Harta Karun Kerajaan Sung 1
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Siang hari itu langit di atas kota Cin-yang di Propinsi Shantung diliputi mendung tebal. Pertanda akan turun hujan tampak jelas. Orang-orang segera bersiap-siap, yang berdagang di tepi jalan menggulung tikar dan menyelamatkan barang dagangan mereka di tempat untuk berteduh. Toko-toko banyak yang tutup karena biasanya kalau hujan turun dengan deras maka air hujan yang terbawa angin akan membasahi barang dagangan dalam toko. Orang yang berlalu lalang mulai berkurang karena mereka bergegas pulang agar tidak kehujanan di jalan. Bukan hanya manusia yang bersiap-siap menghadapi curahan air hujan di langit. Burung-burung yang beterbangan pun pulang ke sarang mereka. Tak lama kemudian, setelah kilat dan guntur menggelegar di angkasa berulang-ulang, turunlah air hujan bagaikan dituangkan dari langit.
Seperti juga peristiwa alam yang terjadi di dunia ini, hal yang sewajarnya itu mendapat tanggapan berbeda-beda. Orang-orang yang merasa dirugikan oleh turunnya hujan, seperti para pedagang asongan atau kaki lima dan tukang binatu, merasa dirugikan oleh turunnya hujan deras. Maka mereka yang merasa dirugikan ini akan mencaci-maki dan menganggap bahwa hujan merupakan peristiwa buruk yang amat merugikan mereka. Sebaliknya, mereka yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan, seperti para petani yang membutuhkan air untuk mengairi sawah ladang mereka, para pedagang payung dan lain-lain, tentu akan bersyukur dan merasa gembira dengan turunnya hujan dan mereka menganggap hujan merupakan peristiwa baik yang menguntungkan. Memang, sejak sejarah tercatat manusia, apa yang disebut baik atau buruk itu hanya merupakan pendapat orang-orang. Bagi yang menguntungkan dianggap baik dan bagi yang merugikan dianggap buruk!
Hujan ya hujan saja, tidak baik tidak buruk, melainkan sebuah peristiwa alam yang wajar. Orang bijaksana yang menganggap hujan itu wajar saja, akan dapat berusaha melalui kecerdikan otak manusia untuk mengatur dan dapat memanfaatkan segala peristiwa alam yang menimpanya. Kalau tidak mau kehujanan, pakailah payung atau pergi mencari tempat berteduh tanpa mengeluh! Kalau datang hujan lebat, agar tidak menimbulkan banjir, buatlah saluran air yang baik dan kalau diperlukan, salurkanlah kelebihan air itu ke tempat yang membutuhkan air. Orang bijaksana selalu dapat memanfaatkan apa pun yang terjadi di dunia dan dalam kehidupan mereka, tanpa tenggelam ke dalam kesedihan dan tanpa mabok dalam kesenangan.
Hujan baru reda setelah lewat tengah hari. Biarpun kini sisa hujan masih ada, air turun rintik-rintik dan jarang, namun sinar matahari yang mulai condong ke barat membuat suasana menjadi cerah kembali. Tiba-tiba serombongan orang berkuda menarik perhatian penduduk Cin-yang. Rombongan itu adalah pasukan Kerajaan Mongol. Jumlah mereka sekitar tiga losin orang, dipimpin oleh seorang panglima yang berpakaian mewah, bertubuh tinggi besar, matanya sipit dan mukanya brewok. Pasukan itu tampak gagah dan galak. Di sampingnya terdapat seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Panglima itu berusia sekitar empatpuluh tujuh tahun.
Mereka yang mengenal panglima ini, berbisik-bisik memberi keterangan kepada orang di dekatnya, dengan suara lirih dan gentar.
"Wah, panglima itu adalah Panglima Besar Kim Bayan yang terkenal galak dan kejam. Dia adalah ayah dari Kongcu (Tuan Muda) Kim Magu yang mata keranjang dan suka mengganggu anak bini orang!"
Mendengar ini, semua orang menjadi gentar, apalagi mereka yang mempunyai anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa dan yang memiliki wajah lumayan. Mereka segera menyuruh anak mereka untuk bersembunyi!
Akan tetapi sekali ini, pasukan perajurit yang dipimpin oleh Panglima Kim Bayan tidak mempedulikan penduduk Cin-yang dan pasukan itu langsung saja menuju ke gedung Yo Bun Sam atau Yo-thaijin (Pembesar Yo) yang menjadi pembesar kepala daerah di Cin-yang. Setelah memasuki halaman gedung itu, Panglima Kim Bayan memerintahkan anak buahnya untuk turun dari punggung kuda dan siap berjaga di luar menanti perintahnya. Kemudian dengan langkah gagah dia memasuki pendapa gedung itu, diiringkan puteranya, yaitu Kim Magu, pemuda Mongol yang tinggi besar bermuka hitam.
Panglima Kim Bayan adalah panglima yang mengepalai seluruh pasukan yang berada di Propinsi Shantung sampai ke selatan. Karena tugasnya meliputi daerah yang luas, di mana dia sering melakukan kunjungan untuk menerima laporan dan meneliti keadaan, maka dia jarang pulang ke gedungnya yang berada di kota Cin-yang. Apalagi akhir-akhir ini dia sibuk melakukan pengejaran terhadap harta karun peninggalan Kerajaan Sung. Lebih dari satu tahun dia tidak pulang ke Cin-yang.
Ketika kemarin dia pulang ke Cin-yang, dia menerima laporan dari putera tunggalnya, Kim Magu, yang membuat dia marah bukan main. Pemuda muka hitam itu melaporkan betapa dia dan sahabatnya yang bernama Kui Con, yaitu putera Kui-thaijin kepala pengadilan di Cin-yang, telah mengalami penghinaan, disiksa dan digantung di sebuah pohon di tepi jalan sehingga semua penduduk dapat melihat mereka tergantung dengan kepala di bawah. Pada tempat itu terdapat tulisan bahwa Kim Magu dan Kui Con adalah pemuda-pemuda jahat yang mengandalkan kekuasaan ayah mereka yang tidak mampu mendidik mereka dan sekarang mendapat hajaran keras agar jera.
Kim Magu menceritakan hal ini kepada ayahnya sambil menangis karena dia merasa terhina sekali. Sejak peristiwa itu, dia dan Kui Con segan untuk keluar rumah karena pandangan para penduduk terhadap mereka tampak mengejek dan sinis.
Kim Bayan yang sedang minum arak, terbelalak mendengar laporan puteranya itu. Dia membanting guci arak sehingga hancur dan tangannya menampar ujung meja marmar sehingga pecah. Matanya yang lebar mengeluarkan sinar penuh kemarahan.
"Jahanam busuk! Siapa berani berbuat demikian kurang ajar terhadap Anakku?!"
"Ia seorang gadis pendekar yang dijuluki Pek-eng Sianli, Ayah."
Kim Bayan semakin marah sehingga dia bangkit berdiri dan mengepal tinjunya.
"Pek-eng Sianli? Itu adalah julukan dari Liu Ceng! Keparat! Gadis itu berani menghinamu seperti itu? Mengapa ia berbuat seperti itu?"
"Begini, Ayah. Aku dan Kui Con bertemu dengan seorang gadis bernama Siok Eng dan encinya bernama Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung. Kami tertarik sekali dan terus terang saja, aku jatuh cinta kepada Siok Eng. Kami mengajukan pinangan, Siok Eng hendak kujadikan selirku, dan Kui Con ingin berkenalan dengan Siok Hwa. Akan tetapi tiba-tiba muncul Pek-eng Sianli dan kami berdua ia serang kemudian kami ditotok dan digantung di pohon itu."
