Ceritasilat Novel Online

Naga Sakti Sungai Kuning 17


Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 17




   Coa Siang Lee dan Sim Lan Cl sa ling pandang, maklum bahwa tentu kakek itu sejak kemarin membayangi mereka sehingga mendengar pula percakapan mereka tentang maksud mereka untuk tidak memperkenalkan Thian Ki dengan ilmu silat dan kekerasan. Kemudian mereka teringat akan keadaan mereka, lalu mereka berdua menghampiri Han Beng yang juga sudah bangkit berdiri.

   "Kami harap Si Siauw-te suka tinggal di sini bersama kami. Kami sunggu berterima kasih sekali, Siauw-te. Ternysta engkau seorang yang budiman, sampai rela hampir mengorbankan nyawa demi keselamatan kami. Entah bagaimana kami akan mampu membalas budimu." kata Siang Lee, sedangkan Sim Lan Ci juga mengangguk-angguk membenarkan dan memandang kepada pemuda perkasa itu dengan sinar mata penuh kagum dan rasa sukur, sedangkan Thian Ki berada dalam pondongan ibunya, matanya kini nampak mengantuk karena beberapa kali tidurnya terganggu.

   "Sudahlah, Toako. Tidak perlu bersungkan-sungkan. Kalian sendiri tadi juga rela mengorbankan nyawa untuk menolongku. Malam ini biar aku berada di sini, untuk menjaga kalau-kalau pemuda bercaping itu datang kembali. Besok aku akan melanjutkan perjalanan dan sebaiknya, menurut pendapatku, kalau kalian pindah saja ke lain tempat. Aku khawatir kalau pemuda jahat itu muncul kembali untuk mengganggu kalian."

   Siang Lee dan isterinya saling pandang.

   "Kami tidak akan pindah, Siauw-te.

   Pengalaman ini menyadarkan kami bahwa demi melindungi keluarga sendiri kami berdua harus selalu bersiap-siap. Kami akan diam-diam berlatih dan selalu waspada dan mempersiapkan senjata. Kalau kami maju berdua dengan senjata di tangan, kiraku penjahat bercaping itu belum tentu akan mampu mengalahkan kami." Isterinya mengangguk membenarkan. Apa perlunya pindah? Kalau memang hendak mengejar, tentu penjahat itu mampu mencari kami. Lebih baik tetap tinggal disitu akan tetapi berhati-hati.

   Han Beng mengangguk-angguk. Dia tadi juga sudah menyaksikan kelihaian mereka. Kalau mereka berlatih dan selalu mempersiapkan pedang, kiranya tidak akan mudah bagi penjahat bercaping tadi untuk mengalahkan suami isteri ini.

   "Baiklah, kalau begitu, aku akan meninggalkan semacam latihan sin-kang untuk kalian, karena dengan sin-kang yang agak lebih kuat, kiranya penjahat itu tidak akan mampu menandingi kalian berdua."

   Tentu saja suami isteri itu menjad girang bukan main. Setelah Thian Ki tidur kembali, Han Beng lalu malam itu juga mengajarkan cara melatih dan memperkuat tenaga sakti kepada suami isteri itu.

   Pada keesokan harinya, setelah lewat tengah hari, barulah Han Beng meninggalkan suami isteri yang amat berterima kasih kepadanya itu. Bahkan Coa Siang Lee berhasil membujuk Han Beng mau mengaku sebagai saudara angkat. Upacara sederhana mereka lakukan di depan meja sembahyang. Han Beng menyebut toako dan so-so (kakak ipar perempuan) kepada suami isteri itu dan mereka menyebutnya siauw-te. Thian Ki yang masih kecil itu pun sebentar saja akrab dengan Han Beng dan menyebutnya paman.

   Ketika Han Beng pergi, suami isteri itu menjadi sedemikian terharu sehingga keduanya mengantar sampai ke tepi dusun dan ketika pemuda itu pergi, mereka tak dapat menahan mengalirnya air mata keharuan. Mereka yang sudah belasan tahun merasa terasing dan tidak pernah berhubungan dengan keluarga, seolah-olah ditinggal pergi adik sendiri yang amat berbudi dan berjasa, yang amat mereka kasihi.

   Kota Siong-an hari itu nampak ramai. Kota yang berada dekat tepi Sunga Huang-ho ini memang merupakan kota yang penting bagi para pedagang. Letaknya di daratan tinggi, lebih tinggi dari sungai sehingga di waktu Sungai Kuning itu mengamuk dengan banjirnya sekali pun, kota ini tidak pernah terendam air Karena itu, banyak orang kaya dari daerah pedusunan memiliki rumah di kota ini sebagai tempat pengungsian kala musim hujan tiba. Selain itu, juga menjadi penampung barang dagangan yang datang melalui sungai.

   Sebagai kota dagang yang banya dikunjungi pedagang dari kota lain, yan terutama sekali membutuhkan baha bangunan, kayu yang baik, dan juga rempah-rempah, kota Siong-an cepat berkembang dan di situ kini banyak terdapat rumah penginapan dan rumah makan.

   Rumah makan Hotin merupakan rumah makan terbesar di kota Siong-an. Bukan hanya terbesar, melainkan juga terbaik dan terkenal dengan hidangan yang lengkap dan lezat, dari yang murah sampai yang termahal. Karena itu, hampir setiap hari, bahkan sampai jauh malam, restoran ini dikunjungi banyak orang dari segala golongan. Para pedagang besar yang menjamu para tamunya, para pedagang dari lain kota, tentu mempergunakan restoran itu sebagai tempat pesta dan pertemuan. Juga mereka yang melancong ke kota Siong-an, untuk berperahu di Sungai Huang-ho atau hanya berbelanja di kota yang ramai dan penuh dengan toko itu, tidak lupa untuk makan pagi, makan siang, atau makan malam di restoran Hotin. Ruangannya luas, ada lotengnya, dapat menampung tamu lebih dari seratus orang. Ada belasan orang pelayan yang sigap dan trampil, seorang kasir yang ramah dan juru-juru masak yang berpengalaman. Baru memasuki ruangan restoran itu saja, para tamu sudah disambut aroma masakan yang sedap dari dapur sehingga selera mereka segera timbul dan perut mendadak terasa semakin lapar. Juga di restoran itu dijual arak Hang-couw yang amat terkenal manis, harum, dan daya mabuknya lembut.

   Hari itu, sejak pagi kota Siong-an sudah ramai sekali karena hari itu orang orang sibuk mempersiapkan pesta perayaan tahun baru Imlek! Seperti biasa jauh hari sebelumnya, pasar mendadak menjadi lebih ramai, toko-toko juga penuh dengan orang yang berbelanja untuk keperluan sembahyang dan pakaian baru. Dan hari itu merupakan hari terakhir karena besok adalah hari tahun baru.

   Restoran Hotin, sejak pagi sudah kebanjiran tamu. Kurang lebih jam delapan pagi, seorang gadis memasuki restoran yang penuh tamu itu. Kemunculan gadis ini tentu saja menarik perhatian bukan hanya karena ada seorang gadis muncul seorang diri di rumah makan umum, melainkan terutama sekali karena gadis itu bukan gadis sembarangan. wajahnya cantik jelita dan manis sekali, bibirnya yang merah basah tanpa gincu itu selalu tersenyum lucu, sikapnya lincah dan matanya kocak jenaka.
(Lanjut ke Jilid 18)

   Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
Pakaiannya indah walaupun tidak mewah, dengan warna merah muda. Rambutnya yang digelung ke atas itu dihias burung merak dari perak, dan punggungnya nampak sebuah buntalan kain kuning. Ujung kain itu diikatkan di dadanya.

