Pendekar Tanpa Bayangan 20
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
"Jangan, Hong-moi. Tidak selalu cinta harus berakhir dengan pernikahan." Melihat Cun Giok berdiri dengan wajah pucat, ia berkata.
"Giok-ko, pergilah, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Pergilah!" Suaranya mengandung isak dan melihat betapa Li Hong meronta hendak melepaskan diri dari rangkulan Ceng Ceng.
Cun Giok mengeluarkan suara keluhan yang keluar dari rintihan suara hatinya dan dia lalu melompat pergi dengan cepat sekali sehingga bayangannya pun tidak tampak.
"Lepaskan aku, Enci Ceng! Aku harus mengejar dan membunuh jahanam yang telah berani mempermainkanmu itu!"
"Sudahlah, Adikku, tidak perlu dikejar lagi. Bagaimanapun juga, Giok-ko sudah menebus kesalahannya dengan pengakuannya tadi. Kalau dia berniat buruk, tentu dia akan terus merahasiakan pertunangannya itu."
"Engkau...... engkau tidak merasa hancur hatimu dan merasa sakit hati, Enci Ceng?" tanya Li Hong sambil memandang wajah Ceng Ceng dengan perasaan iba.
Ceng Ceng mengusap air matanya dan tersenyum, menggeleng kepalanya.
"Sudah sewajarnya kalau aku merasa bersedih karena putus cinta, akan tetapi aku tidak sakit hati. Mengapa? Giok-ko tidak bersalah. Bagaimana orang jatuh cinta dapat disalahkan? Pengakuannya tadi menghapus semua kesalah-pahaman. Aku hanya mendoakan semoga dia dapat hidup bahagia di samping tunangannya yang akan menjadi isterinya."
Li Hong menghela napas.
"Ah, hatimu terlalu baik, Enci Ceng, terlalu baik dan terlalu lemah. Sekarang bagaimana, Enci? Apakah engkau tidak berniat mencari harta karun itu?"
"Harta karun itu telah diambil orang lain, Hong-moi."
"Maksudmu telah diambil oleh Kim Bayan dan teman-temannya?"
"Tidak, ada orang lain yang telah mendahului dan mengambil harta itu."
Ceng Ceng lalu menceritakan hasil pencarian harta karun itu. Biarpun tempat penyimpanan telah ditemukan namun ternyata peti harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan THAI-SAN.
Li Hong mengerutkan alisnya.
"Peti kosong? Dan ada dua huruf THAI-SAN dalam kotak itu? Hemm, kalau begitu jelas bahwa isi kotak itu telah diambil orang dan pengambilnya adalah seorang atau orang-orang yang sombong maka berani menuliskan asal-usul mereka. Tentu pengambilnya ada hubungan dengan Thai-san!"
"Aku juga berpendapat demikian, Li Hong."
"Lalu apa yang hendak kaulakukan, Enci?"
"Mencari harta karun itu merupakan kewajibanku, Hong-moi, karena itu merupakan pesan atau peninggalan ayahku. Juga, sekarang aku tidak dapat pulang ke bekas rumah orang tuaku karena rumah itu sekarang tentu sudah diambil-alih atau dirampas pemerintah yang menganggap orang tuaku sebagai pemberontak. Maka, aku akan pergi mencari ke Thai-san."
Li Hong memegang tangan kakak angkatnya.
"Enci Ceng, kenapa engkau merasa tidak mempunyai rumah lagi? Engkau adalah kakak angkatku, maka rumahku juga merupakan rumahmu. Marilah, Enci, kita pergi ke Coa-to (Pulau Ular)!"
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.
"Terima kasih, Li Hong, akan tetapi sungguh aku tidak ingin merepotkan dan mengganggu ketenteraman keluarga orang tuamu."
"Aih, Enci! Orang tuaku juga menjadi pengganti orang tuamu! Justeru aku ingin memperkenalkan engkau kepada ayah ibuku. Guruku sudah kaukenal baik. Selain itu, kita perlu minta nasehat Subo (Ibu Guru) yang kini juga menjadi ibuku. Tentu ia akan dapat memberi petunjuk kepada kita siapa kiranya pencuri harta karun itu yang ada hubungannya dengan Thai-san. Guruku itu mengenal para tokoh kang-ouw sehingga mungkin ia dapat memberi petunjuk. Kalau kita hanya mencari secara ngawur saja, tentu akan sulit untuk menemukan pencuri itu."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Ceng Ceng tidak dapat menolak ajakan Li Hong dan kedua orang gadis perkasa itu lalu melakukan perjalanan menuju ke Pulau Ular.
Cun Giok berlari cepat dan setelah jauh meninggalkan dua orang gadis itu, dia berhenti di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah bertilam rumput tebal dan mukanya masih pucat, pandang matanya kosong dan termenung menatap air yang mengalir perlahan, bermain-main dengan batu-batu yang menonjol sehingga mengeluarkan bunyi gemericik. Rumput alang-alang (ilalang) di sepanjang tepi sungai itu bergoyang perlahan tertiup angin semilir, seolah-olah ilalang itu menari-nari mengikuti irama musik yang diciptakan oleh gemericik air sungai.
Cun Giok merasa gundah gulana, penderitaan hati yang pernah dirasakannya ketika dia meninggalkan Siang Ni yang membunuh diri di depan makam ibunya. Teringatlah dia kepada adik misannya itu dan dia merasa amat sedih. Pengalamannya dengan Siang Ni sampai sekarang masih membekas, meninggalkan luka yang membuatnya rapuh dan luka itu mudah terobek kembali. Kini luka itu terbuka lagi dan berdarah. Betapa buruk nasibnya dalam pertemuannya dengan gadis-gadis lain sesudah Siang Ni.
Pertama dia bertemu dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin yang telah menolongnya, bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa gadis itu telah menghindarkannya dari maut karena kalau dia tidak ditemukan gadis itu, dari keadaan pingsan mungkin saja dia akan terus mati karena kehabisan banyak darah. Akan tetapi kehadirannya bahkan meretakkan hubungan antara gadis itu dan ayahnya.