"Keparat! Kapan hal itu terjadi?"
"Sudah lama, Ayah. Sudah lewat belasan bulan yang lalu."
"Hemm, kenapa engkau diam saja? Setelah Liu Ceng pergi, mengapa engkau tidak menghajar keluarga Siok itu untuk membalas dendam?"
"Aku tidak berani, Ayah. Pek-eng Sianli itu menitipkan keluarga Siok kepada Kepala Daerah Yo Bun Sam. Ayah Kui Con, Kepala Pengadilan Kui Hok, dipanggil dan ditegur oleh Yo-thaijin. Kami diancam agar jangan mengganggu keluarga Siok. Maka aku hanya dapat menanti Ayah pulang. Selama ini aku jarang keluar rumah, Ayah. Aku malu sekali atas penghinaan itu." Tentu saja Kim Magu tidak menceritakan bahwa dia menyuruh Lai Koan, perwira pelaksana pencari pekerja paksa di Cin-yang yang kini dihukum atas tuntutan Yo-thaijin, untuk memaksa dua orang wanita itu agar ditangkap dan diserahkan kepada dia dan Kui Con.
"Bangsat Kepala Daerah Yo Bun Sam! Dia kira dia itu siapa berani menghina anakku dan berani bersekongkol dengan Liu Ceng, gadis pemberontak itu? Mari kita datangi dia!" Demikianlah, setelah hujan deras reda dan tinggal gerimis, Kim Bayan mengajak puteranya, dikawal tiga losin perajurit, berangkat berkuda ke gedung tempat tinggal Kepala Daerah Yo Bun Sam. Setelah pasukannya siap berjaga di luar gedung, Kim Bayan dan Kim Magu memasuki gedung.
Para perajurit pengawal di gedung itu tentu saja ketakutan ketika melihat Panglima Kim Bayan dengan pasukannya. Mereka cepat melaporkan kunjungan panglima itu kepada Yo-thaijin.
Pembesar Yo Bun Sam adalah seorang Pribumi Han yang karena lulus ujian negara dengan baik lalu menerima pangkat. Setelah bekerja beberapa tahun lamanya di kota raja dan ternyata dia memang cakap memegang jabatannya, dia menerima kenaikan-kenaikan dan akhirnya dia diangkat menjadi kepala daerah di Cin-yang. Pemerintah Kerajaan Mongol memang pandai menggunakan tenaga orang-orang pribumi Han yang pandai untuk membantu kelancaran roda pemerintahan. Seorang kepala daerah pribumi Han tentu akan lebih ditaati oleh penduduknya. Dan memang benar, setelah Yo Bun Sam menjadi kepala daerah Cin-yang, daerah itu aman karena Yo-thaijin ini bersikap bijaksana dan adil, berani menentang pejabat yang jahat dan membela rakyatnya.
Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Panglima Kim Bayan, seorang panglima perang yang tentu saja memiliki kekuasaan jauh lebih besar daripada dia. Maka mendengar kunjungan Panglima Kim Bayan, Yo-thaijin cepat mengenakan pakaian kebesarannya dan menyambut. Mereka bertemu di ruangan depan dan Yo-thaijin segera menyambut dengan sikap hormat.
"Ah, kiranya Kim Thai-ciangkun (Panglima Besar Kim) yang datang berkunjung! Silakan duduk, Ciangkun!"
Akan tetapi Kim Bayan menanggapi sambutan ramah dan hormat itu dengan mata melotot marah.
"Yo Bun Sam! Aku datang bukan untuk duduk denganmu. Aku datang mau bertanya, mengapa engkau berani mati menyuruh seorang gadis pemberontak untuk menghina puteraku Kim Magu ini beberapa bulan yang lalu! Hayo jawab!"
Yo Bun Sam segera dapat mengetahui apa yang menyebabkan panglima itu datang dan marah-marah kepadanya. Dia tetap tenang lalu menjawab.
"Kim Thai-ciangkun, harap Ciangkun bersabar dan saya dapat memberi penjelasan tentang peristiwa itu. Saya sama sekali tidak mengenal gadis itu dan apa yang ia lakukan terhadap Kim-kongcu sama sekali tidak saya ketahui dan tidak ada sangkut pautnya dengan saya. Mestinya kemarahan Ciangkun itu ditujukan kepada gadis itu, bukan kepada saya karena saya tidak pernah berurusan dengan Kim-kongcu, apalagi menghinanya."
"Akan tetapi engkau mengirim Lai Koan ke penjara dan engkau menegur Kepala Pengadilan Kui, dan engkau melindungi keluarga Siok!" tiba-tiba Kim Magu berseru nyaring, membentak dengan marah.
"Kim Thai-ciangkun dan Kim-kongcu, dengarlah penjelasan saya yang jujur dan apa adanya. Saya sama sekali tidak mencampuri urusan gadis pendekar itu dan Kim-kongcu......"
"Gadis pendekar? Pek-eng Sianli Liu Ceng itu adalah seorang gadis pemberontak!" bentak Kim Bayan.
"Terserah Ciangkun hendak menyebutnya sebagai apa. Saya tidak mempunyai hubungan dengannya dan apa yang saya lakukan hanyalah sesuai dengan tugas saya sebagai kepala daerah yang harus mengatur dan menjaga agar Cin-yang ini aman dan tenteram. Ketika saya didatangi keluarga Siok yang minta perlindungan ke sini dan mendengar apa yang dilakukan oleh Perwira Lai Koan, tentu saja saya harus bertindak. Saya melindungi mereka karena sebagai penduduk Cin-yang mereka yang tidak berdosa itu terancam keselamatannya. Mendengar bahwa Lai Koan melakukan penyelewengan dalam tugasnya mengumpulkan pekerja bakti, sewenang-wenang menggunakan kekerasan dan menerima uang sogokan, setelah melihat bukti-buktinya, saya lalu menuntutnya ke pengadilan dan dia dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan. Hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya, bukan? Saya lalu menegur Kepala Pengadilan Kui karena dia pun bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga Siok. Tentang perlindungan yang saya berikan kepada Chao Kung, isterinya, ayah mertua dan adik iparnya, hal itu sudah sewajarnya. Penduduk Cin-yang siapa saja yang minta perlindungan kepada saya dan mereka memang tidak berdosa dan diperlakukan sewenang-wenang, pasti akan saya lindungi. Nah, demikianlah, Kim Thai-ciangkun. Saya hanya memenuhi kewajiban saya dan sama sekali tidak mencampuri urusan Kim-kongcu dan gadis itu."
"Yo Bun Sam! Keluarga Siok itu menggunakan seorang gadis pemberontak sebagai pelindung, berarti mereka adalah keluarga pemberontak pula! Dan engkau melindungi mereka, biarpun engkau tidak langsung menjadi pemberontak, berarti engkau sudah bersekongkol dengan pemberontak! Puteraku telah dihina, berarti akulah yang dihina! Hayo cepat berlutut dan minta ampun, baru aku mungkin dapat mengampunimu!" bentak Panglima Besar Kim Bayan.
Wajah Yo Bun Sam berubah merah dan matanya bersinar penuh kemarahan. Dia adalah seorang yang berjiwa patriot, dalam arti kata bukan menentang penjajah Mongol dengan kekerasan, melainkan berusaha mencapai kedudukan agar dengan kekuasaannya dia dapat membela rakyat bangsanya. Dia seorang yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dalam membela keluarga Siok dia sama sekali tidak merasa bersalah. Maka, kini diancam dan digertak agar dia berlutut minta ampun? Tentu saja dia tidak sudi melakukannya!