   Dari sikap, juga dari buntalan kain kuning di punggung, mudah diketahui bahwa ia adalah seorang gadis kang-ouw yang biasa melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi laki-laki mana yang tidak tertarik melihat wajah yang demikian cantik jelita dan bentuk tubuh yang demikian indahnya? Semua tamu yang melihatnya, tak mudah melepaskan pandang mata mereka yang melekat pada wajah dan tubuh itu. Namun, gadis berpakaian merah muda itu tidak peduli. Agaknya sudah biasa ia menghadapi tatapan mata seperti itu dan satu-satunya cara terbaik untuk menghadapi kegenitan para pria yang memandangnya adalah pura-pura tidak melihat kekaguman mereka dan tidak peduli. Ia tahu bahwa sekali dilayani atau ditanggapi, kekurangajaran para pria itu akan semakin melonjak. Bukan ia tidak berani menanggung akibatnya, akan tetapi kalau ia harus menghajar setiap orang pria yang bersikap kurang ajar, maka setiap langkah tentu ia akan berurusan dengan seorang pria!

   Ketika seorang pelayan restoran it menyambutnya dengan sikap hormat da ramah, gadis itu pun mengikuti pelayan yang mengantarnya ke sebuah meja yang masih kosong, agak di pinggir. Meja itu kecil, diperuntukkan empat orang dengan empat buah bangku. Gadis itu menurunkan buntalan kuning, meletakkannya di atas meja dan dengan sikap gembira seolah-olah di situ tidak ada puluhan pasang mata pria menatapnya, ia memesan makanan kepada Si Pelayan.

   "Masakan apa saja yang paling leza t di rumah makan ini?" tanyanya kepada pelayan itu.

   Pelayan itu mengerutkan alisnya, mengamati gadis itu penuh perhatian. Bukan seorang gadis miskin, akan tetapi juga tidak dapat dikatakan seorang gadis bangsawan atau kaya raya, melihat pakaian dan perhiasan yang dipakainya. Akan tetapi dia harus berhati-hati karena dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang kadang-kadang dapat bersikap galak.

   "Nona, restoran kami menyediakan segala macam makanan, dari yang paling murah sampai yang paling lezat, harganya amat mahal."

   Gadis itu tersenyum dan banyak pria menelan ludah. Senyum itu! Manisnya! Lesung pipit yang mungil dan lucu muncul di kanan kiri mulut, dan sinar mata yang jeli itu seperti menari-nari.

   "Tentu saja, yang lezat itu mahal. Dan aku berani pesan yang mahal tentu mampu pula membayarnya. Hayo katakan, apa saja yang paling lezat?"

   Pelayan itu mengangguk-angguk, takut gadis itu tersinggung, lalu menghitung dengan jari tangannya.

   "Pertama ada cakar daging burung Hong, ada goreng lidah ki-lin, ada pula sup sirip raja hiu atau tim buntut badak, juga sup cakar harimau atau sup daging naga."

   Gadis itu bengong, lalu alisnya berkerut dan mukanya berubah merah, karena ia merasa dipermainkan pelayan itu "Apakah otakmu belum miring? Jangan kau main-main!"

   Pelayan itu yang kini bengong karena dia sama sekali tidak merasa bersalah tiba-tiba dimaki orang. Mukanya berubah merah dan dia menjawab dengan sungguh-sungguh dan juga dengan suara mengandung penasaran.

   "Aih, Nona. Siapa yang main-main? Kalau tidak percaya lihat saja ini daftar makanan, tentu saja kalau Nona pandai membaca!" Ucapan terakhir itu untuk membalas karena biasanya, gadis kang-ouw yang kasar mana dapat membaca tulisan? Akan tetapi, gadis itu menyambar daftar makanan yang disodorkan, membacanya lalu tersenyum. Manisnya!

   "Wah, kaumaafkan aku, ya? Habis, siapa percaya ada masakan cakar daging burung Hong, kiranya daging burung ayam! Lidah ki-lin adalah lidah sapi, sirip raja hiu hanya sirip hiu biasa, tim buntut badak hanyalah buntut kerbau, cakar harimau hanya cakar domba dan daging naga hanya daging ular, hi-hik!" Gadis itu tertawa tanpa menutupi mulutnya, namun tidak nampak kasar karena tawanya tidak terbahak, lebih mirip senyum lebar nampak deretan giginya yang putih mengkilap.

   "Nah, kalau begitu, cepat hidangkan masakan butir-butir mutiara sawah, otot-otot dewa digoreng basah, gule daging singa, ditambah buah sian-to (buah to dewa) dan minuman sorga!"

   Pelayan itu bengong, sejenak tak mampu bicara dan memandang kepada gadis itu, mulai curiga jangan-jangan gadis itu yang miring otaknya. Melihat pelayan itu bengong, gadis itu kembali tertawa.

   "Hi-hik, sekarang engkau yang bengong! Kenapa bengong dan bingung? Kutir mutiara sawah adalah nasi putih, otot-otot dewa adalah bakmi, daging singa adalah daging kambing. Buah sian-to adalah apel dan minuman sorga adalah minuman anggur, tolol kau!"

   Pelayan itu tertawa dan tersipu, dan beberapa orang tamu yang mejanya berdekatan dan mendengar percakapan itu tertawa. Setelah pelayan itu pergi untuk memesankan makanan kepada koki, gadis itu duduk seorang diri dan tidak mempedulikan pandang mata banyak pria yana ditujukan kepadanya. Bahkan mereka yang duduk membelakanginya, kini memutar leher seperti leher burung bangau, ada yang memandang dari samping, melirik sampai matanya seperti juling.

   Tiba-tiba dua orang laki-laki muda, berusia kurang lebih dua puluh tahun dan agaknya sudah setengah mabuk karena agak terhuyung, menghampiri meja gadis itu sambil menyeringai. Mereka harus diakui memiliki wajah yang cukup tampan dan melihat pakaian mereka jelas bahwa mereka adalah pemuda pemuda yang kaya.

   "Nona, bolehkah kami menemanimu? Kasihan engkau seorang diri saja makan minum, tentu kurang menggembirakan, he-he!" kata yang seorang.

   "Ha-ha, benar sekali, Nona. Jangan khawatir, semua makanan dan minuman untukmu kami yang akan bayar!" kata yang ke dua.

   Gadis berpakaian merah muda itu mengangkat muka memandang dan ia tersenyum, sama sekali tidak marah, bahkan senyumannya manis dan penuh kesabaran.

   "Terima kasih," katanya lembut.

   "Kalian baik sekali, akan tetapi sayang, saat ini aku ingin makan seorang diri saja dan tidak ingin diganggu."

   "Tapi, Nona, kami tidak mengganggu, bahkan ingin menggembirakan hati Nona!
Kami.........!

   Belum habis seorang di antara dua pemuda itu bicara, terdengar suara orang membentak,

   "Kalian ini tikus-tikus kecil sungguh tak tahu diri! Nona kalian tidak mau diganggu, mengerti?"

   Dua orang pemuda setengah mabuk itu membalikkan tubuhnya dan mereka hendak marah. Akan tetapi melihat bahwa yang berada di belakang mereka dan menegur itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh! seperti raksasa, keduanya menjadi ke takutan.

   "Maafkan, kami tidak ingin mengganggu.............."

   Akan tetapi, sekali menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan besar itu, Si Raksasa sudah mencengkeram tengkuk dua orang pemuda itu dan mengangkatnya, lalu membawanya pergi, keluar dari ruangan itu! Kemudian dia melemparkan dua orang pemuda itu keluar restoran, diiringi suara ketawa di sana-sini. Melihat betapa raksasa itu mampu mengangkat dua orang pemuda dan melemparkan mereka seperti itu, dapat dilihat betapa kuat tenaganya. Si raksasa itu kembali ke meja di mana tadi ia duduk bersama lima orang temannya dan kini dia membungkuk kepada gadis in sambil tersenyum.

