Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 5


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 5




   Bukan orang-orang lain, melainkan masih saudara seperguruannya sendiri. Maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka berdua itu, hanya setingkat lebih rendah dibandingkan dengan jenderal itu sendiri. Jaranglah jenderal itu turun tangan sendiri, karena setiap lawan yang berani melintang didepannya, cukup ditanggulangi dan ditundukkan oleh dua orang pengawalnya yang tangguh itu. Beng-goanswe (Jenderal Beng) kini sudah tiba didekat tempat perajurit muda dikeroyok itu. Dia menghentikan kudanya dan menonton dengan pandang mata tertarik. Dia merasa kagum sekali kepada perajurit muda itu. Diam-diam dia merasa heran dan menduga-duga siapa adanya orang muda yang demikian tangguh dan beraninya, menyamar sebagai seorang perajurit dan menyusup kedalam perkemahan bala tentaranya itu.

   Sungguh suatu perbuatan yang luar biasa beraninya dan kegagahan yang mengagumkan sekali. Gerakan pemuda itu selain cepat dan gesit, juga mengandung tenaga kuat dan aneh sekali. Diam-diam Beng-goanswe mempelajari gerakan-gerakannya itu dan mengingat-ingat, akan tetapi dia tidak mengenal ilmu silat pemuda itu. Dilain pihak, ketika perajurit muda palsu itu mengenal siapa yang muncul, diam-diam menjadi terkejut bukan main. Tidak disangkanya sama sekali bahwa orang nomor satu dari pasukan pemerintah pilihan itu muncul disitu! Tentu saja dia mengenal bahaya dan berusaha untuk meloloskan diri dari kepungan belasan orang perajurit yang mengeroyoknya. Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan teriakan melengking nyaring, kedua lengannya membuat gerakan memutar-mutar membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung dan para pengeroyoknyapun berjatuhan!

   Dalam satu gebrakan yang mengandung serangan bertubi-tubi itu, sekaligus robohlah enam orang perajurit pengeroyok! Beng-goanswe terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan sambil mengangkat tangan kanannya keatas. Dua orang sutenya, atau juga dua orang pengawal pribadinya, maklum akan isyarat ini maka keduanya lalu berloncatan turun dari atas kuda masing-masing, berjungkir balik dan dengan gerakan indah keduanya sudah melayang dan memotong jalan lari perajurit muda palsu itu! Pemuda yang menyamar sebagai perajurit itu terkejut, maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh, padahal disitu masih terdapat sang panglima dan puluhan orang perajurit,

   Maka diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi, membentak nyaring dan dia sudah menyerang dua orang pengawal panglima itu. Dan melihat betapa dua orang pengawal itupun menghadapi si pemuda dengan tangan kosong, dapat dimengerti bahwa tingkat kepandaian merekapun sudah tinggi sekali. Sekali ini para perajurit hanya mengurung dari jauh sambil menonton. Perkelahian yang terjadi memang hebat bukan main. Sang panglima yang masih duduk diatas kudanya memandang dengan mata semakin kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa musuh yang menyamar itu, yang masih demikian muda, mampu melayani pengeroyokan dua orang pengawalnya, dapat membalas setiap serangan dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya, walaupun lambat-laun pemuda itu nampak kewalahan juga.

   Panglima ini dapat mengukur bahwa andaikata tidak dikeroyok, belum tentu sutenya dapat menang. Kini, mengandalkan pengeroyokan itu, dua orang pengawalnya dapat menghujani serangan dan dengan cengkeraman-cengkeraman, satu demi satu pakaian perajurit penyamaran itu dapat dilucuti dan akhirnya nampaklah pakaian pemuda itu sendiri, yaitu pakaian yang dipakai oleh pemuda yang semalam telah bertemu dengan Pek Lian dan dua orang gurunya dirumah kosong. Tiba-tiba Pek-bin-houw menahan seruannya. Setelah kini melihat wajah pemuda itu disiang hari, diapun mengenalnya. Pernah dia bertemu dengan pemuda itu, setahun lebih yang lalu.

   "Ahhh...! aku ingat sekarang!" Dia berbisik kepada Kim-suipoa dan Pek Lian.

   "Dia adalah Yang-ce Siauw-kokcu (Ketua Muda Lembah Sungai Yang-ce)!"

   Mendengar ini, Pek Lian memandang tajam. Kiranya inilah pemimpin dari orang-orang gagah yang bermarkas disepanjang lembah Sungai Yang-ce, yang kini sedang digempur oleh pasukan pemerintah itu! Para pendekar lembah Sungai Yang-ce amat terkenal karena gagah perkasa, dan nama mereka sejajar dengan nama para pendekar puncak Awan Biru. Memang kedua perkumpulan orang gagah ini sama-sama terkenal sekali sebagai orang-orang gagah yang menentang kelaliman pemerintah. puncak Awan Biru diPegunungan Fu-niu-san menjadi sarang para pendekar yang tentu saja oleh pemerintah dinamakan gerombolan penentang pemerintah atau gerombolan pemberontak, dipimpin oleh seorang pendekar yang gagah perkasa, yaitu Liu Pang yang terkenal dengan sebutan Liu-toako.

   Pek Lian dan empat orang gurunya bergabung kepada perkumpulan pimpinan Liu Pang inilah. Adapun gerombolan lembah Sungai Yang-ce ini dipimpin oleh seorang pendekar yang tidak kalah terkenalnya, yaitu yang bernama Chu Siang Yu. Karena sama-sama sebagai perkumpulan pendekar atau patriot yang menentang kelaliman pemerintahan dan membela rakyat kecil yang tertindas, maka kedua pihak ini saling menghormat dan saling membantu. Bahkan Liu Pang yang berasal dari keluarga petani kecil menaruh sikap hormat sekali kepada Chu Siang Yu yang masih berdarah bangsawan, bahkan terkenal sekali karena dia adalah keturunan Jenderal Chu Tek yang pernah menggegerkan dunia karena kegagahannya dijaman dahulu.

   "Bukan main..." kata Pek-bin-houw.

   "Kok-cu muda ini lihai sekali. Gurunya lebih hebat lagi, pernah pibu (mengadu ilmu silat) secara persahabatan dengan Liu-toako."

   "Ah, lalu bagaimana hasilnya, suhu?" tanya Pek Lian, tertarik sekali mendengar bahwa guru pemuda yang lihai ini pernah pibu melawan gurunya yang baru, ketua puncak Awan Biru.

   "Mereka pibu tangan kosong, dan kalau saja pibu itu dilakukan dengan senjata, dengan keisti-mewaannya bermain pedang mungkin tidak akan "Kalah."

   "Jadi, suhu kalah?" tanya Pek Liari kecewa.

   "Begitulah, akan tetapi hal itu terjadi ketika. Liu-toako masih muda, masih sama-sama muda dahulu, sepuluh tahun yang lalu. Sekarang tentu saja Liu-twako telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda, itu, tentu dapat dimengerti bahwa ilmu silat gurunya tentu jauh lebih hebat lagi."

   "Suhu, ternyata didunia ini demikian banyaknya orang-orang yang memiliki ilmu silat sedemikian tingginya." Dalam suara Pek Lian terkandung kekecewaan karena dara ini melihat betapa ilmunya sendiri masih amatlah dangkalnya. Dua orang pendekar itu maklum akan perasaan hati murid mereka. Mereka sendiripun setelah secara berturut-turut mengalami pertemuan dengan begitu banyaknya orang pandai, merasa betapa kepandaian sendiri masih teramat rendah. Mereka maklum bahwa Pek Lian merasa kecewa sekali melihat kenyataan yang menghancurkan harga diri itu. Dara itu telah berlatih silat dengan amat tekunnya, bahkan telah belajar dari lima orang guru dan ilmu kepandaiannya bahkan sudah melampaui tingkat masing-masing dari keempat Huang-ho suhiap.