Demikian pula pengalamannya dengan Siang Ni. Andaikata dia tidak muncul dalam kehidupan Siang Ni, andaikata dia tidak kesalahan tangan membunuh Pangeran Lu Kok Kong, ayah kandung Siang Ni, belum tentu nasib Siang Ni akan seburuk itu. Demikian pula dengan Cu Ai Yin. Andaikata gadis itu tidak menyelamatkannya, belum tentu ia sekarang bentrok dengan ayahnya sehingga minggat meninggalkan Bukit Merak, tempat tinggal ayahnya.
Agaknya dua peristiwa itu masih disusul yang lain lagi, bahkan lebih parah. Dia telah membikin kecewa hati Li Hong yang tadinya dia tidak tahu bahwa Li Hong seorang wanita karena ia menyamar sebagai pria. Biarpun tidak dia sengaja, akan tetapi kenyataannya tetap saja dia membuat Li Hong patah hati dan hampir saja Li Hong membunuh Ceng Ceng gara-gara dia.
Kemudian, yang membuat dia bersedih dan menyesal adalah hubungan cintanya dengan Ceng Ceng. Dia harus mengakui bahwa selama hidupnya baru sekali ini dia mencinta seorang gadis seperti dia mencinta Ceng Ceng dan merasa yakin bahwa tidak mungkin dia dapat mencinta wanita lain seperti dia mencinta Ceng Ceng. Memang dia akhirnya mengakui bahwa dia telah bertunangan, akan tetapi pengakuannya itu terlambat. Dia merasa berdosa kepada Ceng Ceng. Dia sudah mempermainkan gadis yang dikasihinya itu.
Semestinya sejak pertama kali dia menceritakan tentang pertunangannya itu. Sesungguhnya dia sama sekali tidak berhak mencintai Ceng Ceng dan sekarang, dia menghancurkan perasaan gadis yang bijaksana dan baik budi itu! Ah, betapa besar penyesalannya. Belum lagi diingat bahwa dia telah mengkhianati pertunangannya dengan Siok Eng! Dia telah bertunangan dengan Siok Eng akan tetapi jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Padahal yang mengesahkan pertunangannya itu adalah mendiang gurunya, Suma Tiang Bun, yang dihormati dan disayanginya!
Ketika matanya menatap ke air sungai, dia terbelalak. Tampak bayangan wajah Siang Ni lalu berubah menjadi wajah Cu Ai Yin. Tan Li Hong, Liu Ceng Ceng, kemudian sekali wajah Siok Eng! Dia melempar sebuah batu ke permukaan air dan bayangan itu pun lenyap.
"Bodoh! Mengapa aku menjadi selemah ini? Sungguh tidak pantas menjadi murid mendiang Suhu Suma Tiang Bun dan Sukong Pak-kong Lojin! Dia memang telah melakukan kesalahan-kesalahan, akan tetapi manusia manakah yang tidak pernah melakukan kesalahan? Yang terpenting sekarang bukan hanya menyesali semua kesalahan itu lalu patah semangat, melainkan melangkah lebih lanjut dalam kehidupan ini, waspada akan langkah sendiri agar jangan sampai tersesat ke jalan yang pernah dilaluinya dan membuat kesalahan baru! Menyesal dan bertaubat tanpa mengubah kesalahannya, sama sekali tidak ada gunanya!
Cun Giok mendadak merasa haus dan lapar. Dia lalu menuruni tepi sungai dan dengan kedua tangannya menciduk air dan diminumnya. Terasa dingin dan segar, membuat hatinya menjadi tenang kembali. Semangatnya bangkit dan dia lalu memperhitungkan apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Yang jelas, dia harus pergi ke kota Cin-yang di Propinsi Shan-tung, berkunjung ke rumah Chao Kung mantu dari Siok Kan di mana tinggal Siok Kan dan puterinya, Siok Eng. Sudah menjadi kewajibannya untuk mengunjungi tunangannya dan calon ayah mertuanya itu, yang sudah lebih dari dua tahun dia tinggalkan. Tiba-tiba dia merasa kasihan sekali kepada Siok Eng. Tunangannya itu pasti menanti-nantinya dengan penuh kegelisahan.
Baru sekarang dia menyadari betapa kejam hatinya, membiarkan gadis yang tak berdosa itu, merana. Juga dia merasa malu kepada calon mertuanya, yaitu Siok Kan yang tentu akan menganggap dia seorang calon mantu yang tak bertanggung jawab.
Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan keadaan dirinya. Dia seorang pemuda yatim piatu, sebatang kara yang tidak mempunyai apa-apa dan miskin. Bahkan rumah untuk tempat tinggal pun tidak punya! Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti ini dia akan dapat membangun rumah tangga? Seorang isteri tidak cukup hanya diberi cinta semata! Harus diberi rumah tinggal, makan setiap hari dan pakaian pengganti. Dan semua itu membutuhkan uang! Padahal, dia sama sekali tidak mempunyai uang, juga tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan uang.
Apakah untuk keperluan rumah tangganya dia harus mencuri seperti yang dilakukan ketika dalam perantauan kehabisan bekal? Ah, tidak, dia tidak ingin menjadi seorang penjahat, seorang pencuri! Memalukan, seorang pendekar berubah menjadi pencuri! Dan dia akan merasa malu sekali, setelah hampir tiga tahun merantau, dia datang ke rumah tunangannya tanpa membawa hasil apa-apa! Dia harus berhasil melakukan sesuatu yang penting!
Teringatlah dia akan harta pusaka yang dicuri orang di Bukit Sorga! Dia akan ikut mencarinya! Bukan hanya untuk membantu Ceng Ceng agar harta itu diserahkan kepada para pejuang, akan tetapi juga untuk membuat jasa. Menerima sedikit saja bagian harta karun itu kiranya akan cukup baginya untuk dipakai sebagai modal bekerja atau berdagang. Demi memenuhi kebutuhan rumah tangga yang akan dia dirikan. Nanti kalau dia sudah berhasil, barulah dia akan pergi ke Cin-yang dan dia tidak akan merasa malu.