Dia teringat akan riwayat para patriot yang rela berkorban nyawa untuk bangsanya, seperti Patriot gagah perkasa Jenderal Gak Hui, dan masih banyak lagi. Dia pengagum mereka, maka biarpun dia memiliki kedudukan cukup tinggi, Yo Bun Sam tidak pernah bertindak sewenang-wenang, belum pernah mau menerima sogokan dan tidak pernah melakukan korupsi sehingga dialah satu di antara pejabat yang tidak menjadi kaya raya. Kini bangkit kemarahannya mendengar Kim Bayan memaksanya berlutut minta ampun.
"Kim Thai-ciangkun!" katanya dengan sikap tegak dan gagah.
"Saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadap Ciangkun ataupun terhadap Kim-kongcu. Mengapa saya harus berlutut minta maaf? Berlutut minta ampun berarti mengakui kesalahan, padahal saya tidak bersalah apa-apa."
"Engkau tidak mau berlutut minta ampun?" bentak Kim Bayan dan kemarahannya memuncak.
"Saya tidak dapat melakukan itu, Ciangkun!"
"Yo Bun Sam! Engkau pelindung pemberontak! Engkau berani menentang dan melawan aku?"
"Saya tidak menentang Ciangkun......"
"Jahanam!" Kim Bayan bergerak cepat, tangan kanannya memukul dengan telapak tangan ke arah dada Yo Bun Sam! Pembesar tinggi kurus yang tidak pernah belajar silat itu tidak dapat mengelak maupun menangkis. Pukulan itu cepat sekali datangnya dan mengandung tenaga yang amat dahsyat.
"Syuuuuttt...... desss!!" Tubuh tinggi kurus Kepala Daerah Cin-yang itu terlempar ke belakang, menabrak dinding dan roboh menelungkup, tewas seketika. Darah mengucur dari mulut, hidung dan telinganya!
Setelah memukul mati Yo Bun Sam, kemarahan Kim Bayan mereda.
"Hayo kita pulang!" katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah lebar keluar dari gedung itu. Dia tidak mempedulikan ratap tangis yang segera terdengar riuh rendah di ruangan depan itu.
Setibanya di halaman gedung, Kim Bayan hendak memberi isyarat kepada pasukannya untuk berangkat pulang. Akan tetapi Kim Magu segera berkata.
"Ayah, aku minta pinjam selosin perajurit untuk memberi hajaran kepada keluarga. Siok!"
"Hemm, terserah!" Kim Bayan lalu pergi diikuti dua losin perajurit karena yang selosin ditahan Kim Magu.
Dengan bangga dan girang, Kim Magu lalu memimpin selosin orang perajurit itu, duduk di atas punggung kudanya dengan wajah berseri dan dada dibusungkan, mula-mula dia pergi ke rumah Kui Con. Dia mengajak sahabat baiknya itu untuk "membalas dendam" kepada keluarga Siok. Tentu saja Kui Con, putera tunggal Kepala Pengadilan Kui Hok, merasa gembira sekali mendengar bahwa Yo-thaijin telah dibunuh oleh Panglima Kim Bayan.
Sejak dulu, Kui Con memang tergila-gila kepada Siok Hwa, enci Siok Eng atau isteri Chao Kung. Dulu pun ketika Kim Magu ingin mengambil Siok Eng sebagai selir, dia sendiri ingin mendapatkan Siok Hwa sebagai kekasihnya walaupun Siok Hwa telah menjadi isteri orang lain. Kini tiba saatnya untuk membalas dendam dan melaksanakan hasrat hatinya yang selama ini terpendam karena takut kepada Yo-thaijin yang melindungi keluarga Siok.
Demikianlah, Kui Con menunggang kuda dengan sikap angkuh di samping Kim Magu, dikawal selosin orang perajurit, menuju ke rumah Chao Kung. Penduduk kota Cin-yang yang berada di jalan dan melihat dua orang pemuda itu, mengerutkan alis dan mereka heran melihat dua orang yang terkenal sebagai perusak anak bini orang itu kini berani muncul kembali setelah setahun lebih tak pernah tampak di tempat umum. Pasti akan terjadi sesuatu yang gawat, pikir mereka dengan khawatir.
Pada saat itu, Chao Kung membuka tokonya yang tidak terlalu besar seperti biasa. Dia berdagang rempa-rempa dan dalam pekerjaannya itu dia telah dibantu oleh ayah mertuanya, Siok Kan, isterinya Siok Hwa dan adik isterinya, Siok Eng. Ada pula seorang pembantu wanita setengah tua yang bekerja di dapur. Mereka sama sekali belum mendengar nasib yang menimpa pelindung mereka, yaitu Kepala Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam.
Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang itu ketika tiba-tiba selosin orang perajurit yang mengawal Kim Magu dan Kui Con telah berada di depan toko! Saking kagetnya, mereka berempat hanya terbelalak memandang dua orang pemuda itu yang sudah melompat turun dari punggung kuda mereka dan cengar-cengir memasuki toko!
Chao Kung yang tinggi kurus dan pemberani itu cepat melangkah maju seolah melindungi ayah mertuanya, isteri dan adik iparnya, lalu memberi hormat dan bertanya dengan sikap sopan namun suaranya tegas.
"Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) datang berkunjung mempunyai keperluan apakah?"
Akan tetapi Kim Magu dan Kui Con yang sudah bersepakat mencabut golok masing-masing dan Kim Magu membentak marah.
"Kalian keluarga pemberontak! Kalian sudah memberontak terhadap pemerintah! Kami datang untuk membasmi kalian!" Setelah berkata demikian, Kim Magu memberi isyarat kepada para perajurit pengawalnya dan selosin orang perajurit itu lalu menyerbu ke dalam toko.
Chao Kung terkejut bukan main dan karena dia sedang berjualan, maka dia tidak mempersiapkan senjata. Dia mencoba melawan ketika para perajurit itu menyerbu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Magu dan Kui Con juga sudah menyerangnya. Tingkat kepandaian Chao Kung hanya sebanding dengan tingkat Kim Magu atau Kui Con, maka kini, dengan tangan kosong dia menghadapi penyerangan dua orang pemuda bangsawan yang bersenjata golok, masih dikeroyok lagi oleh selosin perajurit, tentu saja dia hanya mampu melawan sebentar. Bacokan bertubi-tubi menghunjam tubuhnya sehingga dia roboh mandi darah dan tewas seketika.
Siok Kan hendak menolong mantunya, akan tetapi sambaran golok Kim Magu membuat lehernya hampir putus dan dia pun roboh di dekat mayat mantunya. Siok Hwa dan Siok Eng menjerit-jerit menangisi suami dan ayahnya, akan tetapi Kim Magu sudah meringkus Siok Eng dan Kui Con meringkus Siok Hwa. Dua orang wanita itu meronta-ronta dan menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja mereka tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan dua orang pemuda itu. Saking sedih melihat suami dan ayahnya tewas, disertai rasa takut dan marah, Siok Hwa terkulai pingsan. Ia dirangkul dan dibawa meloncat ke atas punggung kuda oleh Kui Con.
Siok Eng juga meronta-ronta dan menjerit, memaki-maki, akan tetapi tubuhnya dirangkul ketat oleh Kim Magu sehingga ia tidak mampu bergerak dan ia pun dibawa naik ke atas punggung kuda oleh Kim Magu. Selosin orang pengawal itu, seperti biasa, menggunakan kesempatan itu untuk mengambil barang-barang yang berharga dari toko dan rumah itu. Sikap dan perbuatan mereka itu tiada ubahnya segerombolan perampok!