   Gadis itu tentu mengira bahwa ilmu silatnya sudah baik dan tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi sungguh merupakan kenyataan yang amat pahit baginya bahwa begitu ia turun gunung untuk pertama kalinya, bertualang sebagai gadis pendekar kang-ouw setelah keluarganya hancur, ia mengalami kekalahan karena bertemu dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Pertamatama, bertemu dan kalah oleh si cebol Pek-lui-kong Tong Ciak. Kemudian pemuda sinting itupun memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya. Setelah itu, bertemu dengan keluarga Bu yang sakti, yang rata-rata memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya.

   Juga orang-orang berjubah naga itu, baru bertemu dengan yang berjubah biru saja ia sudah kalah, belum lagi kalau harus melawan yang berjubah coklat. Kemudian muncul pemuda Lembah Yang-ce ini, jelas pemuda ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi diatasnya. Dan orang-orang Tai-bong-pai itupun lebih lihai lagi. Bertemu dengan demikian banyaknya tokoh-tokoh yang hebat, tentu saja dara itu merasa betapa dirinya kecil dan lemah tak berarti! Perkelahian antara kokcu lembah Sungai Yang-ce dengan dua orang pengawal Jenderal Beng Tian itu menjadi semakin seru, akan tetapi jelaslah kini bahwa pemuda itu terdesak hebat. Kedua pengeroyoknya itu masing-masing tidak memiliki tingkat lebih tinggi darinya, akan tetapi mereka berdua dapat bekerja-sama dengan baik sekali. Beberapa kali pemuda itu telah terkena pukulan-pukulan dua orang pengeroyoknya.

   Kalau saja tenaga sinkangnya tidak amat kuat, tentu pukulan-pukulan dahsyat itu sudah merobohkannya. Pemuda itu terdesak terus, main mundur sampai akhirnya pertempuran itu tiba didekat gerobak yang berhenti, dimana Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya bersembunyi. Sementara itu, Pek Lian dan dua orang gurunya hampir lupa diri saking asyiknya nonton perkelahian itu, lupa bahwa kalau mereka bertiga itu sampai ketahuan, amat berbahayalah bagi mereka yang memang sedang dicari-cari oleh para perajurit karena mereka dicurigai sebagai pembunuh para perwira itu. Sebuah pukulan menyambar kearah kepala pemuda dari Lembah Yang-ce itu. Pemuda ini menangkis dan sebuah tendangan kearah pusarnya dapat dielakkannya. Akan tetapi karena dia terhimpit kegerobak itu, pukulan yang mengarah lehernya dan sudah dielakkannya masih saja mengenai pundaknya.

   "Dukk!!" Keras sekali pukulan ini, membuat tubuhnya terdorong dan menabrak gerobak sehingga gerobak itu bergoyang-goyang. Sebelum pemuda itu dapat memperbaiki kembali sikapnya, kedua orang lawan itu dengan tenaga gabungan telah dapat menghantamnya lagi.

   "Dess!!" Kini tubuh pemuda itu menabrak gerobak dengan keras dan jatuh terlentang kebawah gerobak. Dari mulutnya keluar darah segar, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Akan tetapi dua orang lawannya tidak mau memberi ampun, masih mendesak maju hendak mengirim pukulan susulan yang tentu akan mematikan. Melihat ini, Ho Pek Lian dan guru-gurunya tidak dapat menahan hatinya lagi. Mereka adalah pendekar-pendekar yang sejak lama digembleng untuk selalu mengulurkan tangan menolong pihak lemah atau pihak yang benar, maka melihat betapa nyawa pemuda Lembah Yang-ce itu terancam, mereka segera keluar dari balik gerobak itu dan. menyerang dua orang pengawal yang hendak menghabiskan nyawa pemuda Lembah Yang-ce.

   "Wuuut! Singgg...!!" Pedang ditangan Pek Lian menyambar kearah leher seorang diantara dua lawan terdekat untuk menyelamatkan pemuda itu. Akan tetapi pengawal itu gesit sekali, dengan sebuah loncatan menyamping dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang kelehernya, bahkan secepat kilat tangannya sudah menyambar dari samping, mengarah ubun-ubun kepala Pek Lian! Melihat ini, pemuda Lembah Yang-ce terkejut. Dia sendiri sudah terluka parah, akan tetapi melihat bahaya mengancam nona yang mencoba menyelamatkannya itu, diapun meloncat bangkit dan menangkis pukulan itii. Kembali dia terlempar, akan tetapi pukulan pengawal itu meleset, tidak mengenai kepala Pek Lian, dan sebaliknya menyambar dan mengenai tiang gerobak bagian belakang.

   "Krakkkk...!!" Tiang itu patah dan sebagian atapnya yang belakang ambruk.

   "Kurang ajar! Anak setan sialan dangkalan!!" Terdengar suara parau menyumpah-nyumpah dari bawah atap gerobak yang patah dan runtuh itu berbareng dengan suara jeritan serak suara wanita yang juga memaki-maki lebih kotor lagi.

   "Anak haram anjing babi monyet!" maki wanita itu. Semua orang terkejut dan dari bawah atap gerobak yang runtuh itu muncullah sepasang laki-laki dan wanita setengah tua dengan pakaian kedodoran setengah telanjang sambil memaki-maki.

   Keduanya berloncatan keluar sambil membetulkan celana yang kedodoran dan diikat sekenanya saja. Kemudian, tanpa bicara apa-apa lagi pria dan wanita ini menggerakkan kedua tangan mereka dengan cepat luar biasa, tanpa pilih bulu, baik Pek Lian dan kedua orang gurunya, juga pihak perajurit. Dan terjadilah hal yang mengerikan sekali. Tangan pria dan wanita itu seketika berobah kehijauan dan ketika mereka menggerakkan kedua tangan, angin besar menyambar-nyambar seperti terjadi angin puyuh. Karena gerakan empat buah tangan itu cepatnya sukar diikuti dengan mata, orang sebanyak itu merasa seperti mereka masing-masing menerima pukulan, maka merekapun adu yang mengelak dan ada yang menangkis. Namun akibatnya sama saja.

   Baik yang mengelak maupun yang menangkis, semua terkena pukulan itu atau bersentuhan dengan tangan itu dan seketika juga mereka merasa tubuh mereka panas seperti terbakar api, kemudian berobah dingin sampai menggigil, panas dan dingin menyerang tubuh mereka seperti orang sakit demam. Pek Lian, dua orang gurunya, juga dua orang pengawal lihai itu, tak terkecuali, semua menggigil dan kepanasan silih berganti. Hanya pemuda Lembah Yang-ce, karena tadi ketika menangkis tubuhnya roboh, terbebas dari hawa beracun yang hebat itu. Panglima itu, Jenderal Beng Tian, melihat hal ini, berobahlah wajahnya. Dari atas kudanya dia mengirim pukulan dorongan kedua tangannya berganti-ganti. Pria dan wanita itu terdorong mundur oleh hawa pukulan ini dan mereka berteriak kesakitan. Sementara itu, Beng-goanswe sudah berteriak memberi peringatan kepada anak-buahnya.

   "Semua mundur! Awas pukulan Imyang Tok-ciang mereka! Sangat beracun. Mereka adalah iblis-iblis dari Pulau Selaksa Setan!"

   Sambil berkata demikian, Jenderal Beng Tian melompat turun dari atas kudanya agar dapat bergerak lebih leluasa. Akan tetapi, sepasang laki perempuan itu telah meloncat keatas gerobak dan dari tangan mereka berhamburan pasir-pasir putih beracun kearah sepasang panglima dan para perajurit yang hendak mengejar. Panglima itu dan dua orang pengawalnya saja, yang masih menggigil, yang dapat menghindarkan dirinya. Para perajurit, delapan orang banyaknya, roboh dan menjerit-jerit, bergulingan karena pasir-pasir putih itu mengandung racun yang mendatangkan rasa gatal-gatal dan panas. Gerobak itu telah dilarikan secepatnya, diseret oleh dua ekor kudanya meninggalkan tempat itu. Hampir saja gerobak itu bertabrakan dengan sebuah kereta yang juga bergerak datang dengan cepat.