Setelah mengambil keputusan, dia lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Thai-san. Seperti yang lain, Cun Giok juga mempunyai dugaan bahwa harta karun itu tentu dicuri orang yang tinggal di Thai-san, atau setidaknya ada hubungannya dengan Thai-san. Memang terdapat keraguan dalam hatinya. Mana ada pencuri yang meninggalkan tanda agar orang-orang dapat mengejar dan mencarinya? Hanya ada dua kemungkinan.
Kalau tanda THAI-SAN itu aseli, maka pencuri dan penulisnya itu tentu seorang datuk persilatan yang sombong bukan main, sengaja memberitahu di mana dia berada karena dia sama sekali tidak takut menghadapi mereka yang mencarinya! Atau bukan mustahil tanda itu palsu dengan niat dari pencurinya untuk menghilangkan jejak dan untuk menyesatkan mereka yang hendak melakukan pengejaran dan pencarian!
Karena tidak ada petunjuk lain untuk dapat mencari pencuri harta karun itu, maka Cun Giok lalu melakukan perjalanan dengan cepat menuju Pegunungan Thai-san.
Pada suatu hari tibalah dia di perbatasan Propinsi Shan-si sebelah barat dan berhenti di tepi Sungai Huang-ho yang airnya sedang besar sekali sampai penuh dan hampir meluap. Agaknya di sebelah utara, di daerah yang dilewati sungai itu bagian hulu sudah terdapat banyak hujan sehingga Sungai Kuning itu menampung curah hujan dan setibanya di perbatasan barat Propinsi Shan-si menjadi amat lebar dan luas.
Pantai sebelah timur sungai itu cukup ramai dengan para nelayan dan tukang-tukang perahu yang menyewakan perahu kepada para pedagang yang perlu menyeberang. Di sini terdapat pula pasar ikan di mana orang-orang melakukan tawar menawar hasil tangkapan para nelayan.
Tiba-tiba semua kesibukan terhenti dan semua orang memandang ke arah perahu-perahu besar yang menyeberangi sungai itu dari barat. Belasan buah perahu besar menyeberang dan setelah tiba di seberang timur, ratusan orang perajurit Kerajaan Mongol mendarat. Mereka berbaris dengan rapi dan melanjutkan perjalanan mereka ke timur.
Cun Giok merasa heran sekali. Pada beberapa hari yang lalu, dia pun bertemu dengan banyak pasukan yang berbaris menuju kota raja. Wajah para panglima komandan pasukan tampak muram dan serius. Ketika melihat seorang kakek sibuk memberi keterangan kepada orang-orang di sekitarnya yang mengelilinginya, Cun Giok tertarik dan cepat menghampiri.
Dari cerita kakek yang agaknya berpengalaman luas dan mengetahui banyak kejadian itu dia mendengar bahwa Kaisar Kubilai Khan telah wafat (Tahun I294)! Inilah sebabnya mengapa balatentara yang melakukan penjagaan di bagian barat ditarik kembali ke kota raja Peking. Akan tetapi berita kematian Kaisar Kubilai Khan ini tidak berarti apa-apa bagi Cun Giok. Kematian Kaisar bangsa Mongol itu tentu akan dianggap biasa oleh bangsa Pribumi Han yang semua orang tahu bahwa pasti akan ada penggantinya yang juga seorang bangsa Mongol. Bagi dia penggantian kaisar itu tidak akan mengubah keadaan karena tetap saja tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mongol.
Akan tetapi tentu saja tidak demikian dengan penilaian para tokoh pejuang yang memperhatikan keadaan pemerintahan Mongol. Mereka ini maklum bahwa Kaisar Kubilai Khan adalah seorang kaisar yang hampir sama dengan Kaisar Jenghis Khan. Pandai mengatur barisan, pandai pula mengatur pemerintahan, besar kekuasaannya dan berpengaruh, ditakuti dan disegani para pembesar bawahannya. Akan tetapi setelah Kaisar Kubilai Khan wafat, agaknya tidak akan ada yang dapat menyamai dalam hal mengatur pemerintah dan balatentara. Ini merupakan pertanda baik bagi para pejuang karena tanpa adanya Kaisar Kubilai Khan, kekuatan bangsa Mongol mulai berkurang kekuatannya.
Tiba-tiba seorang nelayan berseru dan menudingkan telunjuknya ke tengah sungai yang amat lebar dan luas itu. Semua orang, termasuk Cun Giok, memandang. Dia melihat seorang penumpang sebuah perahu kecil, dari bentuknya seperti seorang wanita, sedang dikepung dua buah perahu besar seperti perahu-perahu yang tadi ditumpangi ratusan orang perajurit. Di atas dua buah perahu itu terdapat banyak perajurit yang bergerak-gerak seolah hendak mengeroyok wanita yang berada di perahu kecil. Orang-orang yang melihatnya hanya memandang dengan hati tegang, tidak berani mencampuri karena tentu saja mereka tidak berani menentang para perajurit Mongol.
"Huh, anjing-anjing Mongol itu beraninya hanya mengganggu wanita!" terdengar gerutu seorang laki-laki.
Ketika Cun Giok memandang, ternyata yang mengomel itu adalah seorang nelayan berusia sekitar empatpuluh tahun yang bertubuh tegap. Dia memegang sebatang dayung besi dan melangkah ke arah perahunya yang berada di atas pasir di tepi sungai. Cepat Cun Giok mendekati orang itu.
"Maaf, Twako, bolehkah aku menyewa perahumu dan menyeberangkan ke sana?" Cun Giok menunjuk ke arah barat.
Nelayan yang bertubuh kokoh kuat itu memandang ke arah tudingan Cun Giok yang mengarah perahu kecil yang dikepung dua perahu besar.
"Hemm, di sana agaknya terjadi keributan," katanya sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu. Agaknya ada wanita yang diganggu para perajurit Mongol."