   Gadis itu pun tersenyum, hanya memandang. Kiranya raksasa itu mempunya lima orang teman dan seorang di antaranya berpakaian seperti seorang hartawan, usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan yang lain agaknya merupakan pengawal, anak buah atau tukang pukulnya karena mereka itu lagak dan pakaiannya sama dengan raksasa tadi. Gadis itu melihat betapa pria yang berpakaian mewah itu memandang kepadanya, lalu mengedipkan mata kanannya dengan cara yang genit sekali, la pun tidak peduli dan membuang muka.

   Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, wajahnya yang cantik jelita dan manis itu hanya dipolesi bedak tipis, dan ia memiliki senyum memikat. Siapakah ia? Bukan lain adalah Bu Giok Cu! Seperti kita ketahui, Giok Cu pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, dan biarpun sejak berusia sepuluh tahun ia hidup di antara golongan sesat selama lima tahun lebih, namun bagaikan setangkai bunga teratai yang hidup di lumpur, ia tetap bersih dan berjiwa gagah. Akhirnya, ia bentrok dengan Ban-tok Mo-li karena melihat Mibonya itu tergila-gila kepada Hok-houw liia to Lui Seng Cu dan aliran agama barunya. Ia menentang subonya, yang melakukan pembunuhan keji terhadap muda mudi tak berdosa dan akhirnya ia bahkan dimusuhi gurunya dan hendak dibunuh. Untung ia tertolong oleh Hek-bin Hwesio, seorang pertapa sakti dari Himalaya dan ia lalu menjadi murid hwesio gendut berkulit hitam itu. Dan hampir lima tahun gadis ini digembleng sehingga bukan saja ilmu silatnya yang sudah lihai itu menjadi semakin tinggi juga ia semakin mendalami soal-soal kebatinan atau rohaniah. Bahkan ia pernah menyatakan keinginan hatinya kepada Hek-bin Hwesio untuk menjadi nikouw (pendeta wanita), namun dilarang oleh gurunya yang melihat bahwa ia tidak berbakat menjadi nikouw.

   Demikianlah, Giok Cu kini merantau, usianya sudah dua puluh dua, namun alam perantauannya itu ia belum pernah nenemukan seorang pria yang menarik atinya. Pengalaman-pengalaman yang pahit ketika ia berusia lima belas tahun, diganggu oleh pemuda-pemuda murid para tokoh sesat yang menjadi tamu subonya, kemudian pengalaman sepanjang perjalanan melihat betapa pria suka sekali mengganggunya, membuat ia tidak pernah mengagumi pria!

   Kalau saja ia belum menjadi murid Hek-bin Hwesio dan tidak memiliki kesabaran besar, dan masih menjadi murid Ban tok Mo-li, tentu tadi sudah dihajarnya dua orang pemuda itu. Akan tetap setelah menjadi murid Hek-bin Hwesio ia menjadi seorang gadis yang penyabar dan tidak mudah turun tangan menggunakan kekerasan. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa ia diam saja kalau ada yang berani mengganggunya. Hanya ia tidaklah sekeras dan segalak sebelum menjadi murid hwesio hitam itu. Bahkan ia mewarisi kejenakaan kakek gendut itu, suka tertawa dan bergurau.

   "Nona, Cukong (Majikan) kami hendak berkenalan denganmu. Dia adalah seorang hartawan besar di kota Siong-cu, hanya tiga puluh li dari kota Siong-an tidak seperti dua ekor tikus tadi, Nona. Cukong kami minta dengan hormat agar Nona suka menerima undangannya untuk makan di mejanya."

   Giok Cu kembali memandang kepada Pria yang tersenyum penuh gaya itu. la tidak marah, hanya merasa jemu dengan gangguan-gangguan, maka ia hanya menjawab,

   "Terima kasih, aku ingin makan sendiri saja di mejaku sendiri."

   "Boleh, boleh, Nona Manis," kata pria kaya itu, lalu berkata kepada jagoannya yang seperti raksasa tadi,

   "A-lok, kita pindahkan meja Nona itu bersambung dengan meja kita dan ia boleh makan di mejanya sendiri, bukan?"

   A-lek, Si Raksasa itu terkekeh dan sambil menyeringai, dia menghampiri meja Giok Cu. Gadis itu diam-diam mendongkol sekali, akan tetapi ia masih tersenyum manis dan meletakkan tangan kirinya di atas meja. Ketika A-lok hendak mengangkat meja itu, diam-diam ia mengerahkan sin-kang yang disalurkan ke tangan kiri itu dan menekan meja. A-lok menggunakan kedua tangan memegang meja dan mengerahkan tenaga mengangkat. Akan tetapi, dia terkejut bukan main! Meja itu sama sekali tidak dapat diangkatnya. Apalagi terangkat, bergerak pun tidak, seolah-olah empat buah kaki meja itu tertanam ke dalam lantai. Di menjadi penasaran. Kalau perlu, andaikata benar empat kaki meja itu tertanam ke dalam lantai, hendak dijebolnya! Kembali dia mengerahkan tenaganya, namun tetap saja meja itu tidak bergerak.

   "ALOK, pindahkan meja itu ke sini!" teriak lagi cukongnya karena seperti orang lain, dia belum tahu akan peristiwa aneh itu. Hanya Alok sendiri yang merasakan keanehan itu. Dia, yang dengan mudahnya mengangkat dua orang pemuda tadi dan melemparkan mereka, kini tidak kuat mengangkat sebuah meja kecil yang ringan! Siapa yang akan dapat percaya?

   "Hei, kerbau gila! Jangan ganggu Nona itu!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki yang duduk bersama dua orang pria lain di meja sebelah kanan Giok Cu.

   Mendengar dia dimaki kerbau gila, tentu saja Alok menjadi marah bukan main. Dia adalah tukang pukul nomor itu dari hartawan Teng dari kota Siong-cu, dan di kota itu dia terkenal ditakuti orang, bahkan nama besarnya sudah banyak didengar orang di Siong-an. Bagaikan seekor kerbau gila benar, dia membalikkan tubuh meninggalkan meja depan Giok Cu dan memandang ke arah tiga orang yang duduk makan minum di meja itu. Mereka adalah tiga orang pria yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Wajah dan bentuk badan mereka biasa saja, tidak mengesankan, akan tetapi warna pakaian mereka yang menarik perhatian karena mereka bertiga memakai pakaian yang berwarna kuning, seperti pakaian seragam saja.

   Melihat bahwa orang yang memakinya hanya orang "biasa", kemarahan Alok memuncak.

   "Siapa di antara kalian bertiga yang telah berani memaki aku tadi?"

   "Memaki engkau apa?" Serentak tiga orang berpakaian kuning itu bertanya.

   "Memaki aku kerbau gila!" kata Alok dan tiga orang itu pun tertawa bergelak, juga beberapa orang tamu yang mendengarkan ikut tertawa. Tadinya Alok tidak menyadari, akan tetapi kemudian ia teringat bahwa jawabannya tadi menjadi pengakuan bahwa dia kerbau gila! Dia telah dipancing dan dipermainkan tiga orang berpakaian kuning itu.

   "Keparat, kalau kalian memang laki-lakidan bukan pengecut, hayo maju kesini!" tantang Alok dengan marah sekali.

   Orang termuda dari tiga orang pria berpakaian kuning itu bangkit berdiri. Hemmm, kau ini kerbau gila hendak jual lagak di sini, ya?" Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan nampaklah sebuah cambuk berwarna kuning emas.

   "Tar-tarrr-tarrrrr.........!" Cambuk itu mengeluarkan suara meledak-ledak dan sinar kuning emas menyambar-nyambar ke arah tubuh Alok. Raksasa itu terkejut dan mencoba mengelak, akan tetapi tetap saja ujung cambuk itu mematuk-matuk dan pakaiannya robek di sana-sini ditambah kulit tubuhnya nyeri seperti disengat lebah! Dia pun bergulingan ke tas lantai dan ketika dia sudah meloncat bangun, dia sudah mencabut golok besarnya. Dengan marah dia lalu menerjang ke arah orang yang memegang cambuk dan yang berdiri sambil tertaw tawa itu. Akan tetapi, sebelum tubuhnya mendekat, Si Baju Kuning itu sudah menggerakkan cambuknya lagi.