   Akan tetapi ternyata kakek yang mengusiri gerobak, juga seorang laki-laki setengah tua yang mengusiri kereta itu, amat cekatan. Sambil memaki, kakek pengemudi gerobak itu dapat menyim-pangkan gerobaknya kekiri, demikian pula kereta itupun menyimpang kekiri sehingga tubrukan dapat dihindarkan. Kereta itu berhenti dan secepat kilat, tiga orang kakek, yaitu kawan-kawan dari kokeu Lembah Yang-ce, berloncatan keluar. Mereka sudah bersiap-siap untuk menghadapi panglima yang lihai itu. Akan tetapi tiba-tiba kedua pengawal dari jenderal itu mengeluh kepanasan oleh racun pukulan suami-isteri aneh tadi, maka pertempuran dengan sendirinya berhenti. Tiga orang kakek itu lalu mengangkat pemuda Lembah Yang-ce, juga Pek Lian dan dua orang gurunya ditarik naik memasuki kereta, lalu kereta itu dilarikan secepatnya.

   Panglima yang masih gentar menghadapi suami-isteri yang tiba-tiba saja muncul dan seolah-olah juga menentangnya itu, apa lagi melihat dua orang pengawalnya sudah terluka, cepat bersuit panjang memberi isyarat kepada pasukannya untuk mengejar dan menghalangi orang-orang yang memberontak itu untuk melarikan diri. Maklum bahwa tidaklah mudah untuk dapat melarikan kereta itu dari pengejaran pasukan, apa lagi melihat kenyataan yang tidak menguntungkan betapa kokcu Lembah Yang-ce telah terluka parah, bahkan tiga orang pendekar dari puncak Awan Biru yang dapat diharapkan bantuannya itupun telah menggigil panas dingin, maka tiga orang kakek dari Lembah Yang-ce itu membalapkan kereta sedapat mungkin untuk mencapai hutan didepan.
(Lanjut ke Jilid 04)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 04
Akan tetapi, ketika kereta tiba disuatu tikungan, tiba-tiba muncul seorang pemuda bertubuh tinggi besar. Pek Lian dan dua orang gurunya yang tidak pingsan seperti kokcu Lembah Yang-ce dan ikut mengintai keluar, mengenal pemuda ini sebagai pemuda tukang sapu dikuil itu!

   "A-hai...!" teriak Pek Lian.

   "Harap berhentikan kereta, mungkin dia mempunyai petunjuk penting!" Mendengar seruan nona ini, tiga orang kakek Lembah Yang-ce menghentikan kereta itu. Kalau saja bukan Pek Lian yang berseru, tentu mereka tidak akan berhenti karena mereka tidak mengenal pemuda tinggi besar itu, bahkan mencurigainya. Pemuda itu dengan napas terengah-engah, agaknya ketakutan dan juga gelisah sekali, berkata,

   "Cepat turun semua! didepan sudah ada perajurit-perajurit menjaga. Penunggang-penunggang gerobak itupun sudah dikeroyok dan terjadi pertempuran mengerikan. Lekas turun dan mari ikut bersamaku, aku dapat menyembunyikan kalian!" Pek Lian melihat betapa pemuda itu ketakutan. Hal ini merupakan tanda bahwa pemuda itu justeru berada dalam keadaan normal dan tidak sedang kumat. Maka diapun lalu turun dengan menahan rasa dingin tubuhnya, diturut oleh dua orang gurunya.

   "Dia dapat dipercaya. Mari cepat!" katanya kepada tiga orang kakek Lembah Yang-ce yang tentu saja tidak ragu-ragu lagi, karena keadaan amat mendesak. Pemuda tinggi besar itu melihat Pek Lian menggigil, lalu memegang tangan gadis itu.

   "Pek Lian, engkau sakit? Ihhhh...! Tanganmu seperti salju!" Dan digandengnya dara itu, dibawanya lari dengan hati-hati. Pek Lian menurut saja karena memang iapun merasa pening dan larinya terhuyung. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw saling bantu dengan bergandeng tangan, lalu dibantu oleh dua orang kakek. Kakek ketiga memondong tubuh kokcu Lembah Yang-ce. Pemuda yang menggandeng Pek Lian itu memasuki sebuah kuil kuno yang rusak ditepi hutan, lalu menuju kebagian belakang. Tiba-tiba Pek Lian mengeluh, dan tubuhnya menjadi panas sekali, kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang. Hampir berbareng dengan kedua orang suhunya, iapun terpelanting. Untung A-hai cepat menyambar dan memondongnya.

   "Ah, celaka Pek Lian! Pek Lian! Ah, badannya panas sekali... ah, jangan-jangan ia mati...!" Tiga orang kakek Lembah Yang-ce itu terheran-heran melihat sikap pemuda ini. Mereka masing-masing kini memondong seorang. Akan tetapi karena agaknya keselamatan mereka berada ditangan pemuda itu, merekapun hanya mengikuti saja ketika pemuda itu berjalan terus.

   Dikamar belakang yang amat kotor, penuh dengan rumput tinggi, pemuda itu membuka tutup sumur bekas tempat pembuangan kotoran dari kamar mandi dan kakus! Begitu tutup sumur dibuka, bau busuk menyerang hidung mereka. Akan tetapi, pemuda itu memberi isyarat agar mereka semua mengikutinya memasuki lubang sumur kotor itu! Ada tangga disitu dan dengan susah payah, yang sehat membawa dan menarik yang sakit melalui tangga sampai ketengah-tengah sumur. Kakek Lembah Yang-ce yang turun terakhir, tidak lupa menutupkan papan penutup sumur kembali. Sebelum mereka tiba didasar lubang kotoran itu, tangganya sudah habis dan dilambung sumur terdapat sebuah lubang sebesar perut kerbau. Kini terpaksa yang sakit tidak dipondong lagi, melainkan dibantu memasuki lubang seorang demi seorang.

   Kokcu Lembah Yang-ce sudah siuman, dan dengan gerakan lemah sekali diapun merangkak, dibantu oleh seorang kakek. Tentu saja perjalanan ini amat sukar karena empat orang dari mereka terluka dan keracunan, walaupun yang amat parah hanya kokcu Lembah Yang-ce itu saja. Lubang sebesar perut kerbau itu ternyata amat panjang, gelap dan licin karena becek dan basah. Pemuda yang menjadi penunjuk jalan itu berkali-kali terpeleset dan kepalanya terbentur dinding tanah. Pek Lian yang berada dibelakangnya dan digandengnya, berkali kali harus menjaga agar jangan sampai pemuda ini lecet atau mengeluarkan darah. Bergidik ngeri ia kalau membayangkan betapa ditempat seperti itu, penyakit pemuda itu kambuh. Bisa berabe benar-benar! Maka iapun mengajak bicara pemuda itu, biarpun kepalanya pening dan tubuhnya masih kadang-kadang dingin kadang-kadang panas.

   "Hati-hati, A-hai, jalannya licin. Awas jangan jatuh dan lihat atas, kepalamu bisa terbentur batu..." Akhirnya A-hai tertawa.

   "Pek Lian, engkau sendiri yang payah dan sakit, masih memperingatkan aku. Jaga baik-baik dirimu sendiri." Melihat sikap Pek Lian ini, empat orang tokoh Lembah Yang-ce juga merasa heran. Memang lucu sekali, pikir mereka.