"Apa engkau tidak takut?" Nelayan itu bertanya sambil mengamati pemuda yang tampaknya lemah itu.
Cun Giok menggelengkan kepalanya.
"Mengapa takut? Aku justeru ingin menolongnya menyelamatkan wanita itu. Akan tetapi kalau engkau takut mengantarku, biar kusewa perahumu saja dan aku akan mendayung sendiri."
"Huh, kalau engkau berani, mengapa aku tidak? Mari, kawan, mari kita tolong gadis itu dan hajar orang-orang Mongol yang kurang ajar itu!" Setelah berkata demikian, nelayan itu mendorong perahunya ke dalam sungai.
Cun Giok melompat ke atas perahu dan perahu itu cepat didayung oleh nelayan yang bertubuh kuat itu. Dayung besi itu dia gerakkan kuat-kuat sehingga perahu meluncur dengan cepat melintasi air sungai yang mengalir tenang perlahan di bagian itu.
Setelah tiba dekat dengan perahu kecil yang dikepung dua buah perahu besar itu, Cun Giok melihat seorang gadis berpakaian serba putih sedang berdiri di perahunya yang kecil dengan sepasang pedang pendek di kedua tangannya. Di dekat perahu itu tampak dua orang perajurit terapung, agaknya tewas terkena sambaran sepasang pedang itu.
Kini di atas perahu besar itu terdengar orang-orang memaki marah dan tampak dua orang perajurit melompat dari perahu yang berada di depan gadis itu, dan dua orang pula yang melompat dari perahu besar di belakangnya. Empat orang itu melompat sambil menyerang dengan golok mereka. Akan tetapi gadis itu menggerakkan sepasang pedangnya dengan cepat dan lihai sekali sehingga empat orang perajurit Mongol itu berteriak dan tubuh mereka yang mandi darah itu tercebur ke dalam air sungai! Akan tetapi perahu kecil itu menjadi guncang karena gerakan gadis itu yang menggunakan tenaga cukup besar.
"Nona Cu Ai Yin......!" Cun Giok berseru ketika sudah tiba dekat dan dapat melihat wajah gadis berpakaian putih itu dengan jelas.
Pada saat itu, karena sukar untuk mempertahankan diri berdiri tegak di perahu itu dan ada bahaya ia terpelanting jatuh ke air, tiba-tiba Ai Yin lalu melompat ke atas sebuah perahu besar yang terdekat. Begitu tiba di perahu besar, segera puluhan orang perajurit di atas perahu itu mengeroyoknya. Ai Yin mengamuk dengan sepasang pedang pendeknya.
"Tangkap gadis pemberontak ini! Ia telah membunuh banyak rekan kita!" terdengar teriakan-teriakan para pengeroyok.
Beberapa orang perwira yang berada di perahu itu pun maju mengeroyok dengan pedang mereka. Ada empat orang perwira yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada para perajurit mereka, maka Ai Yin dikepung ketat dan menjadi repot juga. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dan merobohkan beberapa orang, akan tetapi para pengeroyok semakin banyak jumlahnya karena dari perahu besar kedua, banyak pula perajurit Mongol yang datang dan naik ke perahu itu untuk ikut mengeroyok!
"Nona Cu, jangan khawatir, aku datang membantumu!" Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang pengeroyok roboh ketika Cun Giok melayang naik ke perahu itu dan begitu kaki tangannya bergerak, empat orang pengeroyok roboh. Pemuda itu lalu mencabut Kim-kong-kiam dan mengamuk, membuat para pengeroyok kocar-kacir.
"Cun Giok......!" Ai Yin berseru girang ketika mengenal pemuda yang membantunya itu. Mereka berdua lalu mengamuk dan belasan orang pengeroyok telah mereka robohkan.
"Serang dengan panah!" terdengar seorang perwira berseru dan belasan orang perajurit ahli panah telah mempersiapkan busur dan anak panah.
Melihat ini, Cun Giok merasa khawatir. Kalau para perajurit itu mempergunakan panah untuk menyerang, tentu akan berbahaya sekali bagi dia, terutama bagi Ai Yin. Ruangan di atas perahu itu kurang luas sehingga tidak banyak ruangan untuk bergerak menghindarkan diri.
"Nona Cu, kita lari!" teriaknya dan dia lalu merobohkan mereka yang menghalang di depan mereka. Setelah berlari sampai ke tepi perahu, dengan kaget Cun Giok melihat bahwa perahu kecil yang ditumpanginya tadi telah hanyut jauh dan Si Nelayan telah terkapar mati di atas perahunya, terkena anak panah!
"Nona Cu, kita loncat!" Dia mendahului untuk memberi contoh kepada gadis itu dan dia meloncat keluar dari perahu.
Cu Ai Yin agak ragu untuk meloncat. Ia tidak begitu pandai berenang, maka melihat air yang begitu luas, ia menjadi gentar. Karena mereka sudah mulai menyerang dengan melepaskan anak panah, Ai Yin memutar sepasang pedangnya sehingga semua anak panah itu terpukul runtuh. Melihat keadaan mendesak, barulah ia meloncat keluar dari perahu, ke arah jatuhnya Cun Giok tadi. Akan tetapi para perajurit sudah mengejar sampai di tepi perahu dan beberapa orang melepaskan anak panah ke bawah.
Cun Giok yang terapung di air dan melihat Ai Yin melompat, terkejut bukan main ketika melihat sebatang anak panah yang meluncur dari perahu mengenai punggung gadis itu.
"Nona Cu......!" Dia berseru dan cepat dia berenang ke arah jatuhnya tubuh Ai Yin di air. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi agak gelagapan karena selain kurang pandai berenang, juga luka di punggungnya membuat sebelah lengannya nyeri kalau digerakkan. Tiba-tiba lengan Cun Giok yang kuat menangkapnya dan pemuda itu berseru.
"Ambil napas dan tahan!"
