya gagap.
Ban-tok Niocu tersenyum, manis sekali. Senang hatinya bahwa bekas kekasihnya itu masih belum melupakannya!
"Tek-ko (Kanda Tek), engkau masih belum lupa padaku? Aku datang...... dan engkau lihat siapa gadis ini?"
Tan Kun Tek memandang Li Hong dengan mata terbelalak.
"Kalian yang menolong aku dan isteriku? Siapa gadis ini? Lili, katakan siapa gadis ini!"
Hatinya sudah menduga, akan tetapi dia masih belum yakin. Dia dulu sudah tahu bahwa penculik puterinya tentu Gak Li atau Lili dan melihat usia gadis yang berdiri di depannya itu, membuat dia menduga dengan hati ragu bahwa gadis itu adalah puterinya yang dulu diculik Lili!
"Li Hong, inilah Tan Kun Tek, ayah kandungmu," kata Ban-tok Niocu kepada muridnya.
Sejak tadi memang Li Hong sudah menatap wajah laki-laki itu dengan mata basah. Kini ia tidak ragu lagi dan ia segera maju dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Tan Kun Tek.
"Ayah, aku adalah Tan Li Hong, puterimu!"
Tan Kun Tek terbelalak, cepat memegang kedua pundak gadis itu, menariknya sehingga bangkit berdiri, dan dia mengamati wajah gadis itu! Kemudian, ia merangkul dan mendekap kepala gadis itu seolah menemukan kembali pusaka yang hilang.
"Li Hong......! Engkau Li Hong anakku......!" Ketika diculik dahulu, Li Hong yang berusia dua tahun sudah dapat menyebutkan namanya, maka Ban-tok Niocu memakai terus nama itu.
"Anakku, mari temui Ibumu......!" Tan Kun Tek menarik tangan Li Hong yang merasa terharu sehingga air mata mengalir turun membasahi kedua pipiya.
"Isteriku, bangunlah dan lihat siapa ini?" seru Tan Kun Tek girang sambil membantu isterinya bangkit duduk.
Nyonya Tan dengan bingung memandang gadis yang kini sudah berlutut di dekatnya.
"Ibu......!" Li Hong berbisik dengan suara tergetar.
"Apa......? Siapa......? Apa artinya ini......?" tanya ibu yang tubuhnya masih amat lemah itu.
"Ia Tan Li Hong, anak kita yang hilang! Ia telah kembali!" seru Tan Kun Tek.
"Ibu, aku Li Hong, Ibu......."
Nyonya Tan menjerit lirih sambil terisak dan dua orang wanita itu saling berpelukan sambil menangis. Setelah puas menangis, Nyonya Tan memegang pundak Li Hong dengan kedua tangannya dan menatap wajah gadis itu melalui genangan air matanya. Wajah cantik yang serupa dengan wajahnya sendiri ketika muda.
"Li Hong, Anakku......!" Ia mendekap lagi dan menangis saking bahagia hatinya.
Sementara itu, Tan Kun Tek berdiri berhadapan dengan Ban-tok Niocu dan sampai lama mereka saling tatap dengan berbagai macam perasaan.
Akhirnya Tan Kun Tek yang mulai bicara lirih.
"Lili, jadi benar seperti sangkaanku, engkau yang dulu menculik anak kami ketika ia berusia dua tahun! Dan sekarang engkau membawa ia ke sini, bahkan menolong kami suami isteri lolos dari penjara. Sebetulnya, apa artinya semua itu?"
"Panjang ceritanya, Tek-ko. Sekarang yang terpenting, mengobati luka-luka yang engkau dan isterimu derita, dan harus cepat melarikan diri dari sini karena pasukan pemerintah pasti akan terus mencari dan memburumu." Ia berhenti sejenak lalu menyambung.
"Tidak ada tempat yang cukup aman bagi kalian berdua kecuali di pulauku. Li Hong, mari cepat kita bawa ayah ibumu ke Coa-to."
Mereka lalu melakukan perjalanan cepat meninggalkan tempat itu. Nyonya Tan digendong Tan Kun Tek dan Li Hong secara bergantian.