   Pemuda tinggi besar itu dalam keadaan sehat dan menjadi petunjuk jalan, sedangkan gadis itu terluka pukulan sakti akan tetapi kenapa justeru gad's itu yang terus-menerus memperingatkan pemuda itu agar berha tihati? Akan tetapi tentu saja Kim-suipoa dan Pek-bin-houw tidak merasa heran, bahkan merekapun diam-diam menyetujui sikap Pek Lian itu, karena mereka tahu babwa kalau sampai pemuda itu terbentur dan jatuh lalu terluka, akibatnya mereka tidak berani membayangkan. Kalau pemuda itu kumat, wah, tentu akan mengerikan sekali dan bukan mustahil kalau mereka semua mati konyol ditangan pemuda itu! Setelah merangkak-rangkak secara susah payah lebih dari satu jam lamanya, tibalah disuatu tempat dataran lapang yang dikelilingi tembok-tembok kuno yang tebal, merupakan ruangan yang panjang dengan dinding tembok dan atasnya dari batu.

   "Tempat apakah ini, A-hai?" tanya Pek Lian.

   "Ruangan ini berada dibawah tembok benteng kota kihan," jawab pemuda itu sambil menyalakan sebatang lilin yang terdapat ditepi tembok.

   "Aku menemukannya beberapa hari yang lalu secara kebetulan saja. Aku mengejar seekor kelinci yang memasuki lubang sumur itu dan akupun bisa sampai ketempat ini. Dari sini ada terowongan yang menembus keluar, keparit-parit diluar benteng. Malam nanti kita dapat melarikan diri melalui terowongan itu." Empat orang tokoh Lembah Yang-ce, ketika merangkak-rangkak dibelakang tadi, sudah diberi tahu dengan bisikan-bisikan oleh Kim-suipoa dan Pek-bin-houw tentang diri pemuda ini yang sama sekali tidak dapat ditanyai riwayatnya. Karena itu, merekapun diam saja dan membiarkan Pe Lian saja yang bicara, karena agaknya pemuda itu kenal baik dengan Pek Lian.

   Mendengar keterangan tentang tempat ini, mereka menjadi lega. Untuk sementara, agaknya para perajurit tidak akan dapat menemukan mereka dan diam-diam merekapun berterimakasih kepada pemuda yang dipanggil dengan nama A-hai itu. Tanpa adanya pemuda itu, dalam keadaan luka-luka, sukarlah bagi mereka untuk dapat diselamatkan oleh tiga orang kakek Lembah Yang-ce. A-hai lalu memanjat dinding yang kasar itu untuk menaruh lilin didalam sebuah lubang. setelah dia meletakkan lilin itu didalam lubang, maka ruangan itu menjadi lebih terang. Akan tetapi ketika dia turun, sebuah batu tembok terlepas, kakinya terpeleset dan diapun jatuh terduduk. Pek Lian dan dua orang gurunya terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah. Akan tetapi mereka menarik napas lega ketika melihat pemuda itu hanya menyeringai kemalu-maluan dan bangkit kembali.

   Bagaimana pemuda yang setolol ini dapat berubah menjadi demikian luar biasa lihainya? Demikian Pek Lian berpikir sambil memandang penuh keheranan. Apakah benar-benar dalam keadaan sadar selemah ini? Akan tetapi kenapa ketika diajarnya membelah kayu dengan tangan kosong, pemuda ini dapat melakukannya sedemikan mudahnya? Apakah semua ini hanya permainan sandiwara belaka? Keheranan hati Pek Lian bertambah ketika pemuda itu kini mengeluarkan berbagai macam bungkusan dari dalam saku bajunya. Kiranya dia tadi menyalakan lilin dan menaruhnya diatas memang ada maksudnya, yaitu agar dia memperoleh cukup penerangan untuk mengeluarkan obat-obatan dari dalam saku bajunya. Sambil membuka-buka bungkusan bermacam-macam itu ia menunjuk kepada obat-obatan yang berupa bubuk berbagai warna dan butiran-butiran besar kecil sambil berkata,

   "Ini obat untuk luka akibat senjata beracun, dan ini dapat menyedot racun yang mengeram didalam tubuh, dan pel kecil ini dapat diminum untuk membebaskan darah dari keracunan, dan yang besar ini untuk membersihkan isi perut. Bubuk putih ini kalau disedot dapat menawarkan racun yang tersedot orang melalui asap beracun, dan yang ini kalau ditelan dapat mempercepat kembalinya tenaga murni."

   Semua orang memandang bengong. Kiranya pemuda ketolol-tololan ini adalah seorang ahli pengobatan, terutama sekali pengobatan tentang orang keracunan! Bukan keracunan biasa, melainkan akibat dari serangan-serangan pukulan sakti yang beracun. Biasanya, ilmu pengobatan seperti ini hanya dimiliki oleh ahli-ahli silat tingkat tinggi atau orang-orang yang memang ahli dalam menggunakan segala macam serangan beracun itu. Akan tetapi Pek Lian yang cerdik itu tidak memberi komentar apa-apa. Dara ini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada A-hai. akan tetapi iapun maklum akan keadaan pemuda ini yang seolah-olah berada diantara dua dunia atau dua kesadaran, yang kadang-kadang membuatnya nampak ketolol-tololan. Maka, melihat obat-obat itu, iapun lalu berkata dengan suara yang sungguh-sungguh,

   "A-hai, aku menjadi korban pukulan yang mendatangkan panas dingin, pukulan beracun yang dilakukan oleh iblis-iblis bertangan hijau."

   "Ah! Itu tentu pukulan kalajengking hijau!" seru A-hai dan nampak gembira.

   "Kebetulan sekali, inilah dia obatnya. Lekas telan sebutir dan engkau akan sembuh, Pek Lian!" Pek Lian tidak sangsi lagi, mengambil sebutir pel berwarna hitam dan menelannya. Begitu ditelan, terasa olehnya hawa panas sekali dan terasa seolah-olah pel itu hancur dalam pencernaannya dan mengeluarkan hawa panas dan pedas seperti lada. Akan tetapi, rasa dingin yang tadinya sudah membuatnya menggigil itu lenyap! Dan ketika ia menggerahkan sinkangnya. Diputar-putar disekitar perut dan dada, sudah tidak terasa lagi kenyerian seperti tadi.

   "Dia benar! Pel ini manjur bukan main!" so-raknya.

   "A-hai, berilah mereka masing-masing sebutir, merekapun menjadi korban pukulan itu tadi!" Dan dua orang guru Pek Lian itu menerima masing-masing sebutir pel yang segera mereka telan dan seperti juga Pek Lian, keduanya seketika menjadi sembuh dan sehat kembali! Tentu saja mereka berduapun menjadi girang bukan main.

   "Wah, terimakasih, A-hai. Tak kusangka engkau sehebat ini, pandai mengobati! Sekarang apakah engkau mempunyai obat untuk sahabat kami ini?" Pek Lian menunjuk kepada pemuda kokcu dari Lembah Yang-ce yang terluka lebih parah itu.

   "Dia juga terkena pukulan-pukulan yang hebat sekali" Pek Lian tidak dapat melanjutkan karena diwaktu ia menonton perkelahian itu, ia melihat pemuda ini roboh oleh pukulan gabungan dari dua orang pengawal Jenderal Beng Tian, akan tetapi ia tidak tahu jelas apa macam pukulan itu. Melihat keraguan dara itu, kokcu dari Lembah Yang-ce lalu berkata dengan suara lemah dan mulut menyeringai menahan nyeri,

   "Pukulan mereka tidak mengandung hawa beracun, akan tetapi karena amat kuat, mematahkan dua tulang iga dan aku terluka karena tenaga sendiri yang membalik." A-hai tidak kelihatan bingung, malah tersenyum.

   "Bagus! Itu ada obatnya! Nah, lebih dulu telan ini untuk membebaskan darah dari keracunan, lalu yang ini untuk menguatkan isi perut yang terguncang oleh pukulan kuat, kemudian ini ditelan untuk mempercepat kembalinya tenaga murni. Adapun tulang patah itu, ah, mudah saja. Aku mempunyai obat param untuk itu." Dia membuka sebuah bungkusan lain yang terisi bubuk kuning yang cukup banyak.