Ai Yin mengambil napas dalam, kemudian menahan napas ketika Cun Giok membawanya menyelam. Untung Cun Giok membawanya menyelam karena kalau tidak cepat-cepat dia menyelam, tentu mereka akan menjadi korban hujan anak panah yang dilepaskan dari atas perahu besar.
Dengan cepat, Cun Giok yang membawa Ai Yin menyelam, berenang di bawah permukaan air menuju ke pantai. Perahu besar yang hanyut terbawa air itu tentu saja semakin menjauh sehingga ketika Cun Giok tiba di daratan, tidak ada orang di perahu itu yang dapat melihatnya.
Setelah tiba di tepi sungai dan melihat betapa tubuh Ai Yin lemas dan terengah-engah, terbatuk-batuk karena tadi menahan napas dan hampir tidak kuat sehingga ada air memasuki perutnya, Cun Giok segera memondongnya dan membawanya lari ke dalam sebuah hutan yang tumbuh di tepi sungai. Tempat itu sudah jauh dari tepi sungai yang banyak orangnya tadi. Ketika memondong tubuh Ai Yin dan membawanya berlari cepat, dia berlaku hati-hati sekali agar jangan sampai menyentuh anak panah yang masih menancap di punggung gadis
Setelah tiba di tengah hutan, tiba-tiba tubuh Ai Yin terkulai lemas dan Cun Giok segera merebahkan tubuh gadis itu miring, lalu dicabutnya dengan hati-hati anak panah dari punggung gadis itu. Untung bahwa anak panah itu agaknya tidak mengenai jantung dan ketika dicabut, Ai Yin tidak mengeluh. Ketika diperiksanya, gadis itu ternyata pingsan dan napasnya terhenti!
Cun Giok tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia menelentangkan tubuh Ai Yin, membuka mulut gadis itu lalu dia menempelkan mulutnya pada mulut yang terbuka itu dan meniupkan napas dengan kuat. Beberapa kali hal ini dia ulangi dan akhirnya Ai Yin terbatuk-batuk dan dapat bernapas kembali!
Gadis itu agaknya sudah siuman, akan tetapi masih dalam keadaan setengah sadar. Cun Giok tidak membuang waktu lagi. Dia menggulingkan tubuh gadis itu sehingga menelungkup, lalu dibukanya baju Ai Yin bagian belakang agar dia dapat memeriksa lukanya. Hatinya merasa lega. Luka itu tidak terkena racun. Anak panah yang menancap di punggung tadi tidak beracun dan hanya melukai kulit dan daging lalu anak panah itu terhalang tulang rusuk sehingga tidak masuk terlalu dalam sehingga tidak merusak alat vital yang berada di rongga dada. Agaknya yang membuat gadis itu pingsan bukan lukanya itu, melainkan menyelam terlalu lama sehingga kehabisan napas.
Cun Giok membuka buntalan pakaiannya yang basah kuyup, mengeluarkan bungkusan obat luka dan memoleskan sehingga menutupi luka yang tidak terlalu besar itu.
Tiba-tiba Ai Yin membuka matanya dan ketika merasa betapa tubuhnya yang menelungkup itu diraba-raba orang di bagian punggung, ia berseru nyaring dan tubuhnya melompat berdiri. Otomatis ia mencabut sepasang pedang pendek yang tadi digunakan untuk mengamuk dan yang sempat ia sarungkan kembali sebelum melompat ke air. Ia merasa betapa bajunya di bagian punggung terbuka, maka dengan marah ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk Cun Giok sambil memaki.
"Jahanam busuk! Berani engkau menjamahku dan bertindak kurang ajar? Kubunuh engkau!" Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dan membentuk dua gulungan sinar yang berbahaya sekali.
Cun Giok harus menggunakan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedang pendek itu. Sambil melompat agak jauh ke belakang, dia berseru.
"Ai Yin, sadar dan tenanglah. Ini aku, Cun Giok, dan baru saja kita meloloskan diri dari perahu pasukan Mongol!"
Ai Yin menghentikan serangannya dan berdiri tegak, menatap wajah Cun Giok lalu berkata ketus.
"Hemm, lebih jahat lagi kalau engkau yang melakukan perbuatan tidak sopan terhadap diriku tadi, Cun Giok!"
"Tenanglah, Ai Yin, dan dengarkan penjelasanku. Agaknya engkau masih pening dan belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Ingatkah engkau ketika dikeroyok banyak perajurit Mongol di atas perahu kecilmu kemudian engkau melompat ke atas perahu besar dan mengamuk?"
Ai Yin mengerutkan alisnya yang berbentuk indah, kemudian dalam pandang matanya muncul sinar kesadaran. Ia memejamkan matanya seolah mengenang apa yang telah terjadi.
"Aku...... aku dihadang dua perahu besar penuh perajurit Mongol, mereka hendak menangkapku dan aku mengamuk...... di perahu besar aku dikeroyok banyak perajurit lalu...... lalu...... ah, aku ingat sekarang, engkau muncul dan membantuku, Cun Giok!" Ia membuka matanya dan menatap wajah pemuda itu sambil menyarungkan pedangnya. Gerakannya masih tampak lemas dan tubuhnya bergoyang-goyang.
"Mari kita duduk, Ai Yin, dan engkau perlu menenangkan diri dan mengumpulkan tenaga," kata Cun Giok.
Ai Yin menghela napas lega lalu ia duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah.
Cun Giok juga duduk di depannya.
"Engkau sudah ingat akan semua yang terjadi tadi, sekarang?"
"Aku ingat bahwa engkau muncul membantuku, kemudian engkau mengajak aku melompat dari atas perahu ke air. Hanya itu yang kuingat, selanjutnya aku tidak ingat dan tahu-tahu aku berada di sini dan...... dan...... aku telungkup, bajuku di belakang terbuka dan punggungku diraba-raba. Cun Giok! Engkaukah yang melakukan itu? Hayo katakan, mengapa engkau melakukan perbuatan tidak sopan itu? Salahkah dugaanku semula bahwa engkau seorang pendekar yang sopan dan baik budi?" Sepasang mata itu mencorong kembali, memandang penasaran dan menuntut keterangan dari pemuda itu.