   "Tar-tarr-tarrr....................!" Golok yang berada di tangan Alok terbang dan terlepas dari pegangannya, dan kembali dia menjadi bulan-bulanan lecutan cambuk itu
yang bertubi-tubi. Pakaian Alok kini sudah tidak karuan lagi macamnya, dan mukanya bergaris-garis merah dan berdarah.

   "Kim-bwe Sam-houw ......... (Tiga Harimau Ekor Emas)!" Terdengar seorang di diantara lima tukang pukul hartawan Teng dari Siong-Cu itu berseru dan barulah Alok sadar bahwa yang dihadapinya adalah tiga orang tokoh besar yang terkenal lihai dan ditakuti semua orang kang-ouw di daerah itu!

   "Bagus, kalian sudah mengenal kami! kata Si Baju Kuning yang menghajar Alok tadi.

   "Hayo cepat kalian pergi!" Dan cambuknya kembali menyambar-menyanbar, kali ini ke arah hartawan Teng dari empat orang tukang pukulnya yang lain. Mereka mengaduh-ngaduh dan setelah cambuk itu berhenti menari-nari, lima orang itu masing-masing mendapat tanda guratan melintang pada muka mereka, guratan yang cukup dalam sehingga nampak merah dan ada pula yang berdarah! Tanpa banyak cakap lagi hartawan Teng dan lima orang tukang pukulnya meninggalkan restoran itu dan membayar uang makanan di luar. Yang paling parah adalah Alok sehingga dia harus dipapah oleh seorang rekannya.

   Tadi, banyak diantara para tamu yang ketakutan. Akan tetapi setelah enam orang itu pergi dan suasana kembali tenang, mereka melanjutkan makan dengan tergesa-gesa dan ada pula yang segera meninggalkan tempat itu. Akan tapi, makanan yang dipesan Giok Cu baru tiba dan gadis itu pun makan minum dengan tenangnya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di dekatnya. Hanya diam-diam ia memperhatikan tiga orang berpakaian kuning yang disebut Kim-bwe Sam-houw itu, dan merasa penasaran karena tidak suka melihat kekejaman mereka ketika menghajar enam orang tadi. Si raksasa tadi memang pantas dihajar, akan tetapi lima orang lainnya tidak melakukan sesuatu yang pantas membuat mereka menjadi korban cambuk. Juga ia melihat kesombongai membayang di wajah tiga orang berpakaian kuning itu, apalagi ketika mereka itu memandang kepadanya dengan senyum yang angkuh namun tetap saja mengandung kegenitan.

   "Hemmm, cantik dan manisnya memang mengagumkan. Akan tetapi sayani sekali, orangnya begitu cantik namuil tidak mengenal budi orang!" Suara ini lirih akan tetapi terdengar jelas oleh Giok Cu dan ia tahu bahwa yang bicara adalah seorang di antara tiga pria berpakaian kuning itu, dan ia merasa bahwa ialah yang dimaksudkan oleh orang yang bicara itu.

   "Memang ia tidak sopan, padahal baru saja kami membebaskannya dari cengkeraman sekelompok serigala." suara kedua.

   "Aihhhhh, mungkin ia malu. Sebaiknya malam nanti kita berkunjung ke kamarnya." suara ke tiga menyusul dan ucapan terakhir ira membuat muka Giok Cu menjadi agak kemerahan karena ia tersinggung sekali.

   "Memang sebaiknya begitu, akan tetapi sekarang juga kita dapat memberinya peringatan agar malam nanti ia tidak sombong dan tidak banyak rewel lagi, bersikap ramah kepada kita," kata pula suara pertama.

   Giok Cu semakin mendongkol, akan tetapi ia sudah banyak menerima gemblengan batin dari Hek-bin Hwesio maka ia mampu membiarkan kemarahannya lewat tanpa mempengaruhinya. Ia tetap makan walaupun kini ia waspada sekali terhadap tiga orang pria berpakaian kuning itu.

   Tiga orang pria itu masing-masing menjumput sebutir kacang goreng di atas meja mereka, kemudian mereka mempergunakan telunjuk menyentil kacang itu ke arah Giok Cu. Tentu saja mereka membidik sasaran bagian tubuh yang tidak akan membahayakan, dan mengatur tenaga sentilan mereka karena mereka hanya ingin memperingatkan gadis itu bukan hendak menyerangnya. Begitu tiga butir kacang itu meluncur, Giok Cu yang sudah mengetahuinya lalu menggerakkan tangan kirinya, gerakan seperti orang mengusir lalat dan mengomel,

   "Ihh begini banyak lalat di sini!"

   Tiga orang yang terkenal dengan julukan Kim-bwe Sam-houw itu terkejut bukan main ketika melihat betapa tiga butir kacang yang mereka sentil ke arah gadis itu tiba-tiba meluncur kembali ke arah mereka dengan cepat sekali. Mereka terpaksa merendahkan tubuh sehingga tiga butir kacang itu lewat di atas kepala! Giok Cu melihat hal ini dan ia terkejut bukan main melihat betapa tiga butir kacang itu kini meluncur ke arah seorang pemuda yang mengenakan sebuah caping lebar dan yang kebetulan duduk di meja sebelah tiga orang berpakaian kuning itu!

   Lebih kaget dan kagum hatinya melihat betapa pemuda itu, yang mukanya tersembunyi di balik caping lebar, tanpa menggerakkan kepala sehingga tentu dia tidak melihat datangnya tiga butir kacang yang menyambar, menjulurkan tangan kirinya dan sekali tangan kiri itu menggapai, tiga butir kacang itu telah ditangkapnya! Kini, caping itu merosot turun ke punggung dan nampaklah wajah pemuda itu. Wajah yang tampan dengan sepasang mata yang lincah jenaka dan tajam sinarnya. Hidungnya besar mancung dan bibirnya merah penuh gairah. Pakaian pemuda itu menunjukkan bahwa dia seorang pelajar atau pakaian yang biasa dipakai para sastrawan dan terpelajar. Pemuda itu memandang kearah Giok Cu dan senyumnya amat menarik sehingga Giok Cu memandang dengan kagum. Hanya sebentar saja pemuda itu memandang Giok Cu. Lalu ia memandang kepada tiga orang pria berpakaian kuning itu dan ia tersenyum lebar.

   "Aha, memang banyak lalat, terutama tiga ekor lalat kuning yang amat menjemukan harus diusir agar tidak mengurangi selera makan!" berkata demikian, tiba-tiba tangannya bergerak dan tiga butir kacang itu sudah meluncur dengan kecepatan kilat kearah Kim bwe Sam-houw. Tiga orang ini sama sekali tidak menduganya. Mereka tadi tidak melihat betapa pemuda bercaping itu menangkap tiga butir kacang, maka begitu mendengar ucapan pemuda itu, mereka menengok pada saat tiga butir kacang itu meluncur. Mereka tidak mungkin mengelak lagi dan tiga butir kacang itu dengan tepat mengenai muka mereka! Seorang terkena hidungnya, seorang terkena pipinya dan orang ke tiga terkena dahinya. Mereka menahan teriakan karena biarpun hanya kacang goreng, akan tetapi karena dilepas dengan kekuatan yang hebat, maka muka yang terkena kacang itu terasa cukup nyeri, terutama dia yang terkena hidungnya. Ada tanda merah pada hidung, dahi dan pipi itu. Serentak mereka bangkit berdiri dan memandang kepada pemuda bercaping itu dengan marah.

   "Jahanam! Apakah telingamu tuli matamu buta?" bentak orang pertama dari Kim-bwe Sam-houw yang tadi terkena lemparan karang pada hidungnya "Andaikata engkau tuli, tentu engkau tidak buta dan dapat melihat dengan siapa engkau berhadapan. Kami adalah Kim-bwe Sam-houw, dan berani engkau mengganggu kami?"