Berita tentang lolosnya Tan Kun Tek dan isterinya yang dibebaskan oleh "dua orang yang menyamar sebagai perajurit" itu terdengar oleh Panglima Besar Kim Bayan. Tentu saja dia marah bukan main. Dia memaki para perwira habis-habisan, lalu dia mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran dan pencarian.
Akan tetapi karena tidak ada yang tahu siapa dua orang yang menyamar sebagai perajurit itu, pencarian dilakukan secara ngawur sehingga empat orang yang melarikan diri itu dapat tiba di tepi teluk Po-hai tanpa halangan. Mereka melanjutkan perjalanan dengan sebuah perahu yang memang telah disediakan anak buah Pulau Ular yang setiap hari berada di pantai untuk menjemput majikannya.
Selama dalam perjalanan itu, Gak Li atau Ban-tok Niocu dengan terus terang menceritakan sebab yang membuat ia melakukan penculikan atas diri Li Hong. Setelah Tan Kun Tek memutus cinta dan menikah dengan gadis lain, ia mendendam akan tetapi ketika malam itu ia datang, ia dihalangi Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai sehingga mereka bertanding dan ia menderita luka pada pipinya. Karena cacat mukanya membuat ia semakin merasa sakit hati maka ia lalu menculik Li Hong dan membawa anak itu ke Pulau Ular.
"Agar engkau merasakan bagaimana sakitnya ditinggal orang yang kau sayang, Tek-ko," katanya. Dan selanjutnya ia menceritakan sampai perbuatannya membebaskan Tan Kun Tek dan isterinya dari tempat tahanan di markas pasukan Mongol itu.
Tan Kun Tek merasa terharu mendengar betapa bekas kekasihnya itu menderita karena dia memutus cinta. Juga Nyonya Tan yang mendengar cerita itu merasa terharu.
"Harap maafkan suamiku yang telah menyebabkan engkau menderita, Enci Gak Li. Dan maafkan aku yang tanpa kusadari telah memisahkan engkau dari laki-laki yang kaucinta," kata Nyonya Tan yang telah mendapat obat dari Ban-tok Niocu sehingga tubuhnya tidak begitu lemah lagi.
"Akulah yang bersalah dan tidak tahu diri. Aku yang sepatutnya minta maaf," kata Ban-tok Niocu dengan suara sedih.
Suami isteri itu merasa senang mendengar bahwa puteri mereka yang merupakan anak tunggal itu selain dapat ditemukan kembali, juga telah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Mereka berdua merasa terheran-heran dan kagum ketika tiba di Pulau Ular yang keadaannya demikian aneh, banyak rahasia sehingga amat sukar bagi orang luar untuk dapat masuk, dan amat kagum ketika diajak masuk ke dalam rumah induk tempat tinggal Gak Li yang indah seperti istana atau gedung bangsawan tinggi itu.
"Nah, kalian boleh tinggal di sini bersama anak kalian Li Hong, dan di sini pasti tidak akan ada yang dapat mengganggu kalian," kata Ban-tok Niocu kepada suami isteri yang masih terheran-heran itu.
"Tapi...... kami tidak ingin mengganggumu, Enci Gak Li! Kami tidak ingin menjadi beban......" kata Nyonya Tan.
"Tidak, Ibu!" kata Li Hong serius.
"Subo tak pernah berbohong dan apa yang diucapkannya selalu jujur! Subo tidak akan pernah merasa terganggu atau dibebani. Ayah dan Ibu dapat hidup di sini bersama aku dan Subo. Di sini Ayah dan Ibu akan aman dari jangkauan panglima keparat itu!"
"Anak kalian benar, Tek-ko. Kalian sama sekali tidak mengganggu dan aku menawarkan dengan hati tulus," kata Ban-tok Niocu.
"Akan tetapi, Lili! Mengapa...... mengapa engkau begini baik kepada kami setelah aku....... aku pernah menyakiti hatimu?"
Ban-tok Niocu tersenyum lalu berkata dengan tegas.
"Aku telah bersalah kepada kalian, telah menculik Li Hong dari kalian. Biarlah kalian sekarang memberi kesempatan kepadaku untuk menembus kesalahanku itu."