Ketika peristiwa itu terjadi, para tetangga, bahkan mereka yang sedang berlalu-lalang atau berdekatan dengan rumah Chao Kung, ketakutan dan menjauhi tempat itu. Setelah pasukan itu pergi, barulah para tetangga berani mendekat. Mereka menemukan Ciu-ma, pelayan wanita keluarga itu, sedang berlutut dan menangisi mayat Siok Kan dan Chao Kung yang mandi darah. Para tetangga cepat bergotong-royong merawat dan mengatur pemakaman ayah mertua dan mantu itu secara sederhana.
Ciu-ma kini menjaga rumah itu seorang diri dengan hati penuh rasa ngeri, takut dan juga sedih dan bingung. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga dan keluarga Siok itu sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Bahkan ia pula yang dahulu menjadi inang pengasuh Chao Kung ketika masih kecil. Maka biarpun kini Chao Kung telah tewas bersama ayah mertuanya, dan nyonya rumah Siok Hwa dan adiknya, Siok Eng, dilarikan Kim Magu dan Kui Con, ia tidak dapat meninggalkan rumah itu.
Dengan hati dipenuhi rasa duka melihat kematian ayahnya, dan penuh kebencian terhadap pemuda Mongol muka hitam yang menculiknya, Siok Eng tiada hentinya meronta dan berusaha melepaskan diri.
"Jahanam busuk, manusia terkutuk!" ia memaki-maki, akan tetapi sambil tertawa Kim Magu melarikan kudanya pulang ke sebuah pondok yang menjadi tempat peristirahatannya. Dia tidak mau membawa gadis tawanannya itu pulang, karena di sana terdapat banyak orang. Ibu kandungnya, para ibu tirinya, para pembantu rumah tangga dan banyak pula perajurit pengawal sehingga dia akan merasa tidak leluasa. Maka dia membawa Siok Eng ke rumah peristirahatannya yang hanya dijaga oleh seorang pelayan wanita tua.
Setelah tiba di rumah itu, Kim Magu membiarkan kudanya dituntun pelayannya ke istal di belakang, sedangkan dia sendiri memondong tubuh Siok Eng yang meronta-ronta, memasuki rumah itu sambil tertawa-tawa gembira. Setelah memasuki kamarnya, dia melemparkan tubuh Siok Eng ke atas pembaringan.
Tentu saja Siok Eng menjadi marah dan juga ngeri karena ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda setan itu kepada dirinya. Ia merasa putus harapan karena sejak tadi, semua jeritannya sia-sia belaka, tidak ada orang yang berani mencampuri urusan Kim-kongcu, apalagi tadinya, masih timbul harapannya akan muncul tunangannya, Pouw Cun Giok, yang gagah perkasa dan pasti akan menolongnya. Akan tetapi setelah tiba di dalam rumah dan dirinya dilempar ke atas pembaringan, musnahlah semua harapannya. Ia maklum sepenuhnya bahwa keadaannya gawat, kehormatannya terancam dan ia sama sekali tidak berdaya. Melawan pun tidak ada artinya sama sekali karena ia adalah seorang gadis yang lemah dan Kim-kongcu selain pandai ilmu silat, juga memiliki tenaga besar.
Pada saat itu, sambil memandang wajah Kim-kongcu dengan ketakutan, ia teringat akan Pouw Cun Giok dan timbul rasa penyesalannya yang amat besar. Tunangannya itu tidak pernah muncul selama dua tahun, bahkan kini ia berada dalam ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, tetap saja tunangannya itu tidak muncul dan tidak dapat diharapkan.
Mengingat akan kematian kakak ipar dan ayahnya, timbul dendam hebat di hati Siok Eng. Ia harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan kehormatannya. Lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatannya kepada pemuda biadab ini. Siok Eng mengambil tusuk sanggulnya yang terbuat dari perak dan berujung runcing.
Ia sengaja tidak mengelak ketika bagaikan seekor harimau menubruk domba, Kim Magu menerkam dan merangkul, menciuminya. Pada saat pemuda itu lengah oleh memuncaknya nafsu ketika kedua tangan pemuda itu mulai merenggut dan menanggalkan pakaian Siok Eng yang sengaja dibiarkan saja oleh gadis itu, tiba-tiba tangan kanan Siok Eng yang sejak tadi sudah mempersiapkan tusuk kondenya, menyambar dengan pengerahan sekuat tenaga ke wajah Kim Magu. Pada saat itu, Kim Magu sedang dimabok nafsu dan sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang sudah dicengkeramnya dan agaknya sudah menyerah itu akan menyerangnya. Dia menjadi lengah dan serangan itu terlalu dekat sehingga dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.
"Crottt......!"
"Aduhhhh......!" Kim Magu melompat ke belakang seperti terpental dan kedua tangannya mendekap mata kirinya di mana masih menancap tusuk konde yang panjangnya sejengkal lebih itu dan yang sudah memasuki matanya hampir seluruhnya. Dia menjerit-jerit kesakitan, lalu berhasil mencabut tusuk konde itu. Darah muncrat-muncrat dari mata kirinya. Kemarahan dan rasa nyeri membuat Kim Magu hampir gila. Dia menerkam tubuh Siok Eng yang masih telentang di atas pembaringan, lalu kedua tangannya memukul, mencekik membabi buta.
Tentu saja Siok Eng tidak mampu menghindar, akan tetapi juga tidak terlalu lama menderita karena pukulan pertama yang mengenai kepalanya saja sudah cukup untuk menewaskannya. Biarpun Kim Magu mengamuk, memukuli dan mencekik, ia tidak merasakan lagi. Siok Eng tewas dalam keadaan masih belum ternoda kehormatannya dan biarpun ia hanya seorang wanita lemah, namun ia tewas sebagai seorang wanita yang gagah berani, lebih baik kehilangan nyawa daripada menyerahkan kehormatannya untuk dinodai dan dihina!
Kim Magu marah bukan main. Bukan saja dia gagal memuaskan gairah nafsunya, sebaliknya dia malah kehilangan mata kirinya! Tidak ada tabib di Cin-yang mampu memulihkan matanya karena biji matanya telah hancur tertusuk benda runcing berupa tusuk sanggul itu. Dia menjadi buta sebelah sehingga membuat wajahnya yang tadinya gagah, biarpun berkulit hitam, kini menjadi buruk menjijikkan dan menyeramkan.
Nasib Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung tidak lebih baik daripada nasib Siok Eng. Dalam keadaan pingsan dia dibawa oleh Kui Con ke rumah pelacuran dan selagi pingsan ia diperkosa oleh putera Kepala Pengadilan itu. Setelah siuman dari pingsannya dan melihat kenyataan bahwa dirinya telah dinodai, Siok Hwa bertindak nekat, mengigit putus lidahnya sendiri lalu membenturkan kepalanya pada dinding kamar sehingga kepalanya retak dan ia tewas seketika!
Demikianlah, dalam waktu sehari saja, seluruh keluarga itu telah terbasmi habis. Siok Kan, kedua orang puterinya Siok Hwa dan Siok Eng, juga mantunya Chao Kung, tewas dalam keadaan menyedihkan. Padahal, keluarga ini terkenal sebagai keluarga yang baik, sebagai manusia-manusia yang memiliki sikap, ucapan, dan perbuatan yang tak pernah tercela. Juga suka menolong orang yang membutuhkan pertolongan, suka menyumbangkan sebagian penghasilannya, tak pernah bermusuhan. Akan tetapi, akhirnya mereka tewas dalam keadaan mengerikan.