   Pemuda itu menyumpit sepotong daging dan memasukkannya ke mulut, lalu mengunyahnya, agaknya tidak tergesal gesa menjawab walaupun dia sudah memandang kepada mereka bertiga. Setelah daging itu hancur lembut dan ditelannya, barulah dia menjawab,

   "Tidak ada yang mengganggu tiga ekor lalat kuning! Biasanya, lalat kuning yang suka mengganggui orang!"

   Jawaban itu membuat Giok Cu tersenyum. Pemuda itu sungguh berani dan jenaka, dan melihat cara dia tadi melempar tiga butir kacang, mudah diduga bahwa tentu pemuda bercaping yang tampan itu memiliki ilmu kepaindaiain yang lumayan. Betapapun juga, ia pun tahu betapa lihainya cambuk emas dari tiga orang pria berpakaian kuning itu, maka diam-diam Giok Cu mengambil keputusan untuk melindungi pemuda bercaping kalau-kalau dia terancam bahaya.

   Tiga orang Kim-bwe Sam-houw semakin marah. Mereka ketiganya menjadi korban lemparan kacang, maka kini ketiganya mengeluarkan cambuk emas mereka yang tadi sudah memperlihatkan kelihaiannya ketika seorang di antara mereka menghajar hartawan dari Siong-cu tadi bersama lima orang tukang pukulnya. Melihat ini, para tamu yang masih berada di situ, menjadi ketakutan dan mereka yang mejanya berdekatan, segera meninggalkan meja walaupun makanan mereka belum habis. Kini yang nampak di bagian ruangan itu hanyalah Si Pemuda bercaping, Giok Cu, dan tiga orang pria berpakaian kuning itu. Giok Cu masih tenang-tenang saja makan nasi dan bakminya, seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depannya.

   Tiga orang Kim-bwe Sam-houw sudah bangkit berdiri dan berjajar menghadapi pemuda bercaping yang masih duduk dengan tenangnya, biarnya terkesan mengejek dan matanya yang jenaka memandang kepada tiga orang yang marah-marah itu.

   "Keparat! Bangkitlah dan lawanlah kami kalau engkau memang laki-laki tantang seorang di antara Kim-bwe Sam-houw. Tiba-tiba, pemilik rumah makan itu datang berlari-lari, lalu sambil membungkuk-bungkuk kepada Kim-bwe Sam-houw, dia berkata, suaranya jelas membayangkan ketakutan.

   "Mohon dengan hormat agar Sam-wi (Tuan Bertiga) menghentikan keributan ini."

   Baru saja pemilik rumah makan bicara sampai di situ, orang termuda dari Kim-bwe Sam-houw yang tadi terkena lemparan kacang tepat pada hidungnya membentak,

   "Tutup mulutmu! Apak engkau ingin pula merasakan kerasnya cambukku?" Orang itu bertubuh tinggi kurus seperti pohon bambu, dan hidungnya besar maka mudah menjadi sasaran lemparan kacang tadi.

   Akan tetapi pemilik rumah makan itu tidak mau pergi, melainkan memberi hormat dan berkali-kali mengangkat kedua tangan ke depan dada dan mengangguk-angguk.

   "Harap Eng-hiong (Orang gagah) tidak marah dan dengarkan dulu keterangan saya. Ruangan ini akan dilukai oleh rombongan Cang Tai-jin, pesanan mendadak dan itu rombongannya sudah hampir tiba di sini. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) pindah ke ruangan samping dan harap jangan membuat keributan."

   Mendengar bahwa ruangan itu akan dipergunakan rombongan Cang Tai-jin, sikap tiga orang jagoan itu berubah. Mereka adalah tiga orang yang menjadi kaki tangan atau pembantu utama dari pembesar itu, walaupun hanya sebagai orang-orang sewaan apabila diperlukan, bukan pegawai resmi. Maka, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi dan biarpun mereka bertiga melotot ke arah pemuda yang masih mengenakan caping merahnya itu, namun mereka tidak berani lagi membuat ribut, bahkan mereka ikut pula menyambut ke luar rumah makan karena rombongan itu sudah datang didahului oleh pasukan pengawal.

   Pemuda bercaping merah itu hanya mengangguk ketika pelayan menghampirinya dan minta dengan hormat agar di suka pindah duduk di ruangan samping "Biarlah kami yang akan memindahkan hidanganmu, Kongcu (Tuan Muda)," kata para pelayan. Juga beberapa orang pelayan menghampiri Giok Cu dan menawarkan hal yang sama. Melihat pemuda itu mengangguk, Giok Cu yang masih ingin tahu kelanjutan dari pertengkaran tadi, juga karena memang ia belum selesai makan, mengangguk. Hatinya memang mendongkol terhadap gangguan itu karena baginya tidak pada tempatnya kalau para tamu rumah makan umum harus mengalah terhadap pembesar yan manapun juga. Akari tetapi, ia tidak dapat menyalahkan pemilik rumah makan yang tentu saja takut dan tunduk terhadap pejabat setempat yang berkuasa penuh. Kebetulan sekali, tanpa disengaja karena mereka berada dalam keadaan panik dan tegang sehubungan dengan peristiwa keributan tadi yang disusul Kunjungan rombongan Cang Tai-jin yang tiba-tiba, para pelayan itu memindahkan hidangan Giok Cu diatas sebuah meja yang bersebelahan dengan meja pemuda bercaping merah itu. Dan agaknya tanpa disengaja, mereka duduk saling berhadapan, terhalang kedua buah meja.

   Ketika Giok Cu mengangkat muka memandang, ia bertemu pandang dengan sepasang mata yang amat tajam mencorong dan bagian hitam mata itu amat hitam sehingga menambah ketajaman pandang mata itu. Sejenak saja mereka saling pandang, sinar mata mereka bertaut, kemudian pemuda bercaping merah itu tersenyum dan bangkit berdiri sambil mengangkat tangan ke depan dada dan menjura.

   "Aku mohon maaf, Nona, bukan maksudku hendak bersikap kurang ajar karena berani menyapamu, akan tetapi agaknya memang nasib telah mempertemuan kita dengan peristiwa tadi. Aku Can Hong San merasa berbahagia sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan Nona yang memiliki ilmu kepandaian tinggi."

   Kalau saja kata-kata dan sikap pemuda bercaping merah itu menunjuk kekurangajaran, sudah pasti Giok Cu tidak akan sudi melayaninya. Akan tetapi, pemuda bernama Can Hong San itu bersikap amat sopan, bicaranya halus kata-katanya indah menunjukkan bahwa dia terpelajar, maka iapun merasa senang dan tidak enak kalau tidak melayani. Giok Cu bangkit berdiri pula dan membalas penghormatan orang.

   "Terima kasih, Saudara Can Ho San. Engkau terlalu memuji. Namaku Giok Cu dan aku pun girang dapat berkenalan dengan engkau."

   Sepasang mata yang hitam tajam itu berkilat tanda bahwa dia bergembir asekali. Hong San mengisi cawannya dengan arak, kemudian mengangkat cawan Itu sambil memandang kepada Giok Cu.

   "Nona Bu Giok Cu, maukah engkau menghabiskan secawan arak bersarnak untuk menghormati perkenalan kita ini?"

   Giok Cu tersenyum. Ia pun mengisi cawannya dengan anggur dan mereka berdua mengangkat cawan masing-masing sambil tersenyum dan minum isinya sampai habis. Setelah menurunkan kembali cawan kosong di atas meja, Hong San mengangguk hormat.

   "Terima kasih, Nona Bu. Engkau sungguh berbudi dan ramah sekali, di samping gagah perkasa."

   Giok Cu tersenyum, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkan wajah girang mendengar pujian itu.