"Tidak, Enci Gak Li! Kalau benar engkau bersalah, hal itu sebagai balas dendam dan kesalahan itu telah kautebus berkali-kali! Pertama, suamiku yang menyakiti hatimu memutus cinta dan menikah dengan aku. Karena sakit hati engkau menculik Li Hong. Akan tetapi engkau memelihara dan mendidik anak kami dengan baik. Hal itu sudah merupakan tebusan dan kami berterima kasih kepadamu. Kemudian engkau malah membolehkan Li Hong kembali kepada kami. Itu kebaikanmu yang kedua. Setelah itu, engkau malah menyelamatkan kami dengan taruhan keselamatanmu sendiri, ini merupakan budi kebaikanmu ketiga dan masih ada lagi, kebaikanmu ditambah kebaikan budi keempat yaitu membolehkan kami mencari keamanan dan hidup di pulaumu. Kami benar-benar merasa malu sekali karena budimu yang bertumpuk-tumpuk. Kalau penculikanmu itu merupakan kesalahan, maka kesalahanmu sudah tertebus secara berlebihan. Sebaliknya kesalahan suamiku yang membuat engkau patah hati bahkan kemudian menanggung derita karena mukamu cacat, sama sekali suamiku tidak akan mampu membalasnya. Karena itu, Enci Gak Li...... aku rela"" biarlah sekarang suamiku menebus kesalahannya, hidup berdua di sini denganmu, menyambung lagi tali kasih yang dulu diputus suamiku...... dan aku, biarlah aku hidup dengan puteriku, jauh dari sini......." Nyonya Tan menangis lirih tanpa suara, hanya air matanya saja yang menetes-netes turun dari kedua matanya.
"Ibu......!" Li Hong merangkul ibunya.
Ban-tok Niocu tersenyum dan ia memandang bekas kekasihnya yang duduk sambil menundukkan mukanya. Diam-diam ia merasa bahwa sampai sekarang, cintanya terhadap laki-laki ini tidak pernah berkurang, walaupun kalau ia ingat akan penderitaannya selama duapuluh tahun ini, membuat hatinya sakit. Kini ia merasa iba kepada Kun Tek, juga kepada isteri kekasihnya itu yang ternyata merupakan seorang wanita berwatak baik dan hatinya lembut. Ia tertarik sekali mendengar ucapan isteri Tan Kun Tek itu kini ia bertanya kepada Kun Tek.
"Tek-ko, engkau sudah mendengar ucapan isterimu tadi. Bagaimana tanggapanmu, bagaimana pendapatmu?"
Laki-laki itu tampak lemas. Dia mengangkat mukanya, sejenak menatap wajah bekas kekasihnya, lalu menoleh dan memandang kepada isterinya yang masih dalam rangkulan Li Hong, kemudian memandang wajah Li Hong.
"Li Hong, anakku, bantulah Ayahmu. Bagaimana menurut pendapatmu mengenai ucapan ibumu tadi?"
Li Hong mengerutkan alisnya.
"Ibu benar, Ayah harus menebus kesalahan Ayah yang membuat Subo menderita sampai demikian lamanya, bahkan sampai sekarang Subo tidak pernah mau menikah. Biarlah Ayah menebus kesalahan Ayah dengan membahagiakan Subo dan tinggal berdua di sini. Aku akan membawa Ibu pergi dari sini."
Dengan muka pucat Tan Kun Tek kini memandang kepada Ban-tok Niocu dan berkata dengan suara gemetar.
"Lili, aku memang telah bersalah kepadamu, menjadi penyebab engkau hidup menderita selama ini. Untuk menebus kesalahan itu, aku mau dihukum dan melakukan apa pun, akan tetapi...... aku tidak tega dan tidak mungkin berpisah dari isteriku dan anakku, tidak mungkin membuang mereka begitu saja. Lili, jangan engkau suruh aku berbuat demikian, lebih baik engkau bunuh aku untuk menebus kesalahanku kepadamu......."
Ban-tok Niocu menghela napas panjang.
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kanda Tan Kun Tek, apa engkau kira aku tega melakukan hal itu kepadamu, satu-satunya orang yang pernah dan masih kucinta? Tidak, aku tidak ingin memisahkan engkau dari anak isterimu, apalagi membunuhmu. Aku tadi hanya menyarankan agar engkau dan isterimu tinggal di sini bersama kami karena hanya di sinilah kalian akan dapat hidup aman, tidak terancam pasukan pemerintah."