Sebaliknya, banyak sekali orang-orang yang pada umumnya tidak disuka rakyat, yang hanya menumpuk harta, yang lalim kejam dan suka bertindak sewenang-wenang, yang pada umumnya disebut sebagai orang jahat, dapat hidup kaya raya penuh kemewahan dan kemuliaan. Mengapa orang yang hidup sebagai orang yang baik malah sengsara dan orang yang hidupnya jahat malah berbahagia? Adilkah itu?
Pertanyaan ini dilontarkan orang sejak dahulu, membuat manusia merasa penasaran, bahkan ada yang berani menuduh bahwa Tuhan itu tidak adil! Dua jiwa yang baru dilahirkan sebagai manusia, yang keduanya belum sempat membuat dosa, mengapa keadaannya amat berbeda? Yang satu dilahirkan sebagai putera raja, disambut dengan segala kemuliaan oleh rakyat, sedangkan yang lainnya dilahirkan sebagai anak seorang pengemis di kolong jembatan, tak seorang pun mempedulikannya. Mengapa begitu? Benarkah dugaan sementara orang bahwa Tuhan tidak adil?
Dugaan seperti itu sesungguhnya keliru dan menunjukkan bahwa yang berpikiran demikian adalah orang yang imannya terhadap Tuhan rapuh adanya. Tuhan tetap Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Kasih dan Penyayang! Akan tetapi kuasaNya, keadilanNya, kasihNya tidak dapat diukur dengan pengertian manusia! Manusia mendasarkan kasih dan keadilan kepada kepentingan diri sendiri. Yang baik untuk dirinya, yang menguntungkan, itu baru adil! Baru ada kasih! Padahal keadilan dan Kasih Tuhan itu meliputi seluruh alam mayapada dan isinya, bukan hanya pada perorangan yang selalu mengutamakan kepentingan sendiri. Kalau diukur dengan pengertian manusia, memang segala hal itu tampaknya tidak adil atau adil, tergantung si penilai demi keuntungan diri sendiri masing-masing. Hujan pun membuat sebagian orang yang diuntungkan memuji sebagai keadilan akan tetapi bagi orang lain yang merasa dirugikan mencelanya sebagai hal yang tidak adil. Terik matahari juga bisa disambut pujian atau keluhan.
Keadilan Tuhan itu mutlak, tak terjangkau oleh pikiran kita, tak dapat diukur, tak dapat diperhitungkan, tak dapat dimengerti. Segala sesuatu yang terjadi di dunia dalam kehidupan manusia ini pasti bersebab dan berakibat. Tidak ada orang yang lolos dari sebab perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Menabur dan menuai tak dapat dipisahkan. Sebab dan akibat itu merupakan mata rantai yang kekal. Sulit menemukan orang yang menyadari bahwa buah yang pahit itu adalah buah pohon yang dulu dia tanam sendiri! Sulit pula menemukan orang yang ketika melakukan suatu perbuatan itu berarti dia menanam semacam pohon dan kelak perbuatan atau pohon itu akan berbuah dan dia sendiri yang akan memakannya! Orang bijaksana yang menyadari kedua hal ini, pasti akan berhati-hati kalau menanam (berbuat) sehingga memilih pohon yang baik, dan akan menerima segala yang menimpa dirinya tanpa mengeluh atau menyalahkan siapa-siapa karena menyadari bahwa yang menimpa dirinya itu merupakan buah dari pohon tanamannya sendiri atau sebagai akibat dari perbuatannya sendiri!
Maka, berbahagialah orang yang selalu siap melakukan perbuatan yang membahagiakan orang lain dan menganggap perbuatan itu sebagai KEWAJIBAN, sebagai pembuktian rasa bersyukur kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan segala anugerah Tuhan kepadanya, bukan menganggap perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan! Orang yang membanggakan perbuatan baiknya sebetulnya tidak berbuat baik, melainkan melakukan perbuatan yang pamrihnya bersumber kepada keuntungan diri pribadi, yaitu berupa keuntungan materi atau keuntungan batin seperti pujian dan sanjungan dan kebanggaan! Matahari yang setiap hari menyinarkan cahaya yang menghidupkan semua mahluk, tak pernah menuntut imbalan karena hal itu merupakan kewajibannya! Kalau kita melakukan perbuatan yang kita anggap baik, seperti menolong orang lain, maka kita sudah memperoleh imbalannya, yaitu rasa bangga, pujian atau sanjungan itu. Itulah buahnya! Akan tetapi kalau kita melakukan perbuatan sebagai penyalur Kasih Tuhan, sebagai kewajiban, maka tanpa kita harapkan pun Tuhan pasti akan memberi buahnya.
Orang baik hidupnya sengsara atau orang jahat hidupnya bahagia, bayi lahir dalam keadaan mulia atau yang lain lahir dalam keadaan sengsara. Hal itu merupakan rahasia bagi kita, karena segala rencana Tuhan sama sekali tidak dapat dijangkau oleh pikiran kita, sama sekali tidak sama dengan rencana kita yang bersumber kepada menguntungkan diri sendiri. Ada yang menganggap itu sebagai Karma, buah dari pada perbuatan-perbuatannya dahulu ketika jiwa itu terlahir di masa sebelumnya. Akan tetapi apa dan bagaimana perbuatan di masa kehidupan lalu itu pun tidak ada yang mampu menjelaskannya karena itu semua merupakan rahasia yang hanya diketahui dan direncanakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa!
Kota Cin-yang menjadi gempar ketika mendengar bahwa Kepala Daerah Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun Sam yang mereka hormati dan kasihi karena pembesar itu bijaksana dan adil, telah terbunuh, kabarnya dibunuh Panglima Kim Bayan. Karena pembunuhnya seorang panglima besar, maka hal itu tidak sampai menjadi urusan yang berkepanjangan, apalagi Kim Bayan melapor ke kota raja bahwa Yo Bun Sam membantu dan bersekongkol dengan para pemberontak. Kegemparan menjadi-jadi ketika para penduduk mendengar bahwa Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, dibunuh oleh pasukan perajurit yang mengawal Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Kemudian mereka mendengar bahwa isteri Chao Kung, yang dibawa Kui-kongcu, telah tewas membunuh diri, demikian pula Siok Eng yang dibawa Kim-kongcu, kabarnya juga telah tewas karena berani melukai Kim-kongcu dan dibunuh.
Berita itu mendatangkan kegemparan dan rasa penasaran, akan tetapi siapakah yang akan berani menuntut dan kalau dituntut sekalipun, kepada siapa? Kim Bayan adalah seorang panglima besar yang berkuasa, sedangkan ayah Kui-kongcu, yaitu Kui Hok adalah Kepala Pengadilan yang akan menyidangkan semua perkara sehingga para penuntut tentu saja akan mati kutu dan kalah dalam perkara mereka.
Akan tetapi, seperti juga segala macam peristiwa yang terjadi, baik itu menyenangkan ataupun menyusahkan, akan luntur dimakan waktu. Demikian pula dengan peristiwa yang menggemparkan penduduk Cin-yang itu. Setelah lewat kurang lebih dua bulan, jarang ada yang membicarakan peristiwa itu lagi, bahkan sebagian orang sudah melupakannya. Kehidupan berjalan lancar dan normal kembali walaupun kini setelah Kepala Daerah Cin-yang diganti, penduduk merasa tidak ada lagi yang membela dan melindungi mereka. Para pejabat, dari yang kecil sampai yang paling besar, rata-rata brengsek, menekan, memeras dan selalu mengejar uang. Suap dan sogok terjadi di hampir semua bidang dan usaha pun tidak akan lancar kalau tidak menggunakan cara itu.