   "Harap jangan terlalu memuji!"

   Pada saat itu, terdengar canang dipukul dan nampaklah serombongan pasukan pengawal memasuki pintu depan rumah makan dan mereka berdiri berbaris disepanjang pintu masuk. Kepala pasukan pengawal masuk dan berseru kepada pemilik rumah makan yang menyambut tergopoh-gopoh.

   "Apakah tempat pesta untuk Cang Tai-jin sudah dipersiapkan?"

   "Sudah............ sudah ............... ruangan ini telah dikosongkan dan dibersihkan."

   Komandan itu lalu memeriksa dengan pandang matanya yang tajam. Dia mengerutkan alisnya melihat seorang pemuda dan seorang gadis makan ruangan samping yang terhalang tembok pendek. Melihat ini, pemilik rumah makan segera menghampirinya.

   "Mereka itu tamu-tamu dari luar kota yang sedang makan. Akan tetapi sudah saya minta pindah ke ruangan samping yang tidak terpakai. Ruangan ini saya kira sudah cukup luas untuk rombongan Cang Tai-jin."

   Karena pemuda dan gadis itu tidak mendatangkan kesan berbahaya, komandan itu mengangguk, lalu keluar lagi. Tak lama kemudian, terdengar bunyi kaki kuda dan roda kereta, dan sebuah kereta besar berhenti di depan rumah makan Ho-tin yang terkenal memiliki hidangan! lezat dan juga merupakan rumah makan terbesar di kota Siong-an. Seorang pria gendut berjenggot panjang turun dari kereta, dibantu oleh para pengawal. Usianya sekitar lima puluh tahun, dari pakaiannya mewah, pakaian seorang pembesar. Dia adalah Cang Tai-jin, kepala daerah kota Siong-an yang berkuasa di kota itu dan sekitarnya. Para pengawal Itu nampaknya amat hormat kepadanya ketika membantunya turun dari kereta, bahkan ada yang cepat berlutut membersihkan sepatu pembesar itu dari debu, menggunakan lengan bajunya!

   Akan tetapi pembesar itu sendiri agaknya tergesa-gesa, mendorong para pengawal yang membantunya setelah dia berada di bawah kereta, kemudian dia sendiri menyingkap tirai kereta sambil membungkuk hormat dan berkata dengan suara merendah,

   "Silakan, Tai-jin, silakan turun dari kereta. Mari, pergunakan kedua tangan saya untuk berpijak." Cang Tai-jin sudah merangkap kedua tangan agar menjadi tempat berpijak bagi orang yang hendak turun, karena dari kereta ke atas tanah memang agak tinggi sehingga tanpa pijakan perantara, akan menyulitkan bagi seorang pembesar yang mengenakan pakaian kebesaran.

   Sebuah kepala menguak keluar dari tirai dan nampaklah tubuh seorang pria berusia lima puluh lima tahun yang kurus tinggi, wajahnya dingin berwibawa. Melihat sikap Cang Tai-jin yang menjadi tuan rumahnya, pembesar tinggi kurus itu menggeleng kepalanya.

   "Harap Cang Tai-jin jangan repot-repot, biar pengawalku saja yang mermbantuku turun." Dia lalu memberi isyarat kepada seorang pengawal yang bersama dua belas orang anak buahnya mengawal di belakang kereta itu. Komandan pengawal itu cepat berlari menghampiri dan dia membantu pembesar tinggi kurus itu turun dari kereta.

   Sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat, dengan mulut menyeringai, kini pembesar setempat yang menjadi tua rumah itu mempersilakan tamunya untuk memasuki rumah makan. Tamunya itu disebut Liu Tai-jin (Pembesar Liu) yan berpangkat lebih tinggi dan datang dari kota raja, melakukan tugasnya sebaga utusan jaksa Tinggi di kota raja untuk melakukan inspeksi dan penyelidikan terhadap para pejabat di daerah. Semua pejabat sudah mendengar bahwa Jaksa Tinggi mengutus seorang petugas melakukan penyelidikan di sepanjang Sungai Kuning, maka tentu saja setiap kali datangi sebuah kota, dia disambut nn dielu-elukan oleh para pejabat daerah. Apalagi tugasnya itu sungguh amat mendatangkan rasa takut dalam hati para pejabat.

   Ketika dua orang pembesar ini measuki ambang pintu, mereka disambut oleh pemilik rumah makan dan semua karyawannya. Yang disambut adalah Cang Tai-jin, karena mereka semua tentu saja ikut kepada kepala daerah ini.

   "Selamat datang, Cang Tai-jin yang dia......... !" seru pemilik rumah makan itu, diikuti oleh para karyawannya dan icreka semua berlutut, seperti menghadap seorang kaisar saja Melihat penyambutan ini, sejenak Cang Tai-jin tersenyum menyeringai dengan girang, akan tetapi segera dia tergopoh-gopoh berkata.

   "Jangan memberi hormat kepadaku saja! Hayo cepat kalian sambut dengan penuh kehormatan kepada Liu Tai-jin dari kota raja ini!"

   Melihat sikap pembesar setempat itu demikian hormatnya kepada tamunya, pemilik rumah makan dan para karyawannya terkejut, maklum bahwa tentu pembesar tinggi kurus yang disebut Liu Tai-jin itu lebih tinggi pangkatnya.

   "Selamat datang, Liu Tai-jin yang mulia............!" Mereka berseru dan kini mereka memberi hormat kepada Liu T-jin.

   Pembesar tinggi kurus itu menggerakkan tangan kanannya dengan sikap tak sabar.

   
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sudahlah, kalian bangkitlah bekerja!" katanya. Pemilik rumah makan dan para karyawannya segera bangkit dan dua orang tamu agung itu persilakan duduk di tempat kehormatan. Sebuah kereta ke dua muncul dan turunlah sepuluh orang gadis cantik dengan pakaian warna-warni, mereka masuk diikuti oleh serombongan penabuh musik.

   Segera tempat itu penuh dengan bau harum yang keluar dari pakaian para penari dan penyanyi itu, dan tak lama kemudian, setelah semua pemain musik dan gadis penghibur itu memberi hormat kepada dua orang pejabat tinggi, terdengar suara musik mengiringi nyanyian dan tarian para gadis itu.

   Pesta pun dimulai, hidangan lezat yang masih mengepul panas dikeluarkan dan dua orang pembesar itu mulai makan minum sambil menoton tarian lemah gemulai dan nyanyian yang merdu merayu. Suasana menjadi gembira sekali. Para pasukan pengawal menjaga tempat itu dengan ketat, bahkan orang-orang yang menonton di luar rumah makan, diusir pergi. Tamu-tamu baru hanya diperkenankan masuk melalui pintu samping yang langsung menuju ke ruangan samping di mana Giok Cu dan Hong San masih duduk. Mereka sudah selesai makan, akan tetapi memperpanjang waktu duduk mereka dengan memesan tambahan minuman dan makanan kecil. Sejak tadi, kedua orang muda ini nonton pertunjukan yang mereka anggap amat menarik itu. Para penyanyi dan penarinya, selain cantik-cantik, juga pandai. Mereka adalah gadis-gadis penghibur yang paling terkenal, didatangkan Cang Tai-jin dari lain kota dengan bayaran mahal.

   Tiba-tiba pemuda bercaping lebar tertawa lirih sehingga Giok Cu menengok dan memandang kepadanya. Pemuda itu sedang memandang ke arah dua orang pembesar, dan seolah-olah dia tahu bahwa suara tawanya itu menarik perhatian Giok Cu, karena dia segera berkata "Nona Bu, lihat, bukankah pembesar gendut itu sungguh merupakan seorang penjilat besar? Orang sekitarnya bersikap hormat dan menjilat kepadanya, dan lihai sikapnya ketika menemani dan melayani pejabat tinggi kurus itu. Menjilat-jilat yang berlebihan sekali!" Kembali Ho San tertawa lirih dan melanjutkan.