"Tenanglah, Ai Yin. Engkau salah paham dan aku tidak menyalahkanmu karena engkau baru sadar dan tentu merasa lemas dan pening. Ketahuilah, ketika engkau melompat keluar dari perahu pasukan Mongol, sebatang anak panah mengenai punggungmu dan engkau jatuh ke air dalam keadaan terluka dan hampir pingsan."
Mendengar ini, Ai Yin menjulurkan tangan meraba luka di punggungnya dan menyeringai.
"Aduhhh.......!"
"Jangan khawatir, lukanya hanya luka kulit dan daging. Anak panahnya sudah kucabut dan tidak beracun. Aku sudah memolesi luka itu dengan obat luka."
"Aih, kiranya engkau yang menyelamatkan aku, Cun Giok. Maafkan sikapku tadi dan lanjutkan ceritamu tadi."
"Melihat engkau terkena anak panah, aku lalu membawamu menyelam karena kalau tidak, kita berdua tentu telah tewas dihujani anak panah dari atas perahu. Nah, aku membawamu berenang di bawah permukaan air ke tepi dan menjauh dari perahu. Untung tidak ada yang melihatku. Setelah mendarat, aku lalu membawamu lari secepatnya memasuki hutan ini. Setelah tiba di tengah hutan ini, aku merebahkanmu dan mencabut anak panah itu dari punggungmu. Akan tetapi aku sempat bingung dan gelisah karena engkau bukan hanya pingsan, bahkan pernapasanmu berhenti!"
"Ihh! Kalau napasku berhenti mengapa aku sekarang masih hidup, Cun Giok?"
"Aku juga menjadi bingung dan takut kalau-kalau engkau mati, Ai Yin. Maka aku menghilangkan segala keraguan dan melakukan satu-satunya cara pertolongan yang aku tahu, yaitu dengan...... menyambung pernapasanmu yang terhenti itu agar paru-parumu bekerja kembali."
"Menyambung pernapasanku yang sudah terhenti? Apa maksudmu?"
Wajah Cun Giok berubah merah.
"Yaitu dengan...... napasku ke dalam paru-parumu agar dapat bekerja kembali......."
"Eh? Caranya?" Gadis itu memandang dengan mata terbelalak heran karena tidak mengerti.
Wajah Cun Giok semakin merah seperti udang direbus.
"Caranya? Tentu saja dengan...... meniupkan napasku ke dalam paru-parumu...... lewat...... dari mulut ke mulut......."
"Ihh......!" Sepasang mata yang indah itu terbelalak menatap ke arah mulut Cun Giok dan kedua tangannya diangkat menyentuh mulutnya sendiri dengan jari-jari tangan gemetar. Wajah yang jelita itu sebentar pucat sebentar merah menandakan gejolak hatinya yang berdebar-debar.
Cun Giok tidak berani bertemu pandang dengan Ai Yin. Dia menundukkan mukanya dan menanti reaksi gadis itu. Pasti Ai Yin yang berwatak keras itu akan marah sekali. Memakinya, mungkin memukulnya. Dia tidak akan melawan, akan tetapi tentu saja dia akan menghindar kalau gadis itu hendak membunuhnya.
Sampai lama sekali mereka berdiam diri. Cun Giok yang menunduk tidak tahu apa yang dilakukan Ai Yin. Gadis ini sejak mendengar keterangan terakhir tadi, bengong memandang Cun Giok sambil menyentuh bibir sendiri, dan setiap kali membayangkan peristiwa "menyambung napas melalui mulut" itu, wajahnya menjadi merah sekali.
Cun Giok tidak dapat menahan perasaannya lebih lama lagi.
"Tadi aku...... sengaja membuka bajumu bagian belakang untuk memeriksa dan mengobati luka punggungmu......."
Tidak ada jawaban ucapan Cun Giok yang masih menundukkan mukanya itu. Sampai lama keduanya diam saja. Cun Giok merasa semakin gelisah. Dia tidak tahu bagaimana sikap Ai Yin menanggapi semua keterangannya tadi.
Setelah menanti cukup lama, akhirnya Cun Giok memberanikan diri mengangkat muka memandang wajah Ai Yin. Dia melihat Ai Yin masih menutupi mulutnya dengan jari-jari tangan, matanya seperti kosong memandang ke depan, seperti orang tenggelam ke dalam renungan sendiri. Tiba-tiba Cun Giok merasa iba sekali, merasa betapa dia telah bersalah besar, telah menyinggung perasaan dan harga diri serta kehormatan gadis itu.
"Ai Yin, maafkanlah aku...... sungguh, aku tidak berniat buruk, akan tetapi kalau engkau menganggap aku tidak sopan, maki dan tamparlah aku......."
Mendengar ini, bagaikan baru sadar dari lamunannya, Ai Yin memandang Cun Giok dan beberapa butir air mata keluar cari pelupuk matanya, mengalir turun ke atas kedua pipinya. Akan tetapi, cepat kedua tangannya mengusap dan menghapus air mata itu, dan Ai Yin tersenyum!
"Ah, Cun Giok, aku bukan orang yang tidak mengenal budi seperti itu. Engkau telah menolongku, menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut. Engkau tidak bersalah, engkau terpaksa melakukan semua itu hanya dengan satu maksud, yaitu untuk merenggut kembali nyawaku dari cengkeraman Giam-lo-ong (Dewa Maut). Bagaimana aku dapat marah padamu? Aku malah sangat berterima kasih kepadamu, Cun Giok."
Bukan main lega rasa hati Cun Giok, seolah sebuah batu besar dan berat yang tadi menindih hatinya kini terangkat. Dia menghela napas panjang dan tersenyum.
"Tidak perlu berterima kasih, Ai Yin. Kalau perbuatanku ini kauanggap pertolongan, biarlah ini untuk membalas pertolonganmu dahulu yang telah menyelamatkan nyawaku pula. Akan tetapi, apakah yang terjadi, Ai Yin? Engkau hendak pergi ke mana dan mengapa pula pasukan Mongol itu hendak menangkapmu?"