Sekitar dua bulan kemudian, pada suatu siang seorang pemuda berusia sekitar duapuluh tahun, tampan gagah dan gerak-geriknya halus, memasuki kota Cin-yang. Pemuda itu adalah Pouw Cun Giok yang telah mengubah niatnya pergi ke Thai-san menyelidiki tentang harta karun Kerajaan Song yang hilang diambil orang, dan lebih dahulu hendak berkunjung ke rumah tunangannya, Siok Eng, yang sudah lama ditinggalkannya.
Setelah memasuki kota itu, kota yang pernah dikunjunginya dua tahun lebih yang lalu, bersama gurunya, Suma Tiang Bun, ketika mereka berdua menolong Siok Kan dan Siok Eng lalu mengantarkan mereka ke kota ini untuk tinggal di rumah Chao Kung, dia merasa terharu juga. Baru terasa olehnya betapa dia seolah-olah menyia-nyiakan Siok Eng, tunangannya itu. Mereka telah bertunangan, bahkan tanda ikatan perjodohan dari gadis itu berupa tusuk sanggul perak berbentuk pohon Yang-liu sampai sekarang masih ada padanya. Akan tetapi selama dua tahun dia tidak pernah menjenguknya atau memberi kabar. Dia dapat membayangkan betapa gadis itu menanti-nantinya dengan hati bimbang dan sedih.
"Eng-moi......!" Dia mengeluh penuh perasaan berdosa dan iba terhadap tunangannya itu. Dia pun mempercepat langkahnya menuju ke rumah Chao Kung di mana tunangannya tinggal.
Ketika tiba di depan rumah itu, dia hampir tidak mengenal. Dahulu, setahunya rumah itu membuka sebuah toko, akan tetapi sekarang tokonya tidak ada, semuanya bahkan daun pintunya, tertutup! Dengan hati agak ragu dia menghampiri pintu lalu mengetuknya perlahan.
"Tok-tok-tok""!"
Tidak ada jawaban dari dalam. Akan tetapi pendengaran Cun Giok yang tajam dapat menangkap adanya gerakan orang di balik daun pintu itu. Dia mengetuk
"Tok-tok-tok, harap bukakan pintu, saya Pouw Cun Giok!"
Terdengar kaki melangkah mendekati pintu dan daun pintu dibuka dari dalam. Yang membuka daun pintu itu adalah seorang wanita setengah tua, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pembantu rumah tangga.
"Kongcu (Tuan Muda) siapakah dan hendak mencari siapa?" tanya wanita itu dengan suara gemetar dan sinar matanya jelas tampak ketakutan.
"Saya Pouw Cun Giok, apakah engkau tidak ingat, Ciu-ma?" kata Cun Giok yang masih mengenal wanita pembantu rumah tangga di rumah itu.
"Pouw Cun Giok...... ah, apakah Kongcu ini tunangan Nona Siok Eng......?"
"Benar, Ciu-ma. Di manakah semua keluarga? Mengapa pintu ditutup dan dalam rumah tampak begini sepi?"
"Masuklah, Kongcu, masuklah......" Ciu-ma berkata dan suaranya menggetar seperti menahan tangis. Setelah Cun Giok masuk, Ciu-ma cepat menutupkan dan memalangi pintu itu, setelah itu dia tidak dapat menahan lagi tangisnya. Ia menjatuhkan diri berlutut di atas lantai dan menangis sejadi-jadinya, akan tetapi ia menahan sehingga suara tangisnya tidak keluar, hanya terisak-isak dibarengi membanjirnya air matanya.
Cun Giok terkejut sekali. Dia menarik wanita itu bangkit dan membawanya ke ruangan tengah, lalu menyuruhnya duduk di atas kursi di depannya.
"Tenanglah, Ciu-ma. Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis. Di mana adanya semua orang?"
"Aduh, Kongcu...... mereka semua mati mereka semua mati......"
"Ahh......!" Begitu kagetnya Cun Giok sampai dia melompat berdiri dengan wajah pucat, lalu menghampiri wanita itu dan mengguncang kedua pundaknya.
"Apa yang terjadi? Hayo ceritakan, ceritakan semuanya yang jelas!" Cun Giok membentak sehingga Ciu-ma yang sudah ketakutan dan bersedih itu menjadi semakin takut dan tangisnya semakin menjadi-jadi, sesenggukan sampai sesak napas.
Cun Giok segera menyadari bahwa dia bersikap terlalu kasar dan membuat wanita itu ketakutan. Dia lalu melepaskan pundak wanita itu, duduk kembali dan berkata dengan tenang dan sabar.
"Maafkan aku, Ciu-ma. Aku tadi bersikap kasar karena aku merasa kaget sekali. Nah, hentikan tangismu dan ceritakan dengan jelas apa yang terjadi, dari awal mula."
Akhirnya Ciu-ma dapat menenangkan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu ia bercerita.
"Mula-mulanya terjadi setahun yang lalu. Dua orang pemuda bangsawan, yaitu Kim-kongcu putera Panglima Besar Kim dan Kui-kongcu putera Kepala Pengadilan Kui, ingin menjadikan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa sebagai selir mereka. Tentu saja pinangan ini ditolak. Utusan mereka, Panglima Lai menggunakan pasukannya untuk memaksa dan membawa Nona Siok Eng dan Nyonya Chao Kung atau Siok Hwa. Siok Lo-ya (Tuan Siok) dan mantunya melawan akan tetapi mereka dihajar pasukan dan kedua orang wanita itu hendak dibawa dengan paksa. Akan tetapi muncul seorang gadis pendekar menolong. Gadis itu menghajar Lai-ciangkun dan anak buahnya, kemudian membawa seluruh keluarga Siok ke gedung Kepala Daerah Yo Bun Sam. Yo-thaijin yang bijaksana dan adil melindungi keluarga ini sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Kedua orang pemuda bangsawan itu kabarnya dihajar oleh pendekar wanita itu dan selama ini kehidupan kita di sini aman karena dilindungi oleh Yo-thaijin."
"Pendekar wanita itu, siapa namanya, Ciu-ma?"
"Saya tidak tahu, Kongcu, dan saya kira tidak ada yang tahu siapa nama pendekar itu, hanya orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli. Setelah menyelamatkan keluarga di sini, ia lalu menghilang dan tidak ada yang tahu ke mana perginya."
"Hemm......" Cun Giok diam-diam tercengang karena tidak menyangka sama sekali bahwa Ceng Ceng telah menyelamatkan tunangannya sekeluarga! "Lalu bagaimana, Ciu-ma? Lanjutkan ceritamu."
Kegembiraan mendengar bahwa Ceng Ceng yang menolong Siok Eng hanya merupakan setitik cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti hatinya sehingga tidak ada artinya. Lemah lunglai seluruh tulang dan syarafnya mendengar bahwa tunangannya berikut ayahnya sekeluarga telah mati!
"Malapetaka itu datang tanpa disangka-sangka, Kongcu. Sekitar dua bulan yang lalu, di Cin-yang terjadi peristiwa yang menggemparkan seluruh penduduk kota ini. Kim-kongcu dan Kui-kongcu, dua orang pemuda bangsawan yang dulu dihajar Pek-eng Sianli dan tak pernah kelihatan lagi itu, tiba-tiba muncul di sini bersama duabelas orang perajurit mereka. Mereka menyerang Tuan Muda Chao Kung dan Tuan Tua Siok Kan sehingga mereka berdua itu tewas di rumah ini, sedangkan Nyonya Siok Hwa dan Nona Siok Eng mereka culik......" Kembali air mata mengalir deras dari sepasang mata Ciu-ma.