   "Ini harus dicampur dengan putih telur, lalu diparamkan dan dibalut kuat-kuat. Dalam waktu satu dua hari saja tulang-tulang itu akan tersambung kembali!" Melihat hasil obat-obat itu pada diri Pek Lian dan dua orang gurunya, kokcu Lembah Yang-ce percaya bahwa agaknya pemuda tinggi besar ini adalah seorang pandai yang menyamar sebagai orang tolol, maka diapun tanpa ragu-ragu lagi lalu menelan obat-obat itu. Dan memang manjurnya bukan main! Dia cepat duduk bersila setelah jalan darahnya pulih kembali dan pernapasannya normal, untuk melakukan siulian dan menghimpun tenaga dan hawa murni. Akan tetapi A-hai yang kebingungan.

   "Wah, ditempat seperti ini, dimana mencari telur?" Dia menoleh kesana-sini dan akhirnya melihat burung-burung walet beterbangan dengan cepatnya memasuki ruangan itu dan lenyap disebuah lubang diatas.

   "Ah, disana tentu terdapat banyak telur burung. Akan tetapi, bagaimana mencari dan mengambilnya?"

   "Jangan khawatir, aku akan mencari dan mengambilnya!" tiba-tiba seorang kakek dari Lembah Yang-ce berkata dan diapun lalu memanjat dinding itu dengan mempergunakan Ilmu Cecak Merayap sehingga kaki tangannya seperti menempel pada dinding ketika perlahan-lahan dia terus merayap keatas, sampai dilubang dimana burung-burung walet tadi beterbangan. Begitu dia tiba dilubang, dan memasuki lubang gelap itu, burung-burung walet beterbangan keluar dengan mengeluarkan bunyi panik. Kakek itu terus merayap masuk sampai tubuhnya lenyap kedalam lubang dan hanya nampak kedua kakinya saja. Tak lama kemudian, kakek ini sudah keluar lagi dan meloncat turun sambil membawa dua genggam telur burung!

   "Bagus! Wah, paman sungguh lihai sekali!" A-hai memuji dengan girang ketika dia menerima telur-telur burung itu.

   "Ah, apa artinya sedikit kemampuanku itu dibandingkan dengan kelihaian taihiap?" Kakek itu merendah dan menjura kepada A-hai dengan penuh kekaguman karena memang hatinya girang dan kagum sekali melihat betapa kokcunya dapat disembuhkan secara demikian mudahnya.

   "Apa? Siapa yang paman sebut taihiap? Aku? Wah, jangan bergurau, ah!" A-hai berkata dan dengan hati-hati diapun lalu mencampur putih telur-telur itu dengan obat kuning diatas permukaan batu yang sudah ditiupnya sampai bersih betul.

   Kemudian, dia menaburi iga yang patah itu diatas dada kokcu Lembah Yang-ce setelah tiga orang kakek membantunya dan membuka baju pemuda itu. Dan A-hai tanpa ragu-ragu lagi lalu merobek sabuknya yang panjang untuk membalut dada itu. Melihat ini, diam-diam semua orang kagum sekali. Pemuda ini, biarpun nampak tolol, ternyata selain ahli pengobatan, juga mempunyai budi yang mulia, tanpa ragu-ragu mengorbankan pakaiannya untuk menolong orang. Pandang mata Pek Lian terhadap pemuda ini menjadi semakin kagum dan mesra. Setelah diberi obat dan dibalut dada itu, kokcu Lembah Yang-ce, orang muda yang berilmu tinggi itu, merasa betul betapa hawa hangat yang aneh masuk dari luar. Tahulah dia bahwa obat itu memang mujarab sekali, maka diapun lalu menjura kearah A-hai.

   "Saudara telah melepas budi yang amat besar kepada kami. Mudah-mudahan pada saat lain kami akan berkesempatan untuk membalasnya." A-hai hanya tersenyum dan balas menjura dengan canggung, tidak tahu harus berkata apa. melihat ini, Pek Lian mendekatinya. Kini semua orang telah diobati. Dua orang gurunya, seperti juga kokcu Lembah Yang-ce itu, duduk bersila menghimpun hawa murni untuk menyempurnakan pengobatan itu. Ia sendiri merasa sudah sembuh sama sekali, terdorong oleh rasa girang dan juga bangga. Sungguh aneh mengapa ia berbangga atas kemampuan pemuda tolol ini!

   "A-hai, sungguh mati aku merasa kagum dan heran. Baru saja mengenalmu, ternyata engkau memiliki kepandaian mengobati orang dengan hebat! Siapa sih gurumu dalam ilmu ketabiban ini?" Ia sengaja bertanya sambil lalu, dan sambil bergurau tersenyum agar jangan sampai mengejutkan pemuda itu. Akan tetapi, ia menjadi heran ketika melihat pemuda itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, ketabiban apa lagi? Aku bukan tabib dan tidak mengenal ilmu ketabiban sama sekali! Aku mendapatkan obat-obat ini dengan keterangan tentang pengobatannya sebagai hadiah karena aku membantu orang mencari kalajengking hijau. Hanya aku yang tahu tempat binatang itu didaerah ini, maka orang itu menjadi girang dan memberi hadiah setelah aku menunjukkan tempatnya kepadanya."

   "Orang apa? Siapa dia?" tanya Pek Lian, hatinya tertarik, bukan kepada orang yang diceritakan itu, melainkan mengharap kalau-kalau keterangan itu sedikitnya akan membuka sedikit tentang pemuda aneh itu.

   "Wah, dia orang yang aneh, hebat bukan main dia. ha-ha, seperti orang gila, dan memang agaknya dia sudah gila. Bayangkan saja, kalajengking hijau itu beracun luar biasa, baru memegang dengan tangan saja dapat meracuni orang. Dan apa yang dilakukan oleh orang itu? Dia menelannya bulat-bulat! ha-ha-ha!"

   "Ah, tidak salah lagi. Tentu dia seorang iblis-dari Pulau Selaksa Setan! Apakah orangnya bertubuh gendut, gemuk bulat seperti bola, mata dan kulit tubuhnya kehijau-hijauan?" tanya seorang diantara tiga kakek tokoh Lembah Yang-ce.

   "Benar sekali, ha-ha, dia bundar seperti bola dan kalau berjalan seperti bola menggelinding kesana-sini. Lucu sekali. Dan memang kulitnya hijau seperti seperti kalajengking-kalajengking itu. Agaknya memang dia terlalu banyak makan kalajengking." Pemuda tolol itu kelihatan begitu gembira, akan tetapi kalau dia bicara dan tertawa dia selalu memandang wajah Pek Lian yang memandangnya dengan kagum, walaupun dia menjawab ucapan orang lain.

   "Apakah kalian sudah mengenal orang itu?" Akhirnya dia bertanya.

   "Aihh! Dia tentu seorang tokoh dari Pulau Selaksa Setan! Sekarang aku yakin akan hal itu."

   "Apakah paman sudah mengenal iblis-iblis dari pulau terkutuk itu?" tiba-tiba Pek Lian bertanya, hatinya tertarik sekali karena selain ia pernah mendengar serba sedikit tentang adanya Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Setan), juga ketika kakek dan nenek iblis yang muncul dari dalam gerobak itu mengamuk, kepandaian mereka itu hebat bukan main dan Jenderal Beng Tian sendiri, yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, nampak terkejut dan gentar, dan menyebut bahwa kakek dan nenek itu adalah iblis-iblis pulau terkutuk. Tokoh Lembah Yang-ce itu menarik napas panjang. Setelah para tokoh Lembah Yang-ce itu mengenal Pek Lian sebagai puteri Menteri Ho yang; amat terkenal itu, sikap mereka amat menghormatnya. Kakek inipun menarik napas panjang.