   "Dia seperti seekor babi gemuk yang mendengus-dengus, ha-ha!"

   Giok Cu juga tersenyum geli. Mereka berani bicara lirih karena kegaduhan dan nyanyian itu membuat mereka dapat leluasa bicara tanpa khawatir terdengar dua orang pembesar itu.

   "Hemmm, orang yang suka menjilat ke atas biasanya suka pula menginjak ke bawah. Contoh seorang pembesar yan korup dan sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya!" Giok Cu berkata dengan sikap muak membayangkan sikap sebagian besar pembesar yang wataknya seperti itu.

   "Aku ingin sekali melihat mereka semua itu telanjang!" Hong San kembali tertawa. Giok Cu memandang kepadanya dengan alis berkerut.

   "Telanjang? Apa maksudmu?" la curiga kalau-kalau pemuda yang mendatangkan rasa kagum dalam hatinya itu ternyata hanya seorang pemuda hidung belang dan kata-katanya tadi dimaksudkan untuk melihat para gadis penghibur itu telanjang!

   "Ya, bertelanjang bulat! Ha-ha, tentu lucu sekali melihat pembesar itu telanjang bersama pengawalnya dan para karyawan rumah makan. Mereka hanya merupakan sekumpulan orang telanjang, seperti babi-babi yang tidak ada perbedaannya, hanya gemuk dan kurus tentu saja, akan tetapi tak seorang pun tahu mana pembesarnya, mana pengawal dan mana pula pelayan rumah makan! Aku berani bertaruh, tak seorang pun yang akan tahu perbedaannya!"

   Giok Cu tertawa. Kiranya itu yang dimaksudkan pemuda yang gembira itu "Aku tahu perbedaan antara mereka kalau mereka ditelanjangi!"

   Hong San menghentikan tawanya tiba-tiba saja dan mukanya berubah aneh seperti orang marah.

   "Eh? Engkau tahu perbedaannya?" tanyanya, dan matanya penuh rasa penasaran, Giok Cu tidak melihat perubahan ini dan ia pun menjawab sambil tersenyum.

   "Si Pejabat akan memaki-maki dan mengancam yang menelanjangi, pengawalnya akan mencak-mencak dan mengamuk, sedangkan karyawan itu hanya akan menangis dan minta ampun."

   Berubah pula pandang mata Hong San dan kini dia tertawa bergelak sehingga Giok Cu menoleh ke ruangan tengah, khawatir kalau suara ketawa itu akan mengganggu pesta pembesar.

   "Ha-ha-ha, engkau benar, Nona Bu, Akan tetapi itu pun karena mereka masih mengenakan pakaian ke dua, yaitu! kedudukan dan pangkat. Coba kalau pada suatu hari pembesar itu dipecat dan seorang karyawan diangkat menggantikan pangkatnya, tentu keadaannya menjadi terbalik pula. Ha-ha-ha!"

   Giok Cu tertawa pula dan mengangguk. la teringat akan wejangan yang pernah di dengarnya dari gurunya yang ke dua, yaitu Hek-bin Hwesio. Pendekar Sakti itu pernah bicara tentang penghormatan yang dilakukan orang pada umumnya dengan menceritakan sebuah peristiwa. Seorang pemuda meninggalkan kampungnya sampai bertahun-tahun dan dia berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Pada suatu hari, dia pulang ke kampungnya dan sengaja mengenakan pakaian biasa, pakaian petani sederhana eperti ketika dia berangkat dan dikunjungilah seorang sahabatnya. Sahabat ini menerimanya dengan acuh, bahkan sikapnya menghina seolah kedatangannya itu hanya mengganggu saja, dan ada kecurigaan kalau-kalau dia datang untuk berhutang! Sikap sahabatnya ini membuat dia penasaran dan dia pun pergi. Beberapa hari kemudian dia datang kembali, sekarang mengenakan pakaian indah dan serba mahal, serba baru. Seketika sikap sahabatnya itu berubah. Dia diterima dengan ramah,dipersilakan duduk dan dijamu hidangan yang enak! Pemuda itu lalu menanggalkan baju dan sepatunya, menggantungkan baju di kursi, menaruh sepatu di meja dan dia pun dengan sikap hormat mempersilakan baju dan sepatu itu untuk makan minum. Sahabatnya menegur sikapnya yang aneh ini dan dia menjawab,

   "Bukankah yang kauhormat itu pakaian dan sepatuku? Bukan diriku yang kausuguh hidangan, melainkan pa kaian dan sepatuku inilah!"

   Demikianlah cerita gurunya itu dan ia pun mengerti. Penghormatan yang kita lakukan ini, yang disebut kebiasaan umum, sesungguhnya hanyalah merupakan pemujaan terhadap benda, kekuasaan kedudukan mulia, kecantikan, kepandaian dan sebagainya. Bukan manusianya yang dihormati, melainkan yang melekat pada si manusia pada saat itu. Seorang pembesar dihormat sampai berlebihan karena kedudukannya yang tinggi, kekuasaannya yang besar, karena si penghormat ini memiliki pamrih, karena si penghormat ini dikuasai oleh daya rendah dan nafsu. Namun, begitu si pembesar kehilangan kedudukan dan kekuasaannya, maka penghormatan itu pun akan lenyap dengan sendirinya!

   Karena itu, bagi seorang bijaksana, tidak akan silau oleh segala kelebihan lahiriah itu, tidak akan menjilat dan memuja orang yang kebetulan memiliki kelebihan lahiriah. Juga dia tidak akan mabuk oleh kelebihan lahiriah kalau kebetulan dia yang memiliki, karena semua itu hanya sementara saja, tidak abadi. Kasih sayang antar manusia bukan kasih sayang yang terdorong oleh kelebihan lahiriah, melainkan kasih sayang antara manusia itu sendiri. Jauh lebih baik miskin lahiriah namun kaya batiniah daripada miskin batiniah kaya lahiriah, walaupun tentu saja sebaiknya adalah kaya akan kedua-duanya. Dalam arti kata, secara lahiriah, dia memiliki kedudukan yang baik dan kehidupan yang serba cukup, juga secara batiniah dia memiliki kasih sayang terhadap semua manusia, berbudi baik dan selalu mentaati petunjuk Tuhan.

   Segala yang nampak gemerlapan, seperti kepandaian, kecantikan, kekayaan atau kedudukan, semua itu dapat lenyap. Pemujaan terhadap semua itu hanya menunjukkan ketamakan karena dorongan nafsu. Pemujaan dari orang lain, terhadap diri kita yang sedang ada kelebihan lahiriah adalah palsu. Pemujaan dan penjilatan itu sewaktuk-waktu dapat berubah menjadi kebencian. Oleh karena itu, siapa berpegang kepada kelebihan lahiriah untuk mendapatkan kebahagiaan, takkan pernah berhasil. Yang didapatkan melalui nafsu hanyalah kesenangan, dan kesenangan adalah saudara kembar kesusahan yang setiap waktu akan menggantikan kedudukan saudara kembarnya.

   Manusia itu sama, dalam arti kata sama-sama sempurna sebagai ciptaan Tuhan, sama-sama menerima berkah berlimpah dari Yang Maha Kasih. Yang berbeda itu hanyalah pakaian, termasuk kebudayaan, tradisi, agama, pangkat kedudukan, harta, kulit dan sebagainya. kalau kulit pembungkus tubuh dan daging sudah rusak habis oleh kematian, apa yang tinggal? Kerangka dan tengkorak. Sama pula, tidak ada lagi yang cantik atau yang buruk, yang kaya atau yang miskin. Yang tinggal berbeda mungkin hanya bentuk nisan kuburannya!