"Engkau tentu telah mendengar bahwa Kaisar Kubilai Khan telah wafat dan pasukan yang berada di daerah, terutama yang berada di barat, ditarik kembali. Nah, aku bertemu dengan banyak perajurit dan tiga hari yang lalu aku bertemu dengan tiga orang perajurit Mongol. Mereka itu agaknya mabok dan melihat aku berjalan seorang diri, mereka menggangguku dan selain mengeluarkan ucapan yang tidak sopan, juga mereka hendak menangkapku dengan niat keji. Aku melawan dan membunuh dua orang, sayang, yang seorang sempat melarikan diri sehingga agaknya dia melapor kepada kawan-kawannya. Aku lalu dikejar-kejar dan ketika aku menyeberangi Huang-ho (Sungai Kuning), mereka menggunakan dua buah perahu besar menyergapku."
"Akan tetapi, engkau hendak pergi ke mana. Ai Yin?"
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Merantau! Sejak kita saling berpisah dahulu itu, aku belum pulang ke Bukit Merak. Suhengku itu, Kong Sek, tentu mengadu kepada Ayah dan aku tidak mau ribut dengan Ayah. Aku sayang Ayah dan aku tidak ingin melihat dia marah dan sedih karena perbuatanku."
Cun Giok teringat betapa gadis ini menjadi begini, bertentangan dengan ayahnya, juga dengan Kong Sek, adalah karena dia! Kalau Ai Yin tidak menolongnya dan membawanya pulang untuk dirawat, tentu kini masih berada di Bukit Merak, hidup tenang dengan ayahnya, dan mungkin saja juga rukun dengan Kong Sek, suheng yang mencintainya itu. Dia menghela napas panjang.
"Ai Yin, pulanglah, Ai Yin. Engkau beruntung mempunyai seorang ayah dan tempat tinggal. Jangan seperti aku yang tidak mempunyai orang tua dan saudara, hidup sebatang kara, seperti sehelai daun kering tertiup angin ke sana sini tanpa tujuan. Pulanglah, Ai Yin. Tidak kasihankah engkau kepada ayahmu yang tentu merasa khawatir dan sedih karena kau tinggalkan? Ingat, ayahmu itu amat menyayangmu dan menanti-nanti kepulanganmu."
Ai Yin cemberut. Manis sekali wajahnya ketika cemberut. Tahi lalat hitam kecil di sudut kanan mulutnya ikut bergerak seperti menari.
"Aku jengkel karena akan dijodohkan dengan Suheng Kong Sek!"
"Ai Yin, aku percaya ayahmu tidak akan memaksa puteri tunggalnya. Kalau engkau tidak suka, katakan terus terang kepada ayahmu. Dia pasti akan mengerti dan tidak memaksamu."
"Kau pikir begitukah, Cun Giok? Bagaimana kalau ayahku marah dan memaksaku untuk menikah dengan Kong Sek?" tanya Ai Yin.
"Percayalah padaku, Ai Yin. Aku yakin Ayahmu adalah seorang gagah perkasa, adil dan menyayangmu. Kalau engkau berterus terang mengatakan bahwa engkau tidak suka menjadi isteri Kong Sek, pasti dia tidak akan memaksamu. Pula, bagaimana dia dapat memaksamu? Setiap saat bisa saja engkau pergi."
Setelah berpikir beberapa lamanya, Ai Yin mengangkat muka menatap wajah Cun Giok.
"Baiklah, Cun Giok, aku akan menuruti nasehatmu. Aku akan pulang ke Bukit Merak. Akan tetapi engkau sendiri, hendak ke manakah?"
Cun Giok merasa bahwa dia tidak perlu menyembunyikan urusan harta karun dari gadis ini. Dia percaya bahwa Ai Yin bukan seorang gadis yang murka akan harta benda, juga jelas bukan antek Kerajaan Mongol. Buktinya, tadi pun ia membunuh banyak perajurit Mongol yang mengganggunya. Pula, urusan harta karun itu sekarang telah diketahui banyak orang, apalagi setelah harta karun itu dicuri atau diambil oleh seorang yang tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Aku akan pergi ke Thai-san."
"Eh, ada apa di Thai-san?"
"Begini, Ai Yin. Ada orang yang telah mencuri harta karun peninggalan Kerajaan Sung. Harta karun itu seharusnya menjadi hak para pejuang yang hendak mengusir penjajah Mongol dari tanah air. Maka sudah menjadi kewajibanku pula untuk mencari pencuri itu dan kalau mungkin mengembalikan harta itu dari tangan orang yang tidak berhak. Aku harus membantu usaha para pejuang membebaskan tanah air dari penjajah Mongol."
"Wah, menarik sekali! Siapa pencuri itu, Cun Giok?"
"Aku tidak tahu. Tidak seorang pun tahu siapa yang mencuri harta karun yang bukan menjadi haknya. Hanya diketahui bahwa pencuri itu meninggalkan tanda huruf Thai-san di dasar peti yang isinya sudah dia bawa pergi. Nah, demikianlah, Ai Yin, aku akan mencoba untuk mencari pencuri itu di Thai-san."
"Dan seandainya engkau berhasil menemukan pencuri dan berhasil merampas kembali harta karun itu?"
"Tentu saja akan kuserahkan kepada yang berhak, yaitu para pemimpin pejuang pembebas tanah air dari belenggu penjajah Mongol."
"Siapa itu, Cun Giok? Siapa pemimpin pejuang yang kaumaksudkan itu?
"Aku sendiri pun belum tahu, Ai Yin. Akan tetapi aku yakin, sekali waktu pasti akan muncul pemimpin pejuang sejati dan kepada dialah harta karun itu harus diserahkan untuk membiayai perjuangannya melawan penjajah."
"Wah, menarik sekali! Aku akan memberitahukan hal itu kepada Ayah. Aku yakin Ayah akan tertarik juga."