   "Ho-siocia, kalau dibilang mengenal mereka, saya belum pernah mendapat kesempatan untuk berkenalan dan kalau bisa diminta, mudah-mudahan selamanya saya tidak mengenal mereka." Dia bergidik dan nampak gentar sekali.

   "Akan tetapi saya mendengar banyak tentang mereka. Mereka berjumlah tujuh orang dan menjadi majikan-majikan Pulau Selaksa Setan itu. Agar nona dan semua saudara ketahui dan bersikap hati-hati kalau tidak kebetulan bertemu muka dengan mereka, biar saya perkenalkan keadaan mereka itu."

   Kakek itu lalu memberi gambaran yang jelas tentang Jit-kwi (Tujuh Iblis) itu. Orang pertama yang menjadi tocu (majikan pulau) dari Ban-kwi-to adalah seorang yang tubuhnya pendek kecil, akan tetapi mudah dikenal karena mukanya yang meruncing seperti muka tikus. Karena mukanya seperti tikus inilah maka dia mendapat julukan tetok-ci (Tikus Beracun Bumi), selain memiliki kesaktian yang luar biasa, juga wataknya licik dan kejam bukan main. Yang menjadi orang kedua adalah sutenya, dengan bentuk tubuh yang menjadi kebalikan dari pada orang pertama. Orang kedua ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang berjuluk Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) dan kabarnya raksasa ini suka makan daging manusia!

   Orang yang ketiga dan keempat adalah sepasang wanita kembar. Mereka berdua ini memiliki keahlian untuk pian-hwa (mengubah diri) dan mereka itu sukar dibedakan satu antara yang lain karena bentuk tubuh dan raut wajah yang serupa benar. Orang-orang didunia kang-ouw mengenal mereka dengan julukan Jeng-bin Siang-kwi (Sepasang Tblis Bermuka Seribu). Adapun orang yang kelima adalah orang gendut bundar yang mungkin sekali adalah orang yang mencari kalajengking hijau dan bertemu dengan taihiap eh, saudara ini. Julukannya adalah Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi) dan keahliannya tentang racun amat mengerikan. Kemudian orang yang keenam dan ketujuh adalah sepasang suami-isteri, kakek dan nenek yang pernah kita lihat muncul dari dalam gerobak itu.

   "Suami-isteri tua bangka itu terkenal cabul dan tak tahu malu, akan tetapi juga lihai bukan main, terutama ilmu pukulan mereka Imyang Tok-kun. Kita harus berhati-hati kalau bertemu dengan mereka itu. Untung sekali bahwa orang muda perkasa ini memperoleh obat-obatan dari Thian-te Tok-kun sendiri. Kalau tidak, sukarlah mengobati dan kita mungkin akan menjadi penderita cacat, kecuali kalau bisa memperoleh pengobatan dari mendiang Si Tabib Sakti." Kakek itu mengakhiri ceritanya dan kini mengertilah Pek Lian mengapa mereka begitu berterimakasih dan menghormat kepada A-hai yang telah menyelamatkan mereka, terutama kokcu mereka. Ketika malam berikutnya tiba, keadaan mereka telah baik kembali, tubuh mereka telah sehat dan segar kembali, kecuali Kwee Tiong Li, pemuda yang menjadi kokcu (majikan lembah) Yang-ce itu.

   Pemuda yang pendiam dan tampan berwibawa ini, bersikap sederhana dan jarang bicara, dan ketika mereka saling memperkenalkan diri, dia hanya memperkenalkan namanya sebagai Kwee Tiong Li. Padahal, pemuda ini yang baru berusia dua puluh dua tahun, adalah murid terkasih dari Bengcu (pemimpin rakyat) yang terkenal itu, yaitu Chu Siang Yu, tokoh para patriot Lembah Yang-ce yang ditakuti oleh pasukan pemerintah. Kalau yang lain-lain telah sembuh sama sekali, hanya Kwee Tiong Li saja yang biarpun tubuhnya tidak lagi keracunan berkat obat pemberian A-hai namun tubuhnya masih lemas dan lemah. Dia harus banyak beristirahat dan bersiulian (bersamadhi) untuk memulihkan tenaganya dan menghimpun hawa murni. Menjelang tengah malam, barulah A-hai ber-kata,

   "Sekaranglah tiba saatnya bagi kita untuk, keluar dari sini."

   "Keluar? A-hai, bagaimana kita bisa keluar dari sini? Kembali melalui jalan ketika kita masuk?" tanya Pek Lian terkejut dan ngeri mengingat kembali jalan masuk yang amat sukar itu, akan tetapi yang membuat jantungnya berdebar kalau ia teringat betapa dalam keadaan pingsan ia dipondong oleh A-hai melalui perjalanan yang demikian sukarnya. A-hai tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Ada jalan rahasia ditempat ini dan hanya aku yang tahu, secara kebetulan saja." Diapun lalu mengorek-ngorek lantai disudut ruangan itu dan nampaklah sebuah tutup besi bundar yang garis tengahnya kira-kira setengah meter. Ternyata dibawah tutup besi itu terdapat lubang yang hitam gelap dan kalau saja disitu tidak ada A-hai yang sudah mengenal jalan, tentu mereka akan mempertimbangkan masak-masak lebih dulu sebelum memasuki lubang yang menganga hitam gelap itu.

   "Saudara A-hai, lubang ini akan membawa kita kemanakah?" Kim-suipoa Tan Sun bertanya. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, dia selalu bersikap hati-hati dan memasuki lubang gelap seperti itu tanpa mengetahui lebih dulu apa yang menanti didalam lubang itu, sungguh merupakan perbuatan yang lengah dan berbahaya.

   "Kita akan tiba diluar benteng melalui lubang ini," jawab A-hai dengan sikap sederhana, kemudian dia menoleh kepada Pek Lian.

   "Pek Lian, sudah siapkah engkau? Mari kau ikuti aku, pegang tanganku dan melangkah hati-hati saja kalau merangkak, ikuti kemana aku pergi." A-hai sudah memasuki lubang itu dan merangkak. Biarpun dia tidak mengerti ilmu silat, namun jelas bahwa A-hai memiliki keberanian yang besar sekali. Pek Lian adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh orang-orang pandai dan kini telah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi, lebih tinggi dara pada tingkat Kim-suipoa atau Pek-bin-houw, namun melihat lubang gelap itu, iapun gentar juga.

   "Yakin benarkah engkau bahwa kita akan sampai ditempat yang aman, A-hai?"

   "Tentu saja, aku sudah beberapa kali menggu-nakan jalan ini. Bahkan ketika dikota para pasukan mengamuk, aku mengambil jalan ini juga." Mulailah mereka merangkak melalui lubang sempit yang gelap itu. Mereka bergandeng tangan, A-hai didepan, lalu Pek Lian, Kim-suipoa, Pek-bin-houw, Kwee Tiong Li yang dibantu oleh seorang kakek, dan dua orang kakek lainnya. Ketika mereka merangkak-rangkak ditanah yang licin dan basah itu, Pek Lian berpikir dengan penuh kekaguman bahwa pada saat itu, mereka semua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menganggap A-hai sebagai pimpinan mereka! Semua harapan dan kepercayaan dilimpahkan kepada pemuda yang nampaknya sinting itu! Setelah merangkak agak lama juga, tiba-tiba A-hai berhenti dan bertanya kepada dara yang merangkak dibelakangnya,

   "Pek Lian, apakah engkau dapat berenang?"

   "Eh, Berenang?" Pek Lian merasa heran dan geli juga mengapa ditempat seperti itu, tiba-tiba saja A-hai bertanya tentang berenang.

   "Kalau sedikit-sedikit sih bisa saja."

   "Bagus, asal engkau tidak sampai tenggelam saja sudah baik, nanti aku yang menarikmu." Baru mengertilah Pek Lian bahwa perjalanan ini akan melalui air! Dan pemuda itu agaknya tidak perduli apakah yang lain-lain dapat berenang atau tidak, hanya Pek Lian seorang yang ditanya.