"Keparat......!!" Cun Giok memaki dan wajahnya yang tadi pucat itu kini berubah merah. Akan tetapi dia mampu mengendalikan diri dan berkata,
"Ciu-ma, lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan Enci Siok Hwa dan Nona Siok Eng?"
Ciu-ma kembali dengan sukar menahan isak tangisnya.
"Aduh, Kongcu...... saya hanya dapat meratap dan menangis...... pada keesokan harinya, mereka itu memulangkan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa ke sini...... sudah...... menjadi mayat......"
"Jahanam busuk!" Kembali Cun Giok memaki dan kemarahannya memuncak. Dia menggigit bibir sendiri dan tanpa disadarinya, kedua pipinya juga sudah basah air mata yang bercucuran keluar dari kedua matanya. Semakin besar kesedihan dan penyesalannya, dia merasa dosanya terhadap Siok Eng makin besar. Kalau saja dia bukan seorang tunangan yang begitu buruk, kalau saja dia sering datang berkunjung, kiranya dia akan dapat melindungi tunangannya itu bersama keluarganya!
"Ahhh...... Ciu-ma, kenapa mereka...... tewas pula?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Saya hanya mendengar kabar angin bahwa Nona Siok Eng telah menyerang Kim-kongcu sehingga mata kiri pemuda bangsawan itu menjadi buta, maka Kim-kongcu lalu memukulnya sampai mati. Sedangkan Nyonya Siok Hwa, kabarnya ia mati membunuh diri...... Saya dibantu para tetangga hanya dapat mengurus penguburan mereka semua."
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cun Giok mengusap air mata dari mukanya dengan ujung lengan bajunya.
"Ciu-ma, bukankah katamu tadi Kepala Daerah Yo Bun Sam yang bijaksana itu melindungi keluarga ini? Bagaimana sampai dapat terjadi pembunuhan-pembunuhan itu?"
"Aduh, Kongcu. Pada hari yang sama, Yo-thaijin juga tewas dibunuh oleh Panglima Besar Kim Bayan dengan tuduhan bersekongkol dengan pemberontak. Tentu semua ini merupakan pembalasan karena dulu Pek-eng Sianli memberi hajaran keras kepada Kim-kongcu dan Kui-kongcu."
Cun Giok diam saja sampai lama. Dia hanya duduk dengan kedua tangan dikepal dan wajahnya yang tampan berubah bengis, matanya mencorong menakutkan sehingga Ciu-ma tidak berani bergerak dan tidak berani mengeluarkan suara.
Setelah Cun Giok dapat mengendalikan diri dan menenangkan perasaannya yang menggelora, dengan lembut dia lalu minta keterangan kepada Ciu-ma di mana rumah Kim-kongcu dan Kui-kongcu dan di mana dikuburnya jenazah Siok Kan, Chao Kung, Siok Eng, dan Siok Hwa. Kemudian, dia minta diantar oleh Ciu-ma memasuki kamar mendiang Siok Eng.
"Barang-barang berharga dari dalam rumah ini telah habis dirampok oleh pasukan pengawal duabelas orang itu, Kongcu," kata Ciu-ma.
Dengan tubuh lemas karena dilanda kesedihan yang besar, jantung Cun Giok berdebar ketika dia memasuki kamar Siok Eng. Kamar yang sederhana saja namun bersih karena selama ini Ciu-ma tetap membersihkan setiap kamar dan ruangan dalam rumah itu tiap hari. Teringat akan kesalahannya terhadap Siok Eng, tunangannya yang dia tinggalkan, bahkan seolah dia sia-siakan selama dua tahun ini, tak terasa lagi kedua mata Cun Giok kembali menjadi basah. Dia duduk di tepi pembaringan dan berkata kepada Ciu-ma dengan lirih.
"Ciu-ma harap tinggalkan aku di sini sejenak."
Ciu-ma mengerti akan perasaan pemuda itu. Ia mengangguk dan sambil menghapus air matanya ia keluar dari kamar itu dan tidak lupa menutupkan daun pintu kamar itu dari luar.
Setelah berada seorang diri di kamar tunangannya itu, Cun Giok tak dapat menahan tangisnya. Dia rebah di atas pembaringan dan memeluk bantal yang biasa dipergunakan oleh Siok Eng.
"Eng-moi...... maafkan aku, Eng-moi...... aku berdosa besar padamu...... Eng-moi, engkau tetap jodohku, engkau isteriku dan aku akan selalu ingat dan menganggap engkau sebagai isteriku. Semoga arwahmu tenang, Eng-moi, percayalah, aku akan membalaskan sakit hatimu, Ayahmu, Encimu dan suaminya......"
Cun Giok merasa demikian sedih dan terharu, tubuhnya terasa lemas kehilangan seluruh tenaganya dan akhirnya dia rebah tertidur atau setengah pingsan di atas pembaringan Siok Eng.
Malam itu bulan tiga perempat bersinar cukup terang. Langit tidak ada awan sehingga suasananya indah dan cerah. Namun hawa udara amatlah dinginnya sehingga sebelum tengah malam sudah jarang terdapat orang berada di luar rumah. Penduduk kota Cin-yang lebih suka berada dalam kamar di rumah masing-masing.
Cun Giok terbangun sore tadi. Ciu-ma dengan hormat melayani tunangan bekas nona majikannya, menyediakan air untuk mandi dan menyiapkan makan malam. Cun Giok yang sudah tenang kembali mandi, bertukar pakaian dan makan malam tanpa banyak bicara. Dia menjadi pendiam dan seperti orang melamun, akan tetapi kalau melihat sepasang matanya yang mencorong, orang akan menjadi ngeri. Ciu-ma melayaninya dengan diam-diam. Wanita ini pun ketakutan melihat sinar mata Cun Giok.
Setelah dia makan, Cun Giok minta tolong kepada Ciu-ma untuk menyelidiki, di mana adanya Kim-kongcu dan Kui-kongcu malam itu. Ciu-ma yang diam-diam juga merasa sakit hati dan membenci kedua orang pemuda bangsawan itu, lalu pergi. Karena ia sudah mendengar banyak tentang dua orang muda yang dibencinya itu yang telah membasmi majikannya sekeluarga, maka tidak sukar baginya untuk mencari tahu di mana adanya mereka itu.
Ia segera kembali dan memberitahu kepada Cun Giok bahwa pada malam itu Kim-kongcu berada di rumah peristirahatannya dilayani para selirnya, sedangkan Kui-kongcu berada di rumah pelesir Bunga Merah di ujung kota Cin-yang. Setelah mendapat keterangan jelas tentang letak dua tempat ini, dan mengetahui pula di mana adanya kuburan keluarga Siok, malam itu, menjelang tengah malam Cun Giok meninggalkan rumah itu dan tubuhnya berkelebat menghilang di antara bayang-bayang rumah dan pepohonan.
Di dalam rumah peristirahatannya yang mungil dan mewah, Kim Magu sedang berpesta pora makan minum dilayani oleh tiga orang selirnya yang terbaru. Dengan memangku dua orang selir di atas paha kanan kirinya, selir ketiga menyuapinya dari depan. Gembira bukan main Kim-kongcu pada malam yang dingin itu. Dia agaknya sudah lupa lagi bahwa di rumah mungil itulah dia membunuh Siok Eng dua bulan yang lalu setelah gadis yang nyaris diperkosanya itu menyerangnya dengan tusuk konde sehingga mata kirinya menjadi buta. Untuk menutupi mata yang kosong itu, yang membuat wajahnya nampak buruk mengerikan, Kim Magu kini menggunakan sehelai kain sutera biru untuk diikatkan di kepala menutupi mata kiri itu sehingga wajahnya kini tampak tidak terlalu buruk.