Kun Tek kini berkata kepada isterinya.
"Engkau telah mendengar sendiri saran dari Gak Li yang ingin menolong kita, kenapa engkau tadi mengucapkan yang bukan-bukan?
Nyonya Tan dengan kedua mata masih basah menggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak mungkin aku hidup bahagia di sini sambil setiap hari melihat Enci Gak Li hidup kesepian dan merana. Enci Gak Li, aku hanya mau tetap tinggal di sini kalau engkau mau menjadi isteri Tan Kun Tek, menyambung kembali tali kasih antara kalian yang dulu terputus. Nah, kalau kalian mau menjadi suami isteri, aku mau tetap tinggal di sini. Kalau tidak, aku harus keluar dari pulau ini bersama anakku!"
Kun Tek merasa malu sekali dan mukanya berubah kemerahan lalu dia memandang kepada Gak Li.
"Ah...... ah...... bagaimana Lili? Aku...... aku tidak berani...... dan maafkanlah isteriku, Lili."
"Tan Kun Tek, bersikaplah sebagai seorang laki-laki gagah. Engkau seorang pendekar, bukan? Nah, tentukan sikapmu dan jawab sejujurnya. Apakah engkau menyetujui keputusan isterimu itu dan apakah engkau mau memperisteri aku di samping isterimu? Jawab!"
"Aduh, bagaimana aku harus menjawab? Aku merasa malu, Lili. Akan tetapi kalau memang demikian kehendak isteriku, dan terutama sekali kalau engkau...... sudi menjadi isteriku kita semua dapat hidup di sini, aku...... aku tentu saja menyetujui dan menurut......."
"Hemmm, kalau kalian berdua suami isteri sudah menyetujui, aku pun suka hidup sebagai isterimu, Tek-ko. Akan tetapi karena aku lebih tua dari isterimu, maka aku mau menjadi keluargamu asalkan aku menjadi isteri pertama!"
"Ah, tentu saja, Enci Gak Li.......!" Isteriku Kun Tek kini menghampiri dan merangkul Ban-tok Niocu.
"Tidak saja engkau lebih tua daripada aku, juga engkau lebih dulu menjadi kekasih Tan Kun Tek sebelum aku menjadi isterinya. Ah, aku gembira dan berbahagia sekali!"
Li Hong juga merasa gembira bukan main. Tidak saja kini ayah dan ibu kandungnya tinggal bersama di Pulau Ular, juga sekarang gurunya, yang tentu saja ia sayang bahkan melebihi sayangnya kepada ibunya sendiri karena sejak kecil ia hidup bersamanya, kini juga menjadi ibunya, menjadi isteri ayahnya!
Ban-tok Niocu juga merasa berbahagia karena sekarang ia dapat mengobati penderitaannya, hidup sebagai isteri pria yang dicintanya. Tan Kun Tek juga merasa bahagia karena dapat menebus kesalahannya dengan persetujuan isterinya. Demikian pula Nyonya Tan Kun Tek, ia pun merasa berbahagia karena ia dapat membalas budi kebaikan Gak Li.
Ban-tok Niocu merayakan perjodohan itu dengan pesta keluarga dan dirayakan pula oleh semua anak buahnya di Pulau Ular.
Sebulan setelah ikatan perjodohan antara ayah kandung dan gurunya itu, Li Hong berpamit dari ketiga orang tuanya untuk meninggalkan pulau, merantau. Ketika tiga orang tua itu bertanya, ia menjawab dengan tegas.
"Aku hendak mencari Panglima Kim Bayan yang hampir saja membunuh Ayah dan Ibu."
"Akan tetapi Panglima Besar Kim itu sebetulnya tidak mempunyai permusuhan pribadi denganku, Li Hong. Agaknya dia memusuhi semua partai persilatan dan karena aku murid Bu-tong-pai, maka dia sengaja mencari gara-gara denganku. Mungkin dia akan bertindak lebih jauh, memusuhi dan membasmi semua perkumpulan besar seperti Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain."
Pedang Naga Hitam Eps 12 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 25 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 22