   "Wah, aku tidak pandai berenang!" kata Pek-bin-houw Liem Tat.

   "Dan akupun tidak bisa!"

   "Aku juga tidak dapat berenang!" Dua orang kakek tokoh Yang-ce dan Pek-bin-houw nampak gugup dan gelisah. Betapapun pandainya mereka didaratan, kalau harus menghadap air yang dalam mereka menjadi takut dan gelisah, maklum bahwa sekali berada diair yang dalam mereka lebih lemah dari pada seorang anak kecil yang pandai berenang. Mereka akan mati lemas dan tenggelam.

   "Jangan khawatir!" tiba-tiba terdengar Kim-suipoa berkata.

   "Yang tidak dapat berenang akan dibantu oleh yang pandai berenang dan aku tidak membual kalau mengatakan bahwa aku pandai berenang dan sanggup menyeberangkan mereka yang tidak pandai berenang seorang demi seorang." Mereka merangkak terus dan kini terowongan itu menjadi agak lebar, akan tetapi menjadi semakin licin dan basah. Dari atas berjatuhan air yang menetes-netes membasahi kepala dan pakaian mereka, kemudian terowongan itu mulai menurun, terus menurun sampai akhirnya mereka berdiri ditempat yang digenangi air. A-hai berhenti dan berkata,

   "Sebaiknya semua barang yang penting dibungkus baju dan diikatkan diatas kepala agar jangan basah." Berkata demikian, dia sendiri mengeluarkan bungkusan-bungkusan obat dan membuntalnya dengan bajunya yang sudah ditanggalkannya, kemudian mengikatkan baju itu diatas kepalanya. Orang-orang lain juga melakukan hal ini, kecuali Pek Lian tentunya. Mana mungkin dia menanggalkan bajunya?

   "Pek Lian, kalau engkau mempunyai barang yang kau tidak ingin sampai terkena air, berikan padaku," kata A-hai dan untuk kata-kata ini, Pek Lian merasa berterimakasih sekali. Bagaimanapun juga, agaknya A-hai adalah seorang pemuda baik hati yang teringat akan kesukarannya menghadapi persoalan melepaskan baju ini.

   "Tidak, aku tidak mempunyai apa-apa yang perlu dijaga agar tidak basah."

   "Baiklah. Apa semua sudah siap?" tanya A-hai lalu memegang tangan Pek Lian dan berkata lagi,

   "Biar aku berenang lebih dulu mengantar Pek Lian. Paman yang tidak pandai berenang boleh berpegang pada pundakku. Yang lain-lain harus bantu agar kita sekaligus dapat menyeberang semua." Mereka lalu mengatur diri. Seorang kakek tokoh Yang-ce berpegang kepada pundak A-hai. Pek Lian berenang disebelah kiri A-hai yang bersikap melindunginya. Pek-bin-houw dibantu oleh Kim-suipoa dan seorang kakek Yang-ce membantu temannya yang tidak pandai berenang, Kwee Tiong Li sendiri adalah seorang ahli berenang, akan tetapi karena tenaganya masih lemah, diapun lalu berenang didekat A-hai dan Pek Lian agar kedua orang ini dapat membantunya kalau perlu.

   "Nah, inilah perlunya belajar berenang," kata Kim-suipoa kepada temannya, Pek-bin-houw.

   "Jangan karena engkau berjuluk harimau, lalu tidak pandai berenang."

   "Jangankan aku yang berjuluk harimau, sedangkan dua orang saudara yang menjadi tokoh Yang-ce inipun tidak pandai berenang!" Pek-bin-houw menjawab olok-olok sahabatnya. Dua orang kakek Yang-ce itupun lalu berjanji bahwa setelah pulang mereka akan belajar berenang diSungai Yang-ce.

   A-hai melangkah terus kedepan, diikuti oleh Tiong Li dan dibelakang kokcu ini baru Pek Lian berjalan sehingga ketua lembah ini diapit oleh dua orang, sedangkan yang lain-lain mengikuti dari belakang. Air yang tadinya sampai kelutut itu mulai makin dalam dan dinginnya luar biasa sekali, sampai menyusup kedalam tulang rasanya. Dan mulai terasa arus air. Untung bahwa arusnya tidak begitu kuat. Setelah melangkah beberapa belas langkah lagi, mulailah air itu dalam dan mereka harus berenang. Air yang dingin itu seperti mendatangkan tenaga pada tubuh Tiong Li sehingga dia dapat berenang tanpa dibantu, hanya dijaga saja oleh A-hai dan Pek Lian. A-hai berenang dengan pundaknya dipegangi oleh kakek Yang-ce.

   Ternyata pemuda ini pandai sekali berenang dan mempunyai tenaga yang kuat. Yang lain-lain mengikuti dibelakang. Setelah mereka berenang beberapa lamanya, paling lama sepuluh menit akan tetapi bagi mereka yang tidak pandai berenang terasa amat menegangkan dan lama sekali, akhirnya mereka tiba ditempat terbuka. Mereka lalu berenang ketepi dan ternyata air itu mengalir keluar dan bergabung pada sebatang anak sungai yang berada diluar benteng. Mereka cepat naik kedarat dan keadaan masih amat gelap dan sunyi. Tidak segelap tadi karena mereka telah berada ditempat terbuka dan sinar bulan membuat mereka dapat saling melihat. Semua orang bergembira dan berterimakasih sekali kepada A-hai. Kwee Tiong Li memegang tangan A-hai dan berkata,

   "Terimakasih, saudara A-hai. Tanpa adanya bantuanmu, belum tentu aku dapat hidup sampai sekarang. Percayalah bahwa aku Kwee Tiong Li tidak akan dapat melupakan budimu ini!" A-hai tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Sebaliknya, mungkin sebentar saja aku sudah lupa akan namamu itu. Aku pelupa sekali dan aku masih merasa sedih mengapa aku meniadi pelupa seperti ini." Juga tiga orang kakek Yang-ce mengucapkan terimakasih yang diterima oleh A-hai dengan biasa saja. Sebaliknya pemuda sinting ini merasa gembira melihat Pek Lian telah sembuh sama sekali.

   "Pek Lian. pakaianmu basah semua, sebaiknya kalau engkau bertukar pakaian kering, karena engkau bisa masuk angin kalau begitu," kata A-hai dan Pek Lian merasa terharu sekali. Pemuda ini, biarpun sinting dan nampak ketolol-tololan, namun sungguh amat baik hati dan amat memperhatikan dirinya. Juga yang lain-lain merasa terharu dan dari gerak-geriknya, mereka itu semua dapat melihat betapa dengan caranya yang polos dan bodoh, pemuda ini amat mencinta Pek Lian!

   "Aku telah kehilangan semua pakaianku dalam keributan tadi. Akan tetapi jangan khawatir, A-hai. Sebagai seorang gadis perantau, sudah terbiasa aku oleh keadaan yang sukar, maka basahnya pakaian ini tidak akan menggangguku," jawab Pek Lian.

   "Kalian tidak bisa tinggal terlalu lama disini. Tempat ini dekat tembok benteng, dan sewaktu-waktu akan ada pasukan meronda," kata pula A-hai.

   "Kami memang harus cepat pergi dari sini," kata Kwee Tiong Li.

   "Dan engkau dan kedua orang paman ini hendak kemana, nona Ho? Kalau kalian mau, mari ikut bersama kami menemui teman-teman kami. Kami telah berjanji akan mengadakan pertemuan setelah tempat kami di lembah Yang-ce diobrak-abrik pasukan."

   "Memang sebaiknya demikian," kata Kim-suipoa.

   "Kami bertigapun harus dapat melaporkan kepada pimpinan kami tentang keadaan para sahabat dari Lembah Yang-ce yang mengalami musibah itu."