Kim Magu dan tiga orang selirnya itu tertawa-tawa bergurau sambil makan minum, bergembira ria tenggelam dalam nafsu kesenangan. Dua orang wanita pelayan yang tadi menghidangkan makanan dan minuman tidak berani mengganggu dan mereka berdua berdiam di dapur sambil menanti perintah. Merekalah yang nanti bertugas membersihkan meja dan ruangan itu, mencuci piring mangkok.
Bayangan Cun Giok berkelebat di atas genteng rumah itu. Setelah mempelajari keadaan di bawah, tubuhnya melayang ke belakang rumah. Dengan cepat sekali tanpa mengeluarkan suara, dia menyelinap masuk ke dapur melalui pintu belakang. Dua orang wanita pelayan yang berada di dapur, terkejut setengah mati, akan tetapi sebelum mereka sempat menjerit, Cun Giok sudah bergerak cepat dan mereka berdua roboh terguling ke atas lantai dapur dalam keadaan pingsan dan tubuh mereka lemas tertotok.
Setelah merobohkan dua orang wanita pelayan itu sehingga mereka tidak sempat menjerit atau membuat gaduh, Cun Giok lalu berindap menuju ke ruangan tengah. Dari dapur saja dia sudah dapat menangkap gelak tawa dan senda gurau Kim Magu dan tiga orang selirnya. Melihat bahwa di situ tidak terdapat perajurit pengawal yang menjaga, Cun Giok dengan tenang melangkah memasuki ruangan itu.
Tiga orang selir itu yang lebih dulu melihat Cun Giok yang melangkah dengan santai.
"Eh, siapa dia?" mereka berseru heran.
Kim Magu mengangkat muka dan dia pun kini dapat melihat Cun Giok. Marahlah dia karena dia tidak mengenal pemuda itu yang bukan merupakan seorang perajurit atau pengawal ayahnya.
"Heh, siapa kamu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Cun Giok.
Dari Ciu-ma, Cun Giok sudah mengenal bahwa pemuda bermata satu itu pasti yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu, orang yang telah membunuh Siok Eng dan yang mata kirinya buta oleh serangan tunangannya. Maka, untuk meyakinkan hatinya dan agar jangan keliru dan salah tangkap, dia membalas pertanyaan pemuda bermata sebelah itu dengan pertanyaan juga.
"Apakah engkau yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu?"
Kim Magu menjadi marah bukan main. Karena Cun Giok tampak seperti seorang pemuda yang lembut dan lemah, maka tentu saja dia memandang rendah dan tidak menduga sama sekali bahwa yang berdiri di depannya itu seorang pendekar yang amat lihai. Saking marahnya dia menolak dua orang selir dari pangkuannya sehingga mereka terhuyung, lalu dia bangkit berdiri dan menyambar goloknya yang berada di atas meja kecil di belakangnya.
"Orang kurang ajar! Hayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu berani lancang memasuki rumah ini tanpa ijin!"
"Katakan dulu apakah engkau yang bernama Kim Magu?" kembali Cun Giok bertanya.
Seorang selir Kim-kongcu yang ingin memperlihatkan bahwa ia membela Kim-kongcu, dengan galak berkata kepada Cun Giok.
"Heh, orang muda yang tidak tahu aturan! Sudah tahu berhadapan dengan Kim-kongcu, mengapa engkau tidak cepat memberi hormat? Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Kini Cun Giok merasa yakin bahwa inilah orang yang dicarinya, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya melompat ke depan, ke arah Kim-kongcu. Pemuda bangsawan ini menyambutnya dengan bacokan goloknya, akan tetapi dia terkejut dan heran karena tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depannya dan sebelum dia mengetahui ke mana perginya pemuda itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan lengan itu lumpuh sehingga goloknya terlepas dan jatuh berdentangan di atas lantai. Tiba-tiba Kim Magu merasa tubuhnya lemas dan kehilangan semua tenaganya, kaki tangannya tidak dapat digerakkan dan tahu-tahu dia sudah dipanggul ke atas pundak kanan Cun Giok!
Tiga orang selir yang melihat ini lalu menjeri-jerit sekuatnya.
"Tolonggg"" tolong"". ada penjahat""!"
Cepat sekali tubuh Cun Giok berkelebat dan tiga orang wanita itu roboh tertotok dan pingsan. Lalu dia melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sambil memanggul tubuh Kim Magu yang tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara. Cun Giok berlari seperti terbang cepatnya dan untung baginya bahwa jalan-jalan di kota Cin-yang sudah sepi. Andaikata ada yang kebetulan berada di luar rumah pun, akan sukar melihat pemuda yang berkelebat amat cepatnya itu. Cun Giok juga memilih bagian yang gelap oleh bayangan pohon dan rumah untuk dilewatinya.
Dia membawa tubuh Kim Magu itu ke tanah kuburan di mana makam Siok Kan, Chao Kung, Siok Hwa dan Siok Eng berada dalam keadaan berjajar dan bong-pai (batu nisan) yang amat sederhana itu pun masih baru. Cun Giok melempar tubuh Kim Magu ke bawah semak-semak dan setelah merasa yakin bahwa totokan pada tubuh Kim Magu itu tidak akan dapat pulih dalam waktu yang cukup lama, dia lalu meninggalkan tanah kuburan.
Kini yang dituju adalah rumah pelesir Bunga Merah karena dia mendapat keterangan dari penyelidikan Ciu-ma bahwa Kui Con atau Kui-kongcu malam itu berpelesir dan menginap di rumah pelesir itu. Rumah pelesir itu cukup besar dan didepannya terdapat sebuah taman bunga yang penuh dengan bunga berwarna merah. Karena inilah agaknya maka tempat itu dinamakan Rumah Pelesir Bunga Merah.
Karena malam telah larut, agaknya para tamu yang biasanya memenuhi ruangan depan sambil minum-minum dilayani para wanita tuna susila, sudah meninggalkan tempat itu. Hanya ada Kui Con atau Kui-kongcu yang bermalam di situ karena pemuda putera Kepala Pengadilan itu dapat dikatakan berkuasa di rumah ini yang seolah menjadi rumah peristirahatannya sendiri. Dialah yang menjadi penyumbang utama dan diandalkan oleh para pengurusnya.
Pada malam itu, seperti biasa terdapat para tukang pukul yang mendapat giliran berjaga. Jumlah tukang pukul di tempat itu ada lima orang dan setiap malam melakukan penjagaan secara bergilir. Akan tetapi malam ini Kui-kongcu bermalam di situ dan seperti biasa Kui-kongcu membawa pengawal sebanyak lima orang maka di ruangan depan itu kini berkumpul sepuluh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan tampak galak menyeramkan. Mereka sedang bermain kartu akan tetapi tidak berani membuat gaduh karena Kui-kongcu berada di rumah itu, dalam sebuah kamar bersenang-senang minum arak dilayani dua orang wanita tuna susila yang menjadi langganannya.
Kui Con bersendau gurau dengan dua orang wanita itu. Dia tampak gembira sekali karena setelah membasmi Keluarga Siok dan Kepala Daerah Yo Bun Sam yang menjadi penghalang baginya tewas, dia selalu tampak gembira. Kini seperti dulu dia dapat berbuat sesuka hatinya, bersenang-senang menghamburkan uang ayahnya yang didapat dari suapan dan sogokan mereka yang mendapatkan perkara di pengadilan.
Setelah minum arak cukup banyak dan mulai agak mabok, Kui Con menyuruh pelayan menyingkirkan semua sisa makanan dan minuman dari kamar itu dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan dua orang wanita cantik itu.
Naga Sakti Sungai Kuning Eps 24 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 17 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 1