"Hemm, apakah hal itu tidak berbahaya, Ai Yin. Aku melihat hubungan Ayahmu dengan pembesar bangsa Mongol amat baik. Buktinya Kong Sek, putera Panglima Besar Kong Tek Kok diterima menjadi muridnya."
"Benar, akan tetapi hai itu bukan berarti Ayah suka kepada orang Mongol. Memang antara mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok dan Ayahku terjalin persahabatan pribadi, dan karena persahabatan itulah Ayah menerima Kong Sek sebagai murid......."
"Dan sebagai calon mantu," sambung Cun Giok.
Ai Yin menghela napas panjang.
"Benar sekali. Mungkin hanya itulah yang membuat ayah mengambil keputusan untuk menerima Kong Sek sebagai calon mantunya. Karena mengingat akan persahabatannya dengan ayah Kong Sek yang telah meninggal dunia."
Cun Giok menghela napas panjang.
"Ah, kalau saja Ayahmu itu menerima Kong Sek sebagai murid karena pemuda itu memang berbakat dan menerimanya sebagai calon mantu karena dia memang baik dan pantas untuk itu, hai ini memang tidak ada salahnya. Akan tetapi kalau dia menerimanya sebagai murid dan calon mantu karena mengingat mendiang Panglima Kong Tek Kok, maka perhitungan Ayahmu itu kurang tepat. Mungkin Ayahmu tidak mengetahui benar orang macam apa adanya Kong Tek Kok itu. Dia kejam sekali terhadap bangsa Han, membunuhi banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw, bahkan memusuhi partai-partai persilatan besar. Dan dia pun telah merusak kehidupan banyak gadis keluarga para pendekar. Dosanya sungguh bertumpuk-tumpuk. Kalau Ayahmu mengenal siapa Kong Tek Kok, aku yakin dia tidak sudi menerima Kong Sek mengingat persahabatannya dengan Panglima Mongol yang jahat itu."
Ai Yin mengangguk-angguk.
"Sebetulnya Suheng bersikap baik sekali, juga amat sayang kepadaku. Sejak dia menjadi Suhengku, aku tidak melihat watak jahat pada dirinya, maka terus terang saja, aku suka padanya. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku mencintanya dan suka menjadi isterinya. Aku akan memberi penjelasan kepada Ayah. Nah, kita berpisah di sini, sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu, Cun Giok. Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali."
"Selamat berpisah, Ai Yin dan berhati-hatilah karena setelah peristiwa yang terjadi di perahu itu, pasti engkau dianggap musuh atau pemberontak oleh pemerintah Mongol."
Pemuda dan gadis itu berpisah. Ai Yin yang berjuluk Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih) karena rambutnya selalu dihias setangkai bunga putih menuju pulang ke Bukit Merak tempat tinggal ayahnya, sedangkan Cun Giok melanjutkan perjalanannya ke Thai-san.
Di sepanjang perjalanannya, Cun Giok banyak merenung. Pertemuannya dengan Ai Yin mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Dia kini menyadari betapa dia telah bertemu dengan gadis-gadis yang gagah perkasa, cantik jelita dan juga baik budi. Betapa mudahnya untuk jatuh cinta kepada gadis-gadis seperti Ceng Ceng, Li Hong, atau Cu Ai Yin tadi. Dia menghela napas. Betapa mudahnya dia jatuh cinta atau tertarik kepada wanita.
Apakah semua pria juga begitu? Mudah tertarik kalau bertemu wanita yang mempesona hatinya, baik karena kecantikannya, kegagahannya, maupun budi pekertinya yang baik? Akan tetapi apa artinya cinta kalau tidak dilandasi kesetiaan? Tanpa kesetiaan, maka pria akan menjadi seorang laki-laki mata keranjang, mudah jatuh cinta sehingga melupakan atau menyia-nyiakan yang lama.
Tidak, cinta harus didasari kesetiaan! Demikian tekad hatinya. Dia sudah ditunangkan dengan Siok Eng. Biarpun kini terdapat rasa kecewa mengingat bahwa Siok Eng adalah seorang gadis yang lemah, tidak seperti para pendekar wanita yang pernah dijumpai dan yang menarik hatinya, namun dia harus bertanggung jawab. Harus setia terhadap ikatan jodoh yang sudah diresmikan oleh mendiang gurunya, Suma Tiang Bun, dan ayah Siok Eng, yaitu Siok Kan.
Cinta yang hanya timbul karena tertarik oleh keindahan rupa, belum tentu dapat bertahan lama karena rupa itu keindahannya hanya sementara. Biasanya, kalau yang dianggap indah pada mulanya itu sudah dimiliki, maka keindahannya juga akan menyuram. Yang terpenting itu kecocokan watak dan terutama sekali perasaan setia satu sama lain, penuh tanggung jawab, dan sudah bertekad untuk membina rumah tangga bersama, tetap setia dalam suka dan duka. Kalau demikian, barulah sebuah rumah tangga dapat diharapkan akan bertahan selama hidup.
Setelah muncul pikiran ini, Cun Giok membelokkan tujuan perjalanannya, tidak ke Thai-san, melainkan ke Cin-yang di Propinsi Shan-tung di mana Siok Eng dan ayahnya tinggal di rumah mantu Siok Kan yang bernama Chao Kung.
Sampai di sini selesailah sudah Kisah PENDEKAR TANPA BAYANGAN bagian pertama ini. Pembaca yang ingin mengetahui bagaimana kisah selanjutnya dari Pouw Cun Giok, Si Pendekar Tanpa Bayangan, dipersilakan membaca bagian kedua yang berjudul HARTA KARUN KERAJAAN SUNG yang menjadi kisah lanjutan dari Pendekar Tanpa Bayangan.
TAMAT
Alysa, http://indozone.net/literatures/literature/1362
Waktu : 13 Juli 2013 jam 10:07pm
Naga Sakti Sungai Kuning Eps 13 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 14 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 16