   "A-hai, engkau sendiri hendak kemanakah?" Pek Lian bertanya.

   "Aku harus kembali, pulang kekuil. kemana lagi?"

   "Kalau begitu, selamat tinggal, A-hai. Jaga dirimu baik-baik," kata Pek Lian. A-hai mengangguk-angguk.

   "Engkau yang harus menjaga dirimu baik-baik, Pek Lian. Apakah... apakah kita tidak akan saling jumpa kembali?" Dalam pertanyaan yang diajukan dengan nada suara seperti anak kecil kehilangan sesuatu ini jelas nampak betapa pemuda itu bersedih hati sehingga Pek Lian merasa terharu sekali, akan tetapi juga malu karena banyak orang yang mendengarkan.

   Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Biarlah lain kali aku akan singgah dikuilmu itu."

   "Benarkah, Pek Lian? Benarkah engkau akan singgah? Ah, akan kutunggu kedatanganmu!" kini suara itu demikian girang dan penuh harapan, membuat semua orang makin terharu. Sampai lama A-hai berdiri bengong dan merasa kehilangan, memandang kepada bayangan tujuh orang itu sampai bayangan itu lenyap ditelan kegelapan malam. Baru dia pergi meninggalkan tempat sunyi itu.

   Kwee Tiong Li adalah seorang kokcu (ketua lembah) yang muda akan tetapi telah dapat menghimpun banyak anak-buahnya, yaitu para pendekar patriot yang memberontak karena melihat kelaliman Kaisar yang dirasakan amat menindas rakyat. Mereka membentuk suatu kelompok yang bermarkas di lembah Sungai Yang-ce, dipimpin oleh Kwee Tiong Li yang dibantu oleh tiga orang kakek yang dikenal sebagai Yang-ce Sam-lo (Tiga Kakek Gagah dari Yang-ce). Kelompok yang dipimpin oleh Tiong Li ini hanya merupakan kelompok cabang saja dari perkumpulan para patriot yang berpusat disebuah bulat di lembah Yang-ce sebelah barat, yang merupakan pusat. Dan pusat perkumpulan para pendekar patriot ini dipimpin oleh Chu Siang Yu, yaitu pendekar berilmu tinggi yang juga menjadi guru Tiong Li.

   Gerakan para anggauta perkumpulan pendekar ini dilakukan oleh kelompok-kelompok cabang, diantaranya yang paling aktip adalah yang dipimpin oleh Tiong Li. Sedangkan Chu Siang Yu sendiri yang sudah lama menjadi buronan pemerintah, bersembunyi dan mengatur pasukan-pasukannya dari tempat rahasia. Ketika tempat yang dijadikan sarang oleh Tiong Li dan anak-buahnya itu diserbu oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya dan dipimpin oleh perwira-perwira pandai pula, Tiong Li dan Yang-ce Sam-lo sedang pergi mengadakan kunjungan kepada perkumpulan pusat, untuk berunding dan melaporkan kepada Chu Siang Yu. Maka, dapat dibayangkan betapa marah dan berduka rasa hati Hong Li dan tiga orang pembantunya ketika mereka mendapatkan sarang mereka telah kosong,

   Kebanyakan dari para anak-buahnya tewas dan sebagian lagi ada yang tertawan dan hanya sebagian kecil saja yang dapat melarikan diri. Maka, dengan hati yang berduka dan marah sekali, Tiong Li mengumpulkan sisa anak-buahnya dan menyuruh mereka bersembunyi lebih dulu. Dia sendiri bersama Yang-ce Sam-lo mengejar para perajurit yang menyerbu sarangnya, dan dikota kihan dia berhasil menculik dan membunuh. Mereka yang terbasmi, disuruh berkumpul disebuah tempat rahasia yang mereka tentukan, yaitu disebuah kuil rusak yang kosong dan yang terletak di puncak Bukit Merak Putih. Maka kini, setelah diselamatkan oleh A-hai, mereka itu, bersama Ho Pek Lian dan dua orang gurunya, menuju ke puncak Bukit Merak Putih dimana telah dijanjikan untuk menjadi tempat pertemuan sisa para anak-buah Lembah Yang-ce itu.

   Pada keesokan harinya, menjelang senja, tibalah mereka dibawah puncak Bukit Merak Putih. Mereka tidak langsung menuju kekuil tua yang sudah nampak dari situ, karena keadaannya amat sunyi. Tiong Li mengajak mereka bersembunyi dibalik semak-semak belukar, kemudian dia minta kepada ketiga orang Sam-lo untuk melakukan penyelidikan kekuil, untuk melihat apakah teman-teman mereka sudah ada yang tiba ditempat itu. Menurut perhitungan, karena mereka sendiri terhalang dijalan, tentu teman-teman mereka itu sudah tiba disitu,

   Akan tetapi mengapa keadaannya begitu sunyi? Yang-ce Sam-lo dengan hati-hati sekali lalu menuju kekuil dari tiga jurusan karena mereka berpencar. Dan mereka tiba dikuil untuk mendapatkan kenyataan bahwa tempat itu memang kosong tidak nampak ada seorangpun, hanya ada nampak bekas-bekas pertempuran, darah dan patahan-patahan senjata. Yang-ce Sam-lo terkejut sekali dan terpaksa mereka kembali ketempat persembunyian kokcu untuk melaporkan keadaan. Mendengar laporan itu, kokcu merasa terkejut dan juga penasaran. Maka dia sendiri lalu pergi kekuil, diikuti oleh mereka semua. Dan melihat bekas-bekas pertempuran itu, hati Tiong Li meniadi bersedih sekali. Apakah teman-temannya sudah tiba disini dan diketahui oleh pasukan pemerintah lalu merekapun mengalami penyerbuan kedua kalinya dan mereka semua ditawan oleh pasukan?

   "Ah, seharusnya diantara kami ada yang menemani mereka, bukan kami tinggalkan seperti ini..." seorang diantara Sam-lo membanting kaki penuh penyesalan. Melihat kesedihan terbayang pada wajah kokcu yang mereka kasihi itu, mereka bertiga merasa menyesal bukan main.

   "Sudahlah, sam-wi tidak perlu menyesali diri sendiri, sebenarnya akulah..." Tiong Li tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu telinganya menangkap suara seperti lengkingan tinggi dari tempat jauh. Mereka semua cepat memasuki kuil, bersembunyi sambil mengintai keluar. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan agaknya suara tadi datang dari tempat yang jauh sekali. Mereka tidak dapat menentukan suara apakah itu. Tadinya mereka merasa khawatir bahwa itu adalah suara tanda dari pasukan yang akan datang menggempur mereka lagi. Akan tetapi karena tidak terjadi apa-apa, merekapun lalu beristirahat didalam kuil rusak itu sambil makan daging kelinci panggang yang mereka tangkap dibelakang kuil Biarpun mereka dapat beristirahat tanpa gangguan namun mereka tidak dapat tidur, siap siaga menghadapi segala kemungkinan dan kesunyian malam itu amat menegangkan hati.

   Menurut kokcu, mereka akan menanti disini sampai dua hari dua malam. Kalau selama itu tidak ada anak-buah Lembah Yang-ce yang muncul mereka baru akan meninggalkan tempat itu. Karena merasa setia kawan dan satu golongan dengan para tokoh Lembah Yang-ce ini, maka Pek Lian dan kedua orang gurunya juga mau mendampingi mereka sampai dua hari dan setelah dua hari barulah mereka akan kembali ketempat mereka sendiri. Pada keesokan harinya, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang gemilang, kembali mereka mendengar suara melengking tinggi itu, seperti yang mereka dengar senja kemarin. Mendengar suara ini, cepat mereka bertujuh masuk kedalam kuil dan mengintai keluar, siap sedia untuk membela diri kalau ada musuh datang.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 20 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 10 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 9

Cari Blog Ini