   Giok Cu semakin tertarik kepada pemuda yang selain tampan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, ternyata juga halus tutur sapanya dan luas pula pandangannya itu. Sebaliknya, Hong San kini sudah tergila-gila benar kepada Giok Cu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis seperti Giok Cu. Biarpun dia hanya mencuri-curi pandang, dia sudah melihat jelas betapa gadis itu lincah jenaka, gembira dan penuh gairah hidup, wajahnya demikian cantik jelita dan manis, dengan dandanan yang rapi dan pantas walaupun tidak terlalu pesolek. Memang sejak menjadi murid Hek-bin Hwesio, Giok Cu tidak begitu pesolek lagi seperti ketika ia masih menjadi murid Ban tok Mo-li. Kini pakaian dan dandanan rambutnya rapi dan segalanya nampak bersih, namun cukup sederhana, tidak mewah.

   Tiba-tiba Hong San memberi isyarat kepada Giok Cu untuk mendengarkan. Mereka berdua mengerahkan tenaga kearah pendengaran mereka yang menjadi peka sekali sehingga mereka dapat mendengarkan percakapan antara kedua orang pembesar itu.

   "Ha-ha-ha, kami merasa terhormat dan gembira sekali menerima kunjungan Liu Taijin. Seperti Tai-jin lihat, keadaan di sini baik-baik saja, semua pekerjaan berjalan dengan lancar dan kami selalu berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan pemerintahan yang baik," antara lain Cang Tai-jin berkata dengan menyeringai, sikapnya merendah dan menjilat.

   Wajah yang dingin dari Liu Taijin tidak berubah, akan tetapi matanya menatap tajam wajah tuan rumah, lalu terdengar dia berkata,

   "Akan tetapi bagaimana dengan pelaksanaan pengumpulan tenaga kerja untuk melancarkan jalannya pembangunan terusan, Cang Tai-jin?"

   "Ah, hal itu juga terjadi dengan lancar dan baik-baik saja. Bukankah kami telah mengirim ribuan orang pekerja dari daerah kami ini ke tempat pembangunan terusan? Kami sudah membantu banyak..........."

   "Lalu apa artinya berita yang kami terima tentang pemaksaan tenaga kerja, penekanan dan uang tebusan bagi mereka yang mampu membayar agar terbebas dari tenaga paksaan?" Kini sepasang mata pembesar tinggi kurus dari kota raja itu menatap wajah tuan rumah penuh selidik. Sejenak wajah Si Pembesar Gendut itu berubah agak pucat, akan tetapi dia lalu membungkuk-bungkuk dan menyeringai lebar, lalu berkata lebih lirih.

   "Aih, Liu Taijin yang mulia, tidak perlu mempercayai kabar angin seperti itu! Tidak pernah terjadi hal demikian. Memang ada beberapa orang yang kami hukum, akan tetapi mereka itu memang membandel dan memberontakt menghasut penduduk agar tidak membantu pemerintah. Padahal, karmiselalu menyerahkan uang bagi mereka yang menjadi sukarelawan membangun terusan, sesuai dengan perintah atasan kami di kota raja."

   "Hemmmmm............. mudah-mudahan saja benar apa yang engkau katakan itu, Cang Taijin," kata Liu Taijin, sikapnya tetap dingin seperti juga wajahnya.

   "Aih, Liu Taijin tentu lebih percaya kepada laporan saya daripada lapor an orang-orang yang tidak suka kepada saya bukan? Kami percaya atas kebijaksanaan Liu Taijin agar kelak melaporkan ke kota raja bahwa semua tugas sudah kami laksanakan dengan sebaiknya. Untuk kebaikan hati Liu Taijin ini, kami tentu tidak akan melupakannya. Liu Taijin, sekarang juga kami telah menyediakan bekal untuk Taijin dalam perjalanan pulang, disertai pula dua orang teman seperjalanan yang masih gadis dan merupakan kembang dari seluruh gadis penghibur di daerah kami. Silakan Taijin melihat dan berkenalan dengan mereka!' Berkata demikian, Cang Taijin lalu memberi isyarat kepada seorang pengawalnya. Pengawal ini cepat keluar dari rumah makan dan tidak lama kemudian dia pun kembali mengantar dua orang gadis yang berusia antara lima belas dan delapan belas tahun, berwajah cantik berkulit putih mulus. Selain dua orang gadis itu, ada empat orang pengawal menggotong sebuah peti yang kelihatan berat.

   Cang Taijin menyuruh dua orang gadis itu duduk di atas bangku di kanan kiri Liu Taijin. Sebagai dua orang gadis hiburan yang terlatih baik, walaupun mereka masih gadis, dua orang itu dapat menyuguhkan arak dan menyumpitkan daging dengan gaya yang manis memikat. Kemudian, Cang Taijin menyuruh Pengawal membuka tutup peti dan nampaklah barang-barang yang amat berharga di dalam peti itu, bongkahan-bongkahan emas dan perak, juga gulungan sutera dan perhiasan yang serba mahal, hanya sebentar saja peti itu dibuka, lalu ditutup kembali.

   Liu Taijin mengelus jenggotnya, tersenyum dingin biarpun diapit dua orang gadis yang hangat.

   "Hemmm, apa artinya pemberian ini, Cang Taijin? Apa yang telah kulakukan maka engkau memberi hadiah sebanyak ini?"

   Cang Taijin menyeringai.

   "Aih, Taijin yang mulia. Sumbangan ini tidak ada harganya kalau dibanding dengan jasa Taijin membuat laporan yang baik ke kota raja tentang pekerjaan saya. Biarlah kelak saya berkesempatan untuk dapat menghaturkan sumbangan yang lebih banyak."

   Liu Taijin mengangguk-angguk para gadis penghibur melanjutkan tarian dan nyanyian mereka, pesta pora dilanjutkan. Karena merasa tidak enak kalau terlalu lama duduk di ruangan samping akhirnya sebelum dua orang pejabat tinggi itu mengakhiri pesta mereka, Giok Cu memanggil pelayan untuk membayar harga makannya.

   "Biarlah saya yang membayarnya sekalian, Nona, tentu saja kalau Nona tidak berkeberatan, sebagai tanda perkelan kita. Hei, pelayan, hitunglah semua harga hidangan kami berdua!" kata Hong San.

   Giok Cu tersenyum.

   "Hemm, agaknya engkau meniru pembesar gendut itu!" Hong San juga tertawa, akan tetapi dia membayar harga makanan dan minuman kedua meja itu kepada pelayan, kemudian, seperti dengan sendirinya dan sewajarnya, mereka keluar dari tempat itu bersama. Setelah tiba di luar rumah makan, Hong San berkata lirih.

   "Nona Bu, aku ingin menghadang kereta pembesar kurus itu di luar kota dan menyerangnya. Bagaimana pikiranmu?"

   Giok Cu terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan heran.

   "Sungguh aneh sekali! Aku pun mempunyai niat demikian! Bagaimana jalan pikiran kita dapat sama?"

   Hong San tersenyum gembira.

   "Ini namanya bahwa kita memang berjodoh untuk menjadi sahabat baik dan bekerjasama!"

   Giok Cu merasa betapa jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas rnendengar ucapan itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu sopan, ia pun segera mengalihkan percakapan.

   "Ingin aku mengetahui, untuk apa engkau menghadang dan menyerangnya?"

   Hong San adalah putera kandung di murid Cui-beng Sai-kong, seorang datuk besar dunia hitam, namun dia Cerdik bukan main dan dia tahu bahwa kepada seorang wanita seperti Giok Cu yang agaknya seorang pendekar wanita dia harus mampu menggunakan kedok seorang budiman.

   "Nona, peti hadiah itu berisi emas, perak dan barang berharga. Tidak pantas dan sayang sekali kalau barang berharga itu jatuh ke tangan pembesar pemakan sogokan seperti dia! Itu tentulah harta hasil korupsi, hasil pemerasan para pembesar itu dari rakyat. Maka, aku akan merampas peti itu Nona."

   

Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 1 Pedang Naga Hitam Eps 6 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 1

Cari Blog Ini